Bab II TINJAUAN PUSTAKA A.
KEWENANGAN 1. Kewenangan Menurut Stout, wewenang dapat dimaknai sebagai pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Dengan kata lain, menurut pendapat Goorden, wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara implisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik. Sedangkan menurut Bagir Manan pengertian wewenang tidak disamakan dengan kekuasan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sementra wewenang dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban (rechen en plichten). Dengan mengasumsikan hal ini dalam konsep otonomi dareah, hak dianggap pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan untuk mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan1.
1
Jeddawi Munir. “Hukum Administrasi Negara” Total Media.Yogyakarta. 2012. Hlm 73- 74.
16
2. Dasar-Dasar Terciptanya Kewenangan dan Sifat-Sifat Kewenangan. a. Dasar-Dasar Tercitapnya Kewenangan Dalam Kepustakaan Hukum Administrasi Negara ada dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu Atribusi dan Delegasi, kadang-kadang juga Mandat, ditempatkan secara sendri untuk memperoleh kewenangan. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut2: 1. Atrbusi Atribusi adalah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepadaa suatu organ pemerintah, baik yang sudah ada atau yang baru sama sekali. Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Suatu atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materil. Pendapat lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentuk wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Delegasi Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh si pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggungjawab penerima wewenang. Dalam hukum administrasi Belanda telah merumuskan pengertian delegasi dalam wed Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB
2
Dewa Jufri. Moh.2011. “Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektik Pelayanaan Publik” Unhalu Press .Kendari. 2011.hlm: 78-80.
17
(algemene wed bestuursrecht). Dalam Pasal 103 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat besluit) untuk pejabat pemerintah (pejabat tata usaha Negara) pada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut. Yang memberi atau melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima disebut delegatoris. Untuk itu, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Dalam pemberian atau pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: a. delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan (diserahkan); b. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan; c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawean tidak diperkenankan adanya delegasi; d. kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. peraturan kebijakan, artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Berdasarkan konsep delegasi tersebut maka tidak dikenal delegasi umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan ke bawahan.
18
3. Mandat Mandat berbeda dengan atribusi dan delegasi. Pada mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari badan atau pejabat tata usaha negara yang satu kepada yang lain. Dengan kata lain, pejabat menerima mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat). Adapun tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat. b. Sifat-Sifat Kewenangan. Dalam koridor pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan, disebutkan adanya konsep terikat, fakultatif dan bebas, dalam hal ini Indroharto mendefenisikannya sebagai berikut3: a. Wewenang pemerintah bersifat terikat, yakni menjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasar sedikit banyak menentukan isi dari keputusan yang harus diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar menetukan isi dari keputusan secara terinci, maka wewenangnya bersifat terikat. b. Wewenang fakultatif, terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaankeadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.
3
Jeddewi Murtir.Op.Cit. hlm: 75-76.
19
c. Wewenang bebas, yakni ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menetukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
B. KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA 1. Konsep dan Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara a. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara Keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51 Tahun 2009)4. b. Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara Pengertian keputusan tata usaha negara dalam Pasal 1 Angka 9 tersebut, mengandung unsur-unsur utama, sebagai berikut5 : 1. penetapan tertulis; 2. oleh badan atau pejabat tata usaha negara; 3. tindakan hukum tata usaha negara; 4. konkrit, individual, dan final; 5. akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
4 5
Dewa Jufri.Muh.H.Op.Cit. hlm: 85. Ibid .hlm: 85.
20
Penetapan tertulis dimaksudkan adalah cukup ada hitam di atas putih karena menurut penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa from tidak penting dan bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis. 2. Keabsahan Keptusan Tata Usaha Negara. Keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda rechtmatgheid (van bestuur). Rechtmatigheid merupakan sinonim dari legalitas atau legality. Keabsahan dalam ruang lingkupnya meiputi: (1) wewenang; (2) prosedur; dan, (3) substansi. Tiga hal tersebut (wewenang, prosedur, dan substansi) harus berdasarkan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya6. 3. Jenis-Jenis dan Pengolongannya Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) a. Jenis-Jenis Keputusan Tata Usaha Negara Keputusan-keputusan administrasi negara yang biasa disebut keputusan tata usaha negara atau disingkat
KTUN
bersifat
penting. Macam-macam
KTUN
yang
pengertiannya
dikembangkan oleh E. Utrecht, menggunakan istilah ketetapan, ketetapan dapat dibedakan antara7: a. Ketetapan positif dan ketetapan negatif, ketetapan positif menimbulkan hak dan/atau kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Ketetapan negatif tidak menimbulkan perubahan
6 7
Ibid. hlm: 81. Ibid. hlm: 90
21
dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa (onbevoegd verklaring), pernyataan tidak diterima (neitontvankelijk verklaring) atau suatu penolakan (afwijzinf); b. Ketetapan deklaratoir versus ketetapan konstitutif. Ketetapan deklaratoir hanya mengatakan bahwa hukumannya demikian (rechts vastellende berschikking); ketetapan konstitutif adalah membuat hukum (rechtscheppend). c. Ketetapan kilat dan ketetapan yang kilat (blijvende), yang oleh Prins disebutkan ada empat macam ketetapan kilat. 1)
Ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi (teks) ketetapan lama;
2)
Suatu ketetapan yang negatif, yaitu ketetapan yang hanya mengandung suatu keputusan untuk masih melakukan tindakan;
3)
Penarikan atau penambahan suatu keputusan, yaitu suatu ketetapan yang tidak memberikan suatu hasil yang positif dan tidak menolah mengambil suatu ketetapan;
4)
Suatu pernyataan pelaksanaan (de uitvoerbaarverklaring).
5)
Ketetapan yang berisi (a) dispensasi, (b) ijin (vergunning), (c) lisensi (licentie), atau (d) konsesi.
E. Utrecht, menyebut keputusan admisistrasi itu dengan istilah penetapan. Atas pengaruh Prajudi Admosudirdjo yang sangat luas dibidang hukum administrasi negara, maka para sarjana hukum sampai sekarang sangat terbiasa menggunakan istilah “penetapan” sebagai sebutan untuk produk kegiatan penetapan dalam bidang administrasi. Produk penetapan itu seharusnya disebut sebagai ketetapan seperti pendapat E. Utrecht, menurut Pradjudi Admosudirdjo, KTUN yang
22
disebut sebagai penetapan itu dapat dibagi dua, penetapan positif dan penetapan negatif, sebagai berikut8: a. Penetapan positif terdiri dari lima golongan penetapan, yaitu: 1)
Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya, misalnya:Pemerintah menyatakan suatu daerah tertutup karena ada wadah suatu penyakit menular;
2)
Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek
saja,
misalnya: Pemberinya menyatakan suatu pelabuhan sebagai pelabuhan samudera, atau pelabuhan berstatus internasional; 3)
Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;
4)
Yang memberikan beban (kewajiban) kepada suatu instansi atau perorangan;
5)
Yang memberikan suatu keuntungan kepada suatu instansi atau perorangan, yang banyak dicari orang adalah justru yang memberikan keuntungan. Adapun keputusan (penetapan) administrasi yang memberikan keuntungan, adalah: Dispensasi, yaitu suatu pernyatan dari pejabat administrasi negara yang berwenang, bahwa suatu perundang-undangan tertentu memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seorang (atau instansi) di dalam surat permintaannya; 1) Izin atau pergunning, yaitu suatu dispensasi dari suatu larangan; 2) Lisensi, yaitu suatu izin yang bersifat komersial dan mendatangkan keuntungn atau laba; 3) Konsesi, yaitu suatu penetapan yang memerlukan kewaspadaan, kewicaksanaan, dan perhitungan yang sematang-matangnya, oleh karena
8
Ibid.hlm: 90-92.
