8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Film dalam Ranah Komunikasi Massa Film bermula pada akhir abad ke-19 sebagai teknologi baru, tetapi konten dan fungsi yang ditawarkan masih sangat jarang. Film kemudian beubah menjadi alat presentasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih tua, menawarkan cerita, panggung musik, drama, humor, dan trik teknis bagi komsumsi popular. Film juga hampir menjadi media massa yang sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi jumlah yang besar dengan cepat, bahkan di wilayah pedesaan.1 Film adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Film yang dibuat memasuki pasar global dan memengaruhi sikap, perilaku, dan harapan orang-orang dibelahan dunia. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton film ke bioskop ini menjadi aktivitas popular bagi orang Amerika pada tahun 1920an samapai 1950an. Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah bergeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara
1
Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa. Salemba Humanika, Jakarta: 2011. Hlm 35
9
kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang sering kali demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri.2
2.1.1 Karakteristik Film Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. a) Layar yang Luas/Lebar Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Layar film yang luas memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adeganadegan yang disajikan dalam film. b) Konsentrasi Penuh Pada saat menonton film dibioskop kita terbebas dari gangguan hiruk pikuk karena ruangan kedap suara, ditambah dengan suasana
2
Elvinaro Ardianto dkk. Komunikasi Massa suatu Pengantar edisi revisi. Simbiosa Rekatama Media. Bandung: 2004. Hlm 143
10
didalamnya membuat pikiran dan perasaan kita tertuju pada alur cerita. c) Identifikasi Psikologis Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena pengahayatan kita yang mendalam, sering kali secara tidak sadar kita menyamakan pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kitalah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis (Effendy, 1982: 192). Pengaruh film terhadap jiwa manusia tidak hanya sewaktu atau selama duduk di bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama.3
2.1.2 Jenis Film Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter dan film kartun. a) Film Cerita Film cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop
3
Ibid. Hlm 146
11
dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. b) Film Berita Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Jadi berita juga harus penting atau menarik. c) Film Dokumenter Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan” creative treatment of actuality. Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan, film dokumenter merupakan hasil intepretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. d) Film Kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Dapat dipastikan, kita semua mengenal tokoh Donal Bebek (Donald Duck), putri Salju (Snow White), Miki Tikus (Mickey Mouse) yang diciptakan oleh seniman Amerika Serikat Walt Disney. Sekalipun tujuan utamanya menghibur, film kartun bisa juga mengadung unsur pendidikan. Minimal akan terekam bahwa
12
ada tokoh jahat dan tokoh baik, maka pada akhirnya tokoh baiklah yang selalu menang. 4
2.1.3 Film Kartun Film animasi secara umum dikenal sebagai film kartun. Animasi berasal dari bahasa inggris yaitu animate yang berarti menghidupkan, memberi jiwa, dan menggerakkan benda mati. Ditemukannya prinsip animasi adalah dasar dari mata manusia yaitu persistance of vision (pola penglihatan yang teratur). Paul Roget, Joseph Plateau dan Pierre Desvigenes, melalui peralatan optik yang mereka ciptakan, berhasil membuktikkan bahwa mata cenderung menangkap urutan gambar-gambar pada waktu tertentu sebagai sebuah pola. Film animasi sering diartikan sebagai teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Perkembangan teknologi animasi sendiri dibedakan menjadi 3 teknologi yaitu: a)
Animasi dua dimensi (2D), contohnya film Looney Tunes, Scooby Doo, Doraemon.
b)
Animasi tiga dimensi (3D), teknologi 3D atau computer generated image (CGI) menghasilkan film animasi yang benar-benar hidup, tidak sekedar datar. Salah satu studio CGI terbesar adalah di Pixar
4
Ibid. Hlm 148
13
yang berlokasi di Emeryville, California. Contohnya film Finding Nemo, Toy Story. c)
Animasi clay pertama dirilis pada bulan Februari 1908 berjudul A Sculptor’s Wels Rarebit Nightmare, Shaun The Sheep. Tokohtokoh animasi dalam animasi clay dibuat dengan memakai rangka khusus untuk kerangka tubuhnya. Kemudian kerangka tersebut dibungkus dengan plasticine sesuai bentuk tokoh yang ingin dibuat. 5
Pembuatan tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya.6 Film animasi mendapatkan popularitas yang luar biasa pada masa keemasan antara tahun 1930-1940an. Walt Disney membuat film kartun animasi pertama yang disinkronasasi dengan suara. Steamboat Willie tahun 1928 adalah film ketiga yang mengahadirkan karakter Mickey Mouse. Disney juga menjadi pionir untuk film kartun animasi. Flowers and Trees (1032) adalah film pertama yang mempergunakan proses tiga-warna Technicolor. Ia membuat film animasi fitur-panjang berwarna dengan Snow White and The Seven Dwarfs (1937). Warna digunakan pada segelintir film sampai pada tahun 1950an, ketika Hollywood 5 6
http://www.satriamultimedia.com/artikel_mengenal_teori_animasi.html Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika. Jalasutra. Yogyakarta: 2010. Hlm 134
14
mulai sering mempergunakan warna pada film dalam upaya membuat sinema menjadi berbeda terhadap berkembangnya medium baru, televisi yang pada saat itu masih hitam putih. Penyederhanaan dan pengembangan lebih lanjut dalam teknologi warna membuat film warna menjadi standar film hitam putih menjadi perkecualian pada tahun 1960an.7
2.2 Perempuan dan Film 2.2.1 Film Sebagai Penyebar Ideologi Film telah diproduksi dari beberapa dekade tahun yang lalu. Seperti yang sudah dijelaskan diatas berbagai macam jenis film sudah dibuat dan dikonsumsi oleh khalayak. Film biasanya lebih dianggap sebagai media hiburan ketimbang media pembujuk. Padahal, film sebenarnya memiliki kekuatan bujukan atau persuasi yang besar baik secara tersirat maupun secara jelas yang dapat dilihat secara langsung. Kritik publik dan adanya lembaga sensor adalah salah satu contoh nyata bahwa sebenarnya film sangat berpengaruh bagi masyarakat.8 Film juga dianggap punya pengaruh lebih kuat terhadap khalayak ketimbang
media
lain.
