7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Sukun (Artocarpus altilis)
2.1.1
Deskripsi Tanaman Sukun Tanaman sukun, Artocarpus altilis Park di bagi menjadi dua yaitu yang
berbiji (dreadnut) dan yang tanpa biji (breadfruit). Sukun termasuk tanaman tropis sejati, tumbuh paling baik pada daratan rendah yang panas. Tanaman ini tumbuh baik juga di daerah basah, juga bisa tumbuh di daerah yang sangat kering asalkan terdapat air tanah dan aerasi tanah yang cukup. Sukun bahkan juga bisa tumbuh baik di pulau karang dan di pantai. Pada musim kering, di saat tanaman lain produksinya merosot, sukun justru dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat. Sukun di Indonesia tersebar di Sumatra, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Papua (Adinugraha, 2011). Melihat penyebaran tanaman sukun yang terdapat di sebagian besar kepulauan Indonesia, serta jarang terserang hama dan penyakit membahayakan, maka hal ini memungkinkan tanaman sukun untuk dikembangkan. Beberapa sinonim sukun adalah Artocarpus communis, Artocarpus communis Forst, breadfruit, Artocarpus incisa L. F : A. altilis (Park.) Fosberg (Intanowa, 2012).
8
2.1.2
Taksonomi Tanaman Sukun (Utami, 2013)
Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnolispsida Bangsa : Urticales Suku : Moraceae Marga : Artocarpus Jenis : Artocarpus altilis Gambar 1 Daun Sukun (Artocarpus altilis) (Wikipedia, 2013)
2.1.3
Morfologi Tanaman Sukun Tumbuhan sukun memiliki tinggi mencapai 30 m, dimana tumbuhan ini
biasanya menghasilkan buah dan bunga dua tahun sekali. Daun sukun merupakan sebuah tanaman yang berukuran sangat lebar, berbulu kasar, daunnya tunggal, berseling, lonjong, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi bertoreh serta memiliki panjang 50-70cm, lebar 25-50cm. Daun sukun memiliki nama ilmiah artocarpus altilis park , dengan berbagai nama ilmiah lain seperti Artocarpus communis Forst, Artocarpus communis dan Artocarpus incisa L. f (Utami, 2013).
2.1.4
Kandungan Kimia Daun Sukun Daun sukun memiliki senyawa aktif berupa saponin, asam hidrosianat,
polifenol, asetilcolin, ribovlavin, fenol dan senyawa tanin. Selain kandungan tersebut di atas, tanaman ini juga mengandung quercetin, champorol dan artoindonesianin yang merupakan kelompok senyawa flavonoid (Utami, 2013).
9
2.1.5
Khasiat Daun Sukun Daun sukun diduga memiliki manfaat kesehatan seperti antimikroba atau
anti peradangan serta anti kanker. Efek yang ditimbulkan dari daun sukun diakibatkan oleh adanya kandungan antioksidan dalam daunnya (Utami, 2013). Daun sukun efektif dalam mengobati penyakit seperti liver, hepatitis, pembersaran limpa, jantung, ginjal, tekanan darah tinggi, kencing manis dan juga bisa untuk penyembuh kulit yang bengkak atau gatal-gatal. Batang dari daun sukun dapat dimanfaatkan sebagai obat mencairkan darah pada wanita setelah hari ke 8-10 melahirkan. Salah satu kandungan kimia yang terdapat dalam daun sukun juga daat digunakan sebagai obat untuk meringankan terjadinya peradangan (Intanowa, 2012). Adapun manfaat dan khasiat daun sukun menurut Utami (2013) diantaranya: 1. Flavonoid geranyl, senyawa antikanker Beberapa studi penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa daun sukun memiliki manfaat sebagai antikanker dikarenakan oleh kandungan senyawa flavonoid yang terdapat didalamnya. Flavonoid dalam daun sukun bekerja menghambat sel radikal bebas serta berperan sebagai penyebab kematian sel kanker. Daun sukun dilaporkan tidak menimbulkan efek samping terhadap organ di dalam tubuh. Hasil penelitian Fita Dwi Amira dari departemen farmasi, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas Indonesia
10
menunjukkan bahwa ekstrak daun sukun yang terdiri dari kandungan senyawa flavonoid sebanyak 30% tidak menyebabkan keracunan dalam tubuh. 2.
