BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka 1. Health-care Associated Infections (HAIs) a. Definisi Health-care Associated Infections (HAIs) HAIs ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut juga sebagai infeksi di rumah sakit yang merupakan komplikasi paling sering terjadi di pelayanan kesehatan. Infeksi nosokomial adalah Infeksi yang didapatkan atau ditimbulkan pada waktu pasien di rumah sakit (Badi A, M., 2007 dalam Nursalam, 2011). HAIs merupakan infeksi yang didapat pasien selama menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di pelayanan kesehatan setelah ≥ 48 jam dan ≤ 30 hari setelah keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan (WHO, 2011). Menurut Potter & Perry (2010), menyebutkan bahwa infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan/ HAIs (infeksi nosokomial) biasanya disebut dengan infeksi yang didapatkan dari pelayanan kesehatan atau nosokomial, ialah infeksi yang dihasilkan dari penyampaian pelayan pada suatu sarana pelayanan kesehatan. Infeksi dapat terjadi sebagai hasil prosedur yang invasif, pemakaian antibiotik, adanay organisme yang resisten dengan berbagai obat, dan adanya pelanggaran dalam kegiatan pencegahan dan kontrol infeksi.
Infeksi iatrogenik adalah jenis HAIs yang berasal dari suatu prosedur diagnostik atau teraupetik. HAIs dapat bersifat eksogen atau endogen. Organisme eksogen merupakan jenis organisme yang berada diluar klien, contohnya infeksi pascaoperasi. Sedangkan organisme endogen merupakan bagian dari flora normal atau organism virulen yang menyebabkan infeksi. Infeksi endogen dapat timbul ketika bagian dari flora klien menjadi berubah dan terus bertumbuh secara berlebih, contoh penggunaan antibiotic sehingga menyebabkan terkena infeksi C.difficile (Potter & Perry, 2010). National Health and Medical Research Council (2010) menyebutkan bahwa terdapat sekitar 200.000 HAIs di Australia yang didapatkan dari fasilitas kesehatan perawatan akut dalam tiap tahun. Hal ini menjadikan HAIs sebagai komplikasi yang paling umum mempengaruhi pasien di rumah sakit. Disebutkan juga bahwa pengaruh dari masalah HAIs tersebut tidak hanya mempengaruhi pasien saja melainkan juga pekerja di rumah sakit seperti pengaturan kesehatan di bagian apa pun, termasuk praktik berbasis kantor (misalnya klinik praktek umum, klinik gigi) dan fasilitas perawatan jangka panjang. Department of Health and Human Services (2013), HAIs adalah infeksi yang pasien dapatkan ketika menerima pengobatan untuk kondisi medis ataupun bedah. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2010), HAIs merupakan salah satu dari
sepuluh penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan juga merupakan salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas antara pasien yang mendapatkan perawatan di rumah sakit di seluruh dunia. HAIs disebabkan oleh berbagai agen infeksius, termasuk bakteri, jamur, dan virus. Namun, mereka sebagian besar dapat dicegah. b. Transmisi Infeksi di Pelayanan Kesehatan Infeksi yang didapatkan dari rumah sakit (hospital aquired infections) ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada di dalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang disebut dengan self infection atau auto infection, sedangkan infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya. Penyebaran dan penularan infeksi di rumah sakit (Darmadi, 2008). Cruickshank M & Ferguson J (eds) (2008) menyebutkan bahwa infeksi membutuhkan tiga elemen utama yaitu sumber agen infeksi, mekanisme penularan infeksi, dan pejamu. Menurut Darmadi (2008), mekanisme penyebaran infeksi (mode of transmission) yaitu melalui penularan langsung dan tidak langsung. Berikut penjabarannya :
1) Penularan langsung Melalui droplet nuclei yang yang berasal dari petugas, keluarga atau pengunjung, melalui darah saat transfusi darah, dan penderita lainnya. 2) Penularan tidak langsung a) Vehicle-borne, yaitu penyebaran atau penularan mikroba melalui benda-benda mati, misalnya peralatan medis, bahanbahan atau material medis, peralatan makan dan minum penderita, tindakan-tindakan invasif (pemasangan kateter, infus, dan lain-lain), tindakan pembedahan (bedah minor, pembedahan
di
kamar
bedah),
proses
dan
tindakan
obstetri/ginekologi, dan sebagainya. b) Vector borne, penyebaran atau penularan dengan perantara vektor seperti lalat. Contohnya yaitu pada kasus-kasus yang rentan dihinggapi lalat (luka bakar, jaringan nekrotik, luka terbuka, gangren, dan sebagainya). c) Food borne, penyebaran atau penularan melalui makanan dan minuman yang disajikan. d) Water borne, kemungkinan terjadi penyebaran atau penularan melalui air. e) Air borne, penyebaran/penularan yang terjadi melalui udara. Peluang terjadi infeksi silang melalui udara ini kejadian cukup tinggi karena terdapat ruangan/bangsal yang tertutup, ventilasi
udara yang kurang baik, dan pencahayaan yang kurang. Hal ini dapat menjadi lebih buruk dikarenakan jumlah pasien yang banyak. Agen infeksius juga disebut dengan patogen merupakan agen biologis yang dapat menyebabkan penyakit atau yang menderita penyakit. Terdapat banyak agen infeksi menular yang menyebar di pengaturan kesehatan. Para pasien dan pekerja layanan kesehatan memiliki kemungkinan besar sebagai sumber penyebaran infeksi dan juga yang paling umum menjadi penderita yang rentan. Pengunjung dan pekerja lain di layanan kesehatan kemungkinan juga dapat beresiko menularkan infeksi (National Health and Medical Research Council, 2010). c. Proses Terjadinya Health-care Associated Infections (HAIs) Darmadi (2008) menyebutkan faktor-faktor yang memiliki peluang untuk terjadinya infeksi nosokomial (HAIs) tersebut yaitu : 1) Faktor-faktor yang terdapat dari diri penderita (instrinsic factors) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi atau terdapat penyakit lain yang menyertai penyakit dasar pasien dan juga komplikasinya. 2) Faktor keperawatan, hal ini berkaitan dengan lamanya pasien dirawat di rumah sakit (length of stay), menurunnya standar keperawatan atau asuhan keperawatan yang diberikan, dan ruangan rawat inap yang padat.
