21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS
Pembahasan dalam bab ini akan mengemukakan berbagai kajian yang diperoleh dari berbagai sumber literatur yang sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Kajian tersebut mencakup berbagai persoalan yang berhubungan dengan skripsi yang berjudul ”Perkembangan Industri Rumah Tangga Tapai Singkong dan Dampaknya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. (Studi Pada Industri Tapai Singkong di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung Tahun 1980-2008)”. Bab ini terdiri dari tinjauan pustaka dan landasan teoritis. Dalam tinjauan teoritis akan dikaji beberapa hal mengenai industri rumah tangga, kewirausahaan, pembangunan ekonomi kerakyatan, produksi tapai singkong, sedangkan dalam landasan teoritis akan dikemukakan tentang teori perubahan sosial Emile Durkheim dan teori motif berprestasi McClleland. Kajian dalam tinjauan pustaka akan dibagi dalam tiga bagian sesuai dengan sumbernya yaitu dari sumber yang berupa buku, penelitian yang telah ada yang dijadikan referensi penulis, dan sumber yang berasal dari internet. Kemudian bagian-bagian tersebut akan dibagi lagi menjadi beberapa sub judul yang sesuai dengan pokok permasalahan yang akan dikaji.
22
2.1 2.1.1
Tinjauan Pustaka Sumber Buku
2.1.1.1 Industri Rumah Tangga Buku yang dijadikan sumber referensi pertama dalam membahas mengenai perkembangan industri rumah tangga ini adalah buku yang berjudul Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, Beberapa Isu Penting (2002), buku ini secara keseluruhan membahas tentang keberadaan atau perkembangan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) di Indonesia selama ini. Seluruh isi buku terdiri dari tujuh bab. Bab 1 membahas secara teoritis keberadaan UKM dalam proses pembangunan ekonomi. Bab 2 membahas kinerja UKM di Indonesia terutama sekitar periode krisis (1997-2000). Jika pada bab 2 dilihat perkembangan UKM secara umum disemua sektor-sektor ekonomi, maka pembahasan pada bab 3 terfokus pada industri kecil dan industri rumah tangga. Bab 4 membicarakan masalah-masalah utama yang dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah seperti keterbatasan modal, rendahnya kualitas SDM, dan masalah persaingan. Bab 5 lebih menekankan pada pokok masalah perempuan pengusaha di UKM, karena salah satu aspek penting dari perkembangan UKM adalah kesempatan berusaha bagi perempuan. Aspek lainnya yang juga relevan untuk dikaji adalah menyangkut pelaksanaan otonomi daerah dan artinya bagi peran UKM serta dampaknya bagi perkembangannya di daerah. Aspek ini menjadi topik utama dari bab 6. Terakhir bab 7 adalah soal kelembagaan untuk perumusan dan implementasi kebijaksanaan UKM di Indonesia.
23
Salah satu bab dari buku ini yaitu bab 3 membahas mengenai profil Industri Kecil (IK) dan Industri Rumah Tangga (IRT) dengan melihat perbedaan di antara kedua jenis usaha rakyat ini. Perbedaan tersebut terutama dalam aspek organisasi, manajemen, metode atau pola produksi, teknologi dan tenaga kerja produk, dan lokasi usaha. Industri rumah tangga pada umumnya adalah unit-unit usaha yang sifatnya lebih tradisional, dalam arti menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang baik seperti lazimnya dalam suatu perusahaan modern, tidak ada pembagian tugas kerja dan sistem pembukuan yang jelas. Proses produksi dilakukan di samping atau di dalam rumah dari pemilik usaha, mereka tidak mempunyai tempat khusus. Teknologi yang digunakan sangat sederhana yang pada umumnya manual dan sering kali direkayasa sendiri dan banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak dibayar (khususnya anggota keluarga). Sebagian besar industri rumah tangga terdapat di daerah pedesaan dan kegiatan produksi pada umumnya musiman, erat kaitannya dengan siklus kegiatan di sektor pertanian. Pada saat musim tanam dan musim panen kegiatan di IRT menurun tajam karena sebagian besar pengusaha dan pekerja di IRT kembali ke sektor pertanian dan sebaliknya pada saat tidak ada kegiatan di sektor pertanian, mereka kembali melakukan kegiatan IRT. Adanya keterkaitan ekonomi yang erat ini antara sektor pertanian dan IRT karena pada umumnya pemilik usaha dan sebagian besar tenaga kerja di IRT berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Jadi dapat dikatakan bahwa pekerjaan utama mereka adalah bertani, sementara kegiatan IRT hanyalah merupakan kegiatan sambilan atau sebagai sumber tambahan bagi pendapatan keluarga.
24
Implikasi dari adanya keterkaitan ini adalah bahwa distribusi pendapatan di pedesaan atau disektor pertanian pada khususnya sangat mempengaruhi perkembangan IRT. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Tambunan, ia kemudian membedakan antara IK (demand-pull based SSIs) dan IRT (supply-push based SSIs). Perbedaan tersebut didasarkan pada sejumlah aspek seperti tingkat pendapatan, motivasi pengusaha melakukan kegiatan (tujuan usaha), tingkat pendidikan pengusaha, jenis produk yang dibuat, nilai investasi awal, faktor utama pendorong kegiatan dan laju pertumbuhan. Secara keseluruhan buku ini memberikan informasi dan pemahaman kepada peneliti mengenai perbedaan yang mendasar antara IRT dan IK, sehingga relevan sekali apabila buku ini digunakan sebagai acuan sumber dan kerangka berpikir peneliti dalam memahami lebih dalam permasalahan yang dikaji. Buku yang dijadikan sumber referensi kedua adalah buku yang ditulis oleh Redaksi Agromedia (2008) yang berjudul “Membidik Peluang Usaha. 22 Peluang Bisnis Makanan Untuk Home Industri”. Dalam buku ini didefinisikan mengenai pengertian usaha rumah tangga menurut Badan Pusat Stastistik, usaha rumah tangga adalah usaha yang dijalankan oleh satu sampai empat orang. Sedangkan menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengemukakan bahwa usaha rumah tangga adalah suatu perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Adapun keunggulan usaha makanan skala rumah tangga yang disebutkan dalam buku ini adalah sebagai berikut :
25
a. Tidak perlu pusing memikirkan lokasi usaha, karena bisa dilakukan sendiri di rumah. b. Daerah pemasaran dan jumlah konsumen tidak terbatas. c. Pembeli datang sendiri. d. Dapat melibatkan seluruh anggota keluarga. e. Dapat menyerap tenaga kerja. Buku ini memberikan berbagai macam alternatif usaha rumah tangga dalam bidang pengolahan makanan yang dapat dijadikan usaha atau peluang bisnis. Diantaranya mengenai pemilihan jenis usaha yang dianggap sedang diminati oleh khalayak ramai, salah satunya adalah usaha tapai singkong. Perencanaan dan rumusan yang harus diperhatikan ketika akan memulai usaha, seperti perlengkapan usaha, perekrutan tenaga kerja, teknik promosi dan penjualan, penetapan harga, dan perhitungan risiko dibahas secara mendalam dalam buku ini sehingga akan sangat membantu penulis dalam memahami usaha ini dalam kaitannya dengan proses produksi pembuatan tapai singkong. Akan tetapi dalam buku ini tidak dibahas secara mendalam tentang bagaimana perkembangan usaha IRT tapai singkong. Buku
ketiga
yang
dijadikan
sumber
referensi
adalah
Ekonomi
Pembangunan. Teori, Masalah, dan Kebijakan (1997) karya Mudrajad Kuncoro. Dalam buku ini terdapat dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia, pertama usaha kecil menurut Undang-undang no. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan
26
bangunan tempat usaha, paling banyak Rp. 200 juta (Sudirman&Sari, 1996: 5). Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjaan, yaitu: (1). Industri rumah tangga dengan pekerja 14 orang; (2). Industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3). Industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4). Industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999:250). Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun nampaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dan kerabat dekatnya. Data BPS (1994) menunjukkan hingga saat ini jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15,635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa pengguna tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki pekerja tetap. Kedua, rendahnya akses industri tekstil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usaha dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum.
27
Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman, dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri bahan galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah tangga (ISIC33) masingmasing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%. Buku ini cukup membantu penulis dalam memahami industri kecil yang didalamnya juga termasuk industri rumah tangga. Namun sayangnya tidak banyak penjelasan yang dapat penulis ambil tentang industri rumah tangga pada buku ini.
