BAB II TAREKAT DAN AKHLAK TERPUJI A. Tarekat 1. Definisi Tarekat Tarekat berasal dari bahasa Arab, “At-thariqah”, yang berarti “jalan”. Jalan yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah.1 Tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi. Jalan ini dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari‟at sebab jalan utama disebut syar‟, sedangkan anak jalan disebut thariq.2 Secara terminologi, kata tarekat ditemukan dalam berbagai definisi. Di antaranya, menurut Abu Bakar Aceh, tarekat adalah petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh rasul, dikerjakan oleh sahabat dan tabiin, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai berantai. Atau suatu cara mengajar dan mendidik, yang akhirnya meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat penganut-penganut sufi, untuk memudahkan menerima ajaran dan latihan-latihan dari pemimpin dalam suatu ikatan. Harun Nasution mendefinisikan tarekat sebagai jalan yang harus ditempuh oleh sufi, dengan tujuan untuk berada sedekat mungkin dengan
1
A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.233. 2 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.305.
17
18
Allah.3 Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tarekat adalah pengamalan syariat dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjauh (diri) dari (sikap) mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah. Tarekat adalah menjauhi laranganlarangan, baik yang lahir maupun yang batin dan menjunjung tinggi perintah-perintah Tuhan menurut kadar kemampuan. Dan tarekat adalah menghindari yang haram dan makruh dan berlebih-lebihan dalam hal yang mubah dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan serta hal-hal yang sunat sebatas kemampuan di bawah bimbingan seorang arif dari ahli nihayah.4 2. Sejarah berdirinya tarekat Tarekat pada awalnya merupakan salah satu bagian dari ajaran tasawuf. Para sufi mengajarkan ajaran pokok tasawuf, yaitu: syariat, tarekat, hakikat dan ma‟rifat, yang pada akhirnya masing-masing ajaran tersebut berkembang menjadi satu aliran yang berdiri sendiri.5 Martin Van Bruiness melakukan penelitian yang menyatakan bahwa tarekat sebagai suatu intuisi belum ada sebelum abad ke-8 H/14 M berarti bahwa tarekat merupakan sebuah ajaran baru yang tidak ada dalam ajaran Islam yang asli. Namun demikian, bila dilihat secara mendalam ternyata ajaran-ajaran pokoknya memiliki keterkaitan akar yang secara harfiah berarti jalan mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun
3
Ris‟an rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.184-185. 4 A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.233-234. 5 Ris‟an rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.187.
19
amalan (muraqabah, zikir wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh disekitar metode sufi.6 Pada awalnya tasawuf merupakan suatu kegiatan spiritual sufi secara individu. Kemunculannya ditandai dengan adanya zahid-zahid yang mengasingkan diri dan mengembara dari satu tempat lain. Kemudian terbentuklah tempat-tempat pendidikan sebagai pusat kegiatan sufi. Tempat ini dinamakan dengan ribath atau zawiyah. Mulanya zawiyah ini hanya digunakan sebagai tempat peristirahatan para zahid, kemudian berkembang menjadi semacam asrama yang di dalamnya terdapat Syaikh bersama murid-muridnya. Syekh tersebut bertugas mengawasi ajaranajaran atau praktik sufinya, sehingga ajaran-ajaran tasawufnya itu bisa terobsesi. 3. Macam-macam tarekat a.
Tarekat Qadiriyah Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166), yang sering disebut dengan Al-Jilli.7 Adapun ajaran spiritual Syekh Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannya akan Tuhan.8 Ajaran Syekh Abd al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, beliau memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang
6
Ibid, hlm.188. A. Bachrun Rifa‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.238. 8 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.37. 7
20
tertinggi. Adapun bebrapa ajaran tersebut adalah, taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.9 Di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah dzikir (terutama melantunkan asma‟ Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri atas satu, dua, tiga dan empat. Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulangulang asma‟ Allah melalui tarikan napas panjang yang kuat, seakan dihela dari tempat yang tertinggi, diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga napas kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama. Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi shalat, kemudian melantunkan asma‟ Allah di dada sebelah kanan, lalu jantung, dan ke semuanya dilakukan berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang pembacaan asma‟ Allah di bagian dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, dan akhirnya di jantung. Sementara itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan duduk bersila, dengan mengucapkan asma‟ Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu ditarik ke arah jantung, dan terakhir dibaca di depan dada.10
9
Ibid, hlm.38. Ibid, hlm.44.