23
suatu instansi (orang) yang mendapat konsesi (konsesionaris) selain mendapat dispensasi, ijin dan lisensi, juga diberikan semacam “wewenang pemerintahan”, yang memungkinkan kepadanya memindah-mindahkan kampung, menbuat jalan, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan memasang jaringan telepon. Oleh karena itu, pemberian konsesi haruslah dengan kewaspadaan, kewicaksanaan dan perhitungan yang sematang-matangnya. b. Penetapan negatif merupakan penetapan yang berlaku sekali saja (eenmalig), sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Tentang pembagian uraian Prayudi Atmosudirdjo tentang penetapan (beschikking) sebagaimana telah diuraikan tersebut, oleh Tiik Triwulan Tutik, memberi catatan terhadap Pendapat Prayudi Admosudirdjo, sebagai berikut9: 1) Beschikking, lahir dari suatu permohonan dan dengan itu dibedakan atas penetapan positif dan negatif. Melihat pada keputusan praktik, tidak selamanya beschikking lahir atas suatu permohonan yang berkepentingan; lebih-lebih belastende beschikking. 2) Ijin atau vergunning, adalah dispensasi dari suatu larangan. Rumusan yang demikian menumbuhkan dispensasi dengan izin, dispensasi beranjak dari ketentuan yang pada dasarnya “melarang” suatu perbuatan, sebaliknya ijin beranjak dari ketentuan yang pada dasarnya tidak melarang suatu perbuatan tapi untuk dapat melakukannya disyaratkan prosedur tertentu harus dilalui. Dispensasi merupakan suatu relazatio regis. Dalam hal ini bahwa dalam keadaan tertentu suatu ketentuan hukum dinyatakan tidak berlaku untuk hal tertentu.
9
Ibid. hlm: 92.
24
3) Lisensi adalah ijin yang bersifat komersial dan mendatangkan keuntungan. Dalam rumusan ini perlu diperhatikan bahwa ijin itu sendiri tidak komersial, mungkin yang dimaksud adalah bidang usahanya yang bersifat komersial dan mendatangkan keuntungan b. Penggolongan Keputusan Tata Usaha Negara Selanjutnya, dalam keputusan hukum administrasi (negara) berbahasa Belanda, antara lain dalam buku B. de Goede Beel van het Nederlands Bestuurrecht terdapat pengelompokan beschikking atas10 : a. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) yang menguntungkan versus yang memberi beban (begunstigende en belanstende beschikking); b. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) bebas (gebonden en vrij beschikking); Demikian pula, dalam buku P.de Haan cs, “bessturecht in de sociale rechtsstaat” terdapat penggolongan bescikking atas11: a. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) perorangan versus Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) kebendaan (persoonlijk en zakelijk beschikking); b. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) bersifat deklaratif dan yang bersifat konstitutif (recht suats tellenden rechts schappend beschikking); c. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) bebas dan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) terikat (vrij en gebonden bescikkingen); d. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang memberi beban dan yang menguntungkan (belastende en begunstigende beschikkingen);
10 11
Ibid. hlm: 93. Ibid. hlm: 93-94.
25
e. Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) seketika/kilat dan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) langgeng (eenmalig en voortdurendeebeschikkingen); Persoonlijk en zakelijk beshikkingen (keputusan yang menyangkut pribadi dan status hukum) dapat dijelaskan sebagai berikut. Persoonlijk beschikking adalah keputusan yang menyangkut pribadi orang tertentu, sedangkan zakelijk beschikking, keputusan yang menyangkut status hukum dari benda tersebut.Begunstigende en belastende beschikking (keputusan yang memberi manfaat dan beban) dapat dijelaskan sebagai berikut. Keputusan yang memberi manfaat bagi yang dikenai keputusan adalah begunstigend beschikking dan keputusan yang memberi beban bagi yang dikenai keputusan merupakan belastend beshikking.Gebonden en vrije beshikkingen (exekutife decision and discretionary) (keputusan terikat dan bebas) dapat dibedakan sebagai berikut. Dalam hal peraturan umum telah menetapkan ketentuan, keadaan-keadaan yang mengikat yang harus dipatuhi dalam pembuatan keputusan, maka keputusan semacam itu merupakan “gebonden beschikking”. Dalam hal tidak ada ketentuan-ketentuan yang demikian dan organ administrasi negara diberi freis ermessen (pouruoir discretionaire) untuk membuat keputusan makakeputusan semacam itu adalah “vrije beschikking”. Perbedaan antara gebonden en vrije beschikking diintrodusir dari hukum Perancis dan Jerman. Menurut Vetel (Perancis) dalam hal ada ketentuan undang-undang atau peraturan, organ administrasi negara terkait pada ketentuan tersebut tanpa kemungkinan untuk melakukan pilihan. Sebaliknya administrasi negara akan menggunakan pouvoirdiscretutioneire apabila undang-undang atau peraturan memberikan kebebasan
bertindak.
Merkel
(Jerman)
membedakan
freie
und
gebundene
verwaltungsferfugungen.
26
Selanjutnya, perbedaan ketetapan dengan keputusan dari istilah beschikking oleh Prins.dalam bukunya Inleiding in het administratiefrrecht van indonesie membagi ketetapan dalam beberapa golongan, sebagai berikut12: a. Ketetapan yang menguntungkan dan ketetapan-ketetapan yang lainnya (guntige en andere beschikingen). Lepas dari kepentingan pihak ketiga maka pada dasarnya dalam suatu ketetapan yang jelas menguntungkan (onvedeeld gunsting), tidak perlu diadakan motivering (alasan) dan kepada yang bersangkutan tidak perlu diberi kesempatan untuk meminta banding. Adapun ketetapan yang mengutungkan antara lain : 1) Ketetapan spontan (serta merta) yang memberikan beban/perintah (bevel) 2) Ketetapan negatif. 3) Ketetapan yang memuluskan sebagai dari permohonan 4) Ketetapan spontan, yang menarik kembali ke suatu ketetapan yang mengutungkan Di antara ketetapan yang tidak menguntungkan terdapat ketetapan “bersifat khusus”yaitu peringatan yang sungguhpun tidak menimbulkan kewajiban baru bagi yang bersangkutan, tetapi dapat terancam oleh sanksi-sanksi yang sebelumnya tidak dapat dikenakan kepadanya. b. Ketetapan-ketetapan deklaratoir dan konstitutif (declaratoire en cobtitutieve beschiking). Ada dua jenis peraturan jika ditinjau dari sudut proses penyelesaiannya yaitu: 1) Peraturan yang tidak memerlukan suatu ketetapan (yang menyelenggarakan peraturan itu) agar dapat menyelesaikan suatu soal yang konkret,dan; 12
Ibid .hlm: 94-96.