Meskipun
berbagai
penelitian
belum
dapat
membuktikanya, dugaan bahwa film menguasai khalayaknya tidak hilang juga. Isi
7
Ibid. hlm 143 William L. Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson. Media Massa & Masyarakat Modern. Kencana Prenada Media Group. Jakarta: 2004. Hlm 252 8
15
dan teknik pembuatan film yang sedemikian kreatif membuat daya ikat perhatian pada khalayak lebih besar.9 Ideologi secara umum diartikan sebagai pikiran yang terorganisir, yaitu nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk persepektif-persepektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi. Ideologi bisa jadi berlandaskan pada fakta yang dapat dicek kebenarannya dalam sejarah atau secara empiris, atau juga tidak. Manipulasi yang dilakukan secara terus-menerus dan tanpa henti terhadap informasi dan citra publik mengkonstruksikan suatu ideologi dominan yang kuat yang membantu menopang kepentingan material dan kultural para pencipta ideologi tersebut. Ideologi mempunyai kemampuan untuk mengartikulasikan kepada masyarakat sistem ide dan digunakan untuk mendominasi kelompok lainnya.10 Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa salah satunya film, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif kepada khalayak yang jumlahnya besar. Dalam proses tersebut, ide-ide yang terpilih memperoleh arti penting yang terus-menerus meningkat dengan memperkuat makna semula dan memperluas dampak sosialnya. Ideologi yang disebarkan melalui media dalam segala konteks politik, ekonomi, budaya sebagian diwakili dalam bahasa dan diartikulasikan serta 9
Ibid hlm 291 James Lull. Media Komunikasi Kebudayaan Suatu Pendekatan Global. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 1998. Hlm 2 10
16
diinterpretasikan melalui bahasa berikut kode dan cara yang sangat cermat lainnya termasuk bentuk-bentuk visual dan musik yang kemudian diinterpretasikan lebih lanjut dan digunakan oleh orang-orang dalam interaksi sosial sehari-hari. Prosesproses ini merupakan bagian dari efek ideologis itu. Komodifikasi perempuan didalam media hiburan dan film menjadi sebuah persoalan ideologi ketika penggambaran perempuan dilandasi oleh sebuah relasi yang menjadi objek eksploitasi kelompok dominan yaitu laki-laki. Film menjadi sebuah lahan bagi sebuah proses pengalamiahan berbagai posisi ketimpangan, subordinasi, marginalisasi, dan seksisme dalam relasi gender.
2.2.1.1 Ekonomi Politik Tubuh Terdapat tiga persoalan yang menyangkut eksistensi perempuan di dalam wacana ekonomi-politik, khususnya dalam dunia komoditi. Pertama adalah persoalan ekonomi politik tubuh yaitu bagaimana aktivitas tubuh perempuan digunakan dalam berbagai aktivitas ekonomi , berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi tertentu. Politik tubuh yang berkaitan dengan eksistensi tubuh dalam kegiatan ekonomi politik dapat dilihat dari berbagai bentuk relasi sosial. (status, kelas, posisi). Disini tubuh dilukiskan sebagai fenomena komoditas. Kedua persoalan ekonomi politik tanda dimana perempuan diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sebuah pertandaan yang nantinya membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka. Politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh
17
perempuan yang dieksploitasi sebagai tanda atau komoditas tanda dalam berbagai media (film). Dan yang ketiga adalah persoalan ekonomi politik hasrat yaitu bagaimana hasrat sistem ekonomi menjadi sebuah ruang berlangsungnya pembebasan hasrat yaitu pelepasan hasrat dari berbagai kungkungan dan penyaluran lewat berbagai kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi). Dalam ekonomi hasrat, sifatsifat rasionalitas ekonomi dikendalikan dari bawah oleh sifat-sifat irasionalitas hasrat sehingga aktivitas ekonomi yang pada permukaannya tampak rasional dibawahnya justru dikendalikan oleh irasionalitas hasrat tau bagaimana perempuan disalurkan di dalam bentuk komoditi, khususnya komoditi hiburan dan tontonan.11 Persoalan ekonomi politik tubuh berkaitan dengan sejuah mana eksistensi perempuan di dalam kegiatan ekonomi politik, khususnya dalam proses produksi komoditi. Persoalan ekonomi politik tanda berkaitan dengan eksistensi perempuan sebagai citra di dalam media, sementara ekonomi politik hasrat berkaitan dengan bagaimana tubuh
dan citra berkaitan dengan pembebasan. Yang pertama
melukiskan eksistensi perempuan dalam dunia fisik, yang kedua dalam dunia citra, dan yang ketiga dalam dunia psikis meskipun ketiga dunia tersebut saling berkaitan satu sama lain. Penggunaan tubuh dan representasi tubuh sebagai komoditi di dalam berbagai media hiburan salah satunya film telah mengangkat berbagai persoalan 11
Gabriella Devi Benedicta. Dinamika Otonomi Tubuh Perempuan: Antara Kuasa dan Negosiasi atas Tubuh. Jurnal Sosiologi Masyarakat, vol. 16 no 2, Juli 2011: 146-147.
