BAB II TASAWUF DAN MODERNITAS
A. Tasawuf 1. Pengertian Tasawuf Secara etimologi, terdapat beberapa pendapat tentang tentang asal usul kata tasawuf: a. Kata tasawuf berasal dari kata suf yang artinya bulu domba. Orang sufi biasanya memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian. Dalam sejarah disebutkan, bahwa orang yang pertama kali menggunakan kata sufi adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi di Irak (wafat tahun 150 H). b. Ahl Al-Suffah, yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi, dari Makkah ke Madinah karena kehilangan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tidak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di serambi Masjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal, pelana disebut suffah. Walaupun hidup miskin, Ahl Al-Suffah berhati baik dan mulia. Gaya hidup mereka tidak mementingkan keduniawian yang bersifat meteri, tetapi mementingkan keakhiratan yang bersifat rohani. Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia. Itulah sifat-sifat kaum sufi. c. Shafi yaitu suci. Orang-orang sufi adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan melalui
14
latihan berat dan lama. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang disucikan. d. Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat. Jalan yang ditempuh oleh orang-orang sufi memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal keraguan dan ketidakpuasan. e. Saf pertama. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf
pertama
mendapat kemuliaan dan pahala yang utama, demikian pula orang-orang sufi dimuliakan Allah, karena dalam shalat jamaah mereka mengambil saf yang pertama. 1 Sedangkan secara istilah arti
tasawuf banyak ragamnya
yang
dukemukakan oleh para ahli. Diantara definisi yang dikemukakan sebagai berikut: Menurut Ma‟ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia. Ahmad al-Jariri ketika ditanya seseorang: apa itu tasawuf? Ia menjawab: masuk ke dalam setiap akhlak yang tinggi (mulia) dan keluar dari setiap akhlak yang rendah (tercela). Sementara Abu Ya‟qub al-Susi menjelaskan bahwa sufi ialah orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti keinginan hawa nafsu.2 Sedangkan Abu Bakar al-Kattani sebagimana yang dikutip oleh Imam Al Ghazali, mengemukakan bahwa tasawuf adalah budi pekerti. Barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas 1 2
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Ombak, 2013). hal. 54-55. Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, hal. 56.
15
dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dalam petunjuk (nur) Islam. Dan orang-orang zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan sebagian akhlak, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya.3 Abu Yazid al-Bustami mendefinisikan tasawuf dengan ْاْلحْقْ ْيْلْبْسْ ْالْحْلْق (sifat Allah yang dikenakan oleh hamba-Nya). Hal ini menunjukkan adanya perkembangan definisi dari abu Yazid yang terkenal dengan syafahatnya, yaitu
( اْظْهْارْالْبْاطْنْبْلْعْبْرْةْبْدْلْ ْمْنْالْشْارْةmengungkapkan secara lisan akan kondisi batin atau mengungkapkan pengalaman spiritual yang sebenarnya cukup diisyaratkan). Menurut Taftazani, yang dimaksud tasawuf adalah falsafah yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral lewat latihan-latihan praktis yang tertentu. Kadang untuk menyatakan pemenuhan fana dalam realitas yang tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya yaitu kebahagiaan rohaniah. Sehingga hakekat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif, dan subyektif.4 Lebih jauh Imam al-Junaid mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
( التْصْوْفْاْنْتْكوْنْ ْمْعْ ْهللاْبْلْ ْعْلْقْتtasawuf adalah engkau bersama Allah bukan dalam hubungan antara makhluk dan khalik, bukan antara hubungan „abid dan ma‟bud(.
3
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga) hal. 376. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka: 1997) hal. 6 4
16
Menurut al-Junaid, selagi masih ada hubungan berarti masih mempertahankan eksistensi diri, masih mengakui keberadaan diri makhluk.5 Di samping sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak manusia agar jiwanya menjadi suci, tasawuf juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Dari bebrapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah metode atau cara untuk menemukan hubungan langsung antara manusia dan Tuhan yang prosesnya melalui latihan-latihan yang disebut maqamat, sedangkan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, melihat Tuhan bahkan bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Menurut Seyyed Hossein Nasr, tasawuf yaitu bunga atau getah dari pohon Islam. Atau dapat pula dikatakan bahwa tasawuf adalah permata diatas mahkota tradisi Islam. Tetapi apapun perumpamaan yang diberikan terhadap taswuf tersebut, terdapat kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa apabila dikeluarkan dari konteks Islam maka sufisme tidak dapat dipahami dengan sepenuhnya dan metode-metodenya sudah tentu tidak dapat dipraktikkan dengan berhasil. Manusia tidak dapat bersifat adil kepada seluruh tradisi Islam beserta kemungkinn-kemungkinn spiritualnya yang sangat kaya dan mengesampingkan salah satu dimensinya tersebut. Jadi apabila berbicara mengenai sufisme maka sebenarnya kita berbicara mengenai aspek tradisi Islam yang paling dalam dan universal.6
5
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, hal. 57-58.
6
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung: Pustaka, 1983).
hal. 80.
17
Definisi yang diberikan Nasr berbeda dengan dengan tokoh-tokoh sebelumnya karena Nasr melihat tasawuf sebagai salah satu keilmuwan Islam yang memiliki dimensi yang sangat penting. Jadi pandangannya lebih bersifat teoritios. 2. Tujuan Tasawuf Secara umum tujuan terpenting tasawuf adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat ada tiga sasaran, yaitu; pertama, tasawuf yang bertujuan pembinaan
aspek
moral.
