9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bekatul Butir padi terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang dapat dimakan berupa butir beras atau beras pecah kulit dan bagian kulit yang disebut sekam. Beras pecah kulit terdiri atas bran (dedak dan bekatul), endosperm, dan embrio (lembaga). Endosperm terdiri dari kulit ari (aleuron) yang akan mengalami proses penyosohan menghasilkan beras sosoh, dedak, dan bekatul (Juliano, 1993). Peggilingan gabah kering akan menghasilkan sekam 15-20%, bekatul 8-12%, lembaga 2%, dan beras sosoh 70% (Orthoefer 2001 dan Widowati, 2001) dengan komponen penyusunnya seperti pada Gambar 2.1. Rendemen bekatul dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain derajat penyosohan, derajat masak padi atau gabah, kadar air gabah, jenis alat penyosoh dan lubang alat pemisah. (Widowati, 2001). Pada proses penggilingan, dedak merupakan hasil penyosohan pertama (ukuran relatif kasar dan kadang-kadang masih tercampur dengan potongan sekam), umumnya digunakan sebagai pakan. Bekatul merupakan hasil penyosohan kedua (ukuran lebih halus), yang selama ini lebih banyak digunakan sebagai pakan ternak, karena belum banyak yang mengetahui bahwa bekatul ternyata mengandung komponen bioaktif pangan yang bermanfaat bagi kesehatan. Komposisi kimia bekatul dipengaruhi oleh varietas padi, lingkungan tanam padi, dan cara penggilingan gabah (Luh, 1991 dan Krishnarao et al., 1991). Kandungan karbohidrat bekatul cukup tinggi, yang berasal dari endosperma beras, bekatul mengandung protein antara 12-15% dengan komponen penyusun utama terdiri dari lisin
1 9
10
dan asam amino esensial. Komposisi asam amino esensial bekatul sedikit lebih baik dibandingkan dengan beras giling. Komposisi kimia bekatul disajikan pada Tabel 2.1.
Gambar 2.1. Skema Morfologi Gabah Kering (Sumber : Orthoefer, 2001) Tabel 2.1 Komposisi Kimia Bekatul pada Kadar Air 14% Komponen
Jumlah
Protein (%)
12,0 – 15,6
Lemak (%)
15,0 – 19,7
Serat Kasar (%)
7,0 – 11,4
Karbohidrat (%)
34,1 – 52,3
Abu (%)
6,6 – 9,9
Kalsium (mg/g)
0,3 – 1,2
Magnesium (mg/g)
5,0 – 13,0
Fosfor (mg/g)
11,0 – 25,0
Silika (mg/g)
5,0 – 11,0
Seng (µg/g)
43,0 – 258,0
Thiamin (µg/g)
12,0 – 24,0
Riboflavin/B2 (µg/g)
1,8 – 4,0
Tokoferol/E (µg/g)
149 - 154
Sumber : Luh (1991) Bekatul juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber) yang sangat baik, yang berfungsi
untuk memperlancar saluran pencernaan dan berperan terhadap 1 10
11
penurunan kadar kolesterol darah. (Setyowati et al., 2008). Kandungan lemak bekatul
lebih tinggi dari protein. Mutu minyak atau lemak bekatul dikenal sebagai salah satu minyak makan yang terbaik di antara minyak yang ada. Bekatul kaya akan vitamin B kompleks dan vitamin E. Vitamin B kompleks sangat dibutuhkan sebagai komponen pembangun tubuh, sedangkan vitamin E merupakan antioksidan yang sangat kuat (Ciptadi dan Nasution, 1979). Fungsi lain vitamin E adalah dapat mencegah
penyakit diabetes militus (DM), jantung koroner, memperlambat penuaan (Setyowati et al., 2008). Bekatul merupakan sumber pangan yang sangat baik bagi penderita alergi terhadap protein hewani (Wang et al., 1999). 2.2. Labu Kuning Labu kuning termasuk jenis tanaman sayuran berumah satu dari famili Cucurbitaceae dan tergolong jenis tanaman semusim. Labu kuning dapat tumbuh di dataran rendah maupun tinggi, dengan ketinggian antara 0-1500 m dpl (diatas permukaan laut). Labu tumbuh merambat atau menjalar dengan kait pada batangnya yang berbentuk melingkar seperti spiral. Batang tumbuhan ini berwarna hijau muda dan berbulu halus serta berakar lekat. Tanaman labu kuning dapat menghasilkan buah labu kuning sekitar 10 buah/pohon dengan berat ± 4 kg/buah dan dapat dipanen pada umur 3-4 bulan. Buah labu kuning memiliki bentuk bulat sampai lonjong dan berwarna kuning kemerahan. Buah labu kuning terdiri dari lapisan kulit luar yang keras dan lapisan daging buah. Labu terdiri dari 81% daging buah, 12,55% kulit, 6,45% biji dan jaring-jaring biji. Pada bagian tengah labu terdapat biji yang diselimuti lendir dan serat. Biji tersebut berbentuk pipih dan meruncing pada kedua ujungnya (Hendrasty, 2003). Mutu dan daya awet labu selama penyimpanan ditentukan oleh tingkat kematangannya pada waktu pemetikan. Tingkat kematangan yang tepat dapat 1 11
