BAB II MURABAHAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Murabahah Kata Murabahah berasal dari kata ribkhu ( ) رﺑﺢyang artinya menguntungkan.1 Murabahah adalah jual beli barang dengan tambahan harga/ cost plus atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur.2 Sayyid Sabiq mengartikan Murabahah sebagai penjualan dengan harga pembelian barang berikut keuntungan yang diketahui.3 Hasbi As Shiddiqi menganggap Murabahah menjual barang dengan keuntungan (laba) tertentu.4 Pendapat lain mengatakan Murabahah sebagai jual beli dimana harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli.5 Dalam Murabahah penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu.6 Murabahah merupakan suatu bentuk jual beli yang harus tunduk pada kaidah hukum umum jual beli yang berlaku dalam Muamalah Islam.7
1
Ahmad Wanson Munawir, Al Munawir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progesif 1997 hlm 463 2 M. Abdul Mujib, et. al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus 1994 hlm 225 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 11, Terj, Kamaludin A Marzuki, “Fiqh Sunnah jilid 11”, Bandung: Pustaka, 1988 hlm 83 4 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (tinjauan antar madzhab), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm 353 5 Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Alvabet, 2001 hlm 21 6 Heri Sudarsono. SE, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Ekonsia 2003, hlm 58 7 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah, Yogyakarta: UII Press 2000 hlm 22
14
15
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli ada dua macam: jual beli tawar menawar (Musawamah) dan jual beli Murabahah. Mereka juga sepakat bahwa jual beli Murabahah adalah jika penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, karena ia mensyaratkan atasnya laba dalam jumlah tertentu, dinar/ dirham.8 Salah satu bagian fiqh yang populer digunakan oleh BMT syari’ah adalah bagian jual beli Murabahah. Murabahah berarti penjualan barang dengan harga barang tersebut ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu, besarnya keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal tertentu atau dalam bentuk prosentase di harga pembelian seperti 10% atau 20%. Kesimpulannya, Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati yang oleh penjual dan pembeli. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contract (yakni memberikan kepastian pembiayaan baik dari segi jumlah maupun waktu, cash flownya bisa diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertransaksi di awal akad). Dikategorikan sebagai natural certainty contract karena dalam Murabahah ditentukan berapa requaired rate of profitnya (besarnya keuntungan yang disepakati)9
8
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 3, terj, Semarang: Assyifa’ 1990 hlm 181 Adi Warman Azram karim, Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003 hlm 161 9
16
Contoh Pembiayaan Murabahah pada BMT adalah misalnya tuan A pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan Murabahah (modal kerja) guna pembelian bahan baku kertas senilai seratus juta (100 juta), setelah di evaluasi oleh BMT usahanya layak dan permohonannya di setujui, maka BMT mengangkat tuan A sebagai wakil BMT untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut kembali pada tuan A sejumlah seratus dua puluh juta (120 juta). Dengan jangka waktu tiga bulan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual seratus dua puluh juta telah dilakukan.10 Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli Murabahah adalah jual beli dimana penjual dan pembeli mengetahui harga asal barang dan pembeli memberikan sejumlah keuntungan pada penjual dengan kesepakatan bersama.
B. Dasar Hukum Jual Beli Murabahah Sejauh pengetahuan penulis, kiranya tidak ada landasan hukum tentang Murabahah oleh ulama-ulama awal. Sebab baik Al Qur’an maupun Hadist sohih tidak terdapat rujukan secara langsung tentang keabsahan transaksi Murabahah. Namun demikian, ada ayat-ayat yang maksudnya dapat digunakan sebagai dasar atau landasan kebolehan Murabahah. Hal ini juga yang oleh para ekonom-ekonom Islam digunakan sebagai landasan hukum tentang kebolehan Murabahah. Landasan hukum tersebut seperti yang 10
Drs. H.Purwaatmaja, MPA, H.Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf 1992 hlm 26
17
diungkapkan oleh Dewan Syari’ah Nasional dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia mengenai Murabahah No: 04/ DSN-MUI/ IV/ 2000 diantaranya yaitu: 1. Landasan Al Qur’an
Artinya: “ dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah”.( QS.Al Muzamil ayat 20 ).11 Ayat tersebut menjelaskan bahwa sebagai mahluk yang hidup di dunia,
maka
senantiasa
mencari
rizki
(karunia
Allah)
dengan
bermuamalah, salah satunya dengan jual beli Murabahah.