27
2) Peraturan yang walaupun juga secara langsung memberikan hak kepada yang bersangkutan tetapi masih memerlukan suatu ketetapan agar dapat menyelesaikan hala yang kongkrit. Pada jenis ketetapan yang kedua ini pada dasarnya tugas administrasi negara hanya mencatat (constateren).Meski demikian dalam hal ini terdapat dua kategori,yaitu jika ketetapan itu hanya menyatakan sesuatu hal (rechtvatstellende beschikking). Tetapi, jika ketetapan bukan hanya menyatakan saja dan administrasi negara dengan teliti menyelidiki benar (wewenang mengadakan tindakan berdasarkan freies ermessen), maka ketetapan itu disebut ketetapan konstitutif (constitutief). c. Ketetapan-ketetapan yang kilat dan tetap (vluchtige en blijvende beschikking). Ketetapan yang kilat (vluchtig) adalah ketetapan yang berlaku berakibat pada suatu saat penedek saja, yakni saat yang ditetapkanya. d. Ketetapan deispensasi (dispensatie), izin (vergunning) lisensi (licentie) konsensi (concessive) C. Asas Pembagian Kekuasaan dan Pembagian Kewenangan Dalam Menjalankan Pemerintahan Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 1.
Asas-Asas Pembagian Kekuasaan a. Asas Desentralisasi System penyelenggaraan pemerintah dalam Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi
dua bentuk, yaitu sebagai berikut13:
13
Utang Rosidin. “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi „Dilingkup Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Dengan Perubahan-Perubahannya‟”. Pustaka Setia. Bandung. 2010. hlm: 86.
28
1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, yaitu segala sesuatu dalam Negara itu langsung dan diurus pemerintah pusat, sedangkan darah-daerah hanya tinggal melaksanakannya. 2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, yaitu daerah-daerah diberi kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah otonom (swatantra). Desentralisasi adalah suatu istilah yang luas dan selalu menyangkut kekuatan (power), biasanya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan di daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 1 Ayat (7), desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintahan tersebut adalah wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat saja, sedangkan pemerintahan daerah hanya melaksanakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat sesuai dengan aspirasi masyarakat daerahnya, walaupun daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya secara luas, nyata, dan bertanggungjawab.14 Kewenangan daerah ini mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan yang dikecualikan dalam Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) yaitu kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan agama.15
14 15
Ibid.hlm: 86-87. Ibid .hlm: 87.
29
Tujuan utama desentralisasi adalah16: 1. Tujuan politik, yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik di tingkat daerah untuk terwujudnya stabilitas politik nasional. 2. Tujuan ekonomis, yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa pembangunan akan dijalankan secara efektif dan efisian di daerah-daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan nasional. b. Asas Dekonsentrasi Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam hubungannya dengan tugas pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyerahkan urusan-urusan pemerintahannya kepada daerah secara dekonsentrasi, yaitu untuk urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan ini tetap menjadi tanggungjawab pemerintah pusat17. Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah tidak semua urusan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas desentralisasi. Pertimbangan dan tujuan diselenggarakan asas dekonsentrasi ini di antaranya adalah18: 1. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum. 2. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara. 3. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional 4. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
16
Ibid .hlm: 87. Ibid.hlm: 88. 18 Ibid.hlm: 88. 17
30
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan atau kepala wilayah atau kepala instansi vertical tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah yang meliputi19: 1. Pelimpahan dari aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya ke aparatur lain dalam satu tingkatan pemerintahan disebut dekonsentrasi horizontal; 2. Pelimpahan wewenang dari pemerintah atau dari suatu aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya ke aparatur lain dalam tingkatan pemerintahan yang lebih rendah disebut dekonsentrasi vertikal; 3. Dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah provinsi dan ibukota negara. Wilayah provinsi dibagi ke dalam wilayah kabupaten dan kota. Kemudian wilayah-wilayah kabupaten dan kota dibagi dalam kecamatan. Asas dekonsentrasi semacam ini disebut dekonsentrasi teritorial. Suatu hal yang esensial dalam pelaksanaan dekonsentrasi adalah urusan atau wewenang yang dilimpahkan itu sepenuhnya menjadi urusan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan yang dilimpahi itu semata-mata sebagai pelaksana saja.Undang-undang No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat (8) menjelaskan makna dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dengan demikian dekonsentrasi adalah tanggungjawab pemerintah pusat, sedengkan daerah, dalam hal ini provinsi, hanya diberi wewenang karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, gubernur selain pelaksana desentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Beerdasarkan isi dekonsentrasi harus dekat dengan kepentingan masyarakat dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta ketahananwilayah
19
Ibit.hlm: 88-89.
31
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas serta kesadaran nasional.20 c. Asas Tugas Pembantuan Tugas pembantuan adalah tugas-tugas untuk turut serta dalam melaksanakan tugas pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Urusan yang ditugaskan itu sepenuhnya masih menjadi wewenang pemerintah atau provinsi. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka (9) yang berbunyi “tugas pembantuan adalah pengusaan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu”21.. Berdasarkan hal tersebut hakekat tugas pembantuan adalah sebagai berikut22. 1. Tugas pembantuan adalah tugas membantu menjalankan urusan pemerintahan dalam tahap implementasi kebijakan yang bersifat operasional; 2. Urusan pemerintah yang dapat ditugasbantukan adalah yang menjadi kewenangan dari institusi yang menugaskannya; 3. Kewenangan yang dapat ditugaspembantukan adalah kewenangan yang bersifat atributif, sedangkan kewenangan yang bersifat delegatif tidak ditugasbantukan pada institusi lain.
20
Ibid. hlm: 89. Ibid. hlm: 89-90. 22 Ibid. hlm: 90-70. 21
32
Kewenangan ini terdiri atas: 1) Kewenangan
atributif
adalah
kewenangan
yang melekat
pada
satuan
pemerintahan atas dasar peraturan perundang-undangan yang membentuknya; 2) Kewenangan delegatif adalah kewenangan yang didelegasikan dari satuan pemerintah yang lebih besar kepada satuan pemerintah yang lebih kecil. Kewenanang delegatif tidak biasa didelegasikan kepada pemerintah lainnya karena bukan kewenangan yang melekat pada suatu pemerintah yang bersangkutan; 4. Urusan pemerintah yang ditugasbantukan tetap menjadi kewenangan dari institusi yang bersangkutan; 5. Kebijakan, strategi, pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia disediakan oleh institusi yang menugaskannya; 6. Kegiatan operasional diserahkan sepenuhnya pada institusi yang diberi penugasan diwajibkan melaporkan dan mempertanggungjawabkan urusan pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan; 7. Institusi
yang
menerima
penugasan
diwajibkan
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan urusan pemerintahan yang dikerjakannya kepada institusi yang menugaskan; Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan, maksud dan tujuan adanya tugas pembantuan adalah23: 1. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, serta pelayanan umum;
23
Ibid.hlm: 31.
33
2. Memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa. 2. Pembagaian Kewenangan Hubungan dalam bidang kewenangan berkaitan dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tanga daerah. Cara penentuan ini sebagai bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Digolongkan sebagai otonomi luas, apabila memenuhi ketentuan berikut.Pertama urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula.Kedua apabila system supervise dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan aecara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumahtangga daerahnya. Ketiga sehubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah24. Dalam penyelenggaraan otonomi luas, urusan pemerintahan yang diselenggarakan kepada daerah jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat.otonomi luas bisa bertolak dari prinsip; semua urusan pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu25: 1. Politik luar negeri; 2. Pertahanam; 3. Keamanan;
24 25
Ibid.hlm: 147. Ibid.hlm: 148.
