BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini menjelaskan beberapa konsep hasil penelaahan dan analisis pendapat para ahli dalam beberapa literatur yang berhubungan dengan tema besar yang dikaji dalam penulisan skripsi. Selanjutnya pembahasan dikelompokan kedalam beberapa tema yaitu : Gerakan Pembaharuan Islam, Konsep Jihad, Tokoh Pembaharuan dan Jihad dalam Islam.
A. Gerakan Pembaharuan Islam. Gerakan pembaharuan Islam pertama kali berkembang di era modern, yaitu pada abad ke sembilan belas ketika terjadi persentuhan budaya antara Islam dengan kebudayaan Barat (Nasution, 1992:11). Pengaruh kebudayaan Barat begitu besar pada umat Islam, ide-ide yang berasal dari Barat seperti demokrasi, rasionalisme, nasionalisme tumbuh dan berkembang berkembang. Permasalahan tersebut, telah mendorong pemimpin-pemimpin Islam berfikir dan melakukan usaha untuk mempengaruhi umat Islam agar berfikir dan bertindak Islami dalam kehidupannya serta tidak tunduk pada arus pemikiran dan praktik Barat (Esposito, 2001:133). Selain untuk membendung arus pemikiran dan budaya Barat yang telah tumbuh dan berkembang pada diri umat Islam, adanya stagnasi dan kemunduran dalam bidang pemikiran dan kebudayaan Islam menjadikan faktor munculnya gerakan pembaharuan Islam. Sebagaimana yang disampaikan Esposito :
9
Seruan untuk kebangkitan dan pembaruan muncul dari dikenalinya gejala keterbelakangan dan stagnasi pemikir agama pada masyarakat muslim pada abad ke sembilan belas. Para pemikir Islam menyadari bahwa harus diusahakan untuk meraih derajat kemajuan yang setara dengan langkah cepat perkembangan Eropa. Islam tidak dilihat sebagai penyebab masalah, tetapi sebagai pemecah masalah asalkan kaum muslim mendekati agama dengan cara yang baru (2001:133).
Dalam diri umat Islampun mulai tumbuh pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan pemikiran-pemikiran Islam dengan perkembangan baru yang timbul karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi. Langkah yang ditempuh tersebut diharapkan oleh para pemimpin umat Islam agar bisa melepaskan Islam dari stagnasi dan kemunduran. Adanya perhatian yang terhadap hal yang bersifat modern dalam Islam, menjadikan kata modernisme mulai diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa yang sering dipakai dalam Islam seperti at-tajdid dalam bahasa Arab dan pembaharuan dalam bahasa Indonesia (Nasution, 1992:12). Berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam Islam, tidak dianggap sebagai suatu permasalahan selama itu tidak menyangkut pada masalah-masalah pokok agama Islam yang bersifat tetap. Seperti halnya aqidah Islam yang bersifat tetap. Pembaharuan dalam Islam hanya berlaku pada masalah-masalah cabang agama (furu) yang senantiasa berkembang menjangkau persoalan-persoalan baru dan menyesuaikan diri dengan realitas. Bahkan pembaharuan dianggap penting untuk menemukan esensi dari prinsip-prinsip, rukun-rukun, kaidah-kaidah agama. Urgensi pembaharuan Islam yang lainnya adalah untuk menjaga kelangsungan agama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Imarah:
10
Jadi, pembaharuan tidak bertentangan dengan kesempurnaan dan kebakuan agama, melainkan menjadi jalan perluasan pengaruh-pengaruh agama yag sempurna ini ke wilayah-wilayah jangkauan baru dan persoalan-persoalannya yang baru timbul, dan jaminan bagi kelangsungan dasar-dasar itu dalam menyertai perkembangan jaman dan tempat, dengan kata lain, untuk menjamin kelangsungan risalah penutup agar abadi sebagaimana yang dikehendaki Allah (1998: 240). Adapun orang-orang yang terlibat aktif dalam gerakan pembaharuan Islam di sebut sebagai mujaddid. Seorang mujaddid bukanlah seorang muslim pada
umumnya, tetapi harus
memiliki karkteristik yang hampir mendekati
seorang rasul walaupun ia manusia biasa. Kriteria seorang mujaddid dijelaskan secara panjang lebar oleh Al-Maududi sebagai berikut : Ia memenuhi kriteria berfikir kritis, berpandangan jauh ke muka, adil tak memihak, berkemampuan khusus untuk melihat jalan lurus yang nyata bagi semua golongan ekstrim serta memelihara keseimbangannya, mampu berfikir bebas dari segala pertentangan antara golongan muda dan tua serta prasangka-prasangka sosial lainnya, berani menentang kedhaliman pada masanya, berbakat sebagai pemimpin dan pembimbing, dan berkemampuan lebih untuk melakukan ijtihad serta menghasilkan karyakarya rekonstruksi. Selain harus memenuhi segala persyaratan tadi, ia pun harus mengenal Islam secara mendalam dan meyeluruh. Seorang muslim sempurna baik dalam pemikiran maupun dalam sikap, harus bermata jeli dalam menggariskan batas antara yang Islam dan non-islam secara terperinci. Mampu memisahkan kebenaran dari lumpur kepalsuan yang sudah lama melembaga. Tanpa memiliki kriteria-kriteria tersebut, jangan harap kita dapat menjadi seorang mujaddid (1984: 42-43).
Di era modern dikenal beberapa ulama yang bisa dikategorikan sebagai mujaddid jika dilihat dari kiprah ataupun pemikirannya terhadap pembaharuan Islam berpengaruh besar. Dari beberapa orang ulama itu, tiga orang diantaranya dianggap paling populer dan menonjol terhadap gerakan pembaharuan Islam, mereka itu adalah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selain pernah beraktivitas di tempat yang sama yaitu Mesir, ketiga tokoh ini juga
11
memiliki hubugan khusus yaitu hubungan guru dengan murid. Berikut ini gambaran singkat latar belakang kehidupan, pemikiran dan pengaruh pemikiran mereka terhadap gerakan pembaharuan Islam.
1. Jamaluddin Al-Afghani Nama lengkapnya adalah Jamaluddin Al-Afghani As-Sayid Muhammad bin Shafdar Al-Husain. Dilahirkan di desa Asadabad, Distrik Konar, Afghanistan pada tahun 1838. Silsilah keluarganya tersambung dengan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah Sayyid Safdar Al-Husainiyyah yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali Al-Turmudzi (seorang perawi hadist yang masyhur) juga dengan nasab Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab fiqih Hanafi. Pada masa kecil dan remajanya ia habiskan di Afghanistan. Namun, ketika beranjak dewasa ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir dan Prancis (Republika: 12 Juli 2009). Di masa kecilnya Jamaluddin Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta keluarganya. Sejak masa kecilnya telah nampak pada diri Jamaluddin Al-Afghani kecerdasan dan kemauan yang besar untuk menggali pengetahuan. Dalam usia delapan tahun ia mulai belajar disiplin ilmu dan menguasai beberapa ilmu, diantaranya Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik, sejarah, musik dan termasuk ilmu-ilmu eksak (http://muhammadzulifan.multiply.com/ item/35 [29 September 2009]). Ketika Sher Ali Khan menggantikan Dost Muhammad Khan pada tahun 1864, Jamaluddin Al-Afghani diangkat menjadi penasihatnya. Dan beberapa
12
tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan. Karena campur tangan Inggris dalam soal politik di Afghanistan dan kekalahannya dalam pergolakan melawan golongan yang didukung Inggris, ia meninggalkan Afghanistan tahun 1869 menuju India. Ternyata Inggris yang berada di India selalu mengawasi kegiatannya, ia pun meninggalkan India dan pergi ke Mesir pada tahun 1871, dan menetap di Kairo. Pada mulanya Jamaluddin Al-Afghani menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatiannya pada bidang ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan para pengikutnya. Di sinilah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Salah seorang murid
Jamaluddin Al-Afghani adalah Muhammad Abduh yang
melanjutkan ide-ide pembaharuannya, setelah ia meninggal. Pada tahun 1879, Jamalauddin Al-Afhgani membentuk partai politik dengan nama Hizb Al-Watani (Partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir. Partai yang ia dirikan ini bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi militer. Kegiatan yang dilakukan Jamaluddin Al-Afgani selama berada di Mesir memberi pengaruh yang besar bagi umat Islam di sana. Ia yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara itu dapat mencapai kemajuan dan menjadi negara modern. Akan tetapi, karena keterlibatannya dalam bidang politik itu, pada tahun 1882 ia diusir dari Mesir oleh penguasa saat itu. Dia kemudian pergi ke Paris (http://www.republika.
13
co.id/berita/67549/Jamaluddin_al_Afgani_Penentang_Imperialisme_Barat
[29
September 2009]). Pada tahun 1882, Jamaluddin Al-Afghani mendirikan perkumpulan yang diberi nama Al-Urwah Al-Wusqa (ikatan yang kuat) di Paris, yang anggotanya terdiri atas orang-orang Islam yang berasal dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan didirikannya perkumpulan tersebut, antara lain, memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Organisasi ini kemudian menerbitkan jurnal yang mengecam keras penjajahan yang dilakukan negara-negara Barat. Penguasa Barat melarang jurnal ini diedarkan di negara-negara muslim karena dikhawatirkan dapat menimbulkan semangat persatuan Islam. Karena dilarang diedarkan, jurnal ini hanya beredar selama delapan bulan (http://arsip.kotasantri.com/galeria.php?aksi=cetak&artid =181 [29 September 2009]). Sepanjang pengembaraannya, seperti ke India dan Mesir yang tengah dijajah oleh Inggris, Jamaluddin Al-Afghani terus membangkitkan semangat umat Islam untuk menentang imperialisme Barat, juga mengajak kembali pada Islam yang murni. Dalam bidang keilmuan, ia mendorong umat Islam untuk mempelajari sains dan teknologi Barat tanpa harus terpengaruh budaya negatif Barat. Perjuangannya bertujuan membangun
sistem
politik berdasarkan
persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) yang telah hancur akibat penjajahan yang dilakukan Barat. Selain itu ia juga adalah perintis pembaharuan Islam yang memberikan inspirasi gerakan Pan-Islamisme (persatuan umat Islam sedunia) (http://www. (alhikmahonline.com/content/view/176/13/ [29 September 2009]).
