BAB II TEORI DASAR
II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN Hubungan tegangan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke pada tahun 1678. Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan, kondisi tersebut kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan ragangan dapat diiterpretasikan sebagai berikut: •
σ = ……………………………………………………… (2.1)
•
ε=
•
σ = E. ε …………………………………………………… (2.3)
………………………………………………….. (2.2)
Dimana: P = beban aksial A = luas profil Lo = panjang mula-mula L = panjang batang setelah dibebani E = modulus young/modulus kekenyalan
22
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara tegangan dan regangan untuk lebih jelasnya dapat diperlihatkan pada gambar 2.1 berikut ini σ
M C A
σyu σu
A’
0
B
ε
εy ερ GAMBAR 2.1
Hubungan Tegangan –Regangan untuk Baja lunak.
Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah linier elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau disebut juga modulus young, E. Diagram tegangan-regangan untuk baja lunak umumnya memiliki titik leleh atas (upper yield point), σ, dan daerah leleh datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A’, tidaklah terlalu berarti sehingga pengaruhnya sering diabaikan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.0012.
23
Universitas Sumatera Utara
Dari grafik tesebut dapat terlihat bahwa bila regangannya terus bertambah hingga melampaui harga ini , ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian disebut sebagai kondisi plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan sedikit mengalami kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat ditentukan terletak pada regangan 0.014 atau secara praktis dapat ditetapkan sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh. Daerah BC merupakan daerah strain-hardenig, dimana pertambahan regangan akan diikuti oleh sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu hubungan tegangan-regangannya tidak bersifat linier. Kemiringan garis setelah titik B ini didefinisikan sebagai Es. Dititik M, tegangan mencapai nilai maksimum yang disbut sebagai tegangan tarik ultimit (ultimate tensile strength). Pada akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C. Besaran-besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja, proses pengerjaan pembuatan baja dan temperatur baja pada saat percobaan. Tetapi factor-faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus elastisitas (E). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan ditampilkan pada table 2.1 :
24
Universitas Sumatera Utara
TABEL Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan %C
σ (N/mm2 )
σya / σy
εs / εy
Es / Ey
0.28
340
1.33
9.2
0.037
0.49
386
1.28
3.7
0.058
0.74
448
1.19
1.9
0.070
0.89
525
1.04
1.5
0.098
Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka akan semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan leleh bahan akan berpengaruh pada daktilitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin rendah daktilitas dari material tersebut. Daktilitas adalah perbandingan antara εs dan εy, dimana εs adalah regangan strain hardening dan εy adalah regangan leleh. Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan tarik secara berulang, diagram tegangan-regangannya dapat terbentuk seperti gambar 2.2. lintasan tarik dan tekan adalah sama. Hal ini menunjukkan suatu keadaan yang disebut efek Bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J. Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun 1886.
25
Universitas Sumatera Utara
σy
ε
GAMBAR2.2 Efek Bauschinger Hubungan tegangan-regangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening) dan efek Bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti gambar 2.3. Keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan plastis ideal (ideal plastic relation).
26
Universitas Sumatera Utara
σ σy
o
ε
εy
-σy
GAMBAR 2.3 Hubungan plastis ideal
II.2. MENENTUKAN GARIS NETRAL PROFIL Garis netral untuk tampang yang sama pada kondisi elastis tidak akan sama dengan kondisi garis netral pada saat kondisi plastis. Pada kondisi elastis, garis netral merupakan garis yang membagi penampang menjadi dua bagian yang sama luasnya. Pada kondisi plastis, garis netral ditinjau sebagai berikut:
27
Universitas Sumatera Utara
σy D1 A1
Z1
Z2
D2
A2
σy
GAMBAR 2.4 Penentuan letak garis netral secara plastis D1 = A1. •
y
.................................................................................................... ( 2.4 )
D1 = A2.