Daun sukun sebagai antimikroba Daun sukun dikatakan mampu menghambat pertumbuhan dari bakteri staphylococcus aureus dan jamur candida albicans. hal ini dimungkinkan karena adanya kandungan flavonoid, saponin dan tanin dalam daunnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rostinawati, dkk yang diterbitkan oleh farmaka tahun 2009 menyatakan ekstrak daun sukun dapat menghambat pertumbuhan jamur candida albicans. Hasil studi serupa dari universitas padjadjaran menunjukkan ekstrak daun sukun mampu menghambat pertumbuhan candida albicans- jamur penyebab sariawan Bagian tanaman sukun yang biasa dimanfaatkan sebagai pengobatan
adalah bagian buah dan daunnya. Tetapi yang paling sering digunakan sebagai obat herbal adalah daunnya (Utami, 2013).
2.1.6
Ekstrak Kering Daun Sukun
1) Pengertian Ekstrak Kering Daun Sukun Ekstraksi merupakan salah satu proses penarikan zat aktif dalam suatu bahan mentah
pada zat yang terlarut dengan menggunakan pelarut tertentu
sehingga akan didapatkan zat yang terpisah baik secara fisik maupun kimiawi. Pemilihan tehnik ekstraksi berbeda untuk setiap jenis bahan yang akan digunakan dan tergantung pada tekstur, kandungan bahan, dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen, 2003).
11
Daun sukun adalah daun yang berasal dari jenis tanaman nangkanangkaan yang mengandung saponin, polifenol, asam hidrosianat, asetilcolin, tanin, riboflavin, phenol. Daun tanaman ini juga mengandung quercetin, champorol dan artoindonesianin. Dimana artoindonesianin dan quercetin adalah kelompok senyawa dari flavonoid (Utami, 2013). Penggunaan ekstrak metanol baik encer maupun kental walaupun dapat berberan positif dalam memisahkan kandunga zat aktif dalam daun sukun namun ekstrak tersebut tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama. Dikarenakan memiliki kadar air yang tinggi akan mudah me ngalami kerusakan karena merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan jamur. Ekstrak yang telah rusak sudah tidak dapat digunakan lagi sehingga ekstrak yang dipandang lebih tahan lama adalah ekstrak kering (Widanjaya, 2013). Ekstrak kering daun sukun merupakan sediaan yang dibuat dengan mengekstraksi daun sukun dengan menggunakan pelarut ethanol dengan metode maserasi, lalu dijadikan ekstrak kering dengan menambahkan dekstrin 5% dan Tween 80%, lalu dikeringkan dengan kabinet dryer.
2) Jenis Ekstraksi Berdasarkan atas sifatnya eksrak dikelompokkan menjadi 4 yaitu : (Voight, 1995): a.
Ekstrak encer (Extractum tenue). Sediaan ini memiliki konsistensi seperti madu dan dapat dituang.
b. Ekstrak kental (Extractum spissum).
12
Sediaan ini liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. c. Ekstrak kering (Extractum siccum). Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan. d. Ekstrak cair (Ectractum fluidum). Sediaan ini dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang satu bagian) ekstrak cair (Voigt, 1995). Ekstrak kering merupakan sediaan yang memiliki konsistensi kering yang didapat dari bahan tanaman, yang diperoleh dengan melakukan pemekatan dan pengeringan ekstrak cair sampai mencapai konsentrasi yang diinginkan menurut metode yang memenuhi syarat. Pengaturan biasanya dilakukan sesuai kandungan bahan aktif dengan cara menambahkan bahan inert (Farmakope Indonesia, 1979). Dalam penelitian ini ekstrak kering yang digunakan berupa ekstrak dalam bentuk serbuk yang dibuat secara sederhana di laboratorium.