Aspek
ini
meliputi
kestabilan
jiwa
yang
berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya pada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis. Kedua, tasawuf yang bertujuan untuk ma‟rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang diformulasikan secara sistematis analisis. Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan hubungan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan. 7 Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi Muhammad SAW. dalam Isra‟ Mi‟raj adalah sebuah contoh puncak pengalaman rohani yang luar biasa dan patut dinikmati oleh para pengikutnya. Hal ini karena pengalaman Isra‟ Mi‟raj adalah 7
Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002)
18
pengalaman yang tertinggi dan hanya dimiliki oleh seorang Nabi utusan Allah. Para sufi berharap untuk mencapai puncak kebahagiaan tersebut dengan cara apapun, termasuk harus menderita selama hidup di dunia, untuk mendapatkan kebahagiaan kelak di akhirat yang sempurna. Keindahan dan kebahagiaan itu bagi kaum sufi adalah keindahan yang berusaha untuk ditiru dan diulangi lagi bagi diri mereka
sendiri
karena
perjumpaan
dengan
Allah
adaah
puncak
dari
kebahagiaanya. Meskipun proses penyatuan diri dengan Tuhan membutuhkan kesucian jiwa yang luar biasa, dengan kapasitas iman yang penuh, kesatuan antara Tuhan dan manusia akan terwujud. Keyakinan tersebut merupakan bentuk penghayatan yang pekat, kuat dan kental dari situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan agar ia dapat bertemu dengan Zat yang maha tinggi. “Pertemuan dengan Tuhan adalah fenomena yang dapat menjadikan manusia sebagai pencapaian dari puncak kebahagiaan. Karena sesungguhnya dalam pertemuan itu, segala rahasia kebenaran akan tersingkap (kasyf), tidak ada batas apapun yang menghalanginya. Dan sang hamba pun dapat lebur serta sirna (fana) dalam kebenaran hakikat keillahiahan. Keindahan bertemu dengan Tuhan merupakan kebahagiaan yang luar biasa dan tidak dapat digambarkan. Oleh sebab itu banyak orang yang menginginkan suasana batin yang demikian karena tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan tertinggi. Tasawuf sangat diminati oleh para ulama sebagai jalan atau latihan untuk mengembangkan kesucian batin atau hati. Menjaga kehormatan diri dengan etika
19
yang tinggi agar Tuhan menghendaki adaanya kesatuan wujud dalam „keabadian‟. Untuk itu, para ulama yang tidak menyenangi kajian dan kedalaman filsafat, memilih tasawuf sebagai alternatif pilihan. Hal ini karena keterlibatan seseorang dalam tasawuf, tidak lagi berfikir secara mendalam dan mendasar, namun lebih diutamakan pembersihan diri dengan senantiasa berzikir mengingat Allah setiap saat.8
3. Maqamat dan Ahwal a. Maqamat Maqamat merupakan tingkatan suasana kerohanian yang ditunjukan oleh seorang sufi berupa pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu atau jalan panjang berisi tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi tersebut tidaklah mudah bahkan untuk pindah dari satu tahap ke tahap yang lain diperlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat. Terkadang seseorang calon sufi harus bertahun-tahun tinggal dalam satu maqam.9 Maqamat dalam ilmu tasawuf adalah suatu konsep yang digunakan oleh al-Mutasawwif untuk mengukur keberadaan tingkat spiritualnya dari suatu maqam kepada maqam yang lebih tinggi tingkatannya. Istilah maqamat dan ahwal tidak pernah ditemukan dalam kegiatan tasawuf pada masa sufi salaf, tetapi inti
8
A. Bachrun Rifa‟i & Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
hal. 31-32 9
Harun Nasution, Falasafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
hal. 63.
20
ajarannya sudah diamalkan oleh sufi sahabat sejak masa Rasulullah. Istilah tersebut baru dikenal namanya pada masa perkembangan tasawuf abad II H, yang sebagian ahli tasawuf mengatakan, bahwa istilah itu mulai dipopulerkan oleh Dzun al-Nun al-Mishri sebagai sufi sunni. Al-Sarraj al-Tusi mengatakan, ketika kita ditanya oleh orang lain tentang pengertian maqamat, maka jawabannya adalah suatu kedudukan hamba dihadapan Tuhannya
ketika
telah
melakukan
ibadah,
mujahadah,
riyadhah
dan
berkontemplasi. Hal ini berdasarkan dengan tuntutan al-Qur‟an surah Ibrahim ayat 14 dan surah al-Saffat ayat 164.10 Sedangkan Al-Qusyairi mengatakan Maqamat adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban. 11 Jumlah maqam yang harus dilalui seorang sufi dalam pandangan para penulis tasawuf sangat beragam. Hal itu karena sangat erat kaitannya dengan pengalaman seorang sufi yang bersangkutan. Imam al-Ghazali misalnya, ia menyebut ada sembilan maqam, yaitu, tobat, sabar, kefakiran, zuhud, taqwa, tawakal, mahabbah, ma‟rifat, dan ridha. Sementara abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menyebut urutan maqam itu adalah tobat, wara‟ zuhud, sabar, tawakal dan kerelaan hati. Teori maqam ini kemudian mengalami perkembangan. Pada abad keempat Hijriah misalnya, ketika filsafat mulai masuk dan berkembang dalam
10
Mahjudin, Akhlaq Tasawuf II, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010). hal. 209. Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007). hal. 57. 11
21
Islam, muncul maqam baru, yaitu fana’, baqa’, ittihad, hulul, dan pada akhirnya wahdat al-wujud.12 b. Ahwal Menurut sufi, al-ahwal jamak al-hal dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya.13 Hal merupakan keadaan mental yang diperoleh oleh seorang sufi dari Tuhannya seperti perasaan senang, sedih dan takut. Hal yang biasa dikenal dengan khauf (takut), tawadhu’ (rendah hati), taqwa (patuh), ikhlas, uns (rasa berteman/intim), wajd (gembira), dan syukur. Hal berbeda dengan maqam. Hal diperoleh bukan atas usaha manusia, melainkan atas anugerah Allah, sifatnya hanya sementara dan selalu datang dan pergi. Meskipuh hal itu merupakan anugerah Allah, namun kedatanganya tergantung atas persiapan (kesiapaan) yang diusahakan oleh sang hamba. Artinya kalau sang sufi tidak menyiapkan diri untuk menyongsong kedatangan anugerah hal,
maka tidak akan dianugerahi oleh Allah. Namun meskipun sudah
