12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi Komunikasi sebagai suatu proses yang berkesinambungan tanpa awal dan
akhir merupakan bagian dari kehidupan, secara terminologis atau menurut asal katanya dari bahasa latin communication yang berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.12 Sehubungan dengan proses komunikasi, maka dikenal dengan istilah komunikator dan komunikan. Komunikator adalah individu atau kelompok yang mengambil prakarsa ataupun yang sedang mengadakan komunikasi dengan individual atau kelompok (sasaran) yang lain, sedangkan komunikan adalah penerima berita atau informasi. Dengan kata lain, menurut Communican Dictionary, komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima, melalui suatu saluran atau media. Komunikasi menyentuh semua aspek kehidupan bermasyarakat, atau sebaliknya. Semua aspek kehidupan masyarakat menyentuh komunikasi. Proses komunikasi melalui media massa adalah proses penyampaian pesan-pesan yang mengandung arti lewat media massa seperti, surat kabar, majalah, radio, televisi dan film. Kelima jenis media massa ini dikenal sebagai the big five of mass media, yang memiliki karakteristik antara lain ditujukan kepada khalayak luas, heterogen, anomin, tersebar, serta tidak mengenal batas geografis atau kultural (kebudayaan). Selain itu kegiatan komunikasi melalui media massa bersifat umum, penyampaian pesannya cenderung satu arah dan berjalan cepat serta mampu menjangkau khalayak luas. 12 Onong Uchjana Effendy. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994. hlm l 4. 12
13
2.2
Komunikasi Massa Komunikasi massa menurut pakar komunikasi Jalaludin Rakhmat diartikan
sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anomin melalui media cetak, surat kabar, majalah, elektronik, radio dan televisi. Sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.13
2.2.1 Fungsi media massa antara lain : 1. Memberikan informasi 2. Memberikan pendidikan dan membimbing 3. Menghibur 4. Mempengaruhi 5. Pengembangan mental 6. Adaptasi lingkungan 7. Manipulasi lingkungan Komunikasi massa mempelajari tentang komunikasi massa (pers, radio, televisi dan film), isinya bersifat umum atau terbuka (bukan rahasia atau bukan masalah pribadi) sehingga mencangkup baik komunikasi dengan menggunakan media massa. Dengan kata lain komunikasi massa, menekankan pada isi atau pesan dengan penggunaan media. Jadi singkatnya komunikasi massa atau mass communication adalah proses komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa.
13
Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya. Bandung 1994. hal. 34
14
2.2.2 Karakteristik Komunikasi Massa 1. Adanya suatu organisasi yang kompleks dan formal dalam tugas operasional pengirim pesan. 2. Adanya khalayak luas dan heterogen. 3. Isi pesan harus bersifat umum dan tidak bersifat rahasia. 4. Komunikasi yang dilakukan dengan massa atau khalayak yang sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, keadaan sosial dan ekonomi maupun keadaan budayanya. 5. Setiap pesan mengalami kontrol sosial dalam arti murni, yaitu nilai banyak orang dengan berbagai latar belakang, taraf pendidikan dan daya cerna masyarakat. 6. Sifat hubungan antara komunikator dan komunikan ialah anomin.
2.2.3 Ciri-Ciri Komunikasi Massa14 Adalah : 1. Komunikasi massa berlangsung satu arah (one way communication), ini berarti tidak terdapat arus balik dari komunikan. Misalnya, sutradara film tidak mengetahui tanggapan khalayak pemirsanya yang dijadikan sasarannya. Yang dimaksud dengan “tidak mengetahui“ artinya tidak mengetahui pada waktu proses komunikasi itu berlangsung. 2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga, media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan melembaga, yaitu suatu institusi atau organisasi. Komunikator pada komunikasi massa misalnya, rumah-rumah produksi, karena media yang digunakan adalah suatu lembaga dalam menyebarluaskan pesan komunikasinya bertindak atas nama lembaga, sejalan dengan nama stasiun televisi yang diwakilinya, serta ia tidak mempunyai kebebasan individual.
