BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film 2.1.1 Pengertian Film Film adalah hasil proses kreatif para sineas yang memadukan berbagai unsur seperti gagasan, sistem nilai, pandangan hidup, keindahan, norma, tingkah laku manusia, dan kecanggihan teknologi1.Film memiliki pengertian yang beragam, tergantung sudut pandang orang yang membuat definisi. Menurut UU No. 23 Tahun 2009 tentang Perfilman, Pasal 1 menyebutkan bahwa film adalah kaya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Film dianggap lebih sebagai media hiburan ketimbang sebagai media pembujuk. Namun yang jelas, film yang sebenarnya punya kekuatan bujukan atau persuasi yang besar. Kritik publik dan adanya lembaga sensor juga menunjukkan bahwa sebenarnya film sangat berpengaruh terhadap khalayak2. Film juga dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh terhadap massa yang menjadi sasarannya, karena sifatnya yang audio visual, yaitu gambar dan suara yang hidup. Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita banyak dalam waktu singkat. Ketika menonton film, penonton seakan-akan dapat menembus ruang dan waktu 1
Teguh Trianton, Film: Sebagai Media Belajar, Graha Ilmu, Jakarta, 2013, hal. 1-2 William L. Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media dan Masyarakat Modern, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004, hal. 252 2
11
12
yang dapat menceritakan kehidupan dan bahkan dapat mempengaruhi audiens.Dewasa ini terdapat berbagai ragam film, meskipun cara pendekatannya berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan-muatan masalah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya. 2.1.2 Fungsi Film Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menontonfilm terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalamfilm dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Effendy, 1981 : 212)3. Selain itu, film sebagai karya sinematografi memiliki pengaruh besar, itulah sebabnya film memiliki fungsi sebagai pendidikan, hiburan, informasi, pendorong tumbuhnya industry kreatif, dan sebagai alat cultural education atau pendidikan budaya4
3 4
Ibid. hal. 136 Teguh Trianton, op.cit, hal. 2
13
2.1.3 Karakteristik Film Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologis5. 1. Layar yang luas / lebar Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Meskipun saat ini ada layar televisi yang berukuran jumbo, itu digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di ruangan terbuka, seperti dalam pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan pada penonton untuk melihat adeganadegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. 2. Pengambilan gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shotdan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. Disamping itu, melalui panoramic shot, sebagai penonton kita dapat memperoleh sedikit gambaran, bahkan mungkin gambaran yang cukup tentang daerah tertentu yang dijadikan lokasi film sekalipun kita belum pernah berkunjung ke daerah tersebut. 5
Denis McQuail, op.cit hal. 137
14
3. Konsentrasi penuh Dari pengalaman kita masing-masing, saat menonton film di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah tiba, pintu-pintu ditutup, lampu dimatikan, Nampak di depan kita layar luas dengan gambar-gambar cerita film tersebut. Kita terbebas dari gangguan hiruk pikuk suara diluar bioskop karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata tertuju pada layar sementara pikiran dan perasaan tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa suasana, kita akan tertawa terbahak-bahak manakala adegan lucu, atau sedikit senyum dikulum apabila ada adegan yang menggelitik. Namun dapat pula kita menjerit ketakutan bila adegan menyeramkan dan bahkan menangis melihat adegan menyedihkan. Suasana seperti itu tentu berbeda apabila kita menonton televisi di rumah dengan lampu yang tidak dimatikan, orang-orang di sekeliling hilir mudik melakukan suatu kegiatan, bunyi telepon atau bel rumah, ditambah lagi dengan selingan iklan. 4. Identifikasi psikologis Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam seringkali secara tidak sadar kita menyamakan (mengidentifikasikan) pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kita-lah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis
15
(Effendy, 1981 : 192). Pengaruh film terhadap jiwa manusia (penonton) tidak hanya sewaktu atau selama duduk di gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama, misalnya peniruan terhadap gaya berpakaian atau model rambut, hal ini disebut imitasi. Kategori penonton yang mudah terpengaruh biasanya adalah anak-anak dan generasi muda, meski kadangkadang orang dewasa pun ada. 2.1.4 Unsur-unsur Film Unsur film berkaitan erat dengan karakterstik utama, yaitu audio visual. Unsur audio visual dikategorikan ke dalam dua bidang, yaitu sebagai berikut6: 1. Unsur naratif Yaitu materi atau bahan olahan, dalam film cerita unsur naratif adalah penceritaannya. 2. Unsur sinematik Yaitu cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu digarap. Unsur sinematik terdiri atas dua aspek: mise en scene dan sinematografi. Mise en scene berasal dari bahasa perancis, tanah leluhur dari bapak perfilman dunia Louis dan Auguste Lumiere, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di depan kamera. Terdapat empat elemen penting dari mise en scene, yakni: setting, tata cahaya, kostum dan make up, akting dan pergerakan pemain.