3) Penentuan Dosis Ekstrak kering daun sukun Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus putih adalah 5ml/100 gr BB (Ngatidjan, 2006). Disarankan takaran dosis tidak sampai melebihi setengah kali volume maksimalnya (Setiawan, 2010) karena apabila volume bahan uji melebihi volume lambung, maka bisa menyebabkan dilatasi lambung secara akut yang dapat membuat robeknya saluran cerna. Takaran konversi dosis untuk manusia dengan berat badan (BB) 70 kg setara dengan 0,018 pada tikus putih dengan BB 200 gr. Rata-rata orang indonesia beratnya 50 kg (Ngatidjan, 2006). Dosis daun sukun yang digunakan adalah dosis
13
yang biasa dipakai dimasyarakat, yaitu 3 lembar daun sukun (Intanowa, 2012). Jika dikonversi menjadi 50 gr, maka dosis untuk tikus putih yaitu: (50 gr x 1000 mg x 0,018 x 50/70) / 200 gr BB 642,86 mg/200 gr BB dibulatkan menjadi 643 mg/200 Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di FTP Universitas Udayana, dari 1000 gr serbuk daun sukun yang telah diekstrak menggunakan metode waterbath dengan perbandingan pelarut 1:1 lalu dijadikan ekstrak kering dan didapatkan ekstrak kering sebanyak 140 gr. Sehingga 1 gr serbuk daun sukun setara dengan 0,14 gr ekstrak kering daun sukun. Jadi dosis 643 mg/200 gr BB setara dengan 90 mg ekstrak kering daun sukun, jadi pemberian ektrak kering daun sukun untuk dosis 1 akan diberikan 45 mg, dan dosis 2 akan diberikan 90 mg, serta untuk dosis 3 akan diberikan 135 mg. Kemudian dosis tersebut akan diberikan 3 kali sehari sehingga dosis total yang akan diterima oleh tikus putih adalah: untuk kelompok dengan pemberian ekstrak kering dosis 1 135 mg/200 gr BB, untuk kelompok dengan pemberian ekstrak kering dosis 2 270 mg/200 gr BB, dan untuk kelompok pemberian ekstrak kering dosis 3 405 mg/200 gr BB dalam sehari.
14
2.2
Kadar Glukosa Darah
2.2.1
Pengertian Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur
metabolisme karbohidrat (Henry dan Howanitz, 1996). Seperti pada penderita diabetes melitus akan terjadi gangguan metabolisme karbohidrat sehingga kadar glukosa meningkat dari batas normal. 2.2.2 1.
Sumbe r Glukosa Darah
Karbohidrat pada makanan (glukosa, galaktosa, fruktosa) terdapat bentuk polisakarida, disakarida, dan monosakarida (Intanowa, 2012).
2.
Glukoneogenesis
merupakan
semua
mekanisme
dan
lintasan
yang
bertanggung jawab atas senyawa non karbohidrat yang menjadi glukosa atau glikogen. Proses ini akan terjadi apabila glukosa pada makanan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dari tubuh (Intanowa, 2012). 3.
Glikogenolisis merupakan pengubahan glikogen menjadi glukosa yang dikatalisasi oleh enzim forforilase yang sering disebut glikogenolisis. Glikogen yang mengalami glikogenolisis terutama yang tersimpan di hati, sedangkan glikogen yang tersimpan pada otot akan mengalami deplesi yang berarti jika seseorang melakukan olahraga yang berat dan lama (Intanowa, 2012).
15
2.2.3
Pengaturan Kadar Glukosa Darah Pengaturan kadar glukosa darah merupakan mekanisme homeostatik dari
proses metabolisme berupa produksi insulin dan kerja hepar dalam proses glikogenesis, glukoneogenesis, dan glikolisis (Guyton dan Hall, 1997). Insulin merupakan hormon yang dihasilkan oleh sel β pankreas dan satu-satunya hormon yang dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah. Sekresi insulin akan dirangsang oleh hiperglikemia. Pada orang dewasa normal, rata-rata pankreas menghasilkan 40-60 unit insulin perhari. Ini termasuk jumlah basal 1-2 unit/jam dan jumlah tambahan 4-6 unit/jam sesudah makan atau ketika glukosa darah melebihi
100mg/dl.