3) Faktor mikroba patogen, seperti tingkat kemampuan invasi dan merusak jaringan, lamanya pemaparan (length or exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita. d. Dampak dari Health-care Associated Infections (HAIs) Health-care Associated Infections (HAIs) memiliki beberapa dampak yang merugikan bagi berbagai pihak. Weston (2013) menyebutkan dampak Health-care Associated Infections (HAIs) yaitu : 1) Efek pada pasien dan keluarga mereka , ketakutan dan kecemasan , efek psikologis pengucilan di dalam ruangan atau isolasi, kehilangan pendapatan, bahaya, cacat atau kematian 2) Peningkatan lama perawatan 3) Tertunda kepulangan, kehilangan waktu tidur dan pendapatan 4) Pengeluaran untuk proses pengadilan, mengharuskan untuk menggunakan antibiotik, tambahan peralatan, penambahan staff atau karyawan dan tambahan sumber pembersihan (situasi wabah) 5) Denda
akibat
kegagalan
dalam
menurunkan
target
dan
menghilangkan infeksi dari Departemen kesehatan dan komite pengawas kesehatan terkait. 6) Menurunnya kepercayaan masyarakat dengan buruknya pelayanan kesehatan dari rumah sakit 7) Merugikan masyarakat 8) Lemahnya keyakinan dan semangat para staf
2. Manajemen Risiko a. Risiko Risiko didefinisikan sebagai kemungkinan atau peluang yang berpotensi memiliki dampak terhadap sasaran. Definisi risiko menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan). Definisi lain risiko adalah dampak dari ketidakpastian terhadap pencapaian obyektif. Dampak menurut ISO 31000 adalah deviasi dari apa yang diharapkan, bisa bersifat positif atau negatif. Risiko juga diartikan sebagai kejadian yang dapat merugikan (Hanafi, 2006). Menurut Emmaett J. Vaughan dan Curtis M. Elliott (1978), risiko didefinisikan sebagai; 1) Kemungkinan terjadinya kerugian – the chance of loss 2) Kemungkinan kerugian – the possibility of loss 3) Ketidakpastian – uncertainty 4) Penyimpangan
kenyataan
dari
hasil
yang
diharapkan–the
dispersion of actual from expected result 5) Probabilitas bahwa suatu hasil berbeda dari yang diharapkan –the probability of any outcome different from the one expected. Atau dapat disimpulkan bahwa risiko adalah kemungkinan hal yang dapat terjadi yang tidak menguntungkan atau suatu potensi bahaya yang dapat memberikan pengaruh atau dampak pada hasil akhir.
Menurut Siahaan (2009), macam-macam risiko yaitu 1) Risiko murni adalah risiko yang timbul jika ketidakpastiaan menyangkut kerugian akan terjadi aau tidak terjadi. 2) Risiko spekulasi adalah berkaitan dengan ketidakpastian apakah akan menjadi keuntungan atau kerugian 3) Risiko statis merupakan risiko dalam masyarakat yang tidak berubah atau stabil. Sedangkan Risiko dinamis adalah risiko yang hadir dalam masyarakat yang dinamis 4) Risiko subyektif adalah bersumber dari skap mental atau cara berpikir seseorang. Risiko obyektif adalah risiko yang dapat diamati dan diukur yakni berupa penyimpangan hasil aktual dengan yang diharapkan semula. Jacobalis (2015) menyebutkan kategori risiko di rumah sakit adalah sebagai berikut : 1) Risiko klinis yaitu risiko yang berhubungan dengan asuhan klinis pada pasien. Berkaitan dengan risiko klinis yaitu bahaya, kesialan, musibah, atau hal-hal yang potensial merugikan pasien. Misalnya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) atau near miss (terjadi sesuatu tetapi tidak sampai merugikan pasien), adverse event (kejadian atau peristiwa yang sampai cedera dan kerugian), medical error, dan sebagainya. Menurut Sabarguna (2008), risiko klinis merupakan risiko yang kemungkinan
terjadi dapat terjadi atu tidak, adanya ketidakberuntungan atau kesalahan berkaitan dengan faktor yang terlibat dalam pelayanan (dokter, perawat, pasien, alat klinis, dan lingkungan klinis sebagai contohnya yaitu ketidakberuntungan seperti penyebaran infeksi, infeksi nosokomial. 2) Risiko non klinis (coopoprate risks) merupakan risiko yang berkaitan dengan organisasi dan finansial. Misalnya keamanan, kebakaran, korupsi, kerugian keuangan dan lain-lain. Menurut Bury PCT (2007), risiko finansial adalah risiko yang dapat mengganggu kontrol finansial yang efektif, salah satunya sistem yang harusnya dapat menyediakan pencatatan akuntasi yang baik. 3) Risiko terhadap tenaga kerja di rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan pegawai atau staf yang bekerja di rumah sakit baik medis maupun non medis. Contohnya kecelakaan kerja staf rumah sakit, dokter bedah tertular HIV-AIDS dari darah pasien ketika melakukan operasi, tertular TBC dari pasien dan sebagainya. 4) Risiko organisasi. Misalnya terjadi kegagalan menjaga kerahasiaan informasi yang konfidensial. b. Manajemen risiko Menurut ISO 31000 : 2009, definisi manajemen risiko adalah aktivitas yang terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan
sebuah organisasi dalam menangani risiko. Proses yang dengan cara sistematis mengelola (to manage) ancaman risiko disebut sebagai manajemen risiko (Siahaan, 2009). National Health and Medical Research Council (2010) menjelaskan bahwa manajemen risiko merupakan
sebuah
proses
yang
dari
langkah-langkah
yang
didefinisikan dengan baik, diambil secara sistematis, mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik dengan memberikan kontribusi wawasan yang lebih yang berhubungan dalam risiko dan dampaknya. Hal ini adalah digunakan dalam mengidentifikasi peluang untuk menghindari kerugian. Manajemen risiko dengan mengadopsi teknik yang efektif dapat membantu meningkatkan kinerja bisnis, keselamatan, mutu dan dan kualitas (SAI Global, 2003). Enterprise Risk Management (ERM) atau manajemen risiko organisasi menurut COSO (2004) dalam Astuti (2010) adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen dan personalia lainnya, yang diterapkan dalam menyusun strategi dalam organisasi, dirancang untuk menidentifikasi kejadian-kejadian yang potensial terjadi yang dapat mempengaruhi entitas, dan mengelola risko untuk mencakup dalam jangkauan risiko, menyediakan perlindungan yang layak yang berkaitan dengan pencapaian tujuan entitas. Manajemen risiko rumah sakit menurut The Joint Commission On Acreditation Of Healthcare Organizations adalah suatu kegiatan
klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi, dan pengurangan terjadinya risiko yang mengancam/membahayakan sehingga dapat merugikan pasien, pengunjung,
dan
institusi
rumah
sakit.
