BAB II TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI
II.1 Tinjauan Umum II.1.1 Wisma Atlet
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 , wisma adalah bangunan tempat tinggal, kantor, dsb ; kumpulan rumah, kompleks perumahan, permukiman. Sedangkan atlet adalah olahragawan, terutama yg mengikuti perlombaan atau pertandingan (kekuatan, ketangkasan, dan kecepatan). Maka, dapat dikatakan wisma atlet adalah sarana hunian yang diperuntukkan bagi para atlet untuk dapat beristirahat dan mengikuti kegiatankegiatan yang berhubungan dengan keatletan, seperti pembinaan, pemusatan latihan, dan sebagainya, sebelum menjalani pertandingan untuk lebih fokus menyiapkan konsentrasi, mental, tenaga, pikiran, strategi, dan sebagainya. Fasilitas yang ada dan biasa direncanakan, antara lain : hunian atlet, hunian pelatih, kantor pengelola, ruang makan, ruang serbaguna, hall of fame, lapangan pemanasan, ruang fisik, ruang rekreasi serta beberapa fasilitas pendukung dan servis. Gambar II-1 Kampung Atlet di Surabaya
Sumber :
[email protected]
15
II.1.2 Perilaku Atlet
Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari (dikutip dari Notoatmodjo, 2003). Drs. Leonard F. Polhaupessy, Psi. menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. Jelas, ini sebuah bentuk perilaku. Sekalipun pengamatan dari luar sangat minimal, sebenarnya perilaku ada di balik tirai tubuh, di dalam tubuh manusia. Menurut Monty P.Satiadarma, 2007, seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri, yaitu kegiatan, bakat, pola perilaku, dan kepribadian serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Beliau menambahkan bahwa salah satu faktor yang mendukung pembentukan perilaku para atlet adalah faktor kegiatan. Kegiatan yang dilakukan oleh para atlet sangatlah berbeda dengan seseorang pada umumnya karena kegiatan dari atlet ini sangatlah terorganisir sesuai jadwal dengan rapi dan baik. Pencapaian dari suatu kegiatan yang baik dapat berdampak positif bagi para atlet, khususnya dalam pembentukan perilaku mereka. II.1.3 Latihan
Latihan dalam lingkup ini lebih diarahkan pada pemusatan latihan dari atlet, yang tidak dapat terlepas dari lingkungan tempatnya berada. Latihan merupakan sebuah perilaku/behaviour yang dilakukan berulang-ulang sehingga atlet menjadi terlatih fisik dan mentalnya. Latihan menjadi pemusatan kegiatan harian dari seorang atlet. Pemusatan latihan atlet antara satu lingkungan dengan lingkungan lainnya akan berbeda. Untuk atlet tingkat nasional, dikenal periodisasi penyelengggaraan suatu pemusatan latihan, yang terdiri dari : periode persiapan pertandingan, periode pertandingan, dan periode pemulihan. Ketiga periode tersebut memiliki hubungan kegiatan yang berbeda sehingga mempengaruhi mobilitas kegiatan harian dari para atlet. Pada periode persiapan pertandingan, dilakukan briefing dengan pelatih 16
sebelum berlatih. Pada periode pemulihan terdapat hubungan kegiatan antara latihan dengan kegiatan pemulihan (sumber : Clarke, K. S. 1984. The USOC sports psychology registry: A clarification.Journal of Sport Psychology). Untuk mendapatkan hasil latihan yang optimal, prinsip belajar/latihan atlet hendaknya disertai dengan adanya hubungan asosiatif antara kegiatan berlatih dengan suasana yang menyenangkan. Jika atlet merasa senang dalam melakukan latihan, maka pelatih akan mudah mendisiplinkan atlet. II.1.4 Lingkungan
Menurut Monty P.Satiadarma, 2007, Lingkungan dalam lingkup ini adalah lingkungan tempat atlet berada. Lingkungan mencakup situasi, kondisi, keadaan luar, interaksi atlet dengan atlet lain, dengan pelatih, dengan lawan tanding, penonton, peliput olahraga, serta juga terkait dengan kondisi fisik perlengkapan, fasilitas dan lain-lain. Dalam berbagai jenis olahraga, lingkungan juga terkait dengan masalah cuaca dan medan pertandingan. Di samping itu, lingkungan juga mencakup keutuhan kelompok, kebersamaan kelompok, sifat saling membantu di antara anggota kelompok, perasaan bangga, dan lain-lain. Lingkungan memiliki aspek cakupan yang luas, karenanya sejumlah aspek penting seringkali luput dari pengamatan. Penting untuk ditelaah besarnya peran lingkungan terhadap performa atlet, dan tangguh serta tanggapnya atlet terhadap kondisi lingkungan. Atlet yang kurang tanggap bisa kehilangan kewaspadaan, atlet yang kurang tangguh bisa mudah terpengaruh. Selanjutnya, dukungan lingkungan yang besar mungkin dapat memberi dampak positif bagi performa atlet; sebaliknya kondisi lingkungan yang terlalu menekan cenderung memberi dampak negatif pada atlet. II.1.5 Ruang
Ruang mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia. Ruang diperlukan untuk mendukung suatu pergerakan kegiatan manusia. Ruang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia baik secara psikologis emosional (persepsi), maupun dimensional. Immanuel Kant, berpendapat bahwa ruang bukanlah sesuatu yang objektif atau nyata, tetapi merupakan sesuatu yang subjektif sebagai hasil pikiran dan
17
perasaan manusia. Sedangkan Plato berpendapat bahwa ruang adalah suatu kerangka atau wadah di mana objek dan kejadian tertentu berada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ruang adalah suatu wadah yang tidak nyata tetapi dapat dirasakan oleh manusia. Perasaan persepsi masingmasing
individu
melalui
penglihatan,
penciuman,
pendengaran,
dan
penafsirannya. Untuk menyatakan bentuk dunianya, manusia menciptakan ruang tersendiri dengan dasar fungsi dan keindahan yang disebut ruang arsitektur. Ruang arsitektur menyangkut ruang dalam dan ruang luar. Pada umumnya dikatakan bahwa ruang dalam (interior) dibatasi oleh tiga bidang, yaitu alas/lantai, dinding, dan langit-langit/atap. Hanya perlu diingat bahwa beberapa hal, ruang dalam sukar untuk dibedakan tiga bidang pembatas yang terjadi, misalnya pada konstruksi shell karena dinding dan atap menjadi satu. Sedangkan ruang luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam hanya pada bidang alas dan dindingnya, sedangkan atapnya dapat dikatakan tidak terbatas ; sebagai lingkungan luar buatan manusia, yang mempunyai arti dan maksud tertentu dan sebagian bagian dari alam ; arsitektur tanpa atap, tetapi dibatasi oleh dua bidang : lantai dan dinding atau ruang yang terjadi dengan menggunakan dua elemen pembatas. Hal ini menyebabkan bahwa lantai dan dinding menjadi elemen penting di dalam merencanakan ruang luar. Untuk memudahkan pencapaian terhadap suatu ruang, diperlukan karakteristik dari ruang tersebut. Hal ini diperlukan untuk mendukung dan membedakan kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan di dalamnya. Karakteristik dari tempat dapat membuat seseorang untuk bersatu atau berpisah. (Zeisel, 1991). Karakteristik ruang meliputi : 1. Bentuk ruang Ruang selalu memiliki bentuk. Menurut Zeizel (1991), bentuk merupakan bagian dari suatu keadaan yang dapat merubah pola interaksi manusia. Bentuk memberikan pengaruh utama secara visual dan hubungan persepsi. Jika diinginkan, bentuk dapat memberikan petunjuk yang menganggap area dalam satu bagian menjadi bagian lain yang terpisah.
