BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kecacingan Infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan dunia.Badan Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Tenggara.
Kecacingan sering terjadi pada anak-anak, diperkirakan sekitar 270 juta anak usia balita dan 600 juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi parasit cacing di seluruh dunia (WHO., 2015). Di Indonesia, angka kecacingan mencapai 28% (Kemenkes., 2015) dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak terinfeksi cacing parasit (Tjay dan Rahardja, 2002).Infeksi cacing umumnya terjadi di negara-negara
berkembang, dimana keadaan hidup dan pelayanan kesehatan masih kurang baik dan higienitas masih belum memadai(Rahardja dan Tan, 2010).Kecacingan mempengaruhi
pemasukan
(intake),
pencernaan
(digestive),
penyerapan
(absorption), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing dapat menimbulkan kurangnya gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang (Samudar, dkk., 2013).
2.2 Penyebab Kecacingan Cacing penyebab infeksi pada manusia dapat dibagi menjadi 2 filum utama, yaitu platyhelmintes atau cacing pipih dan nematoda atau cacing gelang.Platyhelmintes terbagi menjadi dua kelas yaitu trematoda dan cestoda (Soedarto, 2008).
5 Universitas Sumatera Utara
Trematoda mempunyai bentuk tubuh yang tidak bersegmen, pipih mirip daun. Cacing dewasa mempunyai alat isap mulut (oral sucker) yang terdapat di kepala, dan alat isap ventral yang terdapat di bagian perut. Trematoda pada umumnya bersifat hermaprodit. Trematoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Ciri khas trematoda adalah adanya sistem ekskresi (flame cell) yang berbentuk khas pada setiap spesies (Soedarto, 2008). Cacing cestoda mempunyai bentuk seperti pita, pipih ke arah dorsoventral, dan mempunyai banyak ruas (segmen).Cestoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Kepala cacing cestoda mempunyai alat isap untuk menempel yang dilengkapi kait untuk menempel pada organ manusia atau hewan yang menjadi hospes tempatnya hidup (Soedarto, 2008). Filum nematoda (roundworm) mempunyai bentuk tubuh bulat memanjang, silindris, tidak bersegmen, dan bilateral simetris. Cacing ini memiliki rongga tubuh dan tubuhnya tertutup oleh kutikulum. Alat pencernaannya sudah lengkap, tetapi sistem syaraf dan ekskresinya belum sempurna. Nematoda adalah cacing yang uniseksual dengan alat reproduksi jantan dan betina yang terpisah (Soedarto, 2008). Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan oleh penyumbatan usus halus dan saluran empedu atau penarikan gizi yang penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa gangguan lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang-kejang, dan diare berkala dengan hilangnya nafsu makan. Pada
sejumlah
cacing
yang
menghisap
darah,
penderita
dapat
6 Universitas Sumatera Utara
mengalamikekurangan darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita, dan cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2.1 Infeksi Nematoda Menurut Anand dan Sharma (1997) infeksi nematoda (roundworm) yang sering
terjadi
adalah
askariasis,
infeksi
cacing
tambang,
trikuriasis,
strongyloidiasis, dan filariasis. 2.2.1.1 Askariasis Penyakit ini disebabkan Ascaris lumbricoides, yaitu cacing yang hidup di lumen usus halus manusia dengan panjang 10-15 cm. Cacing betina mengeluarkan telur dalam jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Infeksi terjadi karena konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur Ascaris. Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung), kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan, dan demam (Irianto, 2013).Rendahnya tingkat sanitasi dan kurangnya kebersihan personal merupakan penyebab utama menyebarnya penyakit ini. Oleh karena itu, penyakit ini umum terjadi pada orang yang tinggal di daerah kumuh yang padat penduduk (Anand dan Sharma, 1997). Askariasis tersebar di seluruh dunia dan menginfeksi sekitar 1000-1300 juta orang dan menyebabkan 20.000 kematian setiap tahun. Selain menyebabkan malnutrisi pada anak-anak, proses migrasi larva dari usus ke paru-paru juga menyebabkan pneumonia atipikal dengan inflamasi sel paru-paru dan hati, demam, dan eosinofilia. Cacing dewasa terkadang berpindah ke hati, usus buntu,
7 Universitas Sumatera Utara
esofagus, dan memblok saluran pencernaan yang dapat menyebabkan kolik (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.2 Infeksi cacing tambang Infeksi cacing tambang disebabkan oleh nematoda penghisap darah, Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum, dan Necator americanus pada saluran cerna manusia.Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung. Infeksi ini umum terjadi pada petani yang bekerja dengan bertelanjang kaki di lahan yang diberi pupuk kandang. Infeksi terjadi melalui larva infektif yang berpenetrasi menembus kulit dan memasuki sirkulasi darah. Larva ini akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan memperoleh makanan dengan mengisap darah inangnya melalui vili saluran pencernaan (Anand dan Sharma, 1997). Gejala utama infeksi ini adalah anemia hipokromik yang disebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar.Hal ini menyebabkan perasaan lemas, lunglai, anoreksia, dan menurunnya daya tahan tubuh. Infeksi cacing tambang juga menyebabkan gangguan dan rasa sakit pada saluran pencernaan. Anak-anak dengan infeksi berat menunjukkan pertumbuhan mental dan fisik yang buruk (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.3 Trikuriasis Penyakit ini disebabkan infeksi Trichuris trichiura, yang dikenal sebagai cacing cambuk. Cacing ini hidup menempel di saluran pencernaan terutama pada usus besar manusia. Infeksi disebabkan karena konsumsi air atau sayuran yang terkontaminasi telur T. trichiura. Infeksi ringan umumnya asimtomatis, namun
