BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakang busur yang dibatasi oleh Bukit Barisan di sebelah barat dan Paparan Sunda di sebelah timur. Cekungan Sumatera Selatan terbentuk pada periode tektonik ektensional Pra-Tersier sampai Tersier Awal yang berarah relatif barat – timur.
Gambar 2.1 Cekungan Sumatera Selatan (Anonim, 2006)
5
6
2.2.
Tektonik Regional Cekungan Sumatera Selatan
Struktur Cekungan Sumatera Selatan yang ada saat ini merupakan hasil dari 3 periode, yaitu :
Periode 1, terbentuknya horst graben berarah timurlaut – baratdaya dan utara – selatan selama periode ekstensional Kapur Akhir – Oligosen Awal. Sedimen pengisinya merupakan sedimen klastik kasar dan vulkanuklastik, serta lingkungannya pengendapannya darat atau lakustrin.
Periode 2, graben yang terbentuk mengalami subsidence sampai periode dimana tektonik tidak aktif (Oligosen Akhir – Miosen Awal), kemudian cekungan berada pada lingkungan laut. Pada Miosen Awal – MiosenTengah mulai terjadi aktivitas tektonik yang menghasilkan lipatan kompresional dikarenakan adanya subduksi oblique dari lempeng samudera yang berada di sebelah tenggara pulau Sumatera.
Periode 3, pada Pliosen – Plistosen terjadi tektonik kompresional yang sangat kuat disertai uplifting busur vulkanik ke arah barat sehingga mengaktifkan kembali fitur-fitur struktur sebelumnya, yaitu sesar normal menjadi sesar naik.
7
Gambar 2.2 Kerangka Tektonik Cekungan Sumatera Selatan (Anonim, 2006)
2.3.
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dikelompokan menjadi 2, yaitu Kelompok Telisa yang merupakan formasi-formasi yang terbentuk pada fase transgresi dan Kelompok Palembang yang terbentuk pada fase regresi.
8
Gambar 2.3 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan (Anonim, 2006)
2.3.1. Kelompok Telisa 2.3.1.1. Formasi Lahat Formasi Lahat merupakan suatu rangkaian breksi vulkanik tebal, tuf, endapan lahar dan aliran lava, serta dicirikan dengan kehadiran sisipan lapisan batupasir kuarsa. Anggota Formasi Lahat dari tua ke muda adalah Kikim Bawah, anggota batupasir kuarsa, Kikim Atas.
9
Formasi Lahat diendapan pada lingkungan darat, serta berumur Eosen – Oligosen Awal.
2.3.1.2. Formasi Talang Akar Setelah pengendapan Formasi Lahat, terjadi proses erosi secara regional. Bukti erosi ini diperlihatkan oleh Formasi Talang Akar yang terendapkan tidak selaras diatas Formasi Lahat. Setelah masa hiatus umur Oligosen Tengah, kemudian diendapkan sedimen pada topografi yang rendah pada Oligosen Akhir. Variasi lingkungan pengendapannya berkisar dari lingkungan sungai teranyam dan sungai bermeander yang berangsur berubah menjadi lingkungan delta front dan lingkungan prodelta. Formasi Talang Akar berakhir pada masa transgresi maksimum dengan munculnya endapan laut pada cekungan selama Miosen Awal.
2.3.1.3. Klastik Pra-Baturaja Formasi ini merupakan sedimen klastik dengan variasi yang kompleks yang ditemukan di antara Formasi Lahat dan Formasi Baturaja lingkungan laut, berumur Miosen awal. Bagian dasarnya yang berupa sedimen vulkaniklastik dan lempung lakustrin disebut Formasi Lemat.
10
Formasi Lemat merupakan fasies distal dari Formasi Lahat, atau dapat dikatakan juga sebagai unit yang lebih muda dan kaya akan material jatuhan dari Formasi Lahat. 2.3.1.4. Formasi Baturaja Formasi Baturaja dicirikan denga kehadiran batugamping yang berada di sekitar bagian dasar Formasi Telisa. Formasi Baturaja ini masuk ke dalam rentang umur yang ekuivalen dengan foraminifera planktonik dengan kisaran umur N5 – N6 atau Miosen Awal.