12
mengurangi kerusakan dan memperpanjang umur simpan. Labu yang sudah matang, utuh, dan tanpa luka memiliki umur simpan sampai satu tahun pada penyimpanan alami. Penyimpanan labu setelah dipetik sebaiknya dilakukan pada suhu 24-29oC selama dua minggu. Pada kondisi ini kulit labu akan menjadi lebih keras, selanjutnya kondisi penyimpanan dilakukan pada suhu 10-13oC dengan kelembaban 70-75% (Budiman, 1984). Tabel 2.2 Komposisi dan Kandungan Gizi Labu Kuning (per 100 g) Komposisi
Kandungan
Air (g)
86,8
Energi (kkal)
51
Protein (g)
1,7
Lemak (g)
0,5
Karbohidrat (g)
10
Serat (g)
2,7
Kalsium (mg)
40
Pospor (mg)
180
Natrium (mg)
280
Kalium (mg)
220
β-karoten (µg)
1569
Vitamin C (mg) Sumber : Puslitbang Gizi, Depkes RI (2001)
2
Buah labu kuning memiliki warna kuning disebabkan karena terdapatnya kandungan karotenoid, yang merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye serta larut dalam lipida. Karotenoid yang banyak terdapat dalam bahan makanan adalah β-karoten yang terdapat dalam buah yang berwarna kuning (Winarno, 1997). Menurut Depkes (2001), labu kuning mengandung 1569 µg/100 g β-karoten, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber alternatif vitamin A. Hasil 1 12
13
penelitian yang telah dilakukan oleh Ginting (2004), mengatakan labu kuning (Cucurbita pepo) mengandung β-karoten sebesar 17,5 µg/g. Konsumsi satu gram labu kuning dapat mensuplai 17,5 µg β-karoten. Dengan demikian labu kuning menjadi salah satu bahan pangan alternatif atau complement untuk menambah jumlah β-karoten harian yang dibutuhkan tubuh. Komposisi kimia daging buah labu kuning dapat dilihat pada Tabel 2.2. 2.3. Keripik Simulasi Keripik adalah penganan yang dibuat dari kentang, ubi kayu, dan bahan-bahan lain yang diiris tipis dan kemudian digoreng dengan menenggelamkan seluruh bahan ke dalam minyak panas (deep fat frying), sedangkan keripik simulasi adalah keripik yang dibuat dengan mencampur semua bahan dalam bentuk adonan. Pebedaan keripik dengan keripik simulasi adalah pada proses pengolahan. Pengolahan keripik simulasi dengan cara membentuk adonan, yang dibuat dalam bentuk lembaran tipis, kemudian dicetak, dikeringkan dan digoreng. Keripik simulasi pertama kali dibuat dari bahan kentang yang diproduksi oleh Liepa pada tahun 1976. Bahan baku yang umum digunakan dalam pengolahan keripik simulasi terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yang digunakan untuk membuat keripik adalah bahan pangan yang mengandung karbohidrat, terutama kandungan patinya. Pati mempunyai fungsi yang cukup penting sebagai pembentuk tekstur keripik, di mana pembentukan tekstur dilakukan karena adanya gel pati (Matz, 1984). Bahan tambahan adalah bahan-bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan utama dalam proses produksi. Bahan tambahan yang digunakan dapat berupa bahan-bahan yang mengandung protein, lemak, pembangkit citarasa, air, dan bahan-bahan pengembang (Rahmanto, 1994). 1 13
14