14
Onong Uchjana Effendy. Op-cit, hal 22-25
15
3. Pesan komunikasi massa bersifat umum (public) ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum, jadi tidak ditujukan kepada perorangan atau kepada kelompok orang tertentu. 4. Media komunikasi menimbulkan keserempakan, karena kemampuannya dapat menimbulkan keserempakan pada khalayak dalam memerima pesan-pesan yang disebarkan. 5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen, dalam keberadaanya secara terpencar-pencar, dimana satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal seperti jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita dan sebagainya. Menurut Wilbur Schramm, bila kita mengadakan komunikasi maka itu berarti kita telah mencoba membagikan informasi. Tujuannya adalah agar si penerima dan si pengirim sepaham atas suatu pesan tertentu.15 Melalui komunikasi dengan orang lain, kita dapat memenuhi kebutuhan emosional dan intelektual kita, dengan memupuk hubungan yang hangat dengan orang-orang di sekitar kita. Pesan yang bertujuan adalah pesan yang dikirimkan sumber untuk mengubah citra penerima mengenai sesuatu dalam lingkungan. Pesan yang tidak bertujuan adalah pesan yang dikirimkan sumber kepada penerima secara langsung atau melalui penjaga gerbang namun tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi penerima. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui analisis isi dari film Long Road To Heaven. Dari beberapa definisi mengenai proses dan pengertian komunikasi di atas, penulis
15
dapat
menyimpulkan
bahwa
komunikasi
merupakan
suatu
S.M Siahaan, Komunikasi Pemahaman dan Penerapannya, Jakarta: BPK Mulia, 1991,hal 13
proses
16
penyampaian dan pengiriman pesan dari sumber kepada penerima dengan menggunakan saluran atau media. Media menunjukan bukan hanya apa yang dapat dan harus dipikirkan tetapi juga bagaimana masyarakat harus berfikir mengenai realitas, tidaklah mengherankan jika media lalu menjadi ajang untuk pertarungan berbagai kepentingan, dan media juga merupakan pesan yang didalamnya mengandung daya untuk mempengaruhi.16
2.3
Film Sebagai Media Komunikasi Massa Film adalah salah satu media komunikasi massa yang merupakan suatu
kekuatan yang dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan tingkah laku. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang sifatnya audio dan visual dalam bentuk film.17 Menurut Defleur dalam bukunya Understanding Mass Communication : “….film may seek to educate or persuades and influence. More often, a film will have combined function, seeking amuse while also enriches, or persuades. For the audience, the film maybe an escape and an engaging lesson in history, morality, or human relationship.” Secara garis besar, film selain mempunyai fungsi mendidik, membujuk dan mempengaruhi juga memiliki fungsi memberitahu dan menghibur, bagi penontonnya. Film juga bisa sebagai pelarian dan suatu pelajaran yang menarik tentang sejarah, moral dan hubungan antar manusia. Film merupakan primadona bagi para pembuat film. Film Juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan.
16 Subandy Ibrahim & Hanif Susanto, Wanita dan Media, PT Remaja Rosdakarya. Bandung 1998.hal 207. 17 Onong Uchjana Effendy, Op-cit. hal 21
17
Film hakikatnya sebuah reduksi dari gambar-gambar tidak bergerak, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan sekedar cerita, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen. Dalam dunia film Indonesia. Film Sebagai sebuah media ekspresi, serta mendapatkan media distribusi dan eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra. Secara teknis, film adalah serangkaian gambar bergerak. . Mengenai cara bertuturnya, film memberikan kebebasan bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema18.
