7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Pola Asuh Makan
2.1.1
Pengertian Pola Asuh Pengertian pola asuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
merupakan suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Sunarti, dkk (2004) mendefinisikan pola asuh sebagai suatu model atau cara mendidik anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya. Pola asuh merupakan pola pengasuhan yang diberikan orangtua untuk membentuk kepribadian anak. Pola asuh orangtua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan anak dari segi negatif maupun segi positif (Sunarti, 2004). Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak berupa sikap dan praktek pengasuhan ibu dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan, serta kasih sayang. Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai kelompok sosial dan kelompok budaya. Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti memberi makan, mandi, menyediakan dan memakaikan pakaian buat anak. Termasuk didalamnya adalah
7
8
memantau kesehatan anak, menyediakan obat, dan membawanya ke petugas kesehatan profesional (Soekirman, 2006).
2.1.2
Pengertian Pola Asuh Makan Pola asuh makan adalah cara makan seseorang atau sekelompok orang
dalam memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi budaya dan sosial (Waryana, 2010). Untuk kebutuhan pangan/gizi balita, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya selama kehamilan, masa neonatal berupa pemberian air susu ibu (ASI), menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak (Kartini, 2006). Pengasuhan makanan anak fase enam bulan pertama adalah pemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk pemberian ASI atau makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) pada anak. Pengasuhan makanan dinyatakan cukup bila diberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensi kapan saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut. Pengasuhan makanan anak pada fase enam bulan kedua adalah pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak diberikan ASI plus makanan lumat (berupa bubur atau nasi biasa) bersama ikan, daging atau putih telur ditambah sayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal) diberi dalam frekuensi sama atau lebih 3 kali per hari, dan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut. Pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap
9
dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Soekirman, 2006). Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), jumlah zat gizi, terutama energi dan protein yang harus dikonsumsi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram protein. Kandungan gizi Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan (2006), kandungan gizi ASI adalah sekitar 350 kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MPASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein. Hasil penelitian Tati (2008), mengungkapkan bahwa di Indonesia jenis MP-ASI yang umum diberikan kepada bayi sebelum usia empat bulan adalah pisang 57,3%. Disamping itu akibat rendahnya sanitasi dan higiene MP-ASI memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan resiko infeksi yang lain pada bayi. Ada perbedaan antara proporsi berat badan bayi yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi MP-ASI dibawah usia empat bulan, sedangkan berdasarkan panjang badan tidak ada perbedaan. Makanan yang baik untuk bayi dan balita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan umur.
10
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia di tempat tinggal, kebiasaan makan dan selera terhadap makanan tersebut. 3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan faal bayi/anak. 4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan. Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia/Persagi (1992) yang dikutip oleh Kristiadi (2007), berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia dari 1-3 tahun yang dikenal dengan anak bawah tiga tahun (batita) dan anak usia dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia prasekolah. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari. Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul 07.00-08.00, siang hari pada pukul 12.00-13.00, dan malam hari pada pukul 18.00-19.00. Pemberian makanan selingan yaitu antara dua waktu makan yaitu pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00 (Depkes RI, 2006). Waktu penyajian makanan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
11
Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita
Umur 0 - 6 bulan 6 - 9 bulan
Bentuk Makanan ASI eksklusif Makanan lumat/lembek
9 - 12 bulan
Makanan lembek
1 - 3 tahun
Makanan keluarga 1 - 1½ piring nasi/pengganti 2 - 3 potong sedang lauk hewani 1 – 2 potong sedang lauk nabati ½mangkuk sayur 2 – 3 potong buah-buahan 1 gelas susu 3 - 5 tahun 1 - 3 piring nasi/pengganti 2 - 3 potong lauk hewani 1 - 2 potong lauk nabati 1 - 1½ mangkuk sayur 2 - 3 potong buah-buahan 1 - 2 gelas susu Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2006
Frekuensi Sesering mungkin minimal 8 kali/hari 2 kali sehari, 2 sendok makan setiap kali makan 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan
3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan
Tabel 2.2 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi
Umur Balita
Total Energi (kkal)
0 – 6 bulan 550 6 – 8 bulan 650 9 – 11 bulan 900 12 bulan 1100 1 – 3 tahun 1300 3 – 5 tahun 1550 Sumber: Soekirman, 2006
Waktu Pemberian Makanan Sehari Balita Menurut Kecukupan Energi Pagi
Selingan Pagi
Siang
Selingan Siang
Malam
84 122 144 221 318,75
36 50 149 125
97 123 218 261 06,25
25 126 87 325
28 143 253 235 375
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk pengaturan makan yang tepat adalah umur, berat badan, keadaan mulut sebagai alat penerima makanan, kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, dan toleransi anak terhadap makanan yang diberikan.
