BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori 1. Tinjauan Tentang Pendidikan dan Pengembangannya a. Pengertian Pendidikan dan Pengembangan Kata pendidikan menurut etimologi berasal dari kata dasar didik. Apabila diberi awalan “me” menjadi “mendidik” maka akan membentun kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikan yang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Tentunya dalam melakukan kegiatan tersebut ada faktor-faktor yang sangat mempengaruhinya yang langsung berkaitan dengan Wujud Sifat Hakikat Manusia (Umar Tirtaraharja dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, Hal;5), antara lain : a. b. c. d. e. f. g. h.
Kemampuan menyadari diri Kemampuan bereksistensi Pemilikan kata hati Moral Kemampuan bertanggung jawab Rasa kebebasan Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak Kemampuan menghayati kebahagiaan. (Umar Tirtaraharja dan S.L. La Sulo, 2005 ; 5) Sifat-sifat tersebut merupakan sesuatu yang mendasar yang dimiliki oleh setiap individu yang memotivasi untuk melaksanakan pendidikan. Tentunya
ada faktor-faktor luar individu yang mempengaruhi tercetusnya sifat tersebut, antara lain: a. Faktor lingkungan internal b. Faktor lingkungan eksternal Faktor lingkungan internal yang mempengaruh1i sifat hakikat tersebut ialah keluarga. Keluarga sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya sifat hakikat manusia dalam berpendidikan, selain faktor-faktor lingkungan eksternal seperti : pergaulan atau pertemanan, dan lingkungan tempat menempug pendidikan formal. Namun faktor yang paling mendasari sifat tersebut ialah keluarga karena keluarga merupakan pembentuk karakter manusia dari sejak individu lahir, dibesarkan dan berkembang. Dalam pengembangannya, sifat hakikat manusia tersebut membentuk suatu dorongan mencari wawasan mengenai pengetahuan. Inilah fase yang dimana individu memasuki dunia pendidikan baik formal maupun informal. Fase ini juga tetap dipengaruhi oleh kemampuan keluarga, selain juga mempengaruhi oleh berkembangnya sifat hakikat tersebut diatas. Dengan kata lain bahwa keluarga sebagai penopang berkembangnya pendidikan bagi individu yang mendasar. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dalam menunjang keterlanjutan pendidikan. Hal ini sangat beralasan, karena pendidikan awal seseorang dimulai dari pendidikan keluarga sebelum memasuki jenjang pendidikan formal. Dalam tahapan jenjang pendidikan formal, keluarga juga memegang peranan penting dalam memotovasi dan menunjang berkesinambungannya suatu pendidikan bagi individu dalam keluarga tersebut. Pada negara-negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia, peran keluarga sangatlah penting dalam menunjang keberlangsungan pendidikan formal bagi anggotanya. Tentunya pendidikan ini juga sangat tergantung dari kemampuan keluarga sebagai
penopang
keberlangsungan
pendidikan
bagi
anggota-anggota
keluarga. Jika kemampuan keluarga kurang dalam mengembangkan pendidikan individu, maka perkembangan tersebut akan tersendat. b. Keluarga Sebagai Lembaga Pendidikan Pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga. Dasar hukum pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar hukum Ideal, dasar hukum Struktural dan dasar hukum Oprasional. Dasar hukum ideal adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum. Oleh karean itu landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah Pancasila. Tiap-tiap orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada anak-anaknya. Landasan Struktural pendidikan di Indonesia adalah UUD 1945. Dalam pasal 31 ayat1 dan 2 dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah mengusahakan sistem pengajaran nasional yang diatur dalam suatu perundang-undangan. Berdasarakan pasal 31 UUD 1945 itu maka ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi
dirinya
untuk
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari kutipan ini dapat disimpulkan bahwa orangtua itu mempunyai wajib hukum untuk mendidik anak-anaknya. Kegagalan anak dalam pendidikan yang merupakan kegagalan pendidikan dalam keluarga. Keberhasilan anak dalam pendidikan yang merupakan keberhasilan pendidikan dalam keluarga. Berdasarkan PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan itu berdasarkan atas Pancasila dasar falsafah negara. Di samping itu dijelaskan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu secara operasional pendidikan anak berlangsung dalam keluarga, masyarakat dan sekolah merupakan tanggung jawab orang tua juga. Pendidikan dalam keluarga berlangsung karena hukum kodrat. Secara kodrati orangtua wajib mendidik anak. Oleh karena itu orangtua disebut pendidikan alami atau pendidikan kodrat. c. Peran Orangtua Dalam Keluarga Jika diperhatikan dalam seksama, kehidupan keluarga itu tampak tidak satu tetapi kesatuan. Menurut Driarkara SY, kesatuan ini dapat disebut bhineka tunggal. Bhineka tunggal karena dalam kesatuan hidup terlibat saling hubungan antara ayah-ibu-anak. Oleh karena itu dalam keluarga terjadi strukturalisasi. (www.lpmpjogja.diknas.go.id)
Dalam sirukturalisasi akan terjadi deferensiasi kerja. Pembagian tugas dan peran dalam keluarga membawa konsekuensi dan tanggung jawab pada masing-masing peran itu dalam keluarga. Seperti telah kita katakan di muka
bahwa dalam keluarga itu terdapat susunan keluarga yang terdiri orang tua dan anak. Orang tua terdiri dari ayah dan ibu. Lebih jauh, penulis mengutip temuan artikel di salah satu situs pencarian di internet ialah sebagai berikut : Susunan anak dalam keluarga terdiri dari anak sulung, anak tengah, anak bungsu dan anak tunggal. Dalam kaitannya anak yang perlu mendapat perhatian adalah anak tiri, anak tunggal, anak sulung, anak bungsu dan anak pungut. Bahwa susunan anak dalam keluarga itu ada kemungkinan hanya satu yaitu anak tunggal atau anak pungut atau anak tiri. Ada susunan anak dalam keluarga itu lebih dari dua. Maka dalam keluarga itu akan ada susunan anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. (www.lpmpjogja.diknas.go.id)
Dalam susunan keluarga yang demikian inilah yang memungkinkan terjadi defrensiasi dan stratifikasi tugas dalam keluarga. Shingga tugas ayah akan berbeda dengan tugas ibu, tugas ayah dan ibu akan berbeda dengan tugas anak, tugas anak tunggal dan berbeda dengan tugas anak keluarga yang jumlah anaknya besar. Anak sulung akan mempunyai tugas yang lain dengan anak bungsu atau anak tengah dan sebagainya. 1. Peran Ayah Peran sebagai pencari nafkah : Tugas ayah sebagai pencari nafkah merupakan tugas yang sangat penting dalam keluarga. Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali dalam keluarga. Penghasilan yang kurang cukup menyebabkan kehidupan keluarga yang kurang lancar. Lemah kuatnya ekonomi tergantung pada penghasilan ayah. Sebab segala segi kehidupan dalam keluarga perlu biaya untuk sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan pengobatan. Untuk seorang ayah harus
meempunyai pekerjaan yang hasilnya dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ayah sebagai pendidik : Peran ayah sebagai pendidik merupakan peran yang penting. Sebab peran ini menyangkut perkembangan peran dan pertumbuhan pribadi anak. Ayah sebagai pendidik terutama menyangkut pendidikan yang bersifat rasional. Pendidikan mulai diperlukan sejak anak umur tiga tahun ke atas, yaitu saat anak mulai mengembangkan ego dan super egonya.