Insulin
disekresikan
kedalam sirkulasi
darah
dan
ditransportasikan ke hati, dimana kira-kira setengahnya digunakan atau diturunkan. Setengah lainnya mencapai sirkulasi sistemik, dimana akan beredar sebagian besar dalam bentuk yang tidak terikat dan ditransportasikan ke sel tubuh. Pada tingkat sel, insulin akan berikatan dengan reseptor dan diaktifkan pada membran sel kira-kira 80% dari sel tubuh. Hati, otot dan sel tubuh memiliki banyak reseptor insulin dan merupakan tempat kerjanya insulin. Setelah insulin berikatan dengan reseptor, membran sel menjadi sangat permeabel terhadap glukosa sehingga bisa masuk ke dalam sel. Membran sel juga permeabel terhadap asam amino, asam lemak dan elektrolit seprti ion pottasium, magnesium dan fosfat. Setelah berikatan dengan insulin dan masuk ke sel, reseptor akan kembali kepermukaan sel. Hormon lain yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah dan menstimulasi
sekresi
insulin
diantaranya
kortisol,
glukagon,
hormon
16
pertumbuhan, epinefrin, estrogen, dan progesterone (Scanlon & Sanders, 2007; 235). Kandungan yang sangat berperan penting pada sukun dalam menurunkan kadar glukosa darah ialah quercetin yang merupakan senyawa
flavonoid.
Flavanol quercetin dan isoflavon genistein konsentrasi tinggi dari 100 µM secara relatif bisa menurunkan transport asorbat dalam tiga lapis sel intestinal. Isoflavon genistein tetapi yang tidak berhubungan denagn isoflavon daidzein menghambat glukosa dan transport dehydroascorbic acid pada sel leukimia (HL-60). Pada eksperiment lainnya beberapa kelas flavonoid bekerja menghambat transport glukosa, dehydoascorbic acid, dan asorbat pada 3 tipe sel leukimia, hambatan yang paling potensial terjadi oleh flavanol, dan efeknya tidak dapat dijelaskan dengan oksidasi aksorbat. Transport Glukosa dan dehydroascorbic acid dihambat secara kompetitif dan transport asorbat dihambat tidak secara kompetitif sehingga kadar glukosa darah dapat lebih stabil (Intanowa, 2012).
2.2.4
Alloxan Alloxan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) adalah senyawa
hidrofilik dan tidak stabil. Memiliki waktu paruh pada suhu 27 oC dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang rendah. Sebagai diabetogenik, alloxan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3 kalinya (Szukudelski, 2001; Rees dan Alcolado, 2005).
17
Alloxan dengan cepat mampu mencapai pankreas, dimulai dari pengambilan yang cepat oleh sel β Langerhans. Terbentuknya oksigen reaktif merupakan penyebab utama pada kerusakan sel tersebut. Oksigen reaktif terbentuk diawali oleh proses reduksi alloxan dalam sel β Langerhans. Alloxan memiliki aktivitas yang tinggi dengan senyawa seluler yang mengandung gugus SH, glutation tereduksi (GSH), sistein dan senyawa sufhidril terikat protein (misalnya SH-containing enzyme). Produk dari proses reduksi alloxan adalah asam dialurat, yang selanjutnya mengalami reoksidasi menjadi alloxan, menentukan siklus redoks untuk membangkitkan radikal superoksida. Reaksi antara alloxan dengan asam dialurat merupakan proses yang diperantarai oleh radikal alloxan intermediet (HA) dan pembentukan "compound 305". Radi kal superoksida dapat membebaskan ion ferri dari fernitin, dan mereduksi menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri juga dapat direduksi oleh radikal alloxan. Radikal superoksida mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida, berjalan spontan dan kemungkinan dikatalisis oleh superoksida dismutase. DNA pulau Langerhans pankreas merupakan salah satu target dari oksigen reaktif. Kerusakan DNA tersebut menstimulasi poly ADP-ribosylation, proses yang terlibat dalam DNA repair. Adanya ion ferro dan hidrogen peroksida membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif melalui reaksi fenton (Wilson et al., 1984; Szkudelski, 2001; Walde et al.,2002). Hal lain selain pembentukan oksigen reaktif ialah gangguan pada homeostatis kalsium intraseluler. Alloxan bisa meningkatkan konsentrasi dari ion kalsium bebas sitosolik pada sel β Langerhans pankreas. Efek itu diikuti oleh
18