2.3.1 Jenis / Tema Film 19 : Dunia perfilman nasional telah bangun dari tidur, konspirasi ini ditandai dengan munculnya optimisme insan muda film dalam berkarya. Begitulah kira-kira kesan yang dilontarkan oleh sejumlah media cetak dan elektronik nasional menanggapi menjamurnya film-film nasional beberapa waktu ini. Berita ”gembargembor” pesan sponsor tersebut sangat menyejukkan hati bangsa Indonesia yang tengah merasa frustasi dan terpuruk oleh kondisi saat ini. Mungkin hanya dunia filmlah yang akan mampu membanggakan hati mereka yang sedang krisis identitas, 18 19
Kliping dalam diskusi film para filmmaker, edisi april 2008, kalyana shira films Askurifai Baksin. Membuat Film Indie itu Gampang. Bandung : Kataris.2003. hal 93
18
status, dan kepercayaan sebagai bangsa Indonesia, begitu kira-kira pikirnya. Negara telah bangkrut karena maraknya praktek KKN, politisi sudah makin tak peduli pada rakyat. Semua ini ditandai dengan kian melambungnya harga-harga ditambah dengan aksi perang saudara dan lain-lain. Oleh sebab itu, tak salah bila masyarakat Indonesia menaruh banyak harapan dengan meledaknya dunia perfilman nasional, demi sebuah identitas. 20 1. Drama Tema ini mengangkat aspek-aspek human interest sehingga sasarannya adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema ini dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya, seperti jika kejadian ada di sekitar keluarga maka disebut drama keluarga. 2. Action Tema ini bisa dikatakan sebagai film yang berisi pertarungan secara fisik antara tokoh baik dan tokoh jahat. 3. Komedi Film komedi ini tidak harus dimainkan oleh pelawak, tetapi juga bisa oleh pemain film biasa dan selalu menawarkan sesuatu yang membuat orang tersenyum atau tertawa. 4.
Tragedi
Tema ini menitikberatkan pada nasib manusia, sebuah film dengan akhir cerita nasib tokoh utama yang selamat dari perampokan, pembunuhan dan lainnya. 5. Horor (suspense-thriller)
20
Prima Rusdi dalam Kliping Artikel Perfilman dari Sinematek Indonesia Pusat Perfilman Indonesia 28 februari 2007
19
Film horor adalah film yang menawarkan suasana menakutkan dan menyeramkan yang membuat bulu kuduk penontonnya merinding. Suasana horor bisa dibuat dengan animasi, special effect atau oleh tokoh-tokoh dalam film. 6. Drama action Drama action menyuguhkan suasana drama dengan adegan-adegan, pertengkaran fisik’. Biasanya film dimulai dengan suasana ‘drama’ setelah itu suasana tegang berupa ‘pertengkaran-pertengkaran’. 7. Komedi tragis Suasana komedi ditonjolkan lebih dahulu kemudian disusul adegan-adegan tragis terbungkus dengan suasana komedi. 8. Komedi horor Film ini menampilkan film horor yang berkembang, kemudian diplesetkan menjadi komedi. Unsur ketegangan yang bersifat menakutkan menjadi lunak karena unsur tersebut dikemas dengan adegan komedi. 9. Parodi Tema ini merupakan duplikasi dari film-film tertentu yang diplesetkan (disindirkan). Jadi, tema parodi berdimensi duplikasi film yang sudah ada lantas dikomedikan. 10. Musikal Merupakan jenis film yang diisi dengan lagu-lagu maupun irama melodious, sehingga penyutradaraan, penyuntingan, akting, termasuk dialog, dikonsep sesuai dengan kehadiran lagu-lagu dan irama melodious. Jenis-jenis film inilah yang dikemas oleh seorang sutradara sesuai dengan tendensinya masing-masing. Ada yang tujuannya sekedar menghibur, memberi penerangan, atau mungkin kedua-duanya. Ada juga yang memasukkan dogma-dogma tertentu sekaligus
20
mengajarkan pada khalayak penonton, sehingga film dianggap cukup penting dalam penyampaian pesan yang dapat membangun karakter orang.21