Kekuatan
ego
(aku)
ini
sangat
diperlukan
untuk
mengembangkan kemampuan realistis hidup yang terdiri dari segala jenis persoalan yang harus dipecahkan. Ayah sebagai tokoh atau modal identifikasi anak : Ayah sebagai modal sangat diperlukan bagi anak-anak untuk identifikasi diri dalam angka membentuk super ego (aku ideal) yang kuat. Super ego merupakan fungsi kepribadian yang memberikan pegangan hidup yang benar, susila dan baik. Oleh karena itu seorang ayah harus memiliki pribadi yang kuat. Pribadi ayah yang kuat akan memberikan makna bagi pembentukan pribadi anak. Pribadi anak mulai terbentuk sejak anak itu mencari “Aku” dirinya. Aku ini akan terbentuk dengan baik jika ayah sebagai
model
dapat
memberikan
kepuasan
bagi
mengidentifikasi diri. 2. Peran Ibu Ibu sebagai pendidik anak dan pembina generasi muda :
anak
untuk
Ibu sebagai pendidik anak bertanggung jawab agar anak-anak di bekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tangtangan zaman dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Ibu sebagai pengatur rumah tangga : Ibu pengatur rumah tangga merupakan tugas berat. Sebab seorang iu harus dapat mengatur segala peraturan rumah tangga. Oleh karena itu ibu dapat dikatakan sebagai administrator dalam kehidupan keluarga. Ibu juga harus dapat mengatur waktu dan tenaga secara bijaksana. Ibu sebagai tenaga kerja : Dalam perkembangan sekarang ini dapat dikatakan baik di desa maupun di kota tampak bahwa ibu juga berperan sebagai pencari nafkah. Di pasar, di kantor, di persawahan, ibi-ibu ikut bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istri-istri yang bekerja memang sangat berat, sebab di samping mengurus keluarga dan mendidik anak masih harus mencari tambahan penghasilan. d. Pengaruh Keluarga Terhadap Pendidikan Anak Remaja Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak dalam melaksanakan proses pendidikan pribadi anak. Di tengah keluarga anak belajar mengenal cinta dan kasih, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan dan pendidikan. Keluarga memberikan pengaruh menentukan pembentukan pendidikan dan kepribadian anak. Oleh karena itu, baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik buruknya pendidikan dan kepribadian anak. Anak-anak yang kurang
mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tua merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlingdung dan tempat berpijak. Anak-anak tadi muali “menghilang” dari rumah, lebih suka bergelandangan dan mencari kesenangan hidup di tempat-tempat lain. Anak mulai berbohong dan mencuri perhatian orang tuanya. Orang tua harus memahami semua kebutuhan anakanaknya, baik yang bersifat biologis maupun bersifat psikologis. Anak-anak didalam kehidupannya perlu makan, minum, pakaian. Di samping itu, mereka membutuhkan cinta, kasih sayang serta rasa aman dalam keluarga, juga perlakuan yang adil dalam keluarga sangat mereka harapkan. Keluarga juga memiliki peranan untuk menanamkan disiplin bagi remaja sejak masih kecil agar setelah dewasa hal itu menjadi kebiasaan. e. Lingkungan Tempat Tinggal Yang Remaja
Mempengaruhi Pendidikan Anak
Masyarakat sebagai lingkungan tersier (ketiga) adalah lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan. Dengan maju pesatnya teknologi komunikasi masa, hampir-hampir tidak ada batas geografis, etnis, politis, maupun sosial antara masyarakat satu dengan yang masyarakat lain. Sehingga banyak sekali media teknologi guna mempermudah anak dalam mencari informasi pendidikan. Di usia remaja, anak mulai meluaskan pergaulan sosialnya dengan teman-teman sebayanya guna menambah informasi pendidikan yang ia dapat.
Hubungan sosial di masa remaja ini di nilai positif karena bisa mengembangkan orientasi pendidikan remaja memperluas visi pandang dan wawasan serta menambah informasi, bahkan dari hubungan sosial remaja
menyerap nilai-nilai sosial yang ada di sekelilingnya. Semua faktor ini menjadi penyokong dalam pembentukan pendidikan dan kepribadian serta menambah rasa percaya diri karena pengaruh pergaulan yang begitu besar pada diri remaja, maka hubungan remaja dengan teman sebayanya menentukan kualitas remaja itu.
