BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Agency Problem Teori keagenan menjelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham seringkali bertentangan, sehingga bisa terjadi konflik. Hal tersebut terjadi karena manajer cenderung berusaha mengutamakan kepentingan pribadi. Pemegang saham tidak menyukai kepentingan manajer, karena hal tersebut akan menambah biaya bagi perusahaan sehingga akan menurunkan keuntungan yang diterima. Konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan yang terkait. Namun dengan muculnya mekanisme tersebut akan menimbulkan biaya yang disebut agency cost (Jensen dan Meckling, 1976). Ada beberapa jenis konflik keagenan yang terjadi, menurut Brigham (1990) yaitu : (1) Konflik antara pemegang saham (stockholder) dan manager. Konflik ini terjadi karena manjer memiliki atau memegang kurang dari 100% saham perusahaan. Pada kondisi ini, manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya sendiri dan sudah tidak memaksimalisasi nilai perusahaan (kemakmuran pemegang saham) dalam pengambilan keputusan pendanaan. Penyebab timbulnya konflik keagenan ini karena manajer adalah agen yang tidak perlu menanggung risiko sebagai akibat adanya kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis atau tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan. Risiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh prinsipal. Pada kondisi tersebut 13 Universitas Sumatera Utara
manajer cenderung memperbesar skala perusahaan dengan cara ekspansi atau membeli perusahaan lain daripada memaksimumkan kemakmuran pemegang saham, karena dengan semakin besarnya skala perusahaan akan dapat meningkatkan keamanan posisi manajer dari ancaman pengambilalihan; (2) Konflik antara pemegang saham (stockholder) dan pemegang utang atau kreditur. Konflik ini akan muncul saat pemegang saham melalui manajer mengambil proyek yang risikonya lebih besar dari yang diperkirakan kreditur. Pada saat proyek tersebut berhasil maka sebagian besar keuntungan akan menjadi hak pemegang saham sedangkan kreditur mendapatkan keuntungan dari bunga atas utang yang bersifat tetap, tetapi bila proyek gagal maka kreditur ikut menanggung kerugiannya. Jensen dan Meckling (1976) mengelompokan biaya keagenan tersebut dalam tiga bentuk yaitu : (1) Monitoring costs, yang merupakan biaya untuk memonitori perilaku manajemen, (2) Bonding costs, yang merupakan biaya untuk membentuk mekanisme untuk menjamin bahwa manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan (3) residual loss, yang merupakan biaya untuk mendorong manajer bertindak sesuai dengan kemampuannya untuk kepentingan saham. Beberapa alternatif dapat digunakan untuk mengurangi agency cost, pertama menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam penelitiannya menyatakan untuk mengurangi agency costs adalah dengan cara meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen maka dari itu manajer akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan juga apabila kerugian yang
14 Universitas Sumatera Utara
timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Kepemilikan ini mensejajarkan kepentingan manajamen dengan pemegang saham. Dengan demikian maka kepemilikan saham oleh manajemen merupakan insentif bagi para manajer untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Keedua menurut Crutchley dan Hansen (1989) dalam Fadah (2011) dapat dengan menggunakan dividend payout ratio. Adanya dividend payout ratio maka yang akan terjadi adalah tidak tersedianya cukup banyak arus kas bebas dan manajemen tidak memiliki kesempatan untuk berinvestasi yang tidak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Ketiga, menurut Jansen et al., (1992) dalam Faisal (2004) untuk mengurangi agency cost adalah dengan cara meningkatkan pendanaan dengan utang. Peningkatan utang akan menurunkan besarnya konflik antara pemegang saham dengan manajemen. Di samping itu utang juga menurunkan arus kas bebas yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan pemborosan dilakukan oleh manajemen. Keempat, menurut Moh’d et al., (1998) dalam Fadah (2011)
adanya
institusional investor sebagai monitoring agents. Dengan adanya distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu institusional investor dan shareholder dispersion dapat mengurangi agency costs. Hal ini karena kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya menentang terhadap keberadaan manajemen. Adanya kepemilikan oleh investor institusional seperti perusahaan asuransi, bank,
15 Universitas Sumatera Utara
perusahaan investasi atau institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
2.1.2 Pengertian Kebijakan Utang Kebijakan utang adalah segala jenis utang yang dibuat atau diciptakan oleh perusahaan, baik utang lancar maupun utang jangka panjang (Indahningrum dan Handayani, 2009).