6
Nawiroh Vera, Semiotika dalam Riset Komunikasi, Ghalis Indonesia, Bogor, 2014, hal. 92-93
16
Pemahaman tentang sinematografi sendiri mengungkap hubungan esensial tentang bagaimana perlakuan terhadap kamera serta bahan baku yang digunakan, juga bagaimana kamera digunakan untuk memenuhi kebutuhannya yang berhubungan dengan objek yang akan direkam. Editing secara teknis merupakan aktivitas dari proses pemilihan, penyambungan dari gambargambar (shots). Melalui editing struktur, ritme derta penekanan dramatik dibangun / diciptakan. Suara di dalam film adalah seluruh unsur bunyu yang berhubungan dengan gambar. Elemen-elemennya bisa dari dialog, musik, ataupun efek (Bambang Supriadi, 2010). 2.1.5 Jenis-jenis Film Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun7. 1. Film Cerita Film cerita (story film), adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topic film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik.
7
Ibid. hal. 138
17
2. Film Berita Film berita atau news reel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada public harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Jadi berita juga harus penting atau menarik atau penting sekaligus menarik. 3. Film Dokumenter Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya cipta mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”. Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. Biografi seseorang yang memiliki karya pun dapat dijadikan sumber bagi dokumenter.Intinya film dokumenter berpijak pada halhal senyata mungkin. Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dari film documenter misalnya dokudrama (docudrama). Dalam dokudrama, terjadi reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pake pegangan8.
8
Heru Effendy, Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser, Jakarta, Erlangga, 2009, hal. 3
18
4. Film Kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Dapat dipastikan kita semua mengenal tokoh Donal Bebek (Donald Duck), Putri Salju (Snow White), Miki Tikus (Mickey Mouse) yang diciptakan oleh seniman Amerika Serikat Walt Disney. Sebagian besar film kartun, sepanjang film itu diputar akan membuat penonton tertawa karena kelucuan dari para tokoh pemainnya. Namun ada juga film kartun yang membuat iba penontonnya karena penderitaan tokohnya. Sekalipun tujuan utamanya menghibur, film kartun dapat pula mengandung unsur pendidikan, minimal akan terekan bahwa ada tokoh jahat dan tokoh baik, yang pada akhirnya tokoh baiklah yang selalu menang. Jenis-jenis film juga dikelompokkan atas tiga macam, yakni9: 1. Film Cerita Pendek (Short Films) Durasi film cerita pendek biasanya dibawah 60 menit. Di banyak Negara seperti Jerman, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, film cerita pendek dijadikan
laboratorium
eksperimen
dan
batu
loncatan
bagi
seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa/i jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik.
9
Ibid. hal. 4-6
19
2. Film Cerita Panjang (Feature – Length Films) Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90 – 100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. beberapa film, misalnya Dance With Wolves bahkan berdurasi 120 menit. Film-film produksi India yang cukup banyak beredar di Indonesia, rata-rata berdurasi hingga 180 menit. 3. Film-Film Jenis Lain a.
Profil Perusahaan (Corporate Profile) Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu berkaitan
dengan kegiatan yang mereka lakukan, misalnya tayangan “Usaha Anda” di SCTV. Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi. b.
Iklan Televisi (TV Commercial) Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaraninformasi, baik
tentang produk (iklan produk) maupun berupa layanan masyarakat (iklan layanan masyarakat atau public service announcement/PSA). Iklan produk biasanya menampilkan produk yang diiklankan secara ‘eksplisit’, artinya ada stimulus audio-visual yang jelas tentang produk tersebut. Sedangkan iklan layanan masyarakat menginformasikan kepedulian produsen suatu produk terhadap fenomena sosial yang diangkat sebagai topik iklan tersebut. Dengan demikian, iklan layanan masyarakat umumnya menampilkan produk secara ‘implisit’.
20
c.
Program Televisi (TV Program) Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi. Secara
umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan noncerita. Jenis cerita terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok fiksi dan kelompok nonfiksi. Kelompok fiksi memproduksi film serial (TV series), film televise/FTV, dan film cerita pendek. Kelompok nonfiksi menggarap aneka program pendidikan, film dokumenter atau profil tokoh dari daerah tertentu. Sedangkan program noncerita sendiri menggarap variety show, TV quiz, talkshow, dan liputan/berita d.