18
yang tidak saja menyangkut relasi ekonomi (peran ekonomi perempuan) tetapi juga relasi ekonomi yaitu bagaimana penggunaan tubuh dan citra tersebut menandakan relasi sosial (khususnya relasi gender) yang dikonstruksi berdasarkan sistem ideologi tertentu. a)
Ideologi Kapitalis dan Patriarki Aliran feminis berpendapat bahwa penindasan kaum perempuan
disebabkan oleh “seekor binatang buas berkepala dua” yaitu kapitalisme dan patriarkisme. Baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, kedua ideologi itu telah menyebabkan penindasan terhadap perempuan. Sehingga perempuan akan benar-benar terbebas dari penindasan apabila binatang buas itu ditebas kepalanya. Dalam masyarakat komoditas terutama kapitalis, tubuh, tanda-tanda tubuh, serta potensi libido dibalik tubuh tidak dapat dipisahkan dari budaya komoditas yang membentuk semacam komoditas yang berbentuk semacam sistem libidonomics yaitu sistem ekonomi yang mengeksploitasi setiap potensi libido semata untuk memperoleh keuntungan ekonomi (produsen, pencopy, penjual, media). 12 Ideologi kapitalis merupakan suatu sistem pemikiran dan kayakinan yang dipakai oleh kelas dominan untuk menjelaskan pada diri mereka sendiri bagaimana sistem sosial mereka beroperasi dan apa prinsip-prinsip yang diajukan. Ideologi ini melihat pencarian laba sebagai fokus kegiatannya. Ideologi ini
12
Yasraf Amir Piliang. Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial. Tiga Serangkai. Solo: 2003. Hlm 165
19
memberikan pembenaran pada setiap individu untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya guna dimanfaatkan untuk lebih memperbesar jumlah kapital pemiliknya. Penempatan laki-laki sebagai pekerja produktif di sektor publik dan perempuan sebagai pekerja reproduktif di sektor domestik tidak bisa dilepaskan dari keberadaan ideologi kapitalis. Selain, ditempatkan sebagai konsumen, perempuan juga ditempatkan sebagi pemulih dan penyedia tenaga kerja produktif dalam proses produksi barang. Hal itu juga terjadi pada media dimana perempuan dijadikan alat dengan memanfaatkan keindahan tubuhnya ataupun sisi perempuan lainnya sebagai bagian dari peningkatan profit dari sebuah perusahaan. Secara umum, patriarkisme adalah suatu pandangan yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Pengaruh ideologi patriarki terlihat sangat kuat dalam menentukan relasi gender diantara tokoh-tokoh film anak-anak dengan memberi posisi lebih superior pada karakter tokoh pria anakanak dan dewasa terhadap posisi karakter tokoh perempuan. Digambarkan juga peran gender tokoh pria dengan aktivitas dominan di ranah publik dan tokoh wanita dengan aktivitas dominan di ranah domestik.13
13
Sunarto. Televisi, Kekearasan, dan Perempuan. Kompas. Jakarta:2009. Hlm 38-45
20
2.2.2 Stereotip Perempuan Melalui kemajuan teknologi yang canggih seperti pada film tubuh wanita sebagai wujud fisik manusia dapat mengalami berbagai perubahan dan perkembangan yang melampaui tubuh yang dalam arti sebenarnya. Berbagai kelemahan perempuan dan sebaliknya berbagai keunggulan laki-laki dapat diatasi dengan teknologi modifikasinya. Kondisi keterbatasan perempuan dalam relasi gender dapat diatasi, seperti sifat-sifat lemah, lembut, pasif, irasional, emosional dan menempatkan dirinya tidak lagi pada posisi inferior dihadapan laki-laki yang superior.14 Disisi lain, film juga seringkali mengeksploitasi tubuh sebagai tanda dalam rangka mencari nilai pembedaan tanda tersebut. Citra, gagasan, tema, atau perasaan yang berkaitan dengan tubuh yang telah mempunyai makna didalam sebuah masyarakat (seksualitas, erotika, status, prestise) dipindahkan ke dalam sistem media, sehingga membedakannya dengan media lain yang menggunakan tubuh yang lain. Dalam mengeksploitasi tubuh sebagai tanda, ada berbagai mekanisme yang digunakan media, sehingga pemeran didalamnya dapat diekslpoitasi segala potensi tandanya. Nilai tubuh perempuan sebagai komoditi dapat dilihat melalui berbagai aspek seperti tampilan tubuh, perilaku, dan aktivitas tubuh, yang dikonstruksi di dalam media termasuk film.15
14
Yasraf Amir Piliang. Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Jalasutra. Yogyakarta: 2009. Hlm 421 15 Ibid. hlm 392
21