2.3.1.5. Formasi Telisa / Formasi Gumai Puncak transgresi pada Cekungan Sumatera Selatan dicapai pada waktu pengendapan Formasi Gumai, sehingga formasi ini mempunyai penyebaran yang sangat luas pada Cekungan Sumatera Selatan. Formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Baturaja dan anggota Transisi Talang Akar. Dicirikan dengan adanya serangkaian batulempung tebal berwarna abu-abu gelap. Terdapat foraminifera planktonik yang membentuk lapisan tipis berwarna putih, tuf berwarna keputihan serta lapisan turbidit berwarna coklat yang tersusun atas material andesit tufaan. Pada bagian atas formasi banyak ditemukan lapisan berwarna coklat dengan nodul lensa karbonatan berdiameter sampai 2 nmeter. Umur dari formasi ini sangat beragam. Ketika batugamping Baturaja tidak berkembang, pada bagian dasarnya lapisan Formasi Telisa memiliki zona N4
11
foraminifera planktonik (Miosen Awal), sedangkan saat dimana Baturaja berkembang dengan tebal, lapisan tertua Formasi Telisa memiliki zona fauna N6 atau N7 (Miosen Awal). Bagian atasnya juga bervariasi dari zona N8 (Miosen Awal) hingga N10 (Miosen Tengah), bergantung pada posisi cekungan dan dimana letak penentuan batas formasi.
2.3.2. Kelompok Palembang 2.3.2.1. Formasi Air Benakat Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atar Formasi Gumai, dan merupakan awal fase regresi. Didominasi oleh shale sisipan batulanau, batupasir dan batugamping. Ketebalannya antara 100 – 1000 meter. Berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, dan diendapkan di lingkungan laut dangkal.
2.3.2.2. Formasi Muara Enim Bagian atas dan bawah formasi ini dicirikan oleh keterdapatan lapisan batubara yang menerus lateral. Ketebalan formasi sekitar 500 – 700 meter, 15% nya berupa batubara. Bagian formasi yang menipis, lapisan batubaranya pun tipis atau bahkan tidak ada. Hal ini menunjukan bahwa tingkat subsidence berperan penting dalam pengendapan batubara. Formasi Muara Enim berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal, dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marine.
12
2.3.2.3. Formasi Kasai Litologi Formasi Kasai berupa pumice tuff, batupasir tufaan dan batulempung tufaan. Fasies pengendapannya fluvial dan alluvial fan dengan sedikit ashfall (jatuhan erupsi vulkanik, non-andestik). Pada Formasi Kasai hanya ditemukan sedikit fosil, beupa moluska air tawar dan fragmen-fragmen tumbuhan. Umur Formasi Kasai adalah Pliosen Akhir – Plistosen.
2.4.
Geologi Daerah Penelitian
Lapangan Izzati berada pada Blok Jabung, Sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan, daerah penelitian difokuskan pada Formasi Gumai. Kondisi geologi Lapangan Izzati sama dengan kondisi geologi Blok Jabung yang proses pembentukannya dibagi menjadi dua periode, yaitu prose pembentukan batuan PraTersier dan Batuan Tersier. Batuan Pra-Tersier memiliki beragam litologi, tetapi pada umumnya adalah granit dengan sedikit didominasi oleh batuan sedimen teralterasi serta batugamping. Batuan Tersier tersusun oleh sikuen yang sangat mirip dengan yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan. Dimulai dari Syn-Rift Megasequence (40 – 29 Ma) yang merupakan hasil dari gaya ekstensional pada Eosen – Oligosen Awal, membentuk half-graben yang besar serta merupakan awal sedimentasi, yaitu Formasi Lahat, Formasi Lemat dan Formasi Talang Akar Bawah.
13
Post-Rift Megasequence (29 – 5 Ma) yang terbentuk pada saat proses rifting berhenti. Adanya pembebanan termal mengakibatkan cekungan mengalami subsidence yang kemudian diisi oleh Formasi Talang Akar Atas dan Formasi Baturaja. Dilanjutkan dengan pengendapan sedimen laut hingga laut dalam, yaitu Formasi Telisa/Gumai sebagai pengaruh dari tingkat subsidence yang tinggi dan muka air laut relatifnya tinggi. Hal ini disebabkan oleh lamanya fase transgresi. Pada saat proses subsidence mulai melambat dan/atau supply sedimen meningkat (16 – 5 Ma), Formasi Air Benakat dan Muara Enim mulai terendapkan. Yang terakhir adalah fase Syn-Orogenic / Inversion Megasquence (5 Ma – present), yaitu proses terjadinya kompresi tektonik yang mengakibatkan terbentuknya Bukin Barisan. Terbentuk pula perpanjangan
lipatan-lipatan berarah baratlaut –
tenggara di sepanjang cekungan. Cekungan mengalami subsidence terus-menerus sebagaimana supply sedimen yang kian meningkat karena terjadi erosi Bukit Barisan. Arah erosi ke selatan dan barat, menghasilkan endapan Formasi Kasai dan endapan aluvium seperti yang nampak saat ini.