10
21
b.
Tarekat Syadziliyah Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu al-Hasan al-Syadzili. Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Abdullah bin Abd Al-Jabbar Abu al-Hasan alSyadzili. Beliau dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573.11 Ajaran tarekat Syadziliyah adalah yang pertama: istighfar, kedua: sholawat nabi, ketiga: dzikir, keempat: wasilah dan rabithah, kelima: wirid, keenam: adab (etika murid), ketujuh: hizib, kedelapan: zuhud, kesembilan: uzlah dan suluk.12
c.
Tarekat Naqsabandiyah Pendiri tarekat naqsabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, muhammad bin muhammad baha‟ al-din al-uwaisi albukhari naqsabandi (717 h/1318 m-791h/1389m), dilahirkan di sebuah desa qashrul Arifah, kurang 4 mil dari bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ajaran dasar tarekat naqsabandiyah yaitu: Husy dar dam, “sadar sewaktu bernafas” Nazhar bar qadam, “ menjaga langkah” Safar dar wathan, “melakukan perjalanannya di tanah kelahirannya” Khalwat dar anjuman, “sepi di tengah keramaian”
11
Ibid, hlm.58. A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ( Surabaya: Imtiyaz, 2011), hlm. 262-271. 12
22
Yak krad, “ingat atau menyebut” Baz Gasht, “kembali” Nigah Dasyt, “waspada” Yad Dasyt, “mengingat kembali” Tarekat naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir: 1)
Zikir Ism al-dzat, artinya mengingat nama Yang Haqiqi dengan mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih, sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata.
2)
Zikir tauhid, artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa allah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh.
d.
Tarekat Khalwatiyah Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makasar abad ke -17, Syaikh Yusuf al-Makassari al-Khalwati (tabarruk terhadap Muhammad (Nur) al-Khalwati al-Khawa Rizmi (w.751/1350)). Ajaran-ajaran dasar tarekat Khalwatiyah yaitu: Yaqza: kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang dihina dihadapan Allah SWT. Yang Maha Agung. Taubah: mohon ampun atas segala dosa. Muhasabah: menghitung-hitung atau introspeksi diri.
23
Inabah: berhasrat kembali kepada Allah. Tafakkur:merenung tentang kebesaran Allah. I‟tisam: selalu bertindak sebagai khalifah Allah di bumi. Firar: lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna. Riyadah: melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya. Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memuji-Nya. Sima‟: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran. Zikir Tarekat Khalwatiyah ada 3 macam, yaitu: Pertama: Lafadz la ilaha Allah sebagai perbandingan nafsu amarah. Kedua: Lafadz Allah-Allah sebagai perbandingan nafsu lawwamah. Ketiga:
Lafadz
Huwa-huwa
sebagai
perbandingan
nafsu
mutma‟inah.13 e.
Tarekat Syattariyah Tarekat yang kebanyakan pengikutnya berasal dari Sumatera Selatan dan Syaikh Abd Ar-Rauf Sinkel adalah orang pertama yang menyebarkan tarekat ini, kemudian penyebarannya dilanjutkan ke Jawa oleh murid-muridnya. Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin. Yang pertama tentang
13
A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ( Surabaya: Imtiyaz, 2011), hlm. 118.
24
talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani dunia tasawuf (suluk). Yang kedua tentang baiat, setelah menjalani talqin, hal yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjalani suluk adalah baiat. Secara hakiki, baiat menurut al-Qusyasyi merupakan ungkapan kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang murid secara khusus kepada syaikhnya, dan secara umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya. Seorang murid yang telah mengikrarkan diri masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan lagi untuk kembali keluar dari ikatan tarekat tersebut. f.
Tarekat Sammaniyah Tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin Abd alKarim al-Madani al-Syafi‟i al-Samman (1130-1189/1718-1775). Ia lahir di Madinah dari keluarga Qurasy. Praktek zikir dalam Tarekat Sammaniyah terdiri dari:
Zikir Nafi Itsbat. Zikir ini dilakukan dengan membaca la ilaha illa Allah. Kata la ilaha bermakna nafi atau ditiadakan. Sementara kata illa Allah bermakna itsbat, atau penegasan, yakni merupakan satu-satunya yang abadi. Zikir nafi itsbat biasanya diberikan kepada murid yang berada tingkat permulaan. Biasanya mereka latihan berzikir nafi itsbat sebanyak 10-100 kali setiap hari. Namun, bisa ditambah menjadi 300 kali setiap hari apabila tingkat atau maqam-nya sudah lebih tinggi.