2.1.1.2 Kewirausahaan Buku Sekuncup Ide Operasional Pendidikan Wiraswasta (1984) karya Drs. Wasti Soemanto mendefinisikan wiraswasta sebagai keberanian, keutamaan serta keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri. Tapi kemudian Wasti Soemanto menegaskan bahwa percaya pada kekuatan diri sendiri tidak berarti bahwa orang yang berwiraswasta mesti selalu berkarya sendirian tanpa ikut sertanya orang lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa manusia wiraswasta adalah orang yang memiliki potensi untuk berprestasi. Dia menyebutkan ciri-ciri manusia wiraswasta adalah orang yang senantiasa memiliki motivasi yang besar untuk maju berprestasi dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun, manusia
28
wiraswasta mampu menolong dirinya sendiri di dalam mengatasi permasalahan hidupnya, mampu memenuhi setiap kebutuhan hidupnya, mampu mengatasi kemiskinan, baik kemiskinan lahir maupun kemiskinan batinnya tanpa menunggu pertolongan dari orang lain. Manusia wiraswasta tidak suka hanya menunggu uluran tangan pemerintah ataupun pihak lainnya di dalam masyarakat. Manusia wiraswasta tidak mudah menyerah pada alam, justru selalu berupaya untuk bertahan dari tekanan alam. Wasti Soemanto juga menjelaskan tentang sikap mental wiraswasta adalah mempunyai kemauan keras untuk mencapai tujuan dan kebutuhan hidupnya. Setiap orang mempunyai tujuan dan kebutuhan tertentu dalam hidupnya. Sayang, tidak setiap orang memiliki tujuan yang jelas dan operasional sehingga terbayang jelas jalan yang harus ditempuh untuk mencapainya. Tujuan yang samar-samar kurang memberikan motivasi pada diri seseorang untuk berusaha mencapainya, kekuatan untuk mencapai tujuan adalah kemauan keras. Jadi kemauan yang keras merupakan kunci daripada keberhasilan seseorang untuk mencapai tujuan. Disamping berkemauan keras, manusia yang bersikap mental wiraswasta memiliki keyakinan yang kuat atas kekuatan yang ada pada dirinya. Kita lahir dan hidup didunia telah dibekali dengan perlengkapan dan kekuatan oleh sang pencipta agar kita dapat hidup dan menaklukan alam sekitar kita. Keyakinan yang kuat dapat kita tumbuhkan di dalam jiwa kita dengan syarat: 1). Kita harus mengenal diri kita sendiri sebagai mahluk yang memiliki kelemahan, namun memperoleh anugrah kekuatan untuk mengatasi kelemahan kita itu.
29
2). Kita harus percaya kepada diri sendiri, bahwa kita memiliki potensi tersendiri yang tidak kurang kuatnya dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. 3). Kita harus mengetahui dengan jelas terhadap tujuan-tujuan serta kebutuhan
kita,
dimana
kita
dapat
mendapatkannya,
serta
kapan/berapa lama target waktu untuk mencapai/memenuhinya. Setiap tujuan, kebutuhan dan rencana-rencana kita harus senantiasa menguasai jiwa kita dengan penuh kesadaran. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga dengan demikian timbul pula kegairahan dan semangat untuk maju dan kita terdorong dan tergerak untuk berbuat. Itulah tiga
syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk menumbuhkan
keyakinan yang kuat pada diri sendiri. Manusia yang bersikap mental wiraswasta memiliki sifat kejujuran dan tanggung jawab. Salah satu kunci keberhasilan seseorang dalam berusaha dan berwiraswasta adalah adanya kepercayaan dari orang lain terhadap dirinya. Banyak orang mengalami kegagalan dalam relasi dan usaha hanya karena tidak dimilikinya sifat-sifat kejujuran dan tanggung jawab ini. Banyak orang yang tidak dapat dipercaya oleh orang lain, baik dibidang usaha maupun karier oleh karena mereka tidak jujur dan tidak memiliki rasa tanggungjawab. Buku ini memberikan kontribusi kepada penulis dalam memahami bagaimana seharusnya mental seseorang yang berjiwa wirausaha dan mendidik keluarga untuk bisa memupuk jiwa entrepreneurship sejak dini. Namun sayang
30
buku ini kurang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya membangun suatu usaha atau berwirausaha. Buku yang kedua adalah Kewirausahaan Yang Berproses (1995) karya Thoby
Muthis,
beliau
menyatakan
bahwa
kata
enterpreneurship
bisa
diterjemahkan dengan kata kewirausahaan. Dahulu, sering diterjemahkan dengan kata kewiraswastaan. Terjemah kewiraswastaan sering banyak dikritik karena ada yang berpendapat bahwa wiraswasta merupakan usaha yang menimbulkan risiko, kekritisan dan kejelian serta kreativitas tidak hanya milik orang-orang yang berada di swasta saja. Beberapa ahli teori manajemen mengatakan, bahwa kewirausahaan adalah kehebatan dalam pembentukan perusahaan baru yang didalamnya mengandung pemanfaatan, peluang dan pengambilan risiko serta didalamnya serta melakukan perubahan. Menurut Wiliam H. Sahlman, bisa saja seorang wirausaha tidak melakukan pembelian maupun penjualan, tidak pula menyatukan faktor-faktor produksi, dia bukan seorang inovator tetapi seorang peniru. Ia tidak mempunyai bisnis sendiri tetapi menata bisnis orang lain yang di dalamnya mengandung upaya pemanfaatan peluang dan pengambilan risiko. Jose
Carlos
Jarillo-Mosi
mendefinisikan,
kewirausahaan
sebagai
“seseorang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang-peluang yang sesuai dengan situasi dirinya; dan yang percaya bahwa kesuksesan merupakan suatu hal yang bisa dicapai”. James M. Higgis mengatakan pula, hal utama yang membedakan para wirausaha dengan para manajer lainnya terletak pada pendekatan mereka terhadap
31
pemecahan masalah. Para wirausaha bukan hanya memecahkan masalah atau bereaksi terhadap masalah; melainkan juga mencari peluang. Wirausaha adalah para pengambil risiko. Pandangan mengenai kewirausahaan seperti itu dikemukakan oleh Peter Drucker di tahun 1964, yang mengindikasikan, “agar sumber daya membawa hasil, maka sumber daya tersebut harus dialokasikan dalam lingkup pemanfaatan peluang, dan bukan dialokasikan kepada masalah lain yang tidak ada kaitannya dengan sumber daya manusia. Pemanfaatan peluang merupakan suatu definisi yang tepat dari kewirausahaan.” Wirausaha juga harus memulai dan menata perubahan. Mereka membuat perubahan dalam segala aspek dari fungsi-fungsi organisasi pemasaran, keuangan, operasional, sumber daya manusia, dan informasi. Menurut Drucker “para wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapi masalah tersebut dan menggunakannya sebagai peluang.” Buku
ini
juga
berusaha
mengidentifikasi
ciri-ciri
pribadi
para
wirausahawan. Di antaranya yang paling sering diungkapkan adalah adanya kebutuhan untuk mencapai sesuatu (achievement), adanya kebutuhan akan kontrol, orientasi intuitif dan kecenderungan untuk mengambil risiko. Entrepreneurshif adalah sikap untuk melakukan suatu usaha karena ada suasana yang mendukung untuk merealisasikannya. Seorang entrepreneur akan selalu berpikir untuk bertindak mencari pemecahan (looking at solution), sesuai dengan inisiatif yang muncul untuk meraih target dengan kedinamisan tertentu. Sebab pasar adalah dinamis, yang terus-menerus bergerak dari satu keseimbangan kepada keseimbangan lain. Di dalam hukum rimba persaingan, yang menang
32
adalah mereka yang dapat memahami pasar yang dinamis atau yang memasuki pasar yang baru muncul, dan yang dapat mengubah pola laku konsumen di pasar yang sudah ada. Istilah kewirausahaan yang masuk dalam kamus bisnis pada tahun 1980-an memiliki definisi yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan yang digunakan di dalam
mendefinisikan
kewirausahaan,
yaitu
pendekatan
fungsional
dan