Ciri utama keripik adalah memiliki tekstur renyah, artinya jika digigit produk mudah patah. Syarat mutu keripik adalah memiliki bau dan warna normal, rasa khas, tekstur renyah, kadar air maksimal 6%, asam lemak bebas (dihitung sebagai asam laurat) maksimal 0,7% dan kadar abu maksimal 2,5% (BSN, 1996). Produk keripik yang renyah dapat dihasilkan dengan memperhatikan tahap pengolahan dan proses penggorengan. Liepa (1976), mengatakan adonan yang baik memiliki kadar lemak kurang dari 6%, dimana dengan kadar lemak yang rendah akan menghasilkan tekstur keripik yang lembut. Penambahan lemak pada adonan keripik akan mempengaruhi kerenyahan produk akhir. Suhu adonan yang baik sebelum dibuat lembaran adalah 26,7-36,7oC dan untuk mendapatkan lembaran keripik yang tipis adonan harus memiliki kadar air 35-45%. Proses penggorengan yang baik adalah pada suhu 135-204oC selama 5-25 detik. 2.4. Proses Pengolahan 2.4.1. Pengeringan Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan untuk mendapatkan produk pangan yang stabil sehingga bahan pangan tidak mudah rusak. Pengeringan adalah metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air bahan pangan. Produk pangan kering akan memiliki masa simpan panjang, hal ini disebabkan karena berkurangnya aktivitas mikroorganisme dan enzim didalam bahan pangan (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan pengeringan alami dan buatan. Pengeringan alami adalah pengeringan dengan menggunakan sinar matahari, yang merupakan metode pengawetan pangan yang paling umum. Terdapat beberapa kendala pengeringan matahari, yaitu bahan pangan yang dikeringkan memiliki kepekatan tinggi, kualitas bahan yang dihasilkan rendah, dan terjadi kontaminasi yang 1 14
15
berasal dari debu, insekta, dan burung (Buckle et al., 1987). Pengeringan buatan adalah metode pengeringan bahan pangan dengan menggunakan peralatan pengering dan sumber energi dapat dari listrik, gas atau kayu bakar. Pengeringan buatan menghasilkan bahan pangan kering dengan kualitas dan warna yang lebih baik dibandingkan dengan pengeringan alami (Desrosier, 1988). Salah satu metode pengeringan yang sudah banyak digunakan pada pengeringan bahan pangan adalah pengeringan metode oven. Pengeringan metode oven dapat digunakan sebagai pengering, bila dikombinasikan pada pemanas dengan humidity rendah dan sirkulasi udara yang cukup. Kecepatan pengeringan tergantung dari tebal bahan yang dikeringkan. Kelebihan dari pengeringan oven adalah suhu pengeringan dapat dipertahankan dan diatur sesuai kebutuhan. Metode pengeringan bahan pangan yang saat ini banyak digunakan adalah pengeringan menggunakan OM. Pengeringan OM menggunakan bantuan gelombang mikro untuk memasak makanan. Microwave bekerja dengan melewatkan radiasi gelombang mikro pada molekul air, lemak, dan gula yang terdapat pada bahan pangan. Keuntungan dari pengeringan menggunakan microwave adalah konversi energi microwave ke energi panas lebih efisien dan penetrasi gelombang elektromagnetnya ke dalam makanan lebih mudah. Keuntungan lain adalah waktu proses lebih singkat, tidak ada kemungkinan tumbuh bakteri, dan lebih fleksibel dalam produksi bahan pangan (George et al., 1993). 2.4.2. Penggorengan Menggoreng adalah proses memasak bahan pangan menggunakan lemak atau minyak. Penggorengan merupakan salah satu metode memasak konvensional untuk menghasilkan produk kering dengan menggunakan minyak goreng sebagai penghantar 1 15
16
panas, penambah cita rasa gurih dan penambah nilai kalori bahan pangan (Ketaren, 1986). Metode penggorengan menggunakan minyak panas (deep fat frying) sering digunakan pada pengolahan pangan di rumah tangga. Pada penggorengan sistem ini, seluruh bahan pangan terendam kedalam minyak panas pada suhu 163-196oC, yaitu pada suhu didih minyak. Penggunaan suhu tinggi akan berpengaruh terhadap warna produk (mengalami reaksi pencokelatan) dan dapat menyebabkan kehilangan sebagian besar vitamin yang terdapat pada bahan. Perbaikan teknologi penggorengan konvensional untuk menekan kerusakan bahan pangan, dapat dilakukan dengan metode penggorengan vakum (Widaningrum et al., 2008). Penggorengan vakum adalah metoda pengurangan kadar air