BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Pola asuh orang tua adalah sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap yang dilakukan orang tua antara lain mendidik, membimbing, serta mengajarkan nilai-nilai yang sesuai dengan norma-norma yang dilakukan di masyarakat (Suwono, 2008). Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang ditetapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi (Jas & Meta, 2004). Mengasuh anak dapat menjadi sesuatu yang menantang, tetapi membutuhkan waktu dan energi ekstra, strategi-strategi baru untuk mengasuh anak. Belajar cara-cara baru mengasuh anak mungkin sulit dilakukan, tetapi orang tua harus berusaha mencurahkan usaha untuk mengurusi anak (Edward, 2006).
8
9
Cara orang tua mendidik anaknya disebut pola pengasuhan, di dalam interaksinya dengan anak orang tua cenderung menggunakan caracara tertentu yang dianggapnya paling baik bagi si anak. Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak seperti : a. Perilaku yang patut dicontoh Artinya setiap perilaku yang dilakukan harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi bagi anak-anaknya. b. Kesadaran diri Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendorong mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral, oleh sebab itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun nonverbal. c. Komunikasi Komunikasi yang terjadi antara orang tua dengan aanak-anaknya terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahannya. 2. Tipe Pola Asuh Pola asuh orang tua mempengaruhi seberapa baik anak membangun nilai-nilai dan sikap-sikap anak yang bisa dikendalikan.
10
Baumrind, pakar perkembangan anak telah mengelompokkan pola asuh kedalam empat tipe : (Edward, 2006). a. Pola asuh bisa diandalkan Orang tua yang bisa diandalkan menyeimbangkan kasih sayang dan dukungan emosional dengan struktur dan bimbingan dalam membesarkan anak-anak mereka. Orang tua tipe ini memperlihatkan cinta dan kehangatan kepada anak. Mereka harus mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian, serta menyediakan waktu bertemu yang positif secara rutin dengan anak. Orang tua tipe bisa diandalkan membiarkan anak untuk menentukan keputusan sendiri dan mendorong anak untuk membangun kepribadian. Anak-anak dari orang tua yang bisa diandalkan cenderung memiliki kebanggaan diri yang sehat, hubungan positif dengan sebayanya, percaya diri, dan sukses. b. Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya.
11
Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua, dan lain-lain. Namun dibalik itu biasanya anak hasil didikan orang tua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup. Orang tua otoriter menekankan batasan dan larangan diatas respon positif. Orang tua sangat menghargai anak yang patuh terhadap perintah orang tua dan tidak melawan. Penelitian telah menunjukkan bahwa anak dari orang tua otoriter bisa menjadi pemalu, penuh ketakutan, menarik diri, dan berisiko terkena depresi. c. Pola asuh permisif Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang tidak peduli terhadap anak. Jadi apapun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi
12
atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa. Orang tua tipe permisif tidak memberikan struktur dan batasan yang tepat bagi anak. Orang tua tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi perkembangan psikologis. Orang tua menyembunyikan ketidaksabaran, kemarahan, atau kejengkelan pada anak. d. Pola asuh campuran Pola asuh campuran orang tua tidak konsisten dalam mengasuh anak. Orang tua terombang-ambing antara tipe bisa diandalkan, otoriter, atau permisif. Pada pola asuh ini orang tua tidak selamanya memberikan alternatif seperti halnya pola asuh bias diandalkan, akan tetapi juga tidak selamanya melarang seperti halnya orang tua yang menerapkan otoriter dan juga tidak secara terus menerus membiarkan anak seperti pada penerapan pola asuh permisif. Pada pola asuh campuran orang tua akan memberikan larangan jika tindakan anak menurut orang tua membahayakan, membiarkan saja jika tindakan
13
anak masih dalam batas wajar dan memberikan alternatif jika anak paham tentang alternatif yang ditawarkan. Anak yang diasuh orang tua dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang tidak mempunyai pendirian tetap karena orang tua yang tidak konsisten dalam mengasuh anaknya. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah : (Edward, 2006) a. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalamannya sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggapnya berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam
14
mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya.
B. Perkembangan Bahasa 1. Pengertian perkembangan bahasa Bahasa merupakan sarana komunikasi utama yang digunakan oleh manusia. Bahasa adalah simbolisasi dari sesuatu ide atau suatu pemikiran yang ingin dikomunikasikan oleh pengirim pesan dan diterima oleh penerima pesan melalui kode-kode tertentu baik secara verbal maupun nonverbal. Bahasa digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara yang mengacu pada simbol verbal. Proses pemerolehan bahasa pada anak akan menentukan perkembangan kognitif anak secara menyeluruh (Santrock, 2007). Fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara seluruh
fase
perkembangan.
