BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Kerja 1. Definisi Stres Kerja Stres kerja adalah konsekuensi setiap tindakan dan situasi lingkungan yang menimbulkan tuntutan psikologis dan fisik yang berlebihan pada seseorang. Cartwright dan Cooper (1994) dalam Mangkunegara (2008:179) mengemukakan stres kerja sebagai suatu ketegangan atau tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Menurut Robbins (2006) dalam mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan. Sedangkan menurut Effendi (2002) dalam mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketegangan atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Adapun menurut Siagian (2008:300) menyatakan bahwa stres merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Selanjutnya Mangkunegara (2008:157) mengemukakan bahwa stres kerja sebagai perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami pegawai dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja adalah
10
suatu kondisi ketegangan yang
11
menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seorang pegawai. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri para pegawai berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka (Rivai, 2008:516). Menurut Charles D, Spielberger (dalam Handoko, 2001:63) dia menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. 2. Sumber Stres Kerja (stressor) Ada beberapa sumber stres kerja (stressor), yang digolongkan sebagai berikut: a . Stres kerja lingkungan Adanya ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain dari struktur organisasi, ketidak pastian itu juga memempengaruhi tingkat stres dikalangan para karyawan dalam organisasi tersebut. Dalam bekerja, karyawan tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan kerja. Salah satu faktor munculnya burnout pada karyawan adalah kondisi lingkungan kerja yang kurang baik. Ketidaksesuaian antar apa yang diharapkan karyawan dengan apa yang diberikan perusahaan terhadap karyawan, seperti kurangnya dukungan dari atasan dan adanya persaingan yang kurang sehat antara sesama rekan kerja merupakan suatu kondisi
12
lingkungan kerja psikologis yang dapat mempengaruhi munculnya burnout dalam diri karyawan. Menurut Gibson & Ivancevich (2005) mengemukakan bahwa stres kerja dikonseptualisasikan dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon dan stres kerja sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai kosekuensi dari interaksi antara stimulus dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai kosekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antar kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan. Dalam jurnal Workplace Stress, Etiology and Consecuences Thomas W. Colligan and Elleen M. Higgins mengutarakan bahwa ada banyak indikator yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang dapat menimbulkan stres kerja karyawan. Kondisi ruang kerja yang kurang kondusif, fasilitas kerja yang tidak sesuai standar dan rendahnya kualitas keamanan dari pihak perusahaan merupakan pemicu munculnya stres kerja karyawan. Ia juga menambahkan bahwa stres kerja lingkungan dapat berpengaruh buruk pada kondisi fisik maupun mental para karyawan.
13
b. Stres kerja organisasi Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau menyelesaikan tugas dalam suatu kurun waktu yang terbatas, beban kerja yang berlebihan, seorang pemimpin yang menuntut dan tidak peka, serta rekan kerja yang tidak menyenangkan. Penyebab stres kerja juga bisa berasal dari kelompok. Keefektifan setiap organisasi
dipengaruhi
oleh
sifat
hubungan
diatara
kelompok-keompok
karakteristik kelompok dapat menjadi stresor yang kuat bagi beberapa individu. para ahli prilaku organisasi telah menganggap bahwa memperbaiki hubungan yang baik diantara anggota sutau kelompok kerja merupakan faktor utama dari membina kehidupan individu yang baik. Dalam bahasa lain membina hubungan yang baik diantara kelompok kerja menyebabkan terhindarnya stres akibat kelompok kerja. Sebaliknya hubungan yang jelek antar anggota suatu kelompok kerja menjadi penyebab stres kerja. Bisa dibayangkan dalam suatu kantor atau lembaga dimana para pekerja berperilaku egoisme maka kondisi demikian dapat menyebabkan stres kerja individu. Studi dibidang ini telah mencapai kesimpulan yang sama, yaitu ketidak percayaan dari mitra kerja secara positif berkaitan ambiguitas peran yang tinggi, yang membawa pada kesenjangan komunikasi diantara orang-orang dan kepuasan kerja yang rendah (Robbins, 2001). Dalam