34
4. Yustisi; 5. Moneter dan fiskal nasional; dan 6. Agama Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah dalam bidang berikut26: 1. Politik luar negeri, adalah urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk warga Negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya. 2. Pertahanan, misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan Negara atau sebagian Negara bahaya, membangun dan mengembangkan system pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela Negara bagi setiap warga negaranya, dan sebagainya. 3. Keamanan, misalnaya mendirikan dan membentuk kepolisian Negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum Negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu keamanan Negara, dan sebagainya. 4. Moneter dan fiskal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebujakan moneter/fisksal, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya. 5. Fiscal, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengankat haki dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan hakim dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berlaku secara nasional. 26
Ibid. hlm: 148-149.
35
6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi hak pengakuan terhadap keadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya. Selain ke-6 (keenam) urusan tersebut merupakan wewenang pemerintah daerah. Dengan demikian, urusan yang dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi tidak terbatas. Daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sekira-kiranya mampu dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan memiliki potensi untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahtraan rakyat27. Pelaksanaannya kewenangan Pemerintah Pusat didasarkan pada Pasal 10 Ayat (4) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Darerah yang berbunyi “Dalam menjalankan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), Pemerintah yang menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa” dan Pasal 10 Ayat (5) yang berbunyi “Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah diluar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), Pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau c. Menugaskan sebagaian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas bantuan. D. PERIJINAN. 1. Konsep Perijinan Izin adalah suatu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para 27
Ibid.hlm: 149.
36
warga. Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundang-undanganan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohon untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin. Didalamnya dapat diadakan perbedaan bedasarkan berbagai figure hukum. Tanda pengenal bersama dari figure hukum ini ialah bahwa semuanya menimbulkan akibat yang kurang lebih sama, yakni bahwa dalam bentuk tertentu diberi perkenan untuk melakukan sesuatu yang mestinya dilarang28. Izin dalam arti sempit sebagai pengikatan aktifitas-aktifitas pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap salah. Namun dimana ia menginginkan pengawasan sekedarnya. Contoh hal ini ialah izin bangunan. Melalui izin ini, larangan membangun bagi pemohon ditiadakan, sejauh menyangkut bangunan yang diuraikan dengan jelas dalam permohonan. Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuanketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus29. Van der Pot, izin merupakan keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan. Prajudi Atmosudirjo, izin (vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh 28
N.M Spelt & J. E. D. M. ten Berge., PENGANTAR HUKUM PERIZINAAN. Terjemahan Pelipus Mandiri Hajon, 1993, YURIDIKA, Surabaya. 1991.hlm: 1. 29 Ibid .hlm: 2-3.
37
undang-undang. pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan disebutkan “dilarang membangun tanpa izin….dan seterusnya”. H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, izin adalah suatu keputusan administrasi negara yang merupakan suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang, tetapi diperkenankan dan bersifat konkret. Asep Warlan Yusuf, izin suatu instrument pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan undang-undang30. Didalam Peraturan Mentri Dalam Negeri No: 20 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, Izin didefinisikan sebagai dukumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, yang menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu31. . 2. Tujuan Perijinan Mengikat tindakan-tindakan pada suatu system perizinan pembuat undang-undang dapat mengejar berbagai tujuan. Motif-motif untuk menggunakan system izin dapat berupa32: a. keinginan mengarahkan (mengendalikan “struen”) aktifitas-aktifitas tertentu (misalnya izin bangunan) b. mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan) c. keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin tebang, izin membongkar pada monumen-monumen) d. hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk) 30
Dewa Jufri. Muh. H.Op.Cit. hlm: 109-110. Ibid.hlm: 110. 32 N. M. Stepelt. Op.Cit. hlm: 4-5. 31
38
e. pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas-aktifitas (izin berdasarkan “drank-on horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu). Dapat dijelaskan sebagai berikut33: a. Keinginan Mengarahkan Aktivitas-aktivitas Tertentu. Pemerintah dapat menggunakan instrumen izin untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat, misalnya pada izin mendirikan bangunan (IMB) atau istilah lain disebut mendirikan bangun bangunan (IMB). untuk dapat memperoleh IMB, pemohon harus mengajukan permohonan dengan memenuhi berbagai persyaratan. Instansi yang akan menangani permohonan akan melihat berbagai persyaratan yang ada, misalnya mengenai gambar yang memuat potongan bangunan, bahan, konstuksi dan sebagainya. termasuk yang dilihat, tentu saja rekomendasi dari instansi terkait, misalnya kalau bangunan itu didirikan dekat sungai maka diperlukan rekomendasi dari instansi yang berwenang dalam pengawasan dan pengelolaan sungai; kalau bangunan itu dekat bandara, perlu ada rekomendasi dari instansi yang berwenang terhadap ketinggian dan keamanan agar tidak mengganggu lalu lintas udara; kalau itu didirikan untuk usaha yang memerlukan pemotongan sekat pemisah jalur, harus ada rekomendai dari LLAJR. Bahkan kegiatan membangun tersebut harus disesuaikan dengan rencana tata ruang kota/kabupaten. Pemerintah mengarahkan aktivitas membangun dengan menyesuaikannya dengan rencana pemerintah. misalnya; pada kawasan yang oleh pemerintah direncakan untuk pemukiman, tentu tidak diperbolehkan kalau ada anggota masyarakat yang memohon izin untuk mendirikan bangunan dan untuk keperluan industri. Pada kawasan yang direncanakan oleh pemerintah untuk pusat perkantoran, tidak diperkenankan kalau ada 33
Dewa Jufri. Muh. Op.Cit. hlm: 125-124
39
pemohon izin yang akan mendirikan rumah tinggal. Pada kawasan yang direncanakan untuk paru-paru kota, tentu tidak diperkenankan untuk mendirikan bangunan tempat tinggal. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh warga akan dikendalikan dan diarahkan melalui stelsel perizinan ke arah yang dikehendaki oleh pemerintah. Sekalipun tanah yang akan dibangun tersebut tanah milik warga yang bersangkutan secara sah, bukan berarti mereka dapat menggunakan tanah itu sesuka hati merekaa. Pemerintah tetap berwenang mengatur warganya. Bahkan, kalau warga tersebut tidak mau menaati apa yang ditentukan oleh pemerintah, mereka tidak diberikan izin, yang pada gilirannya kalau tetap membangun terhadap warga tersebut dapat dilakukan penertiban dan penindakan. b. Mencegah bahaya terhadap lingkungan Menurut ketentuan pasal 67 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lijngkungan hidup. (PPLH) di tentukan bahwa “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian ;lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan /atau kerudsakan lingkungan hidup” pada pasal 68 di sebutkan bahwa “setiap orang yang melalukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu: b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu Pemerintah mempunyai kepentingan agar objek-objek tertentu agar berguna bagi masyarakat tetap terjaga dan terlindungi. Objek tersebut perlu mendapat perlindungan karena berbagai alasan, misalnya alasan sejarah, benda tersebut sangat di perlukan untuk
40
keperluan pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Contoh: izin pengelolaan peninggalan kepurbakalaan, yaitu izin pengelolaan situs sejarah tertentu berupa peninggalan sejarah yang menggambarkan perkembangan budaya dan peradaban manusia pada suatu waktu terntentu, yang memang patut mendapatkan perlindungan d. Membagi benda-benda yang sedikit Kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas. Apabila ada warga masyarakat yang membutuhkan hal tersebut maka kesempatan yang adapun terbatas. Pemerintah memandang hal yang demikian perlu ditanggapi secara tepat. Misalkan; suatu daerah tertentu mempunyai potensi alam berupa sarang burung wallet. Terhadap sarang burung wallet dilakukan pengelolaan, bukan saja memetik hasilnya yang berupa sarang burung, tetapi juga untuk memelihara habitatnya sehingga potensi itu tidak langsung habis dalam sekali panen dan tetap terjaga agar tetap dapat dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang. Izin pengelolaan dan pengambilan sarang burung walet diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada seeorang individu atau kelompok usaha untuk jangka waktu tertentu. e. Mengarahkan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas Pemberian izin dapat ditujukan untuk pengarahan dengan menyeleksi orang dan aktivitasaktivitas tertentu yang dilakukan oleh warga masyarakat. Hal dimaksud, contohnya surat izin mengemudi (SIM). Untuk memperoleh SIM seseorang harus melalui serangkaian proses pengujian, baik ujian teori, ujian praktik, termasuk kir dokter. Setelah lolos dari pengujian tersebut yang bersangkutan baru dapat diberikan SIM.