Definisi lain kebijakan utang adalah total utang
jangka
panjang yang dimiliki perusahaan untuk membiayai operasionalnya (Yeniatie dan Destriana, 2010). Jadi, kebijakan utang merupakan keputusan yang diambil oleh manajemen untuk menentukan besarnya utang dalam sumber pendanaannya yang berguna untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan. Kebijakan utang merupakan proksi dari risiko yang dihadapi oleh pemegang saham dan menjadi biaya keagenan dalam konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditur (Faisal, 2004). Myers (1977) dan Myers dan Majluf (1984) dalam Faisal (2004) menjelaskan keterkaitan antara kebijakan utang dengan profitabilitas perusahaan yang menyatakan bahwa perusahaan yang lebih menguntungkan akan menurunkan utangnya karena memiliki sumber dana internal yang lebih besar dari laba (earnings) untuk mebiayai pogram investasinya. Menurut Wiliandri (2011) kebijakan utang dalam perusahaan merupakan kebijakan yang berkaitan dengan struktur modal perusahaan. Struktur modal diawali oleh Modigliani dan Miller (MM), pada tahun 1958 dalam Syahyunan (2015) menyatakan bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur
16 Universitas Sumatera Utara
modalnya. Dengan kata lain bahwa tidak menjadi masalah bagaimana perusahaan membiayai operasinya. Studi MM ini didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak realistis, antaran lain : a. Tidak terdapat agency cost b. Tidak ada pajak c. Investor dapat berutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perusahaan d. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek perusahaan di masa depan e. Tidak ada biaya kebangkrutan f. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari utang g. Para investor adalah price-takers h. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value). Penggunaan utang dapat mengurangi penghasilan kena pajak karena perusahaan diwajibkan untuk membayar bunga pinjaman. Pengurangan pajak dapat menambah laba perusahaan yang dimanfaatkan untuk reinvestasi ataupun untuk pembagian dividen kepada para pemegang saham.
Reinvestasi dan
pembagian dividen akan meningkatkan penilaian investor sehingga dapat meningkatkan minat mereka membeli saham. 2.1.2.1 Pecking Order Theory Menurut Myers (1984) dalam Syahyunan (2015), pecking order theory menyatakan “Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat
17 Universitas Sumatera Utara
hitungnya rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang melimpah”. Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai urutan-urutan preferensi (hierarki) dalam penggunaan dana. Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart, Meggison, dan Gitman (2004) dalam Syahyunan (2015), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu : a. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal.
Dana internal
tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan. b. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah risikonya, turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi konversi, saham preferen dan yang terakhir saham biasa. c. Terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah pembayaran dividen yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi. d. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan dividen yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia.
18 Universitas Sumatera Utara
Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal. Pecking order theory menjelaskan urutan-urutan pendanaan.
Manajer
keuangan tidak memperhitungkan tigkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil. Dalam kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam menggunakan dana untuk kebutuhan investasinya tidak sesuai dengan skenario urutan (hierarki) yang disebutkan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Hamid (1992) dan Sigh (1995) dalam Syahyunan (2015) menyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan di negara berkembang lebih memilih untuk menerbitkan ekuitas daripada berutang dalam membiayai perusahaannya”.
Hal ini berlawanan dengan
pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan akan memilih menerbitkan utang terlebih dahulu daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan eksternal. 2.1.2.2 Trade-off Theory Menurut trade-off theory yang dikemukakan oleh Myers (2001) dalam Syahyunan (2015) bahwa “Perusahaan akan berutang sampai pada tingkat utang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shield) dari tambahan utang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress)”. Biaya kesulitan keuangan financial
distress
adalah
biaya
kebangkrutan
(bankruptcy
cost)
atau
19 Universitas Sumatera Utara
reorganization dan biaya keagenan (agency cost) yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Trade-off theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknnya dengan cara meningkatkan rasio utangnya, sehingga tambahan utang tersebut akan mengurangi pajak. 2.1.3 Pengertian Kepemilikan Blockholder Kepemilikan blockholder adalah kepemilikan saham yang diukur oleh seberapa besar fraksi saham yang dimiliki termasuk kepemilikan saham oleh owner yang besarnya lebih dari 5 % baik saham yang dipegang oleh manajemen, direktur dan keluarganya, saham yang dipegang oleh perusahaan lain atau sering disebut institusional, saham yang dipegang pemeritah atau saham yang dipegang oleh dana pensiun (Thomsen et al., 2006). Menurut Thomsen et al., (2006) kepemilikan blockholder adalah ukuran kepemilikan saham dimana : a. Kepemilikan saham yang jumlahnya lebih dari 5%. b. Saham dimiliki oleh karyawan, direktur atau anggotanya c. Saham dimiliki oleh bank d. Saham dimiliki oleh perusahaan lain (kecuali perusahaan dalam status digadaikan) e. Saham dimiliki oleh seseorang karena adanya tunjangan pensiun.
20 Universitas Sumatera Utara
Penelitian sebelumnya mengandaikan bahwa kepemilikan blockholder memiliki insentif yang lebih besar dan kemampuan untuk memonitor manajemen (Mustapha dan Che Ahmad, 2013). Hal itu dikarenakan pemegang saham besar juga diklaim memiliki insentif yang lebih besar untuk memantau manajemen dan memiliki kekuatan yang diperlukan untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan karena mereka akan menanggung proporsi yang signifikan dari kegiatan untuk menghambat perilaku manajemen (Haniffa dan Hudaib, 2006 dalam Mustapha dan Che Ahmad, 2013). Dalam penelitian Sari dan Usman (2014) menjelaskan bahwa blockholder berkontribusi terhadap kegiatan pengawasan manajemen perusahaan. Kehadiran blockholder memiliki efek positif pada nilai pasar perusahaan.