2. Tinjauan Pencegahan Perilaku Menyimpang Terhadap Remaja a. Pengertian Pencegahan Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 1 sub 20 pengertian pencegahan adalah sebagai berikut : “Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap seseorang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku “serta” pembangunan dan pembawaan”. Menurut Poerwadarminta, (1984:141) pencegahan diartikan “pembangunan dan pembawaan”. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pencegahan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar terencana dan terarah dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap serta keterampilan subjek didik dengan segala tindakan pengetahuan, bimbingan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pencegahan adalah suatu proses, kegiatan, atau perbuatan, ataukah cara yang dilakukan dengan harapan menjadi lebih baik terhadap sesuatu.
Tujuan utama pencegahan adalah tujuan yang amat luas, yang pada dasarnya sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia dirumuskan sebagai
“Membagun manusi seutuhnya dan membangun seluruh rakyat Indonesia”. Secara spesifik tujuan pencegahan remaja adalah : 1. Remaja mampu mencapai kemandirian emosional dan mencapai kemandirian ekonomisnya, serta dapat menerima keadaan fisiknya. Remaja juga mampu mengembangkan kepribadiannya yang konstruktif didalam segala aspek kehidupannya, baik intelektualitas, kerohaniaan, kecakapan, keterampilan maupun aspek jasmani, termasuk kesehatan dan bentuk luar yang segar, kuat dan serasi. 2. Supaya remaja Indonesia mampu mengembangkan fungsi sosialnya sebagai bagian dari keseluruhan bangsa yang mempunyai tanggung jawab yang besar dalam berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional. Serta dapat mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat untuk mempelopori gerak laju dan perkembangan bangsa, baik dalam membina kesejahteraan lahir batin, maupun dalam mengejar ketertinggalan sehingga dapat sejajar dengan warga masyarakat dunia keseluruhan secara terhomat dan mengembangkan prilaku tanggung jawab sosial diperlukan untuk memasuki dunia dewasa. 3. Mengenali potensi diri remaja sebagai aset bangsa. Masa remaja sebagai masa produktif saat ini disadari dengan baik oleh generasi tua, namun kurang disadari oleh remaja itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan banyak remaja atau generasi mudah menghabiskan sebagian besar waktunya ,elakukan kegiatan yang tidak bermanfaat, bahkan cenderung merusak. Dari konsep ini perlu kiranya diadakan pembinaan agar remaja
memanfaatkan masa prodiktifnya untuk berbuat yang bermanfaat karena ditangannyalah tersimpan masa depan dan aset yang sangat prosfektif. 4. Meminimalisir terjadinya kenakalan remaja. 5. Membentuk remaja yang bermoral dan berakhlak mulia. 6. Menjadikan manusia cerdas dan terampil. Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pencegahan dan pembinaan merupakan suatu konsep yang terarah dan terencana untuk mendapatkan suatutujuan yang diinginkan.
b. Pengertian Remaja Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah remaja, mereka merupakan generasi penerus bangsa yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam kemajuan masa depan suatu bangsa. Dalam menghadapi kemajuan zaman atau globalisasi, remaja perlu dipersiapkan sejak dini, baik secara mental maupun spiritual. Perubahan dan pola pikir kehidupan yang sedang berlangsung menggambarkan secara umum tentang anak-anak remaja yang sering melakukan perilaku menyimpang. Lingkungan keluarga merupakan tempat yang pertama dan utama dikenal oleh remaha. Di sini orang tua mempunyai peranan sangat penting dalam membina sikap dan perilaku remaja tersebut dengan cara adanya keinginan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menjadi pemuda, pemudi dewasa. Biasanya berlangsung antara usia 12-13 tahun sampai 19-20 tahun. Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya karena pada periode itu, seseorang meninggalkan tahap kehidupan
anak-anak untuk menuju pada tahap selanjutnya, yaitu tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang mengalami pembentukan. Masa remaja dianggap sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa dengan segala perubahan-perubahannya
seperti
perubahan
fisik,
hubungan
sosial,
bertambahnya kemampuan dan keterampilan, serta pembentukan identitas diri. Remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa, misalnya merokok, minum-minuman keras. Menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks.