41
3. Syarat-Syarat Perizinan Dan Syarat Perizinan Pendirian Rumah Ibadah. Dengan menetapkan syarat-syarat, akibat hukum tertentu digantungkan pada peristiwa dikemudian hari yang belum pasti. Kadangkala syarat-syarat dengan mengikuti hukum perdata, dibedakan dalam syarat-syarat penghapusan dan syarat-syarat penangguhan, ketetapan justru memperoleh kekuatan setelah adanya peristiwa34. 1). Pada umumnya sistem izin terdiri atas larangan, persetujuan yang merupakan dasar perkecualian (izin), dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin seabagai berikut35: a. Larangan Larangan dan wewenang suatu organ pemerintah dilakukan dengan memberikan izin dan harus ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagai konsekuensi dari asas legalitas dalam negara hukum demokratis. Dalam hal ini pemerintah ( kekuasaan eksekutif ) hanya memiliki wewenang-wewenang yang dengan tegas diberikan kepadanya dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan UndangUndang lain. Larangan itu merupakan sesuatu yang membebani warga, oleh karena itu pembebanan itu mesti mendapat persetujuan warga dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. b. Persetujuan yang Merupakan Dasar Kekecualian (Izin) Izin muncul jika norma larangan umum dikaitkan dengan norma umum yang memberikan kepada suatu organ pemerintah wewenang untuk menggantikan larangan itu dengan persetujuan dalam suatu bentuk tertentu. keputusan yang memberikan izin adalah suatu keputusan tata usaha negara. keputusan ini adalah keputusan sepihak dari
34 35
N. M. Stepelt. Op.Cit .hlm: 14. Dewa Jufri. Muh. H.Op.Cit. hlm: 115-117.
42
suatu organ pemerintah yang diberikan atas dasar wewenang ketatanegaraan atau ketatausahaan untuk menciptakan suatu keadaan yang konkrit dan individual sehingga suatu hubungan hukum menetapkannya secara meningkat, membebaskaanya atau dalam kondisi tertentu suatu permohonan itu ditolak. c. Ketentuan-ketentuan yang Berhubungan dengan Izin Ketentuan-ketentuan adalah syarat-syarat yang menjadi dasar bagi organ pemerintah dalam pemberian izin. dalam banyak hal secara fakta, izin dikatikan dengan syaratsyarat berhubungan erat dengan fungsi sistim perizinan sebagai salah satu instrumen penguasa. Pemerintah sebagai pihak yang berkuasa memiliki kewenangan untuk memaksa warga masyarakat. demikian pula pemerintah dapat melarang suatu hal supaya tidak dilakukan oleh warga masyarakat. suatu larangan tidak dilakukan tanpa alasan yang jelas dan tanpa pijakan yang tegas. untuk adanya larangan harus ada kewenangan terlebih dahulu bagi organ pemerintah. kalau tidak ada kewenangan yang jelas dan tegas mengenai hal ini, organ pemerintah tidak dapat melarang warga masyarakat. dalam kaitan itu berlakulah asas bahwa “untuk adanya suatu larangan mesti ada peraturan yang tegas dan jelas yang isinya melarang dilakukannya sesuatu”. Bila tidak ada peraturan. bukan berarti lalu dapat ditafsirkan tidak boleh (dilarang) dilakukan sesuatu. oleh karena itu, mutlak bagi sebuah larangan ada peraturannya terlebih dahulu. Dalam hal-hal tertentu ada kemungkinan sesuatu yang secara umum dilarang, kemudian diperbolehkan oleh penguasa. bahkan, ada juga larangan yang tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh. untuk adanya kemungkinan penyimpangan dari ketentuan larangan tersebut, organ pemerintah tertentu diberikan kewenangan untuk
43
melakukan penyimpangan. tanpa ada kewenangan seperti itu, organ pemerintah tidak bisa diberikan izin. Selain larangan dan izin, dalam kaitan dan izin juga seringkali ada ketentuan-ketentuan dalam persyaratan. Ketentuan ini dapat menyangkut hal yang harus dipenuhi dan diindahkan oleh pemohon sebelum dikeluarkan izin, dapat pula menyangkut hal-hal yang musti dipenuhi setelah izin itu diterbitkan. Ketentuan-ketentuan ini sering terjadi, seperti klausula menyatakan, “mau tidak mau harus diindahkan oleh pemohon izin”. Persyaratan itu ada yang bersifat aministratif dan ada pula yang bersifat substanstif. Persyaratan dan ketentuan yang diberlakukan bagi pemohon dan pemegang izin adakalanya dimaksudkan untuk kepentingan pemohon sendiri, untuk orang-orang yang terkait didalamnya, dan juga untuk kepentingan yang lebih luas. 2) Secara kuhsus syarat izin pendirian rumah ibadah diatur dalam Pasal 14 yang terdiri dari 3 (Tiga) Ayat sebagai berikut: Ayat (1) berbunyi “Pendirian Rumah Ibadat harus memenuhi persyaratan administrasi dan persayaratan teknis pembangunan gedung”; Ayat (2) berbunyi “Selain memenuhi persyaratan yang dimaksud Ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (Sembilan Puluh) orang yang disahkan oleh Pejabat setempat sesaui dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (3); b. Dukungan Masyarakat paling sedikit 60 (Enam Puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala desa.
44
c. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Depertamen Agama Kabupaten/Kota; dan d. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota. Ayat (3) yang berbunyi “Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) harus a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi pembangunan rumah ibadah. 4. Perizinan Sebagai Upaya Peningkatan Pelayanan Publik Birokrasi perizinan merupakan salah satu kendala bagi dunia usaha di Indonesia. Praktik dilapangan menunjukan proses perizinan belum memiliki kejelasan prosedur sehingga menimbulkan kesan tidak transparan, ketidak menentunya waktu dan biaya tinggi. Salah satu tugas pemerintah yang menjadi tuntutan masyarakat adalah terselenggarannya pelayanan publik yang baik. Menurut H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, secara pelayanan publik meliputi tiga aspek, yaitu: (a) administrasi, (b) pengadaan infrastruktur, dan (c) pemenuhan kebutuhan dasar36. Perizinan merupakan suatu manifestasi yang meliputi aspek aspek tersebut, dan dengan demikian perizinan merupakan wujud pelayanan publik yang sangat menonjol dalam tata pemerintahan. Dalam hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat seringkali perizinan menjadi indicator untuk menilai apakah suatu organisasi pemerintahan sudah mencapai kondisi good governance atau belum. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemerintah membuat suatu kebijakan mengenai model perizinan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu37.