12
Dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor tersebut di atas umumnya tidak akan terjadi kekeliruan dalam mengatur makanan untuk balita. Pada umumnya, anak balita telah dapat diberikan jadwal waktu makan tiga kali makan sehari dan diantaranya dua kali makanan selingan (Soekirman, 2006).
2.1.3
Asupan Kalori Total Energi merupakan hasil dari metabolism karbohidrat, lemak, dan protein.
Fungsi energi adalah sebagai sumber tenaga untuk metabolisme, pengaturan suhu tubuh, pertumbuhan dan kegiatan fisik. Keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke dalam tubuh sama dengan energi yang dikeluarkan. Bila energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke dalam tubuh melebihi jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan bertambah, dan sebagian besar kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak. Begitu pula sebaliknya jika energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke dalam tubuh kurang dari jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan menurun dan akan terjadi gangguan gizi (Guyton, 2006).
2.1.4
Pola Asuh Makan Karbohidrat Karbohidrat memiliki fungsi utama dalam tubuh manusia yaitu sebagai
sumber energi. Kandungan kalori pada setiap 1 gram karbohidrat adalah 4 kkal. Contoh bahan makanan yang mengandung karbohidrat yaitu, beras, jagung, gandum, ubi, kentang, sagu, roti, dan mie. Pencernaan karbohidrat dimulai dari amilum (zat tepung) yang sudah mulai mengalami prosesnya di mulut oleh enzim ptyalin. Makanan hanya sebentar berada di dalam mulut sehingga proses
13
pencernaan amilum berlanjut ke digaster. Cairan yang disekresi lambung tidak mengandung enzim yang dapat memecah karbohidrat, makanan hanya akan tinggal di lambung sementara. Selanjutnya pencernaan karbohidrat lebih banyak terjadi pada usus bagian atas. Di dalam duodenum chymus dicampur dengan sekresi pankreas dan sekresi dinding duodenum yang keduanya mengandung enzim yang dapat memecah karbohidrat dan menghasilkan energi. Sisa karbohidrat yang ada dibuang sebagai tinja (Sulistyaningsih, 2011). Karbohidrat tersusun atas untaian molekul glukosa. Apabila kadar glukosa berlebih di dalam tubuh maka kelebihannya akan disimpan sebagai glikogen atau diubah menjadi lemak. Kelebihan tersebut dengan cepat diubah menjadi trigliserida (lemak) dan kemudian disimpan dalam jaringan adipose. Pada manusia, kebanyakan sintesis trigliserida terjadi di dalam hati, tetapi sejumlah kecil juga dibentuk di dalam jaringan adipose (Guyton, 2006). Konsumsi karbohidrat atau makanan pokok yang dianjurkan adalah 50-60% dari kebutuhan total energi/hari (Depkes RI, 2002).
2.1.5
Pola Asuh Makan Protein Protein merupakan zat gizi sebagai pelengkap makanan pokok yang
memberikan rasa pada makanan. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel tubuh. Terdapat dua sumber zat gizi protein, yaitu (1) berasal dari hewan, contohnya daging, ikan, telur, susu, udang dan hasil olahannya; dan (2) berasal dari tumbuhan, contohnya kacang-kacangan, serta hasil olahannya. Selain membantu pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel tubuh, protein juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penghasil energi utama, menyediakan asam
14
amino yang diperlukan dalam membentukan enzim pencernaan dan metabolisme serta antibodi yang dibutuhkan tubuh, mengangkut zat gizi dari saluran cerna, dan mengatur keseimbangan air (Sulistyaningsih, 2011). Proses pencernaan protein akan terjadi di lambung, dengan adanya enzim pepsin yang bekerjasama dengan hidrogen klorida/asam klorida (HCL) untuk memecah protein. Protein makanan dicerna total menjadi asam amino di dalam usus halus. Semua asam amino larut dalam air sehingga dapat berdifusi secara pasif ke dalam membran sel (Sulistyaningsih, 2011). Konsumsi protein yang dianjurkan adalah 10-15% dari kebutuhan total energi/hari (Depkes RI, 2002). Menurut Almatsier (2003) dalam Sulistyaningsih (2011), maksimal asupan protein yang boleh dikonsumsi adalah dua kali dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). Apabila pemenuhan kebutuhan energi tidak tercukupi dari karbohidrat maka protein dapat digunakan sebagai sumber energi. Protein melalui proses glukoneogenesis akan merubah asam amino menjadi glukosa. Kekurangan energi dari karbohidrat akan meningkatkan sekresi kortikotropin. Kortikotropin merangsang korteks adrenal untuk menghasilkan sejumlah besar hormon glukokortikoid, terutama kortisol. Kortisol memobilisasi protein terutama dari seluruh sel tubuh dan segera mengalami desimilasi dalam hati dan menghasilkan zat untuk diubah menjadi glukosa. Hampir 60% asam amino dalam protein tubuh dapat diubah menjadi karbohidrat (Guyton, 2006).