14
Gambar 2.4 Stratigrafi Umum Blok Jabung, Sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan (Petrochina, 1998 dalam Saifuddin dkk., 2001)
15
2.5.
Fasies
Fasies adalah suatu kenampakan lapisan atau kumpulan lapisan batuan yang memperlihatkan karakteristik, geometri dan sedimentologi tertentu yang berbeda dengan sekitarnya (Boggs, 1987). Perbedaan karakteristik yang menjadi dasar bagi pengamatan fasies bisa ditinjau dari berbagai hal seperti karakter fisik dari lithologi (lithofacies), kandungan biogenic (biofacies), atau berdasarkan pada metoda tertentu yang dipakai sebagai cara pengamatan fasies contohnya fasies seismik atau fasies log. Menurut Walker (1992), fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dikarekteristikan oleh kombinasi dari lithologi, struktur fisik dan biologi yang merupakan aspek pembeda dari tubuh batuan di atas, di bawah, ataupun disampingnya. Sedangkan menurut Yarmanto dkk. (1997), fasies merupakan kenampakan menyeluruh suatu tubuh batuan sedimen, berdasarkan pada gambaran khususnya (tipe batuan, kandungan mineral, struktur sedimen, perlapisan, fosil, kandungan organik) yang dapat membedakannya dengan tubuh batuan yang lainnya. Suatu fasies akan mencerminkan suatu mekanisma pengendapan tertentu atau berbagai mekanisma yang bekerja serentak pada saat yang bersamaan. Fasies ini dapat dikombinasikan menjadi asosiasi fasies (facies associations) yang merupakan merupakan suatu kombinasi dari dua atau lebih fasies yang membentuk tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi yang secara genetik saling berhubungan pada suatu
lingkungan
pengendapan.
Asosiasi
fasies
pengendapan atau proses dimana fasies itu terbentuk.
mencerminkan
lingkungan
16
Sedangkan yang dimaksud dengan suksesi fasies (facies succession) adalah suatu bagian vertikal dari fasies dikarakteristikan oleh perubahan yang meningkat pada satu atau beberapa parameter seperti ukuran butir maupun struktur sedimen. Dikenal juga architectural elements yang merupakan suatu morfologi dari sistem pengendapan tertentu yang dikarakteristikan oleh pengelompokan fasies, geometri fasies, dan proses pengendapan.
2.6.
Konsep Dasar dan Jenis Well Log
Log adalah suatu grafik kedalaman, dari satu set data yang menunjukkan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah sumur ( Adi Harsono, 1997). Log sangat membantu dalam menentukan karakter fisik dari batuan seperti litologi, porositas, dan permeabilitas. Data hasil logging ini digunakan untuk mengidentifikasi zona-zona produktif, kedalaman, ketebalan, dan membedakan fluida baik itu minyak, gas, dan air, sehingga dapat menghitung cadangan hidrokarbon di dalam suatu reservoir.
2.6.1. Log Radioaktif 2.6.1.1. Log Gamma Ray Log Gamma Ray adalah suatu pengukuran terhadap kandungan radioaktivitas alam dari suatu formasi, yang radioaktifnya berasal dari tiga unsur radioaktif yang ada di dalam bumi yaitu Uranium-U, Thorium-Th, dan Potasium-K. Sinar gamma sangat
17
efektif untuk membedakan lapisan permeabel dan yang tidak permeabel karena radioaktif cenderung berpusat dalam serpih yang tidak permeabel (kurva log GR defleksi ke kanan), sedangkan untuk lapisan permeabel unsur radioaktif jumlahnya sedikit (kurva log GR defleksi ke kiri). Log GR diskala dalam satuan API (American Petroleum Institute). Log Gamma Ray digunakan juga dalam korelasi pada sumur yang berselubung, korelasi dari sumur ke sumur sangat baik karena sejumlah tanda-tanda perubahan litologi hanya akan terlihat dengan jelas pada jenis log ini. Gabungan perekaman CCL (Casing Collar Locator) memungkinkan alat perforasi diposisikan dengan tepat di depan formasi yang akan dibuka. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa kegunaan dari log GR adalah sebagai berikut: 1. Evaluasi lapisan yang berpotensi banyak radioaktif sehingga disimpulkan sebagai lapisan shale 2. Korelasi log antar sumur 3. Penentuan lapisan permiabel dan tidak permeabel dengan pencocokan dengan karakteristik log-log lainnya. 4. Evaluasi kandungan serpih
18
2.6.1.2. Log Neutron Log Neutron memberikan suatu perekaman reaksi formasi terhadap penambahan neutron ditentukan dalam neutron porosity unit. Log ini mencerminkan banyaknya atom hidrogen (hydrogen index) dalam formasi. Suatu formasi menunjukkan nilai neutron yang tinggi saat formasi tersebut mengandung hidrogen, dalam konteks geologi berarti formasi tersebut ter-supply oleh air. Log ini prinsipnya mengukur kandungan air dalam formasi, maupun ikatan air, air yang terkristalisasi atau free pore water. Kandungan hidrogen ini seperti yang telah disebutkan sebelumnya disebut Hydrogen Index (HI). Namun pada aplikasi di dunia migas, ketertarikan pada indeks ini hanya karena untuk penentuan pori yang biasanya diisi oleh air atau jenis fluida lainnya. Jadi berdasarkan indikasi adanya porositas tersebut dapat ditentukan neutron porosity unitnya. Nilai porositas ini bernilai maksimal pada clean limestones, dan bernilai berbeda pada litologi lainnya. Biasanya semakin banyak fluida dalam formasi akan memberikan pembacaan porositas yang tinggi sebab fluida menunjukkan pori-pori batuannya besar hingga harga porositas neutronnya tinggi. Secara kuantitatif log neutron digunakan untuk mengukur porositas dan juga pembeda yang sangat baik antara minyak dan gas. Secara pendekatan geologi dapat digunakan untuk menentukan litologi, evaporasi, dan kenampakan pada batuan vulkanik. Jika dikombinasikan dengan log density pada skala tertentu, merupakan indikator litologi yang terbaik.