Manajemen
risiko
adalah dasar untuk mencegah dan mengurangi bahaya yang timbul dari HAIs (National Health and Medical Research Council, 2010). c. Fungsi Manajemen Risiko Menurut Siahaan (2009), Fungsi manajemen risiko meliputi : 1) Menetapkan kebijaksanaan dan strategi manajemen risiko, 2) Primary champion of risk management pada level strategis dan operasional, 3) Membangun budaya sadar risiko di dalam organisasi melalui pendidikan dan pengetahuan yang memadai, 4) Menetapkan kebijaksanaan risiko internal dan struktur pada unit usaha dalam konteks ini adalah rumah sakit, 5) Merancang dan mengkaji ulang proses manajemen risiko, 6) Pengoordinasian berbagai macam kegiatan fungsional yang memberikan pendapat terkait permasalahan manajemen risiko dalam organisasi, 7) Membangun proses cepat tanggap risiko, 8) Menyiapkan laporan terkait risiko kepada pihak dewan direksi dan stakeholders.
d. Komponen manajemen risiko Organisasi Menurut COSO dalam Astuti (2010) manajemen risiko organisasi terdapat delapan elemen. Elemen ini merupakan bagaimana proses manajemen melaksanakan organisai dan terintergrasi. Delapan elemen tersebut yaitu (1) lingkungan internal, (2) penyusunan tujuan, (3) identifikasi risiko, (4) penilaian risiko, (5) respon terhadap risiko, (6) aktivitas pengendalian, (7) informasi dan komunikasi, dan (8) pengawasan. Proses manajemen risiko adalah penerapan secara sistematik kebijakan manajemen, prosedur dan praktik manajemen dalam pelaksanaan tugas untuk melakukan komunikasi dan konsultasi, menetapkan
konteks,
melakukan
identifikasi,
menganalisis,
mengevaluasi, memperlakukan, memantau dan mengkaji risiko (ISO Guide 73). Menurut Siahaan (2009) bahwa proses manajemen risiko terdiri dari empat langkah meliputi (1) identify risk, (2) evaluate risk, (3) select risk management techniques, dan (4) implement and review techniques.
Gambar 1. Proses Manajemen Risiko pada HAIs (Lardo, dkk., 2016) Menghindari risiko
Identifikasi Risiko Agen infeksi yang terlibat Bagaimana cara transmisinya, siapa yang berisiko (pasien atau petugas kesehatan Pengobatan Risiko
Analisis Risiko
Apa yang akan dilakukan pada risiko, siapa yang bertanggungjawab
Mengapa hal tersebut dapat terjadi (kejadian dan proses), apa yang dapat menjadi konsekuensi
Komunikasi dan konsultasi
Meyakinkan bahwa risiko diidentifikasi, dianalisis, dan diatasi
Jika risiko tidak dapat dieliminasi, harus dikelola Informasi risiko dan penularan diantara kelompok
Monitoring dan Review
Adakah proses alternatif atau prosedur yang dapat mengeliminasi risiko
Evaluasi risiko Apa yang dapat dilakukan untuk menurunkan atau mengeliminasi risiko Bagaimana kondisi ini dapat diaplikasikan pada situasi tersebut (staf, sumber) ba
Penjelasan proses manajemen risiko pada gambar 1 diatas, menurut National Health and Medical Research Council (2010) menjabarkan berdasarkan standar Australia/Selandia Baru terkait Manajemen Risiko AS/NZS berbasis ISO 31000: 2009 dengan pendekatan bertahap untuk manajemen risiko yang memungkinkan dalam peningkatan mutu berkelanjutan, tahapan itu meliputi :
1) Menetapkan konteks dalam mengidentifikasi parameter dasar di mana risiko harus dikelola (misalnya jenis fasilitas kesehatan, tingkat dan fasilitas
yang
mendukung
untuk
program
pencegahan
dan
pengendalian infeksi) 2) Menghindari risiko - menetapkan apakah ada risiko dan apakah potensi risiko dapat dihindari. Misalnya dengan mempertanyakan apakah prosedur yang diperlukan. 3) Mengidentifikasi risiko merupakan proses yang sistematis dan komprehensif yang memastikan bahwa tidak ada risiko potensial dikecualikan dari analisis lebih lanjut dan pengobatan (mis menggunakan analisis akar penyebab) 4) Menganalisis risiko dengan mengingat sumber risiko, konsekuensinya, kemungkinan bahwa mereka konsekuensi dapat terjadi, dan faktorfaktor yang mempengaruhi konsekuensi dan kemungkinan (misalnya ada kontrol). Analisis risiko/ penilaian risiko merupakan proses menganalisa tingkat resiko, pertimbangan tingkat bahaya, dan mengevaluasi apakah sumber
bahaya
dapat
dikendalikan
atau
tidak,
dengan
memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi. Indikator yang bisa dijadikan dasar penilaian antara lain : (a) Adanya penilaian risiko untuk setiap bahaya yang ada. (b) Terdapat risk matrix. Untuk mengidetifikasi potensi kerugian gunakan tabel matriks kualitatif.
Gambar 2 matrix risiko Analisa
matrik
grading
risiko
(KKP-RS,
2008):
Penilaian matriks risiko adalah suatu metode analisa kualitatif untuk menentukan derajat risiko suatu insiden berdasarkan dampak dan probabilitasnya. (a) Dampak (Consequences) Penilaian dampak / akibat suatu insiden adalah seberapa berat akibat yang dialami pasien mulai dari tidak ada cedera sampai meninggal. (b) Probabilitas / Frekuensi /Likelihood Penilaian tingkat probabilitas / frekuensi risiko adalah seberapa seringnya insiden tersebut terjadi.