Fungsi
berbahasa
bersama
fungsi
perkembangan pemecahan masalah visio-motor merupakan indikator paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan intelek. Gabungan kedua fungsi perkembangan ini akan menjadi fungsi perkembangan sosial. Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif. Fungsi reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik, dan nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif
15
adalah kemampuan anak mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan akhirnya dengan menggunakan katakata atau komunikasi verbal (Soetjiningsih, 2005). 2. Tahap Perkembangan Bahasa Anak Menurut Hidayat (2009), perkembangan bahasa pada tiap tahap usia, yaitu : a. Masa Neonatus (0-28 Hari) Perkembangan bahasa masa neonatus ini dapat ditunjukkan dengan adanya kemampuan bersuara (menangis) dan bereaksi terhadap suara atau bel. b. Masa bayi (28 hari-1 tahun) 1) Usia 1-4 bulan Perkembangan bahasa pada usia ini ditandai dengan adanya kemampuan bersuara dan tersenyum, mengucapkan huruf hidup, berceloteh, mengoceh spontan, serta bereaksi dengan mengoceh. 2) Usia 4-8 bulan Perkembangan bahasa pada usia ini adalah dapat menirukan bunyi atau kata-kata, menoleh ke arah suara atau sumber bunyi, tertawa, menjerit,
menggunakan
vokalisasi
semakin
banyak,
serta
menggunakan kata yang terdiri atas dua suku kata dan dapat membuat dua bunyi vokal yang bersamaan seperti ”ba-ba”.
16
3) Usia 8-12 bulan Perkembangan bahasa usia ini adalah mampu mengucapkan kata ”papa” dan ”mama” yang belum spesifik, mengoceh hingga mengatakannya secara spesifik, serta dapat mengucapkan 1-2 kata. c. Masa Anak (1-2 tahun) Perkembangan bahasa masa anak ini adalah dicapainya kemampuan bahasa pada anak yang mulai ditandai dengan anak mampu memiliki sepuluh
perbendaharaan
kata;
tingginya
kemampuan
meniru,
mengenal, dan responsif terhadap orang lain; mampu menunjukkan dua gambar; mampu mengombinasikan kata-kata; serta mulai mampu menunjukkan lambaian angota badan. d. Masa Prasekolah Perkembangan
bahasa
diawali
dengan
adanya
kemampuan
menyebutkan hingga empat gambar; menyebutkan satu hingga dua warna; menyebutkan kegunaan benda; menghitung; mengartikan dua kata; mengerti empat kata depan; mengerti beberapa kata sifat dan jenis kata lainnya; menggunakan bunyi untuk mengidentifikasi objek orang, dan aktivitas; menirukan berbagai bunyi kata; memahami arti larangan; serta merespons panggilan orang dan anggota keluarga dekat. 3. Tugas-tugas perkembangan bahasa Dalam berbahasa anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan (Yusuf, 2004).
17
Empat tugas pokok perkembangan bahasa antara lain : a. Pemahaman Yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. b. Pengembangan pembendaharaan kata Pembendaharaan kata anak-anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah. c. Penyusunan kata-kata menjadi kalimat Kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia 2 tahun. Bentuk kalimat pertama kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture (bahasa tubuh) untuk melengkapi cara berfikirnya. d. Ucapan Kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (pertama orang tua). Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar 3 tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu. Huruf yang mudah diucapkan yaitu huruf hidup (Vocal) a, i, u, e,o dan huruf mati (konsonan) b, m, n, p, dan t sedangkan yang sulit diucapkan adalah huruf mati tunggal : z, w, s, g dan huruf rangkap (diftong): st, str, sk, dan dr.