36 37
Ibid. hlm: 175. Ibid. hlm:126.
45
Tujuan kebijaksanaan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik serta dapat memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik, dan hal yang paling penting dalam kebijakan tersebut adalah terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau38. Kebijakan terhadap model pelayanan terpadu satu pintu merupakan sebuah revisi terhadap kebijakan pemerintah sebelumnya yaitu mengenai pelayanan terpadu satu atap yang diterapkan sejak tahun 1997 melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 503/125/ PUOD, tanggal 16 januari 1997 tentang Pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Atap dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 25 tahun 1998 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Atap. Revisi ini didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa implementasi penyelenggaraan pelayanan terpadu satu atap di daerah banyak mengalami kendala terkait dengan mekanisme perizinan yang masih rumit dan kendala koordinasi lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sulit, sehingga tidak berjalan dan berfungsi secara optimal39. Konsep pelayanan terpadu satu pintu merupakan salah satu kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan, dimana proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai kepada tahap penerbitan permohonan izin dilakukan secara terpadu dalam satu tempat, dengan menganut prinsip-prinsip seperti; a. kesederhanaan, b. transparansi, c. akuntabilitas, d. menjamin kepastian biaya, waktu serta adanya kejelasan prosedur40. Dengan konsep kebijakan pelayanan terpadu satu pintu, pemohon cuma datang ke satu tempat dan bertemu dengan petugas-petugas perizinan dan menghindari adanya pungutan tidak resmi. Konsep ini adalah salah satu kebijakan pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
38
Ibid. hlm:126 Ibid. hlm:126 40 Ibid. hlm: 126-127. 39
46
Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 sebagai implementasi kebijakan pemerintah yang terkait dengan peningkatan pelayanan publik41.
E. KEPUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1. Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara. Ada 2 (dua) macam keputusan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni42: 1.
Putusan akhir (lind vonis) Putusan akhir (lind vonis) adalah putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat tertentu.
2.
Bukan putusan akhir (putusan sela/ tusen vonnis/schorsing) Bukan putusan akhir (putusan sela/ tusen vonnis/schorsing) adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim sebelum mengeluarkan putusan akhir dengan maksud menpermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka memberikan putusan akhir. Putusan bukan akhir ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni a.
Putusan preparatoir. Putusan untuk mengabungkan dua perkara menjadi satu atau putusan untuk menetapkan tengggang waktu dimana para pihak harus bertindak.
b.
Putusan interlocutoir yankni putusan berisi perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan suatu hal.
41
Ibid. hlm: 127. Marbun. F, S. “PRADILAAN ADMINISTRASI NEGARA DAN UPAYA ADMINISTRASIF DI INDONESIA”. Cetakan ketiga, FH UII Pers .Yogyakarta.2011. hal 353-354.
42
47
2. Sifat-Sifat dan Tujuan Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara. a). Sifat-Sifat Keputusan Tata Usaha Negara 1. Macam-Macam Sifat Keputusan Akhir Yaitu43: a. Menghukum (condemnatoir) b. Menciptakan (constitutif) c. Menerangkan (deklaratif) 2. Macam-Macam Sifat Keputusan Bukan Akhir Yaitu44: a.
Tidak di buat putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara.
b. Belum memiliki kekuatan hukum tetap c. Tidak dapat diajukan permintaan pemeriksaan banding secara tersendiri, kecuali dimohonkan bersama-sama putusan akhir. b). Tujuan Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara. Yang menjadi tujaun dari putusan akhir adalah untuk mengahkiri sengketa yang di ajukan kepengadilan, sedangkan yang menjadi tujuan putusan bukan akhir adalah untuk mempermudah proses pemeriksaan demi mencapai tujuan ahkir45. 3. Bentuk-Bentuk Putusan Yang Dikeluarkan Oleh Hakim. Beberapa putusan dapat keluarkan hakim tata usaha negara antara lain46: 1. Putusan atau penetapan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara sebelum pokok sengketa di periksa. Putusan atau Penetapan diputuskan dalam Acara 43
Ibid. hlm : 353-354 Ibid. hlm: 354-355 45 Lihat Marbun. F, S. “PRADILAAN ADMINISTRASI NEGARA DAN UPAYA ADMINISTRASIF DI INDONESIA”. Cetakan ketiga, FH UII Pers . Yogyakarta.2011. hlm: 353-355. 46 Ibid. hlm: 355-356. 44
48
Rapat Permusyarawatan yang berisi suatu gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasarkan: a. Pokok gugatan nyata-nyata tidak termaksud dalam wewenang hakim Peradilan Tata Usaha Negara, baik kompetensi relatif maupun kompetensi absolut; b. Syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi meskipun telah diberitahukan dan diperingatkan; c. Gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; d. Apa yang dituntut dalam gugatan nyatanya telah terpenuhi oleh keputusan Tata Usaha Negara; e. Gugatan di ajukan sebelum lewat waktunya atau telah lewat waktunya. Terhadap penetapan ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diajukan. Perlawan diajukan seperti halnya mengajukan gugatan. Putusan terhadap perlawan itu tidak dapat digunakan. f. Adanya permohonan penggugat untuk beracara (bersengketa) dengan cumaCuma. Penetapan itu berlaku untuk tingkat pertama dan terahkir. 2. Putusan atau penetapan yang dikelaurkan oleh hakim Peradilan Tata Usaha Negara sebelum pokok sengketa di periksa. Putusan atau penetapan diputuskan dalam acara pemeriksaan persiapan. 3. Putusan yang dikeluarkan pada saat pemeriksaan pokok sengketa dilakukan dan merupakan putusan akhir. Putasan atau penetapan tersebut dapat berisi menyatakan gugatan gugur, gugatan tidak diterima, gugatan di tolak atau dikabulkan.
49
4. Sengketa Yang Dapat Masuk Kedalam Peradilan Tata Usaha Negara. Perkembangan praktik peradilan mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai obyek gugatan di pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dalam beberapa tahun ini marak digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa surat keputusan, dimana pejabat yang menerbitkannya secara formal berada diluar lingkup TUN, tetapi substansinya merupakan urusan pemerintah. Demikian pula dengan adanya gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa surat-surat keputusan pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada diluar urusan pemerintahan (Eksekutif)47. Praktik peradilan sering dipertukarkan atau dicampur adukkan antara penyalahgunaan wewenang dengan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang. Padahal antara konsep penyalahgunaan wewenang dengan konsep cacat prosedur merupakan dua hal yang berbeda. Kesalahan prosedur terjadi tidak terlalu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang. Kesalahan prosedur yang in haeren dengan penyalahgunaan wewenang jika pelaksanaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan48. Istilah toedsigsgroden (belanda) secara harafia berarti dasar pengujian. Dalam UU nomor 5 Tahun 1986, yang telah dihubah dengan UU nomor 9 tahun 2004 dan kemudian diubah dengan UU nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, istilah yang digunakan dalam Pasal 53 Ayat (2) Adalah ”alasan menggugat”. Istilah ini (alasan menggugat) lebih dilihat dari sudut pandang penggugat sedangkan istilah “Toestsingsgronden” lebih dilihat dari sudut hakim dalam menilai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Baik dari sudut pandang penggugat maupun dari sudut 47
Lotulung Efendi Paulus . “HUKUM TATA USAHA NEGARA DAN KEKUASAAN “ . Salemba Humanika. Jakarta.2013. hlm: 27. 48 Op Cit Dewa Jufri.Muh.H.hlm:81.