14
Selain mengumandangkan ide Pan-Islamisme, karena keresahannya menyaksikan umat Islam sedang terbelakang secara ilmu pengetahuan, tekhnologi serta kebudayaan, ia juga menggelorakan semangat pembaruan dengan menyerukan membuka pintu ijtihad dan melakukan gerakan kembali pada ajaran Islam yang murni, yakni bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Bagi Jamaluddin Al-Afghani, umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran agamanya dan karena banyak mengikuti ajaran dari luar Islam. Agama Islam sekadar menjadi ucapan di lisan dan tulisan di atas kertas, tidak diwujudkan dalam kenyataan. Kemunduran umat Islam juga karena perpecahan di dalam, yang memperlemah persaudaraan (http://www.muhammadiyah.or.id/index2.php?option =com_content&do_pdf=1&id=1047 [29 September 2009]). Analisisnya tentang kemunduran umat Islam pada saat itu, juga dituangkan dalam tulisannya yang di muat dalam jurnal Al-Urwah Al-Wusqa : Kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam, sebagaimana dianggap, tidak sesuai dengan perobahan zaman dan kondisi baru. Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran dari luar lagi asing bagi Islam. Ajaran Islam yang sebenarnya hanya tinggal dalam ucapan dan diatas kertas. Sebahagian dari ajaran-ajaran asing itu dibawa orang-orang yang purapura bersikap suci, sebahagian lain oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan-keyakinan yang menyesatkan dan sebahagian lain lagi oleh hadis-hadis buatan. Faham kada dan kadar umpamanya, demikian AlAfghani, telah dirusak dan dirubah oleh fatalisme, yang membawa umat Islam pada keadaan statis. Kada dan kadar sebenarnya mengandung arti bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sabab-musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu dari mata rantai sabab musabab itu. Di masa yang silam keyakinan pada kada dan kadar serupa ini memupuk keberanian dan kesabaran dalam jiwa umat Islam untuk menghadapi segala macam bahaya dan kesukaran. Karena percaya pada kada dan kadar inilah maka umat Islam di masa yang silam bersifat dinamis dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi (Nasution, 1992: 55).
15
Solusi untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut Jamaluddin AlAfghani adalah menghilangkan pengertian-pengertian yang salah yang dianut umat Islam dan kembali pada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali demikian pula kesediaan untuk berkorban demi kepentingan umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, umat Islam akan dapat bergerak maju mencapai kemajuan (Nasution, 1992: 56). Selain dianggap sebagai pelopor pembaharuan Islam, Jamaluddin AlAfghani juga dianggap sebagai salah satu pemimpin politik umat Islam, ini terlihat dari cita-cita perjuangannnya yaitu Pan-Islamisme. Kondisi ini memang tidak terlepas dari keadaan umat Islam pada saat itu yang mayoritas berada dibawah jajahan bangsa Barat. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Dr. Muhammad Al-Bahiy: Jamaluddin menarik contoh perbandingan dari sejarah bangsa-bangsa, begitupun dari sejarah umat Islam sendiri, sebagai ia menarik fakta-fakta yang dapat disaksikan dan menakutkan Muslimin berupa siasat kolonialisme di negera-negera Islam – khususnya di India dan Mesir – yakni contoh-contoh yang dapat diambilnya dari bukti-bukti kehidupan Islam dan manifestasinya saat itu, dengan menyorot permainan dan intrik (akal bulus) kekuasaan asing, tujuannya yang mengarah meluaskan pengaruh mereka demi kepentingan khusus golongan Eropah di serata Dunia Islam. Pergeseran langsung inilah yang menyebabkan gerakan Jamaluddin Al-Afghani tampak sebagai suatu gerakan politik, dan itulah pula yang menyebabkan kegiatannya terpusat kepada kemerdekaan politik di Timur Islam bagi seluruh penduduk, baik Muslimin maupun Masehi (An-Nadwi, 1983:106-107). Jamaluddin Al-Afghani meninggal pada tanggal 8 Maret 1897 di Istanbul, Turki. Sampai akhir hayatnya ia terus memperjuangan cita-citanya tentang Pan –
16
Islamisme. Meskipun cita-citanya untuk mempersatukan umat Islam tidak pernah terwujud tapi sumbangan pemikiran dan perjuangannnya terhadap gerakan pembaharuan Islam begitu besar. Setelah kematiannya, ide dan perjuangannnya tentang pembaharuan Islam dilanjutkan oleh muridnya yaitu Muhammad Abduh.
2. Muhammad Abduh Nama lengkap Muhamad Abduh adalah Muhammad Abduh bin Hassan Khair Allah. Terlahir di desa Mahallat Nashr, Provinsi Gharbiyah, Mesir, pada tahun 1849. Ayahnya bernama Abduh Khair Allah, warga Mesir keturunan Turki. Sedangkan ibunya adalah seorang perempuan keturunan Arab yang nasabnya tersambung hingga Umar Ibnu Khattab. Pendidikan agama pertama kali diperoleh dari ayahnya, Abduh Khair Allah. Ayahnya mengajarkan baca tulis dan menghapal Al-Qur’an, karena kecerdasannya dalam waktu kurang dari tiga tahun ia telah berhasil menghafal Al-Qur’an. Pada usia 14 tahun, Muhammad Abduh di kirim ke kota Tanta, untuk belajar pada sebuah lembaga pendidikan di Masjid AlAhmad, milik universitas Al-Azhar, Mesir. Di sini ia belajar bahasa Arab, AlQur’an, dan fikih. Setelah dua tahun belajar di tempat tersebut Muhammad Abduh mengundurkan diri, dengan alasan tidak cocok dengan sistem belajar yang hanya menekankan pada hapalan dan tidak memeberikan kebebasan kepada para siswa untuk mengembangkan pemikiran (http://www.psq.or.id/tokoh_detail.asp?mnid= 37&id=9. [29 September 2009]). Pada tahun 1866, diusia 17 tahun Muhammad Abduh menikah. Baru 40 hari menjalankan pernikahan, ia dipaksa oleh orang tuanya untuk melanjutkan
17
belajar kembali di kota Tantha. Sebelum ke kota Tantha, Muhammad Abduh bertemu dengan pamannya yang seorang pengikut tarekat As-Syadziliyah bernama Syekh Darwisy Khadr. Dari pamannya inilah Muhammad Abduh menimba ilmu tentang tasawuf untuk beberapa bulan. Selanjutnya ia melanjutkan belajar di lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad kota Tanta, selama tiga bulan. Kemudian Muhammad Abduh melanjutkan belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, meskipun kembali kecewa karena metode belajarnya hampir sama dengan lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad yaitu menekankan pada hapalan. Untuk menambah wawasannya mengenai ilmu-ilmu non agama yang tidak didapatkan dari universitas Al-Azhar, ia belajar pada Syeikh Hasan At-Tawil, darinya ia belajar ilmu filsafat, matematika dan logika (http://muhammadzulifan.multiply. com/journal/item/36 [29 September 2009]). Ketika Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir, pada tahun 1871, kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan menghadiri pertemuanpertemuan ilmiah yang diadakan olehnya. Muhammad Abduh sangat terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, gurunya. Bagi Muhammad Abduh, sosok Jamaluddin Al-Afghani adalah orang yang telah membukakan dunia Islam di hadapannya, beserta permasalahan-permasalahan yang dihadapinya di zaman modern. Hubungan ini mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit, sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir, kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat, membimbing mereka untuk maju, dan membela ajaran
18
ajaran Islam (http://armansyah. swaramuslim.net/more.php?id=48_0_1_0_M. [29 September 2009]). Mengenai ide pembaharuan Islam, Muhammad Abduh menganalisis, yang menyebabkan kemunduran umat Islam pada saat itu yaitu faham jumud. Dalam kata jumud
terkandung arti keadaan membeku, statis, tidak ada perubahan.
Karena dipengaruhi faham inilah umat Islam tidak menghendaki perubahan. Umat Islam hanya berpegang teguh pada trdisi. Selanjutnya ia menerangkan : Sikap ini dibawa kedalam tubuh Islam oleh orang-orang bukan Arab yang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Dengan masuknya mereka kedalam Islam adat-istiadat dan faham-faham animistis mereka turut pula mempengaruhi umat Islam yang mereka perintah. Di samping itu mereka bukan berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam Islam. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan. Ini merupakan bid’ah menurut Muhammad Abduh, masuknya berbagai macam bid’ah kedalam Islamlah yang membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itulah yang mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat Islam, fahafaham asing lagi salah itu harus dikeluarkan dari tubuh Islam. Umat harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-ajaran Islam sebagai terdapat di zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama-ulama besar (Nasution, 1992: 62-63).
Sebagaimana gurunya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduhpun sangat menentang ajaran taqlid yang pada saat itu banyak dijalankan oleh umat Islam. Sebaliknya ia menyarankan umat Islam memakai akal dan pikiran dalam memahami ajaran Islam agar keluar dari keterpurukan, sebagaimana yang dijelaskannya dalam buku Rissalah At-Tauhid: Islam mengutuk taqlid secara membabi buta (mengikuti pendapat secara tidak kritis) dalam masalah keyakinan (aqidah) dan pengamalan kewajiban-kewajiban agama secara mekanik…. Islam membangunkan akal dari tidurnya… dan menyaringkan suaranya untuk menentang
19
prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri ia harus membimbing dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan, yaitu ilmu tentang alam semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berlalu…Islam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif kepada segala sesuatu yang sampai kita dari nenek moyang kita… Ia menunjukan kepada kita bahwa kenyataan yang, dari segi waktunya, lebih dahulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau ketinggian akal pikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan alami yang sama… Jadi ia melepaskan diri dari rantai yang mengikatnya, dan mengembalikan kewenangan kepadanya untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan penilaian dan kebajikannya sendiri… Namun demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah sendiri dan berhenti pada batas-batas yang ditetapkan oleh agama; tetapi dalam batas-batas ini tidak ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan terhadap berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas tanggungjawabnya (Gibb, 1993: 75-76).