produk dengan tetap mempertahankan kandungan nutrisi produk. Pada operasi penggorengan vakum, bahan pangan mentah dipanaskan dibawah kondisi tekanan yang diturunkan. Pada tekanan 66 cmHg vakum, minyak sudah mendidih pada suhu 82-85oC (Shyu et al.,1998). Metode penggorengan vakum memungkinkan untuk mengolah buah atau komoditi peka panas seperti buah dan sayuran menjadi hasil olahan keripik (chips) seperti keripik nangka, keripik apel, keripik salak, keripik pisang, keripik nenas, keripik melon, keripik pepaya, keripik wortel, keripik buncis, keripik labu siem, keripik lobak, dan keripik jamur kancing. 2.5. Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan. Hal ini dapat dilihat dari sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Radikal bebas terbentuk ketika komponen makanan diubah menjadi energi melalui proses metabolisme. Radikal bebas terbentuk 1 16
17
melalui 2 cara, yaitu 1) secara endogen yaitu merupakan respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel dan 2) secara eksogen yaitu dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit (Supari, 1996). Pada proses metabolisme sering terjadi kebocoron elektron, sehingga mudah terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida dan hidroksil. Radikal bebas dapat juga terbentuk dari senyawa lain yang bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, misalnya hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) dan ozon. Sebagian besar radikal bebas berasal dari oksigen, maka secara umum disebut sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive Oxygen Species (ROS) (Winarsi, 2007). Radikal bebas dan reaksi oksidasi didalam tubuh terjadi sepanjang hidup, yang merupakan penyebab utama proses penuaan dan berbagai penyakit degeneratif. Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein dan jaringan lemak. (Pratiwi et al., 2006). Tubuh memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, yaitu enzim katalase dan glutation peroksidase berfungsi untuk mengeluarkan H 2 O 2 , super oksida dismutase (SOD) fungsinya untuk mengeluarkan O 2 - dengan mengubahnya menjadi H 2 O 2 . Terdapat pula sistem pertahanan terhadap radikal bebas dalam bentuk antioksidan vitamin, seperti vitamin C, E, dan β-karoten (Silalahi, 2006). Mekanisme reaksi radikal bebas digambarkan sebagai suatu deret reaksi-reaksi bertahap. Tahapan mekanisme reaksi tersebut diawali dengan pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir (terminasi), yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan tak reaktif (Winarsi, 2007). 1 17
18
Inisiasi
RH + OH•
R• + H 2 O
Propagasi
R• + O 2
ROO•
ROO• +RH
ROOH + R•
ROO• + ROO•
ROOR + O 2
ROO• + R•
ROOR
R• + R•
RR
Terminasi
2.6. Malondialdehyde (MDA) dan Inflamasi Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan pada biomolekul seperti asam nukleat, protein, struktur karbohidrat, dan lemak (Muchtadi, 2012). Peristiwa stres oksidatif diduga kuat mendasari hampir semua patofisiologis penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas (Zakaria, 1996). Pernyataan tersebut ditunjang oleh beberapa penelitian yang mengungkapkan bahwa beberapa penyakit degeneratif, seperti kardiovaskular, kanker, gangguan sistem syaraf, penuaan dini dan katarak dipicu oleh keberadaan oksidan dalam tubuh (Halliwel et al., 1992). Kondisi stres oksidatif dapat diukur
dengan
menganalisis kadar MDA dan terjadinya inflamasi. Peroksidasi lipid merupakan suatu reaksi oksidasi berantai yang dicetuskan oleh sebuah senyawa radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (OH) yang mengekstraksi satu hidrogen dari asam lemak tak jenuh rantai panjang oleh gugus radikal hidroksil sehingga terbentuk radikal lemak. Kemudian radikal lemak ini bereaksi dengan atom oksigen membentuk radikal peroksil dan selanjutnya akan terbentuk MDA, 9-hidroksinonenal, etana (C 2 H 4 ) dan pentana (C 3 H 12 ) (Suryohudoyo, 2000). Tingginya kadar radikal bebas didalam tubuh ditandai dengan tingginya kadar malondialdehyde (MDA). 1 18