pendekatan kewirausahaan, sisi penawaran (sumber psikologis dan sosiologis). Pendekatan fungsional menekankan peranan kewirausahaan di dalam perekonomian seperti mengemban suatu risiko karena melakukan pembelian pada satu tingkat harga tertentu dan menjualnya pada tingkat harga yang tidak menentu, melakukan kegiatan-kegiatan produksi dan inovasi, serta menyebabkan atau memberikan reaksi terhadap gejolak-gejolak ekonomi. Pendekatan kewirausahaan sisi penawaran menekankan kepada sifat-sifat individual yang dimiliki para pengusaha. Pendekatan ini mengatakan bahwa sifatsifat tertentu seperti keinginan untuk berprestasi dan kemampuan untuk mengontrol serta menanggung resiko dari tindakan yang mereka lakukan sebagai sifat-sifat dari wirausaha. Howard H Stevenson, Presiden Harvard Business School, mengatakan bahwa tak satu pun dari kedua pendekatan di atas yang cukup menjelaskan teori kewirausahaan. Menurut Stevenson, kewirausahaan merupakan suatu pola tingkah laku manajerial terpadu. Kewirausahaan adalah upaya pemanfaatan peluangpeluang yang tersedia tanpa mengabaikan sumber daya yang dimilikinya. Kewirausahaan berbeda dengan suatu fungsi ekonomi. Kewirausahaan Stevenson
33
mengatakan bahwa pola tingkah laku manajerial yang terpadu tersebut bisa dilihat dalam enam dimensi praktek bisnis: 1. Orientasi strategis 2. Komitmen terhadap peluang yang ada 3. Komitmen terhadap sumber daya 4. Pengawas sumber daya 5. Konsep manajemen 6. Kebijakan balas jasa Dari keenam ciri di atas dihasilkan dua bentuk pelaku bisnis dengan corak yang berbeda, yaitu apa yang disebut: (a) Promotor, yaitu orang yang percaya akan kemampuan yang dimilikinya untuk menangkap peluang yang ada tanpa menghiraukan sumber daya yang dimilikinya. (b) Truste, yaitu orang yang lebih menekankan penggunaan sumber daya yang telah dimilikinya secara efisien. Kewirausahaan merupakan sebuah pola dari tingkah laku manajerial yang terpadu yang terletak di antara promotor dan truste adalah tingkah laku administratif. Stevenson menjelaskan pula perbedaan antara tingkah laku kewirausahaan dan tingkah laku administratif. Menurut Stevenson, kita harus memahami faktor-faktor yang akan mendorong kita ke dalam pola tingkah laku kewirausahaan serta faktor-faktor apa yang mendorong kita ke dalam pola tingkah laku administratif. Diungkapkannya pula, bahwa tingkah laku kewirausahaan akan
34
memampukan kita mencapai serta memelihara vitalitas perusahaan jangka panjang. Raymond W.Y Kao, masih dalam buku kewirausahaan yang berproses, mengungkapkan bahwa “kewirausahaan adalah proses pengerjaan sesuatu yang baru dan berbeda untuk tujuan penciptaan kemakmuran untuk seseorang dan yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat.” Lebih lanjut dikatakannya, wirausaha adalah “seorang yang melakukan suatu penciptaan kemakmuran dan proses penambahan nilai melalui pengembangan gagasan, perakitan sumberdayasumberdaya, dan usaha untuk mewujudkannya.” Wirausaha adalah orang yang selalu mencari tantangan baru dengan mengutamakan standar keunggulan yang terus membaik. Tapi standar keunggulan ini lebih didorong oleh hasrat untuk berprestasi dengan daya yang ada pada diri sendiri, tanpa campur tangan yang lebih besar dari pihak lain. Mantan Presiden Soeharto pernah mengatakan, wirausaha merupakan sarana tepat mengatasi pengangguran. Sebab itu beliau berharap kaum muda membangkitkan jiwa kewirausahaan, agar mereka tidak hanya menjadi pencari kerja saja, tapi justru membuka kesempatan kerja bagi diri mereka sendiri. Kaum muda perlu memiliki rasa percaya diri untuk mandiri sebagai wirausahawan pemula, kendatipun menjadi wirausaha sektor informal maupun usaha kecil. Tumbuhnya wirausahawan yang menciptakan perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah ini sangat berarti sebagai kekuatan-kekuatan pembuka lapangan kerja dan kemajuan ekonomi suatu negara.
35
Buku ini banyak memberikan kontribusi bagi penulis dalam memahami pengertian konsep kewirausahaan. Akan tetapi buku ini tidak menjelaskan lebih dalam tentang seluk beluk berwirausaha secara praktis di lapangan, karena selain menjelaskan tentang entrepreneurship (kewirausahaan), buku ini juga membahas tentang
Intrapreneurship,
ultrapreneurship,
dan
ecopreneuring
sehingga
pembahasan entrepreneurship tidak lebih spesifik dijelaskan dalam buku ini.
2.1.1.3 Pembangunan Ekonomi Kerakyatan Buku pertama yang dijadikan sumber dalam penulisan skripsi ini adalah buku yang ditulis oleh Mubyarto yang berjudul Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia (1997). Buku tersebut memberikan informasi mengenai pengembangan ekonomi kerakyatan. Buku ini mengemukakan usaha yang bersifat mandiri adalah ciri khas usaha sektor ekonomi rakyat. Apabila kita ingin mengembangkan perekonomian rakyat, kita perlu meneliti dimana kekuatan dan kelemahannya agar ditemukan caracara atau metode yang paling tepat untuk mengembangkannya. Ekonomi rakyat yang tidak didukung oleh modal kuat dan teknologi yang maju, yang dengan sendirinya merupakan ekonomi lemah, akan tetapi bisa bertahan meskipun harus bersaing secara keras dengan ekonomi modern yang ”efisien” dan mengglobal. Kekuatan
dan
daya
tahan
ekonomi
rakyat
terletak
pada
kemampuannya untuk berswadaya, yaitu mengandalkan pada kekuatan “modal sendiri”. Artinya ”pengusaha” ekonomi rakyat atau ekonomi lemah
36
tidak membayar bunga modal dan upah buruh yang tinggi kepada pihak ketiga. Bagaimanapun
ekonomi
rakyat
adalah
”strategi
berorganisasi
ekonomi” bagi rakyat miskin. Orang miskin tidak akan menetapkan ”target keuntungan” yang ingin diraih dalam setiap kegiatannya. Yang ingin dicapai adalah
pemenuhan
kebutuhan
dasar
bagi
dirinya
dan
keluarganya.
Pembahasan yang terdapat dalam buku tersebut sayangnya belum begitu menguraikan mengenai macam-macam usaha apa saja yang termasuk ke dalam ekonomi kerakyatan yang dianggap memberikan sumbangsih bagi masyarakat kecil. Buku kedua yang dijadikan referensi adalah buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Cornelis Rintuh yang berjudul Kelembagaan dan Ekonomi rakyat (2003). Buku ini terlebih dahulu mengemukakan mengenai pengertian ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah segala kegiatan dan upaya rakyat untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Dengan perkataan lain, ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat dengan secara swadaya mengelola sumber daya apa saja yang dapat dikuasainya setempat, dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya beserta keluarganya. Dalam konteks permasalahan yang sederhana, ekonomi rakyat adalah strategi bertahan hidup (survival) dari rakyat miskin. Menurut Mubyarto (1996), ekonomi rakyat atau perekonomian rakyat mempunyai ciri-ciri : 1. Dilakukan oleh rakyat tanpa modal besar, 2. Dikelola dengan cara-cara swadaya,
37
3. Bersifat mandiri sebagai ciri khasnya, 4. Tidak ada buruh dan tidak ada majikan, 5. Tidak mengejar keuntungan. Pemberdayaan ekonomi rakyat pedesaan berarti juga pembangunan pedesaan tetapi lebih sulit ditekankan pada upaya meningkatan pendapatan petani. Pembangunan ekonomi rakyat karena sebagian besar rakyat hidup di sektor pertanian yang berarti juga pembangunan pertanian yang sekaligus merupakan upaya peningkatan pendapatan rakyat di pedesaan. Dalam hal pemerataan, ekonomi rakyat mempunyai peluang yang lebih besar karena mampu menjangkau masyarakat sehingga tingkat paling bawah. Oleh karena itu, usaha mencapai tujuan ekonomi rakyat dan swasta harus berjalan seimbang sehingga pada akhirnya tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Namun pembahasan ini belum banyak memaparkan mengenai kelemahankelemahan dari ekonomi kerakyatan. Hanya sebatas memaparkan kekuatan dari ekonomi kerakyatan. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti memperoleh pemahaman bahwa ekonomi kerakyatan merupakan kegiatan ekonomi yang tumbuh dalam lingkungan keluarga dalam masyarakat kecil. Kegiatan ekonomi ini merupakan kegiatan ekonomi sederhana yang hanya bertumpu pada modal sendiri. Dalam pemaparannya buku ini memberikan kontribusi kepada peneliti dalam menjelaskan latar belakang permasalahan dalam skripsi ini mengenai peranan ekonomi kerakyatan bagi masyarakat menengah ke bawah.