Gambar 3. Penilaian Dampak Klinis / Konsekuensi / Severity
Gambar 4. Penilaian Probabilitas / Frekuensi Tingkat risiko 1 2
Deskripsi
Kegiatan
solid Good
3 4
fair poor
5
None
Peraturan ada, fasilitas ada dilaksanakan Peraturan ada,faslitas ada, tidak selalu dilaksanakan Peraturan ada, fasilitas ada,tidak dilaksanakan Peraturan ada, fasilitas tidak ada tidak dilaksanakan Tidak ada peraturan
Gambar 5. Penilaian sisem yang ada Setelah nilai dampak dan probabilitas diketahui, dimasukkan dalam Tabel Matriks Grading Risiko untuk menghitung skor risiko dan mencari warna bands risiko. a) Skor Risiko Menurut Health Service Executive (2013), dua elemen ditentukan ketika menilai tingkat risiko yang ditimbulkan oleh risiko yang telah diidentifikasi: (1) Kemungkinan bahwa risiko mungkin terjadi atau terulang kembali. (2) Dampak merugikan pengguna layanan, staf, layanan, lingkungan atau organisasi. Tingkat risiko merupakan perkalian dari skor probabilitas dan skor dampak yang didapat dari responden (Well-Stam, et.al., 2004). Nilai risiko
merupakan perkalian dari skor probabilitas dan skor dampak, skor risiko didapat dari responden (Hillson, 2002). Untuk mengukur risiko dapat menggunakan rumus : R P I
keterangan : R = Tingkat risiko P = Kemungkinan (Probability) risiko yang terjadi I= Dampak (Impact) risiko yang terjadi Cara menghitung skor risiko : Untuk menentukan skor risiko digunakan matriks grading risiko (gambar 5): (1) Tetapkan frekuensi pada kolom kiri (2) Tetapkan dampak pada baris ke arah kanan, (3) Tetapkan warna bandsnya, berdasarkan pertemuan antara frekuensi dan dampak. b) Bands Risiko Bands risiko adalah derajat risiko yang digambarkan dalam empat warna yaitu : Biru, Hijau, Kuning dan Merah. Warna “bands” akan menentukan Investigasi yang akan dilakukan : jika Bands BIRU dan HIJAU
: Investigasi sederhana, jika Bands KUNING dan MERAH :
Investigasi Komprehensif / RCA
Gambar 6. Matrix Grading Risiko Level/bands Exterem (sangat tinggi) High (tinggi) Moderate (sedang) Low (rendah)
Tindakan Risiko ekstrem, dlakukan RCA palin lama 45 hari, membutuhkan tindakan segera. Perhatian sampai ke direktur, perlu pengkajian yang sangat dalam Risiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari,membutuhkan tindakan segera serta membutuhkan tindakan Top manajemen Risiko sedang dilakukan investigasi sederhana paling lama 2 minggu, manajer/pimpinan klinis sebaiknya menilai dampak terhadap bahaya dan kelola risiko Risiko rendah dilakukan invesigasi sederhana paling lama 1 minggu diselesaikan dengan prosedur rutin
Gambar 7. Tindakan Berdasarkan Tingkat dan bands risiko
5) Mengevaluasi risiko dengan membandingkan tingkat risiko yang ditemukan selama proses analisis dengan sebelumnya didirikan kriteria risiko
dan
menilai
pilihan
yang
tersedia
untuk
kemudahan
implementasi dan dampak, menghasilkan daftar prioritas risiko untuk tindakan lebih lanjut 6) Tindak lanjut risiko yaitu menerapkan opsi pengelolaan yang tepat untuk menangani risiko yang teridentifikasi (misalnya memodifikasi prosedur, protokol atau praktek kerja, memberikan pendidikan, dan pemantauan sesuai dengan prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi).
7) Monitoring dan review merupakan komponen penting dari proses manajemen risiko. Hal ini memastikan bahwa: a) Risiko baru diidentifikasi b) Analisis risiko diverifikasi terhadap data real, jika memungkinkan c) perlakuan resiko diimplementasikan secara efektif. 8) Komunikasi dan konsultasi juga unsur-unsur kunci dari manajemen risiko klinis. Interaktif pertukaran informasi antara manajemen, pekerja kesehatan, pasien dan pemangku kepentingan lainnya memberikan
dasar
untuk
meningkatkan
kesadaran
pentingnya
pencegahan dan pengendalian infeksi, identifikasi risiko sebelum mereka muncul dan manajemen yang cepat dari risiko yang terjadi. 3. Surveilans Health-care Associated Infections Menurut WHO dan Depkes (2007), surveilans merupakan kegiatan pengamatan berkelanjutan dan sistematik melalui pengumpulan data, mengolah data, analisis, interpretasi, serta desiminasi informasi yang diperlukan untuk tindakan (action). Surveilans infeksi nosokomial adalah salah satu kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit dengan dilakukan dengan lima langkah yaitu pengumpulan data, pengelolaan data, analisis dan interpretasi, distribusi data, dan evaluasi (Kemenkes RI, 2010). Fungsi dari surveilans adalah sebagai (1) deteksi dini, (2) pelaporan, (3) penyelidikan dan informasi, (4) analisa data dan interpretasi, dan (5) tindakan atau respon.
Indikator pengendalian infeksi nosokomial menurut Depkes (2001) meliputi angka pasien dekubitus, angka kejadian dengan jarum infus, dan angka kejadian infeksi luka operasi. Ketiga indicator ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Angka Pasien dengan Dekubitus (Decubitus Ulcer Rate) Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan/atau jaringan yang dibawahnya yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah baring. Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau dimiringkan dalam waktu 2 x24 jam. Angka pasien dengan dekubitus adalah banyaknya penderita yang menderita Dekubitus dan bukan banyaknya kejadian Dekubitus. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka pasien dengan dekubitus (APD) menurut Kemenkes (2010) adalah: Jumlah kasus dekubitus x 1000 Jumlah lama tirah baring b. Angka Infeksi Flebitis atau karena Jarum Infus (Intravenous Canule Infection Rate) Infeksi karena jarum infus adalah keadaan yang terjadi disekitar tusukan atau bekas tusukan jarum infus di Rumah Sakit, dan timbul setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit kecuali infeksi kulit karena sebab-sebab lain yang tidak didahului oleh pemberian infus atau suntikan lain. Infeksi ini ditandai dengan rasa panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, dan rubor) dengan atau tanpa nanah
(pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus dalam waktu 3 x 24 jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang. Rumus yang digunakan untuk
mengukur Angka kejadian infeksi karena jarum
infus (AIKJ) atau kejadian plebitis menurut Kemenkes (2010) adalah: Jumlah kasus kejadian plebitis
x 1000
Jumlah lama hari pemakaian kateter perifer c. Angka Kejadian Luka Operasi (Surgical Surgery Infection Rate) Infeksi nosokomial (HAIs) yang sering terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %, tergantung tipe operasi dan penyakit yang mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan, karena memberikan dampak pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan bertambah lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu ditemukan discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka. Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara eksogen (berasal dari udara, dari alat kesehatan, dokter bedah dan petugas petugas lainnya), maupun endogen dari mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan antimikroba yang diterima pasien (WHO, CDC, 2002). Adanya infeksi nosokomial pada semua kategori luka sayatan operasi bersih yang dilaksanakan di rumah sakit ditandai oleh rasa panas (kalor), kemerahan(color), pengerasan (tumor), dan keluarnya nanah (pus) dalam waktu lebih dari 3 x 24 jam kecuali infeksi
