26 BAB II SISTEM PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN A. Subyek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan. Jika melihat kebelakang sampai asal mula PBB, maka di zaman kolonial Belanda sudah dipungut bermacam-macam pajak dari tanah yang dimiliki atau digarap oleh rakyat Indonesia, seperti “Contingenten” dan “Verplichte Leverantieen” yang lebih dikenal dengan nama tanam paksa, yang seperti diketahui menimbulkan Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Kemudian oleh Gubernur Jendral Raffles, pajak atas tanah disebut “Landrent” yang artinya adalah “sewa tanah”. Tetapi kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda diganti dengan nama “Landrente”. Pada waktu Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya Landrente ini tetap diberlakukan oleh Pemerintahan Republik Indonesia dan namanya diganti menjadi Pajak Bumi. Kemudian nama Pajak Bumi ini diubah menjadi Pajak Hasil Bumi. Yang dikenakan pajak tidak lagi Nilai Tanah tetapi hasil yang keluar dari tanah tersebut, sehingga timbul frustrasi karena hasil yang keluar dari tanah merupakan objek dari Pajak Pengahasilan (pada waktu itu bernama Pajak Peralihan atau “Overgangsbelasting”). Akibat dari frustrasi ini maka Pajak Hasil Bumi ini dihapuskan mulai dari tahun 1952 karena hasil yang keluar dari tanah dan bangunan telah dikenakan Pajak Peralihan. Hal demikian ini berlangsung sampai 1959. Rupa-rupanya Pemerintah kemudian menginsafi kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959 dipungut lagi Pajak Hasil Bumi atas Nilai Tanah (bukan lagi atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan) 17.
17
Azhari A Samudra, Perpajakan di Indonesia, Keuangan Pajak dan Retribusi, (Jakarta : Penerbit PT Hecca Mitra Utama, 2005), hal 13-14.
Universitas Sumatera Utara
27 Barulah pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, Pajak tersebut berganti nama menjadi Pajak Bumi dan Bangunan. Yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, dan yang dimaksud dengan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan / atau perairan. Maka dari itu, PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PBB dikenakan terhadap orang atau badan yang mempunyai hak/manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai/ memperoleh manfaat atas bangunan. Adapun Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut: 1. Subjek Pajak dan Bumi Bangunan Subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan 18 (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994). Sedangkan yang dimaksud dengan orang adalah orang pribadi atau perseorangan. Yang dimaksud dengan badan adalah badan usaha dengan nama atau dalam bentuk apa pun termasuk yang berbentuk 19: a. Perseroan Terbatas;
18
Wirawan B Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 2004), hal 84-85 19 Boediono B, Op.Cit, hal 500-501.
Universitas Sumatera Utara
28 b. Perseroan Komanditer; c. Perseroan Lainnya; d. Badan Usaha Milik Negara(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah(BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun; e. Persekutuan; f. Perkumpulan lainnya; g. Firma; h. Kongsi; i.
Koperasi;
j.
Yayasan, atau Organisasi yang sejenis;
k. Lembaga; l.
Dana Pensiun;
m. Bentuk Usaha Tetap(BUT). Subyek PBB, belum tentu merupakan wajib pajak PBB. Subyek Pajak (orang atau badan) baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat obyektif, yaitu mempunyai obyek PBB yang dikenakan pajak. Mempunyai obyek yang dikenakan pajak, hal ini berarti mempunyai hak atas obyek yang dikenakan pajak, memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat dari obyek kena pajak. Dan di dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menyatakan bahwa subyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994. Sedangkan apabila dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka Dirjen Pajak dapat menetapkan subyek pajak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 (Pasal 4 ayat (3)). Seperti halnya dalam
Universitas Sumatera Utara
29 penjelasan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 12 tahun 1994 adalah sebagai berikut 20: a. Subyek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang atau bukan karena perjanjian, maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak. b. Suatu obyek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan obyek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak. c. Subyek pajak dalam waktu yang lama, berada di luar wilayah letak obyek pajak, sedang untuk merawat obyek tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukkan sebagai wajib pajak oleh Dirjen Pajak, bukan merupakan bukti pemilikan hak. Apabila subyek pajak yang telah ditunjuk oleh Dirjen Pajak sebagai wajib pajak keberatan akan hal tersebut di atas, maka dapat mengajukan keberatan, dengan memberikan keterangan secara tertulis, bahwa ia bukan wajib pajak dari obyek yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994). Dan apabila Dirjen Pajak menerima, maka akan dibatalkan penetapan tersebut dalam jangka satu bulan, terhitung sejak diterimanya surat keterangan yang dimaksud (ayat 5). Sedangkan apabila tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai
20
Rochmat Soemitro, Op Cit, hal 18.