2.3.2 Unsur-Unsur Film Proses produksi film merupakan kerja kolaboratif karena melibatkan sejumlah keahlian tenaga kreatif, seperti sutradara, penulis skenario, penata fotografi, penyunting, penata artistik, penata suara, penata musik dan pemeran.22 Unsur-unsur film tersebut antara lain : 1. Sutradara Sutradara memiliki tanggungjawab yang meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Seorang sutradara harus mampu membuat film dengan wawasan serta keartistikan untuk mengontrol film dari awal produksi hingga tahap penyelesaian. 2. Penulis Skenario Skenario film atau script diibaratkan kerangka bagi tubuh manusia. Scenario yang baik dinilai dari efektivitasnya sebagai cetak biru untuk sebuah film. Skenario film harus disampaikan dalam deskripsi visual dan harus mengandung ritme adegan beserta dialog yang selaras dengan tuntutan sebuah film. 3. Penata Fotografi Penata fotografi atau juru kamera bekerja sama dengan sutradara untuk menentukan jenis shot, jenis lensa, membuat komposisi dari subyek yang hendak direkam. 4. Penyunting Tenaga pelaksana penyuntingan atau editing disebut editor atau penyunting, yang bertugas menyusun hasil syuting hingga membentuk pengertian cerita. Seorang editor 21 22
Ibid , hal 2 Asrul Sani. Cara Menilai Sebuah film. Jakarta : Yayasan Citra. 1986
21
dapat melakukan pemotongan, penyempurnaan dan pembentukan kembali untuk mendapatkan isi yang diinginkan. 5. Penata Artistik Penata artistik bertugas menerjemahkan konsep visual sutradara kepada pengertianpengertian visual. Penata artistik didampingi oleh tim kerja yang terdiri dari penata kostum, bagian make-up, tenaga dekorasi, dan jika diperlukan tenaga pembuat efek khusus. 6. Penata Suara Sebagai media audio visual, film tak boleh hanya memikirkan aspek visual tapi juga sistem tata suara yang membuat pertunjukan film menjadi lebih hidup. 7. Penata Musik Sejak dahulu musik dianggap penting untuk mendampingi film, karena musik memiliki fungsi : a. Membantu merangkaikan adegan b. Menutupi kelemahan atau cacat dalam film c. Menunjukkan suasana batin tokoh-tokoh utama film d. Menunjukkan suasana waktu dan tempat e. Mengiringi kemunculan susunan kerabat kerja atau nama-nama pendukung produksi f. Mengiringi adegan dengan ritme cepat g. Mengantisipasi adegan mendatang dan membentuk ketegangan dramatik h. Menegaskan karakter lewat musik 8. Pemeran
22
Akting film diartikan sebagai kemampuan berlaku sebagai orang lain. Seorang pemeran harus memiliki kecerdasan untuk menguasai diri dan melakukan pengamatan serta latihan sebelum pelaksanaan syuting. Esensi dari struktur film terletak pada pengaturan berbagai unit cerita atau ide sedemikian rupa sehingga bisa dipahami. Struktur adalah blueprint; kerangka desain yang menyatukan berbagai unsur film dan merepresentasikan jalan pikiran dari pembuat film. Struktur terdapat dalam semua bentuk karya seni. Pada film ia mengikat aksi (action)`dan ide menjadi suatu kesatuan yang utuh. Struktur yang baik adalah struktur yang sederhana tapi penuh relief. Penyusunan pikiran dan perasaan si seniman film ditentukan oleh faktor-faktor : 1. Keutuhan (semua unsur dalam film mesti bertalian dengan subyek utamanya. 2. Ketergabungan (harus berhubungan antar unsur, dan menunjukkan kesimpulan). 3. Tekanan (tekanan akan menentukan posisi dari unit-unit utama dan sampingan film) . 4. Interes (berhubungan dengan “isi” dari setiap unit). Struktur film terdiri dari struktur lahiriah dan struktur batiniah. Dalam struktur lahiriah, terdapat unsur-unsur atau unit-unit yang membangun yaitu : shot; dapat dirumuskan sebagai peristiwa yang direkam oleh film tanpa interupsi. Unsur berikutnya adalah scene atau adegan; scene terbentuk apabila beberapa shot disusun secara berarti dan menimbulkan suatu pengertian yang lebih luas tapi utuh. Banyaknya shot, panjang pendeknya shot dalam sebuah adegan akan menentukan ritme dari adegan itu. Selain shot dan scene, adapula sequence atau babak; babak terbentuk apabila beberapa adegan disusun secara berarti dan logis. Babak memiliki ritme permulaan, pengembangan dan akhir.