jurnal
Organizational
Stress
Cause
and
Managemnet
Abdulmuhsen Ayedh Alqahtani (vol 1:1:2012) yang mempelajari penyebab dan manajemen pada stres yang bersumber dari organisasi. Dia mengutarakan bahwa, banyak indikator-indikator dalam organisasi yang dapat memicu timbulnya stres
14
pada karyawan. Beberapa hal tersebut antara lain, struktur oraganisasi yang tidak jelas dan kurang baik, gaya kepemimpinan yang diktator dan tidak pro kepada karyawan, dan komunikasi yang terjalin antar karyawan dengan karyawan lain maupun dengan pimpinan dalam perusahaan. c. Stres kerja individual Mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan. Terutama sekali faktor-faktor ini
adalah isu
keluarga, masalah ekonomi pribadi, dan
karakteristik kepribadian yang inheren. Selye (2006), mengkonseptualisasikan tanggapan psikofisiologis terhadap stres. Ia menganggap stres suatu tanggapan nonspesifik terhadap setiap tuntutan yang dibuat pada satu organisme yang dinamakan reaksi pertahanan tiga fase yang seseorang lakukan ketika stres sebagai “sindrom penyesuaian umum (the general adaptation syndrome/GAS)”. Menurut Selye (2006), dia menyebut bahwa reaksi pertahanan umum karena penyebab stres berdampak pada sebagian badan, tanggapan menunjuk pada suatu rangsangan dari pertahanan yang diciptakan untuk membantu badan menyesuaikan pada untuk menghadapi penyebab stres dan sindrom menunjukan bahwa bagain reaksi yang sifatnya individual terjadi lebih atau kurang secara bersama. Tiga fase tersebut antara lain sinyal (alarm), perlawanan (resistance), dan keletihan (exhaustion). Tanda-tanda masuknya tahap perlawanan termasuk keletihan, ketakutan dan ketegangan. Pribadi yang mengalami tahap ini kini melawan penyebab stres. Sementara perlawanan terhadap suatu penyebab stres lainya mungkin rendah, seseorang hanya memiliki sumber energi yang terbatas, konsentrasi, dan
15
kemampuan untuk menahan penyebab-penyebab stres. Individu-individu sering lebih mudah sakit selama periode stres dari pada waktu lainya. Dalam jurnal Individual Stress Management Course Work in Canadian Tescher Preparation Programs, Gregory E. Harris (34:2011) yang mempelajari tentang penyebab, pengaruh dan manajemen stres yang berasal dari faktor individu yang berpengaruh pada tenaga pengajar. Ia menitik beratkan pada masalah sosial seperti masalah yang terjadi pada keluarga, kerabat, teman dan sebagainya sebagai sumber utama stres yang dialami oleh tenaga pengajar. Stres individu dapat berdampak buruk bagi para tenaga pengajar, seperti menurunya konsentrasi dalam mengajar, tingkat absensi yang tinggi, dan berkurangnya tingkat kesabaran dalam mengajar. Tetapi dalam konteks sebaliknya bagi para tenaga pengajar yang mampu mengontrol stres kerja mereka, tentunya akan memberikan pengaruh positif dan dapat meningkatkan motivasi dan kinerja mengajar mereka. Menurut Robbins (2001), ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres yaitu : a. Faktor Lingkungan Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap pegawai. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres bagi pegawai yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stres. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan
16
teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya. b. Faktor Organisasi Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure dan organizational leadership. Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Role Demands, peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang pegawai untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut. 2) Interpersonal Demands, mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh pegawai lainnya dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara pegawai satu dengan pegawai lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara pegawai yang satu dengan pegawai lainnya. 3) Organizational Structure, mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur
pembuat
keputusan
atau
peraturan
maka
mempengaruhi kinerja seorang pegawai dalam organisasi.