Universitas Sumatera Utara
30 alasan-alasannya (ayat 6). Di dalam penjelasan Pasal 4 ayat (7) UndangUndang Nomor 12 tahun 1994, apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu satu (1) bulan sejak tanggal diterimanya keberatan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak. 2. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan a. Obyek yang di kenakan PBB Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menyatakan bahwa yang menjadi obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi (perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya 21. Dan pengertian bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah (dan/atau perairan), yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat yang dapat diusahakan. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional 22. Selanjutnya penjelasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 (Pasal 1 ayat 2) menguraikan lebih lanjut tentang pengertian bangunan adalah sebagai berikut 23: 1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti
21
Rochmat Soemitro, Op.Cit, hal 8 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria. 23 Boediono B, Op Cit, hal 502 22
Universitas Sumatera Utara
31 hotel, pabrik dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut; 2) Jalan tol; 3) Kolam renang; 4) Pagar mewah; 5) Tempat olah raga; 6) Galangan kapal dermaga; 7) Taman mewah; 8) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; 9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
b. Obyek Pajak yang tidak dikenakan PBB Di dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menyatakan bahwa obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah obyek pajak yang: 1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan mempunyai arti adalah bahwa obyek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan: 2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu. 3) Merupakan hutan lindung, hutang suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai desa, tanah negara yang
Universitas Sumatera Utara
32 belum dibebani suatu hak. 4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
c. Objek Pajak yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah Di dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menyatakan bahwa obyek pajak 24 yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintah, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sekalipun pemerintah berwenang untuk menentukan pengenaan PBB terhadap objek yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintah, tetap terikat pada asas kelayakan dan kepatuhan menurut hukum. Dalam arti bahwa pemerintah harus memperhatikan klasifikasi bumi dan bangunan dalam menetapkan pengenaan PBB terhadap objek yang digunakannya mengingat tidak ada ketentuan yang memberi pengecualian agar bumi dan bangunan yang digunakan tidak dikenakan PBB. Dengan demikian, pemerintah tetap dikenakan PBB terhadap bumi dan bangunan yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan karena pemerintah merupakan badan hukum public yang boleh dikenakan pajak sehingga terjaring sebagai WP yang wajib
24
Yang dimaksud dengan objek pajak dalam ayat ini adalah objek pajak yang dimiliki/ dikuasai/ digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan negara. Data diperoleh dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994
Universitas Sumatera Utara
33 menaati Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 25.
B. Pengertian Nilai Jual Objek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan Di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, Pasal 1 angka 3 berbunyi: “Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti”. Sedangkan pada Pasal 6 ayat (1) berbunyi : “Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek. Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya. Sehubungan dengan keterangan di atas yang dimaksud dengan Pasal 1 angka 3 mengenai: a. Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/ metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkan dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut. c. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
25
Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, (Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 57.