Blockholder
memainkan peran penting dalam tata kelola perusahaan karena memiliki keterampilan yang relevan, waktu dan perhatian terhadap kinerja perusahaan. Denis dan Mc.Connell (2003) menyatakan bahwa blockholder
memengaruhi
kinerja perusahaan secara positif, namun efek interaksi rumit yang mungkin ketika perusahaan memiliki blockholder, manajemen biasanya menjadi kurang bertanggungjawab kepada pemegang saham lainnya dan lebih bertanggungjawab kepada pengendalian blockholder yang akan memiliki kontrol yang cukup besar atas perusahaan. Belkhir (2005) berpendapat bahwa kehadiran blockholder merupakan cara lain untuk mengurangi moral hazard yang dilakukan manajemen, sehingga pengawasan akan lebih efektif dan akan meningkatkan nilai perusahaan. Kehadiran blockholder mungkin merupakan ancaman bagi manajemen perusahaan
21 Universitas Sumatera Utara
karena kekuatan dalam tawaran pengambilalihan cukup ekstrim. Blockholder juga dapat mencalonkan seseorang untuk mewakilinya dalam suatu dewan, dalam rangka untuk memastikan bahwa manajemen bertindak dalam kepentingan pemegang saham. Blockholder dapat mengurangi konflik agency antara pemegang saham dan manajer, karena adanya kepemilikan saham yang terkonsentrasi akan memberikan kemudahan dalam melakukan pengawasan manajemen perusahaan melalui hak suara.
Namun blockholder ownership juga dapat meningkatkan
konflik agency antara blockholder dengan pemegang saham minoritas (Becht et al., 2002).
Hal tersebut dikarenakan blockholder memiliki dorongan untuk
menggunakan voting power mereka, sehingga dapat menikmati penghasilan atau keuntungan-keuntungan perusahaan yang tidak dibagikan pada pemegang saham minoritas. 2.1.4 Pengertian Arus Kas Bebas (Free Cash Flow) Arus kas bebas adalah arus kas yang tersedia untuk distribusi kepada pemegang saham, setelah perusahaan membuat semua keputusan investasi baik dalam bentuk aset tetap maupun modal kerja (Hidayat, 2009).
Arus kas bebas
(Free cash flow) merupakan arus kas yang tersedia untuk pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan yaitu kreditor dan investor (Prihadi, 2012). Arus kas bebas terbagi 2 yaitu: 1. Arus Kas Bebas untuk Perusahaan (Free Cash Flow to Firm /FCFF) Menurut Prihadi (2012: 96), Free Cash Flow to Firm adalah kas yang tersedia untuk membayar investor setelah perusahaan membayar biaya
22 Universitas Sumatera Utara
dalam melakukan bisnis, berinvestasi dalam aset jangka pendek seperti persediaan, dan berinvestasi dalam aset jangka panjang seperti properti, pabrik dan peralatan. Investor perusahaan mencakup pemegang obligasi dan pemegang saham. Untuk menghitung free cash flow to firm dalam Prihadi (2012) adalah : FCFF = EBIT (1-t) + Depresiasi dan Amortisasi – Capital Expenditure -Modal Kerja Bersih Selain rumus diatas, Ross et al., (2000) menghitung cara free cash flow to firm dengan rumus yang berbeda yaitu sebagai berikut: FCFF = AKOit – PMit –NWCit FCFF
= Free cash flow to firm
AKOit
= Aliran kas operasi perusahaan I pada tahun t
PMit
= Pengeluaran modal perusahaan I pada tahun t
NWCit
= modal kerja bersih perusahaan I pada tahun t
Aliran kas operasi adalah kas berasal dari aktivitas penghasil utama pendapatan perusahaan dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasindan aktivitas pendanaan. Pengeluaran modal adalah pengeluaran bersih pada aset tetap yaitu aset tetap akhir periode dikurang aset tetap awal periode. Sedangkan modal kerja bersih adalah selisih antara aset lancar dengan utang lancar. Berdasarkan rumusan diatas dapat disimpulkan bagian dari rumus Ross et al, (2000) yang menghitung free cash flow sama penghitungannya dengan rumus untuk menghitung free cash flow to firm.
23 Universitas Sumatera Utara
2. Arus Kas Bebas Untuk Ekuitas (Free Cash Flow to Equity /FCFE) Menurut Damodaran (2002) dalam Ariyanto (2012) FCCE adalah besarnya kas yang dapat dibayarkan oleh suatu perusahaan kepada pemegang saham setelah dikurangi semua pengeluaran, reinvestment dan pembayaran utang. FCFE dihitung dengan mengurangi laba bersih dengan kebutuhan investasi dan menjumlahkan semua transaksi non-kas seperti depresiasi, kemudian dikurangin modal kerja non-kas dan ditambahkan dengan kas bersih dari penerbitan utang. Ada dua pendekatan dalam menghitung FCFE dalam Ariyanto (2012) yaitu : a.
Pendekatan melalui Equity Earnings : FCFE = Net Income – (Capital Expenditure-Depreciation) – Δnon Cash Working Capital + (Debt Repayments – New Debt Issuded)
b.