akan
dapat
17
4) Organizational Leadership, berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut Robbins (2001) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan pegawainya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja. Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stres. Pengertian dari tingkat stres itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting. c. Faktor Individu Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya. Manfaat stres kerja pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri pegawai maupun instansi. Pada diri pegawai, konsekuensi tersebut dapat berupa
18
menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya. Konsekuensi pada pegawai ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya (Rice, 1999 dalam Anies (2005:123). Tetapi di sisi lain stres juga bersifat positif bagi individu dimana pegawai yang mampu mengatasi dan mengubah stres menjadi motivasi (dorongan) agar lebih maju dimana prestasi kerjanya meningkat, lebih cekatan dalam bekerja, lebih teliti, dan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan memuaskan. Bagi organisasi atau instansi, konsekuensi negatif yang timbul dari stres kerja bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, hingga turnover. Sedangkan dampak positif stres terhadap organisasi atau perusahaan adalah dimana produktivitas perusahaan meningkat, daya saing perusahaan yang meningkat, kualitas output yang baik, tingkat absensi pegawai menurun, kepuasan kerja pegawai meningkat sehingga dapat tercapainya tujuan organisasi atau instansi. Pengelolaan stres dalam organisasi atau instansi sangatlah penting dimana pegawai maupun instansi akan mengalami dampak dari stres tersebut. Pengelolaan stres yang baik akan berpengaruh positif bagi organisasi atau instansi maupun pegawai. Sedangkan pengelolaan stres yang buruk akan berdampak negatif bagi organisasi atau instansi maupun pegawai.
19
Menurut Dwiyanti (2001:75) terdapat beberapa faktor penyebab atau sumber munculnya stres kerja, antara lain: a. Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cenderung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari
lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga.
Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan kerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. b. Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. c. Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini bisa dimulai dari yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif, mengajak
20
kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud hanya karena wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindungmya (Baronand Greenberg dalam Margiati, 1999:72). d. Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Muchinsky dalam Margiati,1999:73). e. Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajemen yang cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan), perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan
21
keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam Margiati,1999:73). f. Tipe kepribadian. Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderung mengalami stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabar, konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, disatu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun disisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati,1999:73). g. Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah (pelanggaran) hukum. Sedangkan Menurut Carry Cooper (dikutip dari Jacinta F, 2002) menyatakan bahwa sumber stres kerja ada empat yaitu sebagai berikut:
22
a. Kondisi pekerjaan Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, jika ruangan tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan. 1) Overload Overload dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam tegangan tinggi. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit sehingga menyita kemampuan karyawan. 2) Deprivational Kondisi pekerjaan tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial). 3) Pekerjaan beresiko tinggi. Pekerjaan yang beresiko tinggi atau berbahaya bagi keselamatan, seperti pekerjaan dipertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan sebagainya.
23
b. Konflik Peran Stres karena ketidak jelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu yang diharapkan oleh manajemen. Akibatnya sering muncul ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga ahirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Para wanita yang bekerja mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. c. Pengembangan Karir Setiap orang pasti punya harapan ketika mulai bekerja disuatu perusahaan atau organisasi. Namun cita-cita dan perkembangan karir banyak sekali yang tidak terlaksana. d. Struktur Organisasi Gambaran perusahaan yang diwarnai dengan struktur organisasi yang tidak jelas, kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran, wewenang dan tanggungjawab, aturan main yang terlalu kaku atau tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak jelas serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan menjadi stres. Pengendalian yang buruk terhadap penyebab stres kerja dapat berakibat pada penyakit dan menurunnya penampilan dan produktivitas. Stres kerja dapat disebabkan oleh beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan yang rendah, iklim kerja yang tidak menentu, autoritas yang tidak memadahi yang berhubungan dengan tanggungjawab, konflik
24
kerja, perbedaan nilai antara karyawan dengan perusahaan, dan frustasi (Anwar Prabu Mangkunegara, 1993, h.93). Menurut Ashar Sunyoto (2001, h.381), mengelompokkan faktor- faktor penyebab stres dalam pekerjaan yaitu sebagai berikut: a. Kerja shif atau kerja malam Kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik. Para ebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi, siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan perut. b. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. c. Peran terhadap risiko dan bahaya dikaitkan dengan jabatan tertentu merupakan sumber stres. Makin
besar kesadaran akan bahaya dalam pekerjaannya
makin besar depresi dan kecemasan pada tenaga kerja. d. Peran individu dalam organisasi, setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai yang diharapkan atasannya. Menurut Sarafino (dikutip dari Bart Smet, 1994) membagi penyebab stres kerja menjadi 4 yaitu sebagai berikut: a. Lingkungan fisik yang terlalu menekan seperti kebisingan, temperatur atau panas yang terlalu tinggi, udara yang lembab, penerangan dikantor yang kurang terang. b. Kurangnya kontrol yang dirasakan.