19
2.6.1.3. Log Densitas Prinsip kerja log densitas ini adalah sumber radioaktif yang ada pada alat akan memancarkan gamma rays ke dalam formasi dengan energi sebesar (0.2 – 2.0 Mev) dan memperhitungkan pengurangan radioaktivitas antara sumber dan detektor. Analoginya, seperti halnya hubungan fisika pada pengurangan elektron pada hukum penyebaran Compton, proses ini merupakan fungsi dari jumlah elektron yang dikandung pada suatu formasi. Pada formasi yang densitasnya tinggi pengurangan elektron sangat signifikan dan hanya sedikit sinar gamma yang mampu mencapai detektor menunjukkan kehilangan energi yang besar, sedangkan pada formasi yang densitasnya rendah, energi yang dapat atau sinar gamma yang mencapai detektor tinggi. Sumber radioaktif yang digunakan adalah Cs137. Pada prinsipnya Log Densitas mengukur densitas elektron pada formasi yang dinyatakan dalam satuan gram/cc. Hasil perekaman log densitas biasanya dalam skala bulk density (b). Secara kuantitatif log densitas digunakan untuk menghitung porositas dan secara tidak langsung untuk menentukan densitas hidrokarbon. Log dapat pula membantu perhitungan acoustic impedance dalam kalibrasi pada seismik. Secara kualitatif log ini berguna sebagai indikator penentuan litologi, yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi densitas mineral-mineral, lebih jauh lagi dapat memperkirakan kandungan organik dari source rock dan dapat mengidentifikasi overpressure dan fracture porosity.
20
2.6.2. Log Elektrik Digunakan untuk mengukur sifat kelistrikan batuan, yaitu resistivity atau tahanan jenis dan potensial diri batuan.
2.6.2.1. Spontaneous Potential Log (SP Log) Merupakan pengukuran perbedaan potensi alam berupa selisih antara sebuah elektroda yang ditempatkan di permukaan tanah dengan yang diturunkan ke dalam lubang bor, dengan satuan milivolt. Prinsip penggunaan dari log SP adalah dengan mengukur resistivitas formasi air, untuk menentukan permiabilitas, memperkirakan volume shale, menentukan fasies dan korelasi. Tiga faktor yang diperlukan dalam menentukan arus SP : fluida yang konduktif dalam lubang bor, lapisan yang berpori dan permeabel dikelilingi oleh formasi yang impermiabel dan perbedaan salinitas (atau tekanan) antara fluida di lubang bor dan di dalam formasi. Log ini bekerja berdasarkan perbedaan konsentrasi keseragaman antara air lumpur dengan air formasi hingga kurva log SP mengalami defleksi baik positif ataupun negatif. Defleksi negatif terjadi apabila salinitas formasi lebih besar dari salinitas lumpur, dan defleksi positif akan terjadi apabila salinitas formasi lebih kecil dari salinitas
21
lumpur, sedangkan bila salinitas keduanya sama, maka kurva log SP akan merupakan suatu garis lurus (Shale base line) atau potensi shale muncul. Log SP memiliki beberapa kegunaan, yaitu :
Mencari zona-zona yang permiabel.
Parameter untuk menghitung harga resistivitas air formasi (Rw).
Menghitung banyaknya lempung dalam suatu reservoir.
