BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Siklus Hidrologi dan Klasifikasi Iklim Dibumi terdapat kira-kira 1,3-1,4 milyar km3 air: 97,5% adalah air laut, 1,75%
berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara. Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi, penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar(outflow). Air menguap dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba di permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan dimana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan kepermukaan tanah (Sosrodarsono,2003). Siklus air atau siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara terus menerus. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut (---------2010d).
5
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Siklus Hidrologi Sumber : http://www.lablink.or.id/Hidro/Siklus/air-siklus.htm Diakses tanggal 12 Maret 2010 jam 10.13AM
Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali segera ke sungai-sungai (disebut aliran intra=interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater runnof = limpasan air tanah) (Sosrodarsono, 2003). Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:
Universitas Sumatera Utara
•
Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dan sebagainya. Kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintikbintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
•
Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celahcelah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
•
Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin datar lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah perpindahan. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut.
Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya (--------2010d). Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah
Universitas Sumatera Utara
hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002 dalam Sudrajat, A.2009). Thornthwaite (1933) dalam Bayong (2004) menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benarbenar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus. Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum. Oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama, mengungkapkan bahwa dengan adanya hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim (Sudrajat, A.2009). Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan dan pernah digunakan di Indonesia antara lain adalah: a.
Sistem Klasifikasi Oldeman
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah kebutuhan air oleh tanaman, terutama pada tanaman padi. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut. Oldeman et al. (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm per bulan, sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm/bulan. Dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75%, maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan. Maka menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm. Lamanya periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis/varietas yang digunakan, sehingga periode 5 bulan basah berurutan dalam satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat melakukan 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi tambahan (Bayong, 2004). Oldeman et al.(1980) membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim. Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut yang terjadi dalam setahun, sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zone iklim berdasarkan huruf yaitu zone A, zone B, zone C, zone D dan zone E, sedangkan pemberian nama sub zone berdasarkan angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3 sub 4 dan sub 5.
Universitas Sumatera Utara
Zone A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zone B hanya dapat ditanami padi 2 periode dalam setahun. Zone C, dapat ditanami padi 2 kali panen dalam setahun, dimana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan sistem gogo rancah. Zone D, hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam. Zone E, penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya irigasi yang baik. (Oldeman et al., 1980). Penentuan tipe iklim Oldeman dapat dilihat pada Tabel 1 dan segitiga Oldeman pada Gambar 1, sedangkan penentuan zona agroklimat Oldeman dapat dilihat pada
Tabel 2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Kriteria penentuan tipe iklim Oldeman Z one A B
C
D
E
Kla sifikasi A1 A2 B1 B2 B3 C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4 E1 E2 E3 E4 E5
Bula n Ba sah Bulan K ering 10-12 Bulan 0-1 Bulan 10-12 Bulan 2 Bulan 7-9 Bulan 0-1 Bulan 7-9 Bulan 2-3 Bulan 7-9 Bulan 4-5 Bulan 5-6 Bulan 0-1 Bulan 5-6 Bulan 2-3 Bulan 5-6 Bulan 4-6 Bulan 5 Bulan 7 Bulan 3-4 Bulan 0-1 Bulan 3-4 Bulan 2-3 Bulan 3-4 Bulan 4-6 Bulan 3-4 Bulan 7-9 Bulan 0-2 Bulan 0-1 Bulan 0-2 Bulan 2-3 Bulan 0-2 Bulan 4-6 Bulan 0-2 Bulan 7-9 Bulan 0-2 Bulan 10-12 Bulan
Sumber : (Oldeman et al., 1980)
Sumber : (Oldeman et al., 1980) Gambar 2.2. Segitiga Oldeman
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Zona Agroklimat Oldeman Tipe Iklim
Penjabaran
A1-A2
Sesuai untuk padi terus menerus tetapi produksi kurang karena fluks radiasi matahari sepanjang tahun rendah. Sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim yang baik. Dapat tanam padi dua kali setahun dengan varietas umur pendek dan musim kering yang pendek cukup untuk palawija.
B1 B2-B3 C1 C2-C4 D1 D2-D4 E
b.