25
c. Kurangnya hubungan interpersonal. d. Kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja. Para pekerja akan merasa stres bila mereka tidak mendapatkan promosi yang selayaknya mereka terima. Sedangkan menurut Igor S (1997, h.248), menyatakan bahwa stres kerja dapat disebabkan oleh: a. Intimidasi dan tekanan dari rekan sekerja, pimpinan perusahaan dan klien. b. Perbedaan antara tuntutan dan sumber daya yang ada untuk melaksanakan tugas dan kewajiban. c. Ketidakcocokan dengan pekerjaan. d. Pekerjaan yang berbahaya, membuat frustasi, membosankan atau berulangulang. e. Beban lebih. f. Faktor- faktor yang diterapkan oleh diri sendiri seperti target dan harapan yang tidak realistis, kritik dan dukungan terhadap diri sendiri. 3. Pengaruh Stres Kerja Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri pegawai maupun instansi. Pada diri pegawai, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya. Konsekuensi pada pegawai ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya (Rice, 1999 dalam Anies (2005:123).
26
Tetapi di sisi lain stres juga bersifat positif bagi individu dimana pegawai yang mampu mengatasi dan mengubah stres menjadi motivasi (dorongan) agar lebih maju dimana prestasi kerjanya meningkat, lebih cekatan dalam bekerja, lebih teliti, dan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan memuaskan. Bagi organisasi atau instansi, konsekuensi negatif yang timbul dari stres kerja bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, hingga turnover. Sedangkan dampak positif stres terhadap organisasi atau perusahaan adalah dimana produktivitas perusahaan meningkat, daya saing perusahaan yang meningkat, kualitas output yang baik, tingkat absensi pegawai menurun, kepuasan kerja pegawai meningkat sehingga dapat tercapainya tujuan organisasi atau instansi. Pengelolaan stres dalam organisasi atau instansi sangatlah penting dimana pegawai maupun instansi akan mengalami dampak dari stres tersebut. Pengelolaan stres yang baik akan berpengaruh positif bagi organisasi atau instansi maupun pegawai. Sedangkan pengelolaan stres yang buruk akan berdampak negatif bagi organisasi atau instansi maupun pegawai. Stres pada waktu kerja dan dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dihindarkan. Beberapa individu tidak dapat mengusai atas suatu periode waktu karena stres kerja. Ketika individu menjadi letih (istilah jawa “loyo”) dan merasa bahwa tidak ada sesuatu yang positif dikerjakannya, mereka munjukan sebuah gejala yang sering disebut dengan burnout. Gejala burnout dapat dialami setiap orang atau pekerja. Perasaan kesal-marah didefinisikan sebagai suatu proses psikologis yang disebabkan oleh stres kerja secara terus menerus yang
27
mengakibatkan keletihan di antara pekeja dan menimbulkan kepuasan kerja yang rendah. Burnout bukan suatu gejala yang datang secara tiba-tiba. Sesorang individu menempuhnyamelaluibeberapa tahap, (1) keterlibatan kerja menjadi meningkat, (2) stagnasi dalam bekerja, (3) menjadi terpisah atau menarik diri dari pekerjaan dan (4) mengalami gejala-gejala fisik dan prilaku. Selama ini, penelitian burnout terutama telah diadakan terhadap profesi-profesi dibidang jasa, seperti guru atau dosen, perawat, dokter, pekerja sosisal, ahli terapi, dan polisi. Keterlibatan dalam kerja yang meningkat (intens) dari masing-masing profesi tersebut tapaknya menjadi pemicu terjadi burnout. Dari titik pandang organisasi burnout, konsekuensi yang paling nyata dari burnout adalah menurunnya prestasi kerja. Jika seseorang mengalami burnout, prestasinya mungkin tidak akan dapat dilanjutkan lagi. Bagaimanapun, burnout melibatkan penarikan diri dari pekerjaan. Penelitian juga telah menemukan bahwa individu yang mengalami burnout lebih banyak absen dan memiliki turnover yang lebih tinggi dibanding pekerja lainnya. 4. Indikator Stres Kerja Cary Cooper dan Alison Straw (1995:8-15) mengasumsikan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini: a. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.