23
Struktur batiniah ditentukan oleh sejumlah unsur : 1. Eksposisi (keterangan tentang temoat, waktu, suasana, watak) 2. Point of attack (konfrontasi awal dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan) 3. Komplikasi (menuturkan keterlibatan-keterlibatan antar unsur pendukung cerita) 4. Discovery / penemuan (informasi-informasi baru dalam pertengahan cerita) 5. Reversal / pembalikan (terjadinya komplikasi baru antar pendukung cerita) 6. Konflik (perbenturan antara kekuatan-kekuatan yang bertentangan) 7. Rising Action (pengungkapan pengembangan plot utam) 8. Krisis (timbul apabila komplikasi-komplikasi menuntut keputusan penting dari tokoh) 9. Klimaks (puncak paling tinggi dari semua ketegangan dan intensitas. Biasanya timbul bersamaan dengan krisis) 10. Falling action (klimaks menurun dan menuju kesimpulan) 11. Kesimpulan (tahap semua pertanyaan dijawab, masalah utama dipecahkan dan diatasi. Dalam cerita tragedi disebut katarsis, dan happy end dalam suatu komedi.). Sinematografi (film) itu sendiri adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan seni dan teknologi dan bagaimana cara menyampaikan ide melalui image yang bergerak ataupun tanpa suara. Film apapun pada hakikatnya memiliki nilai-nilai kebaikan, walaupun sajiannya kadang tidak transparan oleh berbagai kepentingan lain seperti, politik, ekonomi, agama dan budaya. Sehingga penonton tahu bahwa film pada prinsipnya memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai tuntutan dan tontonan. Sebagai tuntutan, artinya film dituntut untuk mendidik. Sebagai tontonan hiburan, film memiliki fungsi sosial, sekaligus membawa informasi dan sanggup mempengaruhi
24
selera, sikap-sikap, nilai, pengertian, dan kesadaran manusia mengenai diri dan lingkungan kehidupannya.23 Seorang pakar teori film, sigfried Kracauer menyatakan “ bahwa umumnya dapat dilihat dari bahea tehnik, isi cerita dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat secara utuh dalam hubunganya dengan pola psikologis actual bangsa itu24 2.4
Realitas Sosial Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi
sosial terhadap dunia sosial sekelilingnya. Dunia sosial yang dimaksud itu sebagai yang disebut George Simmel, Bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hokum menguasainya. Realitas Sosial itu “ada” dilihat dari subjektivitas “ada” itu sendiri da dunia objektif disekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai “kesendirian”nya, namun juga dari mana “kesendirian”itu berada, bagaimana ia menerima dan mengaktualisasikan dirinya, serta bagaimana pula lingkungan menerimanya 25. Proses
konstruksi
realitas
yang
dilakukan
oleh
media
merupakan
usaha
“menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa atau keadaan , Realitas tersebut tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui proses interaksi antara penulis berita, atau wartawan, dengan fakta. Terjadi proses dialektika antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat oleh wartawan tersebut, sehingga isi berita merupakan realitas yang telah mengalami proses konstruksi kembali. Pembuatan berita pada dasarnya merupakan proses penyusunan atau konstruksi kumpulan realitas sehingga menimbulkan wacana yang bermakna. 23
Dudung , Burhanudin, Makalah Film Yang Mendidik dan Pendidikan Film Bagi Generasi Muda Pada Apresiasi Film Indonesia III. Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video. Jakarta.1998 24 Dewan Film Nasional, Dr Taufik Abdullah, hlm 5 25 Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial : Refleksi Filsafat Sosial atas hubungan individu masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, Jakarta : Gramedia, Hlm. 91
25
Pada
umumnya
teori
dalam
paradigma
definisi
sosial
sebenarnya