25
Zikir ism al-jalalah. Zikir ini dengan membaca Allah-Allah. Zikir ini biasanya diajarkan kepada murid yang telah mencapai tingkat khusus. Zikir ini dilakukan antara 40, 101, atau 300 kali sehari. Zikir ism al-„isyarah. Zikir ini dengan membaca Huwa-huwa. Zikir ini diberikan kepada murid yang telah mencapai tingkat tinggi, atau yang sudah menjadi mursyid. Jumlah zikirnya antara 100-700 kali setiap hari. Tetapi umumnya mereka membaca ini sebanyak 300 kali setiap hari. Zikir Khusus, yakni dengan membaca Ah Ah. Zikir ini hanya diberikan kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah mencapai maqam tertinggi karena sudah ma‟rifatullah. Jumlah zikir yang diwajibkan adalah antara 100-700 kali setiap hari. g.
Tarekat Tijaniyah Tarekat
Tijaniyah
didirikan
oleh
Syaikh
Ahmad
bin
Muhammad al-Tijani (1150-1230H/1737-1815M) yang lahir di „Ain Madi, Aljazair Selatan,dan meninggal di Fes, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya. Secara umum, amalan zikir (wirid) dalam Tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu istighfar, shalawat, dan hailalah. Istighfar, pada hakikatnya menjadi proses upaya menghilangkan nodanoda rohaniah dan menggantinya dengan nilai-nilai suci. Sebagai
26
tahap pemula dan sarana untuk memudahkan sasaran mendekatkan diri kepada Allah. Shalawat, sebagai unsur kedua, menjadi materi pengisian setelah penyucian jiwa yang mengantarkan manusia yang bermunajat mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi media perantara antara manusia (sebagai salik) dengan Allah (Zat yang dituju). Sedangkan menghadap dan menyatukan diri dengan Allah adalah kalimat zikir yang mempunyai makna dan fungsi tertinggi di sisi Allah, yaitu tahlil, (makna lain dari inti tauhid), la ilaha illa Allah. h.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Tarekat
Qadiriyah
Naqsabandiyah
ialah
sebuah
tarekat
gabungan dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah (TQN). Tarekat ini didirikan Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Beliau dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M.14 Ajaran-ajaran dasar tasawuf dari sudut pandang praktik tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, yaitu: a.
Zikir (dzikir) adalah kata Arab yang berasal dari akar kata dh-k-r, yang berarti “mengingat” atau “menyebut”. Istilah zikir sendiri pada umumnya diterjemahkan sebagai “mengingat”.
b.
Talqin/Bai‟at adalah sebuah kata dalam bahasa Arab dari akar kata Iq-n.
Bentuk
kata
kerjanya
adalah
laqina,
yang
berarti
“menginstruksikan”. 14
A. Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf ( Surabaya: Imtiyaz, 2011), hlm.192.
27
c.
Latha‟if adalah bentuk jamak dari lathifah, berarti titik halus atau bagian badan yang halus. Latha‟if tampaknya merupakan unsur-unsur yang paling sulit dipisahkan dari manusia, esensinya tidak pernah dapat dilihat atau disentuh. Singkatnya, mereka adalah indra dari hati.15
B. Akhlak Terpuji 1.
Pengertian Akhlak Terpuji Istilah akhlak sudah sangat akrab di tengah kehidupan kita. Mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata “akhlak”, karena perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Akan tetapi, agar lebih jelas dan meyakinkan, kata “akhlak” masih perlu untuk diartikan secara bahasa maupun istilah. Dengan demikian, pemahaman terhadap kata “akhlak” tidak sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari kita dengar, tetapi sekaligus dipahami secara filosof, terutama makna subtansinya.16 Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari khulqun yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.17 Kata „”akhlak” juga berasal dari kata “khalaqa” atau “khalqun”, artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq”, artinya menciptakan
15
Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.105-115. 16 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm.13. 17 Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005), hlm.11.
28
tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq”, artinya pencipta dan “makhluq”, artinya yang diciptakan.18 Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak yaitu bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan, tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan terpuji menurut ketentuan rasio dan norma agama, dinamakan akhlak baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan buruk, maka dinamakan akhlak buruk.19 Secara termonologis pengertian akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur penting, yaitu sebagai berikut: a.
Kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektualitasnya.
b.
Ajektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia melalui upaya menganalisis
berbagai
kejadian
sebagai
bagian
dari
pengembangan ilmu pengetahuan. c.
Psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam bentuk perbuatan yang konkret.20 Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling
melengkapi, dan memiliki lima ciri penting dari akhlak, yaitu: a.
Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga menjadi kepribadiannya.
18
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012, hlm.13. Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm.2. 20 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012, hlm.15-16. 19
29
b.
Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur, atau gila.
c.
Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
d.
Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
e.
Sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik), akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT., bukan karena ingin mendapatkan suatu pujian.21
2.
Macam-macam Akhlak Macam-macam akhlak berbagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak
terpuji dan akhlak tercela. a. Akhlak Terpuji Akhlak terpuji merupakan terjemahan ungkapan dari bahasa Arab akhlaq mahmudah. Mahmudah merupakan bentuk maf‟ul dari kata hamida yang berarti “dipuji”. Akhlak terpuji disebut pula dengan akhlaq karimah (akhlak mulia), atau makarim akhlaq (akhlak mulia),
21
Ibid, hlm.14.
30
atau al-akhlaq al-munjiyat (akhlak yang menyelamatkan pelakunya).22 Menurut Al-Ghazali, akhlak terpuji merupakan sumber ketaatan dan kedekatan
kepda
Allah
SWT.
sehingga
mempelajari
dan
mengamalkannya merupakan kewajiban individual setiap muslim.23 Macam-macam akhlak terpuji sebagai berikut: 1) Akhlak terhadap Allah SWT. Di antara akhlak kepada Allah SWT. adalah sebagai berikut: a) Mentauhidkan Allah SWT. Definisi tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT. satusatunya yang memiliki sifat rububiyyah dan uluhiyyah, serta kesempurnaan nama dan sifat. Rububiyyah yaitu meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan yang mecipta alam ini, yang memilikinya, yang mengatur perjalanannya, yang menghidup dan mematikan, yang menurunkan rezki kepada makhluk, yang berkuasa mendatangkan manfaat dan menimpakan mudarat, yang mengabulkan doa dan permintaan hamba ketika mereka terdesak, yang berkuasa melaksanakan apa yang dikehendakinya, yang memberi dan mencegah, di tangan-Nya segala kebaikan dan bagiNya penciptaan dan juga segala urusan. Uluhiyyah yaitu mengimani Allah SWT. sebagai satu-satunya Al-Ma‟bud (yang disembah).
22 23
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.87. Ibid, hlm.88.
31
b) Berbaik sangka (khusnu dzan) Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT. merupakan salah satu akhlak terpuji kepada-Nya. Di antara ciri akhlak terpuji ini adalah ketaatan yang sungguh-sungguh kepada-Nya. c) Dzikrullah Mengingat Allah (dzikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT. karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada setiap daat dan tempat. d) Tawakal Tawakal adalah segala urusan kepda Allah Azza Wa Jalla, menbersihkannya diri dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum ketentuan. 2) Akhlak terhadap Diri Sendiri Di antara akhlak terpuji terhadap diri sendiri adalah sebagai berikut: a) Sabar Sabar menurut Al-Ghazali adalah tangga dan jalan yang dilintasi oleh orang-orang yang hendak menuju Allah SWT. ciri utama sabar menurut Al-Muhasibi adalah tidak mengadu kepada siapa pun ketika mendapatkan musibah dari Allah SWT. b) Syukur Syukur
merupakan
sikap
seseorang
untuk
tidak
menggunakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. dalam melakukan maksiat kepada-Nya. Apabila kita sudah mensyukuri
32
karunia Allah SWT. itu, berarti kita telah bersyukur, bertambah banyak pula nikmat yang akan kita terima. c) Menunaikan amanah Amanah adalah sifat dan sikap pribadi yang setia, yang tulus
hati,
dan
jujur dalam
melaksanakan
sesuatu
yang
dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia, ataupun tugas kewajiban. d) Benar atau jujur Maksud akhlak terpuji ini adalah berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Benar dalam perkatan adalah mengatakan keadaan yang sebenarnya, tidak mengada-ngada, dan tidak pula menyembunyikannya. Lain halnya apabila yang disembunyikan itu bersifat rahasia atau karena menjaga nama baik seseorang. Benar dalam perbuatan adalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan petunjuk agama. e) Menepati janji (al-wafa‟) Dalam islam janji nerupakan hutang. Hutang harus dibayar (ditepati). Kalau kita mengadakan suatu perjanjian pada hari tertentu, kita harus menunaikannya tepat pada waktunya. Janji mengandung tanggung jawab. f) Memelihara kesucian diri Memelihara kesucian diri (al-iffah) adalah menjada diri dari tuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan. Menurut Al-Ghazali,
33
dari kesucian diri akan lahir sifat-sifat terpuji lainnya, seperti kedermawanan, malu, sabar, toleran, qanaah, wara‟, lembut, dan membantu. 3) Akhlak terhadap Keluarga a) Berbakti kepada orangtua Berbakti kepada kedua orang tua merupakan faktor utama diterimanya doa seseorang, juga merupakan amal shaleh paling utama yang dilakukan oleh seorang muslim. b) Bersikap baik kepada saudara Hidup rukun dan damai dengan saudara dapat tercapai apabila hubungan tetap terjalin dengan saling pengertian dan tolong-menolong. 4) Akhlak terhadap Masyarakat a) Berbuat baik kepada tetangga Tetangga adalah orang yang terdekat dengan kita. Dekat bukan karena pertalian darah atau pertalian persaudaraan. Bahkan, mungkin tidak seagama dengan kita. b) Suka menolong orang lain Orang mukmin apabila melihat orang lain tertimpa kesusahan akan tergerak hatinya untuk menolong mereka sesuai dengan kemampuannya.
34
5) Akhlak terhadap Lingkungan Dalam
pandangan
islam,
seseorang
tidak
dibenarkan
mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang sedang berjalan dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. b. Akhlak Tercela Kata madzmumah berasal dari bahasa Arab yang artinya tercela. Akhlak madzmumah artinya akhlak tercela. Segala bentuk akhlak yang bertentangan dengan akhlak terpuji disebut akhlak tercela. Akhlak tercela merupakan tingkah laku yang tercela yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan martabatnya sebagai manusia. Bentuk-bentuk akhlak madzmumah bisa berkaitan dengan Allah SWT., Rasulullah SAW., dirinya, keluarganya, masyarakat, dan alam sekitarnya. Macam-macam akhlak tercela 1) Syirik Syirik secara bahasa adalah menyamakan dua hal, sedangkan menurut pengertian istilah, terdiri atas definisi umum dan definisi khusus. Definisi umum adalah menyamakan sesuatu dengan Allah dalam hal-hal yang secara khusus dimiliki Allah. Adapun definisi khusus adalah menjadikan sekutu selain Allah
35
SWT. dan memperlakukannya seperti Allah SWT., sepeti berdoa dan meminta syafaat. 2) Kufur Kufur secara bahasa berarti menutupi. Kufur merupakan kata sifat dari kafir. Jadi, kafir adalah orangnya, sedangkan kufur adalah sifatnya. Menurut syara‟, kufur adalah tidak beriman kepada Allah SWT. dan Rosul-Nya, baik dengan mendustakan atau tidak mendustakan. 3) Nifak dan Fasik Nifak menurut syara‟, artinya menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dengan kata lain, nifak adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hati. 4) Takabur dan Ujub Takabur terbagi ke dalam dua bagian, yaitu batin dan lahir. Takabur batin adalah perilaku dan akhlak diri, sedangkan takabur batin adalah perbuatan-perbuatan anggota tubuh yang muncul dari takabur batin. 5) Dengki Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad, yaitu perasaan yang timbul dalam dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki orang lain,
36
kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya. 6) Gibah (mengupat) Menurut Al-Ghazali gibah adalah menuturkan sesuatu yang berkaitan dengan orang lain yang apabila penuturan itu sampai pada yang bersangkutan, ia tidak menyukainya. 7) Riya‟ Kata riya‟ diambil dari kata dasar ar-ru‟yah, yang artinya memancing perhatian orang lain agar dinilai sebagai orang baik. Riya‟ merupakan salah satu sifat tercela yang harus dibuang jauhjauh dalam jiwa kaum muslim karena riya‟ dapat menggugurkan amal ibadah. Riya‟ adalah memperlihatkan diri kepada orang lain. Maksudnya beramal bukan karena Allah SWT., tetapi karena manusia. Riya‟ ini erat hubungannya dengan sifat takabur. 3.