2.1.6
Pola Asuh Makan Lemak Lemak merupakan zat gizi yang memiliki fungsi sebagai sumber energi,
sumber asam lemak esensial, membantu hantaran absorpsi vitamin A, D, E, dan
15
K, sebagai bantalan organ tubuh, serta membantu memelihara suhu tubuh dan melindungi tubuh dari hawa dingin (Sulistyaningsih, 2011). Sejumlah besar lemak disimpan dalam dua jaringan tubuh utama, jaringan adiposa (deposit lemak) dan hati. Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan trigliserida sampai diperlukan kembali menjadi energi dalam tubuh. Sumber lemak diantaranya diperoleh dari minyak kelapa, minyak sawit, telur, susu, dan keju. Konsumsi lemak yang dianjurkan sebanyak 15-25% dari kebutuhan energi total/hari (Depkes, 2002). Sebagian lemak yang dikonsumsi sehari-hari sebaiknya tidak lebih dari 10% berasal dari lemak jenuh dan 3-7% berasal dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah kurang dari 300 mg dalam sehari (Almatsier, 2003).
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan Balita 1. Pengetahuan ibu mengenai makanan yang bergizi Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari perilaku yang didasari oleh pengetahuan, akan lebih “langgeng” dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo, 2003). Jika tingkat pengetahuan gizi ibu baik, maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya baik, sebab gangguan gizi adalah karena kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi (Almatsier, 2011).
16
2. Pendidikan ibu Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anaknya. Pendidikan ibu sangat menentukan dalam pilihan makanan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak dan anggota keluarga lainnya. Pendidikan gizi ibu bertujuan meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Hal ini dapat diartikan bahwa tingkat kecukupan zat gizi pada anak tinggi bila pendidikan ibu tinggi (Almatsier, 2011) 3. Pekerjaan ibu Status ekonomi rumah tangga dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga yang lain. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anggota keluarga lain akan menentukan seberapa besar sumbangan mereka terhadap keuangan rumah tangga yang kemudian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti pangan yang bergizi dan perawatan kesehatan. Jadi, terdapat hubungan antara konsumsi pangan dan status ekonomi rumah tangga serta status gizi masyarakat (Almatsier, 2011) Tingkat pendapatan akan menentukan jenis dan ragam makanan yang akan dibeli dengan uang tambahan. Keluarga dengan penghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan. Penghasilan yang rendah berarti rendah pula jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk makanan, sehingga bahan makanan yang dibeli untuk keluarga tersebut tidak mencukupi untuk mendapat dan memelihara kesehatan seluruh keluarga. Apabila pendapatan meningkat, maka akan terjadi perubahan
17
dalam susunan makanan, karena peningkatan pendapatan tersebut memungkinkan mereka mampu membeli pangan yang berkualitas dan berkuantitas lebih baik. Namun perlu diketahui, bahwa pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makan yaitu pangan yang dimakan itu lebih mahal. Asupan makanan yang tidak cukup baik dari segi jumlah maupun kulaitas dalam jangka lama akan menyebabkan terjadinya gangguan gizi. Keadaan kurang gizi akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, mempengaruhi tingkat kecerdasan dan prestasi belajar, produktifitas kerja dan pendapatan (Almatsier, 2011).
2.2
Metode Pengukuran Pola Asuh Makan Metode pengukuran pola asuh makan atau konsumsi individu ada dua
jenis, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif meliputi metode food recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), food account, metode inventaris (inventory method), dan metode pencatatan (household food records). Adapun metode kualitatif meliputi metode food frequency, metode dietary history, metode telepon dan metode food list (Gibson, 2005).
2.2.1
Metode Food Recall 24 Jam Metode food recall 24 jam adalah salah satu metode kuantitatif
pengukuran konsumsi pangan. Prinsip metode food recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.