menyiapkan diri, belum tentu akan menerima hal.14 Apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut al-hal itu, sebenarnya merupakan manifestasi dari maqam yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa kondisi mental yang digambarkan dengan al-hal itu, adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang mereka latihan. Cuma saja, karena sufi selamanya bersifat tawakal kepada Allah, maka mereka mengatakannya demikian. Sebab, dalam kesempatan lain mereka mengatakan, kendatipun kondisi kejiwaan itu 12
Amat Zuhri, Ilmu Tasawuf, (Pekalongan: STAIN Press, 2010). hal. 29-30. Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, hal. 131. 14 Amat Zuhri, Ilmu Tasawuf, hal. 38. 13
22
diperoleh sebagai karunia Allah, tetapi orang yang ingin mendapatkannya harus berusaha meningkatkan kualitasnya melalui latihan dan memperbanyak ibadah. Hal ini berarti, bahwa orang yang pantas menerima karunia al-hal hanyalah orang yang berusaha kearah itu.15
4. Aliran-aliran Tasawuf a. Tasawuf Akhlaki Tasawuf akhlaki yaitu tasawuf yang berkonstrasi padateori-teori perilaku, akhlak atau budi pekerti atau perbaikan akhlak. Tasawuf akhlaki ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat. Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik, diperlukan terapi yang tidak hanya aspek lahiriyah.untuk itu dalam tasawuf akhlaki, sistem pembinaanya disusun sebagai berikut: 1). Takhalli: mengosongkan diri dari perilaku buruk atau akhlak tercela 2). Tahalli: upaya mengisi atau menghiasi diri dengan perilaku dan akhlak yang terpuji. 3). Tajalli: usaha pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase sebelumnya untuk mencapai kesucian jiwa. Oleh karena itu tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai 15
Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, hal. 132.
23
sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentan waktu kehidupan manusia.
Agar
mudah
menempatkan
posisi
tasawuf
dalam
kehidupan
bermasyarakat atau bersosial.16 b. Taswuf Falsafi Taswuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada teori-teori gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakna mistik metafisis. Karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al Taftazani, bahwa tasawuf seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat. Tasawuf seperti ini juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya, karena teori-teorinya didasarkan pada rasa. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran filsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.17 c. Tasawuf Amali Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Tasawuf amali lebih menekankan pembinann moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan agama yang harus diikuti
16
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,1986).
17
Abu al Wafa al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hal. 188.
hal. 76.
24
dengan amalan-malan lahir maupun batin yang disebut thariqah. Dalam amalanamalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani ketaatan pada syariat dan amalan-amalan lahir batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki sebagai inti syariat dan akhir thariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah disebut ma‟rifah18
d. Tokoh-Tokoh Tasawuf a. Hasan al-Bashri Hasan al-Bashri dilahirkan di Madinah dan dibesarkan di Bashrah. Ia terkenal karena kesederhanaan hidupnya dan juga khutbah-khutbahnya di Baghdad. Ia adalah salah seorang peletak dasar “ilmu tentang hati” (ilm al-qulub) yang kemudian dikembangkan oleh para Sufi.19 b. Ibrahim bin Adham Ibrahim bin Adham dilahirkan di Balkh. Ia adalah anak seorang raja di Khurasan. Ia insyaf karena mendengar bisikan suara Ilahi ketika sedang berburu, dan sejak itu ia hidup dalam kefakiran dan kesederhanaan, mencari nafkah dengan hasil jerih payah tangannya sendiri. Ajaranya terutama berkaitan aksetisisme atau kezuhudan (zuhd), tetapi juga dengan tasawuf dan memusatkan perhatiannya terutama pada meditasi (muraqabah) dan gnosis atau makrifat (ma’rifah).20 c. Rabi‟ah al-Adawiyah Beliau dilahirkan di kota Bashrah. Ketika masih kanak-kanak, ia diculik dan dijual sebagai budak., tetapi dibebaskan oleh majikannya ketika menyadari 18
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, hal. 65 Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007) hal.17 . 20 Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, hal.19. 19
25
bahwa Rabi‟ah adalah seorang pilihan Allah. Kemudian ia memutuskan beribadah kepada dan mengabdi kepada Allah. Rabi‟ah punya banyak pengikut, yang meminta nasihat dan do‟a darinya. Ajarannya terutama tentang mahabbah. Dia pernah berkata, hal terbaik bagi seorang hamba yang ingin dekat dengan Tuhannya adalah tidak memiliki apa-apa di dunia ini atau di akhirat, selain Dia saja. Aku beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka. Sebab, bila aku melakukannya karena takut, aku seperti seorang buruh yang merugi. Aku beribadah kepada-Nya juga bukan karena ingin masuk surga. Sebab, jika aku melakukannya karena menginginkan sesuatu yang telah diberikan, aku akan menjadi seorang hamba yang jahat. Aku beribadah kepada Allah semata-mata karena cinta kepada-Nya dan bukan menginginkan sesuatu dari-Nya.21 d. Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim Dzun-Nun al Mishri Dzun-Nun adalah seorang Mesir yang mengembara ke tempat-tempat yang jauh untuk mempelajari tasawuf, ia dihukum karena ajaran-ajarannya. Ia dipandang sebagai wali dan pemimpin spiritual (qutb) bagi para sufi di zamannya. Ia memiliki pandangan batin yang besar tentang rahasia Allah dan ajaran ma’rifat.22 e. Abu Yazid Thaifur al-Bisthami atau Bayazid Bisthami Abu Yazid al-Bisthami adalah orang Persia dari daerah Bistham, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di daerah itu. Ia adalah seorang zahid, senang menyendiri, yang keinginannya adalah memperoleh pengalaman langsung
21 22
Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, hal. 22-23 Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, hal. 40.