19
MDA merupakan produk hasil peroksidasi lipid didalam tubuh, yang digunakan untuk mengukur stres oksidatif akibat radikal bebas (Simanjuntak, 2007). Inflamasi atau peradangan adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Inflamasi dapat distimulasi karena stress atau infeksi. Tujuannya adalah untuk menghilangkan rangsangan berbahaya. Inflamasi dapat menyebabkan nyeri, bengkak, panas, merah, dan perubahan fungsi. Stress oksidatif yang terjadi didalam tubuh diduga mempunyai peranan terhadap terjadinya efek toksik yang dapat memicu terjadinya inflamasi (Perdana et al., 2013). Hasil penelitian Wresdiyati et al. (1999 dan 2002), mengatakan bahwa kondisi stress dapat menimbulkan inflamasi dan penurunan kandungan antioksidan-copper, zinc-superoxide dismutase (Cu, Zn-SOD) pada hati dan ginjal tikus, dimana penanda inflamsi ini dapat diukur menggunakan protein C-reaktif (CRP). C-reactive protein adalah protein yang ditemukan dalam darah dengan konsentrasi meningkat sebagai respon terhadap inflamasi. Inflamasi akan mengaktifkan makrofag terutama di dalam sinovium untuk mensintesa Interleukin-6 (IL-6). Selanjutnya IL-6 akan merangsang sel hati untuk mensintesa protein fase akut yaitu CRP, sehingga kadarnya dalam darah meningkat sampai 10 kali lipat dari normal. Kadar CRP normal < 1 mg/L. Inflamasi dapat sembuh dan kadar CRP akan kembali normal setelah 14 hari (Lopez et al., 2001). 2.7. Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi atau senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dengan cara menyumbangkan elektronnya pada senyawa radikal bebas (Winarsi, 2007). Senyawa antioksidan memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap pengaruh 1 19
20
buruk yang disebabkan radikal bebas (Siagian, 2012). Menurut sumbernya, antioksidan dibagi menjadi antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen berasal dari dalam tubuh, seperti superoksida dismutase (SOD), katalase, dan peroksidase. Antioksidan eksogen berasal dari luar tubuh, diperoleh dari makanan sehari-hari yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin (vitamin A, C, dan E) dan mineral (Zn dan Se) (Muchtadi, 2012). Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi jumlahnya sering kali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Kekurangan antioksidan dalam tubuh membutuhkan asupan dari luar yang bisa diperoleh dari makanan yang dikonsumsi. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis (Sofia, 2006). Antioksidan berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi empat, yaitu antioksidan primer, sekunder, tersier, dan oxygen scavenger. Antioksidan primer adalah antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru, yaitu enzim superoksida dismutase (SOD). Antioksidan sekunder adalah senyawa penangkap radikal bebas yang mampu mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih hebat, terdiri dari vitamin C, vitamin E, dan β-karoten. Antioksidan tersier merupakan senyawa yang dapat memperbaiki kerusakan sel ataupun jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Yang termasuk antioksidan tersier adalah metionin sulfoksidan reduktase dapat memperbaiki DNA dalam sel. Oxygen scavenger adalah antioksidan yang dapat mengikat oksigen, sehingga tidak mendukung kelangsungan reaksi oksidasi oleh radikal bebas, misalnya vitamin C (Winarsi, 2007). Antioksidan berdasarkan sumbernya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami mampu melindungi 1 20
21
tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya dan terdapat Antioksidan
dalam bentuk fenolik (Kuncahyo dan Sunardi 2007).