18
2. Orientasi ruang Menurut Zeizel (1991), penggunaan ruang untuk suatu kegiatan tertentu sering kali terkait dengan bagaimana ruang tersebut ditemukan. Orientasi ruang dapat memberikan peluang agar ruang tersebut mudah ditemukan, dilihat, diawasi, dan dicapai. 3. Ukurang ruang Hubungan kedekatan sosial antar manusia menurut Zeizel, 1991 (dalam FX Agus Jauhari, 1999) dpat terlihat sebagai jarak sosial. Jarak tersebut diaransemen oleh ukuran ruang. Pada ruang dengan ukuran lebih besar, orang – orang lebih mudah melakukan pemisahan diri sedangkan pada ruang ukuran lebih kecil orang – orang akan berada dalam suatu kebersamaan. 4. Pembatas ruang Zeizel (1991) menyatakan bahwa pembatas ruang adalah semua elemen fisik yang dapat mempersatukan atau memisahkan manusia ke dalam suatu dimensi. Pembatas juga menjelaskan perbedaan suatu kepemilikan, antara suatu tempat yang diperbolehkan dan dilarang. Dengan demikian unsur pembatas ini sangat menentukan pengambilan keputusan tentang ruang yang akan digunakan. Elemen fisik yang dimaksud dapat berupa dinding, pagar, tanaman, atau faslitas umum. 5. Komponen ruang Di dalam ruang terdapat berbagai komponen yang memiliki kekuatan sebagai penarik berlangsungnya suatu kegiatan (Arnold, 1972; dalam Djauhari, 1998). Akibat dari komponen tersebut menimbulkan fungsi kegiatan lain yang disebut sebagai kegiatan bawaan, sehingga akan meningkatkan frekuensi dan variasi bentuk kegiatan di ruang tersebut. 6. Kondisi ruang Kondisi ruang terkait dengan temperatur, polusi udara dan kebisingan. Pada ruang dengan suhu atau kebisingan yang berlebihan, manusia cenderung menghindar (Wirawan, 1992). Sebaliknya manusia akan memanfaatkan bila kondisi ruang menunjukkan kondisi teduh, nyaman, dan tidak polusif.
19
II.1.6 Ruang, Perilaku, dan Lingkungan
Manusia mempunyai keunikan tersendiri yang dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, keunikan lingkungan juga mempengaruhi perilakunya. Karena lingkungan bukan hanya menjadi wadah bagi manusia untuk beraktivitas, tetapi juga menjadi bagian integral dari pola perilaku keseharian manusia. Perilaku manusia akan mempengaruhi dan membentuk setting fisik. Pendekatan perilaku, menekankan pada keterkaitan yang ekletik antara ruang dengan manusia dan masyarakat yang memanfaatkan ruang atau menghuni ruang tersebut. Dengan kata lain pendekatan ini melihat aspek norma, kultur, masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda (Rapoport. A, 1969), adanya interaksi antara manusia dan ruang, maka pendekatannya cenderung menggunakan setting dari pada ruang. Istilah setting lebih memberikan penekanan pada unsur-unsur kegiatan manusia yang mengandung empat hal yaitu : pelaku, macam kegiatan, tempat, dan waktu berlangsungnya kegiatan. Menurut Rapoport pula, kegiatan dapat terdiri dari subsub kegiatan yang saling berhubungan sehingga terbentuk sistem kegiatan.
Setting Perilaku (Behaviour Setting) Behaviour setting merupakan interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang lebih spesifik. Behaviour setting mengandung unsur-unsur sekelompok orang yang melakukan kegiatan, tempat di mana kegiatan tersebut dilakukan dan waktu spesifik saat kegiatan dilakukan. Setting perilaku terdiri dari 2 macam yaitu : ∗ System of setting (sistem tempat atau ruang), sebagai rangkaian unsur-unsur fisik atau spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk suatu kegiatan tertentu. ∗ System of activity (sistem kegiatan), sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa unsur ruang atau beberapa kegiatan, terdapat suatu struktur atau rangkaian yang menjadikan suatu kegiatan dan pelakunya mempunyai makna.
20
Pada berbagai pendapat dikatakan bahwa desain behaviour setting yang baik dan tepat adalah yang sesuai dengan struktur perilaku penggunanya. Dalam desain arsitektur hal tersebut disebut sebagai sebuah proses argumentatif
yang
dilontarkan
dalam
membuat
desain
yang
dapat
diadaptasikan, fleksibel atau terbuka terhadap pengguna berdasarkan pola perilakunya. Edward Hall (dalam Laurens, 2004) mengidentifikasi tiga tipe dasar dalam pola ruang : ∗ Ruang Berbatas Tetap (Fixed-Feature Space), ruang berbatas tetap dilingkupi oleh pembatas yang relatif tetap dan tidak mudah digeser, seperti dinding masif, jendela, pintu atau lantai. ∗ Ruang Berbatas Semi Tetap (SemiFixed- Feature Space), ruang yang pembatasnya bisa berpindah, seperti ruang-ruang pameran yang dibatasi oleh partisi yang dapat dipindahkan ketika dibutuhkan menurut setting perilaku yang berbeda. ∗ Ruang Informal, ruang yang terbentuk hanya untuk waktu singkat, seperti ruang yang terbentuk kedua orang atau lebih berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi di luar kesadaran. Desain behaviour setting tidak selalu perlu dibentuk ruang-ruang tetap, baik yang berpembatas maupun semi tetap terlebih lagi dalam desain ruang publik yang di dalamnya terdapat banyak pola perilaku yang beraneka ragam. Konsep sistem aktivitas dan behaviour setting memberi dasar yang luas dalam mempertimbangkan lingkungan daripada semata-mata tata guna lahan, tipe bangunan, dan tipe ruangan secara fisik. Hal tersebut dapat membebaskan desain ruang publik dari bentuk-bentuk klise, bentuk-bentuk prototip atau memaksakan citra yang tidak sesuai dengan pola perilaku masyarakat penggunanya. Pengamatan behaviour setting dapat digunakan dalam desain ruang publik karena dapat mengerti preferensi pengguna yang diekspresikan dalam pola perilaku pengguna. Dari pembahasan ini jelas bahwa organisasi ruang pada ruang publik dan perilaku pengguna mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu behaviour setting.