26
dengan Tuhan.23 Ajarannya yaitu tentang ittihad. Dia pernah ditanya, “Dengan apakah kamu maencapai ma‟rifat ini?”, jawabanyya, “Dengan perut yang lapar dan tubuh yang jelek.”24 f. Abul Khair al-Qatha‟ Beliau berasal dari Maroko daerah Tinaat. Wafat pada tahun 340 H/952 M. dia mempunyai banyak keramat dan firasat yang tajam, dan sangat agung. Diantara mutiara hikmahnya: “Seseorang tidak akan mencapai kemuliaan kecuali dengan rajin beribadah, berakhlak mulia, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan bergaul dengan orang-orang shaleh. Ajarannya yaitu: seseorang tidak akan mencapai kemuliaan kecuali dengan rajin beribadah, berakhlak mulia, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan bergaul dengan orang-orang shaleh”.25 g. Ibn „Arabi Ibn „Arabi nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad ibn „Ali ibn Ahmad bin „Abdullah al Tha‟i al Hatimi. Lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Tahun 50 H, dari keluarga berpangkat hartawan dan ilmuwan. Ibn „Arabi dalah tokoh pertama penyusun paham kesatuan wujuddalam tasawuf. Aliran ini pada dasarnya berlandaskan tonggak-tonggak rasa, sebagaimana terungkap dalam perkataannya: “Maha suci zat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segalas esuatu itu sendiri”.26 h. Al Ghazali
23
Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, hal. 47. Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, hal. 584 25 Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, hal. 582. 26 Abu al-Wafa‟ al-Ghanni al-Taftazani: Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka, 1997) hal. 201. 24
27
Nama lengkapnya yaitu Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad bin Ahmad, beliau lahir di Thus, kawasan Khurasan. Ayahnya merupakan penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah dikenal dengan alGhazali. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya‟ullum Al-Din, Minhaj Al-„Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M‟raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan ittihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma‟rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.27 i. Abdul Qadir al-Jilani Abdul Qadir Jilani dianggap sebagai wali pelindung di Baghdad. Ia adalah pendiri tareqat Qadiriyah. Ia belajar tasawuf di Baghdad, kemudian lama hidup zuhud dan menahan diri, sampai ia mencapai pengalaman tasawuf dalam kehidupan wali. Ia meninggalkan banyak tulisan.28 Pemikiran tasawufnya yaitu tentang tauhid dan aqidah. Dalam konsepsinya pemurnian tauhid dan penafian syirik, al-Jailani mempunyai pandangan yang mendalam. Menurutnya kesyirikan tidak hanya penyembahan pada berhala saja, tetapi juga pemujaan nafsu jasmani dan menyamakan segala sesuatu yang ada di dunia dan akhirat dengan Allah. Sebab selain Allah bukan Tuhan, dan menenggelamkan diri pada sesuatu selain Allah berarti menyekutukan Tuhan. Hidup bermewah-mewahan dan menyibukan diri dengan kehidupan dunia karena beranggapan bahwa kebahagiaan akan 27 28
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, hal. 148. Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, hal. 81
28
didapat di dalamnya, berarti juga menyekutukan Tuhan. Al-Jailani juga menyebutkan bahwa syirik orang khawas (kebalikan awam) adalah menyekutukan kehendaknya dengan kehendak Allah, yaitu lalai dan terbawa suasana dunia. j. Jalaludin Rumi Jalaludin Rumi dilahirkan di Baikh tetapi keluarganya pergi ke Konya di Romawi, yang menjadi nama belakangnya. Ia melakukan studi menyeluruh tentang tasawuf dan mengabdikan dirinya, di dalam separuh hidupnya, seluruhnya untuk tasawuf.29 Konsep tasawuf jalalludin Rumi yaitu “Cinta” melalui syairsyairnya dan ungkapan-ungkapannya menjadikan sarana untuk bisa bersatu dan dekat dengan Tuhan.
k. Abdul Karim al-Jilli Beliau adalah seorang guru tasawuf besar yang tinggal dan mengajar di Baghdad, dan nampaknya menjadi anggota tareqat Qadiriyah. Ia adalah seorang penulis yang ahli, yang meninggalkan dua puluh karya tasawuf dan mungkin juga menulis buku-buku lainnya, dan ajarannya merupakan buah dari pengalaman mistisnya.30 Konsep tasawuf al-Jilli yaitu Insan kamil, Al Jilli, seperti Ibn „Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu.31
29
Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, hal. 167. Margareth Smith, Kala Tuhan Jatuh Cinta, hal.190. 31 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, ( Jakarta: Paramadina, 1997) h.111. 30
29
Tokoh-tokoh sufi tersebut merupakan perwakilan dari sekian banyak tokoh sufi yang ada. Dari ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa atau diajarkan oleh para tokoh sufi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa, walaupun konsep ajaran yang dibawa oleh para tokoh sufi tersebut berbeda-beda namun tujuannya sama. Yaitu, agar dapat berhubungan dengan Allah sedekat-dekatnya dan dapat menyatu dengan Allah.