18
Bahan makanan dan minuman yang ditanyakan adalah bahan makanan dan minuman yang dikonsumsi sejak responden bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya atau dapat dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur sampai 24 jam penuh. Data bahan makanan yang telah dikumpulkan kemudian dikonversikan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Selanjutnya, hasil yang diperoleh dibandingkan dengan Daftar Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan di Indonesia (Gibson, 2005). Kelebihan metode food recall 24 jam adalah mudah dilaksanakan dan tidak terlalu membebani responden, biaya relatif murah, cepat dan dapat memberikan gambaran nyata tentang makanan yang benar-benar dikonsumsi individu, sehingga dapat dihitung intake gizi sehari. Kekurangan metode food recall 24 jam adalah tidak dapat dilakukan pada hari besar (masa panen dan pada saat melakukan upacara keagamaan atau selamatan), ketepatan hasil pengukuran sangat tergantung pada daya ingat dan kejujuran responden (Supariasa, 2002). Langkah-langkah pelaksanaan food recall 24 jam (Supariasa, 2002) adalah: a. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga selama kurun waktu 24 jam yang lalu. b. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
19
c. Membandingkan dengan daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DGKA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG). Agar wawancara berjalan secara sistematis, perlu dipersiapkan kuisioner sehingga wawancara terarah menurut urutan waktu dan pengelompokan bahan makanan. Untuk waktu makan sehari dapat disusun berupa makanan pagi, siang, malam dan selingan. Data food recall berupa jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam ukuran rumah tangga (URT) atau dalam satuan gram, kemudian dikonversi dalam satuan energy (kkal), protein (gr), lemak (gr), karbohidrat (gr) dengan merujuk pada Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) tahun 2004. Konversi dihitung dengan menggunakan rumus (Hardinsyah & Briawan, 1994 dalam Rakhmawati 2009) sebagai berikut: Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100) Keterangan: Kgij
: Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj
: Berat makanan j yang dikonsumsi
Gij
: Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj : Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan Selanjutnya, tingkat kecukupan zat gizi yang diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya. Berikut rumus tingkat kecukupan zat gizi yang digunakan: TKG = (K/AKG) x 100%
20
Keterangan: TKG : Tingkat kecukupan zat gizi K
: Konsumsi pangan
AKG : Kecukupan zat gizi yang dianjurkan
2.2.2
Metode Food Frequency Metode frekuensi makanan (food frequency) adalah salah satu metode
kualitatif pengukuran konsumsi pangan. Metode frekuensi makanan digunakan untuk memperoleh data frekuensi makanan konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode waktu tertentu seperti hari, minggu, bulan dan tahun. Metode frekuensi makanan dapat menggambarkan pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif. Metode frekuensi makanan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi karena periode pengamatannya lebih lama, sehingga cara ini sering digunakan dalam penelitian gizi (Supariasa, 2002). Metode frekuensi makanan akurat untuk menentukan rata-rata asupan zat gizi jika menu makanan sehari-hari sangat bervariasi. Kelebihan metode ini adalah dapat memperoleh data asupan zat gizi dalam jumlah besar yang mencakup 50150 jenis makanan (Arisman, 2004). Pelaksanaan metode frekuensi makanan dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Kuisioner tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis pangan dan daftar konsumsi pangan. Bahan makanan atau makanan yang ada dalam kuisioner tersebut adalah bahan makanan atau makanan yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden (Supariasa, 2002).
21
Langkah metode frekuensi makanan adalah responden diminta memberi tanda pada daftar bahan makanan yang tersedia pada kuisioner mengenai frekuensi penggunannya dan ukuran porsinya. Pewawancara kemudian melakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis bahan makanan, terutama bahan makanan yang merupakan sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula (Supariasa, 2002). Kelebihan metode frekuensi makanan adalah relatif murah dan sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus serta dapat membantu menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan (Supariasa, 2002). Adapun kelemahan metode ini adalah tidak dapat menghasilkan data kuantitatif, pengisisan kuisioner hanya mengandalkan ingatan, responden sering malas mengisi formulir dengan lengkap dan tanpa bantuan komputer, proses analisis menjadi sulit dan melelahkan. Pengisian kuisioner yang hanya mengandalkan ingatan menyebabkan data yang dihasilkan tidak akurat. Sumber ketidakuratan tersebut antara lain: daftar makanan tidak lengkap, kekeliruan dalam menentukan frekuensi dan daftar bahan makanan yang terlalu panjang atau terlalu pendek (Arisman, 2004).
2.3
Konsep Balita Balita merupakan individu yang berumur 1-5 tahun, dengan tingkat
plastisitas otak yang masih sangat tinggi sehingga akan lebih terbuka untuk proses pembelajaran dan pengayaan (Kemenkes RI, 2009). Balita terbagi menjadi dua golongan yaitu balita dengan usia satu sampai tiga tahun (batita) dan balita dengan usia tiga sampai lima tahun (usia prasekolah) (Soekirman, 2006). Saat usia balita
22
kebutuhan akan aktivitas hariannya masih tergantung penuh terhadap orang lain, mulai dari makan, buang air besar maupun air kecil dan kebersihan diri. Masa balita merupakan masa yang sangat penting bagi proses kehidupan manusia. Pada masa ini akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan anak dalam proses tumbuh kembang selanjutnya (Nicki, 2007).
2.3.1
Karakteristik Balita Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan (Uripi, 2004).