Dalam bidang teologis,
Muhammad Abduh menekankan umat Islam
untuk memakai akal dan pikirannya dalam mencapai hakikat iman. Sebagaimana yang ditulis Muhammad Imarah dalam bukunya Al-A’mal Al-Kamilah Li Al-Imam Muhammad Abduh: ide-ide pembaharuan teologis yang disebarkan oleh Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, yaitu: kebebasan manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadap sunah Allah, dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangannya tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah mahluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun demikian, kebebasan tersebut bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurutnya mendasari perbuatan manusia, yakni : pertama, manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya : kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi…Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman. Akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hukum-hukum. Namun demikian, menurutnya, akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu
20
sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya (http://www.ilma95.net/muhammad_abduh.htm [29 September 2009]).
Selain pembaharuan dalam bidang teologis, menurut Muhammad Abduh, pembaharuanpun sangat penting dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan tinggi Islam dan perumusan ajaran-ajaran Islam dalam pengertian-pengertian, kalau tidak menurut pemikiran modern, setidaknya yang lebih diterima oleh orang-orang modern daripada perumusan abad pertengahan yang sudah ketinggalan zaman tetapi masih diterpakan pada saat itu oleh umat Islam. Menurut Muhammad Abduh dengan meningkatkan mutu pendidikan Islam dan mengemukakan kembali ajaran-ajaran dasar Islam dengan jelas dan tegas, unsurunsur yang merusak dalam ajaran Islam, baik yang bersifat materialistik maupun animistik, dapat dikeluarkan dan dilenyapkan (Gibb, 1993: 69). Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, menurut Muhammad Abduh, umat Islam dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan Barat, jika mereka mau membersihkan aqidah Islam dari hal-hal yang mengotorinya selama berabadabad. Disamping itu ia berpendapat bahwa jalan yang paling benar untuk membebaskan umat
Islam dari penjajahan dan kediktatoran adalah melalui
pendidikan dan pengajaran, bukan kudeta atau revolusi sebagaimana yang dianjurkan gurunya Jamaluddin Al-Afghani (Amin, 2003: 303; Gibb, 1993: 69). Inilah perbedaan corak pemikiran antara Jamaluddin Al-Afghani dengan Muhammad Abduh meskipun hubungan mereka secara ideologi adalah guru dengan murid. Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani lebih condong pada revolusi
21
politik (Pan-Islamisme) sedangkan Muhammad Abduh menempuh jalan evolusi budaya (reformasi pendidikan dan pengajaran). Muhammad Abduh meninggal dunia pada tahun 1905 di Mesir. Ketika itu ia masih menjabat sebagai Mufti negara Mesir yang diembannya dari tahun 1899. Jabatan lain yang pernah diembannya adalah menjadi anggota Majelis A’la pada tahun 1894 di Universitas Al-Azhar, pada saat itulah ia banyak melakukan perubahan-perubahan dalam sistem pengajaran universitas Al-Azhar. Kontribusi penting Muhammad Abduh dalam pembaharuan Islam salah satunya pada tahun 1884 bersama gurunya di Paris menerbitkan majalah Al-Urwah Al-Wusqa (Nasution, 1992: 62).
Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh terhadap umat
Islam begitu besar. Ide-ide pembaharuannnya setelah dia meninggal di lanjutkan oleh murid-muridnya, salah satunya adalah Rasyid Ridha.
3.
Rasyid Ridha. Nama lengkapnya adalah
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin
Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Dilahirkan di sebuah desa bernama Qalamun, yang tidak jauh dari kota Tripoli, Lebanon, pada tahun 1865. Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.
Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Alquran, belajar menulis, dan
22
berhitung. Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, ketika usianya sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan belajarnya di Madrasah Al-Wathaniyyah AlIslamiyyah (sekolah nasional Islam) yaitu sekolah milik pemerintah di kota Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Syaikh Al-Jisr, seorang ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme. Di sini, Rasyid Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa Prancis dan Turki. Syaikh Al-Jisrlah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru
dunia,
padahal
tidak
diajarkan
pelajaran
agama
di
dalamnya(http://www.republika.co.id/berita/71358/Rasyid_Ridha_Tokoh_Reform is_Dunia_Islam [29 September 2009]). Sebelum terlibat aktif dalam gerakan pembaharuan Islam, Rasyid Ridha pada awalnya adalah pengikut dan pengamal ajaran sufi tarekat Syadziliyyah dan tarekat Naqsyabandiyya. Karena pengaruh tulisan-tulisan dalam majalah AlUrwah Al-Wutsqa, terutama tulisan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. yang menganggap ajaran tasawuf itu bid’ah dan banyak menyimpang
23
dari ajaran Islam, ia pun keluar dari tarekat Syadziliyyah dan tarekat Naqsyabandiyya (http://id.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha [29 September 2009 ]). Melalui majalah Al-Urwah Al-Wutsqa Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaharu Islam yaitu Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ide-ide cemerlang yang disampaikan kedua tokoh itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu. Keinginan untuk bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani tidak tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh diasingkan ke Beirut pada tahun 1882, Rasyid Ridha berkesempatan berdialog dan
bertukar bertukar pikiran dengan Muhammad
Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam yang saat itu berada dalam keterbelakangan dan kebodohan. Rasyid Ridha awalnya mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Tripoli, Libanon, tetapi mendapatkan penentangan keras dari pemerintah. Karena itulah, kemudian Rasyid Ridha memutuskan untuk pindah ke Mesir pada tahun 1898, selain agar lebih leluasa meneruskan perjuangannya dalam menerapkan ide-ide pembaharuan Islam juga agar lebih dekat dengan gurunya Muhammad Abduh. Beberapa bulan setelah berada di Mesir, pada tanggal 18 Maret 1898 bersama gurunya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan sebuah majalah bernama Al-Manar. Tujuan diterbitkannaya Al-Manar adalah untuk meneruskan
24
misi dari majalah Al-Urwah Al-Wutsqa yaitu, menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi, memberantas tahayul dan bid’ah dalam ajaran Islam, memberantas faham fatalisme, mengkritis penyimpangan ajaran tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Majalah ini banyak menyiarkan pemikiran-pemikiran Muhamad Abduh, baik berupa tulisan-tulisannya sendiri, maupun ide-ide yang kemudian di interpretasikan kedalam tulisan oleh Rasyid Ridha (Nasution, 1992: 70). Rasyid Ridha merasa perlu adanya tafsir modern dari Al-Qur’an, kemudian ia medesak Muhamad Abduh untuk mengadakan kuliah tafsir yang sesuai dengan ide-ide pembaharuan gurunya itu. Kuliah tafsirpun diadakan dan dimulai sejak tahun 1899 di universitas Al-Azhar, Mesir. Dalam kuliah tafsir ini, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang dikemukakan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada Muhammad Abduh untuk diperiksa kembali. Setelah diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah AlManar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar. Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surat An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh meninggal pada tahun 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Al-Qur’an. Selanjutnya penulisan tafsir Al-Manar
25
dilanjutkan
oleh
Rasyid
Ridha
sampai
selesai
(http://wapedia.mobi/ms/
(Rasyid_Ridha?p=1[29 September2009]). Seperti gurunya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, Rasyid ridha adalah seorang yang gigih menyebarkan pemikirannya tentang pembaharuan Islam. Intisari pemikirannya seperti dibidang agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Menurutnya, masalah yang pertama, Al-Qur’an dan hadits harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsipprinsip dasar ajaran Islam. Dibidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak menghimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan
26
ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da'wah wa Al-Irsyad (Nasution, 1992: 71). Dalam bidang politik, Rasyid Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak melihat penyebab kemunduran Islam, antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Dia menganjurkan pembentukan organisasi Al-Jami'ah Al-Islamiyah (persatuan umat Islam) di bawah naungan khalifah (pemimpin kekhalifahan). Khalifah ideal, menurutnya, adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Rasyid Ridha menyebutkan dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang anggotanya terdiri atas para ulama dan pemuka masyarakat. Tugas dewan pengawas selain mengawasi pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan
27
lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat zalim dan sewenang-wenang. Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Rasyid Ridha, seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid (pemikir Islam) besar yang dihormati. Di bawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud (http://www.republika.co.id/berita/71358/Rasyid__Ridha_Tokoh _Reformis_Dunia_Islam [29 September 2009]). Meskipun secara garis besar pemikiran Rasyid Ridha hampir sama dengan pemikiran gurunya Muhammad Abduh yaitu tentang pembaharuan Islam, tetapi dalam beberapa hal ada perbedaan khas diantara keduanya. Seperti yang dikemukakan Gibb: Para pengikut ajarannya, yang dipimpin oleh muridnya dari Syria, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, meneruskan proses berfikir itu dengan gerakan kas yang halus menuju kepada ekstrimisme. Dengan membawa kemabali ajaran tentang taklid itu diluar para pendiri mazhab-mazhab dikalangan salaf, atau para “ulama besar dimasa lalu” dan menggabungkan dengan kuasi-rasionalisme dari logika skolastik, tetapi tanpa kestabilan dalam liberalisme sebagaimana dimiliki Muhammad Abduh, mereka [para pegikut ajaran Abduh itu] dengan sendirinya terbawa kearah eksklusivisme dan kekakuan mazhab Hanbali. Dalam penerbitan berkala mereka, AlManar, yang berarti mercusuar, pengaruh Al-Gozali, tokoh besar yang mendambakan pemaduan [antara berbagai pandangan yang saling bertentangan] dengan cepat digantikan oleh pengaruh tokoh fundamentalis, Ibnu Taimiyyah. Sebagai seorang paling gigih menentang ulama abad pertengahan dan bid’ah-bid’ah dikalangan sufi, Ibnu Taimiyyah memberikan semacam otoritas dan senjata ampuh yang diperlukan oleh [kelompok] Al-Manaruntuk melaksanakan kegiatan mereka (1993: 60-61). Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha begitu besar, ide-ide pembaharuan Islam yang dikemukakannya banyak mengilhami semangat pembaharuan di
28
berbagai wilayah dunia Islam. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya. Rasyid Ridha meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran Sa'ud Al-Faisal dari Saudi Arabia di kota Suez, Mesir pada tanggal 22 Agustus 1935.