Dapat tanam padi sekali dan palawija dua kali setahun. Setahuan hanya dapat tanam padi satu kali dan penanaman palawija jangan tanam dimusim kering. Tanam padi umur pendek satu kali dan palawija cukup. Hanya mugkin tanam padi sekali dan palawija sekali. Perlu adanya irigasi. Satu kali menanam tanam palawija
Sistem Klasifikasi Schmidth-Fergusson
Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Menurut Irianto et al. (2000) dalam (Sudrajat.A. 2009) penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidth-Fergusson lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut SchmidthFergusson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klasifikasi iklim Mohr. Menurut As-Syakur (2008) pencarian rata-rata bulan kering atau bulan basah dalam klasifikasian iklim Schmidth-Fergusson dilakukan dengan membandingkan jumlah/frekwensi bulan kering atau bulan basah selama tahun pengamatan dengan banyaknya tahun pengamatan.
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi Iklim menurut Schmidth-Fergusson (1951) didasarkan kepada perbandingan antara Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB). Ketentuan penetapan bulan basah dan bulan kering mengikuti aturan sebagai berikut : Bulan Kering
: bulan dengan curah hujan lebih kecil dari 60 mm
Bulan Basah
: bulan dengan curah hujan lebih besar dari 100 mm
Bulan Lembab : bulan dengan curah hujan antara 60 – 100 mm. Bulan Lembab (BL) tidak dimasukkan dalam rumus penentuan tipe curah hujan yang dinyatakan dalam nilai Q, yang dihitung dengan persamaan berikut : Rata-rata jumlah BK Q = ----------------------------Rata-rata jumlah BB
x 100 %
Rata-rata jumlah bulan basah adalah banyaknya bulan basah dari seluruh data pengamatan dibagi jumlah tahun data pengamatan, demikian pula rata-rata jumlah bulan kering adalah banyaknya bulan kering dari seluruh data pengamatan dibagi jumlah tahun data pengamatan. Berdasarkan besarnya nilai Q ini selanjutnya ditentukan tipe curah hujan suatu tempat atau daerah dengan menggunakan Tabel Q atau diagram segitiga kriteria klasifikasi tipe iklim menurut Schmidth-Fergusson, seperti terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 2, untuk zone agroklimatnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Kriteria Pembagian Tipe Iklim Schmidth-Fergusson (Tabel Q) Tipe Iklim
Kriteria
A ( Sangat Basah ) B ( Basah ) C ( Agak Basah ) D ( Sedang ) E ( Agak kering ) F ( Kering ) G ( Sangat kering ) H ( Luar Biasa Kering )
0 ≤ Q < 0,143 0,143 ≤ Q < 0,333 0,333 ≤ Q < 0,600 0,600 ≤ Q < 1,000 1,000 ≤ Q < 1,670 1,670 ≤ Q < 3,000 3,000 ≤ Q < 7,000 7,000 ≤ Q
Gambar 2.3. Diagram segitiga Schmidth-Fergusson
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4. Zona Agroklimat Schmidth-Fergusson Tipe Iklim Schmidth-Fergusson
Zona Agroklimat
A
Hutan hujan tropis
B
Hutan hujan tropis
C
Hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau
D
Hutan musim
E
Hutan savana
F
Hutan savana
G
Padang ilalang
H
Padang ilalang
2.2. Proses Pembentukan Hujan 2.2.1 Ukuran Partikel Awan Tetes air terbentuk pada inti-inti kondensi dari berbagai tipe dan ukuran Pertikel awan (tetes air) yang ada di dalam atmosfer dibedakan dalam tiga golongan berdasarkan ukurannya yaitu : •
Inti biasa, dengan garis tengah < 0,1μ
•
Inti sedang, dengan garis tengah < 0,1 – 1,0 μ
•
Inti besar, dengan garis tengah > 1,0 μ
Inti besar jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan inti sangat besar dan memegang peranan dalam pembentukan awan. Konsentrasi inti kondensasi di atas daratan umunya lebih rapat dari pada di atas lautan, sehingga partikel-partikel diatas lautan memiliki ukuran yang lebih besar. Partikel awan di atas daratan rata-rata bergaris tengah 2-10 μ , sedangkan di atas lautan
Universitas Sumatera Utara
berkisar antara 3 -22 μ . Inti-inti kondensasi sangat besar yang terdiri dari inti-inti garam dapat membentuk partikel atau tetes air dengan garis tengah antara 20 – 30 μ , dan konsentrasinya umumnya hanya satu inti tiap satu liter udara yang ditemui baik di atas daratan maupun di atas lautan. Tetes air ini untuk dapat jatuh dari dasar awan harus mencapai ukuran tertentu, sehingga arus udara naik tidak dapat menahan lagi berat tetes air tersebut. Ukuran yang sesuai untuk dapat jatuh sebagai hujan adalah sekitar 100μ dan menghasilkan kecepatan akhir 1 meter per detik.