Artinya: “apabila telah ditenunaikan sembayang, maka bertebaranlah kamu di mukaa bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.( QS.Al Jumu’ah ayat 10).12 Ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan antara kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat. Maka untuk mencari rizki sebagai usaha untuk hidup di dunia yaitu melakukan Muamalah terhadap sesama manusia. Termasuk di dalamnya jual beli Murabahah.
11
990
12
Departeman Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, Semarang : Yoha Putra 1989 hlm Ibid, hlm 993
18
Artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaaku dengan sukarela diantaramu”.(QS. An Nisa’ ayat 29).13
Artinya: “ ....dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ....”.(QS. Al Baqoroh ayat 275).14
2. Landasan Sunnah Sedangkan landasan sunnah yang menjadi dasar Murabahah adalah:
Artinya: tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqoradoh (mudhorobah), dan mencaampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk di jual (H.R. Ibnu Majjah ).15 Dari keterangan tersebut diatas bahwasannya dalil-dalil mengenai Murabahah adalah dalil-dalil Nash, biarpun dalam dalil-dalil tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai keabsahan Murabahah, akan tetapi menunjukkan tentang jual beli yang dibenarkan oleh Al Our’an maupun Sunnah Nabi. Murabahah merupakan jual beli yang dibenarkan oleh Nash
13
Ibid, hlm 122 Ibid, hlm 69 15 Al Hafizh bin Hjr Al Asqlani, Bulugul Marom, terj Muh Syafi’i Sukandi “ Bulugul Marom” Bandung : PT Al Ma’arif hlm 333 14
19
Al Qur’an dan Sunnah Nabi karena Murabahah sama juga dengan jual beli tangguh
C. Rukun dan Syarat Murabahah Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli, maka jual beli tidak akan ada. Para ekonom-ekonom Islam dan ahliahli Fiqh, menganggap Murabahah sebagai bagian dalam jual beli. Maka, secara umum kaidah yang digunakan adalah jual beli. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’kud alaih (obyek akad).16 1. Rukun Jual Beli Murabahah Dalam jual beli ada tiga rukun yang harus dipenuhi:17 A. Orang yang berakad. 1. Penjual 2. Pembeli B. Ma’kud alaih (obyek akad): 1. Barang yang diperjual belikan. 2. Harga. C. Akad/ Shighot: 1. Serah (Ijab) 2. Terima (Qabul) 16
Drs. Hendi Suhendi, M. Si, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo 2002 hlm 70 Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta : Djambatun 2001 hlm 77 17
20
2. Syarat Jual Beli. Selain karena faktor yang telah ada seperti akad menjadi sah atau lengkap adalah adanya syarat. Syarat yaitu sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Contohnya: adalah pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukalaf) menurut mazhab Hanafi, bila rukun sudah terpenuhi tapi syarat tidaak terpenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak).18 Adapun syarat-syarat jual beli sebagai berikut: 1. Penjual dan Pembeli a. Berakal. b. Dengan kehendak sendiri c. Keadaan tidak Mubadzir (pemboros). d. Baliq19 2. Uang dan Benda yang dibeli (obyek yang diperjualbelikan). a. Suci. b. Ada manfaat. c. Keadaan barang tersebut dapat di serahkan. d. Keadaan barang tersebut kepunyaan penjual atau kepunyaan yang diwakilkan
18 19
Adi Warmaan Azram Karim, Loc.cit hlm.47 H. Sulaiman Rusdid, Fiqh Islam, Jakarta: Wijaya Jakarta Th 1954 hlm 243
21
e. Barang tersebut diketahui antara si penjual dan pembeli dengan terang dzat, bentuk, kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi keadaan yang mengecewakan.20 3. Ijab Qabul a. Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeeli diam saja setelah penjual menyatakan ijabnya begitu pula sebaliknya. b. Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul. c. Beragama Islam, syarat ini khusus utuk pembeli saja dalam bendabenda tertentu seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beraga islam kepa pembeli yang beragama tidak islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang mu’min memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mu’minin21 Adapun syarat utama dalam bisnis dengan sistem Murabahah adalah si pembeli barang yang dalam hal ini BMT/ BMT harus memberikan informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga pembelian dan keuntungan bersihnya (profit margin) dari pada cost plusnya itu.22 Selain syarat diatas ada beberpa syarat yang secara khusus mengatur Murabahah, seperti yang dikemukakan oleh Syafi’i Antonio yaitu:23 a. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah. 20
Ibid Drs Hendi Suhendi, M. Si, Log. Cit hlm 71 22 M Abdul Mujib, Mabruri Tholkah dan Syafi’ah, Log.cit hlm 226 23 M Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani Press 2001 hlm 102 21
22
b. Kontrak yang pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. c. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atau barang sesuadah pembelian. d. Pemjual harus menyampaikan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), atau (e) tidak dipenuhi, maka pembeli memiliki pilihan: a. Melanjutkan pembelian seperti adanya. b. Kembali pada penjual dan menyatakan tidak setujuan atas barang yang dijual. c. Membatalkan kontrak. Ketentuan tentang membatalkan kontrak ini secara fiqh telah diatur dalam Bab khiyar, yaki hak untuk memilih bagi pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli karena adanya unsur kecacatan.