8 Universitas Sumatera Utara
infeksi berat Trichuris dapat menyebabkan anemia, eosinofilia, sakit perut, diare, kotoran berlendir, dan prolaps rektum (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.4 Strongiloidiasis Cacing tambangStrongyloides stercoralis juga menginfeksi manusia dengan menembus kulit dalam bentuk larva filariform. Cacing ini memiliki tubuh yang tipis seperti benang, sehingga disebut cacing benang. Cacing ini hidup di mukosa intestinal manusia (Anand dan Sharma, 1997). Pergerakan cacing dewasa dan larvanya menyebabkan perubahan patologis seperti inflamasi sel, reaksi alergi, dan eosinofilia. Gejala klinis penyakit ini adalah diare, sakit perut, dan gangguan pencernaan. Infeksi berat dapat menyebabkan malabsorpsi, flatulens, dan distensi abdominal (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.1.5 Filariasis Filariasis merupakan penyakit yang sering terjadi di daerah tropis. Penyebab utama penyakit ini adalah cacing Wucherecia bancrofti, Brugia malayi, Onchocerca volvulus, Loa loa, Dipetalonema perstans, D. streptocerca, dan Mansonella ozzardi. Nyamuk dan lalat merupakan inang perantara dalam siklus hidup cacing ini. Infeksi pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah manusia. Setelah mencapai sirkulasi darah, larva infektif akan berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup di nodus limfe, pembuluh limfe, jaringan penghubung dan organ tubuh lainnya (Anand dan Sharma, 1997). Gejala-gejala yang ditunjukkan infeksi ini adalah demam tinggi, kedinginan, membesarnya nodus limfe, rasa sakit dan bengkak pada testis. Pada infeksi kronis, obstruksi sistem limfatik menyebabkan pembesaran pada kaki
9 Universitas Sumatera Utara
(elephanthiasis), lengan, skrotum, dan dada. Terkadang cacing dewasa dapat bermigrasi ke bola mata dan menyebabkan kebutaan dan gangguan syaraf (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.2 Infeksi Trematoda Infeksi trematoda yang sering terjadi diantaranya adalah schistosomiasis dan fasciolopsiasis (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.2.1 Schistosomiasis Schistosomiasis
adalah
penyakit
kecacingan
pada
manusia
yang
disebabkan oleh invasi 4 spesies trematoda darah, yaitu Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum. Cacing dewasa memiliki alat reproduksi yang terpisah (Anand dan Sharma, 1997). Cacing dewasa Schistosoma hematobium menyebabkan schistosomiasis saluran kemih (bilharziasis).S. hematobium hidup di pembuluh darah pelvis dan terkadang di pembuluh darah kolon dan rektum. Cacing ini mengeluarkan telur bersama urin dari hospesnya, namun jarang melalui feses. Schistosoma lainnya (S.mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum) mengakibatkan bilharziasis internal dan hidup di peredaran darah, vena mesentrik, dan plexus hemoroid. Ketiga trematoda darah ini umumnya mengeluarkan telur bersama feses hospesnya, dan jarang melalui urin (Anand dan Sharma, 1997). Telur Schistosoma yang keluar dari tubuh hospes bersama tinja atau urin harus masuk ke dalam air agar dapat menetas menjadi larva mirasidium. Larva ini berenang mencari hospes perantara yaitu siput. Di dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista, dan akhirnya tumbuh menjadi serkaria yang infektif. Infeksi penyakit ini umumnya terjadi pada orang yang bekerja di sawah,
10 Universitas Sumatera Utara
danau, kolam, kanal, dan aliran air yang terkontaminasi oleh larva. Larva akan masuk ke dalam aliran darah dengan berpenetrasi menembus kulit (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.2.2 Fasciolopsiasis Beberapa cacing trematoda menginfeksi saluran cerna manusia dan hewan, sehingga disebut trematoda saluran pencernaan. Contohnya adalah Fasciolopsis buski, Heterophyses heterophyses, dan Metagonimus yokogawi. Infeksi terjadi melalui konsumsi buah atau tanaman air yang terkontaminasi larva cacing. Hospes perantara cacing ini adalah siput. Manifestasi klinis penyakit ini adalah sakit perut, diare, mual, muntah, dan anoreksia. Terkadang terjadi pembengkakan di wajah pada anak-anak (Anand dan Sharma, 1997). 2.2.3 Infeksi Cestoda Menurut Tjahyanto dan Salim (2013), infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah: 2.2.3.1 Ekinokokkosis Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh Echinococcus granulosis (cacing pita anjing). Infeksi menyebabkan kista hidatid yang besar di dalam hati, paru, dan otak. Reaksi anafilaktik terhadap antigen cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi jaringan yang terinfeksi dan diterapi dengan eksisi kista melalui pembedahan (Tjahyanto dan Salim, 2013).