Mencari batas-batas lapisan permeabel dan korelasi sumur berdasarkan batas tersebut.
2.6.2.2. Log Resistivitas Resistivitas adalah kemampuan batuan untuk menghambat jalannya arus listrik yang bergantung kepada sifat atau karakter fisik batuan diantaranya porositas, salinitas dan jenis batuan. Jadi log resistivitas merupakan pengukuran dari sifat resistivitas formasi. Beberapa hal yang dapat dianalisis dalam log resistivitas adalah sebagai berikut: :
Lapisan permiabel yang mengandung air tawar, harga resistivitas akan tinggi, karena air tawar bersifat isolator.
Lapisan permiabel yang mengandung air asin, harga resistivitas akan rendah, karena salinitas air asin lebih tinggi serta bersifat konduktif.
Lapisan yang mengandung hidrokarbon harga resistivitas akan tinggi karena hidrokarbon bersifat resistif.
22
Matriks batuannya yang berada dalam keadaan kering bersifat isolator sehingga resistivitas akan tinggi.
Pada lapisan dengan sisipan shale, harga resistivitas akan tergantung kepada presentase sisipan, ketebalan tiap lapisan dalam sistem berselang – seling tersebut, dan resolusi vertikal dari lognya. Log resistivitas yang tersaji dalam bentuk kurva log resistivitas ini merupakan
hasil dari pengukuran tahanan jenis formasi. Cara yang dilakukan untuk dapat menghasilkan kurva ini adalah dengan mengalirkan arus listrik ke dalam formasi kemudian mengukur kemampuan formasi tersebut untuk menghantarkan arus listrik. Selain itu juga, kurva log ini dapat diperoleh dengan menginduksikan arus listrik ke dalam formasi dan mengukur besarnya induksi tersebut. Resistivitas formasi sebenarnya tergantung dari jenis kandungan fluidanya, arus listrik dapat mengalir dalam formasi akibat dari adanya air sedangkan minyak dan gas tidak mengalirkan arus sehingga parameter terbatas pada air yang dikandung oleh formasi dan diukur dengan peralatan yang khusus pula. Resistivitas formasi tergantung dari:
resistivitas air formasi yang dikandungnya
jumlah air formasi yang ada
struktur geometri pori-pori
23
2.6.2.3. Log Akustik / Sonic Log Berfungsi untuk mendapatkan harga porositas dari batuan dengan memancarkan gelombang suara dari transmitter dan akan diterima oleh receiver. Harga porositas akan berbanding terbalik terhadap waktu rambat gelombang suara tersebut. Prinsip kerja dari log akustik adalah dengan menggunakan gelombang suara yang dikirimkan oleh pemancar (transmitter) kemudian dihitung selang waktu rambatan (t) yang sampai pada alat penerima (receiver). Interval Transit Time (t) adalah waktu yang dibutuhkan oleh gelombang suara kompresional untuk melewati atau menembus kedalaman 1 kaki dari formasi yang ditembusnya, berbanding terbalik dengan kecepatannya, dan tergantung pada porositas dan karakteristik litologi suatu formasi. Yang termasuk ke dalam jenis log ini adalah Log Sonik (misalnya : Borehole Compensated Sonic Log), sedangkan besaran yang dipakai oleh log ini umumnya adalah microsecond per feet (s/ft). Perangkat kerja yang terpenting dari log sonik terdiri dari satu pemancar dan dua penerima, kecuali pada Borehole Compensated (BHC). Susunannya terdiri dari dua pasang pemancar dan penerima yang menempel berlawanan arah. Pemancar pertama sebagai pemancar bagian bawah, yang dimaksudkan untuk mengimbangi efek dari lubang bor. Secara kuantitatif log sonik ini digunakan untuk :
menentukan porositas
24
menentukan selang kecepatan (Interval Velocity)
melakukan kalibrasi seismic Sedangkan secara kualitatif digunakan untuk :
menentukan litologi
korelasi antar sumur pemboran
evaluasi batuan sumber hidrokarbon
Tabel 2.1 Konsep dasar wireline beserta fungsi dan tujuannya (Adi Harsono, 1997) Jenis Log
Fungsi Kualitatif
Fungsi Kuantitatif
Spontaneous Potensial (SP)
- Identifikasi lapisan permeabel - Identifikasi fasies - Korelasi antar sumur
- Untuk mengetahui harga Resistivitas air formasi (Rw) - Untuk menghitung volume shale
Gamma Ray (GR)
- Menentukan shale - Membedakan litologi - Identifikasi fasies - Identifikasi sequence - Korelasi antar sumur
- Untuk mengetahui harga Resistivitas air formasi (Rw) - Menghitung volume shale
Resistivitas
- Identifikasi litologi - Identifikasi fasies - Identifikasi fluida formasi
- Menghitung volume shale (Vsh) - Menghitung formasi
RHOB
- Identifikasi litologi - Identifikasi kandungan fluida
- Menghitung saturasi
NPHI
-Identifikasi fluid dalam pori bersama dengan log densitas - Porositas - Identifikasi litologi
25
2.7.