50
pandang hakim, kedudukan masalah bertumpu pada ada tidaknya “cacat yuridis” dalam perbuatan pemerintah. Cacat yuridis tersebut, dapat disebabkan karena antara lain: (1) salah kira (dwaling), (2) paksaan (dwang), dan (3) tipuan (bedrong)49. F. Bentuk Gugatan, Kepentingan Gugatan Dan Dasar-Dasar Gugatan. 1. Bentuk Gugatan dan Kepentingan.50 Gugatan adalah suatu permohonan berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN yang diajukan ke pengadilan administrasi untuk mendapatkan putusan. Suatu gugatan harus dibuat dalam bentuk tertulis. Persyaratan tertulis merupakan hal penting untuk dijadikan pegangan para pihak dan hakim dalam memeriksa sengketa selama proses pemeriksaan berlangsung. Bagi mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dapat memintakan bantuan Panitera merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis51. Di Nederland suatu gugatan juga diisyaratkan harus tertulis, bahkan dapat dilakukan melalui telegram atau telex, kecuali gugatan melalui telepon belum dapat diterima. Jika selama ini timbul persoalan apakah dimungkinkan gugatan dan proses pemeriksaan diajukan melalui pos, sehingga para pihak tidak harus hadir secara fisik terus-menerus, mengingat secara geografis wilayah Indonesia sangat luas, ternyata menurut Surat Edaran Mahkamah Agung dapat saja dilakukan kemungkinan mengajukan gugatan melalui pos masih terdapat ketidakseragaman penerapannya di beberapa pengadilan administrasi. Mereka yang dapat mengajukan gugatan ialah orang atau badan hukum perdata, yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu keputusan (beschikking) oleh badan atau pejabat TUN baik di pusat maupun daerah. Kepentingan 49
Ibid hal: 82- 83 Marbun. F Op.cit hlm: 51 .Ibid.hlm 247. 50
51
penggugat yang dirugikan harus bersifat langsung terkena, artinya kepentingan tersebut tidak boleh terselubung dibalik kepentingan orang lain (rechtstreeks belang). Hal ini sesuai dengan adagium yang menyatakan point d’interet, point d’ action, artinya tidak ada kepentingan tidak ada aksi. Misalnya seorang kreditur dari suatu badan yang memperoleh izin dan subsidi dari pemerintah, merasa dirugikan akibat keputusan pemerintah memberhentikan subsidi terhadap badan tersebut. Kreditur itu merasa dirugikan karena tagihannya terhadap badan yang semula di subsidi tidak dapat diperoleh darinya. Contoh lain, tidak diterimanya gugatan seorang anggota Organisasi Siaran Veronica (Veronica Omroep Organisatie) untuk memperoleh waktu siaran, dengan alasan tidak ada kepentingan yang langsung terkena. Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak mengenal prinsip action popularis, yaitu suatu prinsip yang memberikan hak gugat kepada setiap orang atau setiap penduduk, namun dalam sengketa lingkungan di Indonesia ditemukan yurisprudensi, bahwa suatu organisasi yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan hidup dapat diterima sebagai Penggugat, mengajukan gugatan mengatas-namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak atau masyarakat (algemeen belang). Demikian pula dalam lingkungan peradilan perdata di Indonesia, pernah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahwa organisasi lingkungan dapat diterima sebagai penggugat mengajukan gugatan mengatas-namakan kepentingan umum (algemeen belang52). Di Nederland juga ditemukan yurisprudensi yang memungkinkan suatu organisasi yang bergerak dibidang lingkungan hidup, diterima sebagai Penggugat mengajukan gugatan dengan mengatas-namakan kepentingan umum.
52
52
Menurut Paulus Effendie Lotulung, suatu organisasi lnigkungan hidup untuk dapat bertindak sebagai Pengguat mengatas-namakan kepentingan umum (algemeen belang), harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Tujuan organisasi tersebut ialah melindungi lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam. Tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam Anggaran Dasar Organisasi tersebut. b. Harus berbentuk badan hukum atau yayasan c. Harus secara berkesinambungan menunjukan adanya kependuliannya terhadap lingkungan hidup secara nyata di masyarakat d. Harus cukup representatif. Dalam peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Tahun 2002 ditentukan mengenai Gugatan Perwakilan Kelompok yang padanannya sama dengan istilah class actionatau legal standing sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan istilah Hak Gugat Organisasi. Hak Gugat Organisasi atau Gugatan Perwakilan Kelompok atau class action atau legal standing lazim digunakan dalam praktek peradilan di Negara-negara anglo saxon yang menganut system common law yang menciptakan kaidah hukum melalui putusan pengadilan. Hak Gugat Organisasi ini kemudian diikuti juga di Negara-negara yang menganut system hukum Eropa Kontinental yang menciptakan kaidah hukum melalui statute law atau Undang-Undang yang dibuat parlemen, sebagaimana di Indonesia ditemukan dalam beberapa Undang-Undang tersebut diatas.
53
Di Amerika Serikat dalam US Federal of Civil Procedure (1938) yang diundangkan 1966, ditentukan persyaratan class action sebagai berikut. a. Numerosity artinya untuk lebih praktis dan efisien apabila gugatan diajukan sendiri-sendiri bagi penggugat yang jumlahnya puluhan, ratusan bahkan ribuan, maka gugatan cukup diajukan oleh wakil kelompok (class representative) yang mewakili kelompok (class members); b. Commonality artinya memiliki persamaan fakta, peristiwa dan dasar hukum antara yang mewakili dengan yang diwakili; c. Typically artinya memiliki persaman tuntutan dan pembelaan antara yang mewakili dan yang diwakili; d. Adequacy of Respresentation artinya yang mewakili mampu menjamin secara jujur mampu melindungi kepentingan mereka. Ketentuan persyaratan tersebut diatas memiliki persamaan dengan pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2002 menyebutkan Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu Tata Cara Pengajuan Gugatan dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Dalam merumuskan suatu gugatan harus dicantumkan secara lengkap Identitas Pengugatan. Jika gugatan diajukan oleh seorang kuasa hukum maka dalam surat gugatan harus disebutkan terlebih dahulu nama dari pihak Penggugat Pribadi (in person) dan baru disebutkan nama kuasa yang mendampinginya.