sintetik
dapat
membahayakan
kesehatan,
misalnya
butylatedhydroxyanysole (BHA) dan butylatedhydroxytoluene (BHT) yang dapat menyebabkan pembengkakan organ hati. Senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavonon), turunan asam sinamat, dan tokoferol (Apriadi, 2011). Peranan antioksidan bagi tubuh adalah melawan radikal bebas. Radikal bebas bagi tubuh adalah merupakan benda asing yang dapat merusak fungsi imunitas tubuh. Dengan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung antioksidan (seperti buah dan sayuran) akan dapat mencegah timbulnya penyakit degenaratif. Antioksidan juga berperan penting dalam meremajakan kulit. Radikal bebas dapat membuat kerusakan pada sel-sel kulit, yang sering menyebabkan munculnya garis-garis halus atau keriput (Siagian, 2012). Vitamin E dan β-karoten adalah senyawa yang larut dalam lemak dan berperan sebagai antioksidan. Hasil penelitian menyebutkan, kurangnya asupan vitamin E dan βkaroten dapat memicu resiko terkena kanker paru-paru (Machlin and Bendich, 1987). β-karoten merupakan antioksidan yang paling aktif dari kelompok karotenoid, sehingga sering digunakan untuk mencegah keadaan stres oksidatif. Aktivitas korotenoid terletak pada kemampuannya untuk memberikan elektron dari struktur ikatan rangkapnya. 1 21
22
Elektron yang dilepaskan akan berkonjugurasi dengan elektron yang belum berpasangan dari radikal bebas (Simanjuntak, 2007). Vitamin E sebagai antioksidan bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai dengan memindahkan hidrogen fenolik ke radikal peroksil. Aktivitas antioksidan vitamin E bekerja dengan cara memberikan atom H yang terletak pada gugus OH cincin kromon kepada radkal bebas (Halliwell, 1991). 2.8. Serat Pangan Serat pangan (dietary fiber) merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Winarno,1997). Menurut Linder (2010), serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh manusia), sehingga tidak digolongkan sebagai sumber zat makanan. Serat
makanan
berdasarkan
sifat
fisik-kimia dan
manfaat
nutrisinya dapat
dikelompokkan dalam 2 jenis, yaitu : 1) serat larut (soluble) dan 2) serat tak larut (insoluble) dalam air. Serat larut adalah serat yang dapat larut dalam air panas. Serat larut cenderung bercampur dengan air dengan membentuk jaringan gel (seperti agaragar) atau jaringan yang pekat, termasuk ke dalamnya beberapa hemisellulosa, pektin, gum, dan β-glukan. Serat tak larut adalah serat yang tidak dapat larut dalam air panas, yang termasuk dalam kelompok ini adalah sellulosa, beberapa hemisellulosa dan lignin (Linder, 2010). Serat pangan dapat membantu menyehatkan pencernaan. Ketika asupan serat pangan ke dalam tubuh kurang dari jumlah yang dibutuhkan akan mempengaruhi kondisi keluaran limbah pencernaan yang berasal dari usus halus menuju usus besar. Kurangnya jumlah serat pangan dapat memberi bentuk tidak normal pada limbah pencernaan dalam usus besar. Konsumsi serat dalam jumlah cukup dapat menghindari
1 22
23
timbulnya penyakit degeneratif seperti diabetes militus, penyakit jantung dan penyakit lain yang berhubungan dengan obesitas (Astawan et al., 2004). Mekanisme serat pangan yang terdiri dari selulosa,
hemisellulosa, dan lignin