18
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa Menurut Hurlock (2001), ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan perkembangan bahasa anak terkait dalam proses belajar berbicara seorang anak antara lain : a. Kesehatan Anak yang sehat, lebih cepat belajar berbicara dibanding anak yang tidak sehat, hal ini dikarenakan motivasi yang lebih kuat untuk menjadi anggota kelompok sosial dan berkomunikasi dengan anggota kelompok tersebut. b. Kecerdasan Anak dengan kecerdasan yang tinggi, dalam belajar berbicara lebih cepat dan memperlihatkan penguasaan bahasa yang lebih baik dibanding anak yang tingkat kecerdasan yang rendah. c. Keadaan sosial ekonomi Anak dari keluaraga ekonomi mampu lebih mudah belajar berbicara, pengungkapan perasaan dirinya lebih baik, dan lebih banyak berbicara dibanding anak dari keluarga berada lebih banyak mendapat dorongan dan bimbingan untuk berbicara dari anggota keluarga yang lain. Keluarga dengan ekonomi yang rendah cenderung lebih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari sehingga perkembangan bahasa anak kurang diperhatikan.
19
d. Jenis kelamin Anak perempuan lebih cepat belajar berbicara dibanding anak lakilaki. Pada setiap jenjang umur, kalimat anak laki-laki lebih pendek, dan kurang benar dalam tata bahasa, kosa katanya pun lebih sedikit dan pengucapan kata kurang tepat dari pada anak perempuan. e. Keinginan berkomunikasi Semakin kuat dalam berkomunikasi dengan orang lain semakin kuat motivasi anak untuk belajar berbicara dan semakin bersedia menyisihkan waktu dan usaha yang dipergunakan untuk belajar. f. Dorongan Semakin banyak didorong untuk berbicara dengan mengajaknya berbicara dan didorong menanggapinya, akan semakin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik kualitas bicaranya. Disini orang tua khususnya ibu sebagai guru yang pertama bagi anak untuk membantu kemampuan bicara anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi. g. Ukuran keluarga Anak tunggal atau anak dari keluarga kecil biasanya berbicara lebih awal dan lebih baik dari pada anak dari keluarga besar, karena orang tua dapat menyisihkan waktu yang lebih banyak untuk mengajar anaknya berbicara.
20
h. Urutan kelahiran Dalam keluarga yang sama, anak pertama lebih cepat berbicara dibanding anak yang lahir kemudian. Hal ini karena orang tua dapat menyisihkan waktunya yang lebih banyak untuk mengajar dan mendorong anak yang lahir pertama dalam belajar dibanding untuk anak yang lahir kemudian. i. Metode pelatihan anak Anak-anak dalam keluarga otoriter yang menekankan bahwa ”anak harus dilihat dan bukan didengar” disini terjadi hambatan belajar, sedangkan
keluarga
dengan
kebebasan
dan
demokratis
akan
mendorong anak untuk belajar bicara. j. Kelahiran kembar Anak yang lahir kembar pada umumnya mengalami keterlambatan dalam bicara karena mereka lebih banyak bergaul dengan saudara kembarnya dan hanya memahami logat khusus yang mereka miliki. Hal ini melemahkan motivasi mereka untuk belajar berbicara agar dapat dipahami oleh orang lain. k. Hubungan dengan teman sebaya Semakin
banyak
hubungan
anak
dengan
teman
sebayanya
menyebabkan semakin besar keinginan mereka untuk diterima sebagai anggota kelompok sebaya, hal ini akan memperbesar motivasi anak untuk belajar berbicara.
21
l. Kepribadian Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik cenderung mempunyai kemampuan bahasa yang lebih baik, baik secara kuntitatif maupun secara kualitatif. Sehingga kemampuan bahasa juga dapat dijadikan sebagai petunjuk anak sehat mental. 5. Gangguan Perkembangan Bahasa Anak Menurut Wong (2009), hal-hal yang merupakan gangguan perkembangan bahasa anak adalah : a. Tangis berlebihan Bagi bayi dan balita tangis normal (tidak berlebihan) dapat berguna karena tangisan normal merupakan kesempatan latihan untuk koordinasi dan pertumbuhan otot bayi dan juga dapat meningkatkan nafsu makan anak dan mendorong mereka untuk terlelap tidur. Tangisan
yang
berlebihan
dan
berkepanjangan
akan
berkembang menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan yang telah terbentuk sukar ditanggulangi dan tidak akan hilang begitu saja. Sebaiknya kebiasaan ini dihilangkan dan digantikan dengan bentuk komunikasi yang lebih dapat diterima secara sosial. b. Kesulitan dalam pemahaman Karena kemampuan berkomunikasi bergantung pada kemampuan memahami apa yang dikatakan orang lain dan kemampuan bicara, maka anak yang tidak dapat memahami apa yang dikatakan orang lain pada waktu berkomunikasi dengan mereka akan mengalami hambatan