2.2.2
Pertumbuhan Partiket Awan Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan partikel awan, diantaranya
adalah kelembaban udara disekitarnya, tegangan permukaan, sifat inti kondensasinya, dan cepatnya pemindahan panas latent ke dalam udara sekitarnya. Pada saat permulaan, proses kondensasi pada inti-inti berlangsung sangat cepat sampai pada suatu ukuran yang dapat dilihat dalam sekejap mata, kemudian proses selanjutnya akan belangsung secara perlahan. Dan hasil proses kodensasi sendiri, tidak akan menghasilkan tetes-tetes air yang garis tengahnya bisa melebihi 30 μ Dengan demikian, untuk
mengetahui terjadinya tetes-tetes air yang lebih besar di dalam awan dapat
diterangkan dengan metode benturan dan penggabungan diantara tetes-tetes air yang ada. 2.2.3
Mekanisasi Proses Penggabungan Tetes awan yang terangkat oleh arus udara naik akan terjatuh kembali sedikit ke
bawah. Pada kejadian ini, maka tetes-tetes awan yang lebih besar akan jatuh menimpa
Universitas Sumatera Utara
tetes-tetes awan yang lebih kecil di sekitarnya. Tetes air ini baru dapat berbenturan antara satu dengan lainnya apabila garis tengahnya sudah lebih dari sekitar 18 μ. Proses benturan dan penggabungan ini sangat perlu untuk perkembangan hujan dan awan-awan panas yang suhunya diatas 00C dan seluruhnya terdiri dari tetes air. Tetes air juga didapati (terjadi) dalam awan dingin yang suhunya kurang dari 0° C dan terdiri dari tetes-tetes air super dingin. Tetes air super dingin ini dapat pula berkernbang besar dalam proses benturan dan penggabungan. Beberapa awan dingin dapat juga mengandung kristal-kristal es (Bayong, T. 2007).
2.3. Hujan Hujan merupakan jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan diameter 0.5 mm atau lebih. Jika jatuhnya sampai ketanah maka disebut hujan, akan tetapi apabila jatuhannya tidak dapat mencapai tanah karena menguap lagi maka jatuhan tersebut disebut Virga. Hujan juga dapat didefinisikan dengan uap yang mengkondensasi dan jatuh ketanah dalam rangkaian proses hidrologi (Sosrodarsono,2003). Hujan merupakan peranan penting dalam siklus hidrologi. kelembaban dari laut menguap, berubah menjadi awan, terkumpul menjadi awan mendung, lalu turun kembali ke bumi, dan akhirnya kembali ke laut melalui sungai dan anak sungai untuk mengulangi daur ulang itu semula. Jumlah air hujan diukur menggunakan pengukur hujan. Yang dinyatakan sebagai kedalaman air yang terkumpul pada permukaan datar, dan diukur kurang lebih 0.25 mm. Satuan curah hujan menurut SI adalah milimeter, yang merupakan penyingkatan dari liter per meter persegi.