y
......................................................................................... ( 2.5 )
Agar terjadi kesetimbangan, maka : D1 = D2 •
Sehingga
A1 = A2 = ½ A
•
Selanjutnya
Z1 = S1/A1 Z2 = S2/A2
Dimana : S1 = statis momen pada bidang A1 terhadap garis netral plastis S2 = statis momen pada bidang A2 terhadap garis netral plastis D1 = resultan gaya tekan diatas garis netral plastis D2 = resultan gaya tarik diatas garis netral plastis Z1 = section modulus luasan 1 28
Universitas Sumatera Utara
Z2 = section modulus luasan 2 Untuk menentukan momen plastis batas digunakan : •
Mp = D1 ( Z1+Z2 ) Mp =
y
. ½ A ( Z1+Z2 )
II.3. HUBUNGAN MOMEN-KELENGKUNGAN Pada saat terjadi sendi plastis pada suatu struktur dengan perletakan sederhana, struktur akan berotasi secara tidak terbatas. Sebelum gaya luar bekeja, balok masih dalam keadaan lurus. Setelah gaya luar bekrja, balok akan mengalami pelenturan. Diasumsikan bahwa material penyusun balok adalah homogen dan diasumsikan bahwa balok hanya mengalami lentur murni tanpa gaya aksial.
29
Universitas Sumatera Utara
A
B
C
A1
B1
C1
O
M
M
A
y
a a1
C
B b
c1
b1 A1
C1 B1
GAMBAR 2.5 Kelengkungan balok
30
Universitas Sumatera Utara
Perubahan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5. Titik A, B, dan C akan tertekan, sedangkan titik A1, B1, dan C1 akan meregang. Perpanjangan titik A1-A, B1-B, dan C1-C akan mengalami perpotongan pada titik O. Sudut yang terbentuk akibat terjadinya perubahan kelengkungan dititik A dan B atau B dan C, dinyatakan dengan φ. Kalau φ ini sangat kecil, maka : •
ab
•
a1 b1 = ρ . φ
d eng an
ρ
= (ρ - y) φ
ad alah jari-jari kelengkungan (Radius of curvature ). Sehingga,
regangan pada arah memanjang di suatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat dinyatakan sebagai :
• ε = •
ε =
............................................................................................... ( 2.6 )
dimana 1/ ρ menunjukkan kelengkungan ( K ). Tanda negatif menunjukkan bahwa pada bagian diatas garis netral berada pada kondisi tekan, sedangkan pada kondisi dibawah garis netral berada pada kondisi tarik. Dengan ε =
•
/E, maka :
= =
............................................................................................. ( 2.7 )
Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah :
•
= 31
Universitas Sumatera Utara
Dimana : S = Modulus penampang •
y = D/2
Akhirnya didapat :
•
=
=
=
dimana S . D/2 = I ( Momen Inersia).
................................................................................. ( 2.8 )
σy D/2
z
garis netral
D/2 B
σy
=
Daerah yang mengalami plastis
=
Daerah yang berada pada kondisi elastis
GAMBAR 2.6 Distribusi tegangan pada tampang profil IWF
32
Universitas Sumatera Utara
Pada gambar 2.6 dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat sejauh z dari garis netral belum mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2z materialnya masih berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan bagian elastis dan plastis. Jika z = D/2, hanya serat terluar saja yang mengalami / mencapai kondisi leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My). •
My = S .
y.........................................................................................
( 2.9 )
dimana S adalah Modulus penampang (section modulus ). Dari persamaaan (2.6) dengan harga ε = εy , y = z , dapat diperoleh : •
K = εy / z......................................................................................... ( 2.10 )
Selanjutnya untuk z = ½ D diperoleh : •
Ky = 2 εy / D...................................................................................... (2.11 )
Dimana : K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian ( partially plastic state ). Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh. Pada penampang IWF seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.6, ketika balok mengalami lentur maka bagian sayap (flens) atas akan memendek dan bagian sayap bawah akan memanjang / meregang. Selanjutnya selama proses elastis menuju plastis ada tiga keadaan penting yang harus di periksa yaitu ketika 33
Universitas Sumatera Utara
tegangan leleh masih berada pada daerah sayap, telah melampaui sayap dan seluruh serat pada bagian sayap telah mengalami leleh. Perbandingan antara momen plastis (Mp) dan momen leleh (My) menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau pada kondisi plastis. Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang dinotasikan sebagai f.