22
sosial. Persaingan secara sosial akan menimbulkan perasaan tidak mampu, rendah diri dan membosankan. c. Keterlambatan bahasa Apabila tingkat perkembangan bicara berada dibawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata, maka hubungan sosial anak akan terhambat sama halnya apabila keterampilan bermain mereka berada dibawah
keterampilan
teman
sebayanya
akan
mempengaruhi
penyesuaian sosial anak. Kesan anggota kelompok sosial terhadap mereka sebagai ”bayi penangis” akan menimbulkan pengaruh yang merusak pada konsep diri anak. d. Bicara cacat Bicara cacat adalah bicara yang tidak tepat, secara kualitatif kemampuan anak tidak memenuhi norma usia anak dan berisi lebih besar kesalahan bicara untuk umur tersebut. Bicara cacat berbeda dengan keterlambatan bicara, seperti apa yang digambarkan diatas, yang berada dibawah norma untuk anak tersebut yang secara kuantitatif karena kurangnya kosa kata, jeleknya pengucapan dan kurang baiknya kalimat yang dibentuk dibandingkan dengan anak yang normal pada umur tersebut. e. Kerancuan bicara Kerancuan bicara mengacu pada cacat ucapan yang serius. Seringkali terjadi pada keluarga yang kedua orang tuanya mengalami
23
gangguan jiwa (neurotik), keluarga dengan hubungan antara anak dengan orang tua tidak terjalin dengan baik, keluarga dengan ibu memegang kepemimpinan/dominan dari pada ayah, keluarga dengan ibu yang mengabaikan anaknya, keluarga dengan ibu yang terlalu menuntut atau menaruh harapan yang berlebihan pada anak. Kerancuan berkaitan dengan ketergantungan, kekotoran, kerusakan, kegelisahan tidur, watak yang pemarah, kenegatifan, malu-malu, dan kerewelan. f. Dwibahasa Dwibahasa (bilingual) adalah kemampuan menggunakan dua bahasa. Kemampuan ini tidak hanya dalam berbicara dan menulis tetapi juga kemampuan memahami apa yang dikomunikasikan orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Bagi sebagian anak, dwibahasa merupakan gangguan yang serius untuk belajar berbicara dengan benar. Akan tetapi penting disadari bahwa pengarunya terhadap penyesuaian sosial dan pribadi anak tidak sangat bergantung pada kedwibahasaan, tetapi pada kondisi yang menimbulkannya. Dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan lebih merupakan hambatan dari pada kelebihan bagi anak. Khususnya usia pra sekolah karena dapat mempengaruhi penyesuaian sosialnya. g. Kesulitan dalam percakapan Sebagian besar anak menghadapi dua kesulitan dalam percakapan dengan orang lain yaitu kesulitan memahami orang lain dan kesulitan
24
mengekspresikan perasaannya. Kedua kesulitan itu menimbulkan bahaya bagi penyesuaian sosial hal didahului dengan kesan yang kurang menyenangkan bagi lingkungan sosialnya. h. Bicara yang tidak disetujui secara sosial. Anak yang pembicaraannya menyangkut hal-hal yang tidak disukai oleh masyarakat menimbulkan kesan jelek dan seringkali memperoleh reputasi yang tidak menyenangkan. 6. Pemeriksaan pada perkembangan anak Pemeriksaan perkembangan anak menurut Soetjiningsih (2005) adalah : a. Anamnesis Pengambilan
anamnesis
harus
mencakup
uraian
mengenai
perkembangan bahasa anak. Kecurigaan adanya gangguan bicara dan tingkah laku yang bersamaan. Pertanyaan bagaimana anak bermain dengan teman sebaya dapat mengungkap tabir tingkah laku. b. Instrumen penyaring Instrumen penyaring untuk menilai perkembangan bahasa. Misalnya : Early Languge Melistone Scale (Caplan dan Gleason). The Denver developmental screening test II / Denver II (Dodds dan Kenburg), Reseptife- Expresif Emergent Language Scale. c. Pemeriksaan fisik Dapat digunakan untuk mengungkap penyakit lain dari gangguan bahasa. Apakah ada mikrosefali, anomaly telinga luar, otitis media yang berulang, sindrom Wiliam (fasies Elfin, perawakan
25