21
II.2 Tinjauan Khusus II.2.1 Mobilitas Kegiatan
Kata mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, mobilitas adalah kesiapsiagaan untuk bergerak ; gerakan berpindah-pindah ; antar gerak perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat, baik secara fisik maupun secara sosial. Sedangkan kegiatan adalah aktivitas, usaha, pekerjaan ; kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha ; kegairahan. Maka dapat disimpulkan mobilitas kegiatan adalah suatu rangkaian perilaku yang mengalami pergerakan (perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan) baik dilakukan secara fisik (individu) maupun secara sosial (kelompok/bersama) dalam melakukan suatu aktivitas/usaha/pekerjaan. Menurut Rapoport. A (1986), mobilitas kegiatan ini erat kaitannya dengan interaksi antara manusia dan ruang, maka pendekatannya cenderung menggunakan setting dari pada ruang yang penekannya pada unsur-unsur kegiatan manusia dan mengandung empat hal yaitu : pelaku, macam kegiatan, tempat, dan waktu berlangsungnya
kegiatan.
Pemetaan
mobilitas
dari
berbagai
kegiatan
menghasilkan pola/sistem kegiatan yang di mana terbentuk dari sub-sub kegiatan yang saling berhubungan (dapat dilakukan oleh satu orang atau lebih). Menurut Monty P.Satiadarma (2007), kecenderungan mobilitas harian atlet sangatlah
berbeda
dengan
pergerakan
orang
pada
umumnya
sehingga
kecenderungan fokus pergerakan seorang atlet perlu dibedakan dengan yang lainnya. Salah satu hal yang dapat membedakan adalah faktor kegiatan.
Kriteria Desain Berdasarkan Mobilitas Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis
yang berarti mudah
dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Mobilitas adalah kemampuan, kesiapan, dan mudahnya bergerak dan berpindah tempat. Mobilitas juga berarti kemampuan bergerak dan berpindah dalam suatu lingkungan. Tema ini dibuat berdasarkan pengamatan pada bangunan-bangunan
22
umum yang cenderung tidak memperhatikan kenyamanan, keamanan dalam menggunakan bangunan maupun berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Rasy Janatunissa (2005), kriteria desain berdasarkan mobilitas haruslah memperhatikan beberapa aspek, antara lain kenyamanan, keamanan, kecepatan, dan kemudahan. Aspek yang pertama adalah aspek kenyamanan. Kenyamanan yang dimaksud meliputi : a. Pergerakan pola sirkulasi yang mudah diingat. b. Signage sebagai penanda perbedaan zona, seperti taman atau plaza sebagai penanda memasuki area privat atau penanda-penanda lain yang dapat membedakan zona. c. Material yang digunakan haruslah nyaman digunakan. Aspek yang kedua yaitu aspek keamanan erat kaitannya dengan aspek kenyamanan. Keamanan yang dimaksud meliputi : a. Pembedaan sirkulasi berdasarkan pengguna, zoning, peruntukkan, fungsi, dan sebagainya. Hal ini diupayakan untuk membedakan alur sirkulasi yang jelas dan memberikan keamanan di dalamnya agar tidak terjadi meeting point danvsituasi crowded yang tidak diinginkan. b. Material yang digunakan selain nyaman haruslah aman bagi penggunanya agar mobilitas menjadi lebih baik dan terarah. Aspek berikutnya yaitu aspek kecepatan. Kecepatan di dalam desain berdasarkan mobilitas yang dimaksud meliputi : a. Kecepatan berpindah dari satu titik ke titik lain. b. Kecepatan memahami perbedaan untuk menciptakan mobilitas yang teratur, contoh apabila perbedaan satu tempat dengan tempat lainnya tidak memiliki signage yang jelas, tetapi dapat dirasakan dengan perbedaan yang dibuat, seperti suasana berbeda, peil lantai berbeda, material berbeda, dan sebagainya. Aspek yang terakhir yaitu aspek kemudahan. Kemudahan yang dimaksud meliputi : a. Kejelasan hubungan ruang dan organisasi ruang sehingga mampu mengatur pola sirkulasi di dalam bangunan dengan mudah dan jelas.
23
b. Integrasi ruang yang jelas untuk memudahkan pencapaian kegiatan-kegiatan pengguna di dalam bangunan. c. Akses pencapaian dari satu titik ke titik lain yang mudah, contoh dari tempat A ingin menuju B akan lebih mudah menggunakan tangga daripada lift. Menurut Rasy Janatunissa (2005), kriteria desain berdasarkan mobilitas akan baik jika tidak luput dari keempat aspek umum tersebut dan memperhatikan beberapa aspek arsitektural lainnya. Produk dari desain berdasarkan mobilitas biasanya berupa programming yang jelas dan terperinci, seperti contoh : Guggeinhem Museum karya arsitek Frank Lloyd Wright, dengan konsep berbasis mobilitas, pergerakan pengunjung museum dimulai dari atas dan berakhir ke bawah. Hal ini jelas mengubah hierarki ruang pada umumnya, namun yang dicapai dalam desain ini adalah integrasi ruang yang jelas dan programming yang terperinci. Pengunjung diajak naik ke lantai paling atas dengan lift dan memulai pengalaman mereka dengan berputar menuruni ramp yang disediakan sebagai akses pencapaian untuk melihat karya-karya yang ditampilkan di dalam museum dan berakhir pada lantai paling dasar sebagai akses keluar.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kriteria desain berdasarkan mobilitas ini diaplikasikan dalam rancangan wisma atlet di Senayan. Hal ini terlihat dari adanya mobilitas yang jelas berbeda antara atlet dengan orang pada umumnya terutama yang membedakan adalah kegiatan hariannya, serta dikarenakan adanya situasi lingkungan yang dekat dengan Kawasan Gelora Bung Karno Senayan (sebagai kawasan pemusatan latihan) sehingga diperlukan integrasi ruang yang jelas baik di dalam bangunan maupun dengan luar bangunan.