adalah sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam traktus digestivus. Serat pangan ini akan menyerap air di dalam kolon, sehingga volume feses menjadi lebih besar dan merangsang syaraf pada rekstum untuk defikasi. Dengan demikian tinja yang mengandung serat akan lebih mudah dieleminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara masuknya makanan dan keluarnya sebagai sisa makanan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek, menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa kolorektal menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kolon dan rektum (Kusharto, 2006). Mekanisme serat pangan dalam usus besar adalah dengan melakukan fermentasi oleh bakteri kolon dan menghasilkan asam lemak rantai pendek. Asam ini dapat menghambat mobilisasi lemak dan mengurangi glukoneogenesis sehingga berpengaruh pada pemakaian glukosa, sekresi insulin, dan pemakaian glukosa oleh sel hati (Rusilanti dan Kusharto, 2006). Peranan serat pangan dimulai dari pengeluaran saliva di mulut, penelanan, pengosongan dan pengeluaran asam lambung, pencernaan di usus halus, sampai usus besar. Konsumsi makanan dengan kandungan serat pangan tinggi akan membutuhkan pengunyahan lebih lama di dalam mulut. Lamanya pengunyahan berpengaruh terhadap keluarnya saliva yang dapat menetralkan asam sehingga menghambat kerusakan gigi. Di dalam lambung, serat memiliki kemampuan mengikat air dan membentuk gel. Gel yang terbentuk memiliki volume yang besar namun kandungan energinya rendah sehingga menurunkan konsumsi energi. Di dalam usus halus, serat mampu melapisi 1 23
24
usus halus untuk menyerap glukosa dan mengikat asam empedu sehingga memperlambat penyerapan lemak dan kolesterol. Di dalam usus besar, serat dapat membentuk volume dan berat feces yang akan mengurangi konstipasi dan mempercepat waktu transit makanan. (Jahari dan Sumarno, 2002). Kebutuhan serat makanan di Indonesia sebesar 25 g/hari/orang per 2100 kkal dan 10-13 g per 1000 kkal. Serat pangan yang dibutuhkan untuk mempertahankan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida normal dalam darah, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi serat larut lebih dari 20 g sehari atau serat total 30 g sehari. Bagi penderita hiperkolesterolemik dianjurkan untuk mengkonsumsi 50 g serat total per hari. Untuk penderita gagal ginjal dianjurkan untuk mengkonsumsi serat larut sebanyak 2025 g per hari. Asupan diatas 24 g serat total per hari dapat mengurangi resiko terjadinya tekanan darah tinggi (Jahari dan Sumarno, 2002). 2.9. Indeks Glikemik Indeks glikemik pangan merupakan sifat bahan pangan yang sangat unik, dipengaruhi oleh jenis bahan, cara pengolahan, dan karakteristik bahan (komposisi dan sifat biokimiawi), dan tidak bisa diprediksi dari satu karakter bahan. Masing-masing komponen bahan pangan memberikan kontribusi dan saling berpengaruh sinergis antar sifat bahan hingga menghasilkan respon glikemik tertentu (Widowati, 2007). Konsep IG merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih pangan yang baik, khususnya pangan berkarbohidrat berdasarkan kecepatannya menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, dan sebaliknya (Rimbawan dan Siagian, 2004). Gula darah adalah glukosa yang terdapat dalam plasma darah dan sel darah merah. Kadar gula darah dalam keadaan normal adalah 70-110 mg /100 ml darah. Kadar ini biasanya meningkat setelah makan, kemudian menurun secara perlahan mencapai kadar pada 1 24
25