B. Konsep Jihad Muhammad Imarah (Imarah, 1998:206) menjelaskan definisi jihad berasal dari kata dasar jahada
yang berarti setiap usaha yang dilakukan dengan
kemampuan berupa perkataan dan perbuatan serta ajakan pada agama yang haq. Sedangkan dala tradisi sufisme, jihad dipahami sebagai pengekangan jiwa (mujahadah an-nafs). Inilah jihad yang dipandang paling agung (al-jihad alakbar) sedangkan perang adalah jihad kecil (al-jihad al-ashghar). Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, kata jihad berasal dari kata al-juhd yang berarti “upaya” dan “kesulitan”. Dalam bahasa Arab, jaahada, yujaahidu, jihaadan, dan mujaahadatan, bermakna melakukan segala usaha dan berupaya sekuat tenaga serta menanggung segala kesulitan didalam memerangi musuh dan agresinya, yaitu yang dikenal dengan sebutan perang. Yakni, pertempuran bersenjata antara dua negara atau lebih (Sabiq, 2004: 1). Ia menambahkan bahwa ajaran perang tidak hanya berlaku pada umat Islam, tapi juga pada umat-umat terdahulu, bahkan lebih kejam yaitu seperti pengrusakan, penghancuran, pembinasaan dan penawanan. Seperti dalam ajaran Yahudi dalam kitab Perjanjian
29
Lama : Ulangan 20:10. begitupun dalam agama Kristen dalam kitab Injil Matius X ayat 24. Abul ‘Ala Al-Maududi berpendapat Islam adalah suatu ideologi dan “program revolusioner” yang berusaha mengubah tatanan sosial dunia sesuai dengan
cita-citanya.
Muslim
adalah
julukan
bagi
“partai
revolusioner
internasional” yang diorganisir oleh Islam untuk merealisasikan programprogramnya. Jihad adalah puncak perjuangan yang dilakukan “partai Islam” untuk mencapai tujuan-tujuannya (Al-Maududi, 1984:7). Hal menarik dari tulisan ini adalah bagaimana ia memandang bahwa jihad adalah sebagai metode untuk melakukan revolusi sosial dalam ajaran Islam. Hal yang sama dikemukakan oleh Sayyid Quthb yang mendefinisikan jihad sebagai perjuangan di jalan Allah yang dilakukan orang beriman untuk menghapuskan kebatilan dan menegakan kalimat Allah (Chirzin, 2001: 222). Dalam penjelasan tentang jihad, Sayyid Quthb dengan tegas mengarahkan pada metode peperangan. Sebagaimana yang di kemukakan ulama abad pertengahan Ibnul Qoyyim, Sayyid Quthb berpendapat bahwa peperangan dalam Islam mengalami perkembangan menarik: pertama, diharamkan, lalu diijinkan, lalu diperintahkan untuk orang-orang yang memulai peperangan, kemudian terakhir, diperintahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrik yang ada (Quthb, 2009: 75). Tujuan perang dalam Islam menurutnya sangat mulia, yaitu dalam kaitannya dengan dunia adalah untuk menjaga eksistensi manusia dihadapan manusia lainnya dan untuk mencegah kerusakan di bumi.
30
Jihad dalam bentuk perang, menurut Sayyid Quthb sangat dibutuhkan dalam Islam, selain bertujuan untuk menegakan ajaran Allah dimuka bumi juga untuk merebut, mendirikan dan mempertahankan kekuasaan dengan nilai dasar Ketuhanan di muka bumi. Sebagaimana yang dikemukan olehnya dalam buku Ma’aalim fith Thariiq (Petunjuk Jalan): Dengan begitu, peperangan ini merupakan hal mutlak adanya, bukan satu kondisi yang temporal. Sebab, pertentangan anatara yang hak dan yang batil akan selamnaya terjadi dimuka bumi ini. Dan, disaat Islam menyerukan seruan universalnya untuk mendirikan ketuhanan Allah atas alam semesta, membebaskan manusia dari penghambaan manusia atas manusia lainnya, menghancurkan para pencuri kekuasaan Allah, disamping misinya mengeluarkan manusia dari kekuasaan palsu mereka, para perongrong kekuasaan Allah ini akan menentangnya. Mereka tidak akan menyerah begitu saja. Oleh karena itu, Islam dalam hal ini harus maju ke depan, menghancurkan mereka agar dapat melindungi manusia di muka bumi dari para “pencuri kekuasaan” ini. Kondisi ini terus berlangsung. Tidak akan pernah berhenti seiring dengan gerakan jihad pembebasan ini. Hingga pada akhir nanti, agama (ad-diin) ini semuanya milik Allah (Quthb, 2009: 76-77). Hal yang penting dari penjelasan tersebut, adalah bahwa Sayyid Quthb berpendapat bahwa jihad dalam Islam tidaklah bersifat bertahan (defensif), tetapi menyerang (ofensif). Hukum jihad bagi umat Islam menurut Muhammad Imarah terbagi menjadi dua, yaitu fadhu kifayah (kewajiban kolektif) bilamana sebagian muslim telah melaksanakannya maka kewajiban jihad gugur bagi kaum muslim yang lainnya. Menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu) bilamana musuh telah menginjakan kakinya di negeri muslim (Imarah, 1998:207-208). Lebih luas Hasan Al-Banna menjelaskan tentang hukum jihad menurut empat mazhab fiqih Islam, yaitu :
31
Menurut mazhab Hanafi:..kewajiban jihad pada mulanya sebagai fardhu kifayah. Maksudnya kita harus mengawalinya dengan dakwah. Apabila kaum kafir tidak mengadakan agresi, imam (pemerintah) wajib mengirimkan pasukan ke wilayah darurat militer sebanyak satu hingga dua kali setahun. Semua rakyat wajib membantu pemerintah dalam melaksanakan jihad ini. Apabila sebagian umat Islam telah melaksanakannya maka gugur kewajiban bagi umat Islam yang lainnya. Apabila masih dibutuhkan, maka kewajiban jihad berlaku bagi umat yang lainnya. Dan apabila dengan penambahan pasukan itu belum cukup maka kewajiban jihad hukumnya menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individu) seperti halnya kewajiban shalat. ..Menurut mazhab Maliki: jihad untuk meninggikan kalimatullah, hukumnya fardhu kifayah pada setiap tahunnya. Apabila sebagian umat Islam telah melaksanakan kewajiban itu, maka gugur kewajiban bagi umat Islam lainnya. Hukum jihad berubah menjadi fardhu ‘ain apabila imam (pemerintah) memerintahkannya sehingga kewajibannya sama dengan shalat, puasa dan lain sebagainya. Selain itu bisa juga disebabkan karena adanya serangan musuh terhadap salah satu wilayah Islam, atau karena nadzar (janji kepada Allah) dari seseorang untuk melakukannya. ..Menurut mazhab Syafi’i: apabila kaum kafir berada di wilayahnya sendiri maka hukum jihad fardhu kifayah. Apabila sebagian umat Islam telah melaksanakannya, maka gugurlah dosa umat Islam yang lainnya. Hukum jihad menjadi fardhu ‘ain jika kaum kafir telah memasuki negara Islam, pada kondisi ini seluruh umat Islam di wilayah tersebut wajib mempertahankan diri dengan mengerahkan segala potensi yang ada. …Menurut mazhab Hambali: hukum jihad adalah fardhu kifayah apabila sebagian umat Islam telah melaksanakannya dan gugurlah kewajiban umat Islam yang lainnya. Hukumnya menjadi fardhu ‘ain, jika dalam keadaan sebagai berikut: pertama, apabila pasukan musuh dengan pasukan umat Islam telah berhadapan, maka haram hukumnya menghentikan pertempuran. Kedua, apabila kaum kafir menyerang negara Islam, maka wajib hukumnya bagi seluruh penduduk negeri untuk mempertahankan diri. Ketiga, apabila imam (pemerintah) mengeluarkan intruksi mobilisasi umum, maka wajib seluruh umat Islam mentaati perintah itu (Al-Maududi, Al-Banna dan Quthb, 1984: 108-113).
Orang-orang yang ikut berjihad memiliki posisi yang mulia di sisi Allah. Menurut Hasan Al-Banna, Alloh telah mewajibkan jihad secara tegas kepada setiap muslim. Tidak ada alasan bagi orang Islam untuk meninggalkan kewajiban jihad.
Ajaran
Islam
mendorong
umatnya
untuk
berjihad
dan
akan
melipatgandakan amalannya bagi yang mati syahid, dan tidak ada amalan dalam
32
Islam yang melebihi amalan orang-orang yang melakukan jihad di jalan Allah (Al-Banna, 2005:15). Pendapat senada juga dikemukakan Sayyid Quthb: Dalam peperangan, Allah swt. Menjanjikan salah satu dua kebaikan: kemenangan atau kesyahidan. Dan Allah menjanjikan pahala yang lebih utama bagi mereka yang ikut berjuang di medan perang daripada mereka yang tinggal di rumah (Chirzin, 2001: 222). Mereka yang terbunuh ketika melaksanakan jihad disebut martyrs, atau dalam istilah Islam disebut syahid. Balasan bagi mereka yang menjadi martyrs atau syahid adalah surga abadi yang dijelaskan secara mendetail dalam teks-teks agama masa awal (Lewis, 2004: 49).