Belakangan ini, pada film ada upaya untuk mengubah citra yang menggambarkan pria dan wanita secara lebih bebas dan bias gender. Pada filmfilm tertentu dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu, karakter wanita tampil lebih independen, tegas, dan kompeten meskipun masih digambarkan secara stereotip. Media sering menggambarkan perempuan sebagai sosok yang kurang rasional, bodoh, namun kadang juga pribadi yang tegas dan mandiri. Terjadinya ketidakadilan gender dalam pemberitaan perempuan di media massa tidak bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat. Pada psikologisnya feminitas dan maskulinitas seringkali dipandang sebagai citra yang bersifat internal dan menetap, padahal sebenarnya merupakan produk budaya yang dinamis dan berkembang. Terdapat bias dalam psikologi perempuan antara lain: 1) Psikologis perempuan dipandang dependen, berwatak mengasuh, dan merawat. 2) Psikologis perempuan selalu mengalah, menyetujui, menyesuaikan diri, dan menyenangkan orang lain. Perempuan dicitrakan lemah dan pasif, sedangkan laki-laki dan agresif merupakan citra bias gender, karena dikonstruksikan oleh lingkungan dan budaya masyarakat, bukan merupakan citra yang terberi dari kodrat. 3) Psikologis perempuan itu emosional dan mudah menagis. 4) Psikologis perempuan penakut dan sensitif.
22
5) Psikologis perempuan lemah dan tidak berprestasi. 6) Psikologis perempuan yang mudah terpengaruh
mudah dibujuk untuk
mengubah keyakinan. 7) Psikologis perempuan lebih sensitif terhadap perilaku non verbal. 8) Perempuan lebih ekspresif. 9) Perempuan itu pasif dalam masalah seks dan hanya menjadi objek seks laki-laki.16 Bangkitnya kesadaran perempuan atas berbagai kesenjangan akibat dominasi ideologi yang tidak adil dalam masyarakat, khususnya dalam dunia kerja, telah melahirkan sebuah anggapan yang diyakini, yakni suatu ideologi yang berusaha menjelaskan dan mencari strategi untuk mengubah hubungan asimetris dalam masyarakat menjadi hubungan yang lebih equal, adil, terbuka, dan demokratis.17 Perempuan dicitrakan sebagai pilar rumah tangga yang bergelut dengan tugas utama rumah tangga dari sumur, kasur, sampai ke dapur. Sejumlah stereotip lalu menempel pada perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelamin. Stereotip lain yang ada pada wanita adalah kecantikan. Kecantikan identik dengan perempuan berekor pada munculnya kebutuhan akan produk kecantikan.
16
Eti Nurhayati. Psikologi Perempuan dalam Berbagai Persepektif. Pustaka Pelajar. 2012. Hlm xxviii-xxix 17 Ibid. hlm 306
23
Kebutuhan untuk tampil cantik menjadi kebutuhan yang tidak disadari karena konsumen merasa membutuhkan dan mengganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, apalagi di suatu massa dimana lingkungan sosial sangat mengedepankan penampilan. Stereotip-stereotip seperti itu kemudian diterima sebagai sesuatu yang lumrah, yang merasuki alam pikiran individu secara alamiah tanpa paksaan. Lebih luas dari sekedar sosok perempuan ideal, media massa seringkali menegaskan peran perempuan terbatas pada peran istri, ibu, ibu rumah tangga, kekasih setia, dan sebagainya sebagai takdir perempuan dalam masyarakat patriarki. Perananperanan itu direpresentasikan sebagai hak istimewa alamai kaum perempuan. Stereotip
ini bisa jadi mencerminkan nilai-nilai sosial dominan yang
berlaku di masyarakat. Ini disebut sebagai hipotesis pencerminan yaitu bahwa media massa mencerminkan nilai-nilai sosial yang dominan di masyarakat. Hal ini terkait dengan representasi simbolisnya, yaitu bagaimana masyarakat memandang dirinya sendiri, misalnya bagaimana perempuan harus tunduk dan menyenangkan laki-laki. Pembentukan citra ini tak lepas dari media massa. media massa memproduksi realitas dalam bentuk simbol yang meliputi makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa, mitos, nyanyian, seni, upacara, tingkah laku, benda-benda, konsep-konsep dan sebagainya. Melalui simbol, media massa telah mengubah realitas menjadi realitas yang sarat simbol. Audien ditarik oleh magnet media
24
massa sehingga seolah-olah tidak sedang menghadapi citra atau gambar, melainkan realitas itu sendiri. Stereotip tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu konsep yang berhubungan dengan pembeda karakter psikologis dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya. Modelmodel perempuan adalah objek yang dikreasi untuk mencapai berbagai fantasi, sedangkan laki-laki adalah penciptanya. Stereotip biner menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan dimana terjadi dalam media massa. Pada media massa dapat juga menjadi alat untuk mendobrak stereotip itu sendiri. Dalam media massa bisa menemukan semangat kebebasan.18
2.3 Feminisme Kata feminisme pertama kali oleh Charles Fourier seorang filsuf Perancis pada tahun 1837. Istilah ini kemudian berkembang di Perancis dan Belanda tahun 1872, di Inggris Raya tahun 1890an dan di Amerika Serikat tahun 1910. Di kamus Oxford English Dictionary, kata feminist muncul pada tahun 1894 dan kata feminisme 1895. Gerakan feminis melahirkan teori feminis. Teori ini bertujuan memahami dan menjelaskan hakikat ketimpangan gender dengan menyaksikan peran sosial perempuan dan pengalaman hidupnya. Bentuk awal feminisme telah mengalami 18
Muhammad Mufid. Etika Filsafat dan Komunikasi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta: 2010. Hlm 275-282
25