24
Hubungan Ruang dan Organisasi Ruang Menurut buku Arsitektur : Bentuk, Ruang, dan Tatanan (Edisi 2), Francis D.K. Ching, cara-cara dasar menghubungkan ruang-ruang suatu bangunan satu sama lain, terdiri dari 4 cara, yakni : a. Ruang di dalam ruang b. Ruang-ruang yang saling berkaitan c. Ruang-ruang yang bersebelahan d. Ruang-ruang dihubungkan oleh sebuah ruang bersama Gambar II-2 Hubungan Ruang
a
b
c
d
Sumber : Francis D.K. Ching, Arsitektur : Bentuk, Ruang, dan Tatanan, 2000
Selanjutnya dari hubungan ruang tersebut diorganisir menjadi pola-pola bentuk dan ruang yang saling terkait. Organisasi ruang tersebut dibagi menjadi 5 macam, yakni : a. Organisasi terpusat b. Organisasi linier c. Organisasi radial d. Organisasi cluster e. Organisasi grid Gambar II-3 Organisasi Ruang
a
b
c
d
e
Sumber : Francis D.K. Ching, Arsitektur : Bentuk, Ruang, dan Tatanan, 2000
25
Teori Integrasi Ruang Mobilitas kegiatan harian para atlet di Senayan, Jakarta khususnya terkait dengan kegiatan pemusatan latihan perlu didukung juga oleh suatu rancangan ruang yang dapat mengintegrasikan hubungan antara kegiatan dengan baik dan kegiatan dengan lingkungan/kawasan berada. Teori integrasi ruang dari Roger Trancyk (1973), dapat digunakan untuk menjawab rancangan ruang khususnya yang terkait dengan mobilitas kegiatan harian para atlet. Roger Trancyk (1973), memaparkan teori integrasi ruang dalam pendekatan rancangan kawasan yang sifatnya erat dan saling mempengaruhi. Teori tersebut selain dapat digunakan untuk integrasi bangunan dengan lingkungan/kawasan dan integrasi ruang dengan ruang di dalam bangunan. (sumber : Affan Satrio Nugroho, Agus Suryono dan Setiawan , Andhy. 2010. Analisa Alun-Alun Kota Purworejo. Jurusan Desain Arsitektur, Universitas Diponegoro)
1. Figure Ground Theory (Solid-Void Plan) Berisi tentang ruang terbangun dan ruang terbuka. Pendekatan figure ground adalah suatu bentuk usaha untuk memanipulasi atau mengolah pola existing figure ground dengan cara penambahan, pengurangan, atau pengubahan pola geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubungan antara massa bangunan dengan ruang terbuka dan ruang dengan ruang terbuka. Gambar II-4
Tipe Pola Solid-Void
Tipe Pola Solid-Void
∗ Grid ∗ Angular ∗ Curvalinear ∗ Radial concentric ∗ Axial ∗ Organic Sumber : Trancyk, Finding Lost Space, 1973
2. Teori Keterkaitan (Linkage Theory) Linkage artinya garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik 26
yang satu dengan yang lain. Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk segaris dan sebagainya. Menurut
Fumuhiko
Maki,
Linkage
adalah
semacam
perekat
kota/kawasan yang sederhana, suatu bentuk upaya untuk mempersatukan seluruh
tingkatan
kegiatan
yang
menghasilkan
bentuk
fisik
suatu
kota/kawasan. a. Linkage Visual Dua atau lebih fragmen kota/kawasan dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual. Pada dasarnya atau dua pokok perbedaan linkage visual, yaitu yang menghubungkan dua daerah secara netral dan yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan satu daerah. Terdapat lima elemen visual : -
Garis (line) Menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa yang bisa berupa deretan bangunan atau pohon.
-
Koridor (corridor) Dibentuk oleh 2 deretan massa, membentuk suatu ruang.
-
Sisi (edge) Sama dengan elemen garis, menghubungkan dua kawasan dengan satu massa. Perbedaannya dibuat melalui penampilan sebuah wajah yang massanya kurang penting. Bersifat massif di belakang tampilannya namun di depan bersifat spasial.
-
Sumbu (axis) Mirip dengan koridor yang bersifat spasial. Perbedaannya pada dua daerah yang dihubungkan oleh elemen tersebut.
-
Irama (rhythm) Menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.
b. Linkage Struktural Beberapa kawasan mempunyai bentuk dan ciri khas yang mirip, tapi ada juga kawasan yang sangat berbeda. Sering pula terjadi perbedaan antara kawasan yang letaknya saling berdekatan sehingga terlihat agak terpisah dan berdiri sendiri. Dalam linkage struktural, dua atau lebih struktur
27
kota/kawasan digabungkan menjadi satu kesatuan dalam tatanannya, elemen-elemennya : -
Tambahan Melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya. Bentukbentuk massa dan ruang yang ditambah dapat berbeda, namun pola kawasan tetap dapat dimengerti.
-
Sambungan Memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasannya. Diusahakan menyambung dua atau lebih pola sekitarnya supaya keseluruhannya dapat dimengerti sebagai satu kelompok yang memiliki kebersamaan melalu sambungan itu.
-
Tembusan Memperkenalkan pola baru yang belum ada. Terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan sebagai pola-pola yang sekaligus menembus di dalam satu kawasan. Gambar II-5 Linkage Struktural
Sumber : Trancyk, Finding Lost Space, 1973
Teori Elemen Perancangan Kawasan Mobilitas kegiatan harian para atlet perlu didukung oleh pencapaian yang mudah dan cepat. Hal ini perlu didukung oleh elemen-elemen perancangan suatu kawasan. Hamid Shirvani, seorang pakar arsitektur kota, mencetuskan teori tentang 8 elemen perancangan kawasan, yakni land use (tata guna lahan), building form and massing (bentuk dan massa bangunan), circulation and parking (sirkulasi dan parker), open space (ruang terbuka), pedestrian ways (jalur pedestrian), activity support (kegiatan pendukung), signage (penanda), dan preservation (konservasi terhadap bangunan bersejarah). Kedelapan elemen perancangan kawasan ini tidak dapat terlepas dari teori integrasi ruang dan analisis tapak/lingkungan pada saat perancangan.