(M/My)
c b a
(K/Ky)
GAMBAR 2.7 Hubungan momen-kelengkungan Dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen terhadap kelengkungan ( M – K ), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa nilai momen (M) akan semakin mendekati f . My apabila harga K semakin besar. Bila nilai My mencapai nilai faktor bentuk f maka harga K akan mencapai harga tidak terhingga, dimana ini manandakan bahwa nilai z dalam parsamaan (2.10) sama dengan nol, dimana
y = z, maka seluruh penampang serat mencapai
kondisi plastis penuh dan momen plastisnya adalah Mp = f . My. 34
Universitas Sumatera Utara
II.4. ANALISA PENAMPANG Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang distribusi tegangan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh yang digambarkan pada gambar 2.8 pada halaman berikutnya : σy
T
σy 1
1
2
D/2
2
t
D
2 σy
B Tampang IWF
(a) Momen elastis
2 1
σy
1
(b) Momen plastis
GAMBAR 2.8 Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF
II.4.1. MODULUS ELASTIS ( sumbu X ) M = 2M1 + 2M2 M = 2BT
M = 1/2 (BT)(D – T)
½+
y
35
Universitas Sumatera Utara
M=
M=
y
–
y/D
σy =
SX =
–
= –
SX =
....................................................... (2.12.a)
II.4.2. MODULUS PLASTIS
Mp = 2M1 + 2M2 Mp = 2
+2 –
Mp =
σy =
Zx =
y
–
Mp =
Zx =
y
y
–
= –
………………………………………... ( 2.12 )
Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f, dimana
f = Zx / Sx (untuk sumbu X) maka hubungan antara kapasitas momen
pada saat keadaan leleh (My) dan kapastas momen pada keadaan plastis (Mp) akan menghasilkan persamaan berikut : 36
Universitas Sumatera Utara
•
=
=
•
=f
…………………………..………………………….. ( 2.13 )
II.5. FAKTOR BENTUK ( Shape Factor ) Faktor bentuk ( f ) merupakan indeks yang menyatakan perbandingan antara momen plastis dan elastis. Dari persamaan (2.13) diperoleh : Mp = f . My Mp / My = f f=
f=
.
–
–
………………………………………………………. ( 2.14 )
37
Universitas Sumatera Utara
TABEL 2.2 Nilai faktor bentuk pada profil IWF Profil IWF
D (mm)
B (mm)
100x50
100
50
100x100
100
125x60
t (mm)
T (mm)
Ix (cm4)
Zx (cm3)
f
5
7
187
37.5
1.220
100
6
8
383
76.5
1.167
125
60
6
8
413
66.1
1.226
125x125
125
125
6.5
9
847
136
1.155
150x75
150
75
5
7
666
88.8
1.155
150x100
150
100
6
9
1020
138
1.170
150x150
150
150
7
10
1020
219
1.147
175x90
175
90
5
8
1210
139
1.176
175x125
175
125
5.5
8
1530
181
1.152
175x175
175
175
7.5
11
2880
330
1.141
200x100
200
100
5.5
8
1840
184
1.185
200x150
200
150
6
9
2690
277
1.144
200x200
200
200
8
12
4720
472
1.137
250x125
250
125
6
9
4050
324
1.177
250x175
250
175
7
11
6120
502
1.145
250x250
250
250
9
14
10800
867
1.130
300x150
300
150
6.5
9
7210
481
1.182
300x200
298
201
9
14
13300
893
1.132
300x300
300
300
10
15
20400
1360
1.126
350x175
350
175
7
11
13600
775
1.167
350x250
340
250
9
14
21700
1290
1.139
350x350
350
350
12
19
40300
2300
1.127
400x200
400
200
8
13
23700
1190
1.165
400x300
390
300
10
16
38700
1980
1.132
400x400
400
400
13
21
66600
3330
1.124
450x200
450
200
9
14
33500
1490
1.183
450x300
440
300
11
18
56100
2550
1.140
500x200
500
200
10
16
47800
1910
1.194
500x300
488
300
11
18
71000
2910
1.146
600x200
600
200
11
17
77600
600x300
588
300
12
20
118000
4020
1.161
700x300
700
300
13
24
201000
5760
1.169
800x300
800
300
14
26
292000
7290
1.183