C. Tokoh Pembaharuan dan Jihad dalam Islam.
1. Hassan Al-Banna. Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna. Dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di Mahmudiyah, salah satu wilayah di provinsi Buhairah di Delta Nil, Mesir. Ayahnya bernama Ahmad Abdurrahman As-sa’ati adalah seorang ahli dalam ilmu fiqih dan hadist, hasil karyanya yang terkenal adalah sebuah kitab hadist berjudul Al-Fathur Rabbani Fi Tartibi Musnadil Imam Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani.
Profesi ayahnya adalah sebagai tukang
perbaikan jam, sehingga julukannya as-sa’ati. Hassan Al-Banna memperoleh pendidikan dasar di sekolah Ar-Rasyad AdDiniyah. Pada usia 12 tahun, Hasan al-Banna telah menghafal Al-Qur’an. Ketika belajar di Al-I’dadiyah (setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama) di sekolahnya dia sudah mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Jam'iyah
33
Al-Akhlaq Al-Adabiyah dan organisasi Man'u Al-Muharramat yang bergerak dibidang perbaikan ahlak. Dia juga selalu menulis surat yang dikirimkan kepada orang-orang yang berpengaruh. Dalam surat yang tidak menyebutkan namanya itu, berisi tentang nasihat-nasihat kepada mereka. Dia selalu mengunjungi perpustakaan As-Salafiyah dan tempat-tempat berkumpulnya para ulama Al Azhar untuk menimba ilmu. Setelah lulus SMA dengan memperoleh predikat ranking 5 tingkat negara Mesir, pada tahun 1923 Al-Banna melanjutkan pendidikan ke Fakultas Dar Al Ulum dan lulus pada tahun 1927 dengan mendapatkan peringkat pertama. Setelah menamatkan pendidikannya, ia kerap berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berdakwah hingga kemudian ia memutuskan untuk menetap di Ismai'iliyah (Nurdi, 2008: 90). Tahun 1928, bersama enam orang temannya, Hasan Al-Banna mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin di kota Isma'iliyah, Mesir. Perkembangan organisasi ini sangat pesat, dua puluh tahun setelah berdirinya yaitu pada tahun 1948, organisasi ini telah memiliki 2000 cabang dengan jumlah anggota dua juta orang. Kantor administrasinya ada diseluruh provinsi di Mesir (Jabir, 2008: 339). Bukan hanya itu. Ikhwanul Muslimin bahkan kemudian berkembang menjadi sebuah “miniatur” negara, karena menjalankan usaha-usaha yang biasanya dijalankan oleh negara.
Seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, persatuan
olahraga, forum ilmiah, lembaga penelitian, masjid, perusahaan dan lainnya. Juga terlibat aktif dibidang ibadah, pendidikan, bisnis, sosial dan politik. Menurut Anis Matta, ada empat kekuatan yang diintegrasikan oleh Hasan Al-Banna dalam
34
organisasi Ikhwanul Muslimin, yaitu: konsep, kader, massa dan organisasi (Sabili, 2002: 51). Saat ini, menurut majalah Al-Mujtama, Ikhwanul Muslimin telah berkembang di tujuh puluh negara, seperti Afghanista, Pakistan, Sudan bahkan Indonesia (Nurdi, 2008: 94). Dalam melakukan gerakan, yang menjadi landasan idiologi Hasan Al-Banna adalah: Pertama, Islam adalah idiologi yang komplit bagi individu dan kehidupan bersama, bagi negara dan masyarakat. Kedua, Al-Qur’an, yang merupakan wahyu Allah, dan teladan (sunnah) Rasul Allah adalah dasar bagi kehidupan kaum muslim. Ketiga, hukum Islam (syari’ah, “jalan” Allah) didasarkan pada Al-Qur’an dan teladan Rasul Allah, yang menjadi cetak biru bagi kehidupan kaum muslim. Keempat, keteguhan dalam berpegang pada tujuan muslim dalam menegakan kerajaan Allah melalui penerapan hukum Allah akan membawa keberhasilan, kekuasaan dan kesejahtraan bagi masyarakat Islam (ummah), di dunia dan di akhirat. Kelima, kelemahan dan perbudakan yang dialami masyarakat muslim bersumber pada ketiadaan iman kaum muslim. Mereka telah terjauhkan dari jalan yang ditetapkan Allah dan mengikuti jalan sekuler, idiologi-idiologi materialistik dan nilai-nilai yang datang dari Barat dan Timur yakni Kapitalisme dan Marxisme. Keenam, untuk menumbuhkan kembali harga diri, kekuatan dan kekuasaan kaum muslim (dengan merujuk ke masa lalu yang gemilang yang dicapai oleh kerajaan-kerajaan Islam dan puncak kebudayaan mereka), maka umat Islam harus kembali pada Islam, menaati kembali hukum-hukum Allah dan bimbingan dalam hidup bernegara dan bermasyarakat. Ketujuh, ilmu dan tekhnologi harus diperkuat dan digunakan dalam kerangka Islam dan konteks terencana untuk menghindari proses westernisasi dan sekulerisasi dalam diri masyarakat muslim (Esposito, 1995: 137). Sedangkan dalam format gerakan, organisasi Ikhwanul Muslimin banyak terpengaruh dan mirip dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya. Menurut AlHusaini (Jabir, 2008: 348) dalam banyak hal Ikhwanul Muslimin mirip dengan gerakan Wahabiyah dan gerakan Sanusiyah, sangat dipengaruhi oleh aliran salafiyah yang digagas Rasyid Ridha di Mesir, aliran Ibnu Taimiyah, dan ahli
35
hadist Ishaq bin Rahawiyah di Khurasan serta Ahmad bin Hambal di Irak pada abad ke 3 H. Menurut Almuzammil Yusuf, dalam bukunya tentang Pemikiran Politik Ikhwanul Muslimin, kelahiran organisasi ini disebabkan adanya fakta sejarah yang menunjukkan keimanan umat Islam sudah mulai bercampur dengan sesuatu yang tidak diajarkan dalam Al-Qur’an maupun hadist Rasulullah SAW. Selain itu, adanya fenomena “Perang Salib”, keragaman pendapat dan gagasan tokoh muslim, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Juga disebabkan adanya pengaruh gerakan sufi dan tarekat serta gerakan ideologi politik yang berkembang pada saat itu (http://www.republika.co.id/berita/76281/Hasan_ Al_ Banna_Tokoh_Pembaru_Islam_Abad_ke_20 [15 Oktober 2009]). Sedangkan menurut Mahmud Jami’, berdirinya organisasi Ikhwanul Muslimin tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik waktu itu. Yaitu adanya keinginan bangsa Yahudi untuk mendirikan negara di wilayah Palestina, runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani dan penjajahan bangsa Barat terhadap negara-negara Islam. Sebagaimana yang dipaparkannya : Suatu hari saya pernah bertanya kepada mursyid Am (ketua umum) Ikhwanul Muslimin ke 5, Musthafa Masyhur, tentang masalah-masalah yang melatarbelakangi dan mengiringi munculnya organisasi Ikhwanul Muslimin. Dia menjawab, Yahudi meminta kepada Khalifah kaum muslimin, Raja Abdul Hamid, agar menyerahkan Palestina kepada mereka dan mereka akan memberinya uang. Tetapi ia menjawab bahwa Palestina bukan milikku sehingga saya bisa memberikannya pada kalian, tetapi Palestina adalah milik semua kaum muslimin. Maka, orang-orang Yahudi itu mengadu kepada Musthafa Kemal Atarturk dan mereka menjatuhkan Khalifah Islamiyah. Hal itu terjadi pada tahun 1924 dan pada saat itu, Hasan Al-Banna masih duduk di semester pertama Universitas Darul Ulum. Tetapi pada saat itu, dia telah yakin bahwa kaum muslimin tidak mungkin bisa bertahan tanpa negara atau khilafah dan dia merasa bahwa ini adalah kewajiban agama bagi setiap muslim dan muslimah. Artinya
36
kekurangan apapun dalam merealisasikan kewajiban ini pelakunya akan mendapatakan hukuman. Namun, tidak mungkin dia bisa melaksanakan kewajiban ini sendirian, karena itu, mereka harus membentuk jama’ah (kelompok) yang menyusun dan merencanakan program kerja. Itulah kemudian yang menjadi penyebab munculnya pemikiran tentang pembentukan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Maka diapun mengonsep tujuan, rencana, dan tahap-tahapnya, yang mana jamaah harus berusaha membebaskan negara Islam dari semua penguasa asing, kemudian berupaya untuk mendirikan Daulah Islamiyah di negara yang dibebaskannya itu (Jami’, 2004: 31-32). Mengenai karakteristik Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna menegaskan, bahwa organisasinya itu bukan hanya partai politik, tetapi fikrah (pemikiran) yang memadukan berbagai makna perbaikan, berupaya kembali kepada Islam secara murni, dan menjadikan Islam sebagai manhaj (landasan) hidup yang menyeluruh. Manhaj perbaikan yang diserukan Ikhwanul Muslimin bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) dan bertahap dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan. Tahapan tersebut adalah membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintahan muslim, negara Islam, khilafah Islam, dan akhirnya ustadziyatul alam (kepeloporan dunia) (Faqih, 2006: 27). Organisasi Ikhwanul Muslimin merekrut anggotanya dari masjid-masjid, sekolah dan universitas. Hasilnya banyak sekali orang yang tertarik terhadap organisasi ini, baik dari kalangan pemuda, orang tua, laki-laki ataupun perempuan. Anggotanyapun
terdiri dari berbagai profesi dalam masyarakat,
mulai dari dokter, insinyur, pegawai, ilmuwan, guru, dosen, pelajar, ulama, pedagang, pekerja hingga petani. Tujuannya adalah membentuk satu generasi baru yang terdidik secara modern tetapi tetap berorientasikan Islam, yang dipersiapkan untuk menempati setiap posisi dalam masyarakat (Esposito, 1995: 137). Slogan yang sering dikumandangkan oleh organisasi ini adalah Allahu
37
Akbar wa lillahilhamdu..Allahu ghoyatuna, Ar-Rasul za’imuna, Al-Qur’an dusturuna, al-jihadu sabilina wal mautu fi sabilillahi asma amaluna (Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah ..Allah tujuan kami, Rasul-Nya pimpinan kami, jihad jalan kami, dan mati dijalan Allah adalah cita-cita kami yang tertinggi) (Jami’, 2004: 19). Kontribusi Hasan Al-Banna pada gerakan pembaharuan dan kebangkitan Islam melalui pendirian Ikhwanul Muslimin begitu besar. Dalam hal ini, AnNadwi berkata: “Hasan Al-Banna telah berhasil dengan gemilang dalam membentuk gerakan Islam yang jarang anda dapati di dunia Arab khususnya, sebuah gerakan yang lebih luas, lebih efektif, lebih berwibawa, lebih berpengaruh, lebih menyatu dengan masyarakat dan lebih mampu mengendalikan jiwa, darinya. Da’wah yang telah mengembalikan kedalam jiwa generasi baru di dunia Arab kepercayaan kepada kelayakan Islam dan keabadian risalahnya, telah menumbuhkan iman baru dalam jiwa dan hati, dan telah menghalau rasa rendah diri dan kekalahan mental yang menggerogoti ummat” (Jabir, 2008: 330). Begitupun Smith dalam bukunya Islam in Modern History, mengemukakan tentang pentingnya Ikhwanul Muslimin: “Ia ingin kembali pada dasar-dasar masyarakat yang berdiri diatas nilainilai moral yang tetap dan telah diakui bersama, kepada pemikiran sehat dan adil…Dalam da’wah Al-Ikhwan terdapat pemecahan yang cepat dan praktis bagi sebagian besar kemusykilan-kemusykilan sosial, dan andainya tidak muncul golongan lain untuk mengatasi kesulitan ini dengan keberanian yang besar dan tekad kemauan yang pekat, maka kita dapat mengakui bahwa gerakan Al-Ikhwan akan tetap hidup dan berkembang betapapun sengitnya cemeti ancaman dan tekanan kediktatoran. AlIkhwan adalah satu-satunya gerakan di masa kini –selain komunismeyang mengemukakan didepan khalayak ramai suatu buah pikiran yang tidak saja dihormati dengan lisan dan disanjung dengan perkataan, tapi juga beroleh dukungan dan simpati dalam arti yang lebih luas” (AnNadwi, 1983:123-124).