28
II.3 Kelengkapan Data dan Relevansi Pustaka Pendukung II.3.1 Kerangka Konsep
Berikut ini adalah kerangka konsep yang didapatkan berdasarkan latar belakang, metodologi, tinjauan umum, dan tinjauan khusus untuk dijadikan acuan/arah konsep agar lebih jelas dan tepat yang selanjutnya akan didapatkan pemetaan mengenai permasalahan arsitektural yang sebenarnya. Gambar II-6 Kerangka Konsep
- Ruang dengan ruang dalam bangunan - Bangunan dengan lingkungan (dalam & luar)
II.3.2 Studi Lapangan
¾ Wisma Atlet Fajar, Senayan Foto II-1
Gambar II-7
Wisma Fajar, Senayan
Hubungan Ruang di Wisma Fajar, Senayan
Lobby
Fasilitas
Unit Hubungan Langsung Hubungan Tidak Langsung
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
29
Wisma Fajar, Senayan didirikan pada tahun 1974 dan mulai beroperasi pada tahun 1980. Pada awalnya Wisma Fajar ini diperuntukkan sebagai mess bagi pegawai Singapura di Jakarta. Namun sejalan berjalannya waktu, pada tahun 2004, mess tersebut akhirnya berpindah tangan ke pengelola Gelora Senayan, sehingga susunan ruang dan layout denahnya pun tidak seperti wisma atlet pada umumnya. Tahun 1985-1995, Wisma Fajar masih sempat ditinggal oleh atlet Pelatnas sekitar 6 unit untuk ± 50 atlet, bahkan 1 unit dapat dihuni oleh 15 atlet. Foto II-2 Kondisi Wisma Fajar, Senayan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
30
Wisma Fajar, Senayan terdiri dari 3 tower, yang masing-masing towernya terdapat 10 lantai dan berisi 20 unit. Dari tipikal bangunannya, setiap 1 lantai tipikal Wisma Fajar hanya memiliki 2 unit, kedua unit tersebut secara desain sangat mirip dengan tipikal unit apartemen pada umumnya. Masing-masing unit memiliki 3 kamar tidur, 3 kamar mandi/WC, 1 ruang bersama, dan 1 dapur. Beberapa kamar di masing-masing unit itu dilengkapi dengan kipas angin dan beberapa lainnya dilengkapi dengan AC. Pada beberapa kamar kondisi pengudaraan alaminya terasa kurang lancar/sehat. Para atlet yang menginap di Wisma Fajar, Senayan ini biasanya tidur di atas dua kasur yang dilipat menjadi satu. Di kamar sempit tersebut hanya ada sebuah lemari pakaian. Di dinding bertempelan gambar-gambar bintang film. Foto II-3 Denah Unit Tipikal & Kondisi Unit Wisma Fajar, Senayan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
Situasi kantin dan fasilitas lainnya pun sering dikeluhkan oleh para atlet. Mereka menganggap situasi sekarang kurang mengundang selera. Sehingga selain kondiksi ini malah membuat beberapa atlet menjadi kurang nyaman bahkan stress dan menyebabkan penurun berat badan pada beberapa atlet. Situasi ini mencerminkan betapa fasilitas yang disediakan oleh negara bagi para atlet selama ini belum memenuhi kriteria yang selayaknya.
31
Foto II-4 Kondisi Sirkulasi Vertikal Wisma Fajar, Senayan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
Foto II-5 Kondisi yang Tidak Ideal untuk Aktivitas Para Atlet
Balok
Floor To Plafond : ± 2,80 m
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
Desain Wisma Atlet Fajar, Senayan berdasarkan kriteria mobilitas yang mencakup keempat aspek, seperti kenyamanan, keamanan, kecepatan, dan kemudahan belum terlihat secara jelas. Pada aspek kenyamanan, pola sirkulasi terlihat mudah diingat, namun penanda, material, dan suasana yang ditawarkan belumlah sesuai dengan kriteria aspek kemudahan yang mendukung mobilitas. Pada aspek keamanan, tidak adanya perbedaan sirkulasi yang signifikan di dalam bangunan. Demikian juga pada aspek kecepatan dan kemudahan, tidak adanya kejelasan hubungan ruang dan organisasi ruang yang teratur, maka desain Wisma Atlet Fajar, Senayan ini secara garis besar belum memenuhi kriteria desain berdasarkan mobilitas secara umum.
32
¾ Wisma Atlet Ragunan Wisma Atlet Ragunan merupakan perkampungan para atlet binaan dan bagian dari Gelanggang Olahraga Ragunan yang didirikan pada tahun 1973. Secara umum, Gelanggang Olahraga Ragunan ini diperuntukkan sebagai : ∗ Tempat penampungan para atlet DKI Jakarta dalam pembinaan prestasi olahraga. ∗ Pusat pendidikan dan pembinaan olahraga bagi pelajar-pelajar berprestasi dalam olahraga. ∗ Training centre bagi atlet-atlet nasional sebelum mengikuti pesta-pesta internasional. ∗ Tempat penataran top-top organisasi olahraga serta badan-badan fungsional lainnya pada waktu-waktu tertentu dalam peningkatan program kerja olahraga. Wisma Atlet Ragunan itu sendiri diperuntukkan untuk atlet-atlet junior dari berbagai cabang olahraga yang dilihat memiliki potensi untuk dibina lebih lanjut. Selain itu, Wisma Atlet Ragunan pun diperuntukkan sebagai tempat tinggal sementara pelatih untuk atlet-atlet junior (baik laki-laki maupun perempuan) yang akan dibina dan wisma atlet itu pun dapat disewakan sebagai wisma umum untuk masyarakat pada umumnya. Wisma Atlet Ragunan terdiri dari 3 lantai, yang memiliki total keseluruhan kamar berjumlah 72 kamar, yang pada lantai 1 terdapat 20 kamar dan lantai 2 & 3 terdapat 26 kamar. 17 kamar di antaranya dapat disewa secara umum. Berikut ini adalah pembagian zoning peruntukkan dari Wisma Atlet Ragunan ini : Gambar II-8 Pembagian Zoning Peruntukkan Secara Horizontal Wisma Atlet Ragunan Atlet Laki‐Laki Disewa
Atlet Perempuan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
33
Gambar II-9 Pembagian Zoning Peruntukkan Secara Vertikal Wisma Atlet Ragunan
Lt.3
Pelatnas (Saat Ini Pelatnas Taekwondo)
Lt.2
Atlet Binaan (Sepak Bola, Bulu Tangkis, Sepak Takraw, Silat, Tenis Meja, Dsb)
Lt.1
Atlet Binaan (Sepak Bola, Bulu Tangkis, Sepak Takraw, Silat, Tenis Meja, Dsb)
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011 Foto II-6 Wisma Atlet Ragunan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
Gambar II-10 Hubungan Ruang Wisma Atlet Ragunan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
34