berpandangan bahwa manusia adlah actor yang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaaankebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial, yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial26. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebesan untuk bertindak diluar batas control struktur dan pranata sosialnya individu berasal. Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya, karena itu, paradigma definisi social lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses social, terutama para pengikut interaksi simbolis, dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas didalam dunia sosialnya. Dalam penjelesan ontologi paradigma kontruksivitas, realitas merupakan kontruksi sosial yang diciptakan oleh individu, namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial yang bersifat nisbi, yang berlaku sosial konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial27. 2.4.1 Karakteristik Realitas Sosial Berger dan Luckmann mengatakan bahwa reaoitas terbagi 3 macam : yaitu realitas objektif, realitas subjektif dan realitas intersubjektif Realitas social adalah sebuah proses dialektikal yang berlangsung dalam proses simultan : (1) Eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk produk manusia. (2). Objektifitas, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi: (3). Internalisasi, yaitu proses 26
Ritzer, Goerge, 2004. Sosiologi : Ilmu pengetahuan ganda , Jakarta : Rajawali Pers , hlm 37 dan Burhan Bungin Dalam bukunya “Penelitian Kualitatif” hlm 80 27
Hidayat, Deny N.,1999. Dalam Bukunya “ Paradigma dan perkembangan penelitian Komunikasi , Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol III/April 1999, Jakarta : IKSI dan ROSDA, hlm.39
26
individu mengindetifikasi dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau oraganisasi tempat individu menjadi anggotanya.
2.4.2 Sifat Realitas Tabel 2.1.1 Sifat Realitas : Double Reality
Realitas Kentara
Realitas Tak Kentara
o Ada dalam system perilaku
o Ada dalam system normative
o Fakta terlihat
o Fakta abstrak
o Perilaku tetap
o Perilaku tidak tetap
o Realitas actual
o Realitas potensial
Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokultural. Dengan kata lain eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola perilaku interaksi antara individu dengan produk sosial masyarakat nya28.
2.4.3 Kontruksi Realitas Sosial Kontruksi Realitas Sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang dimasyarakat seperti konsep, kesadaran umum, dan wacana public. Dalam literatur ilmu sosial terutama cultural studies perkembangan industri media terutama film seringkali dikaitkan dengan perkembangan masyarakat informasi. Dalam konteks masyarakat seperti ini media memiliki peran yang 28
Burhan Bungin, Dalam bukunya “Penelitian Kualitatif” hlm 83-84.
27
signifikan. Media adalah sebagai sarana komunikasi antar berbagai subjek. Ia adalah merupakan medium yang menjembatani relasi komunikasi seluruh anggota masyarakat. Sehingga dengan demikian media merupakan instrumen komunikasi yang sangat vital dalam masyarakat. Belakangan ini, perkembangan industri media menjadi sangat strategis karena media memiliki peran yang cukup besar dalam masyarakat. Bahkan dalam batas-batas tertentu, media tidak hanya dimaknai sebagai instrumen komunikasi semata. Dengan arti kata lain, media telah mengalami pemaknaan yang sangat luas. Media dalam perkembanganya memiliki relasi dengan banyak faktor seperti; politik, ekonomi, sosial, budaya dll, sehingga dengan persinggungan tersebut media tidak lagi bisa dipandang independen. Dalam perpektif masyarakat informasi, media merupakan representasi dari ruang publik kerena media merupakan arena komunikasi yang memungkinkan adanya kontestasi identitas dan sebagai artikulasi politik identitas. dalam pengertian demikian media tidak lepas dari intervensi kepentingan dan kekuasaan. Opini atau pengetahuan yang diproduksi oleh media dengan demikian tidak lepas dari nilai atau bebas nilai dan kepentingan – kepentingan tertentu. Relasi antara media dengan konstruksi realitas terutama film . merupakan bagian dari realitas yang dikonstruksi secara sosial atau persoalan natural yang sudah terkonstruksi secara bertahap, memberikan kolaborasi bahwa budaya media menunjuk pada suatu keadaan dimana tampilan audio dan visual atau tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang.