900x300
900
300
16
28
411000
9140
1.206
2590
1.223
38
Universitas Sumatera Utara
Rata – rata sampel ( x )
=
= 1.164
Standar deviasi ( )
= 0.01 Faktor bentuk rata –rata = 1.164 – (1.164 x 0.01) = 1.147 Maka faktor bentuk ( f ) = 1.147 II.6. SENDI PLASTIS
II.6.1. Umum Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran sudut (rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus-menerus sebelum pada akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal. Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu struktur maka sifat dari konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh: 1. Bila konstruksi semula merupakan konstruksi statis tertentu, maka dengan timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan runtuh. 2. Pada suatu konstruksi hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatisannya. Kemudian untuk
39
Universitas Sumatera Utara
menjadikannya runtuh diperlukan sendi plastis dengan jumlah tertentu sesuai dengan derajat hiperstatis dari suatu konstruksi Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut. Dalam hal ini, pertama-tama penulis akan meninjau distribusi tegangan normal pada penampang profil IWF seperti tergambar pada gambar 2.9. berikut ini: y
y
y
y
(1-
x
My
Mep
y
Mp
y
y
Profil IWF
Situasi leleh
Situasi elastoplastis
Situasi plastis
(a)
(b)
(C)
(d)
Gambar 2.9. Distribusi tegangan pada penampang IWF
Dimana: My = Momen leleh Mep = Momen elastoplastis/momen peralihan 40
Universitas Sumatera Utara
Mp = Momen plastis Gambar 2.9 menunjukkan bahwa penampang telah mencapai momen tahanan leleh (MRelastis) kemudian mengalami keadaan peralihan (elastoplastis) dan akhirnya mencapai keadaan momen plastis (MR plastis). Pada penampang ini terjadi distribusi tegangan leleh yang diawali dari serat terluar. Gambar 2.9 memperlihatkan tinggi bagian panampang yang mendapatkan distribusi tegangan yang disebut sebagai jarak elastis ( D/2). Perhatikan tegangan dan regangan yang terjadi pada gambar 2.10 berikut: σy
yB
σy
D/2(1- ) D/2
M
M .D/2 K
D/2
σy
σy
Profil IWF
Diagram Regangan
Diagram Tegangan
(a)
(b)
(c)
GAMBAR 2.10 Diagram Tegangan Regangan Dari Gambar : K = kelengkungan = R = Jari-jari kelengkungan = Regangan 41
Universitas Sumatera Utara
y = Tinggi serat yang ditinjau dalam keadaan elastis (jarak plastis) Maka tg K =
(untuk sudut kecil tg K = K).
Dari persamaan (2.7) : Untuk y = •
=
=
, Didapat rumus untuk keadaan elastoplastis ………………….……………………………………….. (2.15)
Rumus untuk keadaan leleh, dimana •
=
= 1 dan y = D/2 adalah:
…………………………………………………………… (2.16)
II.6.2. Bentuk Sendi Plastis Sendi plastis akan membentuk suatu persamaan garis tertentu sebelum terjadi keruntuhan. Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis (lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terpusat simestris
42
Universitas Sumatera Utara
O
x
Gambar 2.11.a Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terpusat
MR = Mp ( 1 -
)
MR = Mp ( 1 – βα2 ) (1-
) = ( 1 – βα2 )
x = βLα2 α = βL f(x) = βL α
f(x) = βL
β
Gambar 2.11.b Lengkung sendi plastis beban terpusat 43
Universitas Sumatera Utara
Sekarang kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis (lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata.