Universitas Sumatera Utara
34 obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut (penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994). Salah satu yang terpenting lagi bagi Wajib Pajak, dengan Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan bangunan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 Pasal 3 ayat (3) ditentukan bahwa besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp. 8.000.0000,- (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Ini merupakan suatu perubahan dari Undang-Undang lama yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985, dimana Batas Tidak Kena Pajak (BTKP) yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (3) terdahulu disebutkan bahwa BTKP sebesar Rp.7.000.000,- (tujuh juta rupiah) diberikan per/ obyek pajak serta dikenakan untuk bangunan saja, sedangkan dengan perubahan Undang-Undang tentang pajak Bumi dan Bangunan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, dimana BTKP dikenakan sebesar Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah) per / wajib pajak serta dikenakan untuk bumi dan/atau bangunan. Apabila selanjutnya seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Obyek Pajak yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Obyek Pajak yang nilainya terbesar 26, sedangkan Obyek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. Sebagai contoh27: a. Seorang Wajib Pajak hanya mempunyai Obyek Pajak berupa bumi dengan nilai sebagai berikut: 1) NJOP Bumi ....................................................Rp. 4.000.000 2) NJOPTKP ......................................................Rp. 8.000.000
26
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Salemba Empat, 1999), hal. 367 27 Tim penusun, Pajak bumi dan bangunan 2000,(Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2000), hal 9
Universitas Sumatera Utara
35 Karena NJOP berada di bawah NJOPTKP, maka Obyek Pajak tersebut tidak dikenakan PBB. b. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Obyek Pajak berupa bumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut: 1) Desa A a) NJOP Bumi......................................................Rp. 8.000.000 b) NJOP Bangunan...............................................Rp. 5.000.000
NJOP untuk perhitungan pajak: a) NJOP Bumi......................................................Rp. 8.000.000 b
NJOP Bangunan...............................................Rp. 5.000.000 -------------------(+)
c) NJOP sebagai dasar Pengenaan pajak................Rp. 13.000.000 d) NJOPTKP...........................................................Rp. 8.000.000 -------------------(-) e) NJOP untuk perhitungan Pajak...........................Rp. 5.000.000 2) Desa B a) NJOP Bumi.....................................................Rp. 5.000.000 b) NJOP Bangunan..............................................Rp. 3.000.000 NJOP untuk perhitungan pajak: a) NJOP Bumi......................................................Rp. 5.000.000 b) NJOP Bangunan...............................................Rp. 3.000.000 -------------------(+) c) Nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan
Universitas Sumatera Utara
36 pajak................................................................Rp. 8.000.000 d) NJOPTKP........................................................Rp.
0
------------------- (-) e) NJOP untuk perihtungan pajak...........................Rp. 8.000.000 Untuk obyek pajak di Desa B, tidak diberikan NJOPTKP sebesar Rp. 8.000.000 (delapan juta rupiah), karena NJOPTKP telah diberikan untuk obyek pajak yang berada di desa A. c. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Obyek Pajak berupa bumi dan bangunan pada satu desa C dengan nilai sebagai berikut: 1) Objek I a) NJOP Bumi.....................................................Rp. 4.000.000 b) NJOP Bangunan..............................................Rp. 2.000.000 NJOP untuk perhitungan pajak: a) NJOP Bumi......................................................Rp. 4.000.000 b) NJOP Bangunan...............................................Rp. 2.000.000 -------------------(+) c) Nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan pajak................................................................Rp. 6.000.000 d) NJOPTKP........................................................Rp. 8.000.000 Karena NJOP berada di bawah NJOPTKP, maka Obyek Pajak tersebut tidak dikenakan PBB. 2) Objek II a) NJOP Bumi.....................................................Rp. 4.000.000 b) NJOP Bangunan..............................................Rp. 1.000.000
Universitas Sumatera Utara
37 NJOP untuk perhitungan pajak: c) NJOP Bumi......................................................Rp. 4.000.000 d) NJOP Bangunan...............................................Rp. 1.000.000 -------------------(+) e) Nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan pajak................................................................Rp. 5.000.000 f) NJOPTKP........................................................Rp.