Pendekatan melalui Operating Income : FCFE = EBIT (1-Tax rate) – Interest Exp (1-Tax rate) – Capital Expenditure + Depreciation + ΔNon Cash Working Capital + (Debt Repayments – New Debt Issued) Konsep arus kas bebas merupakan perluasan dari konsep biaya keagenan
ke dalam manajemen struktur modal (Indahningrum dan Handayani, 2009). Jensen (1986) mengemukakan bahwa manajer akan menggunakan arus kas bebas untuk berinvestasi pada proyek dengan net present value negatif daripada mengembalikannya kepada para pemegang saham sebagai deviden. Dimana yang diharapkan oleh pemegang saham adalah sisa dana dibagikan sebagai dividen,
24 Universitas Sumatera Utara
sedangkan manajer lebih menyukai untuk menginvestasikan dana yang tersedia pada proyek-proyek yang menguntungkan dengan harapan dapat menambah insentif bagi manajer di masa yang akan datang. Permasalahan ini secara khusus akan buruk pada perusahaan yang sedang berkembang dengan kesempatan pertumbuhan yang rendah.
Jensen (1986)
berpendapat bahwa salah satu solusi untuk mengurangi biaya keagenan yang timbul akibat konflik keagenan ini adalah dengan utang. Peningkatan utang yang tentunya diikuti dengan peningkatan pembayaran bunga, menjadikan para manajer lebih bertanggungjawab terhadap janjinya untuk melakukan pembayaran kas di waktu yang akan datang. Jensen (1986) mengindikasikan bahwa perusahaan yang pertumbuhannya kecil akan menggunakan pendanaan utang untuk memonitoring tujuannya. Dengan adanya utang, manajer termotivasi untuk bekerja lebih efisien sehingga dapat meningkatkan efisiensi organisasi perusahaan. Faisal (2004) menghasilkan perusahaan yang memiliki arus kas bebas yang besar cenderung mempunyai tingkat utang yang lebih tinggi. Kemungkinan munculnya asimetric information antara pemegang saham dengan para manajer menyebabkan perusahaan memilih menggunakan utang dalam membiayai kegiatannya. Perusahaan yang mempunyai tingkat arus kas bebas yang besar kemungkinan juga akan mempunyai tingkat utang yang tinggi.
Hal ini
dikarenakan para pemegang saham mengkhawatirkan arus kas bebas yang besar akan dipergunakan manajer untuk membiayai kegiatan perusahaan yang tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan dan pemegang saham.
25 Universitas Sumatera Utara
Adakalanya nilai arus kas bebas negatif, namun bukan berarti buruk. Hal itu kemungkinan dikarenakan investasi perusahaan yang sangat tinggi pada modal operasi mengakibatkan arus kas bebas bersifat negatif. Selain itu arus kas bebas negatif bisa saja terjadi pada perusahaan yang baru berkembang dikarenakan investasi pada aset operasi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan perusahaannya (Brigham dan Houston, 2009). 2.1.5 Pengertian Ukuran Perusahaan Menurut Hendriksen dan Eldon (2000) dalam Hasan (2014) mendefinisikan ukuran perusahaan dimana ukuran perusahaan merupakan keseluruhan dari aktiva yang dimilki oleh suatu perusahaan yang dapat dilihat dari sisi kiri neraca. Jadi ukuran perusahaan (size) juga dapat diartikan sebagai keseluruhan kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan baik dalam bentuk aktiva lancar maupun aktiva tetap. Ukuran perusahaan merupakan konsep penting bagi para investor karena merupakan indikator bagaimana pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Ukuran perusahaan sering dijadikan tolak ukur bagi investor dalam menentukan keputusan investasi.
Perusahaan-perusahaan besar cenderung lebih mampu
memberikan berbagai informasi mengenai kondisi internal perusahaan yang dibutuhkan
investor
pada
perusahaan
kecil,
sehingga
investor
dapat
mempertimbangkan keputusan investasi yang dilakukan (Rajan dan Zingales, 1995). Ukuran perusahaan merupakan ukuran besar kecilnya perusahaan yang diukur melalui logaritma natural dari total asset (Ln total asset). Total asset dijadikan sebagai indikator ukuran perusahaan karena sifatnya jangka panjang dibandingkan
26 Universitas Sumatera Utara
dengan penjualan.
Semakin besar suatu perusahaan maka kecenderungan
penggunaan dana eksternal juga akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang besar memiliki kebutuhan dana yang besar dan salah satu pemenuhan dana yang tersedia menggunakan penggunaan eksternal (Titman dan Wessels, 1988 dalam Pujiani dan Prasetiono 2012). Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dalam tahap ini arus kas sudah positif dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka relatif waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan mampun menghasilkan laba dibandingkan dengan total aset yang kecil. Ukuran perusahaan juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan perusahaan dalam menentukan level utang perusahaan. Perusahaan – perusahaan besar cenderung lebih mudah untuk memperoleh pinjaman dari pihak ketiga karena kemampuan mengakses kepada pihak lain atau jaminan yang dimiliki berupa aset bernilai besar dibandingkan perusahaan kecil. Hal ini dikarenakan nilai aktiva yang dijadikan jaminan lebih besar dan tingkat kepercayaan bank juga cukup tinggi. Aktiva yang dijaminkan dapat berupa aktiva tetap berwujud serta aktiva lainnya seperti piutang dagang dan persediaan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Moh’d et al., (1998) dan Sudarman (2004) dalam Wiliandri (2011) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan dan berhubungan positif dengan rasio hutang.
