BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Teori 2.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang dinyatakan secara formal dalam ukuran kuantitatif, biasanya dalam satuan uang (perencanaan keuangan), untuk menunjukkan perolehan dan penggunaan sumbersumber suatu organisasi. Anggaran digunakan untuk membantu manajemen untuk melihat dan mengontrol pelaksanaan visi, goals, objectives, strategi dan programprogram. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Menurut Halim (2004 : 15) : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu Anggaran daerah yang memiliki unsurunsur sebagai berikut : rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun. Menurut UU No. 33 tahun 2004, “Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang selanjutnya disebut APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD”.
Unsur-Unsur APBD menurut Halim (2004 : 16) adalah : 1) Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci. 2) Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan. 3) Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4) Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. Prinsip-prinsip penting dalam mengelola keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi hal-hal berikut ini (Yuwono,2005:58) 1) Transparansi, adalah keterbukaan dalam proses perencanaan,penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah. Transparansi memberikan arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. 2) Akuntabilitas, adalah pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses
penganggaran
pelaksanaan
harus
mulai
dari
benar-benar
perencanaan, dapat
penyusunan,
dan
dilaporkan
dan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut,tetapi juga berhak menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
3) Value for money, yakni diterapkan tiga prinsip dalam proses penganggaran daerah yaitu ekonomi,efisiensi dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money) tersebut menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.Dalam konteks otonomi daerah,value for money merupakan jembatan untuk mengantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (publik money) yang mendasar konsep value for money diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memliki sistem akuntansi yang baik. 2.1.2. Struktur APBD Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, APBD terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Pendapatan Daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Komponen pendapatan daerah yaitu pendapatan asli daerah
dan dana perimbangan dari pusat berupa dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. 2) Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. 3) Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali daan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
2.1.3. Belanja Modal
Berdasarkan Permendagri No.59/2007 Pasal 53, belanja modal adalah untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.
Nilai aset tetap berwujud dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/ pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan belanja modal.
Belanja Modal dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Belanja Modal Tanah Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/ penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,
pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertipikat,dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai. 2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai 3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan,pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan yang dimaksud dalam kondisi siap pakai. 4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk
pengadaan/
penambahan/
penggantian/
peningkatan
pembangunan/ pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan
pembangunan/
pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.
Belanja daerah adalah semua kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (ekuitas dana) dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Permendagri No.13 Tahun 2006 ,belanja daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.
Istilah belanja (expenditure) sebagaimana yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran pemerintah,juga mempunyai pengertian yang berbeda dengan istilah beban (expense) yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis (perusahaan).
Berdasarkan PP No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,belanja
daerah
dipergunakan
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan
perundang-undangan. Sejak dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, anggaran belanja daerah,dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, baik dari segi cakupan jenis dana yang didaerahkan,maupun besaran alokasi dana yang didaerahkan.
Belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006 terdiri atas: Belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai b. Belanja Bunga c. Belanja Subsidi d. Belanja Hibah e. Belanja Bantuan Sosial f. Belanja Bagi Hasil g. Belanja Bantuan Keuangan h. Belanja tidak terduga.
Kelompok Belanja Langsung dibagi menurut jenis belanjanya yang terdiri dari:
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Modal
Menurut Halim (2004:18),belanja daerah digolongkan menjadi 4,yaitu:
a. Belanja aparatur daerah b. Belanja pelayanan publik c. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan d. Belanja tidak tersangka.
Menurut Halim (2004:73),belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum.
2.1.4. Pendapatan Asli Daerah Menurut UU No.33 Tahun 2004 ,pendapatan asli daerah (PAD)merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudkan asas desentralisasi.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri diberikan sumbersumber pedapatan atau penerimaan keuangan Daerah untuk membiayai seluruh
aktivitas dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara adil dan makmur.
Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu : pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah. Berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006,PAD dapat diklasifikasikan sebagai berikut: “ Pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daearh yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengaadan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran/ cicilan penjualan. “
Menurut Halim (2007 : 96) kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan: a. Pajak Daerah. Pajak Daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran daerah. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009 pasal (2) jenis pajak untuk kabupaten/ kota terdiri atas: 1. Pajak Hotel, 2. Pajak Restoran, 3. Pajak Hiburan, 4. Pajak Reklame, 5. Pajak Penerangan Jalan, 6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, 7. Pajak Parkir, 8. Pajak Air Tanah, 9. Pajak Sarang Burung Walet, 10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;dan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. b. Retribusi Daerah. Menurut Halim (2002:67), “retribusi daerah merupakan pendapatan daerah
yang berasal dari retribusi daerah.” Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberin diskresi dalam penetapan tarif. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan
Menurut Halim (2004:68), “Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil Pengelolaan kekayaan milik Daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan Daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik Daerah dan pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan.”
Jenis hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan berdasarkan Permendagri No.59/2007 pada ayat (1) merupakan:
1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD. 2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah / BUMN.
3) Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. d. Lain-lain PAD yang sah. Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Lainlain PAD yang sah antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Permendagri No. 59/2007 meliputi: 1. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, 2. jasa giro, 3. pendapatan bunga, 4. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, 5. komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, 6. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, 7. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, 8. Pendapatan denda pajak, 9. Pendapatan denda retribusi, 10. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, 11. Pendapatan dari pengembalian, 12. Fasilitas sosial dan fasiltas umum, 13. Pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
2.2. Penelitian Terdahulu Try Indraningrum(2011) melakukan penelitian dengan topik pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum terhadap belanja langsung.Hasil dari penelitian ini PAD dan DAU mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja langsung.Hal tersebut berarti pemerintah daerah dapat memprediksi anggaran belanja langsung didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Arny Yuniar (2013) melakukan penelitian dengan topik Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal(studi kasus pada kabupaten dan kota Se-Jawa Barat Tahun 2011). Berdasarkan hasil penelitian secara deskriptif menunjukan bahwa PAD terendah adalah Kota Banjar, namun dalam hal rasio belanja modal dan belanja daerah, Kota Banjar merupakan kota dengan rasio tertinggi. Selain itu, hasil perhitungan hipotesis menunjukan persamaan berupa Y= ̂ 7.369.138.125,5+0.734X, dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa, jika X adalah 0 maka pendapatan asli daerah adalah 7.369.138.125,5 sedangkan nilai 0,734 artinya setiap peningkatan pendapatan asli daerah sebesar Rp 1,- maka akan mengakibatkan kenaikan pada belanja modal sebesar 0,734 kali, Dari hasil tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara pendapatan asli daerah terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Jawa Barat pada tahun 2011. Muhammad Edwin Kadafi (2013) melakukan penelitian dengan topik Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Bandung). Berdasarkan uji F, dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan asli daerah dan dana perimbangan secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja modal. Selanjutnya, hasil uji t menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Sandry Yossi Mamonto,J.B.Kalangi dan Krest D. Tolosong (2015) melakukan penelitian dengan topik pengaruh pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja modal di kabupaten Bolaang Mongondow. Hasil penelitian ini adalah Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa secara parsial variabel Pajak Daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal dan variabel Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Kemudian secara simultan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No . 1.
Peneliti / Tahun Try Indraningrum (2011)
Judul Penelitian Pengaruh PAD dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Langsung (Studi pada Pemerintah daerah kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah)
Variabel Penelitian Pendapatan Asli Daerah,Dana Alokasi Umum dan Belanja Modal
Hasil Penelitian PAD dan DAU mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja langsung.Hal tersebut berarti pemerintah daerah dapat memprediksi anggaran belanja langsung didasarkan pada Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum.
2.
Arny Yuniar Pengaruh Pendapatan Asli Berdasarkan hasil (2013) Pendapatan Asli Daerah, dan penelitian secara Daerah terhadap Belanja Modal. deskriptif menunjukan Belanja Modal (studi kasus bahwa PAD pada kabupaten terendah adalah dan kota SeKota Banjar, Jawa Barat namun dalam hal Tahun 2011) rasio belanja modal dan belanja daerah, Kota Banjar merupakan kota dengan rasio tertinggi. Selain itu, hasil perhitungan hipotesis menunjukan persamaan berupa Y= ̂ 7.369.138.125, 5+0.734X, dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa, jika X adalah 0 maka pendapatan asli daerah adalah 7.369.138.125,5 sedangkan nilai 0,734 artinya setiap peningkatan pendapatan asli daerah sebesar Rp 1,- maka akan mengakibatkan kenaikan pada belanja modal sebesar 0,734 kali, Dari hasil tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara pendapatan asli daerah terhadap belanja modal pada kabupaten
3.
Muhammad Pengaruh PAD Edwin Kadafi dan Dana (2013) Perimbangan Terhadap Belanja Modal (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Bandung)
4.
Sandry Yossi Mamonto, J.B. Kalangi dan Krest D.Tolosang (2015)
Pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Belanja Modal di Kabupaten Bolaang Mongondow Periode 20042013.
dan kota di Jawa Barat pada tahun 2011. Pendapatan Asli Berdasarkan uji F, Daerah, Dana dapat disimpulkan Perimbangan bahwa variabel dan Belanja pendapatan asli Modal daerah dan dana perimbangan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja modal. Selanjutnya, hasil uji t menunjukkan bahwa variabel pendapatan asli daerah dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Belanja Modal.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa secara parsial variabel Pajak Daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal dan variabel Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Kemudian secara simultan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga tidak berpengaruh
terhadap Modal.
Belanja
2.3. Kerangka Konseptual
Peningkatan masyarakat dapat mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Peningkatan pelayanan masyarakat ini merupakan unsur yang penting mengingat paradigma yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah pembayaran pajak dan retribusi ini sudah merupakan hak daripada kewajiban masyarakat terhadap negara karena adanya pelayanan dari Negara (Sukarwo,2003). Peningkatan pelayanan ini dilakukan dengan pengalokasian belanja modal untuk pembangunan aset pelayanan publik. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD (Mardiasmo,2002). Pengalokasian belanja modal pada dasarnya ditujukan dengan harapan akan memberikan kemajuan bagi daerah tersebut. Kemajuan suatu daerah dilihat dengan berbagai indikator. Salah satu dari imdikator yang sering dilihat adalah pendapatan asli daerah tersebut. Dengan kata lain, penentuan kebijakan belanja modal juga berhubungan dengan peningkatan pendapatan asli daerah.
Variabel Independen
Variabel Dependen
H1
PAJAK DAERAH (X1)
RETRIBUSI DAERAH (X2)
H2
H5
BELANJA MODAL (Y)
HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH YANG DIPISAHKAN (X3)
H3
LAIN-LAIN PAD YANG SAH (X4)
H4
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual 2.4.Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka peneliti membuat hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD yang sah mempunyai pengaruh secara parsial
dan
simultan
terhadap
kabupaten/kota di Kalimantan Tengah
Belanja
Modal
pada
pemerintah