Tindakan tersebut tidak sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku di masyarakat. Apabila tidak dikendalikan dapat menjurus kepada tindak kejahatan. Pada waktu itu ia memerlukan bimbingan terutama orang tuanya, karena keluarga merupakan tempat pertama dan utama remaja mengenal lingkungan. Pada usia ini remaja masih mencari jati dirinya, dalam melakukan suatu tindakan selalu terbawa emosi dan tidak difikirkan dampak yang ditimbulkannya apabila mereka melakukan perbuatan menyimpang.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kurangnya Pendidikan Sex Dalam Keluarga
Beberapa orang merasa bahwa pendidikan seks menimbulkan kerusakan kurikulum gagasan yang sudah ada sebelumnya kesopanan dan mendorong penerimaan praktek-praktek yang tidak bermoral. Banyak agama mengajarkan bahwa seks di luar perkawinan tidak bermoral. Untuk alasan ini, homoseksual, biseksual, transgender pemuda, dan orang-orang dengan orientasi seksual atau
praktek lain yang dianggap tidak bermoral sering diabaikan dalam kelas-kelas pendidikan seks. Bahkan ada kurangnya diskusi tentang praktik seks aman untuk manual, seks oral dan anal berkaitan dengan risiko besar. praktekpraktek seperti ini menjadi lebih merajalela di kalangan pemuda dan banyak mereka salah percaya bahwa mereka bebas risiko. Orang-orang memberikan pendidikan seks memiliki sikap dan kepercayaan mereka sendiri tentang seks dan seksualitas tetapi penting bahwa mereka tidak membiarkan pengaruh negatif ini pendidikan seks yang mereka sediakan.
Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini. Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wainta, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
1. Pendidikan Sosial Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (2008:190), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak (dalam Sarlito, 2008:195). Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orang tua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orang tuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orang tua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar.
d. Bentuk-bentuk Pendidikan Sex Dalam Keluarga Pendidikan Seks Berdasarkan Usia Pertanyaan selanjutnya adalah sejak kapan pendidikan seks dapat diberikan? Sesungguhnya tidak ada batasan, menurut sebagian ahli dalam pendidikan seks, pendidikan seks dapat mulai diberikan ketika anak mulai bertanya
tentang seks dan kelengkapan jawaban bisa diberikan sesuai dengan seberapa jauh keingintahuan mereka dan tahapan umur sang anak.
Menurut Muhammad Sa’id Mursi (diakses melalui internet pada tanggal 24 September 2011 http://mtmcairo.multiply.com), pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, karena pendidikan seks tidak hanya mencakup pada pertanyaan dan jawaban belaka. Contoh teladan, pembiasaan akhlak yang baik, penghargaan terhadap anggota tubuh, menanamkan rasa malu bila aurat terlihat orang lain ataupun malu melihat aurat orang lain dan lain sebaginya juga termasuk pendidikan seks bagi anak-anak perlu ditanamkan dalam diri anak sejak dini, misalnya: •
Memisahkan tempat tidur antara anak perempuan dan laki-laki pada umur 10 tahun.
•
Mengajarkan
mereka
meminta
izin
ketika
memasuki
kamar
orangtuanya. Terutama dalam tiga waktu: sebelum shalat fajar, waktu Zhuhur dan setelah shalat Isya (QS. 24 : 58-59).
Namun ada juga sebagian ahli yang mengklasifikasikan perkembangan anak dalam beberapa fase, yaitu:
Fase pertama atau Tamyiz (masa pra pubertas). Fase ini ada pada usia antara 7–10 tahun. Pada tahap ini diajarkan mengenali identitas diri berkaitan erat dengan organ biologis mereka serta perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini juga anak diberi pelajaran tentang meminta izin dan memandang sesuatu ketika akan memasuki kamar orangtuanya.
Fase kedua atau Murahaqah (pubertas), ada pada usia 10-14 tahun. Pada tahap umur ini, anak harus diberikan penjelasan mengenai fungsi biologis secara ilmiah, batas aurat, kesopanan, akhlak pergaulan lakilaki dan menjaga kesopanan serta harga diri. Pada masa ini anak sebaiknya dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual, seperti bioskop, buku-buku porno, buku-buku yang memperlihatkan perempuanperempuan yang berpakaian mini dan sebagainya.