O
g.n
x
lp L Gambar 2.12a Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terbagi rata
MR = Mp ( 1 -
)
MR = Mp ( 1 – βα2 ) α
) = ( 1 – βα2 )
(1-
f(x) = βLx
x = βL α 2
2 2
α = βLx β
f(x) = βLx Gambar 2.12.b. kurva sendi plastis beban terbagi rata
44
Universitas Sumatera Utara
II.7. ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS II.7.1. Pendahuluan Analisa strukur secara plastis bertujuan untuk menentukan beban batas yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Keruntuhan struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat menyeluruh ataupun bersifat parsial. Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami keruntuhan total jika kondisinya labil, disini telah terbentuk lebih dari n buah sendi plastis. Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada mekanisme keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis menjadi statis tertentu. Jadi struktur masih hiperstatis dengan derajat yang lebih rendah dari semula. Suatu struktur statis tak tentu mampunyai sejumlah mekanisne keruntuhan yang berbeda. Setiap mekanisme keruntuhan itu menghasilkan beban runtuh yang berbeda. Sehingga akhirnya dipilihlah mekanisme yang menghasilkan beban runtuh terkecil. Jumlah sendi plastis yang dibutuhkan untuk mengubah suatu struktur kedalam kondisi mekanisme runtuhnya sangat berkaitan dengan derajat statis tak tentu yang ada dalam struktur tersebut. Dalam hal ini dapat dibuat rumusan sebagai berikut : n = r + 1…………………………………………………………………… (2.17)
45
Universitas Sumatera Utara
dimana : n = jumlah sendi plastis untuk runtuh r = derajat statis tak tentu 1. Untuk struktur balok dua perletakan sendi-sendi (struktur statis tertentu) dengan r = 0 dan n = 1 P
(a) Struktur pembebanan
(b) Mekanisme runtuh
GAMBAR 2.13.a Mekanisme Keruntuhan Balok Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pada momen maksimum (dibawah beban titik). 2. Struktur balok dua perletakan sendi-jepit (struktur statis tak tentu berderajat satu) dengan r = 1 dan n = 2. P
(a) Struktur pembebanan
(b) Mekanisme runtuh P
GAMBAR 2.13.b Mekanisme Keruntuhan Balok 46
Universitas Sumatera Utara
Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada perletakan jepit. 3. Untuk balok struktur perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu berderajat dua) dengan r = 2 dan n = 3. P
(b) Struktur pembebanan
(b) Mekanisme runtuh
GAMBAR 2.13.c Mekanisme Keruntuhan Balok
Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada kedua perletakan jepitnya.
II.7.2. Perhitungan Struktur Pada prinsipnya jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka akan dipenuhi tiga kondisi berikut : 47
Universitas Sumatera Utara
1. Kondisi leleh (Yield Condition) Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas (Mp). 2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition) Jumlah gaya-gaya dan momen dalam keadaan seimbang adalah nol 3. Kondisi mekanisme (Mecanism Condition) Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan. Ketiga kondisi diatas menjadi syarat dari teorema berikut : 1. Teorema batas bawah (Lower Bound Theorem) Teorema batas bawah menetapkan atau menghitung distribusi momen dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban yang dianalisa memiliki faktor beban (λ) yang memiliki nilai yang lebih kecil dari harga yang sebenarnya (λc), dirumuskan λ≤ λc, sehingga ha sil yang dihasilkan mungkin aman atau benar, karena hasil yang diperoleh lebih kecil atau sama dengan nilai faktor beban yang sebenarnya. 2. Teorema batas atas (Upper Bound Theorem) Jika distribusi momen yang diperoleh dihitung berdasarkan syarat yang memenuhi kondisi keseimbangan dan mekanisme, dapat dipastikan bahwa harga faktor bebannya akan lebih besar atau sama dengan harga sebenarnya, λc. jadi λ ≥ λc. Sehingga nilai yang dihasilkan mungkin benar atau mungkin tidak aman.
48
Universitas Sumatera Utara
3. Teorema unik (Unique Theorem) Distribusi momen untuk teorema ini akan memenuhi ketiga kondisi tersebut diatas sehingga akan diperoleh nilai faktor beban eksak dari mekanisme struktur yang ditinjau : λ = λc. Pada teorema ini terdapat tiga metode yang dapat digunakan : a) Metode statis b) Metode kerja virtual (Virtual Work Method) c) Metode distribusi momen (Momen Balancing Method)
II.7.3. Metode kerja virtual Metode kerja virtual adalah metoda yang meninjau keseimbangan energi dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Persamaan kerja virtual ini dapat ditulis sebagai berikut : ∑ Wi . ∆i = ∑Mj . θj.................................................................................. (2.18) Dimana : Wi = beban luar (beban terpusat atau terbagi rata) ∆i = Deformasi struktur ∆i = L/2 tan θ , untuk sudut yang kecil tan θ = θ Tan θ = θ Mj = Momen pada tampang kritis θj = Sudut rotasi sendi plastis 49
Universitas Sumatera Utara