Universitas Sumatera Utara
Air hujan sering digambarkan sebagai berbentuk "lonjong", lebar di bawah dan menciut di atas, tetapi ini tidaklah tepat. Air hujan kecil hampir bulat. Air hujan yang besar menjadi semakin lebar, seperti roti hamburger; air hujan yang lebih besar berbentuk payung terjun. Air hujan yang besar jatuh lebih cepat berbanding air hujan yang lebih kecil. Beberapa kebudayaan telah membentuk kebencian kepada hujan dan telah menciptakan pembagai peralatan seperti payung dan baju hujan. Banyak orang juga lebih gemar tinggal di dalam rumah pada hari hujan. Biasanya hujan memiliki kadar asam pH 6. Air hujan dengan pH di bawah 5,6 dianggap hujan asam. 2.3.1. Pengertian Hujan Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Untuk dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam belerang. Titik-titik kondensasi ini mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari udara. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan millimeter (mm). Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan per satuan jangka waktu tertentu. Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat berbahaya karena
Universitas Sumatera Utara
berdampak dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif terhadap tanaman (Subagyo, S.1990). Tabel 2.5. Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan (Sosrodarsono,2003) No 1 2 3 4 5
Keadaan Curah Hujan Hujan Sangat Ringan Hujan Ringan Hujan Normal Hujan Lebat Hujan Sangat Lebat
Intensitas Curah Hujan 1 Jam (mm) <1 1-5 5-20 10-20 > 20
Intensitas Curah Hujan 24 Jam (mm) <5 5-20 20-50 50-100 > 100
Ukuran butir-butir hujan adalah berjenis-jenis. Nama dari butir hujan tergantung dari ukurannya. Dalam meteorologi, butir hujan dengan diameter lebih dari 0,5 mm di sebut hujan dan diameter antara 0,50-0,1 mm disebut gerimis (drizzle). Makin besar ukuran butir hujan itu, makin besar kecepatan jatuhnya. Kecepatan yang maximum adalah kirakira 9,2m/detik. Tabel 2.2 menunjukkan intensitas curah hujan, ukuran-ukuran butir hujan, massa dan kecepatan jatuh butir hujan. Tabel 2.6. Ukuran, Massa dan Kecepatan Jatuh Butir Hujan(Sosrodarsono,2003) No
1 2 3 4 5
Jenis
Hujan Gerimis Hujan Halus Hujan Normal Lemah Hujan Normal Deras Hujan Sangat Deras
Diameter Bola (mm)
Massa (mg)
Kecepatan Jatuh (m/det)
0.15 0.5 1 2 3
0.0024 0.065 0.52 4.2 14
0.5 2.1 4.0 6.5 8.1
Sifat awan yang dapat mengakibatkan hujan oleh manusia dikembangkan dan digunakan untuk membuat hujan buatan. Dalam mempercepat hujan diberikan zat-zat yang
Universitas Sumatera Utara
higroskopis yang berguna sebagai inti kondensasi zat-zat tersebut antara lain: perak iodida, kristal es, es kering atau CO2 padat, zat tersebut ditaburkan diudara dengan menggunakan pesawat terbang. 2.3.2. Tipe Hujan Hujan dibedakan menjadi empat tipe, pembagiannya berdasarkan faktor yang menyebabkan terjadinya hujan tersebut: a. Hujan Orografi Hujan ini terjadi karena adanya penghalang topografi, udara dipaksa naik kemudian mengembang dan mendingin terus mengembun dan selanjutnya dapat jatuh sebagai hujan. Bagian lereng yang menghadap angin hujannya akan lebih lebat dari pada bagian lereng yang ada dibelakangnya. Curah hujannya berbeda menurut ketinggian, biasanya curah hujan makin besar pada tempat-tempat yang lebih tinggi sampai suatu ketinggian tertentu. b. Hujan Konvektif Hujan ini merupakan hujan yang paling umum terjadi di daerah tropis. Panas yang menyebabkan udara naik keatas kemudian mengembang dan secara dinamika menjadi dingin dan berkondensasi dan akan jatuh sebagai hujan. Proses ini khas buat terjadinya badai guntur yang terjadi di siang hari yang menghasilkan hujan lebat pada daerah yang sempit. Badai guntur lebih sering terjadi di lautan dari pada di daratan.
Universitas Sumatera Utara
c. Hujan Frontal Hujan ini terjadi karena ada front panas, awan yang terbentuk biasanya tipe stratus dan biasanya terjadi hujan rintik-rintik dengan intensitas kecil. Sedangkan pada front dingin awan yang terjadi adalah biasanya tipe cumulus dan cumulunimbus dimana hujannya lebat dan cuaca yang timbul sangat buruk. Hujan front ini tidak terjadi di Indonesia karena di Indonesia tidak terjadi front. d. Hujan Siklon Tropis Siklon tropis hanya dapat timbul didaerah tropis antara lintang 0°-10° lintang utara dan selatan dan tidak terkaitan denga front, karena siklon ini berkaitan dengan sistem tekanan rendah. Siklon tropis dapat timbul dilautan yang panas, karena energi utamanya diambil dari panas laten yang terkandung dari uap air. Siklon tropis akan mengakibatkan cuaca yang buruk dan hujan yang lebat pada daerah yang dilaluinya. 2.3.3. Distribusi Hujan a. Equatorial Tipe ini terdapat pada daerah sekitar equator. Ciri-ciri dari pada tipe ini adalah mempunyai dua puncak maksimum dan minimum. Hujan maksimum terjadi pada bulan bulan dimana matahari berada diatas daerah tersebut. Hujan minimum terjadi pada waktu matahari berada paling jauh dari tempat tersebut.