Video Klip (Music Video) Video klip adalah sarana bagi para produser music untuk
memasarkan produknya lewat medium televisi. Dipopulerkan pertama kali lewat saluran televisi MTV tahun 1981. Di Indonesia, video klip ini sendiri kemudian berkembang sebagai bisnis yang menggiurkan seiring dengan pertumbuhan televisi swasta. Akhirnya, video klip tumbuh sebagai aliran dan industri tersendiri. 2.1.6
Genre Film Film memungkinkan penonton untuk saling mengaitkan cerita kriminal,
kejadian misterius, romantika dan seks, serta banyak hal lain yang membentuk
21
realitas sosial melalui mata kamera yang selalu menyelidik. Untuk itu terdapat genre film, yakni10: 1. Genre Tradisional Sejak awal film dengan mudah bisa memasuki budaya massa karena membuat fiksi tersedia bagi banyak pemirsa, termasuk pemirsa yang sebelumnya tidak memiliki akses ke fiksi cetak karena buta huruf. Maka, tujuan utama dari genre awal itu adalah untuk memberikan suatu bentuk narasi pengalih perhatian yang sebelumnya terdapat di dalam fiksi cetak. Akan tetapi, tidak seperti novel yang ditulis oleh seorang pengarang dimana di dalamnya pembaca bisa berhubungan langsung, cerita film dimediasikan oleh sutradara dan menambah tingkah signifikasi berbeda pada teks. Sehingga pada kenyataanna, sutdara lah yang menentukan parameter interpretasi pada para penonton film. 2. Blockbuster Bila dilihat adanya berbagai kemungkinan artistik yang bisa diberikan oleh film, tidaklah mengejutkan kalau kemudian film mengembangkan genrenya sendiri. Sejak tahun 1950-an , film telah membangkitkan kategori-kategori film sui generis. Pada kenyataannya, blockbuster telah menjadi penyumbang besar
pada
penguatan
kemudaan
masyarakat.
Sebelum
kemunculan
blockbuster kebanyakan film sulit dianggap cocok untuk anak-anak. Kesuksesan besar film sebagai bentuk seni yang disukai kaum tua dan muda 10
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, hal. 158164
22
merupakan ilustrasi betapa berenerginya pabrik film sebagai pengalih perhatian dalam meniadakan garis batas yang dulu memisahkan anak-anak dari orang dewasa. Film juga akan terus menarik sejumlah besar pemirsa, karena alasan sederhana bahwa film ‘mudah diproses’. Genre film lain ada beberapa macam, contohnya11: 1. Action (Laga) Pada genre ini biasanya untuk film yang bercerita mengenai perjuangan seorang tokoh untuk bertahan hidup. Biasanya dibumbui dengan pertarungan. Pada genre ini, penonton akan seolah-olah mampu merasakan ketegangan yang dialami tokoh dalam film. 2. Comedy (Humor) Jenis film comedy adalah film-film yang ceritanya mengandalkan kelucuan-kelucuan baik dari segi cerita maupun dari segi penokohan. 3. Roman (Drama) Film bergenre roman biasanya banya disukai penonton karena dianggap sebagai gambaran nyata sebuah kehidupan. Sehingga pada akhirnya penonton dapat ikut merasakan adegan dalam film dikarenakan kesamaan pengalaman hidup antara tokoh dalam film dan penonton.
11
Panca Javandalasta, Lima Hari Mahir Bikin Film, PT. Java Pustaka Group, Surabaya, 2011, hal. 3-4
23
4. Mistery (Horor) Genre mistery ini mengetengahkan cerita yang terkadang berada di luar akal umat manusia. Walaupun begitu, genre ini banyak disukai karena pada dasarnya setiap manusia dibekali rasa penasaran akan apa yang berada pada dunia lain di luar dunia manusia. 2.1.7
Kru Film Susunan kru antara lain12:
a. Producer (Produser) Orang yang memproduksi film, yaitu orang yang merumuskan suatu proyek film, menyusun dan memimpin tim produksi agar proyek tersebut mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan b. Production Designer (Desainer Produksi) Dapat bertugas merancang sejumlah aspek produksi film hingga detil, misalnya hingga ke aspek marketing. c. Scriptwriter (Penulis Naskah/Skenario) Film dibuat berdasarkan suatu naskah / skenario yang memiliki format tertentu sedemikian rupa yang dimengerti oleh kru produksi film. Skenario ini dapat berasal dari cerita novel, naskah adaptasi, maupun cerita asli.
12
Ibid. hal. 8-9
24
d. Director (Sutradara) Orang yang menerjemahkan bahasa tulisan dari sebuah skenario ke dalam bahasa visual hasil shooting maupun elemen visual lain. Termasuk mengarahkan adegan dan dialog para pelaku, serta mengkoordinasikan kru yang berkaitan dengan tugas utamanya tersebut. e. Director of Photography (Penata Kamera) Orang yang membantu sutradara dalam penerjemahan bahasa tulisan ke visual melalui pemilihan angle dan gerakan kamera, serta pencahayaan. Dalam menjalankan tugasnya, penata kamera dibantu oleh seorang yang mengatur pencahayaan yakni lighting man. f. Art Director (Penata Artistik) Menyediakan segala properti, tempat, dan lingkungan pengambilan gambar untuk tiap-tiap adegan, menyesuaikan diri dengan setting adegan yang disebutkan dalam skenario. g. Make-up Artist (Penata Rias) Melakukan penataan rias untuk para pelaku adegan, termasuk penataan rambut. h. Wardrobe / Costume Designer (Penata Kostum) Merancang pakaian untuk para pelaku adegan, sesuai dengan setting cerita dalam skenario.