54
Untuk menemukan badan atau pejabat TUN yang akan digugat, harus diketahui sifat wewenang yang dimiliki badan atau pejabat TUN yang akan digugat tersebut. Apabila sifat wewenang yang dimiliki badan atau pejabat TUN yang memberikan mandate (mandans). Sedangkan apabila wewenang bersifat delegasi maka yang digugat adalah badan atau pejabat TUN yang menerima delegasi (delegataris). Untuk mengetahui dasar wewenang tersebut harus dilacak para peraturan dasarnya. Hal lain yang perlu diperhatikan apakah keputusan yang akan digugat harus diselesaikan lebih dahulu melalui upaya administratif. Jika upaya administratif yang tersedia hanya berupa “keberatan” maka gugatan dapat diajukan langsung ke PTUN dan bukan ke Pengadilan Tinggi TUN. Tetapi apabila yang tersedia upaya administratif berupa keberatan dan atau banding administratif sesuai dengan peraturan dasarnya, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Tinggi TUN. Mekanisme perlindungan hukum lainnya bagi warganegara untuk mengguat tanggung-jawab penyelenggara Negara atas kelalaiannya dalam memenuhi hak-hak warga Negara yang disebut Citizen Lawsuit pernah diajukan berupa gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, antara lain: -
Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang dideportasi di Nunukan;
-
Gugatan operasi Yustisia oleh LBH Jakarta;
-
Gugatan hak untuk memilih dalam Pemilu. Semua gugatan tersebut dinyatakan tidak diterima. Gugatan diajukan terhadap
tindakan atau perbuatan faktual yang dilakukan atau tidak dilakukan badan atau pejabat tata usaha Negara. Di Australia Negara bagian New South Wales pada Pengadilan Pertanahan dan Lingkungan (Law & Envirounment Court-Sidney) gugatan diterima
55
apabila didasarkan pada 2 faktor, yaitu kepentingan masyarakat luas dan faktor penguasaan sumber daya alam atau sektor-sektor yang memiliki dimensi publik.
2. Dasar atau Alasan Gugatan Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1986, dasar atau alasan diajukannya gugatan terhadap suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN, karena keputusan yang dikeluarkan tersebut oleh penggugat dianggap: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bersifat prosedural atau formal dan bersifat material atau substansial. Maupun karena dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang tidak berwenang (onbevoegheid), yang berkaitan dengan ratione materiae atau ratione loci atau ratione temporis; bersifat prosedural berarti berkaitan dengan hukum acara di lingkungan pemerintah (non kontentiosa) atau prosedur dikeluarkannya keputusan (beschikking) yang disengketakan. Bersifat formal berkaitan dengan atribusi atau dasar hukum dikeluarkannya keputusan yang disengketakan. b. Dikeluarkan atas dasar penyalah-gunaan wewenang (de tournament de pouvoir); c. Dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang (a bus de droit/ willikeur) Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No 9 Tahun 2004, dasar atau alasan gugatan membatalkan suatu keputusan TUN adalah: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bersifat prosedural/formal dan bersifat materiil atau subtansial, maupun dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang tidak berwenang (onbevoegheid), yang berkaitan dengan ratione materiae atau ratione loci atau ratione temporis; bersifat prosedural berarti berkaitan dengan hukum acara di lingkungan pemerintah (Non kontentiosa) atau prosedur
56
dikeluarkannya keputusan yang disengketakan, sedangkan bersifat normal berarti berkaitan dengan attribusi atau dasar hukum dikeluarkannya keputusan yang disengketakan. b. Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Di dalam penjelasan pasal 53 UU NO 9 tahun 2004 disebutkan, asas-asas umum pemerintahan yang baik disebut mengacu pada UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang meliputi: -
Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara
-
Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memproleh
informasi
yang
benar,
jujur
dan
tidak
diskriminatif
tentang
penyelenggaraan Negara tetap memperhatikan perlindungan atas hak pribadi, golongan dan rahasia Negara; -
Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara;
-
Asas professionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
-
Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
57
-
Asas tertib penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara;
-
Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; Asas-asas tersebut diatas lebih ditujukan untuk ketertiban penyelenggaraan
Negara dan bukan asas yang khusus ditujukan untuk dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asas tersebut bukan merupakan sebuah norma yang mudah diukur didalam pelaksanaannya. Dalam praktek ternyata hakim PTUN tetap dapat menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van berhoorlijk bestuur) yang banyak digunakan di Belanda dan sebagian telah dijadikan yurisprudensi di Indonesia. Sebelum menyusun tuntutan hendaknya diuraikan terlebih dahulu peristiwa atau fakta yang menunjukan adanya hubungan hukum dengan dasar gugatan (fundamentum petendi/posita). Hal pokok yang dapat dituntut dalam gugatan (petitum/petita) hanya satu tuntutan pokok saja, yaitu agar Keputusan badab atau pejabat TUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa desertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi. Dalam Hukum Acara PTUN tidak dikenal tuntutan provisi, yang dikenal hanya permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang disengketakan (schorsing). Demikian juga bentuk tuntutan subsidair yang ada hanya tuntutan pokok dan tuntutan tambahan. Faktor penting yang menentukan bahwa kepentingan seseorang terkait langsung dengan keputusan yang disengketakan dan telah menimbulkan kerugian bagi dirinya, terletak pada kemampuannya membuktikan bahwa keputusan tersebut telah menimbulkan
58
kerugian bagi dirinya secara langsung. Apabila keputusan yang disengketakan ternyata tidak langsung menimbulkan akibat hukum baginya, maka kepentingannya tidak terkena dan gugatan akan dinyatakan ditolak. Apakah ada kemungkinan suatu kepentingan akan menjadi hilang, misalnya di saat proses pemeriksaan berlangsung badan atau jabatan TUN menarik kembali keputusan yang sedang dalam sengketa, sehingga tidak lagi bermanfaat untuk meneruskan gugatan. Dalam posisi khusus ini sangat dimungkinkan kepentingan akan menjadi hilang, namun pada sisi lain apakah mungkin hal seperti itu akan terjadi? Sebab sesuai dengan asas praduga rechtmatig atau asas vermoeden van rechmatigheid atau presumtio iustae causa, atau keputusan harus dianggap benar menurut hukum dan demi kepastian hukum tidak mungkin batal apabila tidak digugat serta dinyatakan batal oleh hakim. Contoh lain, apakah seorang penggugat akan kehilangan gugatannya apabila seorang tetangga yang digugat dengan kesadarannya sendiri memberhentikan atau memindahkan bangunan yang sedang dalam proses gugat (obyek sengketa). Apakah dimungkinkan gugatan terhadap suatu keputusan badan/pejabat TUN dilakukan hanya untuk sebagian saja? Artinya yang digugat hanya bagian-bagian tertentu saja dari keputusan tersebut, sedangkan bagian lainnya tidak ikut digugat? Dalam hal ini dapat saja terjadi yang digugat hanya sebagian dari keputusan itu, sebab bertitik tolak dari pangkal sengketa dan sifatnya yang digugat hanya hal-hal yang menimbulkan kerugian bagi penggugat. Sejalan dengan itu putusan pengadilan TUN juga dimungkinkan untuk menolak dan/atau menerima sebagian gugatan penggugat. Jadi ada akibat-akibat hukum tertentu dari keputusan yang diguga itu dinyatakan tetap berlaku.
59
Ada pula baiknya gugatan sedapat mungkin dilampiri dengan surat keputusan badan/pejabat TUN yang disengketakan. Sedangkan apabila yang digugat adalah keputusan badan/pejabat TUN berupa keputusan fiktif negatif, sebaiknya disertakan pula arsip surat permohonan yang ditolak (tidak dijawab) dan tanda terima permohonan tersebut. Dalam hal gugatan diajukan oleh Badan Hukum Perdata, sebaiknya disertakan statuta atau Aturan Dasar yang mengatur pihak yang berwenang mewakili Badan Hukum Perdata tersebut didalam pengadilan dan/atau diluar pengadilan.
60