38
Ajaran jihad dalam Ikhwanul Muslimin, menjadi salah satu dari sepuluh rukun bai’at (janji setia) dalam jama’ah.
Hasan Al-Banna berkata: “wahai
ikhwan yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, peliharalah baik-baik, yaitu: kefahaman (al-fahm), ikhlas, amal, jihad, pengorbanan (tadhiyah), ketaatan (aththa’ah), keteguhan (tsabat), kemurnian (tajarrud), persaudaraan (ukhuwah), kepercayaan (tsiqoh)” (Jabir, 2008: 344). Selanjutnya ia menjelaskan: Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang terus berlaku sampai hari kiamat. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw, “barang siapa mati sementara ia belum pernah berperang dan belum berniat untuk berperang, maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah”. Urutan jihad yang pertama adalah pengingkaran hati dan puncaknya adalah berperang di jalan Allah swt. Di antara keduanya ada ada jihad dengan lisan, pena, tangan dan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zhalim. Tanpa jihad, dakwah tidak akan pernah hidup. Ketinggian dan luasnya cakrawala dakwah menjadi tolak ukur sejauh mana keagungan jihad dijalannya, besarnya haraga yang harus dibayar untuk mendukungnya, dan banyaknya pahala yang disediakan untuk para aktivisnya.“Dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (Q.S Al-Hajj (22): 78). Dengan demikian anda telah memahami slogan, “jihad adalah jalan kami” (Al-Khatib dan Hamid, 2004: 147). Ajaran jihad dalam Ikhwanul Muslimin tidak hanya disebarkan dengan kata-kata, tetapi juga dengan kerja nyata. Ini dibuktikan, setelah pada tanggal 29 November 1947, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) membagi wilayah Palestina menjadi dua wilayah yaitu wilayah orang Arab dan wilayah orang Yahudi. Bangsa-bangsa Arab dan organisasi Ikhwanul Muslimin mengumumkan perang terhadap negara Israel yang didirikan oleh bangsa Yahudi diatas tanah bangsa Palestina. Tak kurang dari 10.000 anggota Ikhwanul Muslimin dikirim untuk berjihad diwilayah Palestina. Sebelumnya, anggota tersebut telah dipersiapkan dengan latihan militer khusus yang ditangani orang-orang khusus agar memiliki keterampilan di medan tempur seperti menggunakan senjata, peledakan bom, bom
39
bunuh diri, taktik peperangan, mengendarai tank, dan menggunakan senjata berat (Jami’, 2004: 30).
Hasilnya, karena keberanian dan kecakapan mereka dalam
peperangan, para anggota Ikhwanul Muslimin berhasil masuk kedalam wilayah Israel bahkan hampir memasuki ibukotanya, Tel Aviv. Peperangan berakhir setelah pemerintah Mesir yang dipimpin raja Farouq menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Ironisnya, pemerintah Mesir kemudian menangkap dan memenjarakan semua pemimpin dan anggota Ikhwanul Muslimin yang ikut berperang melawan Israel (Al-Banna, 2005: 18). Hasan Al-Banna meninggal dunia pada tanggal 12 Februari 1949, di Kairo Mesir, setelah dua orang yang diduga polisi rahasiah menembak dirinya. Tiga bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 8 desember 1948, pemerintah Mesir membubarkan dan memenjarakan seluruh anggota Ikhwanul Muslimin, kecuali Hasan Al-Banna.
2. Sayyid Quthb. Nama lengkapnya Sayyid Quthb Ibrahim. Dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 di desa Mousah, provinsi Asyuth, Mesir, sebuah desa dengan tradisi agama yang kental. Ayahnya bernama Ibrahim Husain Sadhili. Sayyid Quthb mendapat pendidikan pertama dari orang tuanya yang taat beragama. Di usia 6 tahun, Sayyid Quthb masuk sekolah dasar di kampungnya. Pada usia 7 tahun ia mulai menghafal Al-Qur’an dan tiga tahun kemudian, ia telah menghafal seluruh Al-Qur`an. Melihat minatnya yang besar terhadap ilmu pengetahuan, Sayyid Quthb di kirim belajar oleh orang tuanya ke Helwan, sebuah daerah yang
40
dekat dengan ibukota Mesir, Kairo.
Selanjutnya ia berhasil masuk pada
perguruan tinggi Tajhiziyah Dar Al-Ulum atau sekarang bernama Universitas Cairo (http://www.hudzaifah.org/Article188.phtml [30 Maret 2008]). Pada tahun 1929, Sayyid Quthb kuliah di Dar-Al-Ulum dan berhasil memperoleh gelar Sarjana Muda Pendidikan pada tahun 1933. Kemudian ia diangkat menjadi guru di sekolah Ad-Dawiddiyah, kemudian pindah ke sekolah di kota Dimyath pada tahun 1935, selanjutnya pada tahun 1940 diangkat menjadi pengawas sekolah dasar di Departemen Pendidikan Mesir. Untuk memperdalam pengetahuannya mengenai pendidikan, pada tahun 1949, Sayyid Quthb mendapat tugas untuk belajar ke Amerika Serikat selama dua tahun. Di Amerika Serikat, ia belajar di tiga universitas, yaitu pada Wilson’s Teacher’s College di Washington, Greely College di Colorado, dan Stanford University di California. Selain mengunjungi banyak kota besar di Amerika Serikat, Sayyid Quthb pun berkunjung ke Inggris, Swiss dan Italia (Chirzin, 2001: 31-32).
Pengalamannya belajar di Amerika Serikat, tampaknya menjadi titik balik dalam
hidup
Sayyid
Quthb.
Meskipun
kepergiannya
itu
dikarenakan
kekagumannya terhadap Amerika Serikat, di negeri itu ia mengalami kejutan budaya. Kekecewaannya muncul ketika menyaksikan dekadensi moral dan pandangan rasial anti Arab pada masyarakat Amerika Serikat, juga ketika mengetahui bahwa dukungan pemerintah dan media massa sangat besar terhadap Israel. Kekecewaannya bertambah oleh fenomena kebebasan seksual, pelacuran, pemakaian alkohol secara bebas dan pergaulan antara laki-laki dan perempuan tanpa batas
pada masyarakat Amerika Serikat (Esposito, 1995: 141).
41
Pengalamannya itu menjadikan dirinya lebih taat beragama dan meluaskan wawasan pemikirannya mengenai masalah-masalah sosial yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang kosong dengan nilai-nilai Ketuhanan. Ketika kembali ke Mesir, ia semakin yakin bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia dari paham materialisme, sehingga terlepas dari keinginan-keinginan akan
materi
yang
tak
pernah
terpuaskan
(http://www.cmm.or.id/cmm-
ind_more.php?id=A74_0_3_0_M [24 Juni 2008]).
Kehidupan Sayyid Quthb terbagi menjadi dua fase. Fase pertama, sebagai sastrawan dan memasuki tahap awal kesadarannya terhadap Islam. Ini terjadi pada awal tahun 1940, ketika ia menulis buku berjudul At-Taswir Fanni Fil Qur’an. Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Selanjutnya pada tahun 1945 ia menulis sebuah buku berjudul Masyahidul Qiamah Fil Qur’an yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam AlQur`an. Dan pada tahun 1948, Sayyid Quthb menulis sebuah buku berjudul AlAdalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam buku ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam. Fase kedua, sebagai pemikir dan aktivis gerakan Islam. Fase ini dimulai pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan organisasi Ikhwanul Muslimin. Menjadi anggota organisasi Ikhwanul Muslimin baginya sangat penting, karena ia pernah mengatakan bahw tahun 1951 adalah tahun
kelahirannya
(http://www.eramuslim.com/berita/lpk/7a19061627-101-
tahun-kelahiran-sayyidqutb-telunjuk-bersyahadah-dalam-setiap-shalat-ini tm.[26 Mei 2008]).