25
i. Music Arranger (Penata Musik) Mendesain ilustrasi musik untuk film, dapat berasal dari ciptaan sendiri atau karya orang lain yang ditata ulang. j. Editor Melakukan pengeditan gambar, menyusunnya menjadi cerita yang utuh sesuai skenario, dan menambahkan elemen-elemen lain yang diperlukan, seperti sound dan musik ilustrasi, melakukan sentuhan-sentuhan artistik lain melalui grafis sehingga tercipta mood / style film tertentu. 2.1.8
SHOT dan ANGLE Shot adalah ketika kamerawan mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali. Shot merupakan satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang hanya direkam dengan satu take saja.13 Berikut adalah Macam-macam Shot : a.) Extreme Close Up : Shot yang diambil dari kepala sampai dagu (Wajah) b.) Close Up : Shot yang diambil dari dari atas kepala (Headroom) sampai pundak.
13
Umbara Diki, Wahyu Wary Pitonko. How To Become A CAMERAMAN. Yogyakarta, Interprebook. 2010 Hal 97
26
c.) Medium Close Up :Shot yang di ambil dari atas kepala (Headroom) sampai pinggang. d.) Medium Shot : Shot yang diambil dari atas kepala (Headroom) sampai lutut. e.) Long Shot : Shot yang diambil untuk memperlihatkan seluruh tubuh dan latar belakang tempat.14 Secara mekanisme, angle atau sudut pengambilan gambar itu berhubungan erat dengan lensa kamera, baik jenis lensa yang digunakan maupun penempatan kamera itu sendiri.15 Berikut ini adalah macam-macam angle atau pengambilan gambar : a.) Low Angle : pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari objek akan mengakibatkan objek lebih superior, dominan, menekan, b.) High Angle : kebalikan dari low angle, akan mengakibatkan dampak sebaliknya, objek akan terlihat imperior dan tertekan. c.) Eye Level : sudut pengambilan gambar, subjek sejajar dengan lensa kamera. Ini merupakan sudut pengambilan “normal”, sehingga subjek lebih kelihatan netral, tidak ada intervensi khusus pada objek.16
14
Ibid Hal 98-100 Ibid Hal 104-105 16 Ibid Hal 105-107 15
27
2.2 Komunikasi Propaganda Propaganda berasal dari bahasa Latin propagareartinya cara tukang kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memproduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan kata lain juga berarti mengembangkan atau memekarkan (untuk tunas). Dari sejarahnya sendiri, propaganda awalnya adalah mengembangkan dan memekarkan agama Khatolik Roma baik di Italia maupun negara-negara lain. Sejalan dengan tingkat perkembangan manusia, propaganda tidak hanya digunakan dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam bidang pembangunan, politik, komersial, pendidikan, dan lain-lain.17 18
Oleh karna itu, dewasa ini kita mengenal (teknik) propaganda juga
digunakan dalam bidang seperti humas, kampanye politik dan periklanan. Ini pernah diakui oleh Brown and Both dalam Werner J Severin dan James W Tankard (1979), “Propaganda would include much of advertising, much of political campaigning and much of public relations”. Beberapa definisi atau pengertian tentang propaganda : 1) Dalam Ensyclopedia International dikatakan propaganda adalah, “Suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan”.
17
Nurudin, Komunikasi Propaganda, Bandung, Remaja RosdaKarya, 2011, Hal 9 Ibid Hal 9-10
18
28
2) Everyman’s Ensyclopedia diungkapkan bahwa propaganda adalah suatu seni untuk penyebaran dan meyakinkan suatu kepercayaan, khususnya suatu kepercayaan agama dan politik. 3) Qualter mengatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi, atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain dengan menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang tersedia, reaksi dari mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh si propagandis. 4) Harold D. Laswell dalam tulisannya Propaganda (1937) mengatakan propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya (Propaganda in broadest sense is the technique of influencing human action by the manipulation of representation). Definisi dari Laswell dalam bukunya Propaganda Technique in the World War (1927) menyebutkan propaganda adalah semata-mata kontrol opini yang dilakukan mnelalui simbol-simbol yang mempunyai arti, atau menyampaikan pendapat yang konkrit dan akurat (teliti), melalui sebuah cerita, rumor laporan gambar-gambar dan bentukbentuk lain yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial (it refers [propaganda, pen] solely to the control of public oponion by significant symbols, or to speak more concretelyand less accuratelly, by the stories rumours, report, pictures and other form of social communication”)
29
5) Barnays mengatakan, propaganda modern adalah suatu usaha yang bersifat konsisten dan terus menerus untuk menciptakan atau membentuk peristiwa-peristiwa guna mempengaruhi hubungan publik terhadap suatu usaha atau kelompok. 6) Ralp D. Casey berkata propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja dan sadar untuk memantapkan suatu sikap atau merupakan suatu pendapat yang berkaitan dengan suatu doktrin atau program dan dipihak lain, merupakan usaha yang sadar dari lembaga-lembaga komunikasi untuk menyebarkan fakta dalam semangat objektifitas dan kejujuran. 7) Leonard W. Dobb mengatakan, propaganda adalah usaha sistematis yang dilakukan oleh individu yang masing-masing berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok invidu lainnya dengan cara menggunakan sugesti dan sebagai akibatknya mengontrol kegiatan tersebut. 2.2.1 Media Propaganda Dalam komunikasi, faktor media menduduki peran yang sangat penting dalam proses penyebaran pesan. Bahkan bisa dikatakan, suatu pesan bisa efektif atau tidak, tersebar luas atau tidak sangat bergantung ketepatan dalam memilih media tersebut. Kesalahan memilih media tentu akan mengakibatkan pesan yang disampaikan kurang mengena.untuk itu, menggunakan banyak media bisa mengurangi kekurangan yang dimaksud.