waktu puasa yang biasanya ditandai dengan munculnya rasa lapar. Didalam tubuh pankreas memproduksi hormon insulin dan glukagon untuk menjaga kadar gula darah tetap dalam keadaan normal. Keadaan hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) terjadi bila kadar gula darah melebihi 160 mg/100 ml darah, sedangkan hipoglikemia (kadar gula darah rendah) terjadi bila kadar gula darah kurang dari 60 mg/100 ml darah. Indeks glikemik pangan merupakan indeks (tingkatan) pangan menurut efeknya dalam meningkatkan kadar gula darah. Pangan yang mempunyai IG tinggi dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cepat dengan puncak kadar gula darah tinggi. Sebaliknya, seseorang yang mengkonsumsi pangan ber-IG rendah maka peningkatan kadar gula darah berlangsung lambat dengan puncak kadar gulanya rendah. Konsep IG menjelaskan bahwa tidak setiap karbohidrat bekerja dengan cara yang sama. IG memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam mengendalikan fluktuasi kadar gula darah. (Widowati, 2007). Indeks glikemik dapat didefinisikan sebagai rasio antara luas kurva respon glukosa makanan yang mengandung karbohidrat total setara 50 gram gula terhadap luas kurva respon glukosa setelah makan 50 gram glukosa murni, pada hari yang berbeda dan orang yang sama. Kedua tes tersebut dilakukan pada pagi hari setelah puasa 10 jam dan penentuan kadar gula ditentukan selama 2 jam. Dalam hal ini, glukosa atau roti tawar sebagai standar (nilai 100) dan nilai makanan yang diuji merupakan persen terhadap standar tersebut (Saputra, 2008). Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai IG-nya dapat dibedakan menjadi bahan pangan dengan nilai IG rendah : <55, IG sedang : 5569, dan
IG tinggi : >70 (Foster Powell et al., 2002). Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi IG suatu bahan pangan adalah struktur matriks pangan, dinding sel dan
1 25
26
struktur pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula, daya osmotik, kandungan serat pangan, lemak, protein dan zat antigizi serta proses pengolahan (Widowati, 2007). Pengenalan karbohidrat berdasarkan efek terhadap kadar gula darah dan respon insulin (berdasarkan IG-nya) berguna sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Makanan yang memiliki IG rendah membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap dan perlahan-lahan, sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar gula relatif lebih pendek sehingga sangat penting bagi penderita diabetes/diet gula dalam mengendalikan kadar gula darah. Sebaliknya, olahragawan yang hendak bertanding memerlukan pangan IG tinggi agar pangan yang dikonsumsi segera dikonversi menjadi energi. Individu normal yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misalnya anak-anak) sebaiknya harus mengkonsumsi pangan IG sedang atau tinggi (Widowati, 2007). Jenis serat berpengaruh terhadap IG pangan. Serat dalam bentuk utuh dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan, sehingga IG cenderung lebih rendah. Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan dan serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata. Adanya serat dapat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah juga rendah. Indeks glikemik hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat menjadi glukosa darah, tetapi tidak memberikan informasi mengenai 1 26
27
banyaknya karbohidrat di dalam pangan. Untuk mengetahui jenis pangan yang baik untuk kesehatan (efek pangan terhadap kadar glukosa darah), maka kita harus mengetahui kecepatan perubahan karbohidrat menjadi glukosa dan jumlah karbohidrat yang terdapat dalam bahan pangan sehingga kita bisa mengetahui BG pangan yang dikonsumsi. Beban glikemik (BG) adalah untuk menilai dampak konsumsi karbohidrat dengan memperhitungkan IG pangan. Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual pada peningkatan kadar glukosa darah. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai BG adalah bahan pangan dengan nilai BG rendah : <10, sedang : 11-19, dan tinggi : >20 (Rimbawan dan Siagian, 2004).
1 27