28
b. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jenih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. c. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak. Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu meliputi: 1) Kepuasan kerja rendah 2) Kinerja yang menurun 3) Semangat dan energi menjadi hilang 4) Komunikasi tidak lancer 5) Pengambilan keputusan jelek 6) Kreatifitas dan inovasi kurang 7) Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif Semua yang disebutkan diatas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya. Menurut Braham (dalam Handoko; 2001:68), gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini: a. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi.
29
b. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hatimu dah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang
lain dan mudah bermusuhan serta
mudah menyerang, dan kelesuan mental. c. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun,sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. d. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain. Dari beberapa uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja. Adapun menurut Robbins (2006) dia mengutarakan bahwa ada 5 indikator stres kerja, yaitu : a. Tuntutan tugas, merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang sepeti kondisi kerja, tata kerja letak fisik.
30
b. Tuntutan peran, berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dikerjakan dalam suatu organisasi. c. Tuntutan antar pribadi, merupakan tekanan yang diciptakan oleh pegawai lain. d. Struktur organisasi, gambaran instansi yang diwarnai dengan struktur organisasi yang tidak jelas, kurangnya penjelasan mengenai jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. e. Kepemimpinan, beberapa pihak selaku pimpinan dalam gaya manajemen pada organisasi dapat membuat iklim organisasi yang melibatkan ketegangan, ketakutan dan kecemasan.
B. Kinerja Karyawan 1. Definisi Kinerja Karyawan Istilah kinerja berasal dari job performance, yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang. Pengertian kinarja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Anwar P. Mangkunegara: 2004). Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan (Veithzal Rivai:2004).
31
Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk menciptakan tujuannya. Sedangkan menurut Waldman dalam Rani Mariam (2009), kinerja merupakan gabungan perilaku dengan prestasi dari apa yang diharapkan dan pilihannya atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing-masing individu dalam organisasi. Menurut pendekatan perilaku dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan (Luthans, 2005:165). Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2006:65) menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masingmasing individu dan kelompok kerja di perusahaan tersebut. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Penelitian yang dilakukan Dahniar (2012) yang meneliti tentang “Pengaruh Faktor-faktor Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan” menunjukan bahwa variabel faktor budaya organisasi seperti pendidikan dan pelatihan, hubungan kerja, tempat kerja, dan kedisiplinan kerja berpengaruh simultan terhadap kinerja karyawan dan staf pengajar di STMIK Banjarbaru. Menurut Gibson (1987), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap kinerja: a. Faktor
individu:
kemampuan,
ketrampilan,
latar
pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi seseorang.
belakang
keluarga,
32
b. Faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja. c. Faktor organisasi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan. Selanjutnya menurut Prawirosentono, (1999) mengungkapkan bahwa ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan,yaitu: a. Efektifitas dan Efesiensi Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai yang penting dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif dinamakan tidak efesien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut efesien. b. Otoritas (wewenang) Otoritas menurut adalah sifat dari suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi yang dimiliki seseorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya. Perintah tersebut mengatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dalam organisasi tersebut. c. Disiplin Disiplin adalah taat kepada hukum dan peraturan yang berlaku. Jadi, disiplin karyawan adalah kegiatan karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja dengan organisasi dimana dia bekerja.