11 Universitas Sumatera Utara
2.2.3.2 Taeniasis Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita babi). Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare. Walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh larva dari Taenia saginata (cacing pita sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013). Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat. Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2.3.3 Sistiserkosis Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala, dan muntah) dan di mata. Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013). 2.2.3.4 Difilobotriasis Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan). Cacing dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini
12 Universitas Sumatera Utara
ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).
2.3 Pengobatan Kecacingan Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar. Obat cacing baru umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Syarif dan Elysabeth, 2011). Menurut Holden-Dye dan Walker (2007), antelmintik dibagi menjadi 6 golongan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya yaitu: 2.3.1 Golongan piperazin Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing askaris dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis. Piperazin efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan Enterobiasis vermicularis(cacing kremi) (Syarif dan Elysabeth, 2011).
13 Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Golongan benzimidazol Benzimidazol
merupakan
antelmintik
berspektrum
luas
dengan
mekanisme kerja menghambat pembentukan sitoskeleton dengan berinteraksi secara selektif dengan ß-tubulin. Derivat benzimidazol adalah tiabendazol, mebendazol, dan albendazol (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.2.1 Tiabendazol Merupakan antelmintik derivat benzimidazol berspektrum luas dan efektif untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada manusia. Tiabendazol mempunyai daya antelmintik yang luas, efektivitasnya tinggi terhadap strongiloidiasis, askariasis, dan larva migrans kulit; berguna untuk mengobati trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya sama dengan derivat benzimidazol lainnya, misalnya dengan menghambat enzim fumarat reduktase cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.2.2 Mebendazol Mebendazol efektif untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, dan T. trichiura, sehingga efektif untuk mengobati infestasi campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol bekerja dengan menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.2.3 Albendazol Albendazol efektif dalam dosis tunggal untuk infeksi cacing kremi, cacing gelang, cacing trikuris, cacing S. stercoralis, dan cacing tambang. Juga merupakan obat pilihan untuk penyakit hidatid dan sistiserkosis. Obat ini bekerja dengan cara
14 Universitas Sumatera Utara
berikatan
dengan
ß-tubulin
parasit
sehingga
menghambat
polimerisasi
mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glukosa menurun dan pembentukan ATP berkurang dan menyebabkan kematian cacing. Obat ini dapat membunuh larva N.americanus dan juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang, dan trikuris (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.3 Golongan agonis reseptor nikotinik Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah pirantel pamoat dan morantel. 2.3.3.1 Pirantel pamoat Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing gelang, cacing kremi, dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2011).
2.3.3.2 Morantel Morantel adalah antelmintik tetrahidro pirimidin yang berguna untuk mengatasi infeksi cacing gelang dan cacing pita (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.4 Golongan spiroindol Paraherquamide A dan marcfortine A adalah anggota golongan oxindol alkaloid yang diisolasi dari Penicillum paraherquei dan P.roqueforti. Cara kerja antelmintik golongan ini adalah menimbulkan paralisis flasid pada cacing parasit dan sebagai antagonis kompetitif reseptor kolin (Holden-Dye dan Walker, 2007).