38
Buku ketiga yaitu Perekonomian Indonesia, Dari Bangkrut Menuju Makmur (2003) merupakan kumpulan berbagai artikel Hendri Kariawan yang dimuat di berbagai media masa dalam kurun waktu 1986-2002. Benang merah dari artikel-artikel tersebut adalah kekecewaan penulis buku atas perilaku lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam menyikapi tuntutan reformasi di tahun 1997 untuk memberantas segala praktek busuk KKN di era Presiden Soeharto selama 32 tahun yang jelas-jelas telah merusak sendi-sendi perekonomian nasional sehingga akhirnya hanya mendudukkan rakyat sebagai pelaku ekonomi yang tidak berdaulat. Buku ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu (1) Bangkrutnya ekonomi, (2) Memenuhi tuntutan Reformasi dan (3) Membangun ekonomi rakyat. Dalam bagian ketiga ini penulis buku menawarkan gagasan membangun ekonomi rakyat yang berlandaskan rakyat sebagai pelaku ekonomi yang berdaulat. Dalam kondisi langka dana saat ini pembangunan ekonomi harus kembali mengakar pada usaha kecil lalu menengah dan selanjutnya besar. Dalam buku ini dijelaskan bahwa pembangunan perekonomian nasional sejak tahun 1966 hingga saat ini menitik beratkan pada pembangunan ekonomi menengah besar. Namun ternyata strategi ini hanyalah menyusahkan rakyat karena rakyat jugalah yang saat ini harus membayar kerugian karena kegagalan strategi pembangunan tersebut. Ekonomi rakyat sejak tahun 1966 hingga saat ini belum mendapat sentuhan yang serius dalam strategi pembangunan perekonomian nasional. Ekonomi rakyat hanya dijadikan pelengkap pembangunan perekonomian nasional demi kepentingan elit politik yang berkuasa. Sebenarnya bila dilihat lebih lanjut,
39
ekonomi rakyat justru menjadi penyelamat perekonomian nasional. Ekonomi rakyat menyediakan kesempatan kerja. Sementara itu ekonomi menengah besar justru giat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan lebih dari itu menggerogoti keuangan negara. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai strategi pembangunan ekonomi rakyat, yaitu: a. Pemerintah tidak boleh lagi menjadi penjamin pengembalian hutang swasta. Pemerintah hanya dapat bertindak
sebagai fasilitator
pengembalian hutang swasta. b. Orientasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan RAPBD harus menitik beratkan pada pembangunan ekonomi rakyat. Bukan pada pengembalian hutang swasta dan negara. c. Segala bentuk proteksi, subsidi dan kemudahan-kemudahan lainnya yang diberikan oleh pemerintah kepada usaha menengah besar harus dihilangkan sehingga cara alamiah akan menyeleksi “hanya yang baik yang dapat terus bertahan dan maju tanpa fasilitas-fasilitas pemerintah”. d. Ekonomi rakyat harus dapat menghasilkan nilai tambah yang sebesarbesarnya. Untuk itu mekanisme pasar ekonomi rakyat harus berjalan dengan baik. Ini hanya dapat terjadi jika mekanisme pasar ekonomi menengah besar juga berjalan dengan baik. e. Pembangunan ekonomi rakyat harus lintas sektoral: pertanian, perikanan, kehutanan, industri, perdagangan dan jasa.
40
Untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan, struktur perekonomian nasional harus berbasis usaha skala kecil dan menengah. Usaha skala tersebut sudah terbukti bahwa selama dilanda krisis sejak 1997/1998 berhasil menciptakan kesempatan kerja sehingga pengangguran dan kemiskinan tidak bertambah parah lagi. Usaha ini juga tidak boros menghabiskan devisa negara dan lebih dari itu mereka tidak menyusahkan rakyat karena hutang macetnya sangat kecil sehingga tidak perlu di bail out oleh pemerintah atas beban rakyat. Buku ini menawarkan solusi bahwa tatanan perekonomian nasional harus diubah total dengan menjadikan kedaulatan rakyat sebagai basis ekonomi. Buku ini memberikan pemahaman kepada penulis bahwa rakyat sebagai pelaku ekonomi harus berdaulat. Proses pembangunn ekonomi itu harus dimulai dari sektor usaha mikro, koperasi, kecil dan menengah. Buku keempat yang berjudul Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia (2002) karya Faisal Basri. Buku ini mengungkapkan bahwa proses pembangunan tidak saja menuntut adanya pertumbuhan, tetapi juga perubahan-perubahan di berbagai bidang kehidupan yang sejalan dengan aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Pembangunan tanpa menghasilkan expansion of freedom nyata-nyata telah mengakibatkan terjadinya pemusatan kemakmuran, bukan penyebaran kemakmuran yang berkeadilan. Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian derap maju tidak saja dituntut dari berbagai bidang kehidupan. Melainkan juga di dalam aspek-aspek ekonomi itu sendiri. Hanya dengan begitu akan terbentuk suatu landasan yang kokoh bagi kesinambungan pembangunan jangka panjang yang berkeadilan.
41
Salah satu prinsip yang mendasari agenda pemberdayaan ekonomi rakyat adalah pengalaman pahit yang dialami oleh UKM di masa lalu. Sepanjang pemerintah Orde baru, usaha-usaha besar sangat diberikan keleluasaan dalam berbagai hal, termasuk dalam penyaluran kredit. Menurut para pendukung argumen ini, kinilah giliran UKM dan koperasi, karena jelas-jelas usaha besarlah yang telah membangkrutkan perekonomian Indonesia; sedangkan UKM dan koperasi yang justru selama ini dikesampingkan oleh kebijakan-kebijakan Orde baru bisa bertahan. Seperempat abad silam, pada paruh pertama dekade 1970-an, persoalan kesenjangan tingkat kesejahteraan pada umumnya dan kesenjangan usaha besarkecil telah menjadi perdebatan sengit dan berkepanjangan. Ketika itu, para teknokrat di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yakin betul bahwa pemerataan lambat laun akan terwujud dengan sendirinya. Dilain pihak, para pengkritiknya, termasuk Bung Hatta, sudah melihat ekses-ekses yang begitu kasat mata
dari
penerapan
strategi
tersebut.
Peristiwa
Malari
menghentikan
perbincangan itu. Sejumlah pengkritik dari kalangan kampus dipenjara karena dituduh sebagai pemicu kerusuhan masal. Itulah harga yang harus dibayar untuk berbagai
perubahan
yang
akhirnya
dilakukan
pemerintah
pasca-Malari.
Pemerintah memperkenalkan sejumlah program Inpres yang sarat bernuansa pemerataan. Impor mobil mewah dilarang. Ketentuan tentang pola hidup sederhana bagi para pejabat diberlakukan, yang sebetulnya sampai sekarang belum dicabut.
42
Untuk memajukan usaha kecil-menengah tidak cukup dengan kemitraan, apalagi dengan sekadar menunggu uluran tangan dari pengusaha besar seperti inisiatif kelompok Jimbaran. Demikian pula dengan cara-cara yang ditempuh pemerintah lewat keterlibatan yayasan swasta yang mengentaskan produk miskin. Tidak salah kalau orang bertanya mengapa persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa ini lebih banyak diatasi dengan cara-cara seperti Gerakan Nasional Kemitraan Usaha. Padahal, kita telah memiliki Undang-Undang Usaha Kecil yang didalamnya mencantumkan tentang kemitraan. Akan tetapi sangat sulit untuk menjabarkan kemitraan dari Undang-undang Usaha Kecil, karena hampir semua
undang-undang
kita
lebih
bersifat
simbolis
sehingga
sulit
dioperasionalisasikan. Meskipun demikian, saat ini industri rumah tangga, UKM dan koperasi tidak seterpuruk usaha besar, alasannya adalah: 1.
Pertama, sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama. Kelompok barang ini dicirikan oleh permintaan terhadap perubahan pendapatan (Income elasticity of demand) yang relatif rendah. Artinya, seandainya terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, permintaan atas kelompok barang ini tidak akan meningkat banyak; sebaliknya jika pendapatan masyarakat merosot sebagai akibat dari krisis sebagaimana yang terjadinya dalam dua tahun terakhir ini, maka permintaan tidak akan banyak berkurang. Dengan demikian secara rata-rata tingkat kemunduran usaha kecil tidak separah yang
43
dialami oleh kebanyakan usaha besar, terutama usaha yang selama ini bisa bertahan karena topangan proteksi, fasilitas istimewa, dan praktik-praktik KKN lainnya. 2.