D. Modal, Margin dan Penundaan Pembayaran dalam Murabahah Seperti yang kita ketahui Murabahah adalah jual beli dan dalam jual beli pejual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan termasuk harga pokok ditambah dengan keuntungan yang diambil.24 Harga pokok dalam
24
Drs. Zainul Arifin, Dasar-dasar manajemen Bank Syari’ah, jakarta: Alfabet 2003 hlm 23
23
Murabahah adalah harga asli dari barang yang akan dibeli oleh pembeli. Dalam hal ini ada perbedaan di kalangan para ulama mengenai pengertian dari harga pokok tersebut, ada yang menyatakan harga pokok adalah harga asli dari barang yang akan dibeli, tetapi ada pula yang menyatakan harga pokok adalah harga dari barang tersebut ditambah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses pembelian barang tersebut. Adapun mengenai pendapat para Ulama tentang biaya apa saja yang dapat dibeBMTan pada harga pokok tersebut antara lain adalah: Ulama Madzhab Maliki membolehkan pembebanan biaya langsung terkait dengan transaksi jual beli tersebut dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang tersebut.25 Ulama Madzhab Syafi’i memperbolehkan menambah biaya-biaya yang secara umum timbul dalam transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena koponen ini termasuk dalam keuntungan, begitu pula dengan biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan dalam komponen biaya-biaya.26 Ulama Madzhab Hanafi memperbolehkan menambah biaya yang secara umum timbul dalam transaksi jual beli namun mereka tidak membolehkan biaya yang semestinya dikerjakan oleh penjual.27 Ulama Madzhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibeBMTan pada harga pokok selama biaya-
25
Adi Warma Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, jakarta: Gema Insani Press 2001 hlm 87 26 Ibid 27 Ibid
24
biaya tersebut harus dibayarkan pada pihak ke tiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.28 Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ke empat Madzhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayar pada pihak ke tiga atau suplaier29. Ke empat madzhab juga sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang semestinya dikerjakan oleh penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang bersinggungan. Ke empat madzhab juga sepakat membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan pada pihak ke tiga dan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak ke tiga, namun apabila pekerjaan dilakukan oleh penjual maka madzhab Maliki tidak membolehkan, sedang madzhab yang lain sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung apabila tidak menambah nilai barang atau berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Laba atau keuntungan merupakan tambahan harga yang diperoleh pedagang
antara
harga
pembelian
dan
penjualan
barang
yang
diperdagangkannya.30 Syarat utama dalam Murabahah adalah adanya keuntungan yang disepakati, karena dalam definisinya adalah “keuntungan yang disepakati”; karakteristik Murabahah adalah penjual harus memberi tahu
28
Ibid Dalam kasus Murabahah pihak BMT tidak mempunyai barang seperti apa yang diminta oleh nasabah maka dari itu pihak BMT membutuhkan pihak ke tiga dalam hal penyedia barang, yang mana dalam hal ini adalah sulaier. BMT bukan lah pihak yang mempunyai barang akan tetapi sebagai pihak yang memberikan pinjaman pembiayaan dalam bentuk modal. 30 Drs Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jakarta: Gema Insani Press 1994 hlm 588 29
25
pembeli tentang harga pembalian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan dalam biaya tersebut.31 Adi Warman Karim mengatakan bahwa dalam Al Qur’an mengijinkan perdagangan, yaitu jual beli dengan laba, karena tidak ada pembatasan yang legal atas jumlah laba yang boleh diambil seseorang dari suatu penjualan maka BMT-BMT syari’ah secara teoritis bebas untuk menentukan berapa mark up untuk suatu kontrak Murabahah. Hal ini juga diperkuat dengan hadist dari Nabi Muahammad SAW yang menunjukkan bahwa seseorang berhak menentukan besarnya laba keuntungan yang diambil oleh penjual.