Fase ketiga atau Bulugh (Masa Adolesen), pada usia 14-16 tahun. Pada tahap ini adalah paling kritis dan penting, karena naluri ingin tahu dalam diri anak semakin meningkat ditambah dengan tahapan umur yang semakin menampakkan kematangan berfikir. Pada masa ini juga anak sudah siap menikah (ditandai dengan mulai berfungsinya alat-alat reproduksi), maka anak bisa diberi pelajaran tentang etika hubungan seksual.
Fase keempat (masa pemuda), setelah masa andolesen, pada masa ini anak diberi pelajaran tentang etika isti’faaf (menjaga diri) jika belum mampu melaksanakan pernikahan.
Fase kelima (analisa).
Sedangkan menurut Clara Kriswanto(akses melalui internet pada tanggal 24 September 2011 http://mtmcairo.multiply.com) pendidikan seks berdasarkan usia sebagai berikut: Usia 0-5 tahun •
Bantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya
•
Beri sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sàyang dari orangtuanya secara tulus.
•
Bantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi harus mengenakan baju di dalam kamar mandi atau di kamarnya. Orangtua harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari tubuhnya yang tidak sèmua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya.
•
Ajari anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria dan wanita. Jelaskan proses tubuh seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat sederhana. Dari sini bisa dijelaskan bagaimana bayi bisa berada dalam kandungan ibu. Tentu saja harus dilihat perkembangan kognitif anak. Yang penting orangtua tidak membohongi anak misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau dibawa burung. Cobalah memosisikan diri Anda sebagai anak pada usia tersebut. Cukup beritahu hal-hal yang ingin diketahuinya. Jelaskan dengan contoh yang terjadi pada binatang.
•
Hindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya.
•
Ajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian tubuh dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan penis untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau yang lainnya.
•
Bantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau pembicaraan soal seks adalah pribadi.
•
Beri dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang kepada orangtua untuk bertanya soal seks Usia 6-9 tahun
•
Tetap menginformasikan masalah seks kepada anak, meski tidak ditanya.
•
Jelaskan bahwa setiap keluarga mempunyai nilai-nilai sendiri yang patut dihargai. Seperti nilai untuk menjaga diri sebagai perempuan atau lakilaki serta menghargai lawan jenisnya.
•
Berikan informasi mendasar tentang permasalahan seksual
•
Beritahukan kepada anak perubahan yang akan terjadi saat mereka menginjak masa pubertas. Usia 10-12 tahun
•
Bantu anak memahami masa pubertas.
•
Berikan penjelasan soal menstruasi bagi anak perempuan serta mimpi basah bagi anak laki-laki sebelum mereka mengalaminya. Dengan begitu anak sudah diberi persiapan tentang perubahan yang bakal terjadi pada dirinya.
•
Hargai privasi anak.
•
Dukung anak untuk melakukan komunikasi terbuka.
•
Tekankan kepada anak bahwa proses kematangan seksual setiap individu itu berbeda-beda. Bantu anak untuk memahami bahwa meskipun secara fisik ia sudah dewasa, aspek kognitif dan emosionalnya belum dewasa untuk berhubungan intim.
•
Beri
pemahaman
kepada
anak
bahwa
banyak
cara
untuk
mengekspresikan cinta dan kasih sayang tanpa perlu berhubungan intim.
•
Diskusi terbuka dengan anak tentang alat kontrasepsi. Katakan bahwa alat kontrasepsi berguna bagi pasangan suami istri untuk mengatur atau menjarangkan kelahiran.
•
Diskusikan tentang perasaan emosional dan seksual. Usia 13-15 tahun
•
Ajarkan tentang nilai keluarga dan agama.
•
Ungkapkan kepada anak kalau ada beragam cara untuk mengekspresikan cinta.