15 Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Golongan lakton makrosiklik Antelmintik yang termasuk golongan ini adalah avermektin dan ivermektin. 2.3.5.1 Avermektin Avermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces avermitilis. Obat ini efektif terhadap infeksi onchocersiasis dan strongiloidiasis. Cara kerjanya yaitu memperkuat peranan GABA pada proses transmisi di saraf tepi sehingga cacing mati dalam keadaan paralisis (Syarif dan Elysabeth, 2011). 2.3.5.2 Ivermektin Ivermektin adalah antelmintik semisintesis dari avermektin yang lebih efektif dan aman dibanding senyawa induknya (Holden-Dye dan Walker, 2007). 2.3.6 Golongan emodepsid Merupakan hasil fermentasi dari jamur Mycelia sterilia. Menyebabkan paralisis otot dengan mengganggu pertukaran ion kalsium dan kalium pada otot cacing (Holden-Dye dan Walker, 2007).
2.4 Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik Penggunaan tumbuhan untuk mengobati infeksi kecacingan telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Obat-obat tradisional ini digunakan sebagai kunci untuk mengembangkan obat-obatan modern. Senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan seperti alkaloid, flavonoid, glikosida, kalkon, kumarin, kuinolon, lignin, saponin, dan terpenoid memiliki potensi sebagai antelmintik. Studi invitro menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan dari famili Amaranthaceae,
Arecaceae,
Asteraceae,
Crassulaceae,
Dryopteridaceae,
16 Universitas Sumatera Utara
Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae, Rutaceae, Zingiberaceae, Apiaceae, dan Schropulariaceaemampu membunuh cacing parasit penyebab infeksi pada manusia (Padal, et al., 2014; Wink, 2012). Salah satu tumbuhan yang berkhasiat antelmintik adalah pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] yang merupakan famili Scrophulariaceae(Patilaya dan Husori,2015). Studi invitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu membunuh cacing parasit penyebab infeksi (Padal, et al., 2014).
2.5 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, sinonim, nama asing, nama daerah, khasiat dan kandungan senyawa kimia. 2.5.1 Morfologi tumbuhan Tumbuhan pugun tanoh memiliki tinggi 40 - 60 cm. Batangnya dengan cabang-cabang yang ramping, jarang, tegak atau melata, berakar dibuku-buku, dan berbulu halus padat.Daun berhadapan, bulat telur, pangkal daun membulat, ujung daun agak melancip, tepi daun bergerigi, berbulu halus. Pembungaan berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, daun gagang kecil,daun kelopak bunga berbentuk hati, mahkota bunga berbibir rangkap,bagian atas berwarna coklat kemerah-merahan, bagian bawah berwarna putih, gundul bagian luar, bagian dalam ada kelenjar bulu. Buah berupa kapsul, berbentuk bulat telur, padat, panjangnya sekitar 3-4 mm, berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji membulat, diameter sekitar0,6 mm (Prohati, 2015).
17 Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Sistematika tumbuhan Sistematika tumbuhan puguh tanoh menurut Tjitrosoepomo (2001), adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Scrophulariales
Suku
: Scrophulariaceae
Marga
: Curanga
Spesies
: Curanga fel-terrae
2.5.3 Sinonim Sinonim dari pugun tanoh adalah Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss.,CuraniaamaraR&S., Gratiola amara Roxb.,Picria fel-terrae Lour., dan Torenia cardiosepala Benth. 2.5.4 Nama asing Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta tjao (Cina), longritong (india) (Quattrocchi, 2012), kong saden (Laos), dan thanh (Vietnam) (Globinmed, 2015). 2.5.5 Nama daerah Pugun tanoh dikenal dengan nama daerah pugun taneh (Karo), kukurang, mempedu tanah (Maluku), tamah raheut (Sunda), kerut, kerut mea, parang
18 Universitas Sumatera Utara
raindang, parang rintek (Minahasa), ai laun ujin (Ambon), dan papaita (Ternate) (Heyne, 1987). 2.5.6 Kandungan kimia tumbuhan Daun pugun tanoh mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, triterpenoid (Patilaya dan Husori, 2015), ß-sitosterol (Sitorus, dkk., 2014), apigenin (Huang et al., 2011), dan curangin (Heyne,1987). 2.5.7 Khasiat tumbuhan Di Maluku dan Filipina, tanaman ini dianggap sebagai obat cacing untuk anak-anak, untuk mengobati kolik (mulas mendadak) dan malaria. Di Indonesia, tapel daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Infusa dari daun bersama dengan daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada. Maserasi daun dengan alkohol dianggap sebagai tonik (untuk menguatkan badan dan meningkatkan nafsu makan)(Prohati, 2015). Pugun tanoh juga memiliki efek diuretik (Dalimunthe, 2015), antikanker (Satria, 2015), antidiabetes (Sitorus, 2014), menyembuhkan luka bakar (Ramadhani, 2014), dan antiasma (Harahap, 2013).