Artinya: Bahwa Nabi SAW memberinya (Urwah) satu dinar untuk diberikan kambing, maka dibelinya dua ekor kambing dengan uang satu dinar tersebut, kemudian dijualnya yang satu ekor tersebut dengan harga satu dinar, setelah itu dia datang kepada Nabi dengan membawa uang satu dinar dan satu kambing, kemudian beliaau mendoakan semoga jual belinya mendapat berkah dan seandainya uang tersebut dibelikan tanah niscaya akan untung pula.32 Ciri dari pembiayaan Murabahah yang lain adalah adanya penundaan pembayaran33. Penundaan pembayaran dalam Murabahah dikenal dengan Bai’ Murabahah Bi Muajjal. Bai’ Murabaha Bi Muajjal adalah suatu penjualan Murabahah yang dilakukan berdasarkan pembayaran yang ditangguhkan. Murabahah Muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad
31
Adi Warman, log. Cit hlm 164 Drs. Yusuf Qardhawi, Op.Cit hlm 598 33 Prof. Dr. Amin abdullah, Madzhab Jogja, Yogyakarta: ARRUZ Press 2002 hlm 179 32
26
dan pembayaran kemudian (setelah awal akad) baik dalam bentuk angsuran atau dalam bentuk lum sum (sekaligus).34 Ibnu Rusdi mengartikan penangguhan pembayaran dalam pembelian sebagai pembelian tenggat waktu, yang mana beliau mensyaratkan pembeli harus mengetahui tentang waktu pembayaran yang jelas.35 Sedangkan M Ridwan mengartikan sebagai Jual-beli Bayar tangguh dimana pihak pembeli harus mengembalikan pinjamannya dengan cara ditangguhkan atau jatuh tempo36 Ulama-ulama yang berkeberatan dengan jual beli secara tangguh atau kredit, adalah Ulama-ulama yang bermadzhab Hanafi dan Syafi’i. Mereka berpendapat bahwa pembelian secara kredit adalah sebagai riba Nasiah, yaitu berwujud tambahan yang dibeBMTan kepada kreditur (orang yang berhutang), dan tentunya hal ini memberatkan sebagai pihak yang berhutang.37 Sedangkan Ulama-ulama yang menyatakan bahwa pembelian dengan kredit dibolehkan antara lain seperti Imam Thawus, Al Hakam dan Hamad, demikian yusuf Qardhawi dan juga kebanyakan Ulama asalkan perbedaan antara tunai dengan kredit tidak terlalu jauh sehingga tidak memberatkan kreditur.38 Dalam memandang penundaan pembayaran para Ulama seperti Adi Warman Karim, Yusuf Qardhawi dan yang lainnya tidak ada perbedaan
34
Adi warman, Op.Cit. Hlm 163 Ibnu Rusdi, log. Cit hlm 183 36 M Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil, yogyakarta: UII Press 2004 37 Suwardi K Lubis, Hukum-Hukum Ekonomi Islam, jakarta: Sinar Grafika th 2004 hlm 143 38 ibid 35
27
diantara mereka yaitu sebagai pembayaran yang ditangguhkan, dengan tenggat waktu yang disepakati antara kedua belah pihak.