kritikan karena hanya mempertimbangkan kaum kulit putih, kelas menengah, dan yang terdidik. Teoti-teori feminis ini berfokus pada ketimpangan gender, relasi kuasa, dan seksualitas. 19 Feminisme diartikan sebagai sebuah teori politik atau sebuah praktik politik (gerakan politik) yang berjuang membebaskan semua kaum perempuan: perempuan kulit berwarna, perempuan miskin, perempuan cacat, lesbian, perempuan lanjut usia, dan juga perempuan heteroseksual kulit putih secara ekonomi. Menurut Stacey dalam Sunarto, istilah teori feminis biasanya menyarankan pada sebuah kerangka pengetahuan yang menawarkan penjelasan-penjelasan kritis terhadap subordinasi perempuan. Kritis disini dimaksudkan sebagai penjelasan yang tidak berusaha mencoba menyelidiki, mengekspos atau menantang subordinasi perempuan. Dalam pandangan Stacey, terdapat beberapa isu utama untuk memahami penindasan terhadap perempuan ini yaitu patriarkisme, tingkat subordinasi perempuan, kategori wanita dan implikasi dari determinasi ideologis dari teori-teori feminis. Penindasan terhadap perempuan yang pertama disebabkan oleh struktur kemasyarakatan yang memberi kekuasaan lebih kepada kaum pria sehingga mereka menjadi patriarki yang mendominasi kaum perempuan. Bagaimana kaum pria bisa memperoleh kekuasaan lebih tersebut bisa dijelaskan secara historis dan materialistik. Pada isu kedua sebagai konsekuensi dari isu pertama, bagaimana
19
http://www.kalyanamitra.or.id/2013/07/perlunya-belajar-feminisme-bagian-pertama/
26
patriarki melakukan kontrol terhadap kaum perempuan, secara universal pada semua wanita yang ada di berbagai belahan bumi atau secara khusus wanita tertentu dari suatu budaya tertentu saja berdasarkan etnisitas, rasialitas, nasionalitas, kelas, dan seksualitas mereka. Isu ketiga berusaha untuk menunjukkan beragamnya makna “perempuan” sesuai dengna waktu, tempat, dan konteksnya. Dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis makna “perempuan” ini coba dijelaskan berdasarkan identitas dari subjektivitas perempuan. Dan isu yang terakhir lebih mempersoalkan persepektif teoritis yang didasarkan pada aspek alamiah wanita atau aspek sosialnya.20
2.3.1 Perkembangan Feminisme A. Feminisme Gelombang Pertama Feminisme awal menyerukan pengembangan sisi rasional pada perempuan yang menuntut agar anak perempuan dapat belajar di sekolah pemerintah dan setara dengan laki-laki. Pendidikan ini diharapkan dapat mengembangkan intelektualitas perempuan dan menjadi individu yang mandiri. Dengan banyaknya perempuan yang terlibat didunia pendidikan memicu dicetuskannya ide bahwa perempuan berhak mendapat hak pilih dan tercapai pada tahun 1918. Selain itu, gerakan feminisme gelombang pertama pada masa itu menutut perjuangkan perluasan kesempatan kerja bagi perempuan, hak-hak legal 20
Sunarto. Televisi, kekerasan dan Perempuan. Kompas. Jakarta: 2009. Hlm: 33-34
27
perempuan dalam pernikahan maupun perceraian, hak perempuan setelah menikah dan hak asuh anak atas perceraian. Mereka juga menuntut dihapuskannya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Feminisme gelombang pertama hanya memperjuangkan perempuan lajang dari kelas menengah saja, terutama yang memiliki intelektualitas tinggi. Isu-isu yang tertentu saja yang gerakan feminisme gelombang pertama lakukan, belum ada kesadaran mengenai gerakan feminisme yang lebih luas. Hanya perempuan kaya yang memiliki kesempatan untuk berkarir karena mereka mampu membayar pelayan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga mereka. Kritik yang paling mencolok adalah para feminis ini masih mengandalkan bantuan laki-laki untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.21
B. Feminisme Gelombang Kedua Feminisme secara umum adalah suatu bentuk politik yang bertujuan untuk memgintervensi dan mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara lelaki dan perempuan. Feminisme gelombang kedua dimulai pada tahun 1960an dan 1970an. Dimasa itu banyak feminis berusaha keras mengubah semua aspek kehidupan mereka, bagaimana cara hidup dan berhubungan dengan orang dewasa dan anak-anak lain, bagaimana bekerja dan mempelajari keahlian baru, bagaimana 21
http://komahi.umy.ac.id/2011/05/perkembangan-feminisme-di-dunia.html
28
cara kita memandang diri kita sendiri. Bahkan, pada masa itu, memotong rambut dapat membuat feminis merasakan kebebasan. Bentuk dan karakter feminis berbeda berdasarkan konteks geografisnya masing-masing. Namun jika dilihat di negara Inggris dan Amerika mereka mempunyai kesamaan yaitu berjuang menuntut kesetaraan upah, kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesetaraan kesempatan kerja. Hal itu terlihat dari gerakan nyata mereka antara lain kaum feminis memperjuangkan kontrasepsi gratis dan hak untuk melakukan aborsi, melakukan kampanye tentang pekerjaan rumah tangga yang tak diupah, kebutuhan akan perlengkapan perawatan anak yang gratis, kemerdekaan secara ekonomi maupun hukum, menuntut hak perempuan untuk menentukan seksualitas