Tujuan pembentukan akhlak Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam. Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap
37
muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.24 Pada dasarnya, tujuan pokok akhlak adalah agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai atau beradat-istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam. Jika diperhatikan, ibadah-ibadah initi dalam Islam memiliki tujuan pembinaan akhlak mulia. Sholat bertujuan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Zakat di samping bertujuan menyucikan harta juga bertujuan menyucikan diri dengan memupuk kepribadian mulia dengan cara membantu sesama. Puasa bertujuan mendidik diri untuk menahan diri dari syahwat. Haji bertujuan di antaranya memuculkan tenggang rasa dan kebersamaan dengan sesama. Dengan demikian, tujuan akhlak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah membentuk kepribadian seorang muslim yang memiliki akhlak mulia, baik secara lahiriyah maupun batiniyah.25 Adapun tujuan akhlak secara khusus adalah a.
Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW Mengetahui tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. tentunya akan mendorong kita untuk mencapai akhlak mulia karena ternyata akhlak merupakan sesuatu yang paling penting dalam agama. Akhlak bahkan lebih utama daripada akhlak. Sebab,
24 25
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.155. Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm.25.
38
tujuan utama ibadah adalah mencapai kesempurnaan akhlak. Jika tidak mendatangkan akhlak mulia, ibadah hanya merupakan gerakan formalitas saja. b.
Menjembatani kerenggangan antara akhlak dan ibadah Tujuan lain mempelajari akhlak adalah menyatukan antara akhlak dan ibadah, atau dalam ungkapan yang lebih luas antara agama dan dunia. Dengan demikian, ketika berada di masjid dan ketika berada di luar masjid, seseorang tidak memiliki kepribadian ganda. Kesatuan antara akhlak dan ibadah. Usaha menyatukan antara ibadah dan akhlak, dengan bimbingan hati yang diridhai Allah SWT. dengan keikhlasan, akan terwujud perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat serta terhindar dari perbuatan tercela.
c.
Mengimplementasikan
pengetahuan
tentang
akhlak
dalam
kehidupan Tujuan ini adalah untuk mendorong kita menjadi orangorang yang mengimplementasikan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.26 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada
26
Ibid, hlm.26-28.
39
umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama, aliran Nativisme. Kedua, aliran Empirisme, dan ketiga aliran konvergensi. Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan
dari
dalam
yang
bentuknya
dapat
berupa
kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik. Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya. Aliran ini tampak lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran. Dalam
pada
itu
aliran
konvergensi
berpendapat
pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fithrah dan kecenderungan ke arah yang baik
40
yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.27 4.
Cara-cara mencapai Akhlak Terpuji Akhlaq terpuji dalam Islam mengatur kehidupan manusia untuk menjalani kehidupan dunia, dan ajaran akhirat untuk kehidupan yang kekal. Perwujudan nilai-nilai akhlak sesuai dengan norma-norma kebutuhan yang oleh Islam disebut dengan amal sholeh. Sebagian atau keseluruhan ajaran Nabi Muhammad selalu menjurus langsung pada nilai-nilai kesusilaan, sebab dapat dipastikan bahwa dengan bertingkah laku sopan dan baik terhadap Tuhan, Rasul-Nya, diri sendiri, orang lain maupun kepada sesama makhluk hidupa lainnya, hanyalah orang yang ber-akhlaqul karimah. Orang yang ber-akhlaqul karimah dapat menciptakan keadaan dunia yang tentram dan nyaman, tidak ada kesusahan, tidak ada persaingan yang tidak sehat dan masalah-masalah yang membuat resah. Ditinjau dari ilmu jiwa, hal ini memang dapat diterima akal sehat karena sifat dari manusia, yaitu menginginkan dalam segala perbuatannya akan mendapatkan sesuatu yang terbaik. Manusia selalu mengejar untuk mendapatkan sesuatu yang dianggap baik. Allah menjajikan kepada manusia berupa surga dan neraka, pahala dan dosa. Maka jika seseorang yang baik dan selalu ber-akhlaqul karimah Allah menjajikan pahala baginya, sebaliknya jika manusia
27
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.166-167.
41
tersebut senantiasa melakukan perbuatan zalim dan melanggar aturanaturan Allah, maka baginya adalah siksa. Akhlaqul karimah seseorang terletak pada diri orang itu sendiri, yaitu pada fitrahnya. Jika manusia di dunia telah berjalan di jalan yang benar sesuai dengan fitrahnya berdasarkan Alqur‟an dan hadis, maka dipastikan bahwa manusia tersebut sampai pada derajat “insan kamil” atau manusia yang sempurna. Insan kamil adalah sifat manusia yang selalu menyadari kesalahankesalahan
dan
kelebihan-kelebihannya.