42
Ketertarikannya tehadap organisasi Ikhwanul Muslimin, berawal ketika Sayyid Quthb mengalamai sebuah peristiwa aneh di Amerika Serikat, setelah mendengar kabar kematian Hasan Al-Banna. Ia menyaksikan, masyarakat Amerika Serikat begitu gembira mendengar berita itu, bahkan ada yang menarinari dan saling mengucapkan selamat satu sama lain. Alasan mereka melakukan itu satu, musuh paling berbahaya bagi Barat dan Amerika Serikat, yaitu Hasan AlBana telah tewas. Sayyid Quthb merasa heran, karena dia sendiri sebagai warga Mesir tidak mengenal sosok Hasan Al-Banna. Karena dorongan keingintahuan itulah, setelah kembali ke Mesir, ia banyak membaca tulisan-tulisan Hasan AlBanna. Dan pada tahun 1951 mulai tercatat sebagai anggota organisasi Ikhwanul Muslimin (Al-Wai’y, 2007: 48).
Sayyid Quthb banyak mencurahkan waktu dan tenaganya dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, berkat keluasan ilmu dan pengalamannya, dalam tempo singkat ia telah menjadi tokoh penting selain Hasan Al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Kontribusi penting Sayyid Quthb dalam Ikhwanul Muslimin yaitu berhasil menjembatani generasi awal dengan generasi baru tahun 1960 dan sesudahnya dalam organisasi itu. Wacana pemikirannya yang revolusioner dalam Ikhwanul Muslimin, menjadikannya dianggap sebagai “idiolog” kedua setelah Hasan AlBanna (Sabili, 2002: 66). Pada saat larangan terhadap Ikhwanul Muslimin dicabut pada tahun 1951, ia terpilih sebagai pemimpin bagian dakwah. Pada tahun 1953 ia mengahadiri konferensi di Suriah dan Yordania dan sering memberikan ceramah tentang pentingnya akhlak, keadilan sosial dan masyarakat Islami serta kedaulatan
43
umat Islam sebagai sebagai prasyarat kebangkitan umat (http://irwanmasduqi. blogspot.com/2006/11/sayid-qutub-tafsir-fi-dhilal-alquran.html. [21 Juni 2008]). Pada tahun 1953 Sayyid Quthb diberi tugas untuk menjadi pemimpin koran mingguan Ikhwanul Muslimin. Ketika Gamal Abdul Naseer melakukan kudeta terhadap presiden Muhammad Najib, dan menggunakan sistem pemerintahan otoriter serta banyak melecehkan praktisi hukum dan ulama, Sayyid Quthb berpolemik dengan para tokoh “Revolusi 1952” yang dipimpin Gamal Abdul Naseer. Akibatnya, pada awal tahun 1954 ia bersama para pemimpin Ikhwanul Muslimin dipenjara selama dua minggu. Sayyid Quthb kembali ditangkap setelah terjadi “tragedi Al-Mansyiyah” ketika presiden Gamal Abdul Naseer menuduh Ikhwanul Muslimin merencanakan pembunuhan terhadapnya pada tanggal 26 Oktober 1954. Dalam persidangan tanggal 22 November 1954 yang dipipin oleh Gamal Salim dengan anggota Anwar Sadat dan Husain Syafi’I, Sayyid Quthb dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Akan tetapi berkat negosiasi presiden Irak, Abdul Salam Arif, ia pun dibebaskan 10 tahun kemudian yaitu tahun 1964 degan alasan kesehatan fisik (Al-Wai’y, 2007: 49). Setahun setelah keluar dari penjara, Sayyid Quthb pada tahun 1965 kembali dipenjara bersama tiga orang saudaranya, Muhammad Quthb, Hamidah dan Aminah. Selain itu ditangkap pula 20.000 orang lannya termasuk 700 orang wanita. Alasan penangkapan itu adalah Sayyid Quthb dituduh berencana untuk membunuh presiden Gamal Abdul Naseer. Pada tanggal 12 April 1966 ia diadili di Pengadilan Militer. Tuduhan terhadapnya berdasarkan buku yang ditulisnya berjudul Ma’alim fith Thariq, selain itu diperkuat dari kesaksian orang lain,
44
bahwa ia berencana melakukan kudeta terhadap pemerintahan Gamal Abdul Naseer dengan cara kekerasan. Pada tanggal 21 Agustus 1966, ia bersama dua anggota Ikhwanul Muslimim lainnya, Muhammad Yusuf Hawwasy dan Abdul Fatah Ismail dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Sayyid Quthb dihukum gantung dengan dua orang lainnya itu pada hari Senin, tanggal 29 Agustus 1966. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai syuhada bagi kebangkitan Islam (Nurdi, 2008: 113). Sejak haluan pemikirannya berubah pada tahun 1947, Sayyid Quthb menjadi salah satu pembaharu Islam dan menjadi salah satu tokoh pelopor pemikiran Islam kontemporer. Ia menyerukan kebangkitan Islam dan dimulainya kehidupan berdasarkan Islam. Sebagai salah satu sarananya ia menafsirkan AlQur’an dengan pendekatan baru yaitu haraqi (gerakan) dan tarbiyah (pendidikan) dalam buku tafsirnya yang berjudul Fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah Naungan AlQur’an) (Al-Aqil, 2003: 603). Selain itu, ia juga menyerukan agar umat Islam melakukan rekonstruksi spiritual, seperti yang dikemukakan oleh Charles Tripps: Sayyid Quthb menyerukan adanya rekonstruksi dan regenerasi spiritual, agar setiap orang memperhatikan kesahihan (kebenaran) imannya dan keselarasan antara iman dan prilaku hidupnya. Mereka mendapatkan dari Sayyid Quthb visi harmoni agar setiap individu menemukan Tuhan dan melalui Tuhan menemukan pola ilahiah dalam kemanusiaan mereka. Suatu interpretasi yang lebih subjektif, moralitas dan nonpolitis merupakan interpretasi yang dianut oleh mayoritas muslim yang mendapatkan inspirasi dari tulisannya. Seruan untuk kembali menegakan syariat, pertama-tama dengan mengenal kembali sebara langsung teks Al-Qur’a, menghindari fiqih tradisional yang sulit, kemudian mempelajari struktur negara dan masyarakat, dengan niat membongkar struktur itu, telah menjadi ilham dan dorongan bagi mereka yang sudah sangat kecewa melihat status quo (Chirzin, 2001: 44-45).
45
Bagi Sayyid Quthb, Islam adalah pedoman hidup yang diciptakan Allah untuk manusia. Sepanjang manusia ini mengalami perkembangan dan perubahan, maka Islam pasticocok untuk segala waktu dan tempat. Dalam hal ini bukan berarti ia menolak segala perubahan dan pembaharuan. Tetapi yang diinginkannya adalah perubahan dan pembaharuan itu hendaklah dilandaskan pada ajaran Islam, dan bukan mengambilnya dari Barat. Pandangan ini sesungguhnya hampir sama dengan pandangan Jalalludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal dan Al-Maududi (Muhammad, 2004:56-57). Dalam menganalisis fenomena sosial, Sayyid Quthb menggunakan terminologi jahiliyah (suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pada periode kebodohan yang terjadi sebelum dakwah nabi Muhammad saw) yang ia kembangkan secara makna dari pencetus awalnya Al-Maududi. Menurutnya masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kedaulatan manusia sedangkan masyarakat Islam adalah yang menjunjung tinggi kedaulatan Tuhan. Oleh karena itu, menurutnya setiap masyarakat adalah jahiliyah, bodoh, jika cara hidupnya tidak didasarkan kepada penyerahan total kepada Tuhan. Kapan pun dan dimanapun jahiliyah dan Islam tidak akan bisa berkompromi, selanjutnya institusi-institusi dan penguasa jahiliyah akan terus menerus melawan Islam. Menrut Sayyid Quthb, masyarakat jahiliyah adalah hambatan bagi kebahagiaan masyarakat Islam. Hanya dalam masyarakat ketika Tuhan yang merupakan penguasa dan Islam beserta hukumnya diterapkan dan diterima secara penuhlah manusia dapat memperoleh kemerdekaan, kemuliaan, dan keadilan sosial yang sesungguhnya (Fealy dan Bubalo, 2007:38-39).
46
Dalam bidang pemikiran politik, Sayyd Quthb berpendapat bahwa menegakan sistem pemerintahan Islam adalah perintah Ilahi, dan bukanlah bersipat pilihan tetapi kewajiban. Menurutnya sekarang masyarakat telah kembali kepada jahiliyah, sistem politik telah dikuasai para pemimpin yang bukan Islam dan otoriter.
Hukum Allah telah dihapuskan dari kehidupan manusia, dan
manusia kembali menyembah kepada sesama manusia setelah dahulu dibebaskan oleh Islam (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view &id=2675&Itemid=60 [6 april 2008]). Sayyid Quthb menyimpulkan, dalam kondisi tersebut untuk merubah sistem politik dari dalam adalah sebuah usaha yang sia-sia. Harus ada metode lain yaitu: Jihad menjadi satu-satunya pilihan untuk menegakan suatu tatanan Islami baru. Jihad, perjuangan bersenjata untuk memepertahankan Islam dari ketidakadilan, menjadi suatu hal yang niscaya bagi semua orang yang mengaku beriman dalam menghadapi krisis yang ada di dunia Islam. Saat ini Islam berada diambang kehancuran, terancam oleh pemerintah yang anti-Islam yang refresif, serta neokolonialisme Timur dan Barat. Kaum muslim yang menolak untuk berpartisipasi atau bersikap ragu-ragu dianggap sebagai musuh Tuhan (Esposito, 1995: 142). Berarti ada perbedaan metode yang mendasar diantara dua tokoh Ikhwanul Muslimin dalam melakukan perubahan. Menurut Hasan Al-Banna sistem Islami dicapai dari bawah –yakni dari Islamisasi masyarakat melalui pembaharuansedangkan menurut Sayyid Quthb sistem Islami hanya dapat dicapai dari atas, dengan secara langsung menghilangkan sistem jahiliyah yang menghalangi jalan Islam (Fealy dan Bubalo, 2007: 40).