mereka sendiri, dan memprotes kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan. Inti dari feminisme gelombang kedua secara umum, dan consciousness raising group (forum yang sangat penting sebagai wadah tempat terbentuknya pemikiran dan identitas feminis) secara khusus adalah gagasan bahwa hal yang pribadi bersifat publik. Para feminis memandang bahwa keluarga adalah sumber kunci penindasan yang mereka alami dan oleh sebab itu, bersifat politik seperti yang dikatakan Elizabeth Fox Genovese bahwa ‘feminisme telah mengarah pada penyederhanaan hubungan pribadi dengan memaksakan hubungan yang pribadi sebenarnya sangat bersifat politis’. Namun pada akhir tahun 1970an pergerakan perempuan mulai terpecahkan. Setelah ditinjau kembali dalam consciousness raising group yang
29
digunakan sebagai dasar untuk menteorikan penindasan terhadap wanita secara universal ternyata sebagian besar adalah pengalaman yang dialami perempuan kulit putih dari kalangan menengah dan mereka mengucilkan banyak perempuan kulit hitam dan perempuan golongan pekerja yang tidak memandang gender sebagai permasalahan utama penindasan yang mereka rasakan. Pada gelombang kedua ini para perempuan kulit hitam berusaha untuk mempertahankan hidup. Bagi para feminis, konsep yang paling tepat untuk menjelaskan penindasan terhadap perempuan adalah konsep patriarki yaitu sistem dominasi laki-laki. Menurut Beechey 1987 dan Stacey 1993, walaupun para feminis Marxis di Inggris tidak meyakini bahwa hanya patriarki saja yang dapat menjelaskan penindasan terhadap perempuan dan mempertimbangkan bagaimana kapitalisme dan patriarki secara bersamaan melakukan penindasan terhadap perempuan, masih banyak yang meyakini bahwa konsep patriarki diperlukan untuk menjelaskan mengenai apa yang tampaknya merupakan penindasan universal terhadap perempuan.22
C. Feminisme Gelombang Ketiga Para penulis seperti Carby, Hooks, Sykes, dan Ramazanoglu telah memunculkan berbagai isu yang berbeda mengenai keterbatasan feminisme gelombang kedua pada perempuan kulit berwarna. Semua mengakui bahwa feminisme gelombang kedua telah mengabaikan ‘pengalaman hidup’ rasisme. 22
Joanne Hallows. 2010. Op.Cit. Hlm 4-12
30
Pengabaian ini menyebabkan kerangkan teoritis dan kategori-kategori feminisme gelombang kedua yang tidak tepat dan praktiknya yang problematik. Banyak pula kritik yang bergabung berkenaan dengan pembentukan teori dan penerapan konsep patriarki. Selain itu, konsensus yang rapuh dari feminisme gelombang kedua semakin ditentang, baik dari dalam maupun luar feminisme.23 Pada tahun 1980an dan 1990an terjadi perdebatan tentang permasalahan dan bentuk asal, sifat feminis yang telah menempuh berbagai arah yang berbeda. Pandangan tentang perempuan telah dikritik dari dalam feminisme oleh ‘perempuan kulit berwarna’, feminisme lesbian, dan perempuan dunia ketiga.24 Posfeminisme dipandang sebagai gerakan yang muncul menanggapi kelemahan-kelemahan dan kegagalan yang dialami feminisme gelombang kedua. Istilah postfeminisme memiliki berbagai macam makna antara lain postfemnisme mengarah kepada perayaan matinya feminisme dengan terwujudnya tujuan-tujuan feminisme gelombang kedua pada tahun 1970an sehingga tujuan tersebut tidak lagi relevan pada tahun 1980an. Menurut Gill dan Scharff postfeminis sebagai backlash. Susan Flaudi sebagai eskponen terkenal tesis ini menyatakan bahwa backlash bahwa persamaan hak
untuk
perempuan
yang
diperjuangkan
oleh
para
feminis
telah
menyengsarakan perempuan. Bagi Flaudi, budaya popular memainkan peran utama dalam memunculkan backlash dan menciptakan citra perempuan palsu. 23
Ann Brooks. Posfeminisme dan Cultural Studies : Sebuah pengantar Paling Komprehensif. Jalasutra. Yogyakarta: 1997. Hlm 23-24 24
Ibid. Hlm 42
31
Media membanjiri berbagai citra perempuan lajang yang sengsara, wanita karir yang kejam, dan para ibu bahagia yang berperan dalam mengalihkan perhatian mereka dari dunia kerja. 25
2.3.2 Aliran Feminisme Pada
umumnya
orang
berprasangka
feminisme
adalah
gerakan
pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada seperti institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat. Karena adanya prasangka seperti itu, maka feminisme tidak mendapat tempat pada kaum perempuan bahkan ditolak oleh masyarakat apalagi di budaya timur seperti Indonesia. Sedangkan menurut kaum feminis, feminisme bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideologi, paradigma, serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda, tetapi mempunyai kesamaan tujuan yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Sebab gerakan ini muncul dari kesadaran bahwa perempuan ditindas, dieksploitasi, dan berusaha menghindari penindasan dan eksploitasi. (Fakih, 1997:78-79). Dari situlah muncul beberapa gerakan-gerakan feminisme antara lain: 1) Feminisme Liberal
25
Joanne Hallows. Op.Cit. Hlm 248