pendek, kelainan jantung, langkah yang tidak mantap), dan celah palatum. Gangguan otomotor dapat diperiksa dengan menyuruh anak melakukan gerakan mengunyah, menjulurkan lidah dan mengulang suku kata PA, TA, PA-TA, PA-TA-KA. Gangguan kemampuan otomotor terdapat pada verbal apraksia. d. Pengamatan saat bermain Mengamati saat anak bermain dengan alat permainan yang sesuai dengan umurnya, sangat membantu dalam mengidentifikasi gangguan tingkah laku. Idealnya pemeriksa juga bermain dengan anaknya. Tetapi ini tidak praktis dilakukan pada ruangan yang ramai. Pengamatan anak saat bermain sendiri, selama pengambilan anamnesis dengan orang tuanya, lebih mudah dilaksanakan. Anak yang memperlakukan permainannya sebagai objek saja atau hanya sebagai satu titik pusat perhatian saja, dapat merupakan petunjuk adanya kelainan tingkah laku. e. Pemeriksaan laboratorium Semua
anak
dengan
gangguan
bahasa
harus
dilakukan
tes
pendengaran. Jika hasilnya mencurigakan, maka perlu dilakukan pemeriksaan “auditory brainstem responses”. f. Konsultasi Pemeriksaan dari psikologi/neuropsikiater anak diperlukan jika ada gangguan bahasa dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat
26
dan tes bahasa, kemampuan kognitif dan tingkah laku. Ahli psikologi wicara akan mengevaluasi cara pengobatan anak dengan gangguan bicara. Anak akan diperiksa apakah ada masalah anatomi yang mempengaruhi produksi suara. 7. The Denver developmental screening test (Denver II) a. Pengertian Denver II adalah salah satu metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak, yang dibuat oleh Fran Kenburg & J.B. Dodds, yang mengetahui perkembangan bahasa anak pada saat pemeriksaan saja dan dapat memperkirakan perkembangan anak dimasa yang akan datang, bukan merupakan tes dignostik atau tes intelegensi, tetapi memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yang baik. Tes ini dinilai lebih mudah dibanding tes perkembangan yang lain dan dapat diandalkan serta menunjukkan validitas yang tinggi. Tes ini dapat dilakukan kapan saja dengan menggunakan alat sederhana, namun begitu Denver II tidak digunakan untuk mengetahui sebabsebab
keabnormalan/keterlambatan
dalam
fase
perkembangan
(Soetjiningsih, 2005). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan ternyata Denver II secara efektif dapat mengidentifikasikan antara 85-100% bayi dan anak prasekolah yang mengalami keterlambatan perkembangan dan pada follow up selanjutnya ternyata dari 89% kelompok Denver II mengalami kegagalan sekolah 5-6 tahun kemudian.
27
b. Tujuan 1) Menafsirkan perkembangan personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar pada anak mulai usia 1 bulan sampai 6 tahun. 2) Mengetahui penyimpangan perkembangan secara dini, sehingga upaya stimulasi dan upaya pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas sedini mungkin pada masa-masa kritis tumbuh kembang. c. Kegunaan Denver II 1) Untuk menilai perkembangan anak sesuai usia 2) Memantau anak yang tampak tidak sehat umur dari lahir sampai umur 6 tahun 3) Menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan adanya kelainan perkembangan 4) Memastikan apakah anak dengan persangkaan ada kelainan. Apakah bebar-benar ada kelainan. 5) Memonitor anak dengan risiko perkembangan d. Prinsip dalam melakukan pemeriksaan Denver II 1) Bertahap dan berkelanjutan 2) Dimulai dari tahap perkembangan yang telah dicapai anak 3) Buat suasana menjadi menyenangkan bagi anak 4) Dilakukan dengan wajar (tanpa paksaan atau hukuman jika anak tidak mau melakukan) beri anak pujian jika berhasil.
28
5) Menggunakan alat bantu sederhana, tidak berbahaya dan mudah didapat dalam memberi stimulasi pada anak 6) Sebelum dilakukan tes, alat diletakkan diatas meja dengan tujuan anak senang dan pada saat tes hanya alat yang diperlukan. 7) Pemeriksaan menanyakan pada ibu atau pengasuh pada item yang bertanda L 8) Perhatikan apa yang telah dilakukan anak secara spontan dan beri penilaian. e. Hal-hal yang perlu diperhatikan Anak yang ada dalam kondisi dipertanyakan, abnormal atau menolak kemampuan tes yang diberikan. Perlu tes kemampuan ulang satu sampai dua minggu kemudian dan berikan kesempatan kepada anak selama tiga kali untuk melakukan tes kemampuan yang diberikan. Lakukan sektor yang kurang aktif terlebih dahulu. Personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar. Dimulai dari yang mudah di lakukan, jika anak kurang tepat melakukan beri stimulus dan lakukan tes ulang. Tes menggunakan alat yang sama dilakukan secara berurutan. Tes dilakukan untuk sikap sektor dan mulailah dari sebelah kiri garis umur terus ke kanan. f. Persiapan alat 1) Lembar formulir Denver II 2) Buku petunjuk sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara melakukan dan cara-cara penilaiannya.