30
Berikut beberapa contoh media yang biasanya digunakan dalam kegiatan propaganda.19 1.) Media Massa Media massa yang dimaksud dalam hal ini adalah media elektronik dan media cetak. Salah satu keunggulan media ini adalah jangkauannya yang luas. Peran media massa dalam propaganda dalam media massa bisa dikatakan sangat efektif.20
2.) Buku Buku menjadi sangat efektif karena sangat mempengaruhi pemikiran seseorang. Dan pemikiran akan mempengaruhi sikap dan perilaku. buku propaganda yang terkenal antara lain Uncle Tom’s Cabin (Bubuk Paman Tom) yang memprotes perbudakan di Amerika dan Mein Kampf (perjuanganku) karya Hitler. Mein Kampf adalah buku autobiografi Hitler dan perjanjian politik.21 3.) Film Film juga bisa dijadikan media propaganda. Amerika adalah negara yang sengaja atau tidak melakukan propaganda lewat film-filmnya. Kepahlawanan tentara Amerika ditunjukkan dalam perang dengan setting “Perang Vietnam”. Untuk menyebut contoh antara lain Coming Home (Hal Ashby, 1978), The Deer Hunter (Michael Comino, 1978), Rambo
19
Nurudin, Komunikasi Propaganda, Bandung, Remaja RosdaKarya, 2011 Hal 35 Ibid Hal 35 21 Ibid Hal 36 20
31
First Blood Part II (George F. Cosmatus, 1985), Platon (Oliver Stone, 1986), Full Metal Jacket (Stanley Kubrick, 1987), dan Apocalypse Now (Franciz Ford Capollo, 1979). Tujuan propaganda itu adalah membentuk image bahwa amerika adalah pihak yang benar dan menang dalam perang Vietnam. Padahal jika dilihat secara lebih jauh tentara Amerika juga kewalahan menghadapi tentara Vietnam. Tak terkecuali film yang mengambil tokoh utama Saddam Hussein dan George Bush.22
4.) Selebaran Selebaran ini biasanya digunakan oleh kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik pemerintahnya. Ini sangat di mungkinkan mengingat iklim politik belum memberi peluang keterbukaan kompetisi sehat. bahkan berbagai kebijakan pemerintahnya pun cenderung di paksakan, sementara masyarakat menganggap kebijakan itu kelewat batas dan tidak pada tempatnya. Jelas saluran media massa atau penggunaan bahasa lisan secara terbuka tak dimungkinkan. Maka, selebaran menjadi salah satu media penyalur opini publik untuk dipropagandakan.23
22 23
Ibid Hal 36-37 Ibid Hal 37-38
32
2.3 Mitologisasi Mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. hal ini akan memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. 24 Mitos adalah sebuah cerita dimana suatu kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas dan alam. Mitos primitif adalah mengenai hidup dan mati, manusia dan Tuhan, baik dan buruk. Sementara mitos terkini adalah soal maskulinitas, feminitas, tentang keluarga, tentang kesuksesan, tentang ilmu pengetahuan.25 Cara kerja mitos yang paling penting adalah menaturalisasi sejarah. Hal ini menunjuk pada fakta bahwa mitos sesungguhnya merupakan produk sebuah kelas sosial yang telah meraih dominansi dalam sejarah tertentu: makna yang disebarluaskan melalui mitos pasti membawa sejarah bersama mereka, namun pelaksanaannya sebagai mitos membuat meraka mencoba menyangkalnya dan menampilkan makna tersebut sebagai yang alami (natural), bukan bersifat historis atau sosial.26 Terdapat beberapa mitos yang dominan, tapi juga ada mitos yang melawannya (counter-myths).27
24
Roland Barthes, Mitologi, Yogyakarta, kreasi Wacana, 2009 Hal 151-152 Fiske John, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2014 Hal 143-144 26 Fiske John, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2014 Hal 145 27 Ibid Hal 148 25
33
Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh cara dia mengutarakan pesan itu sendiri.28Mitos yang di bentuk dan kemudian menjadi sebuah identitas melalui simbol yang di munculkan disebut dengan mitologi. Mitologi adalah sebuah pengkerangkaan mitos. Mitologisasi adalah proses pembentukan mitos menjadi sebuah mitologi yang dilakukan dengan sengaja oleh suatu pihak dengan maksud dan tujuan tertentu. Mitologisasi sebagai upaya media dalam menciptakan seseorang menjadi tokoh yang dimitoskan. Dalam konteks media (yang sepenuhnya dibawah kendali market based-powers), proses mitologisasi sangat sebangun dengan praktik komodifikasi yang menjadikan potensi apapun sebagai komoditas.29 2.4 Semiotika 2.4.1 Sejarah Semiotika Terma semiotik bukanlah istilah baru, istilah ini berasal dari kata Yunani, semion, yang berarti tanda atau dari kata semeiotikos , yang berarti teori tanda. Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotik dapat pula diambil dari kata seme (Yunani) yang berati “penafsir tanda”. Akan tetapi, meskipun semiotik sudah dikenal sejak masa Yunani, sebagai salah satu cabang keilmuan, semiotik baru berkembang sekitar tahun 1900-an. Istilah keilmuan, semiotik pun digunakan pada abad ke-18 oleh Lembert, seorang filsif jeman. Selain Lembert, menurut R.H.