33
3. Indikator Kinerja Karyawan Berhasil tidaknya kinerja yang telah dicapai oleh organisasi tersebut di pengaruhi oleh tingkat kinerja karyawan secara individual maupun secara kelompok. Dengan asumsi semakin baik kinerja karyawan maka mengharapkan kinerja organisasi akan semakin baik. Beberapa pendekatan untuk mengukur sejauh mana pegawai mencapai suatu kinerja secara individual menurut Bernadin (1993) adalah sebagai berikut: a. Kualitas Tingkat dimana hasil aktifitas yang dilakukan mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan
beberapa cara ideal dari penampilan aktifitas ataupun
memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu aktifitas. b. Kuantitas Jumlah yang dihasilkan dalam istilah jumlah unit, jumlah siklus aktifitas yang diselesaikan. c. Ketepatan Waktu Tingkat suatu aktifitas diselesaikan pada waktu awal yang diinginkan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktifitas lain. d. Efektifitas Tingkat penggunaan sumber daya manusia organisasi dimaksimalkan dengan maksud menaikan keuntungan atau mengurangi kerugian dari setiap unit dalam penggunaan sumber daya.
34
e. Kemandirian Tingkat dimana seorang pegawai dapat melakukan fungsi kerjanya tanpa minta bantuan bimbingan dari pengawas atau meminta turut campurnya pengawas untuk menghindari hasil yang merugikan. 4. Penilaian Kerja Penelian kerja merupakan prosedur apa saja yang meliputi penetapan standar kerja, penilaian kinerja aktual karyawan, dan memberikan umpan balik kepada karyawan dengan tujuan memotivasi karyawan tersebut
untuk
menghilangkan penurunan kinerja atau terus mencapai kinerja yang optimal. Penilaian kinerja digunakan karyawan sebagai umpan balik untuk mengetahui seberapa baik mereka dalam bekerja jika dibanding dengan standar-standar organisasi. Untuk mengukur kinerja antara lain dengan skala penilaian grafik yang mempunyai kriteria kualitas kerja, kuantitas kerja, kreatifitas kerja dan intregritas (Gary Dessler, 1984:2). Menurut Sayadi (1999:27) ada 4 poin yang digunakan dalam penilaian kinerja yaitu sebagai berikut: a. Efektifitas dan Efesiensi Efektifitas dalam suatu organisasi adalah bila tujuan organisasi dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efesiensi adalah berkaitan dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam pencapaian tujuan tertentu. Dikatakan efesien apabila hal itu memuaskan bagi pendorong tujuan, terlepas efektif atau tidak.
35
b. Tanggung jawab Tanggung jawab adalah sifat dari komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki oleh seorang peserta organisasi kepada anggota organisasi lain untuk melakukan suatu kegiatan kerja. c. Disiplin Disiplin adalah taat kepada hukum dan peraturan yang berlaku sedangkan disiplin karyawan adalah ketaatan karyawan yang bersangkutan dakam menghormati perjanjian kerja dengan perusahaan dimana ia bekerja. d. Inisiatif Inisiatif berkaitan dengan daya pikir dan kreatifitas dalam tujuan suatu organisasi. Setiap inisiatif sebaiknya mendapat perhatian atau tanggapan positif dari lingkungan organisasi. Adapun menurut Robbins (2006:684), mengutarakan bahwa ada beberapa tujuan dalam penilaian kinerja, yaitu : a. Untuk mengambil keputusan personalia secara umum, sehingga dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan promosi, transfer atau pemberhentian karyawan. b. Dapat dijadikan penjelasan tentang pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan. c. Dapat dijadikan kriteria untuk program seleksi dan pengembangan yang disahkan. d. Untuk memenuhi tujuan umpan balik yang ada terhadap para karyawan.