Insan
kamil
merupakan
penyempurnaan akhlaqul karimah pada pribadi. Akhlaqul karimah dapat mewujudkan individu kepada keluhuran budi, terhadap masyarakat membimbing kepada perdamaian.28 Akhlak yang baik dilandasi oleh ilmu, iman, amal, dan takwa. Ia merupakan kunci bagi seseorang untuk melahirkan perbuatan dalam kehidupan yang diatur oleh agama. Dengan ilmu, iman, amal dan takwa seseorang dapat berbuat kebajikan, seperti sholat, puasa, berbuat baik sesama manusia, dan kegiatan-kegiatan lain yang merupakan interaksi sosial. Sebaliknya tanpa ilmu, iman, amal dan takwa, seseorang dapat berperilaku yang tidak sesuai dengan akhlaqul karimah, sebab ia lupa pada Allah yang telah menciptakannya. Keadaan demikian menunjukkan perlu adanya pembangunan iman untuk meningkatkan akhlak seseorang.
28
hlm.192.
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007),
42
Aspek yang mempengaruhi akhlak adalah a.
Tingkah laku manusia Tingkah laku manusia adalah sikap seseorang yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Sikap seseorang boleh jadi tidak digambarkan dalam perbuatan atau tidak tercermin dalam perilaku sehari-hari. Oleh karena itu, meskipun secara teoritis hal itu terjadi tetapi dipandang dari sudut ajaran Islam termasuk iman yang tipis.
b.
Insting dan naluri Menurut bahasa (etimologi) insting berarti kemampuan berbuat pada suatu tujuan yang dibawa sejak lahir, merupakan pemuasan
nafsu,dorongan-dorongan
nafsu,
dan
dorongan
psikologis. Insting juga merupakan kesanggupan melakukan hal yang kompleks tanpa dilihat sebelumnya, terarah kepada suatu tujuan yang berarti bagi subjek tidak disadari langsung secara mekanis. Naluri merupakan asas tingkah laku perbuatan manusia. Manusia dilahirkan dengan membawa naluri yang berbentuk proses pewarisan untuk nenek moyang. Naluri dapat diartikan sebagai kemauan tak sadar yang dapat melahirkan perbuatan mencapai tujuan tanpa berpikir ke arah tujuan dan tanpa dipengaruhi oleh latihan berbuat. Tingkah laku perbuatan manusia sehari-hari dapat ditunjukkan oleh naluri sebagai pendorong.
43
c.
Pola dasar bawahan Manusia memiliki sifat rasa ingin tahu, karena dia datang ke dunia ini dengan serba tidak tahu (La ta‟lamina syaitan). Apabila seorang mengetahui suatu hal dan ingin mengetahui sesuatu yang belum diketahui, bila diajarkan padanya maka ia merasa sangat senang hatinya.
d.
Nafsu Nafsu berasal dari bahasa Arab, yaitu nafsun yang artinya niat. Nafsu ialah keinginan hati yang kuat. Nafsu merupakan kumpulan dari kekuatan amanah dan syahwat yang ada pada manusia. Nafsu dapat menyingkirkan semua pertimbangan akal, memengaruhi peringatan hati nurani dan menyingkirkan hasrat baik yang lainnya.
e.
Adat dan kebiasaan Adat menurut bahasa (etimologi) ialah aturan yang lazim diikuti sejak dahulu. Biasa ialah kata dasar yang mendapat imbuhan ke-an, artinya boleh, dapat atau sering. Kebiasaan adalah perbuatan yang berjalan dengan lancar seolah-olah berjalan dengan sendrinya. Perbuatan kebiasaan pada mulanya dipengaruhi oleh kerja pikiran, didahului oleh pertimbangan akal dan perencanaan yang matang. Lancarnya perbuatan dikarenakan perbuatan itu seringkali diulang-ulang.
44
f.
Lingkungan Lingkungan ialah ruang lingkup luar yang berinteraksi dengan insan yang dapat berwujud benda-benda seperti air, udara, bumi langit, dan matahari. Berbentuk selain benda seperti insan, pribadi, kelompok, institusi, sistem, undang-undang, dan adat kebiasaan. Lingkungan dapat memainkan peranan dan pendorong terhadap perkembangan kecerdasan, sehingga manusia dapat mencapai taraf yang setinggi-tingginya dan sebaliknya juga dapat merupakan penghambat yang menyekat perkembangan, sehingga seseorang tidak dapat mengambil manfaat dari kecerdasan yang diwarisi.
g.