28 29
Roland Barthes, Mitologi, Yogyakarta, kreasi Wacana, 2009 Hal 152 Syaiful Halim. 2013. Postkomodifikasi Media. Yogyakarta : JALASUTRA. Hal 246-247
34
Robin (1995: 258) terdapat beberapa ahli yang mempersoalkan tanda, yaitu Wilhelm von Humbolt dan Schliercher. Perbincangan sistematis semiotik menempati posisi signifikan dalam khaxanah ilmu pada abad ke-20, yaitu ketika logosentrisme menempati posisi penting dalam filsafat. Arus wacananya digulirkan dua tokoh founding father semiotik, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce melalui karya anumerta. Meskipun hidup sezaman, kedua orang ini tidak saling mengenal karena tempat tinggal mereka berjauhan. Saussure berada di daratan Eropa, sedangkan Pierce berada di daratan amerika. Erus wacana semiotik yang mereka introdusir hampir bersamaan, sekalipun menyadarkan perinsip semiotik pada landasan yang berbeda hingga melahirkan konsep yang berbeda pula. Karena disiplik ilmu yang mereka tekuni berbeda, Pierce seorang pakar bidang linguistik dan logikam sedangkan Saussure seorang pakar linguistik modernm ada perbedaan mendasar dalam penerapan konsep – konsep semiotik sekarang ini. Berkat pemenemuannya dalam bidang semiotik, Ferdinand de Saussure (1875 – 1913) dinobatkan sebagai “Bapak Semiotika Modern” bersama – sama Charles Sanders Pierce (1839 – 1914). Semiotik pun menjadi yren dalam wacana pemikiran dengan lahirnya karya yang di beri lebel semiotik “sign” .30 Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan,
30
Dadan Rusmana. Filsafat Semiotika. Bandung : Pustaka Setia. 2014 Hal 20
35
analogi, metafora, simbolisme, makna, dankomunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Semiotika sering dibagi menjadi tiga cabang: 1. Semantik: hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat; denotata mereka, atau makna 2. Sintaksis: hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal 3. Pragmatik: hubungan antara tanda dan tanda-menggunakan agen Semiotika sering dipandang memiliki dimensi antropologis penting; misalnya, Umberto Eco mengusulkan bahwa setiap fenomena budaya dapat dipelajari sebagai komunikasi.31 Namun, beberapa ahli semiotik fokus pada dimensi logis dari ilmu pengetahuan. Mereka juga menguji area untuk ilmu kehidupan - seperti bagaimana membuat prediksi tentang organisme, dan beradaptasi, semiotik relung mereka di dunia (lihat semiosis). Secara umum, teori-teori semiotik mengambil tanda-tanda atau sistem tanda sebagai objek studi mereka: komunikasi informasi dalam organisme hidup tercakup dalam biosemiotik (termasuk zoosemiotik). Sintaksis adalah cabang dari semiotika yang berhubungan dengan sifat-sifat formal tanda dan simbol.32 Lebih tepatnya, Sintaksis berkaitan dengan "aturan
31
Caesar, Michael (1999). Umberto Eco: Philosophy, Semiotics, and the Work of Fiction. WileyBlackwell. hal. 55. ISBN 978-0-7456-0850-1. 32 The American Heritage Dictionary of the English Language: Syntactics
36
yang mengatur bagaimana kata-kata digabungkan untuk membentuk frasa dan kalimat". Charles Morris menambahkan bahwa semantik berkaitan dengan hubungan tanda-tanda untuk designata mereka dan benda-benda yang memungkinkan atau menunjukkan; dan, penawaran pragmatik dengan aspek biotik dari semiosis, yaitu dengan semua fenomena psikologis, biologis, dan sosiologis yang terjadi dalam fungsi tanda-tanda. Dari semiotika Ferfinand de Saussere
kemudian hingga masuk kepada
semiotika Charles Sanders Pierce, kemudian bermunculan para ahli semiotika yang menggunakan jenis paradigm yang sama dengan kedua penemu ini yaitu paradigma konstruktivis, lalu sampai pada era Roland Barthes yang memiliki perbedaan pada cara pandang memandang kasus semiotika ini, dimana Barthes memandang semiotika menggunakan paradigm kritis meskipun tak dipungkiri terkadang Barthes bermain di dua wilayah yakni konstruktifis seperti para pendahulunya dan kritis. 2.4.3
Semiotika Roland Barthes
Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan peotika. Akar namanya sendiri adalah “semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologio dan diagnostic inferensial (sinha, 1988: 3). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.