Fasilitas penunjang yang terdapat di Gelanggang Olahraga Ragunan pada umumnya yang sekaligus sebagai fasilitas penunjang Wisma Atlet Ragunan ini, antara lain : ∗ Auditorium ∗ Lapangan olahraga (lapangan sepak bola, lapangan tenis terbuka, lapangan bola basket terbuka, dan lapangan panahan) ∗ Lintasan lari ∗ Gedung olahraga (GOR utama, GOR serba guna & senam, GOR bulutangkis, GOR tenis meja, GOR tinju & gulat, dan GOR angkat besi) ∗ Kolam renang ∗ Kolam loncat indah ∗ Poliklinik ∗ Masjid ∗ Menza dan dapur ∗ Tempat parkir Di dalam Wisma Atlet Ragunan itu sendiri hanya terdapat fasilitas penunjang berupa laundry dan ruang serba guna dengan kapasitas 50-60 orang yang dapat digunakan untuk briefing atlet dengan pelatih, ruang kumpul, dan sebagainya. Foto II-7 Denah Unit Tipikal Wisma Atlet Ragunan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
35
Foto II-8 Kondisi Salah Satu Unit Tipikal Wisma Atlet Ragunan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011 Foto II-9 Denah Ruang Serba Guna Wisma Atlet Ragunan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011 Foto II-10 Kondisi Ruang Serba Guna Wisma Atlet Ragunan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
36
Foto II-11 Interior Wisma Atlet Ragunan
Sumber : Survei Lapangan, Jumat, 25 Februari 2011
Berikut ini adalah rutinitas aktifitas sehari-hari (kecuali Sabtu dan Minggu) yang biasa dilakukan oleh atlet yang menetap/menginap di Wisma Atlet Ragunan : 05.00 – 07.00 = Pemanasan 07.00 – 08.00 = Sarapan (di luar wisma, yaitu di menza) 08.00 – 12.00 = Sekolah (kecuali Jumat sampai pukul 11.00) 12.00 – 13.00 = Makan siang (di luar wisma, yaitu di menza) 13.00 – 17.30 = Latihan 17.30 – 19.30 = Istirahat, makan malam (di luar wisma, yaitu di menza) 19.30 – 21.00 = Sekolah malam (briefing,dsb) 21.00 – 05.00 = Tidur Untuk hari Sabtu dan Minggu merupakan hari libur, ada yang pulang ke rumah, ada yang latihan, dan sebagainya. Secara garis besar, desain Wisma Atlet Ragunan pun belum memenuhi kriteria desain mobilitas secara umum. Hal yang paling mendasar di dalam desain berdasarkan mobilitas adalah pengaturan pola sirkulasi di dalamnya, meskipun pola sirkulasi di dalamnya rata-rata menggunakan koridor single loaded, namun dinilai masih kurang karena tidak adanya pembeda antara atlet, pengelola, pelatih, dan pengguna lainnya. Selain itu, hubungan ruang dan organisasi ruang di dalam bangunan masih belum jelas untuk mengakomodasi mobilitas kegiatan harian atlet yang sudah terjadwal.
37
II.3.3 Studi Literatur Terkait Proyek
¾ Wisma Atlet Jakabaring, Palembang Saat ini, Palembang tengah serius mempersiapkan venue untuk kancah SEA Games XXVI tahun 2011. Salah satunya, pembangunan wisma atlet (athelete village) yang lokasinya direncanakan di kawasan olahraga terpadu, Jakabaring. Pembangunannya sendiri ditargetkan akan selesai sebelum pelaksanaan SEA Games yang akan berlangsung pada November 2011 tahun depan. Gambar II-11 Master Plan Kawasan Olahraga Jakabaring
Wisma Atlet
Sumber : http://www.infoseagames-sumsel.com
Wisma atlet itu menyediakan 5 tower. Estimasi jumlah kapasitas atlet 1 tower sama dengan 738 orang, sehingga total 5 tower wisma atlet dikali 738 orang sama dengan 3690 orang. Perhitungan 1 tower terdiri dari lantai dasar 21 unit kamar (x) 6 orang total 126 orang, lantai 1 dengan 34 unit kamar (x) 6 orang total 204 orang, lantai 2 dengan 34 unit kamar (x) 6 orang total 204 orang, dan lantai 3 dengan 34 unit kamar (x) 6 orang sehingga totalnya 204 orang. Luas total seluruh blok mencapai 9.179 m2 terdiri dari luas groundfloor 2.333 m2, luas lantai tipikal 6.846 m2, sehingga capaian luasan wisma atlet itu 45.895 m2. Lokasi wisma atlet seluas 45.895 m2 itu menempati lahan di seberang Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang.
38
Gambar II-12 Wisma Atlet Jakabaring Wisma Atlet
Sumber : http://www.infoseagames-sumsel.com Foto II-12 Wisma Atlet Jakabaring – Under Construction
Kolom & balok menggunakan konstruksi baja WF
Sumber : http://www.infoseagames-sumsel.com
Fasilitas yang terdapat di Wisma Atlet ini, antara lain : hunian atlet, hunian pelatih, kantor pengelola, ruang makan, ruang serbaguna, hall of fame, lapangan pemanasan, ruang fisik, poliklinik serta beberapa fasilitas servis. ¾ Wisma Atlet Olimpiade London 2012 Wisma atlet ini lokasinya berdekatan dengan Taman Olimpiade dengan konsep berkelanjutan dengan pendekatan berbasis kesehatan dan akan meninggalkan warisan 2.818 unit rumah baru untuk London. 1.380 unit di antaranya akan menjadi rumah yang sangat terjangkau oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk menciptakan rumah terjangkau, rumah berkualitas tinggi bagi masyarakat lokal dan memajukan pembangunan di kawasan Stratford dan masyarakat luas timur London setelah olimpiade.
39
Gambar II-13 Master Plan Kawasan Olimpiade London 2012
Sumber : http://insidelondon2012.blogspot.com Gambar II-14 Site Plan Wisma Atlet Olimpiade London 2012
Sumber : http://insidelondon2012.blogspot.com
Perencanaan fasilitas wisma atlet yang dilengkapi dengan pusat kesehatan masyarakat dan atlet telah diresmikan oleh Olimpiade Delivery Authority (ODA), sebagai panitia pengelola kegiatan Olimpiade London 2012. Pusat kesehatan ini berupa poliklinik yang menyediakan layanan kesehatan oleh negara dan merupakan fasilitas masyarakat yang menjadi warisan jangka panjang bagi masyarakat lokal.
40
Poliklinik akan berada di jantung fasilitas wisma atlet yang direncanakan. Fasilitas awalnya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan atlet olimpiade dan pra-olimpiade pada Olimpiade London 2012. Selanjutnya fasilitas ini dapat menjadi fasilitas untuk rumah masyarakat baru di kota London. Pengembangan dan perencanaan wisma atlet difokuskan di tepi timur pemukiman di kota London untuk mengaktifkan akses mudah bagi penduduk setempat, hal ini memainkan peran kunci dalam mengintegrasikan pemukiman masyarakat dalam komunitas yang lebih luas. Ini akan meliputi : -
Komunitas sarana dan prasarana kesehatan (poliklinik) co- terletak di sebuah bangunan 5.000 m2 dengan kondisi empat lantai dan dilengkapi dengan parkir mobil dan ruang sirkulasi.