B. Modernitas 1. Menjernihkan Pengertian Modern, Modernitas, Modernisme, dan Modernisasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “modern” artinya “terbaru; mutakhir” atau sikap dan cara berfikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Modern berasal dari bahasa latin „moderna’ yang artinya ‟sekarang‟, „baru‟ atau „saat kini‟. Atas pengertian asli ini kita bisa mengatakan bahwa manusia senantiasa hidup di zaman „modern‟, sejauh kekinian menjadi kesadarannya. Banyak para ahli sejarah menyepakati bahwa sekitar tahun 1500 adalah hari kelahiran zaman moderndi Eropa. Sejak saat itu, kesadaran waktu akan kekinian muncul di mana-manaa. Lalu, pernyataan ini tidak menyiratkan bahwa sebelumnya orang tidak hidup di masa kini. Lebih tepat mengatakan bahwa sebelumnya orang kurang menyadari bahwa manusia bisa mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif baru. Oleh karena itu, modernitas bukan hanya menunjuk kepada periode, melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kebaruan. Karena itu, 30
istilah perubahan, kemajuan, revolusi, pertumbuhan, adalah istilah-istilah kunci kesadaran modern. Pemahaman tentang modernitas sebagai suatu bentuk kesadaran itu lebih mendasar daripada pemahaman-pemahaman yang sosiologis ataupun ekonomis. Dalam pemahaman-pemahaman terakhir ini orang menunjuk tumbuhnya sains, teknik dan ekonomi kapitalistis sebagai ciri-ciri masyarakat modern. Berbeda dari pemahaman-pemahaman sosiologis dan ekonomis, pemahaman ini bersifat epistemologis: yang dimaksud bukan perubahan institusional sebuah masyrakat, melainkan perubahan bentuk-bentuk kesadaran atau pola-pola berfikirnya.32 Modern bukanlah sekedar suatu periode, melainkan pandangan dunia atau prinsip metafisis (ontologis). Oleh karena itu dunia modern sebagai draft dunia yang di dominasi oleh pandangan dunia modern. Dengan perkataan lain dunia modern merupakan pengejawantahan prinsip-prinsip modern dalam kehidupan bermasyarakat.33 Diantara penanda modern ialah: 1) Munculnya kolonialisme atas nama civilization; 2) Revolusi prancis; 3) Revolusi industri; 4) Kapitalisme; 5) Komodifikasi; 6) Media dalam relasi sosial;
32
Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, (Jakarta: Erlangga, 2011) hal. 2-3. 33 Abdul Hamid & Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hal. 43.
31
7) Mekanisasi kehidupan.34 Secara historis, Galileo Galilei dianggap sebagai seorang pahlawan dalam hal modernisasi, ia hidup pada zaman Renaisans. Para pemikir saat itu mulai menempatkan diri dalam kebebasan pribadi dan dengan akal sehatnya mendobrak Gereja, serta menemukan pemecahan-pemecahan baru dan penemuan baru di bidang ilmiah. Dengan demikian, kemenangan Galileo adalah kemenangan akal. Dan akal yang diterapkan dalam masalah manusia merupakan landasan modernitas. Nurcholis Madjid mengatakan bahwa modernisasi berarti berfikir bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam yang benar dan serasi. Karenanya, untuk menjadi modern adalah dengan menjadi ilmiah; ia juga berarti menjadi dinamis dan progresif di dalam proses manusia menyingkap kebenaran universal yang objektif dan biasanya mengancam status quo. 35 Modernisasi sering identikan dengan rasionalisasi. Ia mencakup suatu proses pemeriksaan yang sangt teliti terhadap pemikiran ketinggalan zaman dan pola-pola tindakan yang rasional, dann menggantikannya dengan yang rasional. Hal ini untuk mencapai penggunaan dan efisiensi yang maksimum. Proses ini didasarkan atas aplikasi penemuan-penemuan ilmu pengetahuan paling mutakhir. Karena pengetahuan ilmiah merupakan hasil dari pemikiran manusia terhadap
34
Abdul Hamid & Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hal. 44 35 Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim. terj. Ahmadie Thaha, hal. 31-32
32
hukum-hukum obyektif alam, aplikasinya pada kehidupan akan mengubah yang terakhir lebih rasional, dan karenanya, modern.36 Sementara definisi “modernitas” sendiri yaitu salah satu konsep yang menunjukkan adanya interaksi antara budaya lokal dan budaya asing. Selanjutnya “modernisasi” adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.37 Di barat, modernisasi disebabkan karena industrialisasi, sebaliknya di wilayah lain terutama negaranegara sedang berkembang, industrialisasi justru disebabkan modernisasi. Modernisasi secara implikatif, cenderung merupakan proses yang didalamnya komitmen pola-pola lama dikikis dan dihancurkan, yang kemudian menyuguhkan pola-pola baru, dan pola-pola baru inilah yang diberi status modern.38 Masyarakat, bersama negara-negara lain yang sedang berkembang, bergerak dengan sebuah dorongan untuk menjadi modern. Modernisasi menjadi proyek yang normatif di negara-negara berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan. Kemudian pengertian “modernisme” dalam KBBI yaitu gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikan dengan aliranaliran modern dalam filsafat, sejarah dan ilmu pengetahuan. Modernitas, jika seandainya sekarang ini belum muncul, tentu akan membuka kemungkinan bagi kelompok manusia manapun, dengan keunggulan relatif antara mereka, untuk memunculkannya. Namun karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat itu, maka modernitas sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini
36
Muhammad Kamal Hasa, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim. terj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia (LSI), 1987) hal. 30. 37 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI) 38 Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993) hal. 39
33
bangsa-bangsa Barat), tidak mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol. Jadi bangsa-bangsa bukan Barat dalam usaha modernisasi dirinya terpaksa pada permulaan prosesnya harus menerima pradigma modernitas Barat, atau berdasar paradigma yang ada itu membuat paradigma baru. Namun hasilnya tidak dapat dipandang sebagai sama sekali orisinil, melainkan sekedar adopsi, sekalipun sangat kreatif seperti pada kasus bangsa Jepang, dari yang ada di Barat. Di sinilah persoalan berhimpitnya modernisasi dengan westernisasi (seperti secara dinamis tercermin dalam Kemalisme Turki), yang menjadi salah satu sember kesulitan bangsa-bangsa bukan-Barat. Sebab meskipun menurut watak dan dinamikanya sendiri modernitas adalah budaya dunia, namun pada berbagai kenyataan periferalnya ia banyak membawa serta berbagai sisa limpahan (carry over) budaya Barat.39 Modernisme pada umumnya dilihat sebagai reaksi individu dan kelompok terhadap dunia 'modern', dan dunia modern ini dianggap sebagai dunia yang dipengaruhi oleh praktik dan teori kapitalisme, industrialisme, dan negarabangsa.40 Jadi, dalam proses modernisasi, pengikisan pola-pola lama justru sering berakibat pula pada pengikisan nilai-nilai agama terhadap pribadi-pribadi masyarakat. Maka jika awal modernisasi, pihak barat cenderung memisahkan antar masalah-masalah dunia dan agama, antara negara dan Gereja, antara bidang ilmiah dan rohani, maka sering modernisasi sekarang mempunyai konotasi
452-453.
39
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992) hal.
40
https://id.wikipedia.org/wiki/Modernisme. Diakses tanggal 2 November 2015, Pukul
10:46
34
seperti: meningkatnya angka kejahatan, melemahnya ikatan keluarga dan persaudaraan, serta bertambahnya polusi.41 Zaman renaissans berbeda dengan abad pertengahan. Pada abad pertengahan didominasi oleh gereja, sedangkan pada zaman renaissans didominasi oleh akal, dominasi akal tersebut terwujud dalam bentuk penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dantara ciri-ciri ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu: a. bersifat matematis dan eksperimental b. paradigmanya positivistik, hanya mengobservasi hal-hal real (nyata).
2. Renaissans dan Awal Kelahiran Zaman Modern Istilah Renaissans secara harfiah berarti “kelahiran kembali”. Maksudnya adalah lahirnya kembali kebudayaan Yunani dan Romawi kuno, setelah berabadabad dikubur oleh masyarakat abad pertengahan di bawah pimpinan gereja. Memang warisan-warisan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno dipelajari lagi oleh para cendekiawan yang pada saat itu disebut “kaum humanis”. Namun hasil kembali pengolahan warisan antik itu adalah sesuatu yang baru, sehingga renaissans itu bukanlah reproduksi kultur antik, melainkan interpretasi baru atasnya. Para humanis tersebut memandang kebudayaan klasik sebagai puncak peradaban Barat. Dalam hal ini mereka tidak sekedar bernostalgia tentang masa silam, melainkan memanfaatkan minat-minat kebudayaan klasik itu demi kepentingan masa depan kebudayaan Barat. Usaha mereka bersifat progresif 41
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993) hal. 39-
41.
35
justru karena lewat minat penelitian filologis zaman Renaissans, mereka menemukan nilai-nilai klasik yang harus dihidupkan kembali dalam kebudayaan Barat demi masa depannya, yaitu: penghargaan atas dunia-sini, penghargaan atas martabat manusia, dan kemampuan atas kemampuan rasio.42 Tujuan
pertama
gerakan
kaum
humanis
ialah
merealisasikan
kesempurnaan pandangan hidup Kristiani, yang dilaksanakan dengan mengaitkan hikmat kuna (klasik) dengan wahyu, dan dengan memberi kepastian kepada Gereja, bahwa sifat pikiran-pikiran
klasik itu tidak dapat binsa. Dengan
memanfaatkan budaya dan bahasa klasik itu mereka bermaksud mempersatukan kembali gereja yaang telah dipecah-pecah oleh banyak mashab dan mempertinggi keadaan yang telah diberikan oleh agama Kristen.43 Gerakan humanisme lalu ditandai oleh kepercayaan akan kemampuan manusia (sebagai ganti kemampuan adikodrati), hasrat intelektual dan penghargaan akan disiplin intelektual. Kaum humanis percaya bahwa rasiio dapat dapat melakukan segalanya dan lebih penting dari iman. Karena itu, sejak Renaissans, penelitian filologis tidak hanya dilakukan atas sastra klasik, melainkan juga atas kitab suci. Atrtinya, teks suci ini mulai dipelajari dengan rasio belaka. Karena percaya akaan kemampuan intelektul, kaum humanis juga menekankan pentingnya perubahan-perubahan sosial, politis dan ekonomi. Mereka melihat kekuasaan absolut gereja makin keropos, dan sebagai gantinya muncul kecenderungan membentuk negara-negara nasional. Dalam situasi ini
hal. 8.
42
Budi Hardiamn, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta:Kanisius, 2003)
43
Harun Hdiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Kuno, (Yogyakarta: Knisius, 1980). hal.
11.