36
e. Digunakan
sebagai
dasar
untuk
mengalokasikan
atau
menentukan
penghargaan. C. Hubungan Stres Kerja Dengan Kinerja Karyawan Kinerja merupakan tujuan akhir dan merupakan cara bagi manajer untuk memastikan bahwa aktifitas karyawan dan output yang dihasilkan sesuai dengan tujuan organisasi (Noe, 1994:234). Kinerja merupakan hasil akhir dari seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan (As’adri 1995:46). Penilaian kinerja bertujuan sebagai suatu dasar perencanaan dan penelitian di bidang personalia khususnya untuk penyempurnaan program dan mendorong terciptanya hubungan timbal balik yang sehat antara atasan dengan bawahan. Terkait dengan kinerja, sres kerja mempunyai pengaruh yang siginifikan terhadap kinerja karyawan (Robbins, 1996:228, Davis. K, 1996:201). Stres kerja sendiri dapat memebri manfaat positif, sebagai bentuk motivasi terhaap karyawan, tetapi juga dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. Dapat di asumsikan secara sederhana bahwa stres kerja dapat mem dorongan ataupun kendala dalam pekerjaan, tergantung penegelolaan tingkat stres yang dialami karyawan. Beberapa riset dan penelitian yang mempelajari tentang hubungan stres kerja dengan kinerja karyawan yang disajikan dalam model stres-prestasi kerja (hubugan U-terbalik). Pola U terbalik tersebut menunjukan hubungan tingkat stres (rendah-tinggi) dengan kinerja (rendah-tinggi). Pola ini dimaksudkan bahwa, jika tingkat stres sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali berarti bahwa tantangan kerja juga tidak ada dan kinerja karyawan cenderung akan mengalami
37
penurunan. Sejalan dengan meningkatnya stres, kinerja karyawan cenderung meningkat, karenea stres kerja dapat memebantu karyawan mendapat motivasi kerja yang lebih baik. Akhirnya stres kerja mencapai titik stabil yang kira-kira disesuai dengan kemampuan, dan kinerja karyawan. Model U terbalik dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini Gambar 2.1 Model U
Sumber : (Robbins, 1996:228-229) D. Penelitian Terdahulu Dalam penelitian yang dilakukan oleh Merlin Kurniati dan Prastyo Widyo Iswara (2013), yang bertujuan menganalisis faktor stres yang disebabkan lingkungan dan faktor stres yang disebabkan organisasi secara bersama-sama berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja dosen Politeknik Negeri Batam dan mengetahui. Sampel menggunakan metode random sampling yaitu dengan memilih secara acak dari keseluruhan populasi dosen .Politeknik Negeri Batam. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah survey dengan instrumen kuesioner. Data di analisis dengan bantuan dari program SPSS 16 untuk Windows. Hasil penelitian menjukan bahwa faktor organisasi dan individual secara bersama-sama mempengaruhi kinerja karyawan Politeknik Negeri Batam
38
sebesar 56,8% dengan rincian sebanyak 37,1% dari faktor lingkungan dan sebesar 19,7%% dari faktor organisasi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa faktor lingkungan dan organisasi sama-sama memberi pengaruh positif bagi kinerja dosen Politeknik Negeri Batam. Penelitian lain yang menunjukkan hubungan antara stres kerja terhadap kinerja karyawan adalah penelitian yang dilakukan oleh Hulaifah Gaffar (2012) yang meneliti tentang “Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk kantor Wilayah X Makassar)” menunjukkan bahwa variabel stres individu dan organisasi memiliki hubungan positif yang sangat signifikan antara stres kerja dengan kinerja karyawan dimana semakin tinggi stres kerja maka semakin tinggi kinerja karyawan. Untuk meneliti korelasi tersebut, dibutuhkan perhitungan analisis regresi berganda menghasilkan rx2y =0.638,p<.01. Dalam kasus ini stres kerja dapat memeberikan stimulus dan dorongan motivasi kepada karyawan untuk meningkatkan