27 Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Pengertian Set Kesempatan Investasi Myers (1977) mengemukakan suatu konsep mengenai investment opportunity set/IOS (set kesempatan investasi).
Dalam konsep ini dikatakan
bahwa pada dasarnya IOS merupakan kombinasi assets in place (aktiva riil yang dimiliki) yang sifatnya tangible dengan kesempatan investasi pertumbuhan
yang sifatnya intangible.
atau peluang
Keduanya akan sangat menentukan
keputusan pendanaan di masa depan. Gaver dan Gaver (1993) menyatakan bahwa opsi investasi masa depan tidak semata-mata hanya ditunjukkan dengan adanya proyek-proyek yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan, tetapi juga dengan kemampuan perusahaan yang lebih dalam mengeksploitasi kesempatan mengambil keuntungan dibandingkan dengan perusahaan lain yang setara dalam suatu kelompok industrinya. Menurut Chung dan Charoenwong (1991) dalam Hidayat (2010) bahwa esensi pertumbuhan bagi suatu perusahaan adalah adanya kesempatan investasi yang menghasilkan keuntungan. Jika terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka manajer berusaha mengambil peluang peluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham karena semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan, maka investasi yang dilakukan akan semakin besar. Klasifikasi set kesempatan investasi terbagi tiga yaitu : (1) Proksi berdasarkan harga, proksi ini percaya pada gagasan bahwa proyek yang tumbuh dari suatu perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga pasar. Perusahaan yang tumbuh akan mempunyai nilai pasar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan aktiva riilnya. (2) Proksi berdasarkan investasi, proksi ini percaya pada gagasan
28 Universitas Sumatera Utara
bahwa satu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan secara positif pada nilai set kesempatan investasi suatu perusahaan.
Kegiatan ini diharapkan dapat
memberikan peluang investasi pada masa berikutnya yang semakin besar pada perusahaan yang bersangkutan. (3) Proksi berdasarkan varian, proksi ini percaya pada gagasan bahwa suatu opsi akan lebih bernilai jika menggunakan variabilitas return yang mendasari peningkatan aktiva. Meskipun terdapat tiga proksi set kesempatan investasi, namun Gull (1999) mengemukakan bahwa set kesempatan investasi merupakan variabel yang tidak dapat diobservasi, sehingga diperlukan suatu proksi untuk bisa dilakukan analisis, namun demikian tidak ada suatu kesepakatan yang reliabel untuk suatu proksi pertumbuhan. Tarjo dan Jogyanto (2003) mengemukakan bahwa rasio market to book value of equity (MVEBVE) atau sering disingkat dengan price to book value (PBV) dapat digunakan sebagi salah satu proksi set kesempatan invetasi. Berdasarkan penelitian Kallapur dan Trombley (1999), rasio tersebut merupakan rasio yang paling valid digunakan selain itu rasio tersebut merupakan rasio yang paling banyak digunakan oleh peneliti di bidang keuangan.
2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian adalah penelitian yang dilakukan Hasan (2014) yang berjudul “Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Free Cash Flow, dan Ukuran Perusahaan terhadap kebijakan hutang (Studi Pada Perusahaan-Perusahaan Industri Dasar dan Kimia yang Terdaftar di BEI)” menghasilkan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung = -2,867 dan nilai signifikansi 0,000 lebih 29 Universitas Sumatera Utara
kecil dari 0,05, free cash flow berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung = 2,644 dan nilai signifikansi 0,003 lebih kecil 0,05 dan ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung = 2,086 dan nilai signifikansi 0,039 lebih kecil dari 0,05. Lestari (2014) yang berjudul “Pengaruh Blockholder Ownership, Ukuran Perusahaan, Risiko Bisnis, dan Nondebt Tax Shield terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan yang Masuk di Jakarta Islamic Index” menhasilkan kepemilikan Blockholder mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan utang dengan koefisien regresi sebesar -0.674. Hasil nilai thitung -3,114 < ttabel –2,001 dan nilai probabilitas 0,003 < 0,05 membuktikan bahwa Blockholder ownership berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang.
Ukuran
perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan utang dengan koefisien regresi 1.917. Hasil uji t membuktikan ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan dengan nilai thitung 2,338 > t
tabel
2,001 dan nilai probabilitas
0,023 < 0,05. Risiko bisnis mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan utang dengan koefisien regresi 0.137. Berdasarkan hasil uji t menunjukkan bahwa risiko bisnis tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung 1,603 < ttabel 2,001 dan nilai probabilitas 0,115 > 0,05. Non-debt tax shield mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan utang dengan koefisien regresi sebesar 0.355. Hasil uji t membuktikan Non-debt tax shield berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung -4,470 < -t tabel 2,001 dan nilai probabilitas 0,000 < 0,05.