2.6 Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan, atau eksudat tumbuhan (Ditjen, POM., 2000).
19 Universitas Sumatera Utara
2.7 Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk atau massa yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen, POM., 2000). 2.7.1 Metode ekstraksi Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara yaitu: 2.7.1.1 Metode dingin Ekstraksi dengan metode dingin terdiri dari 2 metode yaitu maserasi dan perkolasi (Ditjen, POM., 2000). a. Maserasi Maserasi adalah proses pengeekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen, POM., 2000). b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus
20 Universitas Sumatera Utara
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Ditjen, POM., 2000). 2.7.1.2 Metode panas Ekstraksi dengan metode panas terdiri dari 5 metode yaitu refluks, soxhlet, digesti, infundasi, dan dekoktasi (Ditjen, POM., 2000). a. Refluks Refluks
adalah
proses
penyarian
simplisia
pada
temperatur
titik
didihnyamenggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu. b. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. c. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C. d. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit. e. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.
21 Universitas Sumatera Utara
2.8 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak 2.8.1 Organoleptik Pemeriksaan organoleptik bertujuan untuk pengenalan awal simplisia dan ekstrak yang sesederhana dan seobyektif mungkin. Prinsipnya adalah penggunaan panca indra untuk pengenalan bentuk, warna, bau, dan rasa (Ditjen, POM., 2000). 2.8.2 Mikroskopik Uji mikroskopik mencakup pengamatan terhadap bagian simplisia dan fragmen pengenal dalam bentuk sel, isi sel atau jaringan tanaman serbuk simplisia secara umum dilakukan di bawah mikrokop (Depkes, RI., 1979). 2.8.3 Rendemen Rendemen adalah perbandingan berat akhir (berat simplisia atau ekstrak yang dihasilkan) dengan berat awal (berat daun atau berat simplisia yang digunakan) dikalikan 100% (Sani, dkk., 2014). 2.8.4 Kadar air Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Dapat dilakukan dengan cara titrasi, destilasi, atau gravimetri (Ditjen, POM., 2000). 2.8.5 Kadar abu Tujuan penetapan kadar abu adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur di mana senyawa organik dan turunannya terdekstruksi dan menguap, sehingga yang tertinggal adalah unsur mineral dan organik (Ditjen, POM., 2000).
22 Universitas Sumatera Utara
2.8.6 Kadar sari Penetapan kadar sari bertujuan untuk menentukan jumlah senyawa aktif yang terekstraksi dengan pelarut yang digunakan. Digunakan untuk simplisia yang belum diketahui pelarut apa yang paling sesuai untuk ekstraksinya (WHO., 1998).
2.9 Metode Uji Aktivitas Antelmintik 2.9.1 Metode uji invitro Penelitian secara invitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti di luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratorium. Penelitiandaya antelmintik secara invitro yang dilakukan adalah dengan metode perendaman yaitu cacing direndam didalam larutan obat dan efek yang timbul diamati. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015). Parameter dari uji antelmintik secara invitro adalah waktu paralisis dan waktu kematian cacing. Waktu paralisis dinyatakan apabila cacing tidak bergerak kecuali apabila diguncang dengan kuat. Waktu kematian dinyatakan apabila cacing tetap tidak bergerak meskipun jika dicelupkan ke dalam air hangat bersuhu 40-50°C dan cacing kehilangan warna tubuhnya (Bora et al., 2014). 2.9.2 Metode uji invivo Ujiinvivo adalah uji yang dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup (Dorland, 2012). Uji antelmintik secara invivo dilakukan dengan menginfeksi hewan seperti tikus, domba, kambing, atau hewan lainnya dengan cacing parasit,
23 Universitas Sumatera Utara
laludiberi perlakuan dengan ekstrak atau obat yang diuji yang kemudian dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Pengaruh pemberian ekstrak atau obat yang diuji dievaluasi dengan membandingkanjumlah telur cacing dalam tiap gram sampel tinja, dan jumlah cacing pada saat dinekropsi antarakelompok
perlakuan
dengan
kontrol
tidak
diobati.Sampel
tinja
dikumpulkanuntuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja.Kemampuan sediaan uji sebagai antelmintik diukur dengan menghitung persentasepenurunan produksi telur cacing (fecal egg count reduction/FECR) dan prosentase pernurunan jumlahcacing (worm count reduction/WCR) setelah pemberian ekstrak atau obat yang diuji (Ridwan, 2010).
24 Universitas Sumatera Utara