Konsep Motif Log
Konsep motif log adalah suatu metode yang mengkorelasikan bentuk pola log yang sama. Menurut Walker dan James (1992), pola-pola log menunjukkan energi pengendapan yang berubah, yakni berkisar dari energi tingkat tinggi sampai rendah. Dalam interpretasi geologi, suatu lompatan (looping) dilakukan dari energi pengendapan sampai lingkungan pengendapan, pola-pola log selalu diamati pada kurva gamma ray atau spontaneous potential, tetapi kesimpulan yang sama juga dapat didukung dari log Neutron-Density. Log sumur memiliki beberapa bentuk dasar yang bisa mencirikan karakteristik suatu lingkungan pengendapan. Bentuk-bentuk dasar tersebut dapat berupa cylindrical, irregular, bell, funnel, symmmetrical, dan asymmetrical (Walker & James, 1992).
2.7.1. Cylindrical Bentuk ini cenderung diminati oleh para ahli geologi karena dianggap sebagai bentuk dasar yang merepresentasikan homogenitas. Bentuk cylindrical diasosiasikan dengan endapan sedimen braided channel, estuarine, atau sub-marine channel fill, anastomosed channel, eolian dune, dan tidal sands.
26
2.7.2. Irregular Meskipun bentuk irregular merupakan bentuk yang kurang disukai, namun di lain pihak, bentuk ini cenderung terlalu mudah untuk dianggap sebagai interpretasi awal yang menyesatkan (misleading). Bentuk irregular diasosiasikan dengan endapan sedimen alluvial plain, flood plain, tidal sands, shelf, atau back barriers. Umumnya mengindikasikan lapisan tipis silang siur (thin interbedded). Unsur endapan tipis mungkin berupa crevasse splay, over bank deposits dalam laguna, turbidit dalam lingkungan air dalam, atau lapisan-lapisan yang teracak. Dengan diintegrasikannya analisis berskala mikro dan pemahaman mengenai kualitas reservoar, terbukti bahwa lapisan-lapisan yang semula dianggap tidak prospek dan tidak produktif berubah statusnya menjadi lapisan yang prospek dan produktif.
2.7.3. Bell shaped Bentuk bell ini selalu diasosiasikan sebagai fining upward. Pengamatan membuktikan bahwa range besar butir pada setiap level cenderung sama, namun jumlahnya memperlihatkan gradasi (fraksi butir halus dalam artian lempung yang bersifat radioaktif makin banyak ke arah atas, dan bukan menghalus ke atas). Interpretasi fining-upward merepresentasikan keheterogenitasan batuan reservoar. Bentuk bell merupakan rekaman dari endapan point bars, tidal deposits,
27
transgressive shelf sand (tide and storm dominated), submarine channel dan endapan turbidit.
2.7.4. Funnel shaped Bentuk funnel merupakan kebalikan dari bentuk bell dengan dampak ketidaksesuaian batas geologi dan tata waktu/runtunannya, dan selalu diasosiasikan sebagai coarsening-upward. Pengamatan juga membuktikan bahwa range besar butir pada setiap level cenderung sama, namun jumlahnya memperlihatkan gradasi (fraksi butir kasar makin banyak ke arah atas dan bukan mengkasar ke atas). Bentuk funnel merupakan hasil dari delta front (distributary mouth bar), crevasse splay, beach and barrier beach (barrier island), strandplain, shoreface, prograding (shallow marine) shelf sands, submarine fan lobes.
2.7.5. Symmetrical shaped Bentuk symmetrical merupakan keserasian kombinasi bentuk bell-funnel. Kombinasi coarsening-fining upward ini dapat dihasilkan oleh proses bioturbasi, selain setting secara geologi yang merupakan ciri dari shelf sand bodies, submarine fans dan sandy offshore bars. Bentuk asymmetrical merupakan ketidakselarasan secara proporsional dari kombinasi bell-funnel pada lingkungan pengendapan yang sama.
28
Gambar 2.5 Klasifikasi elektrofasies berdasarkan respon log (Walker&James, 1992)
Gambar 2.6 Gambaran umum respon kurva log gamma ray terhadap variasi ukuran butir (Walker & James, 1992)
29
2.8.