28
Media sebagai manifestasi ruang publik yang menampilkan lalu lintas opini atau wacana yang berkembang dalam sebuah masyarakat memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memproduksi pengetahuan atau konstruksi sosial. Melalui tayangantayangan atau program yang di ekspose media sesungguhnya telah terjadi produksi pengetahuan atau budaya. Bahkan bisa dikatakan media cenderung ‘menghegemoni’ ruang kesadaran penontonnya sehingga ‘produksi’ dan ‘reproduksi’ opini itu menjadi ‘pandangan dunia’ yang menceminkan persepsi masyarakat terhadap “dunia luar”. Penonton dalam industri media diposisikan menjadi ‘audiens pasif’ sehingga cenderung menerima produksi pengetahuan secara given. Kesadaran kritis masyarakat atau audiens dimamfaatkan sedemikian rupa sehingga mereka ‘dijejali’ opini yang sesungguhnya – meminjam bahasa Teori Kritis - tidak bebas nilai. Hal ini terjadi karena intensitas keseharian masyarakat saat ini selalu kontak dengan media. film misalnya. Hampir bisa digeneralisir anak-anak zaman sekarang lebih besar daripada bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman sejawatnya. Sehingga ”bahwa film berdampak pada ‘ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, dan dimana kita mempersepsikan “dunia”, “realitas yang dijalani” orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui ”dunia secara keseluruhan” yang dapat dipahami. budaya media memang tidak lepas dari intervensi pasar yang hanya mengedepankan kompetisi. Sebagai misal dalam industri perfilman peran-peran yang dimainkan seseorang 29. Media tidak semata-mata sebagai saluran pesan yang pasif akan tetapi media pun aktif melakukan konstruksi terhadap peristiwa. Melalui berbagai instrumen yang
29
Nugroho Notosusanto, dalam bukunya” Media, Film dan Konstruksi Budaya” komunitas muda maju setapak (KOMMPAK), Jogjakarta 2007. hal 17-20.
29
dimilikinya media berperan serta membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kontruksi terhadap realitas dapat dipahami sebagai upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, benda atau apapun. Film Maker ketika melihat suatu realitas ia menggunakan pandangan tertentu sehingga realitas yang hadir merupakan realitas yang subjektif. Berbeda dengan dengan pandangan yang mengandaikan terdapat realitas “berada diluar sana” yang objektif, mengutip jargon film seri fiksi ilmiah The “X” Files, the truth is out there (kebenaran itu berada di luar –manusia). Realitas (fakta) bukanlah sesuatu yang terberi (reality is not given) melainkan ada dalam benak kita . Fakta atau realitas itu diproduksi dan dikonstruksi dengan menggunakan perspektif tertentu yang akan dijadikan bahan. Film sebagai media massa merupakan konstruksi kultural, dalam melihat realitas sosial media menggunakan kerangka tertentu untuk memahaminya. Media melakukan seleksi atas realitas, mana realitas yang akan diambil dan realitas mana yang ditinggalkan. media massa merupakan filter yang menyaring sebagaian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan sekaligus kendala yang mengahalangi kebenaran. Dalam kegiatannya merangkai atau menceritakan peristiwa yang terjadi, pada dasarnya media menafsirkan dan merangkai kembali kepingankepingan fakta dari realitas yang begitu kompleks sehingga membentuk sebuah kisah yang bermakna dan dapat dipahami oleh khalayak30. Ada tiga tingkatan bagaiamana media membentuk realitas, pertama media membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu. Kedua, media memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat dalam berita. Ketiga, media juga menentukan apakah peristiwa
30 Novri Susan, dalam penelitiannya “ Konflik dalam Perspektif sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama Masyarakat Ambon Maluku sebagai Konstruksi Sosial”, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003. hal 13-18.