37
Aristoteles delam hal ini sangat dekat dengan konsep penanda semacam ini. Penggantinya, mazhab Stoa, mengelaborasinya kedalam sebuah teori penyimpulan yang ketat (Eco, 1984 : 15), bahwa tanda adalah sebuah proposisi yang dikonstitusi oleh koneksi yang valid dan menjelaskan kepada konsekuensinya. Jelaslah bahwa pada masa ini studi tentang tanda lebih mengarah pada operasi penalaran (logika) dan kemungkinan – kemungkinan pengetahuan (epistimologi). Ada catatan khusus terhadap Aristoteles yang mengaggap bahwa “pikiran” dapat di pertimbangkan sebagai “wakil – wakil dari hal – hal”, dan bahasa dalam hal ini adalah tanda dari pikiran. Aristoteles mengatakan bahwa kata – kata adalah “tanda – tanda dari afeksi – afeksi jiwa”. Aristoteles (Ross. 1928: 16a) menyatakan: “Spoken words are the signs of affections of the soul, and written words are the signs of spoken words. Just as all men have not same writing. So all men have not the same speech sounds, but the affections of the soul wich these signify are the same for all, as also are those things of which our experiences are images.” Kata – kata tuturan adalah tanda – tanda dari afeksi – afeksi jiwa, dan kata – kata tulis adalah tanda – tanda dari kata – kata tuturan. Sebagaimana semua manusia tidak memiliki tulisan yang sama, demikian pula semua manusia tak memiliki suara tuturan yang sama, tetapi afeksi – afeksi jiwa yang ditandai oleh kata – kata tuturan adalah sama bagi segalanya, sebagaimana juga hal – hal dari pengalam – pengalam kita adalah imaji - imaji. Pada awalnya sejak kemunculan semiotika yang di diperkenalkan oleh Saussure dan Pierce, maka semiology menitik beratkan dirinya pada studi tentang
38
tanda dan segala yang berkaitan dengannya.Meskipun dalam semiotika Peirce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi Skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure menekankan pada linguistic, pada kenyatannya semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system tanda non linguistik.Sementara itu, bagi Barthes (1988: 179) semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things).33 Memaknai
dalam
hal
ini
tidak
dapat
dicampuradukkan
dengan
mengkomunikasikan.Memaknai berarti bahwa obyek – obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek – obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda. Barthes dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu tak terbatas pada bahsa, tetapi terdapat pula pada hal – hal yang bukan bahsa.Pada akhirnya, Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial, apapun bentuknya, merupakan suatu system tanda tersendiri pula. Dapat di simpukan bahwa Barthes menunjukkan adanya masalah eksistensi dari tanda, relasi analogical antara dua tanda, dan adanya posisi dalam tanda untuk memperjelas makna.Selanjutnya, Barthes dengan berdiri langsing di garis pemikiran Saussure menerima perinsip artikulasi ganda yang diperkenalkan Saussure.Prinsip itu membagi tanda kedalam dua bagian yang saling berhimpit, seperti muka atas dan bawah dari sehelai kertas.