Kedua, mayoritas usaha kecil lebih mengandalkan pada nonbanking financing dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil pada fasilitas perbankan sangat terbatas. Maka, bisa dipahami kalau di tengah keterpurukan sektor perbankan justru usaha kecil tidak banyak terpengaruh. Oleh karena
itu,
jangan
sampai
kebijakan
pemerintah
terlalu
mengedepankan aspek pendanaan usaha kecil dengan beragam paket kredit murah yang disubsidi, mengingat bisa saja langkah demikian justru merupakan usaha menggali liang kubur bagi pengusaha kecil. Jangan sampai pula, pemberian kredit murah lebih merupakan komoditi politik bagi keuntungan segelintir orang atau kelompok-kelompok tertentu saja. 3.
Ketiga, pada umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat, dalam artian hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja (kebalikan dari konglomerasi). Modal yang terbatas menjadi salah satu faktor yang melatarbelakanginya. Di lain pihak, mengingat struktur pasar yang mereka hadapi mengarah pada persaingan sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen), tingkat persaingan sangatlah ketat. Akhirnya, yang bangkrut atau keluar dari arena usaha relatif banyak, namun pemain
44
baru yang masuk pun cukup banyak pula, sehingga secara neto jumlah pelaku tidak akan mengalami pengurangan yang berarti. Spesialisasi dan struktur pasar persaingan sempurna inilah yang membuat usaha kecil cenderung lebih fleksibel dalam memilih dan berganti jenis usaha, apalagi mengingat bahwa usaha kecil tidak membutuhkan kecanggihan teknologi dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi. 4.
Keempat, terbentuknya usaha-usaha kecil, terutama di sektor informal, sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyaknya unit usaha baru di sektor informal ini pada akhirnya membuat tidak terjadinya penurunan jumlah UKM dan koperasi, bahkan sangat mungkin mengalami peningkatan.
Agar permasalahan usaha kecil dan menengah bisa ditempatkan di dalam kerangka utuh bagi terwujudnya suatu pembaruan ekonomi yang mendasar, maka diperlukan suatu landasan pijak yang kokoh dan kerangka pemikiran komprehensif yang memayunginya. Dengan cara ini, diharapkan ditemukan dan dikenali sumber-sumber permasalahan yang sebenarnya, sehingga cara-cara penyelesaiannya pun lebih terstruktur. Dari kerangka konseptual di bagian muka, menjadi jelas kiranya di mana posisi Usaha Kecil Menengah (UKM) di dalam kancah pembangunan ekonomi. UKM tidak lain adalah sekelompok aktor yang bersama-sama dengan usaha besar menggerakkan roda produksi.
45
Pemberdayaan ekonomi rakyat pada dasarnya merupakan manifestasi dari tuntunan pembangunan ekonomi yang berlandaskan kepada nilai-nilai demokrasi yang universal, yaitu menjadikan manusia sebagai subjek pembangunan dengan ekonomi sebagai titik tolaknya. Potensi yang ada pada rakyat harus mampu dikuakkan, bukannya diperdayakan. Pembangunan bukan untuk menjadikan kota sebagai pusat pertumbuhan dengan sosok modernisasi yang menyilaukan. Bukan pula dengan menghasilkan kutub-kutub pertumbuhan yang bersifat enclave. Pembangunan, oleh karena itu, merupakan ekspansi dari kebebasan. Industrialisasi bukannya untuk menciptakan konglomerasi yang menekan industri kecil dan industri rumah tangga bukan pula dengan menciptakan industri besar dengan pemberian proteksi yang menyengsarakan konsumen, karena dengan ekonomi rakyat kedaulatan konsumen harus ditegakkan. Jadi, secara ringkas bisa dirumuskan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat harus terwujud dalam dua sisi: pertama, perluasan basis aktor-aktor ekonomi dalam proses produksi; dan kedua, penegakkan kedaulatan konsumen. Lagi-lagi, disini tampak betapa dimensi kebebasan menjadi titik sentralnya. Berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut, hal lain yang kiranya juga perlu dibahas adalah penataan kembali hubungan antara buruh dan pengusaha. Dengan menelusuri jenis lapangan usahanya, kita akan mendapatkan gambaran bahwa sebagian besar UKM itu berada di sektor pertanian, atau yang terkait erat dengan sektor pertanian dan di sektor perdagangan eceran kecil. Hampir semua usaha mereka tidak berbadan hukum, tergolong sektor informal, dengan jumlah pekerja di bawah 10 orang. Mereka tentu tidak memiliki akses
46
perbankan, kecuali Bank Rakyat Indonesia (BRI). Hampir dapat dipastikan, tidak satu pun dari mereka berurusan dengan BPPN. Buku ini banyak memberikan pemahaman akan pentingnya sistem ekonomi kerakyatan, apabila dihubungkan dengan masa pemerintahan Orde Baru dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang telah dimulai dari sejak beberapa tahun yang lalu. Buku ini diharapkan akan sangat membantu penulis dalam menganalisis latar belakang permasalahan pada bab empat. Frans Husken,dkk (1997) dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Indonesia Di Bawah Orde Baru”, buku ini membahas tentang perkembangan perekonomian bangsa kita, saat masih dibawah pimpinan orde baru. Keberhasilan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan banyak berkaitan dengan strategi pembangunan yang dilaksanakan serta kebijakan dan program pemerintah untuk mendukung pembangunan rural, khususnya dalam sektor pertanian memberi dasar kuat bagi lapangan pekerjaan dan pendapatan rural.
2.1.1.4 Produksi Tapai Singkong Buku yang berjudul “Teknologi Pengawetan Makanan” yang ditulis oleh Norman W. Desrosier (1988) menjelaskan mengenai dasar-dasar pengawetan pangan dengan proses fermentasi. Fermentasi adalah suatu kegiatan penguraian bahan-bahan karbohidrat. Pada proses fermentasi biasanya tidak menimbulkan bau busuk dan biasanya menghasilkan gas karbondioksida. Suatu fermentasi yang
47
busuk biasanya adalah karena fermentasi tersebut mengalami kontaminasi, fermentasi yang normal adalah perubahan karbohidrat menjadi asam. Dalam proses fermentasi singkong, ragi yang digunakan adalah jenis khamir. Khamir adalah pengubah aldehid menjadi alkohol yang paling efisien. Banyak spesies-spesies bakteri, khamir dan jamur yang mampu menghasilkan alkohol. Khamir, saccharomyces ellipsoideus, merupakan organisme yang penting dalam industri alkohol. Awalnya penulis akan menggunakan buku ini sebagai pengantar untuk memahami bagaimana proses fermentasi dilihat secara teknologi untuk membuat tapai singkong. Akan tetapi setelah dipelajari lebih lanjut buku ini tidak menjelaskan tentang proses fermentasi tapai singkong dengan menggunakan ragi khamir secara mendetail sehingga kurang memberikan kontribusi dalam penyusunan skripsi ini.
2.1.2
Penelitian yang Sudah Ada Sumber lain yang akan penulis gunakan sebagai kelengkapan sumber
adalah laporan hasil penelitian yang disusun oleh Mariko Arata, yang berjudul “Tapai Singkong dan Tapai Ketan di Daerah Jawa Barat. Produksi, Pemasaran, Konsumsi dan Nilai Budayanya” (2007). Sesuai dengan judul penelitiannya, tapai yang dikaji dalam tentative final report ini tidak hanya menjelaskan tentang pembuatan tapai singkong, tapi juga tapai ketan yang berasal dari Kuningan. Penelitian ini merupakan sebagian dari penelitian kerjasama dengan Dr.
48
KANEKO, Masanori yang berjudul “The Change of Food Culture in Indonesia --with a case study of the Fermented Cassava / Rice (Tape/Tapai)”. Penulis menggunakan laporan ini sebagai pengantar dalam melihat bagaimana proses pembuatan tapai singkong, mengetahui jenis tapai dan olahannya yang dipasarkan serta pola pemasarannya yang kebetulan mengambil lokasi penelitian yang sama, yaitu di Kecamatan Cimenyan. Walaupun mengambil sebagian tempat penelitian sama dengan penulis yaitu di daerah Cimenyan, namun hal yang membedakan penelitian penulis dengan Mariko Arata adalah fokus kajiannya, Mariko Arata selain pada proses produksi, pemasaran, konsumsi juga menjelaskan tentang nilai budayanya. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih luas lagi cakupannya yaitu mencakup juga kepada aspek sosial ekonomi dan melihat sejauh mana kontribusi adanya industri rumah tangga ini bagi masyarakat sekitar.