beberapa hal: influks kalsium dari cairan ekstraseluler, mobilisasi kalsium dari simpanannya secara berlebihan, dan eliminasinya yang terbatas dari sitoplasma. Influks kalsium akibat alloxan tersebut berdampak terjadinya depolarisasi sel β Langerhans, lebih lanjut membuka kanal kalsium tergantung voltase dan semakin menambah masuknya ion kalsium ke sel. Pada kondisi tersebut, konsentrasi insulin meningkat sangat cepat, dan secara signifikan mengakibatkan gangguan pada sensitivitas insulin perifer dalam waktu singkat. Selain kedua faktor tersebut di atas, alloxan juga diduga berperan dalam penghambatan glukokinase dalam proses metabolisme energi (Szkudelski, 2001; Walde et al., 2002). Menurut penelitian Chaugale, Panaskar, Gurao, dan Arvindeka (2007) yang mengatakan bahwa regenerasi dan neogenesis pankreas dapat terjadi pada waktu 12 hari pada penggunaan alloxan dosis 120 mg/kgBB. Dalam penelitian tersebut juga dikatakan bahwa pemberian alloxan dosis 140 mg/kgBB akan terjadi peningkatan glukosa darah yang dapat kembali normal pada waktu beberapa bulan. Jadi, kadar glukosa darah tikus putih diabetes melitus yang diinduksi alloxan adalah parameter utama untuk menilai metabolisme karbohidrat yang dilakukan pada tikus putih (Mus musculus) yang merupakan anggota Muridae (tikus - tikus) yang telah mengalami kelainan heterogen dimana terjadi peningkatan glukosa darah dan kerusakan sel beta pankreas yang disebabkan oleh alloxan (Intanowa, 2012).
19
2.3
Tikus Putih (Rattus norvegicus L)
2.3.1
Sistematika hewan percobaan Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan diklasifikasikan sebagai
berikut (Sugianto, 1995): Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Classis : Mammalia Subclassis : Placentalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae Gambar 2. Tikus putih (Viant, 2013)
Genus : Rattus Species : Rattus norvegicus
2.3.2
Karakteristik Utama Hewan Percobaan Tikus putih sebagai hewan coba relatif resisten terhadap infeksi dan
sangat cerdas. Tikus putih tidak seperti mencit yang fotofobik dan cenderung berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktifitasnya tidak terganggu oleh kehadiran manusia. Terdapat dua sifat yang membedakan tikus putih dan hewan coba yang lain, yaitu tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubang dan tikus putih tidak memiliki kandung empedu (Setiawan, 2010). Tikus putih laboratorium jantan jarang berkelahi dibandingkan dengan mencit jantan yang pada dasarnya sering berkelahi. Tikus putih bisa tinggal sendirian dalam kandang dan hewain ini memiliki ukuran tubuh lebih besar
20
dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan di laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan dibandingkan mencit (Setiawan, 2010). Pemanfaatan hewan sebagai objek penelitian dimulai ketika manusia mulai mengenal ilmu kedokteran. Pada abad kedua masehi, Claudius Galenus, dokter Romawi yang dikenal sebagai bapak bedah, menjadi pelopor dalam pemanfaatan hewan sebagai objek penelitian kedokteran. Hal ini dilakukan guna menguji tentang manfaat obat apakah beracun atau berkhasiat, obat tersebut akan diberikan kepada hewan coba terlebih dahulu. Bilamana pada hewan coba terbukti berkhasiat dan tidak beracun, barulah obat tersebut dicobakan pada manusia. Wang Jinheng dalam penjelasannya mengatakan, "Sebabnya periset memilih tikus putih sebagai hewan percobaan karena tikus putih mempunyai banyak keunggulan. Pertama, banyak gen tikus putih relatif mirip dengan manusia. Kedua, dalam binatang menyusui (mamalia), kemampuan berkembang biak tikus putih sangat tinggi, sangat cocok digunakan dalam eksperimen massal. Selain hal tersebut, tipe bentuk badan tikus putih tersebut kecil, mudah dipelihara dan obat yang digunakan di tubuhnya dapat relatif cepat termatifestasikan, dikarenakan fisiologisnya yang mirip dengan kondisi tubuh manusia. Tikus putih memiliki organ yang lengkap sebagai mamalia (Intanowa, 2012). Oleh karena itu, hewan ini sering dipilih sebagai makhluk percobaan untuk obat-obatan atau makanan yang nantinya akan digunakan atau dikonsumsi oleh manusia. Selain itu juga, penelitian menggunakan tikus putih jantan akan menghasilkan penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga memiliki kecepatan metabolisme
21
obat lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan tikus putih betina (Setiawan, 2010).