29
g. Petunjuk pelaksanaan 1) Tarik garis sesuai umur kronologis untuk memotong garis horizontal tugas perkembangan pada formulir Denver II 2) Tes kemampuan anak terutama yang mendekati garis umur 3) Dilakukan secara berkelanjutan 4) Satu formulir dapat dipakai beberapa kali pada satu anak 5) Didampingi ibu atau pengasuh 6) Dalam keadaan santai 7) Memberikan posisi yang aman dan nyaman untuk anak 8) Menjelaskan tentang Denver II pada ibu atau pengasuh 9) Menggunakan test form dalam menentukan tingkat perkembangan sesuai batas usia. a) Menunjukkan standar anak normal bisa melakukan tugas/test item ini sesuai dengan usia. b) Ada beberapa item bertanda L, menunjukkan bahwa kita bisa memperoleh skor dari orang tua c) Nomor kecil disebelah kiri, bisa melihat petunjuk pelaksanaan pada halaman dibaliknya. 10) Berikan huruf seperti dibawah ini tip kotak tes perkembangan yang diberikan a) P (Passed) = Lulus Apabila anak dapat melakukan semua kemampuan tes yang diberikan dengan baik. Atau ibu/pengasuh memberi laporan L, tepat atau dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukan.
30
b) F (Fail) = Gagal Apabila anak gagal atau tidak dapat melakukan test kemampuan yang diberikan. Atau ibu/pengasuh memberi laporan bahwa anak tidak dapat melakukan dengan baik. c) No : No opportunity = tidak ada kesempatan Anak tidak mempunyai kesempatan melakukan test karena ada hambatan d) R (Refusal) = menolak Anak menolak untuk melakukan test. e) B (By report) = Dengan bantuan orang tua Anak melakukan test dengan bantuan dari orang tua. Apabila anak dapat melakukannya, berarti lulus (P) sedangkan apabila anak tidak dapat melakukannya, berarti gagal (F). O = F (Fail/gagal) M = R (Refusal/menolak) V = P (Pass/lewat) Setelah itu dihitung masing-masing sektor, berapa jumlah P, berapa jumlah F dsb. Berdasarkan pedoman hasil tes diklasifikasikan dalam normal, abnormal, meragukan dan tidak dapat dites.
31
h. Interpretasi hasil tes Menurut Soetjiningsih (2005), interpretasi hasil tes dibedakan menjadi 3 yaitu : 1) Normal a) Lulus semua tes kemampuan yang diberikan atau tidak terdapat keterlambatan / delay b) Paling banyak satu caution/peringatan c) Dapat dilakukan ulangan pemeriksaan pada kontrol kesehatan berikutnya 2) Suspect a) Apabila pada satu sektor didapatkan 2 atau lebih caution atau delay atau lebih b) Dapat
dilakukan
ulangan
dalam
1-2
minggu
untuk
menghilangkan faktor sesaat (rasa takut, keadaan sakit, kelelahan). 3) Unstable/Tidak dapat diuji. a) Apabila ada sektor menolak 1 atau lebih item sebelah kiri garis umur. b) Menolak lebih dari 1 item pada area 75%-90% (warna kelabu)
32
C. Kerangka Teori Faktor internal : 1. Kesehatan 2. Kelahiran kembar 3. Kepribadian 4. Kecerdasan 5. Urutan kelahiran 6. Jenis kelamin 7. Dorongan Faktor eksternal : 1. Keadaan ekonomi 2. Urutan keluarga 3. Metode pelatihan anak / pola asuh 4. Hubungan dengan teman sebaya
Pola asuh orang tua : 1. bisa diandalkan 2. permisif 3. otoriter 4. campuran
Perkembangan Bahasa
Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber : (Hurlock, 2001)
D. Hipotesa Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif sehingga tidak ada hipotesis penelitian.