nosokomial yang terjadi bukan pada tempat luka. Menurut Kemenkes (2010), rumus yang digunakan untuk mengukur angka infeksi daerah operasi (IDO) adalah: Jumlah kasus infeksi daerah operasi x 100 Jumlah kasus operasi tersebut d. Jenis-jenis Health-care Associated Infections (HAIs) lainnya 1) Infeksi Saluran Kemih Merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran kemih ini berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan kematian dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Namun kadangkadang dapat menyebabkan bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif apabila kultur urin ≥ 105 mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna, misalnya E. coli ataupun didapat dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten. (WHO, CDC, 2002). Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka infeksi saluran kemih (ISK) menurut Kemenkes (2010) adalah: Jumlah kasus ISK Jumlah lama hari pemakaian kateter urin tetap
x 1000
2) Infeksi Saluran Pernafasan/Pneumonia Hal yang terpenting adalah penggunaan ventilator pada pasien yang dirawat di ICU dimana prevalensi terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Infeksi Pneumonia merupakan angka kejadian fatal yang tinggi, yang dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi pada paru (pneumonia). Sering merupakan endogen, tetapi dapat juga secara eksogen. Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor resiko adalah tipe dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien atau ada atau tidaknya penggunaan antibiotik sebelumnya. (WHO, CDC, 2002). Rumus angka kejadian VAP dan HAP menurut Kemenkes (2010) adalah (a) Insiden rate VAP = jumlah kasus VAP
x 1000
Jumlah lama hari pemasangan ETT (b) Insiden rate HAP = jumlah kasus pneumonia x 1000 Jumlah lama hari rawat 4. Kewaspadaan standar (Standart precaution) Penerapan keawaspadaan standar diharapkan dapat menurunkan risiko penularan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang dikertahui maupun yang tidak diketahui (WHO, 2008). Kewaspadaan
standar merupakan kombinasi bagian utama dari kewaspadaan universal (dibuat untuk mengurangi resiko penularan patogen melalui darah dari darah dan cairan tubuh) dan isolasi zat tubuh (dirancang untuk mengurangi resiko penularan penyakit dari zat tubuh yang lembab) (Depkes, 2007). Penerapan kewaspadaan standar terdapat beberapa komponen utama menurut WHO (2010) adalah kebersihan tangan, sarung tangan, pelindung wajah (mata, hidung, dan mulut), gaun pelindung, kebersihan pernafasab
dan
etika
batuk,
kebersihan
lingkungan,
linen,
dan
pembuangan limbah. Berikut penjabaran komponen tersebut : a. Kebersihan tangan Cuci tangan selama 40-60 detik dengan membasahi tanan dan mengunakan
sabun serta di gosok secara menyeluruh keseluruh
bagian tangan, dibilas kemudian kerinkan dengan handuk bersih sekali pakai dan mematikan keran. Penggosokkan tangan *(hand scrub) dilakukan selama 20-30 detik dengan menggunakan caian antiseptik dalam jumlahyang cukup untuk seluruh bagian tangan, gosok tangan hingga kering. Indikasi melakukan cuci tangan yaitu : 1) Sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien dan diantar pasien, baik mengunakan maupn tidak menggunakan sarung tangan 2) Segera setelah sarung tangan dilepas 3) Sebelum memegang peralatan
4) Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekret ekskresi, kulit terluka, dan benda-benda terkontaminasi walaupun mengunakan sarung tangan 5) Selama merawat pasien saat bergerak dari sisi terkontaminasi ke sisi bersih pasien. 6) Setelah kontak dengan benda di samping pasien. Dalam depkes (2010) dijelaskan bahwa mikroorganisme pada kulit manusia memungkinkan dihilangkan dari permukaan melalui gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun atau deterjen. Cuci tangan adalah cara pencegahan ifeksi yang sangat penting. b. Sarung tangan Sarung tangan digunakan bila menyentuh darah, cairan tubuh, sekret, ekskresi, membran mukosa, kulit yang tdak utuh. Sarung tangan diganti setiap kali selesai melakukan tindakan ke tindakan berikutnya pada pasien yang sama setelah konak dengan bahan atau barang yang berpotensi infeksius. Melepaskan sarung tangan setelah digunakan sebelum dan menyentuh benda dan permukaan yang tidak terkntaminasi dan sebelum berpindah ke pasien lain. setelah itu melaukan tindakan memberiskan tanga segera setelah melepas sarung tangan. Depkes (2010) menyebutkan terdapat 3 jenis sarung tangan yaitu :
1) Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka, merawat luka terbuka. Sarung tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada sarung tangan steril. 2) Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Apabila tidak ada sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didisinfeksi tingkat tinggi 3) Sarung tangan rumah tangga adalah sarung tangan yang terbuat dari lateks atau vinil yang tebal yang biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga dan membersihkan alat kesehatan, dan permukaan meja dll. c. Pelindung wajah (mata, hidung, dan mulut) Pelindung wajah terdiri dari dua macam pelindung yaitu masker dan kaca mata. Pemakaian pelindung wajah tersebut dimaksudkan untuk melindungi selaput lendir hidung, mulut, dan mata selama
melakukan
tindakan
atau
perawatan
pasien
yang
memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain, termasuk tindakan bedah ortopedi atau perawatan gigi. Petugas yang melaksanakan tindakan berisiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya harus memperhatikan perlunyya perlindungan maksimal, lapang pandang dan kenyamanan kerja (Depkes, 2010).
d. Gaun pelindung Gaun pelindung digunakan untuk melindungi kulit dan mencegah kotornya pakaian selama tindakan umumnya dapat menimbulkan percikkan darah, cairan tubuh, sekret dan ekskresi. e. Pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam dan lainnya Pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam lainnya petugas kesehatan perlu memperhatikan dan berhati-hati dalam memegang jarum, pisau dan alat-alat tajam lainnya. Setelah digunakan alat-alat tersebut dibersihkan dan membuang jarum serta alat-alat tajam lainnya yang telah digunakan pada sampah benda tajam. f. Kebersihan pernafasan dan etika batuk Batuk adalah keluhan yang lazim dari kelainan sistem respirasi, biasanya diawali inspirasi yang dalam diikuti dengan ekspirasi yang eksplosif, sehingga saluran nafas dapat dibersihkan dari sekresi dan benda asing (Widagdo, 2014). Etika Batuk adalah tata cara batuk yang baik dan benar, dengan cara menutup hidung dan mulut dengan masker, tissue atau lengan sehingga bakteri tidak menyebar melalui udara dan tidak menular ke orang lain (CDC, 2014) Tiga langkah etika batuk (CDC, 2014 dan WHO, 2008): 1) Langkah 1 Gunakan masker atau sedikit berpaling dari orang yang ada di
lingkungan
sekitar,
tutup
hidung
dan
mulut
dengan
menggunakan tissue atau saputangan atau lengan dalam baju setiap kali merasakan dorongan untuk batuk. 2) Langkah 2 Segera buang tissue yang sudah dipakai ke dalam tempat sampah infeksius (tempat sampah dengan label infeksius dan dengan tanda warna kuning). 3) Langkah 3 Cuci tangan menggunakan sabun atau handrub Pencegahan penularan dengan air borne dalam fasilitas pelayanan sebaiknya harus (WHO, 2010) : 1) Menempatkan pasien dengan gejala gangguan pernafasan akut setidaknya 1 meter dari pasien lain saat berada di ruangan umum jika memungkinkan. 2) Meletakkan
tanda
peringatan
untuk
melakukan
kebersihan
pernafasan dan etika batuk pada pintu masuk fasilitas pelayanan kesehatan. 3) Mempertimbangkan
untuk
meletakkan
perlengkapan/fasilitas
kebersihan tangan di tempat umum dan area evaluasi pasien dengan gangguan pernafasan.