b. Tropik
Universitas Sumatera Utara
Tipe ini terjadi di daerah tropik pada lintang 0°-3,5° lintang utara dan selatan. Tipe ini mempunyai satu puncak maksimum yaitu terjadi pada bulan dimana matahari berada didaerah tesebut. c. Monsun Tipe ini terjadi didaerah-daerah yang dilalui angin muson. Tipe ini mempunyai hujan maksimum pada musim barat bersamaan dengan musim hujan dan minimum pada waktu musim timuran bersamaan denga musim kemarau. d. Continent/Lokal Tipe ini terjadi hujan pada musim panas. Pada musim panas daerah daratan suhunya tinggi sehingga tekanan udara rendah dan udara sekitarnya mempunyai tekanan yang tebih tinggi sehingga angin akan bertiup kedaerah tersebut sehingga terbentuk konveksi dan terjadi hujan. Sebaliknya musim dingin daerah tersebut menjadi pusat anti siklon sehingga hujan jarang terjadi. e. Maritim Hujan terjadi merata sepanjang tahun. Tipe ini biasanya dimiliki oleh pulau-pulau yang terletak di tengah Samudra. f. Tropik Tipe ini terjadi di daerah sub tropik. Tipe ini mempunyai satu curah hujan minimum yang terjadi pada pertengahan tahun. 2.4.
Sifat dan Bentuk Hujan Jatuhan hidrometeor yang meninggalkan dasar awan, baik dalam bentuk tetes air
Universitas Sumatera Utara
maupun dalam berbagai bentuk es dan mencapai tanah disebut hujan. Agar hidrometeor tersebut dapat mencapai tanah, diperlukan suatu keadaan dimana udara dibawah awan tidak terlalu panas dan kering. Namun demikian, selama dalam perjalanan jatuh, hidrometeor tersebut tetap akan mengalami penguapan atau sublimasi a)
Drizzle Drizzle, adalah hujan yang serba sama dengan tetes-tetes air yang kecil dan rapat. Berdasarkan ketentuan internasional. drizzle terdiri dari tetes air yang memiliki garis tengah kurang dan 250 yang selanjutnya disebut tetes-tetes drizzle. Drizzle umumnya jatuh dari awan-awan Jenis Stratus yang tebalnya hanya beberapa ratus meter dan dapat mencapai tanah jika arus udara naik sangat lemah.
b)
Hujan Hujan, terdiri dari tetes-tetes air yang memiliki garis tengah lebih dari 250. Tetes tetes hujan yang besar umumnya awan yang tebalnya beberapa kilometer dan jatuhnya hujan tertinggi (lebat) dihasilkan dari awan-awan jenis Cumulus yang tingginya bisa mencapai 10 kilometer atau lebih dengan arus naik yang luat didalamnya.
c)
Salju Salju, adalah hujan dalam bentuk kristal-kristal es. Sebagian terbesar dari kristal es ini bercabang yang kadang-kadang berbentuk seperti bintang. Kelompok dari kristal-kristal es ini disebut keping salju. Kristal-kristal es juga bisa berbentuk seperti jarum, butiran atau lempengan dan disebut sebagai prisma-prisma es. Prisma es ini sering sedemikian kecilnya sehingga seolah melayang di udara.
Universitas Sumatera Utara
d)
Butir-butir Salju Butir salju, terdiri dari biji-biji es yang berwarna putih kabur dalam bentuk bola atau kerucut dengan garis tengah antara 2 - 5 mm. Butir salju terbentuk dari accretion air super dingin pada kristal es atau keping salju dalam bentuk rime. Butir salju bersifat kering dan mudah pecah dan jika jatuh mengenai benda keras akan memantul.
e)
Butir-butir Es Butir-butir es, terdiri dari butir es yang transparan maupun translusen dengan bentuk bola atau bentuk yang tidak teratur.