Konsep Dasar Metode Seismik
Metode seismik adalah metode pemetaan struktur geologi yang menggunakan gelombang akustik yang ditembakan kedalam bumi dan menganalisa gelombang hasil pantulanya. Prinsip dasar metode seismik adalah perambatan energi gelombang seismik yang ditimbulkan oleh sumber getaran dari permukaan bumi ke dalam bumi atau formasi batuan, kemudian dipantulkan ke permukaan oleh bidang pantul yang merupakan bidang batas lapisan yang memiliki akustik impedansi yang berbeda. Salah satu sifat akustik yang khas pada batuan adalah impedansi akustik yang merupakan hasil perkalian antara densitas Batuan dan kecepatan, dimana didapatkan persamaan :
IA
: Impedansi akustik
ρ
: Densitas batuan (gr/cc)
V
: Kecepatan (m/s)
Impedansi akustik secara umun dianggap sebagai ukuran dari acoustic hardness (kekuatan batuan untuk berubah). Dengan melihat hal tersebut dan berdasarkan fakta bahwa kekuatan batuan untuk berubah juga bergantung pada ukuran elastis, selanjutnya kita dapat mengatakan bahwa impedansi akustik adalah bagian daripada accoustic hardness.
30
Impedansi akustik merupakan sifat batuan yang dipengaruhi oleh sifat fisik batuan (litologi, porositas). Semakin keras suatu batuan maka Impedansi Akustiknya akan semakin besar pula, sebagai contoh : batugamping yang sangat kompak memiliki nilai Impedansi Akustik yang lebih besar dibandingkan dengan batulempung. Dalam menentukan nilai Impedansi Akustik kecepatan mempunyai peranan lebih penting daripada densitas, dikarenakan porositas batuan yang terisi oleh fluida (gas, minyak, air). Fluida akan mempengaruhi nilai kecepatan daripada nilai densitas batuan. Kecepatan merambat gelombang atau suara akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman. Semakin dalam maka batuan akan semakin kompak karena efek dari tekanan dan diagenesis batuan. Maka dari itu kecepatan merambat gelombang atau suara akan meningkat seiring dengan semakin kompaknya batuan.
2.8.1. Metoda Kriging Metoda kriging adalah metoda statistik yang digunakan untuk memperkirakan peta struktur waktu. Kriging adalah proses yang menggunakan model matematika dari nilai korelasi antar sumur guna memperkirakan nilai-nilai antar sumur dan di luar sumur. Metoda interpolasi kriging dianggap metoda yang terbaik dalam memperkirakan peta struktur waktu pada daerah yang kekurangan data sumur, dikarenakan kita dapat
31
memperoleh hasil peta struktur waktu yang meyakinkan antara peta struktur yang diperoleh dari sumur.
2.8.2. Atribut Seismik Atribut seismik merupakan pengukuran kuantitatif dari karakteristik seismik, seperti amplitudo, dip, frekuensi, fase, dan polarity yang berguna untuk membantu interpretasi struktur geologi, stratigrafi, serta kandungan fluida pada batuan. Secara garis besar, atribut seismik dibagi menjadi dua, yaitu atribut seismik geometri yang berhubungan dengan karakteristik geometri dari data seismik (dip, azimuth, kontinuitas), dan atribut seismik fisik yang menunjukan parameter fisik bawah permukaan serta yang berhubungan dengan litologi (amplitudo, fase, dan frekuensi). Atribut seismik yang digunakan dalam penelitian ini adalah instantaneous phase yang membantu memperjelas bidang kontinuitas/diskontinuitas dari refleksi seismik. Instantaneous phase dapat memperjelas event seismik yang kuat, serta efektif dalam pembacaan patahan, kontak sudut dan tampilan lapisan batuan. Batas-batas sikuen seismik, pola-pola layer sedimen serta pola-pola onlap/offlap dapat terlihat sangat jelas pada atribut seismik ini.
2.9.
Seismik Stratigrafi
Seismik stratigrafi merupakan studi stratigrafi dan pengendapan fasies sebagai interpretasi dari data seismik. Pola rekaman seismik ini menunjukkan pola tertentu.
32
Pola-pola ini mencirikan/mencerminkan fasies tertentu, yang pada akhirnya bersama dengan log, biostrat, cutting dll, membantu dalam interpretasi lingkungan pengendapan yang lebih terperinci dan valid.
Gambar 2.7 Pola Pengisian Sedimen dalam Tampilan Seismik (Mitchum, 1977)
Suatu sekuen seismik diinterpretasikan sebagai sekuen pengendapan yang terdiri dari suatu paket yang secara genetik berhubungan dan dibatasi oleh unconformity atau correlative conformity pada bagian atas dan bawahnya.