g. Kebersihan lingkungan Menggunakan prosedur yang memadai untuk kebersihan rutin dan disinfeksi permukaan lingkungan dan benda lain yang sering disentuh. h. Linen Penanganan, transportasi, dan pemrosesan linen yang telah dipakai dengan cara mencegah pajanan pada kulit dan membran mukosa serta kontaminasi pada pakainan dan mencegah penyebaran patogen ke pasien lain dan lingkungan. i. Pembuangan limbah Limbah padat infeksius rumah sakit adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, laboratorium, rawat jalan, ICU, Kamar Operasi, UGD, farmasi dan atau segala jenis serta limbah yang
dihasilkan
di
rumah
sakit
pada
saat
melakukan
perawatan/pengobatan berhubungan dengan pasien dan atau penelitian (Depkes, 2010). Sampah padat non medis adalah semua sampah padat diluar sampah padat medis yang dihasilkan oleh : kantor / administrasi, unit perlengkapan, ruang tunggu, unit gizi / dapur, halaman parkir / taman, unit pelayanan dan ruang inap (Depkes, 2008). 1) Macam – macam limbah medis dan non medis Macam – macam limbah infeksius (Gordon, Reinhardt, 2000) : spuit bekas, jarum suntik, pisau bekas, bekas botol
obat/ampul, sanitary napskin, pembalut, verban, blood bag, urine bag, cateter, maag tube, suction tube, sarung tangan, tampon, scrub, placenta, jaringan tubuh 2) Pengelolaan limbah medis dan non medis Sesuai dengan sifat dan potensi infeksius yang dapat digolongkan menjadi 5 yaitu : a) Golongan A : limbah padat yang memiliki sifat infeksius paling besar dari kegiatan yang berasal dari aktivitas kegiatan pengobatan yang memungkinkan penularan penyakit jika mengalami kontak dengan limbah tersebut. Contohnya verban bekas pakai, sisa potongan tubuh manusia, pembalut, diapers, bekas infus, transfusi set. b) Golongan B : limbah padat yang meiliki sifat infeksius. Karena memiliki bentuk tajam yang dapat meluaki dan memotong pada kegiatan terapi dan pengobatan yang memungkinkan penularan penyakit. Contohnya spuit bekas, pisau bekas, pecahan botol/ampul obat. c) Golongan C : limbah padat yang memiliki sifat infeksius karena digunakan secara langsung oleh pasien yang memungkinkan penularan penyakit. Contohnya perlaks terkontaminasi, tempat penampung urine terkontaminasi, tempat penampungan muntah terkontaminasi, benda – benda lain yang kontak dengan pasien yang terkontaminasi
d) Golongan D : limbah padat farmasi seperti obat kadaluarsa, sisa kemasan dan kontainer obat, peratalatan yang terkontaminasi. Bahan farmasi, obat yang dibuang oleh karena tidak memenuhi syarat. Contohnya obat-obat kadaluarsa, kemasan obat dan bahan pembersih muka. e) Golongan E : limbah padat sisa aktivitas yang dapat berupa bed plan disable, pispot, dan segala bahan yang terkena buangan pasien. Contohnya pispot, tempat tampungan muntah. 3) Tata cara pengolahan limbah a) Pemisahan dan pengurangan Proses limbah infeksius (Depkes, 2001) hendaknya mempertimbangkan : (1) Mengurangi jumlah bahan yang digunakan (2) Mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan (3) Tehnik pengurangan volume b) Pengumpulan dan penampungan c) Pengukuran limbah padat infeksius j. Peralatan perawatan pasien Peralatan yang ternoda oleh darah, cairan tubuh, skeret, dan eksekresi harus diperlakukan dengan proses yang baik sehingga pajanan pada kulit dan membran mukosa, kontaminasi pakaian, dan penyebaran patogen ke pasien lain atau lingkungan dapat dicegah.
Membersihkan, desinfeksi, dan proses kembali perlengkapan yang digunakan ulang dengan benar sebelum digunakan oleh pasien lainnya. 5. ICRA (Infection Control Risk Assesment) a. Definisi ICRA (Infection Control Risk Assesment) Menurut Lardo, dkk (2016) bahwa Infection Control Risk Assessment (ICRA) merupakan suatu sistem pengontrolan pengendalian infeksi yang terukur dengan melihat kontinuitas dan probabilitas aplikasi pengendalian infeksi di lapangan berbasiskan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, mencakup penilaian beberapa aspek yang penting dalam pengendalian infeksi seperti kepatuhan cuci tangan, pencegahan penyebaran infeksi, manajemen kewaspadaan kontak, dan pengelolaan
resistensi
antibiotik.