2.5. Pengamatan dan Alat Ukur Curah Hujan 2.5.1. Pengamatan Pos Hujan 1. Pos Hujan Biasa (Tipe Observatorium) adalah suatu stasiun yang terdiri dari satu alat penakar hujan biasa untuk mengukur curah hujan per satuan waktu secara manual atau ditakar langsung oleh pengamat. Penakar hujan tipe observatorium merupakan tipe standard yang digunakan di Indonesia. Jejaring pos hujan ini tersebar luas di seluruh daerah dengan topografi yang datar, berbukit / bergunung, atau di pulau-pulau kecil. 2. Pos Hujan Khusus adalah suatu stasiun yang terdiri dari satu alat penakar hujan dengan bentuk khusus agar dapat menampung curah hujan lebih banyak dari tipe penakar biasa, misalnya untuk satu bulan. Pengamatan dan penakar hujan khusus tidak harus setiap hari, tetapi dapat
Universitas Sumatera Utara
dilakukan sebulan sekali atau pada tiap waktu mengadakan peninjauan ke lokasi tersebut, sesuai kapasitas yang ada dan kendala yang dihadapi pengamat untuk mencapai lokasi atau pos hujan tersebut. 3. Pos Hujan Utama adalah suatu stasiun yang terdiri dari satu alat penakar hujan biasa. Untuk mengukur curah hujan per satuan waktu secara manual atau langsung oleh pengamat (sama seperti tipe observatorium) yang dipilih
dan ditentukan
lokasinya hingga memenuhi beberapa persyaratan, antara lain : •
dapat mewakili sifat hujan di daerahnya
•
ketepatan data yang tinggi
•
memiliki series data yang cukup panjang dan kontinu
•
komunikasi pengiriman data mudah
Pemilihan pos hujan utama didasarkan pada daerah tipe hujan dengan tujuan untuk meningkatkan dan mempermudah pelayanan informasi hujan. 4. Pos Hujan Otomatis adalah suatu stasiun yang terdiri dari satu alat penakar hujan otomatis yang dapat mencatat intensitas curah hujan dan lamanya (satuan waktu ) dan tertulis pada suatu pos hujan untuk satu hari (24 jam) mulai jam 07.00 WIB sampai 07.00 WIB hari berikutnya. Satu stasiun hujan otomatis, terdiri dari (satu) alat penakar hujan otomatis dan 1 (satu) alat penakar hujan biasa (obs). Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menggunakan panakar hujan otomatis standart tipe Hellmann. Di Indonesia alat ini sudah dipakai sejak tahun 1957,
Universitas Sumatera Utara
tetapi dengan jumlah hujan yang masih sangat terbatas.
2.5.2. Alat Pengukur Curah Hujan Pengamatan curuh hujan dilakukan oleh alat ukur hujan. Ada 2 jenis alat yang digunakan untuk pengamatan, yakni jenis biasa dan jenis otomatis. Alat ukur biasa itu ditempatkan di tempat yang terbuka yang tidak dipengaruhi oleh pohon-pohon dan gedung-gedung. Bagian atas alat itu di pasang 120 cm lebih tinggi dari permukaan tanah yang sekelilingnya ditanami rumput. Ketelitian pembacaan adalah sampai 1/10 mm. Pembacaan harus diadakan 1 kali sehari, biasanya jam 07.00 dan hasil pembacaan ini dicatat sebagai curah hujan hari terdahulu (kemarin). Curah hujan kurang dari 0,1 mm harus dicatat 0,00 mm, yang harus dibedakan dengan keadaan yang tidak ada curah hujan yang dicatat dengan membubuhkan garis (-). Alat ukur hujan otomatis digunakan untuk pengamatan yang kontinu. Ada 2 jenis alat ukur otomatis, yakni jenis sifon dan jenis penampung bergerak tilting bucket. Air hujan itu tertampung di dalam sebuah silinder di mana terdapat sebuah pelampung yang dapat di angkat oleh air hujan yang masuk itu. Curah hujan itu dapat di catat pada suatu sistim pencatat dangan sebuah pena pencatat yang di gerakkan oleh pelampung itu. Lebar kertas pencatat itu adalah sesuai dengan curah hujan 20 mm. Jika pena pencatat itu mencapai batas atas 20mm (berarti pelampung dalam selinder itu naik 20mm), maka air hujan di dalam selinder itu akan terbuang melalui sifon pada silinder dan pena akan turun ke batas bawah, yakni titik 0 mm dari kertas pencatat karena pelampung turun.