kinerjanya. Penelitian tentang stres kerja lainnya anatra lain penelitian yang dilakukan oleh Nita Wahyu Wulandari (2009) yang meneliti tentang “pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan pada perusahaan batik Dewi Brotojoyo Sragen”, penelitian ini melibatkan 70 pekerja dengan menggunakan metode random sampling. Hasil dalam penelitian ini menjukan bahwa seluruh variabel penelitian yang tediri dari, stres lingkungan, stres organisasi dan stres individu berpengaruh signifikan negatif terhadap kinerja karyawan perusahaan batik Dewi Brotojoyo Sragen. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil pengujian secara parsial (uji t)
39
dimana stres lingkungan, organisasi, dan individu masing-masing meberikan hasil negatif. Penelitian Ismar, Amri Amri dan Sastrosumiharjo (2011) yang meneliti 73 orang pekerja sebuah perusaan call center di Jakarta menghasilkan temuan prevalensi stres kerja berkaitan dengan factor-faktor stresor kerja antara lain pengembangan karir, beban kerja berlebih, konflik peranan, keterpaksaan peran dan tanggung jawab pekerjaan. Stresor-stresor lainnya, struktur organisasi, jarang dipelajari. Penelitian Jumaini dan Hafsah (2013) meneliti hubungan stres kerja dengan kinerja perawat pelaksana di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Dumai. Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan stres kerja dengan kinerja perawat pelaksana dengan menggunakan uji korelasi Person. Berdasarkan uji yang dilakukan mendapat hasil p = 0,000 dan koefisien korelasi r = 0,682, menunjukan hubungan yang kuat dan penelitian besifat positif. Stres kerja karyawan mayoritas dalam kondisi sedang (42,2%), kinerja karyawan mayoritas cukup (48,9%). Kesimpulan penelitian ini, stres kerja merupakan perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan, yang disebabkan oleh stresor yang datang dari lingkungan kerja, seperti faktor lingkungan, organisasi dan individu faktor-faktor yang mempengaruhi stres.
40
E. Kerangka Pemikiran Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh variabel stres kerja lingkungan terhadap kinerja karyawan pada PT.Danar Hadi Surakarta Untuk mengetahui pengaruh variabel stres kerja organisasi terhadap kinerja karyawan pada PT.Danar Hadi Surakarta Untuk mengetahui pengaruh variabel stres kerja individu terhadap kinerja karyawan pada PT.Danar Hadi Surakarta
Stres Kerja Stressor lingkungan Stressor organisasi Stressor individu
Analisis Data : Uji instrumen penelitan, regresi linier berganda, Uji F dan Uji t
Sumber Data : Kuesioner Dokumentas i
Penelitian Terdahulu: Merlin Kurniati dan Prastyo Widyo Iswara (2013) Nita Wahyu Wulandari (2009) Ismar, Amri Amri dan Sastrosumiharj o (2011) Jumaini dan Hafsah (2013) Hulaifah Gaffar(2012)
Kinerja karyawan
Keterangan: Dari kerangka teoritik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja yang terdiri dari stres kerja lingkungan, organisasi, dan individual berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
F. Hipotesis Hipotesis adalah rumusan kesimpulan yang bersifat sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang bersifat kompleks terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya perlu diuji secara empiris (Nazir,2003). Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
41
1. H1 : Diduga bahwa variabel stres kerja lingkungan mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap kinerja karyawan PT. Batik Danar Hadi Surakarta. 2. H2 : Diduga bahwa variabel stres kerja organisasi mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap kinerja karyawan PT. Batik Danar Hadi Surakarta. 3. H3 : Diduga bahwa variabel stres kerja individu mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap kinerja karyawan PT. Batik Danar Hadi Surakarta.