32
Feminisme liberal muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonom, persamaan, dan nilai moral, serta kebebasan individu, akan tetapi pada saat yang bersamaan dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan. Asumsi
dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan
kesamaan berasal pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, feminis liberal tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu termasuk perempuan. Menurut aliran liberal kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal karena “kesalahan mereka sendiri” karena sistem sudah memberikan kesempatan yang sama namun kaum perempuan kalah bersaing, maka kaum perempuan lah yang harus disalahkan. Aliran ini kemudian menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. (tong, 1983 dalam Ichromi, 1995:83) 2) Feminisme Radikal Aliran ini muncul sebagai kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60an, yang sangat penting dalam perlawanan kekerasan seksual dan pornografi (Brownmiller, 1976 dalam Fakih, 1997:84). Menurut aliran radikal terdapat dua sistem kelas sosial : kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi dan sistem seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kedua ini
33
yang menyebabkan penindasan pada perempuan. Karena itu, konsep patriarki merujuk pada sistem kelas sosial kedua, yaitu kekuasaan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Aliran feminisme radikal menganggap penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual, adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan dan patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior. 3) Feminisme Marxis Kelompok marxis menolak keyakinan kaum feminism radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi aliran ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan dilanggengkan karena menguntungkan, hal itu telihat dari : a. Eksploitasi buruh pulang kerumah yaitu suautu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang di eksploitasi di pabrik lebih produktif. b. Kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah. c. Masuknya buruh perempuan dianggap oleh mereka menguntungkan bagi kaum kapitalis karena upah buruh
34
perempuan sering lebih rendah dibanding buruh laki-laki dan rendahnya upah diperparah karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan merupakan pekerja tidak berupah. Oleh
karena
itu, penganut feminisme Marxis penindasan
perempuan merupakan kelanjutan dari eksploitasi yang bersifat struktural. Aliran ini, tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan tetapi justru sistem kapitalisme yang menjadi penyebabnya. Dari persepektif ini, emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. 4) Feminisme Sosialis Bagi feminisme sosialis, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak menaikkan posisi perempuan. Feminis sosialis menolak visi Marxis yang meletakkan eksplotasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu, analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, marginalisasi atas kaum perempuan. 5) Feminisme Post-Modern
35
Aliran ini menolak pendekatan-pendekatan terdahulu, dengan melakukan dekonstruksi sosial, bukan hanya terhadap relasi dan definisi gender, tetapi utamanya pada definisi perempuan. Feminisme post-modern dapat membantu usaha merekonstruksi proses pembentukan identitas gender dan pelembagaan identitas gender dalam lingkup internasional.26
2.4 Semiotika 2.4.1 Pengertian Semiotika Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirine mobil yang keras meraungraung menandai adanya kebakaran di sudut kota. Semiotik juga sering dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tanda dan simbol. Simbol dan tanda tidak hanya terdapat dalam bahasa, tetapi juga dalam bentuk lain seperti kebudayaan, ritual, gambar, seni, dan lainnya.27
26
J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. Sosiologi Teks pengantar dan Terapan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta: 2007. hlm 347-352 27 Samiaji Sarosa. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. PT Indeks. Jakarta. 2012. Hlm 80
36
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.28 Tanda pada dasarnya akan mengisyaratkan suatu makna yang hanya dapat dipahami oleh manusia yang menggunakannya. Bagaimana manusia menangkap sebuah makna tergantung pada bagaimana manusia mengasosiasikan objek atau idea dengan tanda.29
2.4.2 Aspek Kajian Semiotika Semiotika memiliki tiga wilayah kajian yaitu: 1. Tanda itu sendiri Wilayah ini meliputi kajian mengenai berbagai jenis tanda yang berbeda, cara-cara berbeda dari tanda-tanda di dalam menghasilkan makna, dan cara tanda-tanda tersebut berhubungan dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami di dalam kerangka penggunaan/konteks orang-orang yang menempatkan tanda-tanda tersebut.