2.1.3
Sumber Internet
2.1.3.1 Industri Rumah Tangga Artikel pertama yang dijadikan sumber referensi dalam membahas mengenai perkembangan industri rumah tangga adalah Dinamika Industri di Indonesia (2008) yang ditulis oleh Pitra Octalia, S.Pd. Pertama-tama dalam artikel ini dibahas tentang pengertian industri yang dikemukakan oleh Idris Abdurachmat sebagai berikut : Definisi industri mengandung pengertian luas dan sempit. Dalam arti luas Industri mencakup pengertian semua kegiatan di bidang ekonomi yang produktif. Sedangkan industri dalam arti sempit meliputi segala usaha dan kegiatan yang sifatnya mengubah
49
dan mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi. (Idris Abdurachmat, 1983:2). Jenis-jenis industri, jumlah, dan macamnya berbeda-beda di setiap daerah atau negara bergantung pada sumber daya yang tersedia. Abdurachmat (1989:5) mengemukakan bahwa di Indonesia, macam-macam usaha dibagi ke dalam empat golongan, yaitu: a. Berdasarkan luas dan kompleksitas kegiatan pengorganisasiannya: Industri besar (big industrie), dan Industri kecil (small scale industrie). b. Berdasarkan jumlah dan besarnya kebutuhan bahan mentah, sifat produksi dan penggunaan mesin-mesin: Industri berat, Industri ringan. c. Berdasarkan sifat bahan mentah dan sifat produksi, industri terbagi atas: Industri primer, Industri sekunder. d. Berdasarkan tempat kegiatan dan proses pengolahan serta penggunaan alat, antara lain industri rumah, industri yang menggunakan tangan dan industri yang menggunakan mesin. Industri juga dibagi ke dalam beberapa jenis : a. Industri Ekstraktif Yaitu industri yang bahannya langsung diambil dari alam, seperti industri pertambangan dan pertanian. b. Industri nonekstraktif Yaitu industri yang bahan bakunya berasal dari hasil-hasil pengolahan dari industri yang lain.
50
c. Industri fasilitatif Yaitu industri yang bergerak di bidang jasa, seperti industri perdagangan, perbankan, transportasi, dan komunikasi. Klasifikasi industri berdasarkan tenaga kerja menurut BPS (Jakarta: 1994) terdiri dari: a. Industri besar, yakni industri dengan jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih. b. Industri sedang, yakni industri dengan jumlah tenaga kerja 20 – 99 orang atau lebih. c. Industri kecil, yakni industri dengan jumlah tenaga kerja 5 – 19 orang. d. Industri rumah tangga, yakni industri dengan jumlah tenaga kerja 1 – 4 orang. Artikel ini juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan industri. Karena berdirinya suatu industri di suatu tempat tidak terlepas dari faktor-faktor ekonomi,
historis,
manusia,
politis,
dan
geografis.
untuk
meningkatkan usaha dan kegiatan industri diperlukan beberapa faktor. Ada empat faktor yang mempengaruhi usaha dan kegiatan industri, yaitu: a. Faktor Sumber Daya Alam: bahan mentah, sumber energi, penyediaan air, iklim dan bentuk lahan. b. Faktor Sumber Daya Manusia: penyediaan tenaga kerja, keterampilan dan kemampuan teknologi, kemampuan berorganisasi. c. Faktor ekonomi: pemasaran, transportasi, modal, nilai dan harga tanah. d. Faktor kebijaksanaan pemerintah.
51
Kekurangan artikel ini adalah tidak dijelaskan secara mendalam tentang seluk-beluk industri rumah tangga itu sendiri, apa perbedaan dan persamaan dari tiap-tiap jenis industri yang dikemukakan di atas. Walaupun banyak materi yang dikemukakan adalah untuk jenis industri secara umum, tetapi hal itu sangat membantu penulis dalam memahami bahwa industri merupakan salah satu bentuk kegiatan manusia yang paling penting. Artikel yang dijadikan sebagai sumber referensi kedua adalah artikel yang ditulis oleh Suzan Dwi Selawati yang berjudul Home Industri dan Koperasi; Mutualisme Dua Kegiatan Ekonomi Sebagai Langkah Awal untuk Mengentaskan Kemiskinan (2007). Pada pemaparan pertama artikel ini membahas mengenai pengertian home industri yaitu, home berarti rumah, tempat tinggal, ataupun kampung halaman. Sedangkan industri (berdasarkan Kamus Ilmiah Populer yang diterbitkan oleh ARKOLA Surabaya) dapat diartikan sebagai kerajinan, usaha produk barang dan perusahaan. Jadi Home Industry adalah rumah usaha produk barang atau juga perusahaan kecil. Home Industry dapat dikatakan sebagai perusahaan kecil karena jenis kegiatan ekonomi ini dipusatkan di rumah. Pengertian usaha kecil secara jelas tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995, yang menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp.200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Kriteria lainnya dalam UU No. 9 Tahun 1995 adalah: milik WNI, berdiri sendiri, berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan usaha
52
menengah atau besar dan berbentuk badan usaha perorangan, baik berbadan hukum maupun tidak. Dalam artikel ini juga dibahas mengenai pelaku industri rumah tangga yaitu keluarga sendiri ataupun salah satu dari anggota keluarga yang mengajak beberapa orang sebagai karyawan yang berdomisili tidak jauh dari rumah produksi tersebut untuk melakukan kegiatan ekonomi yang berbasis di rumah. Industri rumah tangga juga pada umumnya merupakan usaha keluarga yang turun menurun dengan skala yang tidak terlalu besar, namun kegiatan ekonomi ini secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan untuk sanak saudara ataupun tetangga di kampung halamannya. Artikel ini memberikan kontribusi dalam penulisan peneliti dalam melihat sudut pandang mengenai keberadaan industri rumah tangga yang dianggap kecil dan tidak berguna ternyata mampu memberikan perubahan yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat sekitar. Namun isi dari artikel ini kurang membahas secara mendalam mengenai seberapa besar pencapaian kesuksesan yang dapat diraih oleh masyarakat yang berkecimpung di bidang industri rumah tangga ini. Artikel ketiga berjudul Manajemen Produksi dan Industri Kecil yang ditulis oleh Sofa dalam blog wordpressnya. Beliau menyatakan bahwa Manajemen merupakan ilmu dan seni yang mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan non manusia dalam rangka mencapai tujuan tertentu. llmu teknik manajemen didasari oleh konsep bahan tugas manager (orang yang melaksanakan manajemen) yaitu untuk merancang dan mendukung pelaksanaan pekerjaan individu pada saat kelompok, dalam rangka mencapai tujuan yang telah
53
ditetapkan sebelumnya. Manajemen semakin dibutuhkan setelah adanya pemisahan antara Rumah Tangga Kunsumen (RTK) dan Rumah Tangga Produsen (RTP), dalam hal ini adalah dua pihak yang paling membutuhkan, di mana konsumen dapat memenuhi kebutuhannya dengan berbagai jenis barang yang disediakan produsen, dan produsen dapat menjual barang-barangnya yang betulbetul dibutuhkan konsumen sesuai dengan selera, mode dan daya belinya. Manajemen produksi merupakan proses manajemen yang diterapkan dalam bidang produksi. Proses manajemen produksi adalah penggabungan seluruh aspek yang terdiri dari produk, pabrik, proses, program dan manusia. Fungsi manajemen yang paling mendasar yaitu adanya perencanaan, pengorganisasian, penempatan Sumber Daya Manusia (Staffing), pemberian motivasi dan fungsi yang terakhir adalah kegiatan pengawasan yang mutlak harus dilakukan oleh setiap organisasi atau perusahaan. Artikel ini banyak memberikan kontribusi bagi penulis dalam memahami sistem produksi, perencanaan produksi, sistem pemasaran dan pengembangan usaha. Sistem produksi dalam artikel ini diartikan sebagai sekumpulan sub-sistem yang terdiri dari pengambilan keputusan, kegiatan, pembatasan, pengendalian dan rencana yang memungkinkan berlangsungnya perubahan input menjadi output melalui proses produksi. Kekurangan artikel ini adalah tidak membahas tentang manajemen industri rumah tangga tetapi lebih ke industri kecil. 2.1.3.2 Kewiraswastaan
Artikel yang berjudul Kewiraswastaan Memotivasi Perubahan Berpikir (2007) ini ditulis oleh seseorang yang menggunakan nama pena Suaraatr1938.
54
Penulis artikel ini berusaha menyamakan persepsi tentang konsep kewirausahaan yang salah satunya dia ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya”. Dalam teori ilmu ekonomi, wirausahawan ialah seseorang yang berusaha, mengambil inisiatif atau memulai dengan, dan mengusahakan suatu perusahaan. Menurut kebiasaan, istilah ini berarti seseorang yang mengusahakan suatu perusahaan dagang berukuran kecil, seperti seorang petani atau pedagang eceran, seorang pemilik perusahaan. Orang-orang yang bertanggung jawab karena mengambil inisiatif untuk memperkembangkan atau menjalankan dan mengendalikan suatu organisasi perdagangan. Mereka itu menanggung resiko dan ketidaktentuan. Jika berhasil mereka mendapatkan keuntungan; jika tidak berhasil mereka memikul kerugian.