2.4
Pengaruh Ekstrak Daun Sukun Terhadap Kadar Glukosa Darah Salah satu kandungan yang terdapat dalam daun sukun yang berperan
untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan polifenol yang tersebar luas dalam makanan yang dicerna oleh manusia. Flavonoid terbagi menjadi 6 kelas struktural diantaranya flavon, flavonol, flavonon, isoflavon, anthocyanidin dan katekin (Intanowa, 2012). Senyawa seperti flavonoid yaitu phloretin sudah sejak lama diketahui dapat menghambat transport glukosa yang tidak tergantung pada sodium. Struktur analog dari phloretin yang berasal dari golongan flavonoid yaitu flavanon dan flavon menghambat sodium indepentdent glukose efflux dari intestinal tapi tidak menghambat glukosa yang tergantung pada sodium. Dikarenakan glukosa secara struktural sama dengan ascorbic acid (asorbate, vitamin C) dan khususnya merupakan produk oksidasi dari dehydroascorbic acid, laporan terbaru menggambarkan efek dari flavonoid terhadap asorbat, dehydroascorbic acid dan transport glukosa. Flavanol quercetin dan isoflavon genistein konsentrasi tinggi dari 100µM secara relatif bisa menurunkan transport asorbat dalam tiga lapis sel intestinal. Isoflavon genistein tetapi yang tidak berhubungan dengan isoflavon daidzein menghambat glukosa dan transport dehydroascorbic acid pada sel leukimia (HL-60). Pada eksperiment lainnya beberapa kelas flavonoid menghambat transport glukosa, dehydoascorbic acid, dan asorbat pada 3 tipe sel leukimia, hambatan yang paling potensial terjadi oleh flavanol, dan efeknya tidak
22
dapat
dijelaskan
dengan
oksidasi
askorbat.
Transport
Glukosa
dan
dehydroascorbic acid dihambat secara kompetitif dan transport asorbat dihambat tidak secara kompetitif (Intanowa, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jian Song, dkk (2002) menyatakan quercetin mampu menghambat transport glukosa di intestinal. Dengan adanya tanda pengangkut glukosa di intestinal yaitu GLUT2 pada oosit X. Laevis, penghambatan quercetin terjadi ketika substrat dan inhibitor ditambahkan bersama, bersifat reversibel dan tidak competitif. GLUT2 merupakan media transport utama bagi glukosa dari permukaan luminal sama juga dengan dari permukaan basolateral. Jadi, quercetin yang berada di lumen intestinal kemungkinan dapat menghambat pemasukan asorbat dan glukosa ke dalam enterosit. Juga quercetin dapat menghambat efllux dari asorbat dan glukosa yang terdapat di intraseluler melewati membran basolateral. Mekanisme transport dari quercetin tersebut masih belum diketahui. Selain itu, quercetin dilaporkan memiliki kemampuan untuk menimbulkan regenerasi dari pankreas islet dan merangsang pengeluaran insulin pada diabetes yang diinduksi streptozotocin. Quercetin dilaporkan juga dapat menstimulasi uptake Ca 2+ dari sel-sel islet yang terisolasi sehingga dapat efektif pada diabetes yang tidak tergantung pada insulin (Shandhar, dkk 2011). Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat dilihat, dimana kandungan quercetin daun sukun dapat digunakan sebagai penurun kadar glukosa darah, dimana senyawa quercetin daun sukun bekerja menghambat transport glukosa di intestinal sehingga pemasukan asorbat dan glukosa ke dalam eritrosit menjadi
23
terhambat. Selain itu, quercetin juga bekerja dalam regenerasi pankreas dan merangsang pengeluaran insulin sehingga kadar glukosa darah akan turun.