30 Universitas Sumatera Utara
Hardiningsih dan Oktaviani (2012) yang berjudul “Determinan Kebijakan Hutang (dalam Agency Theory dan Pecking Order Theory)” memiliki hasil free cash flow tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang dengan nilai signifikansi 0,120, profitabilitas tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadp kebijakan utang dengan nilai signifikansi 0,000, ntotal aset berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai signifikansi 0,0000, struktur aktiva berpengaruh positif signifikan dengan nilai signifikansi 0,004 dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang dengan nilai signifikansi 0,389. Fitriyah dan Hidayat (2011) yang berjudul “Pengaruh Kepemilikan Institusional, Set Kesempatan Investasi dan arus Kas Bebas terhadap Hutang” berdasarkan hasil penelitian nilai signifikasi sebesar 0,000000 lebih kecil dari 0,05 menunjukkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang.
Kepemilikan institusional berpengaruh
negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung =-2.330266 dan pvalue = 0,0072 dengan tingkat kepercayaan 95%, arus kas bebas berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung = 2.499575 dan
p-
value = 0,0003 dengan tingkat kepercayaan 95% dan set kesempatan investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung =2.178227 dan p-value = 0,0003 dengan tingkat kepercayaan 95%. Prayudi (2010) yang berjudul “Pengaruh Institusional Ownership, Investment Opportunity Set (IOS), Firm Size, Cash From Operation dan Profitability terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan (Studi Empiris pada
31 Universitas Sumatera Utara
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI)”, menghasilkan kepemilikan isntitusional berpengarug positif dan tidak signifikan dengan thitung sebesar 0,084 dan nilai signifikansi 0,456, investement opportunity set berpengaruh positif dan tidak signifikan dengan thitung 0,747 dan nilai signifikansi 0,933, ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan dengan thitung sebesar 7,043 dan nilai signifikansi 0,000, profitabilitas berpengaruh negatif signifikan dengan thitung 7,066 dan nilai signifikansi 0,000 dan cash from operation berpengaruh negatif signifikan dengan thitung -2,330 dengan nilai signifikansi 0,021. Susanto (2011) yang berjudul “Kepemilikan Saham, Kebijakan Deviden, Karekteristik Perusahaan, Risiko Sistematik, Set Peluang Investasi dan Kebijakan Hutang” menghasilkan set peluang investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan thitung = -3,429 dan p-value = 0,001 dibawah 0,05, profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan thitung = -4,674 dan p-value = 0,000 dibawah 0,05, kebijakan dividen berpengaruh negatif signifikan dengan terhadap kebijakan utang dengan thitung = 1,912 p-value 0,058 dibawah 0,1, struktur aktiva berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang dengan thitung = 5,360 dan p-value = 0,000 dibawah 0,05, risiko sistematik tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang dengan p-value = 0,887, kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang dengan p-value = 0,37 dan kepemilikan manajerial bepengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan thitung = -2,427 dan p-value = 0,017 dibawah 0,05.
32 Universitas Sumatera Utara
Wiliandri (2011) yang berjudul “Pengaruh Blockholder Ownership dan Firm Size terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan” menghasilkan nilai signifikasi sebesar 0,000 dimana p-value lebih kecil dari 0,05 yang bearti terdapat pengaruh yang signifikan variabel blockholder ownership dan firm size secara bersamasama terhadap DER. Berdasarkan uji hipotesis nilai probabilitas dari variabel blockhoder ownership sebesar 0,069 dimana p-value>0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% maka disimpulkan blockholder ownership tidak berpengaruh secara signifikan dengan koefisien pengaruh negatif sebesar -0,196 terhadap DER secara parsial. Nilai probabilitas variabel firm size sebesar 0,000 dimana p-value <0,05 dengan tingkat kepercayaan 95% maka disimpulkan variabel firm size berpengaruh signifikan dengan koefisien pengaruh positif sebesar 0,582 terhadap DER. Putri dan Nasir (2006) yang berjudul “Analisis Persamaan Simultan Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Risiko, Kebijakan Hutang dan Kebijakan Dividen dalam Perspektif Teori Keagenan”. Memiliki hasil kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan dengan nilai thitung sebesar -3,830 dengan nilai signifikansi 0,001, kepemilikan institusional berpengaruh positif dan tidak signifikan dengan nilai thitung 1,537 dengan nilai signifikansi 0,126, kebijakan risiko berpengaruh negatif dan signifikan dengan nilai thitung -3,830 dengan nilai signifikansi 0,000, kebijakan dividen berpengaruh positif tidak signifikan dengan nilai thitung sebesar 0,121 dengan nilai signifikansi 0,126 dan free cash flow berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang dengan nilai thitung sebesar -3,358 dengan nilai signifikansi 0,001.
33 Universitas Sumatera Utara
Faisal (2004) yang berjudul “Analisis Pengaruh Free Cash Flow, Set Kesempatan Investasi, Kepemilikan Manajerial dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan
Hutang
(Studi
Empiris
pada
Perusahaan-Perusahaan
Sektor
Manufaktur di Bursa Efek Jakarta)” memiliki hasil free cash flow berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan hutang dengan thitung = 2,723 lebih besar dari t tabel dengan df 154 pada tingkat signifikansi 5% dengan nilai signifikansi 0,007, ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung = 2,574 lebih besar dari nilai t tabel dengan df 154 pada tingkat signifikansi 5% dengan nilai signifikansi 0,011, set kesempatan investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung = 2,501 lebih kecil dari nilai t tabel dengan df 154 pada tingkat signifikansi 5% dengan nilai signifikansi 0,013 dan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang dengan nilai thitung = -4,262 lebih kecil dari nilai t tabel dengan df 154 pada tingkat signifikansi 5% dengan nilai signifikansi 0,000.