36
kaum humanis mendorong sekularisasi, yaitu: pemisahan kekuasaan politis dari agama. Humanisme berkembang pesat di Italia, lalu menyebar ke Jerman, Prancis, dan bagian-bagian Eropa lainnya, sebab Italia (terutama di Florence) teks-teks filsafat Yunani yang diperoleh dari dunia Arab paling banyak dipelajari, disampig juga sebagai pusat kekuasaan gereja, di Italia Paus Leo X ternyata menjadi pendukung Renaissans yang aktif.44 Demikianlah dapat dikatakan, bahwa humanisme telah memberi sumbangan kepada usaha Renaissans untuk menjadikan kebudayaan hanya bersifat alamiah saja.45 Di dalam renaissans dunia telah diterima seperti apa adanya, sebab orang merasa kerasan (at home) di dunia dan menghargai sekali kepada hal-hal yang baik dari hidup ini. Selain daripada itu karena adnya prespektif baru bagi kesenian dan kesusastraan maka orang menjadi optimis. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya banyak sekali pemnemuan-penemuan di bidang ilmu dan penemuanpenemuan benua baru , yang mengakibatkan timbulny pikiran-pikiran baru disegal bidang hidup. Dalam abad pertengahan filsafat mencurahkan perhatiannya melulu kepada hal-hal abstrak dan kepada pengertian-pengertian. Hal-hal yang kongkrit, yang tampak, terlalu diabaikan. Sedikit sekali perhatian orang terhadap hal itu. Johanes Duns Scotus umpamanya, telah menunjukkan bahwa hal-hal yang khusus juga memiliki nilainya sendiri. William Ocknam menekankan kepada sikap
44 45
Budi Hardiamn, Melampaui Positivisme dan Modernitas, hal. 8-9. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Kuno, (Yogyakarta: Knisius, 1980). hal.
12.
37
individual realitas ini. Itulah sebabnya ia juga telah menampakkan perhatian atas penilaian yang piositif. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap hal yang kongkrit sendiri baru diberikan oleh Renaissans. Perhatian itu alam semesta dan kepada manusia, kepada hidup kemasyarakatan dan kepada sejarah. Ya, segala segi realitas ini dijadikan sasaran penyelidiknya. Akan tetapi disamping itu semua orang juga mulai membedakan antara soal-soal falsafati sendiri dan caranya orang mengenal atau mengetahui serta batas-batas pengetahuan.46 Demikianlah filsafat lambat laun terasing daripada agama yang positif. Filsafat bersifat individualistis, sehingga sejarahnya meweujudkan sejarah kepribadian-kepribadian. Titik tolaknya adalah kebebasan mutlak bagi pemikiran dan penelitian, bebas daripada tiap wibawa atau tradisi. Pengetahuan yang pasti bukan didapatkan melainkan dari apa yang diperoleh manusia sendiri karena kekuatannya sendiri dengan penemuan-penemuannya. Meskipun terdapat perubahan-perubahan yang begitu asasi, namun abadabad renaissans (abad ke-15 dan ke-16) tidaklah secara langsung menjadi tanah subur bagi pertumbuhan filsafat. Baru abad ke-17 daya hidup yang kuat, yang telah timbul pada zaman renaissans itu, mendapatkan pengungkapannya yang serasi di bidang filsafat. Jadi kejadian-kejadian pada abad ke-15 dan ke-16 itu hanya menjadi persiapan bagi pembentukan filsafat pada abad ke-17. Telah dikemukakan bahwa pada zaman renaisans ada banyak penemuanpenemuan yang mengawali terjadinya zaman modern. Banyak penemuan46
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Kuno, (Yogyakarta: Knisius, 1980). hal.
13.
38
penemuan ilmiah baru yang mencengangkan dan membelalakkan mata manusia awam. Dimulai dari penemuan Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang ilmuan yang mengumandangkan teori bahwa matahari sebagai pusat tata surya (helio sentris), Johanes Kepler (1571-1630) yang menemukan hukum gerak planet, Galileo Galilei (1564-1626), dan sederet nama-nama lainnya. Sejak abad ini, dimulailah satu proyek besar ambisius oleh masyarakat barat, yaitu apa yang mereka sebut dengan “modernisasi”.47
4. Manusia di Zaman Modern Menurut Auguste Comte yang merupakan peletak dasar aliran positivisme sebagaimana dikutip oleh Amin Syukur dalam bukunya yang berjudul “Tasawuf dan Krisis”, manusia modern adalah mereka yang sudah sampai kepada tingkatan pemikiran positif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas daripemikiran religius dan pemikiran filosofis yang masih global.48 Modernitas menghadirkan dampak positif dalam hampir seluruh konstruk kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, juga tidak dapat ditampik bahwa modernitas punya sisi gelap yang menimbulkan akses negatif yang sangat bias.
Dampak
paling
krusial
dari
modernitas
menurut
Nasr
adalah
terpinggirkannya manusia dari lingkar eksistensi, manusia modern melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya, terpinggirkan.
47
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta : Kanisius, 1992).