23
2.4
Konsep Ibu Pekerja Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah seorang
ibu yang bekerja di luar ataupun di dalam rumah untuk mendapatkan penghasilan di samping membesarkan dan mengurus anak di rumah. Menurut Lerner (2001), yang dimaksud ibu bekerja adalah wanita yang sudah bersuami dalam kehidupan atau kegiatan sehari-harinya bekerja di luar rumah mencari nafkah baik sebagai pegawai negeri ataupun swasta dan mendapatkan imbalan berupa uang atau jasa.
2.4.1
Dampak Positif Ibu Pekerja Ibu yang bekerja akan memiliki penghasilan yang dapat menambah
pendapatan rumah tangga. Mereka yang bekerja lebih memiliki akses dan kuasa terhadap pendapatan yang dihasilkan untuk digunakan untuk keperluan anak mereka (UNICEF, 2007). Para ibu akan lebih memilih membeli sesuatu seperti makanan bergizi berimbang yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan pangan anak mereka (Glick, 2002). McIntosh dan Bauer (2006), juga mengatakan bahwa dengan pendapatan rumah tangga yang ganda (suami dan istri bekerja), banyak wanita lebih mampu menentukan banyak pilihan untuk keluarga mereka di dalam hal nutrisi dan pendidikan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gennetian et al. (2009), bahwa ibu yang bekerja memiliki kemampuan untuk membeli makanan berkualitas tinggi, kebutuhan rumah tangga lainnya dan biaya kesehatan. Dampak positif ibu bekerja dapat juga dilihat dari efek yang didapat apabila anak mereka dititipkan di tempat penitipan anak. Mereka yang dititipkan di tempat penitipan anak yang memperkerjakan pengasuh terlatih, memiliki interaksi sosial yang baik, perkembangan kognitif yang pesat, dan lebih aktif jika
24
dibandingkan dengan anak yang hanya berada di rumah bersama ibunya yang tidak bekerja (McIntosh dan Bauer, 2006).
2.4.2
Dampak Negatif Ibu Pekerja Status gizi kurang atau gizi buruk yang dialami balita juga dapat terjadi
akibat memendeknya durasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) oleh ibu karena harus bekerja (Glick, 2002). Reynolds (2003) juga mengatakan bahwa sekitar satu pertiga dari ibu yang bekerja saat mengandung, kembali bekerja penuh waktu saat anak mereka berusia 11 bulan. Mereka kembali bekerja saat-saat kritis di mana perkembangan otak sedang berlangsung dan membutuhkan ASI sebagai nutrisi utama. Akibat jam kerja, waktu kebersamaan atau quality time antara ibu dan anak pun akan berkurang (Glick, 2002). Sehingga perkembangan mental dan kepribadian anak akan terganggu, mereka lebih sering mengalami cemas akan perpisahan atau separation anxiety (Mehrota, 2011). Hal ini dikarenakan akibat jadwal kerja yang terlalu sibuk, mengakibatkan para ibu tidak dapat mengawasi dan ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan anak (Fertig et al., 2009).
2.5
Konsep Dasar Status Gizi
2.5.1
Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan keseimbangan sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunannya. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih. Tiap orang memiliki status gizi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya (Almatsier, 2005). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
25
dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002). Status gizi balita adalah hasil penilaian status gizi pada balita usia (1-5) tahun dengan pengukuran indeks antropometri gizi yaitu berat badan dalam kilogram menurut umur, dimana status gizi dapat diklasifikasikan menurut World Health Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS).
2.5.2
Klasifikasi Status Gizi Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi
tiga yaitu: gizi lebih (overnutritional state), gizi baik (eunutritional state) dan gizi kurang (undernutrition) (Sediaoetama, 2003). a. Status Gizi Lebih (overnutritional state) Gizi lebih (overnutritional state) adalah tingkat kesehatan gizi sebagai hasil konsumsi berlebih. Dalam keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit tertentu yang sering dijumpai pada orang kegemukan seperti: penyakit kardiovaskuler yang menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi, diabetes mellitus dan lainnya (Sediaoetama, 2006). b. Status Gizi Baik (eunutritional state) Tingkat
kesehatan
gizi
terbaik
adalah
kesehatan
gizi
optimum
(eunutritional state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut. Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya (Sediaoetama, 2006).
26
c. Status Gizi Kurang (undernutrition) Gizi kurang (undernutrition) adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Berat badan akan lebih rendah dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi jaringan tidak mencukupi, sehingga akan menghambat fungsi jaringan tersebut (Sediaoetama, 2006). Menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut reference. Penentuan status gizi di lapangan masih menggunakan kalsifikasi yang berbeda-beda sehingga data yang dihasilkan sulit untuk dianalisis lebih lanjut baik untuk hubungan maupun analisis perbandingan. Sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi serta hasil temu pakar gizi Indonesia, standar baku antropometri
yang
digunakan
secara
nasional
di
Indonesia
disepakati
menggunakan standar baku World Health Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS). Standar baku ini kemudian ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor: 920/Menkes/SK/VIII/2002 (Depkes RI, 2005).
Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita) Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Status Gizi Gizi lebih Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk
Ambang Batas *) >+2 SD ≥‒2 SD sampai +2 SD <‒2 SD sampai ≥‒3 SD <‒3 SD
*) SD = Standar Deviasi Sumber: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, 2005
27
2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Untuk mencapai status gizi sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi, antara lain faktor yang terdapat dalam diri balita (faktor internal), dan yang terdiri dari luar balita (faktor eksternal) (Citrawati, 2003). a.
Faktor Internal Faktor gizi internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang
(Almatsier, 2011). Faktor gizi internal yang mempengaruhi gizi balita, meliputi: 1. Genetik Faktor bawaan atau genetik juga mempengaruhi status gizi seorang anak, seperti keluarga dengan obesitas maka kemungkinan besar anak akan mengalami obesitas juga (Citrawati, 2003). 2. Asupan makanan Anak harus selalu cukup dengan makanan yang seimbang untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Makanan yang seimbang untuk memenuhi gizi seseorang anak harus diberikan sejak dalam kandungan (Citrawati, 2003). 3. Nilai cerna makanan Penganekaragaman makanan erat kaitannya dengan nilai cerna makanan. Makanan yang disediakan untuk konsumsi manusia mempunyai nilai cerna yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan makanan, misalnya keras atau lembek (Almatsier, 2011).
28
4. Status kesehatan Status
kesehatan seseorang turut
menentukan kebutuhan nutrisi.
Kebutuhan nutrisi orang sakit berbeda dengan orang sehat, karena sebagian sel tubuh orang sakit telah mengalami kerusakan dan perlu diganti, sehingga membutuhkan nutrisi yang lebih banyak. Selain untuk membangun kembali sel tubuh yang telah rusak, nutrisi lebih ini diperlukan juga untuk pemulihan (Almatsier, 2011). 5. Keadaan infeksi Di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya, penyakit infeksi masih banyak menyerang kesehatan balita. Gangguan defisiensi gizi dan rawan infeksi adalah suatu hubungan yang erat, maka perlu ditinjau kaitannya satu sama lain. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan karena muntah/diare, atau mempengaruhi metabolisme makanan. Gizi buruk dan infeksi, keduanya dapat bermula dari kemiskinan dan lingkunagn yang tidak sehat dengan sanitasi buruk. Selain itu, juga diketahui bahwa infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber energi pada tubuh. Adapun penyebab utama gizi buruk adalah penyakit infeksi bawaan balita seperti diare, campak, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan rendahnya asupan gizi akibat kurangnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga atau karena pola asuh yang salah (Almatsier, 2011).
29
6. Umur Anak balita yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan memerlukan makanan bergizi yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa per kilogram berat badannya. Dengan semakin bertambahnya umur, semakin meningkat pula kebutuhan nutrisi bagi tubuh. Pada usia 1-5 tahun adalah masa golden age dimana pada masa tersebut dibutuhkan nutrisi yang diperlukan bagi tubuh untuk pertumbuhannya. Semakin bertambah usia akan semakin meningkat kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk mendukung meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik (Suharjo, 2003). 7. Jenis kelamin Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang. Anak laki-laki lebih banyak membutuhkan nutrisi daripada anak perempuan, karena secara kodrati laki-laki memang diciptakan lebih kuat daripada perempuan. Dan hal ini dengan mudah dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan (Suharjo, 2003). 8. Riwayat ASI eksklusif Pemberian ASI secara eksklusif untuk bayi hanya diberikan ASI tanpa diberi tambahan cairan lain. Pemberian ASI eksklusif dianjurkan untuk jangka waktu minimal empat bulan atau enam bulan. ASI adalah satu-satunya makanan ideal yang terbaik dan paling sempurna bagi bayi untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis bayi yang sedang tumbuh dan berkembang. Air Susu Ibu (ASI) mudah dicerna oleh sistem pencernaan bayi, lengkap kandungan gizinya
30
dan mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Selain itu, ASI juga dapat menurunkan angka kematian bayi baru lahir karena diare (Almatsier, 2011). 9. Riwayat makanan pendamping ASI (MP-ASI) Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizi anak mulai usia empat bulan sampai usia 24 bulan. Bayi membutuhkan nutrisi yang tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Seiring dengan pertumbuhan umur anak, kebutuhan nutrisinya juga juga meningkat. Memasuki usia 4-6 bulan bayi telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi telah tumbuh dan lidah siap menelan makanan setengah padat. Disamping itu, lambung juga telah lebih baik mencerna zat tepung. Di awal kehidupannya, lambung dan usus bayi sesungguhnya belum sepenuhnya matang. Bayi dapat mencerna gula dalam susu (laktase) tetapi belum mampu menghasilkan amilase dalam jumlah yang cukup. Jika kemudian bayi disapih pada usia 4-6 bulan, tidak berarti karena bayi telah siap menerima makanan selain ASI, tetapi karena kebutuhan gizi bayi tidak lagi cukup dipasok hanya oleh ASI. Memang ada sebagian bayi yang terus tumbuh dengan memuaskan meskipun tidak diberikan makanan tambahan. Namun di lain pihak, cukup banyak bayi yang membutuhkan nutrisi dan energi lebih dari sekedar yang tersedia di dalam ASI (Arisman, 2004).
b.