34 Universitas Sumatera Utara
No
Peneliti
1.
Hasan (2014)
2.
Lestari (2014)
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu Tujuan Variabel yang Teknik Penelitian Digunakan Analisis Menganalisis Dependen : Regresi Pengaruh Kebijakan Berganda Kepemilikan Utang Manajerial, Free Cash Independen : Flow, dan 1. Kepemilikan Ukuran Manajerial Perusahaan 2. Free Cash terhadap Flow Kebijakan 3. Ukuran Utang Perusahaan Menganalisi pengaruh blockholder ownership, ukuran perusahaan, risiko bisnis dan nondebt tax shield terhadap kebijakan utang
Dependen : Regresi Kebijakan utang berganda Independen: 1.Blockholder ownership 2.Ukuran perusahaan 3. Risiko bisnis Nondebt tax shield
Hasil Penelitian 1.Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan utang 2.Free Cash Flow berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang 3.Ukuran Perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang 1. Blockholder ownership mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan utang. 2. Ukuran berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan utang. 3. Risiko bisnis (RISK) perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang. 4. Nondebt Tax Shield (ND) perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan utang.
Sumber : Peneliti-peneliti terdahulu
35 Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No Peneliti Tujuan Penelitian Variabel yang Digunakan 3. Hardinigsih Menganalisis Dependen : dan pengaruh free cash Kebijakan utang Oktaviani flow, profitabilitas, Dependen: (2012) total aset, struktur 1.Free Cash aktva, laba ditahan Flow dan kepemilikan 2.Profitabilitas manajerial 3.Total Aset terhadap kebijakan 4.Struktur utang Aktiva 5.Laba ditahan 6.Kepemilikan Manajerial
4.
Susanto (2011)
Menganalisis Pengaruh Kepemilikan Saham, Kebijakan Dividen, Karakteristik Perusahaan, Risiko Sistematik, Set Peluang Investasi dan Kebijakan Hutang
Dependen : Kebijakan Utang Independen : 1.Kepemilikan Institusional 2.Kepemilikan Manajerial 3.Kebijakan Dividen 4. Ukuran Perusahaan 5.Set Peluang Investasi
Teknik Analisis Regresi Berganda
Regresi Berganda
Hasil Penelitian 1.Profitabilitas dan struktur aktiva berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan utang 2.Total aset dan laba ditahan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan utang 3.Free cash flow dan kepemilikan manajerial tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan hutang. 1.Kepemilikan Manajerial, Kebijakan dividen, Pertumbuhan Perusahaan, Profitabilitas, Set kesempatan investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap utang 2.Ukuran perusahaan dan struktur aset berpengaruh positif signifikan terhadap utang 3.Risiko sistematik dan kepemilikan istitusional tidak berpengaruh terhadap utang
Sumber : Peneliti-peneliti terdahulu
36 Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No Peneliti Tujuan Variabel yang Penelitian Digunakan 5. Fitriyah Menguji Dependen : dan Hidayat Hubungan Utang (2011) Pengaruh Kepemilikan Independen : Institusional , 1. Kepemilikan Set Kesempatan Institusional Investasi dan 2. Set Arus Kas Bebas Kesempatan Terhadap Utang Investasi 3. Arus Kas Bebas
6.
7.
Wiliandri (2011)
Prayudi (2010)
Menguji Hubungan Blockholder Ownership dan Firm Size dengan Kebijakan Hutang
Dependen : Kebijakan Utang
Menganalisis Institusional Ownership, Investment Opportunity Set, Firm Size, Cash from Operation dan Profitability terhadap kebijakan utang
Dependen : Kebijakan utang
Independen : 1. Blockholder Ownership 2. Firm size
Independen : 1.Institusional Ownership 2.Investment Opportunity Set 3. Cash from Operation 4. Profitability 5. Firm Size
Teknik Hasil Penelitian Analisis Regresi 1.Set Kesempatan Panel Data Investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap utang 2.Kepemilikan Institusional Berpengaruh negatif signifikan terhadap utang 3.Arus kas bebas berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang Regresi 1.Blockholder Berganda berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap kebijakan utang 2.firm size berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang Regresi Berganda
1.Firm size berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan utang 2.Cash from operation dan profitability berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan utang 3. Institutional ownership dan investment opportunity set tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang.
Sumber : Peneliti-peneliti terdahulu
37 Universitas Sumatera Utara
No 8.
9.