47
3. Al-Maududi.
Nama lengkapnya Sayyid Abul A’la Al-Maududi, lahir pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India. Ayah Abu A’la Al-Maududi ialah Ahmad Hasan seorang ahli hukum yang taat. Ia mendapat pendidikan di Madrasah Furqaniyah, sebuah sekolah tinggi terkenal di Hyderabad, India. Kemudian melanjutkan sekolah di Dar Al-Ulum di Hyderabad. Pada tahun 1920, AlMaududi telah mahir berbahasa Arab, Persia, Inggris, dan Urdu. Ketika belajar di perguruan tinggi Dar Al-Ulum, ayahnya sakit kemudian meninggal. Karena pertimbangan ekonomi, ia berhenti kuliah dan memutuskan untuk bekerja (AlMaududi, 2007: 7).
Tahun 1918 Al-Maududi mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya. Tahun 1920, berprofesi sebagai editor surat kabar Taj, sebuah majalah mingguan milik partai Kongres yang diterbitkan di kota Jabalpore. Saat itu ia aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi umat Islam untuk mendukung partai Kongres. Tahun 1921, AlMaududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat kabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor surat kabar Al-Jam’iyat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jam’iyat-i Ulama-i Hind, sebuah organisasi ulama-ulama India.
Hasil
kepimpinannya sebagai editor, Al-Jam’iyat menjadi surat kabar utama untuk umat Islam di Asia Selatan ( India, Pakistan, Bangladesh, Sri Langka dan Maldive). Runtuhnya Khilafah Islamiyah di Turki pada tahun 1924, mengakibatkan kehidupan Al-Maududi mengalami perubahan besar. Dia menjadi kurang simpati
48
terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka
menghancurkan kesatuan muslim dengan cara
menolak kekuasaan Turki Usmani dan kekhalifahan muslim. Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Sejak saat itu, sebagai upaya menentang imperialisme Inggris di India, Al-Maududi menganjurkan aksi Islami, bukan nasionalis. Ia percaya aksi yang ia anjurkan akan melindungi kepentingan muslimin. Hal ini memberi tempat bagi wacana kebangkitan
Islam
di
(http://onemandream.wordpress.com/2009/02/23/biografi-abul-ala-al-
India maududi/
[15 Oktober 2009]). Pada tahun 1925, seorang Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin kebangkitan Hindu. Swami Shradhnand memancing kemarahan kaum muslimin karena dengan terang-terangan meremehkan keyakinan kaum muslimin. Kematian Swami Shradhnand menimbulkan kritik media massa, bahwa Islam adalah agama kekerasan. Al-Maududi pun bertindak. Ia menulis bukunya yang terkenal mengenai perang, damai, kekerasan dan jihad dalam Islam, berjudul Al Jihad fi Al Islam. Buku ini berisi penjelasan sistematis sikap Muslim mengenai jihad, sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam (Al-Maududi, 2007: 7). Menurut Al-Maududi dalam buku Al Jihad fi Al Islam, jihad bukan perang suci untuk mengislamkan orang kafir, melainkan merupakan perjuangan revolusioner untuk merebut kekuasaan demi kebaikan seluruh umat manusia. Dari
49
semua profesi yang ada, pada akhirnya harus siap untuk perjuangan bersenjata. Selanjutnya ia menjelaskan: Jika Islam disamakan dengan agama, dan orang-orang Islam disetarakan dengan bangsa, maka jihad hanyalah istilah yang kosong makna. Akan tetapi Islam bukanlah nama dari suatu agama dan muslim bukanlah julukan bagi suatu bangsa. Dalam kenyataannya, Islam merupakan suatu idiologi dan program revolusioner yang berusaha mengubah tatanan sosial seluruh dunia dan membangunnya kembali sesuai dengan prinsip-prinsip dan cita-citanya sendiri. Muslim merupakan julukan bagi partai revolusioner internasional yang diorganisasikan oleh Islam guna mewujudkan program revolusionernya. Dan jihad berarti perjuangan revolusioner serta pendayagunaan puncak yang dilakukan partai Islam tersebut untuk mencapai sasarannya (Al-Maududi, Al-Banna dan Quthb, 1984: 6-7). Sebagai seorang pembaharu, Al-Maududi menganjurkan diadakannya pembaharuan Islam dan pengadopsian ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang dialami umat Islam. Tapi tetap mengkritik para pembaharu Islam yang mencari kecocokan antara Islam dan Barat, kemudian menggunakan nilai-nilai Barat, sehingga pada akhirnya menghasilkan Islam yang terbaratkan. Menurutnya harus ada sistem seleksi dalam menerima nilai-nilai Barat. Selanjutnya menurut Al-Maududi, pembaharuan Islam tidak datang dari akal atau sekularisme, melainkan dari wahyu Tuhan. Sebagaimana yang ditulisnya: Kita mendambakan suatu renaisans Islam yang berdasarkan Al-Qur’an. Bagi kita, ruh Al-Qur’an dan ajaran Islam abadi; tetapi penerapannya dalam kehidupan praktis harus selalu disesuaikan dengan perubahan kondisi dan meningkatnya pengetahuan… Jalan yang kita tempuh ini sungguh berbeda dengan jalan sarjana Muslim pada masa sebelum kita, ataupu sarjana modern yang telah ter-Eropa-kan. Di satu sisi kita harus menyelami semangat Al-Qur’an dan mengidentifikasi pandangan kita dengan ajaran Islam, sementara, di sisi lain, kita harus menimbang secara menyeluruh perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan perubahan kondisi yang terjadi dalam hidup kita 800 tahun belakangan ini; dan ketiga, kita mesti menyusun gagasan dan hukum-hukum kehidupan
50
yang sungguh sejalan dengan Islam. Hingga pada akhirnya Islam akan kembali menjadi penggerak dinamis; pemimpin dunia, dan bukan pengikut dunia (Esposito, 1992: 139). Dalam
bidang politik
Islam,
Al-Maududi
adalah
seorang
yang
mencetuskan konsep theodemokrasi. Konsep ini dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa Al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan). Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theodemokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tidak berarti Al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Al-Maududi, 2007: 19). Namun demikian bukan berarti Al-Maududi menolak sistem demokrasi sama sekali, ada satu aspek demokrasi yang diterimanya, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (khilafah) ada di tangan setiap individu umat Islam. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau golongan tertentu. Inilah, menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah AlMaududi lalu menyimpulkan, ”Dan ini pulalah yang mengarahkan Khilafah
51
Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan mendasar antara demokrasi Islam dan demokrasi Barat” (http://satutujuan.multiply.com/journal/ item/ 19 [15 Oktober 2009]). Untuk mewujudkan pemikiran-pemikirannya tentang pembaharuan dan kebangkitan Islam, Al-Maududi tidak mencukupkan diri dengan hanya menulis, melainkan juga mendirikan organisasi Islam bernama Jamaat Islami
yang
didirikan pada 26 Agustus 1940 di Lahore. Sebagai gerakan Islam, Jamaat Islami didirikan untuk memberikan bentuk intitusional bagi konsep pemikiran AlMaududi dalam membangun kembali masyarakat muslim yang berdasarkan kepada ajaran Islam, mndidik dan melatih kader aktifis Muslim yang dapat berfungsi sebagai “a vanguard of an Islami revolutionary movement” (Sabili, 2002: 72).
Sistem rekruitmen keanggotaan Jamaat Islami terbuka untuk semua orang. Namun untuk menjadi anggota Jamaat Islami, dilakukan penyaringan yang ketat dan sangat selektif. Penyeleksian ditujukan untuk membuat fondasi pergerakan agar sangat kokoh dan tidak goyah. Sebab sebuah gerakan, dalam pandangan AlMaududi, jika tidak memiliki lapisan dasar yang kuat dan dengan pandangan yang sangat kuat, akan sangat gampang dihancurkan. Soliditas pandangan dan wawasan para anggota Jamaat Islami menjadi agenda utama gerakan ini. Dan ini sesuai dengan cara perubahan masyarakat yang diajarkan Al-Maududi yaitu membentuk “a small, knowledgeable, commted, and highly disciplined organization that would struggle to shoulder political and social leadership”. Yakni perubahan yang dilakukan dari atas (top-down). Sebuah sisitem kaderisasi yang tujuannya
52
menciptakan tokoh-tokoh dan bukan massa. Sebab, dalam pandangan AlMaududi, perubahan sebuah masyarakat akan mudah berjalan jika para tokoh pemikirnya telah mengerti Islam yang benar. Dampak dari cara seleksi yang ketat ini, agak sedikit menghambat organisasi ini untuk merekrut anggota yang banyak. Bahkan tak jarang dianggap eksklusif, karena hanya membatasi merekrut orangorang dengan karakteristik tertentu saja (http://shuffulislam.com/index. php? option=com_content&task=view&id=30&Itemid=31 [15 Oktober 2009]).
Al-Maududi meninggal pada tanggal 22 September l979, di New York, Amerika Serikat karena penyakit ginjal. Dia dimakamkan di kota Lahore, Pakistan. Beberapa saat sebelum meninggal, ia sempat mendapat penghargaan Faisal King Award dari kerajaan Arab Saudi berkat aktivitasnya dalam bidang pemikiran dan kontribusinya pada peradaban Islam. (Sabili, 2002: 73).
53