ICRA
adalah
suatu
proses
berkesinambungan yang memiliki fungsi preventif dalam peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Menurut definisi APIC (Assosiation for Professionals in Infection control and Epidemiology), ICRA merupakan suatu perencanaan proses kontrol infeksi, yang menjadi pokok utama dalam menetapkan dasar program dan pengembangannya, berdasarkan kontinuitas surveilans dan melaksanakan perubahan regulasi jika terdapat perubahan tantangan di lapangan. Pendekatan manajemen di rumah sakit terkait ICRA ini dilaksanakan berdasarkan metode mulitidisipliner yaitu dengan melibatkan banyak pihak didalam pelaksanaannya. Lardo, dkk (2016) menyebutkan tim dalam ICRA yang
dibentuk multidisiplin mencakup personil pengendalian infeksi, staf medis, perawat, dan unsur pimpinan yang memiliki prioritas dalam kebijakan, mendokumentasikan risiko dan mengimplementasikannya. Tujuan dari tim ICRA adalah untuk meminimalkan risiko terhadap HAIs. Lardo, dkk (2016) menjabarkan bahwa ICRA (Infection Control Risk Assessment) merupakan kelengkapan penting dalam menyusun perencanaan, pengembangan, pemantauan, evaluasi, dan upaya membuat pertimbangan dari berbagai tahap dan tingkatan risiko infeksi, yakni VAP (Ventilator-Associated Pneumonia, IADP (Infeksi Aliran Darah Primer), Cathether Urinary Tract Infection (CAUTI), dan IDO (Infeksi Daerah Operasi) di setiap area pelayanan. Aplikasi ICRA tidak terbatas hanya dalam menghadapi kejadian risiko infeksi, namun membuat alat pengendalian infeksi terukur berdasarkan aspek pencegahan dan penyebaran infeksi yang didukung oleh kebijakan dan manajemen rumah sakit. Menurut The Joint Commission On Acreditation Of Healthcare Organizations, membuat ICRA merupakan salah satu program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dari standar akreditasi rumah sakit. Premier Safety Institute (2015) menyebutkan bahwa ICRA adalah kegiatan multidisiplin, organisasasi, proses pencatatan setelah mempertimbangkan fasilitas populasi pasien dan memiliki program seperti (1) berfokus pada pengurangan risiko dari infeksi, (2)
Bertindak melalui tahapan perencanaan fasilitas, desain, konstruksi, renovasi, pemeliharaan fasilitas, dan (3) mengkoordinasi dan meningkatkan pengetahuan tentang infeksi, agen infeksi, peduli lingkungan, dan memungkinan organisasi untuk terlibat dalam mengantisipasi dampak dari infeksi. Konsep dari ICRA dan pengembangannya akan membentuk suatu proses berkelanjutan perbaikan pengendalian infeksi (Lardo, dkk., 2016). b. Proses Manajemen ICRA (Infection Control Risk Assesment) Menurut Lardo, dkk (2016) bahwa proses mengelola ICRA membutuhkan pendekatan yang sistematis. Pendekatan ICRA berbasis perencanaan menentukan risiko infeksi, bertumpu pada surveilans yang optimal dan berkesinambungan, sehingga konsep ICRA dan pengembangannya akan membentuk suatu proses berkelanjutan perbaikan pengendalian infeksi. Identifikasi risiko dan transmisi penyakit berdasarkan lokasi geografi, komunitas dan pelayanan masyarakat, perawatan, pengobatan serta pelayanan, analisis aktivitas surveilans dan data infeksi, dilaksanakan setiap tahun dengan harapan terjadi perubahan bermakna.Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan komitmen struktural dan kultural organisasi rumah sakit. Pendekatan organisasi selain dukungan personil juga pada pelaksanaan tahaptahap kegiatan. Tahap pertama meliputi: (1) Menggambarkan faktor dan karakteristik yang meningkatkan risiko infeksi;
(2) Karakteristik yang menurunkan risiko infeksi; (3) Menentukan adanya risiko infeksi; (4) Melaksanakan pertemuan untuk menentukan langkah dan tindakan lebih lanjut. Tahap kedua adalah proses penilaian perencanaan penilaian risiko, standar, laporan surveilans dan pengetahuan saat ini yang terkait dengan isu pengendalian infeksi. Tahap ketiga adalah melaksanakan partisipasi,
pertemuan untuk
saat
merencanakan
pelaksanaan
kontrol
infeksi,
mengukuhkan komitmen dan diskusi,
prioritas
sedangkan
risiko,
komitmen
dan
kultural
merupakan suatu proses stimulasi setiap petugas kontrol infeksi untuk konsisten
meningkatkan
kinerjanya.
Pendekatan
kultural
ini
merupakan proses pemberdayaan berkesinambungan melalui proses pelatihan dan pendidikan bahkan learning by doing. B. Penelitian Terdahulu 1. Chen, dkk (2009), dengan judul penelitian “Risk Assessment on TB Transmision in Health Center Setting of Marikina and Paranaque cities, Philippines”. Tujuan dalam penelitian tersebut adalah untuk mengkaji potensi risiko dari penulara TB, mencari tahu status administrasi, kontrol perlindungan pernafasan dari lingkungan untuk mencegah penularan TB di pelayanan kesehatan dan personal dalam 2 kota yang dpilih di negara filipina yang bernama Markina dan Paranaque. Rancangan penelitian yang
digunakan adalah deskriptif cross sectional menggunakan ceklist pengukuran kontrol infeksi TB. Hasil penelitian yaitu langkah-langkah kontrol administratif, sebagian besar disusun dengan lima dari delapan komponen adalah a) catatan yang relevan dari penilaian pengaturan berisiko untuk TB infeksi, b) pendidikan pasien, c) triage dan evaluasi tersangka TB, d) isi pelatihan dan e) kebijakan awal deteksi dan diagnosis. Tiga komponen menunjukkan kekurangan utama adalah: a) Pengendalian Infeksi rencana, b) tindakan pencegahan pengambilan dahak dan c) rutin evaluasi intervensi pengendalian infeksi. Untuk langkah-langkah pengendalian lingkungan, tidak mematuhi dengan kedua komponen yaitu: a) ventilasi dan b) hygiene dan sanitasi. Persamaan dan perbedaan penelitian diatas dengan penelitian ini adalah memiliki persamaan untuk melihat risiko penularan infeksi. Perbedaannya adalah pada objek penelitian, metode penelitian yang digunakan. 2. Astuti
(2010)
dalam
judul
penelitiannya
yaitu
Identifikasi
dan
Implementasi manajemen risiko di Rumah Sakit Umum Banyumas. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu memfokuskan pada pelaksanaan manajemen risiko di rumah sakit banyumas dengan menggunakan kerangka manajemen risiko organisasi yang disusun oleh Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commision (COSO). Dalam penelitian tersebut menganalisa pelaksanaan manajemen risiko dengan delapan
komponen manjemen risiko yaitu lingkungan internal , penyusunan tujuan, identifikasi kejadian, penilaian risiko, respon terhadap risiko aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi serta pengawasan. Disain penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan cara wawancara semi struktural, laporan dan dokumen di rumah sakit. Perbedaan dan persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu dalam penelaahan pelaksanaan manajemen risiko yang berfokus pada manajemen risiko infeksi di rumah sakit dengan menggunakan ICRA (Infection Control Risk Assesment). Terdapat perbedaan tempat penelitian variabel yang diteliti, metode pengumpulan data dengan focus group discussion. Kesamaan adalah cara pengambilan data wawancara semi struktural, laporan dan dokumentasi rumah sakit. 3. Molina (2012), dalam penelitiannya berjudul “Analisis Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta Tahun 2012”. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengetahui gambaran pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dalam meningkatkan kualitas pelayanan di Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta yang ditinjau dari manajemen dan organisasi dengan pendekatan sistem. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dan pengumpulan data dengan telaah dokumen, observasi, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion.