Faktor Eksternal Faktor gizi eksternal adalah faktor yang berpengaruh di luar diri seseorang
(Almatsier, 2011). Faktor gizi eksternal yang memepengaruhi gizi balita meliputi:
31
1. Faktor pertanian Faktor pertanian meliputi seluruh usaha pertanian mulai dari penanaman sampai dengan produksi dan pemasaran, jika sektor pertanian melemah (terjadi gagal panen) maka masyarakat akan kesulitan dalam memperoleh makanan untuk dikonsumsi, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi (Almatsier, 2011). 2. Faktor ekonomi Penghasilan keluarga mempengaruhi dan menentukan daya beli keluarga termasuk makanan, tersedia atau tidaknya makanan dalam keluarga akan menentukan kualitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh anggota yang sekaligus mempengaruhi asupan gizi (Almatsier, 2011). 3. Faktor sosial budaya Pola kebudayaan juga mempengaruhi orang dalam memilih pangan. Faktor sosial budaya meliputi kebiasaan makan, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu dan anggapan terhadap suatu makanan yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan tertentu (Almatsier, 2011). 4. Jumlah anggota keluarga Kasus balita gizi kurang banyak ditemukan pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Keluarga dengan jumlah anak yang banyak dan jarak kelahiran yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah, yakni pendapatan keluarga yang pas-pasan, sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makan di dalam keluarga akan sulit dipenuhi. Anak yang lebih kecil akan mendapat jatah makanan
32
yang lebih sedikit, karena makanan lebih banyak diberikan kepada kakak mereka yang lebih besar sehingga mereka menjadi kurang gizi dan rawan terkena penyakit (Almatsier, 2011).
2.5.4
Kebutuhan Zat Gizi pada Balita Pemberian kebutuhan gizi balita harus disesuaikan dengan umur, jenis
kelamin, berat badan, aktivitas, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang (Uripi, 2004). Kebutuhan energi protein balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata perhari yang dianjurkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.4 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Anjuran (AKG) Rata-Rata Per Hari No Kelompok Umur Berat badan Tinggi Energi (kkal) Protein (kg) Badan (cm) (kkal) 1 0 – 6 bulan 6,0 2 6 – 12 bulan 8,5 3 1 – 3 tahun 12,0 4 3 – 5 tahun 18,0 Sumber: Widyakarma Pangan dan Gizi, 2004
2.6
60 71 90 110
550 650 1000 1550
10 16 25 39
Penilaian Status Gizi Malnutrisi pada individu atau masyarakat dapat diketahui melalui
penilaian status gizi (PSG). Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Syafiq, 2009). Cara penilaian status gizi yang paling sering digunakan di masyarakat adalah antropometri gizi.
33
2.6.1
Pengertian Antropometri Asal kata: antropos (tubuh) dan metros (ukuran), antropometri berarti
ukuran dari tubuh (Supariasa, 2002). Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).
2.6.2 Syarat yang Mendasari Penggunaan Antropometri 1. Alat mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan atas, dan alat pengukur panjang bayi yang dapat dibuat sendiri di rumah. 2. Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif. 3. Pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus profesional, dapat oleh tenaga lain setelah mendapat pelatihan. 4. Biaya relatif murah, karena alat mudah didapat dan tidak memerlukan bahanbahan lainnya. 5. Mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas (cutt of point) dan baku rujukan yang sudah pasti. 6. Secara ilmiah diakui kebenarannya. Hampir semua negara menggunakan antropometri sebagai metode untuk mengukur satatus gizi masyarakat, khususnya untuk penapisan (screening) status gizi.
34
2.6.3 Keunggulan Antropometri 1. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel cukup besar 2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli 3. Alat murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. 4. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan. 5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. 6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, buruk dan baik, karena sudah ada ambang batas yang jelas. 7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. 8. Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi (Hammond, 2004).