hal. 59. 48
Amin Syukur dan Abdul Muhayya, Tasawuf dan Krisis, (Semarang ; Pustaka Pelajar, 2001). hal. 21
39
Makanya, meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan. Dengan mengutip Schumacher dalam bukunya “A Guide for the perplexed”, manusia kemudian disadarkan melalui wahana krisis lingkungan, bahan bakar, ancaman terhadap bahan pangan dan kemungkinan krisis kesehatan.49 Bagi masyarakat modern bila mendapat kesulitan di tengah jalan bukanya mencari gereja, kuil atau masjid untuk berdoa melainkan datang ke pusat-pusat ATM
(Automated
Teller
Machine)
yang
langsung
bisa
mengabulkan
permohonannya berupa uang tunai, sedangkan doa pada Tuhan tidak bisa diukur maupun dibuktikan secara langsung hasilnya. Orang modern merasa bisa hidup nyaman tanpa agama, tetapi akan tersiksa tanpa uang.50 Di era modern, dalil-dalil ekonomi lebih dipercaya dan menarik untuk dikaji, mengalahkan daya tarik dalil-dalil kitab suci ataupun filsafat yang dipandang spekulatif. Baik agama maupun uang keduanya menawarkan jalan keselamataan dan janji kebahagiaan, namun antara keduanya terdapat perbedaan mendasar dalam hal substansi nilai dan jangkauan masa berlakunya. Dalam agama, yang berpusat di Gereja, Vihara atau Masjid,
janji dan doktrin
keselamatan disebut kredo, sedangkan dalam lembaga keuangan, yang berpusat di bank-bank, kredit yang keduanya memiliki makna yang sama, yaitu sebuah transaksi untuk memperoleh jaminan keselamatan yang didasarkan atas dasar
49
Komaruddin Hidayat & Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, perspektif filsafat perennial, (Jakarta : Paramadina, 1995). hal. 13. 50 Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, hal. 241
40
kepercayaan. Dalam agama janji keselamatan itu lebih bersifat metafisis dan sebagian besar pemenuhannya masih harus ditunggu di alam akhirat, sedangkan transaksi kredit hasilnya langsung bisa dinikmati dalaam waaktu yang relatif dekat.51 Kehidupan manusia di zaman modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan tertkotak-kotak itu, maka manusia menjadi pribadi yang terpecah (split personality). Kehidupan manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah, karena dibiarkannya perluasan ilmu-ikmu positif (ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta empirik, obyektif, rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Seharusnya ilmu-ilmu tersebut diintegerasikan satu dan yang lainnya melalui tali pengikat, yaitu ajaran agama dari Tuhan, sehingga seluruh ilmu itu diarahkan pada tujuan kemuliaan manusia, mengabdikan dirinya pada tujuan kemuliaan manusia, mengabdikan dirinya pada Tuhan, berakhlak mulia dan seterusnya. Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada dibawah kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungya proses tersebut, semua kekuatan yang lebih tinggi untuk mempertinggi derajat kehidupan manusia menjadi hilang, sehingga bukan hanya kehiupan kita yang mengalami kemerosotan, tapi juga kecerdasan moral kita. Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi 51
Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas : Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
hal. 242.
41
negatifnya. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk tujuan penjajahan satu bangsa atau bangsa lain, subversi dan lain sebagainya. Kemampuan di bidang rekayasa genetika diarahkan untuk tujuan jual beli manusia. Kecanggihan dibidang teknologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan sebagainya.52 Pada kehidupan manusia modern, kerja merupakan eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga. Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Kebiasaan dari manusia modern adalah mencari hal-hal mudah,sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi.sehingga, munculah praktek-praktek kotor seperti, nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.53 Secara garis besar gambaran kehidupan masyarakat saat ini tengah mengalami berbagai pergeseran karena terus berpacu dan bekerja keras memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga agama kurang diperhatikan karena selalu berhubungan dengan dunia materialistis. Begitu pula dengan kehidupan sosialnya antar manusia, nyaris hanya dilakukan bila ada kepentingan bisnis atau mendatangkan benefit berupa keuntungan material. Setidaknya dari masalah ini tampak bahwa masyarakat modern sedang mengalami kejatuhan posisinya dari makhluk spiritual menjadi makhluk material. Maka untuk mengembalikan jati diri 52
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Rajawali Press, 2012). hal. 291-292 https://shindohjurney.wordpress.com/seputar-kuliah/makalah-masyarakat-modern-dankebudayaanya/. 53
42
manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia, manusia harus kembali kejalan Allah dengan kepatuhan pada agama dan dengan melaksanakan tugastugasnya dengan baik. Hanya dengan cara demikian manusia akan mendapat ketenangan dan kenyamana n sehingga tidak mengalami penyakit frustrasi eksistensial. Menurut para ahli pemerhati masalah sosial, bahwa manusia modern akan mengalami frustrasi eksistensial yang ditandai dengan keinginan yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), mencari-cari kenikmatan hidup (the will to pleasure), selalu ingin menimbun harta (the will to money), tidak mengenal waktu dalam bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi (the will to work), serta memiliki kecenderungan libido yang cukup tinggi (the will to sex). Akibat dari penyakit ini, membuat kehidupan menjadi gersang, hampa dan kosong tanpa tujuan sehingga muncullah prilaku negatif seperti kriminalitas, kekerasan, kenakalan, bunuh diri, pembunuhan, hubungan seks diluar nikah, penganiayaan, broken home, perkosaan, kecanduan narkoba, perceraian dan perilaku seks menyimpang dan berbagai macam krisis moral lainnya sebagai dampaknya.54 Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan yang dihadapi manusia modern yaitu: 1. Manusia modern tidak mempercayai hal-hal yang metafisik dan hanya mempercayai hal-hal yang bersifat nyata. Akibatnya mengalami kekeringan spiritual.
54
Huston Smith, Kebenaran yang Terlupakan Kiritik atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001). hal. 130.
43
2. Kehidupannya dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang sifatnya kering dengan nilai spiritual. Sehingga manusia menjadi pribadi yang terpecah-pecah. 3. Menyalah gunakan ilmu pengetahuan dan teknologi karena ilmu pengetahuan dan teknologi terlepas dari kendali agama. 4. kerja merupakan eksploitasi kepada diri, sehingga dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. 5. mengalami frustrasi eksistensial yang ditandai dengan keinginan yang berlebihan untuk berkuasa, mencari-cari kenikmatan hidup, selalu ingin menimbun harta, tidak mengenal waktu dalam bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi, serta memiliki kecenderungan libido yang cukup tinggi.
44