Lanjutan Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti Tujuan Variabel yang Penelitian Digunakan Putri dan Menganalisis Dependen : Nasir (2006) persamaan Kebijakan simultan utang kepemilikan manajerial, Independen: kepemilikan 1.Kepemilikan institusional, institusional risiko 2.Kebijakan kebijakan pengambilan utang, risiko kebijakan 3.Kebijakan dividen dividen 4.Free cash flow Faisal (2004) Analisis Dependen : Pengaruh Kebijakan Free Cash Utang Flow, Set Kesempatan Independen : Investasi, 1. Free Cash Kepemilikan Flow Manajerial 2. Set dan Ukuran Kesempatan Perusahaan Investasi Terhadap 3. Kepemilikan Kebijakan Manajerial Hutang 4. Ukuran Perusahaan
Teknik Analisis two stage least square
Hasil Penelitian
Regresi Berganda
1.Free Cash Flow berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan hutang 2.Ukuran Perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan hutang 4.Set Kesempatan Investasi berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang 5.Kepemilikan Manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan hutang
1.Kepemilikan institusional dan kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang 2.Kebijakan pengambilan risiko dan Free cash flow berpengaruh negatif terhadap kebijakan utang.
Sumber : Peneliti-peneliti terdahulu
38 Universitas Sumatera Utara
2.3 Kerangka Konseptual 2.3.1 Pengaruh Kepemilikan Blockholder terhadap Kebijakan Utang Meskipun terdapat keyakinan bahwa kepemilikan proporsi saham yang lebih tinggi mempunyai peran yang lebih besar agar manajemen memaksimumkan nilai perusahaan, namun kepemilikan blockholder dalam tingkat tertentu akan menyebabkan terjadinya tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh manajemen yang akan merugikan pemegang saham minoritas disebabkan manajemen lebih mementingkan kepentingan blockholder (Yuliani dan Muizudin, 2014). Semakin besarnya kepemilikan blockholder yaitu kepemilikan saham perusahaan oleh pegawai direktur dan anggota keluarganya, trust, dana pensiun, saham yang dipegang oleh individu-individu atau perusahaan lain dimana memiliki kepemilikan saham lebih dari 5% seharusnya membuat semakin besar perusahaan untuk melakukan pinjaman namun hasil yang dilakukan Wiliandri (2011) menunjukkan bahwa blockholder berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kebijakan utang. 2.3.2
Pengaruh Arus Kas Bebas untuk Perusahaan terhadap Kebijakan
Utang Hipotesis Jensen (1996) dalam Indahningrum dan Handayani (2009) mengenai free cash flow menyatakan bahwa tekanan pasar akan mendorong manajer untuk mendistribusikan arus kas bebas untuk perusahaan kepada pemegang saham.
Perusahaan-perusahaan dengan arus kas bebas untuk
perusahaan besar yang mempunyai level utang yang tinggi akan menurunkan agency cost free cash flow. Maka dari itu Jensen (1996) menyatakan bahwa
39 Universitas Sumatera Utara
adanya hubungan positif antara arus kas bebas untuk perusahaan dan tingkat utang khususnya dengan untuk perusahaan dengan set kesempatan investasinya yang rendah. Tarjo (2003) juga menyatakan bahwa arus kas bebas untuk perusahaan pada perusahaan besar dan kecil sama-sama
memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap kebijakan hutang dengan set kesempatan investasi yang rendah. 2.3.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Utang Ukuran Perusahaan merupakan ukuran besar kecilnya perusahaan yang diukur melalui logaritma natural dari total aset (Ln total asset). Total aset dijadikan sebagai indikator ukuran perusahaan karena sifatnya jangka panjang dibandingkan dengan penjualan.
Semakin besar suatu perusahaan maka
kecenderungan penggunaan dana eksternal juga akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang besar memiliki kebutuhan dana yang besar dan salah satu pemenuhan dana yang tersedia menggunakan penggunaan eksternal (Titman dan Wessels, 1988 dalam Pujiani dan Prasetiono, 2012).
2.3.4
Pengaruh Set Kesempatan Investasi terhadap Kebijakan Utang
Peluang pertumbuhan terlihat pada peluang investasi yang diproksikan dengan bermacam kombinasi nilai set peluang investasi (IOS: Investment Opportunity Set) (Smith and Wats, 1992 dalam Susanto, 2011). Smith dan Watss (1992) menemukan adanya bukti empiris bahwa pada perusahaan yang mempunyai peluang untuk bertumbuh lebih besar mempunyai rasio debt to equity lebih rendah dalam keputusan struktur modalnya. Pendanaan modal sendiri (equity financing) cenderung untuk mengurangi masalah-masalah keagenan, karena keberadaan 40 Universitas Sumatera Utara
utang beresiko terhadap struktur modalnya. Sehingga IOS berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutangnya. Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang diidentifikasikan sebagai masalah penting. Dalam penelitian ini, yang merupakan variabel independen adalah Kepemilikan Blockholder, Arus Kas Bebas untuk Perusahaan, Ukuran Perusahaan dan Set Kesempatan Investasi dan yang merupakan variabel dependen (terikat) adalah kebijakan utang. Kerangka konseptual digambarkan sebagai berikut :
Kepemilikan Blockholder Arus Kas Bebas Untuk Perusahaan Kebijakan Utang Ukuran Perusahaan Set Kesempatan Investasi
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.4 Hipotesis Berdasarkan kerangka konseptual maka hipotesis dari penelitian ini adalah kepemilikan blockholder, arus kas bebas untuk perusahaan, ukuran perusahaan dan set kesempatan investasi berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2014.
41 Universitas Sumatera Utara