33
Kurniawan. 2001.Semiologi Roland Barthes. Jakarta : Indonesiatera. Hal 53
39
Ketika tanda linguistic Saussure memuat penanda dan petanda dengan mengambil konsep strata bentuk dan substansi dari Hjemslev, Barthes melengkapi penanda dan perabda itu dengan dua strata Hjemslev.Baik petanda maupun penanda, menurutnya, memuat bentuk dan substansi.Pengertian dari dua istilah ini di jelaskan oleh Roland Barthes. Roland Barthes membagi makna pada dua tataran, yakni denotatif (sistem makna primer) dan konotatif (sistem makna kedua). Menurut Roland Barthes, denotasi (denotation) merupakan tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi dan sebaliknya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadang-kadang dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi, yang secara tradisional disebut sebagai denotasi, biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.34 Sementara itu, konotasi (connotation) merupakan tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan petanda atau makna. Dengan kata lain, konotasi adalah makna yang dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi atau makna konotatif (connotative meaning). Biasanya, konotasi mengacu pada makna yang menempel pada kata karena sejarah pemakaiannya.35
34
Dadan Rusmana. 2014. Filsafat Semiotika. Bandung : Pustaka Setia. 2014. Hal 200 Ibid Hal 201
35
40
Konotasi adalah makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.36 Tahap – tahap pembacaan Konotasi Roland Barthes :37 1. Efek Tiruan : pembacaan atas rekayasa yang menggabungkan dua foto terpisah sebagai upaya mengintervensi denotasi tanpa tedeng aling-aling. 2. Pose atau sikap : pembacaan atas sikap badan atau pose subjek sebagai petanda. 3. Objek : pembacaan atas objek-objek dalam gambar yang merujuk pada jejaring ide tertentu atau simbol-simbol berkesan dalam masyarakat. 4. Fotogenia : pembacaan atas aspek-aspek teknis dalam produksi foto, seperti pencahayaan dan hasil. 5. Estetisme : pembacaan atas perubahan pengemasan gambar untuk tujuan estetis tertentu hingga nilai spiritualnya bersifat ekstasi. 6. Sintaksis : pembacaan atas rangkaian foto-foto sebagai sebuah kesatuan. Sedangkan terkait unsur musik, Barthes memaparkannya dalam esai Musica Practica : Menurut kami, ada dua musik : musik yang didengar dan musik yang dimainkan seseorang. Kedua musik ini adalah dua seni yang sangat
36
Syaiful Halim, Postkomodikasi Media. (Yogyakarta; Jalasutra,2013). Hal 108 Ibid hal 112-113
37
41
berbeda satu sama lain, yang memiliki sejarah, pengaruh sosiologis, estetika, dan erotikanya masing-masing.38 Denotasi adalah mekanisme reproduksi dalam film terhadap objek yang dituju kamera. Konotasi adalah sisi manusia dalam proses pengambilan fotonya : yakni seleksi terhadap apa saja yang diikutsertakan dalam foto, fokusnya, bukaan, sudut kamera, kualitas film, dan selanjutnya.39 Setelah makna denotatif yang mengacu adanya makna konotatif maka dari makna konotatif menjadi tetap akan muncul sebuah mitos. Mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. hal ini akan memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk.40 Boleh jadi mitos adalah kebutuhan manusia, itulah sebabnya mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi, sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya Mytologies (1993). Dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk simbol dalam komunikasi, mitos bukan hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olah raga dan televisi. Dikaitkan dengan ideology maka, seperti dikatakan van Zoest (1980), “ideologi di dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita.” Setiap pengunaan teks, setiap penanganan bahasa, 38
Ibid Hal 113 Fiske John, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2014 Hal 141 40 Roland Barthes, Mitologi, Yogyakarta, kreasi Wacana, 2009 Hal 151-152 39
42
setiap semiosis (penguna tanda) pada umumnya hanya timbul berkat sesuatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenali oleh pemakai tanda.Sebuah teks tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.41 Kelak bila konotasi menjadi tetap, ia akan menjadi mitos. Sedangkan kalau mitos menjadi mantap, ia akan menjadi ideologi.42 Hubungan antara tanda dengan mitos dan konotasi yang dimilikinya, pada satu sisi dan dengan pengguna di sisi lain, bersifat ideologis.43 Ideologi adalah sebuah jalan untuk melakukan pemaknaan (membuat sesuatu masuk akal), makna yang dibuat selalu memiliki dimensi sosial dan politik.44 Ideologi adalah merupakan konsep yang relatif sederhana. Ideologi merupakan alat bagi kelas penguasa untuk membuat ide-ide (pemikiran) mereka diterima di dalam masyarakat sebagai sesuatu yang alami dan normal.45 Ideologi adalah praktik atau gagasan yang menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan, atau penyembunyian realitas tertentu, di sini ideologi menjadi alat untuk menyembunyikan realitas yang sebenarnya; dengan cara ini kelas dominan merasa aman dan kelas tertindas tidak merasa tertindas.46
41
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2009 hal 208 Syaiful Halim.Postkomodikasi Media. (Yogyakarta; Jalasutra,2013). Hal 113 43 Fiske John, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2014 Hal 277 44 Ibid Hal 280 45 Ibid Hal 280 46 Elvinaro Ardianto. Bambang Q-Anees. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2009 hal 177 42