2.6.4
Jenis Parameter Antropometri Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Parameter antropometri adalah dasar dari penilaian status gizi (Supariasa, 2002). Kombinasi antara parameter disebut indeks antropometri, terdiri dari: 1. Berat badan menurut umur (BB/U)
35
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, maka nafsu makan atau jumlah makan yang dikonsumsi akan berkurang dan akan mengakibatkan menurunnya berat badan. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Penilaian dilakukan dengan menghitung presentase capaian berat badan (BB) standar berdasarkan usia anak. Selanjutnya, konsultasikan dengan tabel baku rujukan status gizi balita usia 12-59 bulan menurut berat badan dan umur (BB/U) pada lampiran. Cara penilaian indeks berat badan/umur ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah kelebihan indeks BB/U: 1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum. 2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis. 3) Berat badan dapat berfluktuasi. 4) Sangat sensitif terhadap perubahan kecil. 5) Dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Sementara itu, kekurangan indeks BB/U adalah: 1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang salah bila terdapat edema maupun asites. 2) Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena sistem pencatatan kependudukan yang belum memadai.
36
3) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia lima tahun. 4) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan. 5) Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat. Dalam hal ini orang tua tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan (Supariasa, 2002). 2. Tinggi badan menurut umur (TB/U) Tinggi badan adalah antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Perubahan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam jangka waktu relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002). 3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB adalah indeks yang independen terhadap umur. Penilaian ini lebih peka daripada penilaian berdasarkan berat badan menurut umur (Supariasa, 2002). 4. Lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U) Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan jaringan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas berkolerasi dengan indeks
37
BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan atas (LILA) adalah parameter antropometri yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga bukan profesional. Lingkar lengan atas (LILA) sebagaimana dengan berat badan adalah parameter yang labil, dapat berubah-ubah dengan cepat. Indeks LILA sulit untuk melihat perkembangan anak (Supariasa, 2002). 5. Indeks masa tubuh (IMT) Masalah kekurangan dan kelebihan pada gizi orang usia 18 tahun ke atas adalah masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Dalam hal ini indeks masa tubuh digunakan untuk melakukan pengukuran untuk mengetahui status gizi orang dewasa (Supariasa, 2002). 6. Tebal lemak bawah kulit menurut umur Pengukuran tebal lemak tubuh melalui pengukuran ketebalan lemak bawah kulit (skinfold) dilakukan pada beberapa bagian tubuh, misalnya pada bagian lengan atas triseps dan biseps, lengan bawah (foream), tulang belikat (subscapular) dan pertengahan tungkai bawah (medial calf) lemak tubuh dapat diukur secara mutlak dinyatakan dalam kilogram maupun secara perkiraan dinyatakan dalam persen tubuh total. Jumlah lemak tubuh sangat bervariasi ditentukan oleh jenis kelamin dan umur. Lemak bawah kulit pria 3.1 kg dan wanita 5.1 kg (Supariasa, 2002).
38
2.7
Hubungan Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita Kesehatan tubuh balita sangat erat kaitannya dengan makanan yang
dikonsumsi. Zat-zat yang terkandung dalam makanan yang masuk dalam tubuh sangat mempengaruhi kesehatan (Prasetyawati, 2012). Faktor yang cukup dominan yang menyebabkan keadaan gizi balita kurang adalah status pekerjaan ibu, dimana balita dengan ibu pekerja akan diasuh oleh orang lain seperti, kakak, nenek, bibi, dan baby sitter yang sering kali kurang peduli mengenai pola makannya yang menyebabkan kebutuhan gizinya kurang memadai (Purwati, 2012). Semakin baik pola asuh makan yang diterapkan orang tua maupun pengasuh pada anak semakin meningkat status gizi anak tersebut. Sebaliknya, bila status gizi berkurang jika orang tua maupun pengasuh menerapkan pola asuh makan yang salah pada anak (Kemenkes, 2011). Hubungan pola asuh makan balita terhadap status gizi balita sangat kuat dimana asupan gizi seimbang dari makanan memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan anak dibarengi dengan pola asuh makan yang baik dan teratur yang perlu diperkenalkan sejak dini, antara lain dengan perkenalan jamjam makan dan variasi makanan dapat membantu mengkoordinasikan kebutuhan akan pola asuh makan sehat pada anak (Tella, 2012). Hal ini juga didukung oleh pendapat Ashar (2008) mengatakan bahwa upaya untuk mengatasi masalah gizi yang sangat penting adalah dengan pengaturan pola asuh makan. Pola asuh makan yang diterapkan dengan baik dan tepat sangat penting untuk membantu mengatasi
39
masalah gizi yang sangat penting bagi pertumbuhan balita. Ditambah dengan asupan gizi yang benar maka status gizi yang baik dapat tercapai. Makanan yang memiliki asupan gizi seimbang sangat penting dalam proses tumbuh kembang dan kecerdasan anak. Pola asuh makan yang baik harusnya dibarengi dengan pola gizi seimbang, yaitu pemenuhan zat-zat gizi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan tubuh dan diperoleh melalui makanan seharihari. Dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang secara teratur, diharapkan pertumbuhan anak akan berjalan optimal dan terhindar dari masalah gizi (Wello, 2008).