30
ditempatkan sebagai hal yang penting atau tidak. Tidak berlebihan jika Tony Bennet menyebut media sebagai agen konstruksi sosial31 . Berdasar argumentasi diatas, begitu juga dengan persoalan realitas adalah merupakan bagian dari konstruksi sosial yang dibudayakan.
2.4.4 Realitas Sosial Bentukan Kontruksi Sosial Realitas Sosial dibangun melalui proses simultan yang dijelaskan berger dan Luckmann. Menurut Burger dan Luckmann32, pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat. Realitas social disebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang dimasyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana public sebagai hasil dari kontruksi sosial. Realita social dikontruksi melalui proses externalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckman kontruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa namun syarat dengan kepentingan- kepentingan. Realitas sosial yang dimaksud oleh berger dan Lukcman ini terdiri dari realitas objektif, realitas simbolis, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman didunia objektif yang berada diluar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekpresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedang realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis kedalam individu melalui proses internalisasi. Jika kontruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum, dan wacana publik, maka menurut Gramsci, Negara melalui alat pemaksa seperti birokrasi, administrasi
31
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003.hal 129-189. Nugroho, Heru “Kontruksi sara, Kemajemukan dan Demokrasi “.UNISIA, No.40/XXII/IV/1999,yogyakarta:UII, hlm 123,. 32
31
maupun militer, ataupun melalui supremasi terhadap msyarakatnya dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontekstual. Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat. Sehingga wacana yang diciptakan oleh negara akhirnya dapat diterima oleh masyrakat sebagai akibat dari hegemoni itu.sebagai mana yang dijelaskan oleh Nugroho, Bahwa menurut Marcuse 1964 realitas penerimaan wacana yang diciptakan oleh Negara itu disebut “ Desublimasi Represif “. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh Negara walaupun implikasi dari wacana itu menindas intelektual dan kultural masyrakat33. Berkembanganya suatu film adalah hasil dari konstruksi sosial (socially constructed). Suatu film berkembang sebagai suatu hasil bentukan sosial (social shaping) di mana film tersebut berada. Ketika berinteraksi dengan masyarakat mengalami proses appropriation (diterjemahkan secara bebas sebagai penyesuaian). Appropriation adalah suatu proses pemberian makna oleh kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai serta kepentingan yang ada pada masyarakat tersebut terhadap suatu produksi atau karya teknologi. Pemberian makna yang beragam, baik antar individu maupun antar kelompok, menjadikan proses perkembangan (evolusi) teknologi menjadi multikultural. Proses appropriation menjadi krusial ketika film menjadi alat (manipulasi) yang ampuh. Penguasaan mengelola pesan sosia danl pencitraan melalui film oleh negara-negara maju adalah salah satu bukti bagaimana negara-negara tersebut mampu mendominasi konstelasi politik dunia melalui teknologi. Dari penjelasan ini peneliti bisa memahami bagaimana “nilai” suatu produksi film pada suatu kelompok sosial tertentu berbeda dengan kelompok sosial lainnya karena perbedaan budaya, kedua kelompok tersebut Sebagai misal,
33
Burhan Bungin, Dalam bukunya “Penelitian Kualitatif” hlm 89s/d 90
32
kecenderungan orang Indonesia dalam memaknai produksi sebagai bagian dari gaya hidup menghasilkan nilai guna yang berbeda dengan orang Eropa yang memperlakukan
produksi
semata-mata
sebagai
instrument,
Pada
intinya
konstruksionisme menyatakan bahwa realitas adalah hasil konstruksi, dan pada akhirnya realitas yang ada di dunia ini tidaklah bersifat objektif, semuanya memiliki subjektifitas dari yang membuat maupun yang menerima realitas itu, perspektif atau cara pandang dalam realitas juga mempengaruhi terhadap penilaian sesuatu realitas.34.
34
Sulfikar Amir, dalam penelitiannya “Demokrasi film dan teknologi” Department of Science and Technology Studies, New York, Amerika Serikat. 2006. hal 76-80.