Bertitik tolak dari pemahaman yang diungkapkan diatas, maka seorang Wiraswastawan (entrepreneur) itu dapat kita rumuskan kedalam kreteria sebagai berikut :
1. Memiliki visi memaksimumkan peluang-peluang masa depan. 2. Memiliki komitmen, kolaborasi dan komunikasi. 3. Memiliki kesiapan menghadapi tantangan dan resiko yang dihadapi. 4. Memiliki kemampuan menuangkan kedalam rencana jangka pendek, menengah dan panjang. 5. Memiliki keinginan untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan. 6. Memiliki keinginan untuk mengembangkan para kader bukan pekerja semata.
55
7. Memiliki kemampuan kreativitas individu dan kelompok. 8. Memiliki kemampuan kreatip menjadi inovatif. 9. Memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi informasi. 10. Memiliki kemampuan berpikir antisipatif. Berdasarkan kriteria tersebut diatas, maka yang dimaksudkan dengan Kewiraswastaan adalah seseorang yang mampu mengaktualisasikan visi merebut peluang masa depan secara profesional (kolaborasi, komitmen, komunikasi) berdasarkan kreatif menjadi inovatif organisasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dengan berpikir antisipatif. Artikel ini cukup memberikan kontribusi kepada penulis dalam memahami konsep kewirausahaan serta mengetahui kriteria seorang wiraswasta.
2.1.3.3 Ekonomi Kerakyatan Artikel yang diambil dari sumber internet tentang ekonomi kerakyatan berjudul Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Suatu Kajian Konseptual (2002). Artikel ini ditulis oleh Fredrik Benu, dia mengatakan bahwa untuk memahami makna kata ‘rakyat’ secara utuh, kita harus sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus.
56
Dainy Tara (2001) dalam artikel ini membuat perbedaan yang tegas antara “ekonomi rakyat” dengan “ekonomi kerakyatan”. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, manajemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia. Kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah.
Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil-menengah dan
bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional. Nampaknya kita semua berada pada pilihan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih raguragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting
57
menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman. Sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan
pada
keberpihakan
yang
berlebihan
pada
pengusaha
besar
(konglomerat) dalam bentuk insentif maupun rezim proteksi yang ekstrim. Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih ditujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecilmenengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi
58
Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Fedrik Benu kembali menegaskan bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policy-nya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecilmenengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat. Permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan
informasi,
keterbatasan
akses
pasar,
keterbatasan
organisasi
dan
pengelolaannya (Asy’arie, 2001). Artikel ini sangat membantu penulis dalam memahami konsep ekonomi kerakyatan dan konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi
59
saat ini tidak harus diterjemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif “regionalisasi” di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
2.2
Landasan Teoritis
2.2.1 Perubahan Sosial Setiap masyarakat dalam hidupnya pasti mengalami perubahan. Karena perubahan merupakan sesuatu yang amat melekat dalam diri manusia, baik itu secara individu, kelompok, masyarakat maupun sistem yang ada dalam keseharian manusia. Perubahan-perubahan hanya akan dapat ditemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat tersebut pada waktu lampau. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress) namun dapat pula berarti kemunduran dari bidang-bidang tertentu.
Hakikat manusia yang selalu dinamis membawa
manusia kepada sesuatu yang baru dalam kehidupannya, sehingga akan berimplikasi kepada adanya suatu perubahan ataupun pergantian dalam unsurunsur tersebut.
2.2.1.1 Pengertian Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas. Ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “peranan”. Unsur “ajar”
adalah suatu alat penting dalam
perubahan sosial, karena mendidik umumnya diartikan sebagai merubah sikap,
60
nilai dan norma seseorang atau satu kelompok. Cara yang paling sederhana untuk mengerti perubahan sosial dan kebudayaan ialah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebelumnya (Davis dalam Sajogyo, 1985:120). Perubahan sosial menurut Selo Sumardjan adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai sikap-sikap pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, yang kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya (Soekanto, 2006:263). Soerjono Soekanto dengan merujuk pada Ogburn dalam memberikan arti perubahan sosial adalah memberikan tekanan akan pentingnya pembangunan pada gejala-gejala sosial yang dihubungkan dengan suatu proses yaitu pertumbuhan dan perkembangan teknologi, pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam mengendalikan alam (Saripudin, 2005: 132). Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahanperubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya
pengorganisasian
buruh
dalam
masyarakat
kapitalis
telah
menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi dan politik (Soekanto, 2006:262).
61
William F. Ogburn mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial (Saripudin, 2005: 132). Dari beberapa pendapat ahli ilmu sosial yang dikutip, dapat disinkronkan pendapat mereka tentang perubahan sosial, yaitu suatu proses perubahan, modifikasi, atau penyesuaian-penyesuaian yang terjadi dalam pola hidup masyarakat, yang mencakup nilai-nilai budaya, pola perilaku kelompok masyarakat, hubungan-hubungan sosial ekonomi, serta kelembagaan-kelembagaan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan material maupun nonmaterial. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan pada umumnya bisa disebabkan oleh: faktor dari dalam masyarakat itu sendiri, antara lain faktor bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan dalam masyarakat, revolusi dalam masyarakat. Adapula sebab-sebab perubahan sosial yang datang dari luar yaitu pengaruh dari masyarakat lain atau dari alam sekitarnya, antara lain dari gempa bumi, banjir, taufan, peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Dalam hal ini perubahan sosial dari suatu masyarakat terjadi karena kebudayaan masyarakat lain melancarkan pengaruhnya (Sajogyo, 1985: 121). Menurut Schoorl yang dikutip Jefta Leibo dalam Saripudin (2005:133134), ada empat kategori orang atau kelompok yang terbuka untuk suatu perubahan, yaitu: 1. Mereka yang tidak menyetujui keadaan yaitu mereka yang selalu menolak untuk mengikuti kebiasaan tertentu walaupun itu mungkin dalam hati saja. Ini disebabkan karena pendidikan atau keyakinan-keyakinan tertentu. 2. Mereka yang acuh tak acuh
62
adalah mereka yang tidak atau belum mengikuti kebiasaan tertentu atau tidak merasa terikat olehnya. Misalnya kaum muda yang belum sepenuhnya terlibat dalam kebiasaan-kebiasaan baru sebagai hasil dari perubahan (sifat masa bodoh). Atau orang-orang yang tidak langsung terlibat di dalam kebiasaan tertentu karena mereka tidak termasuk sub kultur di mana kebiasaan itu berlaku. 3. Mereka yang tidak puas Mereka ini mula-mula mengikuti kebiasaan tertentu, tapi kemudian menjadi terasing mungkin karena berkenalan dengan alternatif lain. Di lingkungan penduduk desa, mereka itu terdapat diantara orangorang yang telah beberapa lama hidup di kota. Jadi telah berkenalan dengan cara hidup lain. 4. Mereka yang mengandung rasa dendam. Mereka ini sebenarnya setuju dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan yang ada, akan tetapi mereka tidak puas dengan kedudukan mereka di dalamnya. 2.2.1.2 Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Dilihat dari segi bentuk-bentuk kejadiannya, maka perubahan sosial dapat dibahas dalam tiga dimensi atau bentuk, yaitu: Perubahan sosial menurut kecepatan prosesnya, ada yang berlangsung lambat (evolusi) dan ada yang cepat (revolusi). Perubahan sosial menurut skala atau besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan, ada yang pengaruhnya luas dan dalam, serta ada yang pengaruhnya relatif kecil terhadap kehidupan masyarakat. Yang ketiga, adalah perubahan sosial menurut proses terjadinya, ada yang direncanakan (planned) atau dikehendaki, serta ada yang tidak direncanakan (unplanned).
63
Menurut kecepatan prosesnya, perubahan sosial dapat terjadi setelah melalui proses perkembangan masyarakat yang panjang dan lama, atau disebut juga dengan proses evolusi. Tetapi ada juga perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat yang disebut revolusi. Adapun menurut skala pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, ada perubahan sosial yang terjadi dan sekaligus memberikan pengaruh yang luas dan dalam terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Namun sebaliknya ada pula perubahan sosial yang berskala kecil dalam arti pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas. Sementara itu menurut proses terjadinya, ada perubahan sosial yang memang dari semula direncanakan atau dikehendaki. Misalnya dalam bentuk program-program pembangunan sosial. Namun ada pula yang tidak dikehendaki terjadinya atau tidak direncanakan.