Kehendak dan takdir Kehendak menurut bahasa (etimologi) ialah kemauan, keinginan, dan harapan yang keras. Kehendak, yaitu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu yang merupakan kekuatan dari dalam hati, bertautan dengan pikiran dan perasaan. Takdir yaitu ketetapan Tuhan, apa yang sudah ditetapkan Tuhan sebelumnya atau nasib manusia. Secara bahasa takdir adalah ketentuan jiwa, yaitu suatu peraturan tertentu yang telah dibuat Allah baik aspek struktural maupun aspek fungsionalnya untuk segala yang ada dalam alam semesta yang maujud ini.29
29
Ibid, hlm.75-94
45
5.
Pembentukan Akhlak Menurut Al-Ghazali Menurut Al-Ghazali tujuan perbaikan akhlak itu ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.30 Metode Al-Ghazali yang harus dilalui untuk mencapai tujuan itu adalah melalui Takhalli, Tahalli, Tajalli. Adapun Takhalli itu adalah membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dari maksiat dan batin. Tahalli adalah mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yaitu taat lahir dan taat batin. Kemudian Tajalli adalah memperoleh kenyataan Tuhan atau kesempurnaan.31 Pendekatan diri menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Oleh karena itu, AlGhazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan. Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, hingga sampai pada ma‟rifat yang membantu menciptakan (sa‟adah). Menurut Al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution, ma‟rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturanperaturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma‟rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Harun Nasution juga menjelaskan pendapat 30
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995),
31
Ibid, hlm.65.
hlm.67
46
Al-Ghazali yang dikutip dan Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilempahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong, pada saat itulah, ketiganya menerina iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkah cahanya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Di sini sampailah ia ke tingkat ma‟rifat.32 Akhlak yang baik merupakan buah dari keseimbangan daya rasional, kesempurnaan hikmah dan daya syahwat yang tunduk kepada akal dan agama. Keseimbangan ini dapat dicapai melalui dua cara. Pertama, dengan rahmat Allah, dan kesempurnaan sifat bawaan (kamal fithri), yakni seseorang dilahirkan dengan kesempurnaan daya rasional, kebaikan akhlak dan daya nafsu maupun amarah yang diciptakan seimbang serta tunduk kepada akal dan agama. Maka orang itu pun menjadi pandai tanpa belajar dan terdidik tanpa pendidik. Kedua, adalah berupaya memperoleh sifat-sifat baik melalui perjuangan batin dan pendisiplinan. Maksudnya adalah membiasakan diri mengerjakan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak yang dicitacitakan.33 Tujuan perilaku adalah membersihkan jiwa dari kecintaan terhadap dunia dan menanamkan kecintaan kepada Allah Swt. sehingga tidak ada sesuatu pun yang dicintainya kecuali pertemuan dengan-Nya. Orang itu pun
32
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solikhin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm.115. 33 Al-Ghazali, Metode Menaklukkan Jiwa: Perspektif Sufistik, (terjemahan oleh Rahmani Astuti dari Disciplining the Soul: Breaking the Two Desires), (Bandung: Mizan, 2003), hlm.99.
47
tidak akan membelanjakan hartanya kecuali menurut cara yang bisa mengantarkannya ke hadirat Allah Swt. Demikian pula kemarahan dan nafsunya yang memang telah ditaklukkannya dan tidak digunakannya kecuali menurut cara yang bisa mengantarkannya kepada Allah Swt., yakni menakarnya berdasarkan parameter agama dan akal.34 Jadi akhlak yang baik dapat diperoleh melalui pendisiplinan diri yakni membiasakan diri pada mulanya mengerjakan perbuatan yang muncul dari akhlak semacam itu secara terus menerus sehingga akhirnya menjadi watak. Ini keajaiban hubungan antara hati dan anggota tubuh (jawariyah), yakni antara jiwa dan raga. Sebab sesungguhnya sifat yang muncul di dalam hati memancarkan pengaruhnya kepada segenap anggota tubuh yang lain sehingga kesmuanya bergerak menuruti ketentuannya. Demikian pula setiap perbuatan yang dilakukan oleh anggota tubuh akan menimbulkan bekas pada hati, dan hubungan antara keduanta berlangsung secara timbal balik.35
34 35
Ibid, hlm.101. Ibid, hlm.103.