Hasil dari penelitian ini adalah faktor manajemen yang terdiri dari komitmen, kepemimpinan, komunikasi dan kerjasama dalam pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di Rumkital Dr. Mintohardjo masih rendah dikarenakan program tersebut belum dijadikan prioritas utama dan sering terjadi pergantian pimpinan yang diikuti dengan perubahan kebijakan. Organisasi pelaksana program pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial secara struktural belum melibatkan orang-orang yang meiliki pengaruh dan belum ada pembagian tugas antara penentu kebijakan dan pelaksana kebijakan. Pelaksanaan tugas komite pencegahan dan pengendalian masih rendah terbukti dengan tidak terlaksanannya kegiatan rapat, sosialisasi, pengawasan dan umpan balik. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah metode penelitian kualitatif dan teknik pengumpulan data. Perbedaannya adalah lokasi penelitian. 4. Zhang dan Wang (2014), dengan judul penelitiannya “Infection Prevention and Control Measures of Risk Assessment in Hemodialysis Patient in Hospital”. Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi risiko keperawatan dalam proses hemodialisis yang menyediakan pasien hemodialisis dengan mengamankan pelayanan keperawatan yang unggul. Metode didasarkan pada pengetahuan tentang pedoman manajemen risiko, dengan mengidentifikasi proses dialisis yang ada dan risiko keperawatan potensial, untuk memandu perawatan klinis dan mengurangi resiko dan memastikan keselamatan asuhan keperawatan. Hasil penelitian ini adalah
pengurangan cacat keperawatan dan meningkatkan dialisis kepuasan pasien dengan pekerjaan keperawatan. Hasil dalam penelitian ialah dalam pengelolaan risiko hemodialisis, penguatan kewaspadaan risiko oleh perawat dan kemampuan dan meningkatkan rasa tanggung jawab adalah kunci dari manajemen risiko serta meningkatkan kualitas pelayanan adalah jaminan dasar. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah berkaitan dengan manajemen risiko infeksi. Perbedaannya adalah pada metode, variabel, dan lokasi penelitian. 5. Masloman, dkk (2015), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Operasi RSUD Dr Sam Ratulangi Tondano”. Program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit penting bagi kesehatan pasien dan keselamatan petugas, pengunjung dan lain-lain di lingkungan rumah sakit. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di kamar operasi RSUD DR. Sam Ratulangi Tondano. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di kamar operasi RSUD DR. Sam Ratulangi Tondano. Lokasi penelitian dilaksanakan di kamar operasi RSUD DR. Sam Ratulangi Tondano, khususnya di area semi ketat dan ketat/terbatas.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam, observasi langsung dan observasi dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan kebersihan tangan, pemakaian alat pelindung diri, pemrosesan peralatan pasien, pengelolaan limbah, pengelolaan lingkungan, program kesehatan petugas kesehatan, penempatan pasien, hygiene respirasi praktek menyuntik yang aman dan praktek untuk lumbal pungsi belum berjalan sesuai
dengan
pedoman
pencegahan
dan
pengendalian
infeksi
Kementerian Kesehatan. Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian tersebut yaitu metode penelitian dengan penelitian analisis deskriptif, menggunakan metode kualitatif, dan pengumpulan data dengan observasi dokumen. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Masloman, dkk (2015) tersebut yaitu lokasi penelitian, variabel yang diteliti, teknik pengumpulan data yang digunakan wawancara mendalam dan observasi langsung. Pada penelitian ini pengumpulan data dengan pendekatan studi kasus.
C. Kerangka Teori
Health-care
Faktor yang mempengaruhi terjadinya HAIs:
Associated Infections
Faktor intrinsik : Penderita : (1) penyakit dasar, (2) umur, jenis kelamin, (3) kondisi umum, (4) risiko terapi (penggunaan antibiotik, kortikosteroid) (5) adanya penyakit lain. Faktor Ekstrinsik meliputi (1) Petugas,dokter, perawat, dll, (2) Penderita lain, (3) Bangsal/lingkungan, (4) Peralatan materia medis, (5) Pengunjung/keluarga, (6) Makanan dan minuman
(HAIs)
Penularan Langsung : 1. Droplet nuclei dari petugas pengunjung dan penderita lainnya 2. Transfusi darah 3. Suntikan, dll Penularan tidak langsung:
Faktor keperawatan : (1) Lamanya ari perawatan, (2) Menurunnya standar keperawatan (3) Padatnya penderita
1. 2. 3. 4. 5.
Faktor mikroba : (1) Kemampuan invasi, (2) Lamanya pemaparan
Vehicle borne Vector borne Food borne Water borne Air borne
Dampak HAIs : (1) Efek pada pasien/keluarga, (2) Peningkatan lama perawatan, (3) Tertundanya waktu pulang, (4) Pengeluaran tambahan, (5) Menurunnya citra rumah sakit Kebijakan program Pencegahan dan pengendalian Infeksi Surveilans HAIs : 1. Infeksi luka operasi 2. Infeksi saluran pernafasan/pneuonia 3. Infeksi saluran kemih 4. Infeksi Aliran Darah 5. Dekubitus 6. Flebitis, dll
Managemen risiko HAIs : 1. Identifikasi risiko 2. Analisis resiko/Penilaian risiko 3. Evaluasi risiko 4. Penentuan tindak lanjut 5. mentoring dan review 6. Komunikasi dan konsultasi
Infection Control Risk Assessement (ICRA)
Gambar 3. Dimodifikasi dari : Darmadi (2008); Weston (2013); Kemenkes (2010); Lardo, dkk (2016).
D. Kerangka Konsep Kerangka konsep digambarkan dalam skema : Manajemen risiko Infeksi HAIs : 1. Identifikasi risiko 2. Analisis resiko/Penilaian risiko 3. Evaluasi risiko 4. Penentuan tindak lanjut
5. Mentoring dan review 6. Komunikasi dan konsultasi
ICRA surveilans (Pengendalian dan Pencegahan Infeksi)
ICRA renovasi dan kontruksi bangunan
Strategi penurunan risiko infeksi
Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan gambar 4 diatas dapat dijelaskan bahwa kerangka konsep dalam penelitian ini adalah variabel menganalisis manajemen risiko infeksi HAIs dengan tahapan identifkasi risiko, analisis/penilaian risiko, evaluasi risiko, penentuan tindak lanjut, mentoring dan review, komunikasi dan konsultasi. Pada yang dicetak tebal menunjukkan bahwa akan dianalisis dengan ICRA. Penentuan tindak lanjut, mentoring dan review, komunikasi dan konsultasi untuk menelaah strategi penurunan infeksi. Pada gambar kotak yang bergaris putus-putus ICRA renovasi dan kontruksi bangunan tidak dianalisis dalam penelitian ini.
E. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana proses manajemen risiko dalam mengidentifikasi risiko infeksi, di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta dalam pencegahan dan pengendalian infeksi? 2. Bagaimana proses manajemen risiko dalam penilaian / analisis risiko, di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta dalam pencegahan dan pengendalian infeksi? 3. Bagaimana proses manajemen risiko dalam mengevaluasi risiko infeksi di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta dalam pencegahan dan pengendalian infeksi? 4. Bagaimana proses manajemen risiko dalam tindak lanjut risiko infeksi di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta dalam pencegahan dan pengendalian infeksi? 5. Bagaimana strategi penurunan infeksi di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta dalam pencegahan dan pengendalian infeksi?