-
Berbagai layanan kesehatan primer dijalankan oleh NHS Newham termasuk operasi beberapa kegiatan rawat jalan, pelayanan fisioterapi, klinik anak-anak, dan fasilitas diagnostik termasuk X-ray dan USG.
-
Fasilitas kesehatan lainnya termasuk kedokteran gigi, optometri, dan layanan tambahan lainnya.
-
Fasilitas gymnasium, kantor organisasi olahraga, ruang pelatihan yang fleksibel/ruang pertemuan, kafe, dan sebagainya.
-
Komunitas pengembangan untuk mengelola fasilitas masyarakat dan menyediakan berbagai layanan untuk manfaat warga setempat. Gambar II-15 Wisma Atlet Olimpiade London 2012
Sumber : http://insidelondon2012.blogspot.com
41
Chief Executive Olimpiade Delivery Authority (ODA), David Higgins berkata : “rencana kami untuk sebuah poliklinik baru di wisma atlet akan menempatkan warisan fasilitas kesehatan kelas dunia di jantung timur London. Wisma atlet tidak hanya menciptakan rumah baru yang penting untuk London, juga memberikan fasilitas masyarakat baru dan poliklinik yang akan menjamin kesehatan kawasan serta memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar dan generasi yang akan dating”. Wisma Atlet Olimpiade London 2012 secara umum belum mewadahi desain berdasarkan mobilitas. Hal yang paling signifikan terlihat adalah dari desain pola sirkulasinya, tidak ada hal yang membedakan antara sirkulasi atlet dengan pengguna lainnya. Secara fleksibilitas ruang, desain wisma atlet ini sudah cukup mewadahi, namun secara mobilitas masih tidak tercermin dalam desain. ¾ Wisma Atlet Vancouver Wisma atlet di Vancouver adalah desa/perkampungan olimpiade yang terletak di tenggara False Creek yang dibangun untuk Olimpiade Musim Dingin 2010 yang diselenggarakan di Vancouver Kanada . Luas wisma atlet mencapai 56.000 m2 dengan lebih dari 600 unit, yang mampu menampung lebih dari 2.800 atlet, pelatih, dan pejabat. Wisma atlet ini akan memiliki 16 bangunan yang dibangun di atas lahan seluas 1,4 juta kaki persegi, dan pusat komunitas. Semua bangunan akan dibangun dengan standar Gold LEED dan pusat komunitas akan dibangun untuk Platinum LEED. Fasilitas yang ditawarkan oleh wisma atlet ini, antara lain : hunian atlet, hunian pelatih, kantor pengelola, ruang makan, ruang serbaguna, lapangan pemanasan, ruang fisik, poliklinik serta beberapa fasilitas pendukung lainnya. Gambar II-16 Site Plan Wisma Atlet Vancouver
Sumber : inhabitat.com
42
Semua bangunan akan dilengkapi dengan panel surya dan fitur atap hijau. Hujan air akan dipanen dan digunakan untuk irigasi atap hijau dan lansekap. Sistem hydronic in-slab akan digunakan untuk pemanasan dan pendinginan gedung-gedung dan panas laten pipa selokan akan dimanfaatkan oleh sistem pertukaran panas inovatif. Parkir semua akan dialihkan di bawah tanah dan rencana yang sedang terjadi untuk mencapai netralitas air karena akan mengumpulkan air hujan sebanyak yang digunakannya. Untuk memudahlan pencapaian dan aksesibilitas, rencana penggabungan dua wisma atlet yakni Vancouver Olympic dan Whistler Olympic untuk Olimpiade 2010 di Kanda dengan menggunakan teknologi terbaru untuk memudahkan perpindahan antara wisma atlet satu ke wisma atlet lain. Dengan adanya kemampuan teknologi dan konsep arsitektur seperti ini, diharapkan dapat menjadi model kehidupan yang berkelanjutan. Gambar II-17 Wisma Atlet Vancouver
Salah satu tipe unit
Sumber : inhabitat.com
Wisma Atlet Vancouver mengadopsi konsep green architecture, tidak terlihat adanya konsep mobilitas yang sesuai dengan tema terkait dengan wisma atlet ini. Keempat kriteria desain berdasarkan mobilitas belum tercermin di dalam wisma atlet ini, namun hal yang dapat dipelajari dan digunakan sebagai referensi adalah fasilitas-fasilitas di dalam wisma atlet ini.
43
II.3.4 Studi Literatur Terkait Topik dan Tema
¾ Pranata, Willy Rahadian. 2003. Rumah Susun Sederhana di Surabaya (Pendekatan Perilaku Manusia). Other thesis, Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra. Desain Rumah Susun Sederhana Urip Sumohardjo merupakan desain hunian berbasis perilaku, yang menekankan adanya kenyamanan untuk memungkinkan terjadinya perilaku yang berproses ke arah positif. Kenyamanan yang ada, dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu kenyamanan
fisik,
kemudahan
beraktivitas,
serta
fleksibilitas
dalam
pengubahan tatanan ruang untuk berbagai aktifitas. Ketiga bagian tersebut diterapkan dalam kenyamanan tingkat unit, ruang luar ("living street"), dan massa bangunan yang akan berkembang menuju suatu proses penghunian yang lebih baik dari kondisi awalnya. Gambar II-18 Rumah Susun Sederhana di Surabaya (Pendekatan Perilaku Manusia)
Sumber :
[email protected]
Teknik pemecahan masalah yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis perilaku dan kegiatan apa saja yang mempengaruhi perilaku tersebut di dalam rumah susun. Kemudian dengan teknik kuesioner, didapatkan persentase
ruang
dan
pembagian
zona
berdasarkan
kegiatan
yang
mempengaruhi perilaku manusia di dalamnya. Kemudian didapatkan program ruang dan besaran ruang yang sesuai dengan kegiatan manusia di dalamnya. Hubungan ruang pun berikutnya didapatkan berdasarkan analisis sebelumnya.