Universitas Sumatera Utara
Konstruksi alat ukur hujan otomatis jenis pelampung bergerak (tilting bucket).penampung terdiri dari 2 bagian yang sama, yang dapat bergerak/berputar pada sumbu horizontal yang terpasang di tengah- tengah. 2.5.3. Jenis Penakar Hujan Standart 2.5.3.1. Penakar Hujan Biasa (non recording) Penakar hujan biasa ada beberapa macam, diantaranya tipe obeservatorium (obs), tipe observatorium jenis wind shild dan tipe obsevatorium pada tanah. a. Panakar Hujan Tipe Observatorium (obs) Jenis penakar hujan ini termasuk penakar hujan biasa atau non recording. Jenis ini digunakan di Jndonesia sejak zaman pendudukan Belanda sampai sekarang. Bentuk alatnya sederhana, terdiri dari: • Sebuah corong yang dapat dilepas dari bagian alat. Permukaan corong terbuat dari kuningan/tembaga yang berbentuk lingkaran dengan luas penampang 100 cm2 • Bak tempat penampungan air hujan • Kran untuk mengeluarkan air dalam bak ke gelas penakar. Kran dilengkapi dengan gembok agar tidak dapat dibuka tanpa kuncinya. • Kaki penakar yang berbentuk tabung silinder, tempat memasang penakar pada tonggak kayu. • Gelas penakar hujan yang mempunyai skala 25 mm. Penakar hujan tipe observatorium terbuat dari lempengan seng plat dengan tinggi sekitar 60 cm. Sebelum dipasang alat ini dicat warna putih (aluminium) untuk mengurangi pemanasan atau penguapan air akibat radiasi matahari.
Universitas Sumatera Utara
b. Penakar Hujan Biasa Jenis Wind Shild Pemasangan wind shild pada penakar hujan biasa dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh angin putar (turbulensi) yang bertiup melalui corong penawar hujan, sehingga angin yang melewati corong sedapat mungkin horizontal. Jenis penawar hujan ini tidak banyak dipakai di Indonesia, hanya pada beberapa stasiun meteorologi. Bentuk penakar sama seperti penakar hujan biasa dan ditambah dengan wind shild pada bagian atasnya, yang terdiri dari dua buah kerucut terpasang dalam posisi terbalik, dengan bidang alas berada disebelah atas. c. Penakar Hujan Biasa Pada Tanah Penakar hujan jenis ini dimaksudkan untuk mendapatkan jumlah curah hujan yang jatuh pada permukaan tanah, dengan pertimbangan bahwa curah hujan yang ditampung akan berkurang jika penakar dipasang makin tinggi dari permukaan tanah. Pada dasarnya bentuk ukuran penakar hujan ini sama dengan penakar hujan biasa (obs). Perbedaan hanya terletak pada cara pemasangannya. Pada bagian atas reservoar terdapat tugkai yang digunakan untuk mengangkat penakar hujan jika akan dilakukan pengukuran. Pada sekitar corong penakar terdapat lapisan ijuk yang disusun pada lapisan kayu yang berbentuk lingkaran dengan maksud untuk mengurangi percikan air hujan. Selain itu, terdapat jaringan kawat /besi yang berbentuk bujur sangkar sebagai tempat berpijak ketika akan dilakukan pengangkatan lapisan ijuk dan penakar hujan. Jenis penakar ini umumnya tidak banyak digunakan, mengingat cara instalasi, pemeliharaan, dan pengukkurannya tidak efisien.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Penakar Hujan Biasa
2.5.3.2. Penakar Hujan Otomatis (recording) Penakar hujan otomatis ada beberapa macam, diantaranya jenis Jardi, jenis Tipping Bucket, jenis Van Doorn, jenis Hellmann. a. Penakar Hujan Otomatis Jenis Jardi Penggunaan penakar hujan jenis Jardi dimaksudkan untuk memperoleh intensitas curah hujan pada suatu saat, terutama sekali untuk curah hujan yang besar dan terjadi pada waktu yang singkat. Data yang tercatat pada pias lebih jelas dibanding dengan penakar hujan jenis lain. Penakar jenis ini sudah tidak lagi dipakai di Indonesia. b. Penakar Hujan Otomatis Jenis Tipping Bucket Prinsip penakar hujan ini sama dengan penakar hujan otomatis jenis Jardi, Van Doorn, dan Hellmann, yaitu untuk mengukur intensitas curah hujan, volume hujan dan waktu terjadinya atau lamanya hujan. Perbedaannya terdapat pada bentuk alat dan beberapa bagian instrumen seperti luas corong dan sistem mekanismenya. Penakar jenis ini sudah tidak dipakai lagi di Indonesia, kecuali yang sudah ada terdahulu.