•
Diskusikan
dengan
anak
tentang
faktor-faktor
yang
harus
dipertimbangkan sebelum melakukan hubungan seks. Usia 16-18 tahun •
Dukung anak untuk mengambil keputusan sambill memberi informasi berdasarkan apa seharusnya ia mengambil keputusan itu.
•
Diskusikan dengan anak tentang perilaku seks yang tidak sehat dan ilegal.
Pentingnya Pendidikan seks bagi remaja Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong usia dewasa. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.
3.
Faktor Keluarga Dalam Memberikan Pendidikan Seks Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja dan pendidikan seks, terutama yang berhubungan perkembangan seks. Ada kesan pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaaan, tidak ada kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar prilaku seks semata yang disertai birahi, bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini “seks adalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba“ (dikenal dengan istilah sexpectation).
Pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan panduan menghindari penyimpangan dalam prilaku seksual mereka sejak dini.
Memang masa remaja adalah masa yang sangat didominasi dengan masalahmasalah seks. Remaja juga akan sangat memperhatikan masalah-masalah seks. Banyak remaja yang mengkonsumsi bacaan-bacaan porno, melihat film-film blue dan semakin bertambah ketika mereka berhadapan dengan rangsangan seks seperti suara, pembicaraan, tulisan, foto, sentuhan, film. Bahkan semakin hari semakin bervariatif. Padahal apabila remaja sudah terjatuh dalam kegiatan seks yang haram, maka akibatnya sudah tidak bisa dibayangkan lagi: i. Hilangnya harga diri bagi remaja laki dan hilangnya keperawanan bagi perempuan. ii. Perasaan berdosa yang mendalam, terkadang berakibat menjadi lemah dan semakin jauh dengan Allah SWT.
iii. Perasaan takut hamil. iv. Lemahnya kepercayaan antara dua pihak. v. Apabila hubungan ini diteruskan, akan menjadi hubungan yang gagal, terlebih bila dikembalikan dengan hukum syari’at. vi. Penghinaan masyarakat terhadap remaja laki-laki dan perempuan, juga kepada keluarganya.
Bagaimana solusinya? DR. Akram Ridho Mursi(akses internet pada tanggal 24 September 2011 http://mtmcairo.multiply.com) memberikan solusinya, sebagai berikut: Pertama, dengan meminimalkan hal-hal yang merangsang, mengekang ledakanledakan nafsu dan menguasainya. Sebab, sesungguhnya tuntuntan untuk memenuhi hasrat biologis didorong oleh dua sebab: •
Ekstern, dengan jalan rangsangan. Pada awalnya memori seks dibentuk oleh stimulasi eksternal (bukan persepsi).
•
Intern, dengan jalan berpikir dan bertindak.
Kedua, dengan menjaga diri (Isti’faaf). Hal ini merupakan bagian dari proses sebagai berikut:
Memahami diri. Dimana remaja putra dan putri memahami tentang jati dirinya. Menyadari akan tugas dan tanggungjawab hidup, mengerti hubungan dirinya dengan lingkungannya, (Al Hajj: 77)
Kualitas akhlak. Menyadari batas-batas nilai, tugas masyarakat. Kecil dan besar, komitmen dengan tanggung jawab bersama dalam masyarakat.
Kesadaran beragama. Perasaan taqwa dan muroqabah-Nya. Al Alaq: 14.
Perasaan damai di rumah. Terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami diantara sesama anggota keluarga.
Pengawasan yang cerdas dari orang tua.
Komitmen dengan aturan-aturan Allah SWT dalam berpakaian dan dalam bergaul dengan lawan jenis.
Menghindari pergaulan bebas dan mencegah berduaan tanpa mahram.