44
Gambar II-19 Skema Hubungan Antar Ruang Rumah Susun Sederhana di Surabaya
Sumber :
[email protected]
Berikutnya didapatkan pola penataan massa bangunan dan pola penataan ruang berdasarkan hasil hubungan ruang tersebut dan disesuaikan dengan analisis perilaku sebelumnya yang menentukan kompleksitas bangunan rumah susun sederhana tersebut. ¾ Guggeinhem Museum, Frank Lloyd Wright (Pendekatan Mobilitas) Pada bagian tampak, museum ini menunjukan bentuk yang melingkar seperti spiral. Demikian pula pada interior bangunan ini terdapat spiral berupa ramp yang berkelok-kelok lembut dengan ceruk kecil dan lampiran, berisi berbagai karya modern, kontemporer dan seni impresionis. Semua ini dibatasi oleh sebuah skylight yang indah yang memungkinkan cahaya alami untuk bersinar ke dalam museum. Gambar II-20 View Interior Guggeinhem Museum
Sumber : greatbuildings.com
45
Arsitektur organik adalah sebuah konsep arsitektur di mana ruang dan bentuk dipadukan. Ruang menjadi pusat pemikiran Frank Lloyd Wright sejak awal perancangan, dipandang sebagai media dari berbagai intensitas kegiatan, mempunyai karakter psikologis, nilai dan bertujuan mengangkat harkat aktivitas manusia. Guggeinhem Museum merupakan contoh sempurna dari filsafat organik Frank Lloyd Wright, di mana denah, potongan, dan pandangan dari luar secara bersamaan menyatu secara meyakinkan dalam bentuk tiga dimensi dan ruang, diwujudkan dalam konstruksi beton spiral. Dengan membalikkan hirarki ruang pada umumnya, pengunjung museum diajak naik dahulu ke lantai paling atas dan kemudian menuruni ramp berbentuk spiral untuk menikmati pameran di dalam museum dan berakhir pada lantai dasar sebagai tempat keluar. Pergerakan maksimal untuk mendukung karakter psikologis manusia yang ingin menikmati museum dinilai cukup berhasil untuk menarik pengunjung ke dalam museum ini. Mobilitas pengunjung menjadi maksimal dan cepat untuk berinteraksi dengan bangunan. Yang menjadikan bangunan ini berhasil adalah bagaimana bangunan ini mampu menciptakan pola sirkulasi yang mendukung pencapain mobilitas dari kegiatan pengunjungnya. Gambar II-21 Denah Guggeinhem Museum
Sumber : greatbuildings.com
46
Gambar II-22 Potongan Guggeinhem Museum
Sumber : greatbuildings.com
¾ Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh di Lahan Berkontur, Rasy Janatunnisa, 2005 (Pendekatan Mobilitas) Batasan yang diambil pada kasus ini berupa perancangan arsitektur komplek Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh meliputi fasilitas terapi, rawat inap, fasilitas penunjang beserta ruang-ruang luarnya. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan perilaku.
Dengan
mendalami
perilaku
penyandang cacat diharapkan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalam aktivitas dengan keterbatasan mereka. Dari studi perilaku berdasarkan survei dan data, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: - Penyandang cacat memiliki keterbatasan delam bergerak - Berorientasi dengan sirkulasi yang tegak lurus dan pola yang teratur. Fasilitas yang dibutuhkan oleh penyandang cacat tubuh didesain dengan memudahkan mereka dalam mengenali lingkungannya.penggunaan warna kontras untuk penanda adanya perbedaan zoning sehingga memudahkan orientasi mobilitas mereka.
47
Gambar II-23 Konsep Tapak Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh
Sumber : http://elib.unikom.ac.id Gambar II-24 Denah dan Gubahan Massa Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh
Sumber : http://elib.unikom.ac.id
48
Konsep dasar Fasilitas ini ditujukan bagi penyandang cacat tubuh (Tuna daksa). Dalam aktivitasnya perilaku tuna daksa agar aman dan nyaman dalam beraktivitas maka dibutuhkan keteraturan. Konsep dasar dari pembangunan pusat rehabilitasi ini adalah keteraturan. Konsep keteraturan dikaitkan dengan pengidentifikasian
lokasi.
Dengan
keteraturan
maka
mempermudah
pergerakan tuna daksa dalam lingkungannya. Keteraturan yang dimaksud adalah keteraturan dalam ruang, sirkulasi, penataan zoning dan penataan bangunan yang ditata dengan jarak yang berdekatan. Orientasi yang teratur dan mudah diingat memberikan kemudahan orientasi mobilitas bagi para penyandang cacat tubuh. Dengan konsep yang teratur diharapkan dapat menciptakan tuna daksa yang mandiri baik secara orientasi mobilitas juga secara perilaku mereka lebih percaya diri dan tidak mengandalkan orang lain. II.3.5 Kesimpulan Studi Banding (Studi Lapangan dan Studi Literatur)
Wisma atlet adalah sarana hunian yang diperuntukkan bagi para atlet untuk dapat beristirahat dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan keatletan, seperti pembinaan, pemusatan latihan, dan sebagainya, sebelum menjalani pertandingan untuk lebih fokus menyiapkan konsentrasi, mental, tenaga, pikiran, strategi, dan sebagainya. Berdasarkan hasil studi banding, baik studi lapangan maupun studi literatur, untuk mengakomodasikan kegiatan-kegiatan dari para atlet ini diperlukan ruang-ruang sebagai fasilitator. Fasilitas yang ada dan biasa direncanakan, antara lain : hunian atlet, hunian pelatih, kantor pengelola, ruang makan, ruang serbaguna, hall of fame, lapangan pemanasan, ruang fisik, ruang rekreasi serta beberapa fasilitas pendukung dan servis. Konsep arsitektur dari wisma atlet secara garis besar merupakan bangunan bermassa tunggal dengan bentuk tower (tipikal untuk setiap lantainya). Bentuk yang fungsional diikuti dengan tampilan fasade yang sesuai dengan fungsi wisma pada umumnya. Konsep penataan ruang-ruang menjadi hal yang penting diperhatikan dalam desain wisma atlet ini karena merupakan bangunan fungsional.
49
Wisma atlet yang sudah ada secara garis besar belum memperlihatkan desain terkait tema mobilitas. Beberapa di antaranya sudah ada yang mengaplikasikan sebagian atau beberapa criteria di dalam wisma atlet tersebut, namun secara garis besar belumlah mencerminkan kriteria secara mobilitas. Berdasarkan studi literatur tema dan topik sejenis, kriteria sebuah desain berdasarkan mobilitas adalah memiliki empat aspek, yakni kenyamanan, keamanan, kecepatan, dan kemudahan. Kriteria desain berdasarkan mobilitas akan baik jika tidak luput dari keempat aspek umum tersebut dan memperhatikan beberapa aspek arsitektural lainnya. Produk dari desain berdasarkan mobilitas biasanya berupa programming yang jelas dan terperinci, seperti contoh : Guggeinhem Museum karya arsitek Frank Lloyd Wright.
50