33
Gambar 2.8 Pola Pantulan Seismik (Mitchum, 1977)
Gambar 2.9 Modifikasi Pola Pantulan Seismik (Mitchum, 1977)
34
Analisa fasies seismik menginterpretasikan lingkungan pengendapan dan lithofasies dari data seismik. Secara umum pola pantulan seismik dibagi menjadi parallel, subparallel, divergent, prograding, chaotic dan pola bebas (tidak teratur). Pola prograding sendiri dibagi menjadi sigmoid, oblique, complex sigmoid-oblique, shingled dan hummocky clinoform. Pola ini dimulai dari pola yang sederhana hingga pola yang kompleks, maupun modifikasi dan gabungan beberapa pola.
Parallel dan subparallel
Pola ini menunjukkan suatu perlapisan yang relatif sejajar. Modifikasi pola ini adalah even dan wavy. Pola subparallel mirip dengan parallel, perbedaannya berupa perlapisan yang tidak semuanya sejajar. Di suatu tempat mengecil dan di tempat lain membesar, namun masih saling berhubungan.
Divergen
Pola ini dicirikan adanya perlapisan miring pada bagian bawah dan memusat ke suatu arah. Semakin ke atas berubah menjadi lapisan horisontal. Pola ini dibentuk oleh suatu variasi rata-rata pengendapan secara lateral atau naiknya permukaan pengendapan.
Prograding
Prograding merupakan pola refleksi kompleks. Modifikasi pola ini berupa sigmoid, oblique, shingled dan hummocky.
35
1.
Sigmoid
Sigmoid adalah pola prograding clinoform yang berbentuk sigmoid (bentuk S) yang terbentuk oleh perlapisan tipis yang menyudut pada bagian atas dan bawah serta menebal pada bagian tengah perlapisan. Pada bagian atas perlapisan hampir horisontal (sudut dip kecil) dan concordant dengan permukaan atas unit fasies ini. Pola ini diinterpretasikan sebagai suatu tingkat up building yang berlanjut (agradational) yang berkolaborasi dengan prograding pada bagian tengah. Bentukan ini terjadi pada lingkungan dengan suplai sedimen yang kecil, penurunan dasar cekungan yang cepat atau naiknya muka air laut dengan cepat. 2.
Oblique
Pola prograding clinoform yang merupakan bentukan ideal pengendapan. Pola ini terbagi menjadi tangential oblique dan parallel oblique. Tangential oblique : suatu pola bentukan progradational patern yang menunjukkan penurunan besaran dip secara gradual dan berubah. Pola ini memiliki dip tinggi di bagian atas dan berupa pola top lap yang semakin ke bawah berangsur berubah menjadi horizontal. Parallel obligue : Suatu bentukan perlapisan miring yang dibatasi sudut tinggi down lap pada bagian bawah. Pola ini diinterpretasikan sebagai suatu hasil pengisian channel kecil. Bentukan ini terbentuk dari kombinasi sediment supply yang besar, tidak ada atau sedikit penurunan dasar cekungan dan permukaan air laut yang tetap dan diikuti pengisian cekungan secara cepat dan bypass.
36
Complex sigmoid-oblique : suatu bentukan kombinasi dari sigmoid dan oblique progradational. Berupa pola perlapisan yang horisontal berubah menjadi down dip dengan sudut besar dan berakhir pada bagian bawah dengan suatu down lap. Pola ini dibentuk oleh suatu up building dan depositional bypass pada bagian atas dengan energi pengendapan yang tinggi. 3.
Shingled
Berupa konfigurasi refleksi progradational tipis yang dibatasi perlapisan parallel bagian atas dan bawah yang diantaranya terdapat perlapisan yang menumpang tidak terhubung. Pola ini diinterpretasikan sebagai unit pengendapan prograding pada suatu lingkungan shallow water. 4.
Hummocky clinoform
Berupa konfigurasi pantulan yang menunjukkan pola subparallel yang tidak teratur dan tidak menerus. Pola ini secara umum diinterpretasikan sebagai perlapisan tipis yang menjari di dalam suatu lingkungan shallow water pada lingkungan prodelta atau interdeltaic.
37
Gambar 2.10 Pola Pantulan Seismik Sebagai Hasil Proses Prograding (Mitchum, 1977)
Chaotic
Pola chaotic merupakan pola tidak teratur yang terbentuk oleh suatu high energy, terjadi deformasi, penecontemporaneous, slump, cut and fill channel complex, highly faulted, folded atau contorted zone.
Reflection free
Berupa bentukan dengan litologi seragam, tidak berlapis, highly contorted. Pola ini biasanya berupa masa batuan beku yang besar, kubah garam dll.