Apa yang bisa orangtua lakukan agar
anak dan remaja tak sungkan
berkomunikasi tentang seks ? i. Ubah cara berpikir anda. Bahwa makna pendidikan seks itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi di dalamnya ada perkembangan manusia (termasuk anatomi dan fisiologi organ tubuh, terutama organ reproduksi); hubungan antar manusia (antar keluarga, teman, pacar dan perkawinan); kemampuan personal (termasuk di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan keputusan); perilaku seksual; kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi, pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan kekerasan seksual); serta budaya dan masyarakat (tentang jender, seksualitas dan agama). ii. Mengajarkan tentang pendidikan seks sejak dini. Seperti saat anda mulai mengajari “ini hidung”, atau “ini mulut”, maka pada saat itulah anda mengajarinya “ini penis” atau “ini vulva” . Jangan menggunakan istilahistilah yang tidak tepat (misalnya “nenen” untuk mengganti kata payudara atau yang lainnya), karena dengan demikian tanpa sengaja kita telah membuat dikotomi, antara organ yang biasa dan organ yang “jorok” atau tabu
atau negatif. Karena persepsi tentang bagian tubuh yang keliru akan berdampak negatif bagi anak di masa yang akan datang. iii. Manfaatkan ‘Golden Moments”, misalnya saat sedang menonton teve yang sedang menayangkan kasus perkosaan, saat sedang melakukan aktivitas berdua (masak, membereskan tempat tidur), dan lain-lain. iv. Dengarkan apa yang diucapkan anak dengan sungguh-sungguh, pahami pikiran dan perasaan mereka. Dengan demikian mereka akan merasa diterima, jika sudah merasa diterima, mereka akan membuka diri, percaya dan mudah diajak kerja sama. v. Jangan menceramahi. Anak umumnya tidak suka diceramahi. Karena pada saat kita menceramahi seseorang, biasanya kita “menempatkan” diri kita lebih tinggi darinya. Bukan dengan cara ini kita bisa berkomunikasi dengan mereka. vi. Gunakan istilah yang tepat, sesuai dengan usianya. Misalnya saja kalau anak anda sudah beranjak remaja, maka gunakanlah bahasa gaul yang biasa digunakan remaja, sehingga anak tidak merasa sungkan menanggapi pembicaraan anda. vii. Gunakan pendekatan agama. Kita harus meyakini bahwa segala masalah dan persoalan di dunia ini harus diselesaikan dengan nilai-nilai agama. Karena nilai-nilai agama tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Anak-anak juga harus diajak mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. viii. Mulai saat ini juga. Begitu anda membaca artikel ini, mulai susun strategi apa yang akan anda gunakan untuk mulai mengajak anak berbicara. Yang perlu diingat yaitu bahwa anak adalah orang tua di masa yang akan datang, maka dari itu harus kita persiapkan sedemikian rupa agar menjadi generasi yang
siap menghadapi masa depan dengan segala rintangannya. Percayalah, bahwa anda merupakan orang yang paling tepat dalam hal ini, dengan mempercayai diri sendiri, anda pun telah memberikan kepercayaan pada anak.
B. Kerangka Pikir Banyak faktor yang mengakibatkan remaja melakukan perbuatan menyimpang, baik faktor dari dalam remaja itu sendiri, maupun faktor dari luar remaja itu yaitu faktor lingkungan. Prilaku menyimpang yang dilakukan remaja merupakan masalah sosial yang sering kali terjadi. Dalam menghadapi beberapa masalah yang mengakibatkan terjadinya kenakalan remaja maka solusi yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah membina dan memberikan perhatian kepada remaja untuk tidak melakukan perbuatan menyimpang serta dapat memberikan masukan yang bersifat positif dan membangun remaja tersebut. Sehingga remaja akan terbentuk sikap yang jujur, baik, budi pekerti, tegas, dan bertanggung jawab. Berdasarkan uraian di atas, maka dapet ditarik suatu kerangka fikir sebagai berikut : Faktor yang mempengaruhi kurangnya pendidikan seksdalamkeluarga pada anak remaja putus sekolah :
Faktor-faktor kurangnya orang tua dalam memberikan pendidikan seks Indikator 1. Tingkat Pendidikan Orang tua 2. Orang tua berfikir masih tabu dalam memberikan pendidikan seks 3. Kesibukan orang tua. 4. Faktor Ekonomi
Perilaku seks remaja yang menyimpang 1. Melakukan Seks bebas 2. Menonton/membaca melalui media tentang seks 3. Berkata cabul