Universitas Sumatera Utara
c. Penakar Hujan Otomatis Jenis Van Doorn Pada dasarnya sistem mekanisme penakar hujan otomatis jenis Van Doorn hampir sama dengan jenis Hellmann. Perbedaannya terdapat pada bentuk alat, luas corong, dan beberapa bagian instrumennya. Pada saat sekarang pemakaian jenis penakar ini tidak ada lagi.
Gambar 2.5. Penakar Hujan Otomatis
2.5.4. Instalasi Alat Penakar Hujan Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan Alat penakar hujan adalah: 1. Tempat terbuka, bebas dari hambatan seperti; bangunan, pepohonan dan lain lain. Jarak ideal sebuah alat dari penghambat adalah 2x ketinggian penghambat. 2. Efek angin, sebaiknya di sekeliling alat dipasangkan penahan angin. Penahan angin harus diletakan mengelilingi alat namun tidak boleh terlalu dekat dan ketinggiannya tidak boleh lebih tinggi dari alat.
Universitas Sumatera Utara
3. Ketinggian alat, biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan/atau negara yang bersangkutan. BMG menetapkan ketinggian alat penakar hujan adalah 120 cm diatas permukaan tanah berumput tipis. 4. Cat, sebaiknya menggunakan warna putih/chrome untuk mengurangi efek penguapan. 5. Pelindung alat/pagar, bila alat dianggap perlu untuk dikelilingi pagar, maka ketinggian pagar tidak boleh melebihi tinggi alat (biasanya cukup 1 m). 2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini. Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute. Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi bencana alam, atau SIG dapat digunaan untuk mencari lahan basah (wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi (……….2010a). Teknologi informasi dan komputer berkembang dengan pesat dan mampu menangani data dasar (data base) dan menampilkan gambar maupun grafik,merupakan salah satu alternatif untuk menyajikan suatu peta. Sistem yang dapat dikembangkan berupa
Universitas Sumatera Utara
perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software)untuk kepentingan pemetaan, agar fakta wilayah dapat disajikan dalam satu sistem berbasis komputer. Sistem tersebut kita kenal dengan istilah Sistem Informasi Geografis (SIG). Meskipun demikian SIG tidak boleh hanya dipandang sebagai pemindahan peta konvensional (tradisional) ke bentuk peta digital, sebab SIG juga mampu mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan, menampilkan,memanipulasi, dan memadukan informasi dari berbagai sektor, sehingga dapatmenghasilkan informasi berharga yang diperoleh dari mengkorelasikan dan menganalisis data spasial dari fenomena geografis suatu wilayah (Guswanto, 2008). Berikut ini, beberapa definisi SIG menurut para ahli: 1. Menurut Aronaff, 1989. SIG adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja komputer yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian. 2. Menurut Barrough, 1986. SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk pengumpulan, penimbunan, pengambilan kembali data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari kenyataan dunia. 3. Menurut Marble et al, 1983. SIG merupakan sistem penanganan data keruangan. 4. Menurut Berry, 1988. SIG merupakan sistem informasi, referensi internal, serta otomatisasi data keruangan. 5. Menurut Calkin dan Tomlison, 1984.
Universitas Sumatera Utara
SIG merupakan sistem komputerisasi data yang penting. 6. Menurut Linden, 1987. SIG adalah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan (manipulasi), analisis dan penayangan data secara spasial terkait dengan muka bumi. 7. Menurut Petrus Paryono SIG adalah sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, manipulasi dan menganalisis informasi geografi (----------2010b).
Universitas Sumatera Utara