E. Pembagian Murabahah Ada beberapa hal yang mendasari pembagian Jual Beli Murabahah, yaitu: 1. Murabahah berdasarkan kepemilikan terhadap barang atau produk. a. Barang atau produk telah dikuasai atau dimiliki oleh pihak BMT/ penjual pada waktu negoisasi. Dalam hal ini pembeli pada waktu itu juga, karena barang atau produk telah berada dalam kekuasaan penjual, sehingga pembeli tidak usah melakukan pemesanan terlebih dahulu. b. Barang atau produk tidak dimiliki oleh pihak BMT sebagai penjual. Apabila yang terjadi demikian maka sisitem yang digunakan adalah Murabahah kepada pemesan pembelian (Murabahah KPP).39
2. Murabahah berdasarkan pembayaran. Berdasarkan pembayaran Murabahah dibagi menjadi dua:40 a. Pembayaran secara tunai. b. Pembayaran dengan cicilan Dalam Murabahah dengan pembayaran secara cicilan, dalam memperoleh keunntungan atau mark up dalam setiap cicilannya tidak boleh berbanding lurus dengan waktu atau bisa diartikan dari pembelian 39 40
Ibid Adi Warman Azram Karim, op.cit, hlm. 163
28
asal pihak penjual memperoleh keuntungannya 10% dari harga setiap bulannya. Maka, yang demikian itu tidaklah benar karena hal tersebut sama dengan bunga berbunga yang ditetapkan oleh BMT konvensional dan hal tersebut merupakan bentuk riba yang dilarang dalam Islam. Dalam menentukan keuntungan (mark up) pihak penjual menentukankannya sekali yaitu pada transaksi awal atau tidak mengambil keuntungan setiap bulan waktu pembeli melakukan angsurannya atau dalam menentukan keuntungan tidak berbanding lurus dengan waktu. Maka, yang demikian itu diperbolehkan dalam Islam.
3. Murabahah berdasarkan sumber dana yang digunakan Murabahah berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan Murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok: a. Pembiayaan Murabahah yang didanai dengan UREA (Unrestricted Investment Account = Investasi tidak terikat) b. Pembiayan Murabahah yang di danai dengan RIA (Restricted Investment account = Investasi terikat). c. Pembiayaan yang didanai dengan modal BMT. Dalam setiap pendisainan sebuah pembiayaan, perlu diperhatikan faktor-faktor: 1). Kebutuhan nasabah dan 2). Kemampuan finansial nasabah. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi sumber dana yang akan digunakan untuk pembiayaan tersebut.41
41
Ibid, hlm 164
29
Dalam Murabahah pesanan, BMT melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang akan dipesannya
F. Pandangan Ulama Terhadap Kebolehan Murabahah Ada perbedaan di kalangan para Ulama dalam memandang sah atau tidaknya dalam Murabahah, hal ini disebabkan karena dalam Al-qur’an bagaimanapun juga, tidak pernah secara langsung membicarakan tentang Murabahah, meski disana terdapat tentang acuan jual-beli, laba-rugi dan perdagangan. Demikian pula tampaknya tidak ada hadis yang memiliki rujukan langsung kepada Murabahah. Para Ulama generasi awal, semisal Malik dan Syafi’i yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli Murabahah adalah halal, tidak memperkuat pendapat mereka dengan suatu hadis pun. Al Kaff, seorang Kritikus Murabahah Kontemporer, menyimpulkan bahwa Murabahah adalah “salah satu jenis jual beli yang tidak di kenal pada jaman Nabi atau para Sahabatnya”. Menurutnya, para tokoh Ulama mulai menyatakan pendapat mereka mengenai Murabahah pada seperempat pertama abad kedua Hijriyah, atau bahkan akhir lagi. Mengingat tidak adanya rujukan lagi di dalam Al Qur’an maupun hadis shahih yang diterima umum, para Fuqaha harus membenarkan Murabahah dengan dasar yang lain. Malik membenarkan keabsahannya dengan merujuk pada praktek penduduk Madinah42:
42
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah, Jakarta : Paramadina 1996 hlm119
30
Ada kesepakatan disini (Madinah) tentang keabsahan seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan suatu keuntungan yang di sepakati. Adapun Syafi’i, tanpa menyandarkan pada suatu teks syari’ah berkata: “Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada seseorang dan berkata “belikan barang (seperti) ini untukku dan aku akan memberi keuntungan sekian,” lalu orang itu membelinya, maka jual beli ini adalah sah.” Fiqih Mazhab Hanafi, Marghinani, membenarkan keabsahan Murabahah berdasarkaan bahwa “syarat-syarat yang penting bagi keabsahan suatu jual beli dalam Murabahah dan juga karena orang memerlukannya.” Faqih dari Mazhab Syafi’i, Nawawi cukup Menyatakan: “Murabahah adalah boleh tanpa penolakan sedikitpun.43
43
Abdullah Saeed, Op.cit.