28
Alex Sobur. Analisis Teks media Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. PT Remaja Rosdakarya, Bandung: 2004. Hlm 95 29 Tommy Suprapto. Pengantar Ilmu Komunikasi dan Peran Manajemen dalam Komunikasi. PT Buku Seru: Jakarta: 2011. Hlm 113
37
2. Kode-kode atau sistem dimana tanda-tanda diorganisasikan Kajian ini meliputi bagaimana beragam kode
telah
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya,
atau
untuk
mengeksploitasi
saluran-saluran
komunikasi yang tersedia bagi pengiriman kode-kode tersebut. 3. Budaya
tempat dimana
kode-kode dan tanda-tanda
beroperasi. Hal ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan dari kode-kode dan tanda-tanda untuk eksistensi dan bentuknya sendiri. Didalam semiotik, penerima atau pembaca dipandang memiliki peranan yang lebih aktif dibandingkan sebagian besar model proses. Semiotik lebih memilih istilah ‘pembaca’ (juga berlaku pada foto dan lukisan) dibandingkan ‘penerima’ karena istilah tersebut menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga membaca adalah sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya ; jadi hal tersebut ditentukan oleh pengalaman budaya dari pembaca. Pembaca membantu untuk menciptakan makna dari teks dengan membawa pengalaman, sikap, dan emosi yang dimiliki ke dalam makna. 30
30
John Fiske. Pengantar ilmu komunikasi Edisi ketiga. PT RajaGrafindo persada, Jakarta: 2012. Hlm 67
38
2.4.3 Semiotika Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Pada setiap eseinya, Barthes memnahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Berikut adalah peta tanda Roland Barthes bagaimana tanda bekerja: Gambar 3.1 1. Signifier 2. Signified (Penanda) (Petanda) 3. denotative sign (tanda denotative) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Melalui peta Barthes diatas terlihat tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif
(4). Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.31 Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu 31
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung: 2009. Hlm 69
39
tingkatan denotasi dan konotasi. Selain itu Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya yaitu mitos. Secara sederhana, tanda dan makna Roland Barthes dapat digambarkan sebagai berikut:32 Gambar 3.2 Tanda
Denotasi
Konotasi (Kode)
Mitos
1) Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. 2) Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Konotasi menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti, perasaan, emosi, atau keyakinan.
32
Yasraf Amir Piliang. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Jalasutra. Yogyakarta: 2010. Hlm 261-262
40
Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadarai. Audience mudah sekali membaca makna konotatif sebagai makna denotatif. 33 3) Mitos adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial yang sebenarnya arbirter atau konotatif. Sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Nilai ini berkaitan dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral, spiritual. Barthes melihat konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.34 Mitos
menciptakan
suatu
sistem
pengetahuan
metafisika
untuk
menjelaskan asal usul, tindakan, dan karakter manusia selain fenomena di dunia. Dengan mitos, dapat mempelajari bagaimana masyarakat yang berbeda menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang dunia dan tempat bagi manusia di dalamnya.35 Roland Barthes menyebut mitos versi modern dengan mitologi. Mitologi adalah refleksi versi modern dari tema, plot dan karakter mitos. Mitologi berasal dari gabungan mythos (pemikiran mitos yang benar) dan logos (pemikiran rasional-ilmiah).36
33
Indiwan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi. Mitra Wacana Media. Jakarta: 2011. Hlm 17 34 Ibid. Hlm 70-71 35 Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna. Jalasutra. Yogyakarta: 2012 Hlm 168 36 Ibid. 173
41
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karena itu lebih banyak hidup dalam masyarakat. Sikap seseorang terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri seseorang itu.37 Mitos yang tetap , ia akan menjadi ideologi. Banyak sekali fenomena budaya dimaknai dengan konotasi dan jika menjadi tetap dan mantap makna fenomena itu menjadi mitos, dan kemudian menjadi ideologi. Akibatnya makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi.38 Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas di dalam kelompok. Dalam persepektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting : a)
Ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual yaitu ia membutuhkan “share” diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya. Hal-hal yang dibagi tersebut vagi anggota kelompok digunakan untuk
37
Indiwan Seto Wahyu Wibowo. 2011. Op.Cit. hlm 17 Syaiful Halim. Postkomodifikasi Media & Cultural Studies. Indie Book Corner. Jogjakarta: 2012. Hlm 125 38
42
membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. b)
Ideologi walaupun bersifat sosial, ia digunakan secara internal diantara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi, tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakannya dengan kelompok lain. 39
39
Indiwan Seto Wahyu Wibowo. 2011. Op.Cit. Hlm 18