2.2.1.3 Teori Perubahan Sosial Dalam kelompok teori-teori perubahan sosial klasik terdapat beberapa tokoh-tokoh sosiolog terkenal yakni August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Herbert Spencer, Oswald Spengler, Wilfred Pareto, dan Ferdinand Tonnies. Pemikiran para sosiolog ini saling mempengaruhi satu sama lain, walaupun terdapat pertentangan pendapat diantara mereka sendiri. Teori yang digunakan peneliti adalah teori perubahan sosial menurut Emile Durkheim, ia menekankan bahwa unsur lingkungan dan keturunan sebagai pengikat sosial sehingga terbentuklah masyarakat dengan solidaritas mekanik dan solidaritas organisatorik. Dengan makin majunya komunikasi dan transportasi bentuk ikatan solidarits organik atau ikatan organisatorik makin meningkat.
64
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbedabeda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para pengrajin tapai singkong hidup dalam masyarakat yang terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dan lain-lain) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
65
Perubahan sosial yang terjadi pada pengrajin tapai singkong dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya dalam sistem kerja, gaya hidup, urbanisasi dan lain-lain. Perubahan dalam sistem kerja terlihat sangat jelas. Jika sebelumnya masyarakat bekerja pada sektor pertanian, waktu kerja dan pendapatan sangat ditentukan oleh musim dan panen. Berbeda halnya dengan sektor perindustrian, pendapatan sangat ditentukan oleh hasil pekerjaan mereka bisa memperoleh penghasilan setiap waktu sesuai dengan hasil kerja yang telah dilakukan. Hal tersebut menimbulkan perubahan gaya hidup mereka yang lebih konsumtif. Perubahan lain yang terjadi oleh munculnya golongan baru seperti pengusaha, pekerja dan masyarakat yang mencari pekerjaan lain selain pengrajin tapai singkong dalam kegiatan usaha sehingga menimbulkan stratifikasi sosial yang baru. Salah satu komponen penting dalam perubahan sosial oleh keberadaan perindustrian, khususnya IKM yang peranannya cukup besar dalam peningkatan perekonomian masyarakat yang ada disekitarnya. Upaya untuk meningkatkan kehidupan ekonomi Seseorang menurut David McClelland harus memiliki dorongan (impulse) yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan modernisasi perekonomian seseorang pengrajin akan meningkat apabila memiliki sikap mental yang mau berfikir maju. David McClelland mengemukakan teori n’Ach, yakni kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi. Dalam memenuhi kebutuhan hidup seorang pengrajin tidak hanya menggantungkan dari upah yang diterima saja, mereka juga harus melakukan inovasi-inovasi seperti mencari pengetahuan baru atau memiliki pekerjaan tambahan.
66
2.2.2 Teori Motif Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin “MOVERE” yang berarti “DORONGAN” atau daya penggerak. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut. Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan mendefinisikan motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. (Hasibuan, 2003:95). Teori motif berprestasi “n Ach” yang dilontarkan oleh McClelland menyatakan bahwa penyebab suatu bangsa tidak maju adalah karena tidak memiliki “n Ach”, need for Achievement. N Ach ini diibaratkan dengan virus mental yang apabila terjadi pada diri seseorang cenderung akan menyebabkan orang itu bertingkah laku secara giat. McClelland sebagaimana dijelaskan Stoner (1994: 14-15) melihat adanya korelasi positif antara perilaku orang yang memiliki motif prestasi tinggi dengan semangat kerja yang tinggi. Motif yang kuat untuk berprestasi berhubungan dengan sejauh mana individu dimotivasi untuk menjalankan tugas-tugasnya. Mereka yang mempunyai motif berprestasi (n Ach) yang tinggi cenderung sangat dimotivasi oleh situasi kerja yang bersaing dan penuh tantangan. Kemajuan ekonomi suatu bangsa oleh McClelland dapat dijelaskan dengan tinggi rendahnya motif berprestasi pada bangsa tersebut.
67
Perkembangan ekonomi masyarakat yang memiliki motif prestasi tinggi akan lebih pesat daripada perkembangan masyarakat dengan motif prestasi rendah. Teori motivasi prestasi yang dikemukakan McClelland jika dihubungkan dengan etos kerja seorang karyawan diperusahaan, menyatakan bahwa karyawan mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi ini dilepaskan dan digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang tersedia. Energi ini akan dimanfaatkan oleh karyawan karena didorong oleh: a. Kekuatan motif dan kebutuhan dasar yang terlibat b. Harapan keberhasilannya c. Nilai insentif yang terlekat pada tujuan. David McClelland (1961:205) mengemukakan ciri perilaku kewirausahaan yaitu keterampilan mengambil keputusan dan mengambil resiko yang moderat, dan bukan atas kebetulan belaka, energik, khusus dalam berbagai kegiatan inovatif, mengetahui hasil-hasil dari berbagai keputusan yang diambilnya, dengan tolak ukur satuan uang sebagai indikator keberhasilan dan memiliki kemampuan berorganisasi, meliputi kemampuan, kepemimpinan, dan manajerial. Para ahli mengatakan bahwa seorang yang memiliki minat wirausaha karena adanya motif tertentu, yaitu motif berprestasi (achievment motif). Motif berprestasi ialah suatu nilai sosial yang menekankan pada hasrat untuk mencapai yang terbaik guna mencapai kepuasan secara pribadi (Gede Angan Suhandana, 1980:05). Teori motivasi sebenarnya pertama kali dikemukakan oleh Masslow (1934). Ia mengemukakan hierarki kebutuhan yang berdasarkan motivasi.
68
Menurutnya, kebutuhan itu bertingkat sesuai dengan tingkat pemuasannya, yaitu kebutuhan fisik (physiological needs), kebutuhan akan keamanan (security needs), kebutuhan sosial (social needs), kebutuhan harga diri (esteem needs), dan kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualisation needs). David McClelland (1971) mengelompokkan kebutuhan (needs) menjadi tiga, yang dapat memotivasi gairah bekerja yakni: 1) Need for achievment (n’Ach): the drive to excel, to achieve ini relation to a set of standard, to strive to succed. 2) Need for power (n’Pow): the need to make other behave in a way that they would not have behaved otherwise. 3) Need for aviliation (n’Aff): the desire for friendly and close interpersonal relationship. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa kebutuhan berprestasi wirausaha (n’Ach) terlihat dalam bentuk tindakan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dan efisien dibanding sebelumnya. Wirausaha yang memiliki motif berprestasi pada umumnya mempunyai ciri ingin mengatasi sendiri kesulitankesulitan, persoalan-persoalan yang timbul pada dirinya, selalu memerlukan umpan balik, berani menghadapi resiko dengan penuh perhitungan, menyukai tantangan dan melihat tantangan secara seimbang (fifty-fifty). Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Karena itu n’Ach ini akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang optimal. Karyawan akan antusias untuk berprestasi tinggi asalkan kemungkinan untuk hal itu diberikan kesempatan. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja
69
yang tinggi akan dapat memperoleh pendapatan yang besar. Dengan pendapatan yang besar akhirnya ia dapat memiliki serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu kunci penting kewirausahaan yang ditunjukkan oleh pengrajin tapai singkong untuk menghadapi perubahan dan mengatasi berbagai masalah, baik dari permodalan, persaingan produk atau pun perluasan pemasaran. Untuk itu diperlukan penerapan kreativitas, motivasi dan inovasi dalam memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari, para pengrajin ini mempunyai keyakinan pada diri mereka sendiri meskipun timbul berbagai masalah dan persaingan baru, mereka masih tetap bertahan dan mengembangkan usahanya. Terkait dengan hal itu, kewirausahaan pengrajin di sentra industri rumah tangga tapai singkong Cimenyan dalam mengembangkan usahanya memiliki semangat dan motivasi yang tinggi untuk mempertahankan dan mengembangkan industri dengan cara meningkatkan etos kerjanya. Manfaat dari wirausaha yang ditunjukan oleh pengrajin tapai singkong Cimenyan antara lain menambah daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat menanggulangi masalah pengangguran serta sebagai penggerak pembangunan dibidang produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan dan kesejahteraan serta bisa menjadi contoh bagi masyarakat lainnya. Terdapat sikap mental wirausaha yang tinggi pada diri pengrajin dalam mengembangkan industri tapai singkong ini, yakni ketekunan dan keuletan dalam bekerja yang disebabkan karena selain sebagai mata pencaharian utama, industri ini juga merupakan tradisi turun temurun yang tetap dipertahankan oleh generasi selanjutnya.