0
------------------- (-) g) NJOP untuk perihtungan pajak...........................Rp. 5.000.000
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen) 28. Penentuan NJOP ditentukan oleh penilaian Objek PBB, yaitu: 1. Pendekatan Penilaian. a. Pendekatan Dasar Pasar (Market Data Approach) NJOP dihitung dengan cara membandingkan objek pajak yang sejenis dengan objek lain yang telah diketahui harga pasarnya. Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP tanah, namun dapat juaga dipakai untuk menentukan NJOP bangunan. b. Pendekatan Biaya (Cost Approach) Pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai tanah atau bangunan terutama untuk menentukan NJOP bangunan dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis dikurangi
28
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2006, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2006), hal 301
Universitas Sumatera Utara
38 dengan penyusutan fisiknya. c. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) Pendekatan ini digunakan untuk menentukan NJOP yang tidak dapat dilakukan berdasarkan pendekatan data pasar atau pendekatan biaya, tetapi ditentukan berdasarkan hasil bersih objek pajak tersebut. Pendekatan ini terutama digunakan untuk menentukan NJOP galian tambang atau objek perairan. 2. Cara penilaian Mengingat jumlah objek pajak yang terlalu banyak dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan jumlah tenaga penilai dan waktu penilai yang dilakukan yang tersedia sangat terbatas, maka pelaksanaan penilaiaan untuk menentukan NJOP dilakukan dengan mengunakan dua cara, yaitu 29: a. Penilaian massal (Mass Appraissal) NJOP bumi dihitung berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) yang terdapat pada setipa Zona Nilai Tanah (ZNT). Sedangkan NJOP bangunan dihitung berdasarkan Dafar Biaya Komponen Bangunan (DBKB) dikurangi penyusutan fisik. Perhitungan penilaian massal dilakukan dengan menggunakan program komputer ( Computer Assisted Valuation/ CAV) b. Penilaian Individual (Individual Appraissal) Diterapkan untuk objek tertentu yang bernilai tinggi atau keberadaanya mempunyai sifat khusus, antara lain: 1) Jalan tol
29
Marihot Pahala Siahaan, Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2009), hal 224
Universitas Sumatera Utara
39 2) Pelabuhan laut/ sungai/ udara 3) Lapangan golf 4) Industri semen/ pupuk 5) PLTA, PLTU, PLTG 6) Pertambangan 7) Tempat rekreasi 8) Dan lain sebagainya 9) Objek pajak tertentu seperti rumah mewah, pompa bensin, jalan tol, lapangan golf, objek rekreasi, uasaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Pada perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintah Daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2000, yaitu 30: 1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk: a. Objek pajak perkebunan b. Objek pajak kehutanan c. Objek pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunannya sama atau lebih besar dari Rp. 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) 2. Sebesar 20% 9dua puluh persen) dari NJOP untuk:
30
Mardiasmo, Op Cit, hal 302
Universitas Sumatera Utara
40 a. Objek pajak pertambangan b. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Besarnya persentase NJKP sebagaimana yang disebutkan di atas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional, seperti yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Cara untuk menghitung pajak adalah besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan NJKP 31 PBB = Tarif Pajak x NJKP = 0,5% x [Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)]
Contoh perhitungan pajak: Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp. 20.000.000,- dan NJOPTKP untuk daerah tersebut adalah Rp. 12.000.000,- ,maka besarnya pajak yang terutang adalah: = 0,5% x 20% x(Rp. 20.000.000 - Rp12.000.000) = Rp. 8.000,-
31
Ibid, hal 302
Universitas Sumatera Utara
41 Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Tahun pajak adalah jangka waktu 1(satu) tahun takwin 32. Jangka waktu tahun takwin adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Dan saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Contoh: 1. Objek Pajak pada tanggal 1 Januari 2000 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2000 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2000, yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar. 2. Objek Pajak pada tanggal 1 Januari 2000 berupa sebidang tanah tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2000 dilakukan pen-dataan, ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2000 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2000. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2001 Sedangkan tentang tempat pajak yang terutang adalah: 1. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota yang meliputi letak objek pajak. Tempat pajak yang terutang untuk Kotamadya Batam, di wilayah Propinsi Riau. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak(SPOP) dalam rangaka pendataan. Pada ayat (2) menyatakan bahwa SPOP harus
32
Jangka waktu 1 (satu) tahun takwin adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Data diperoleh dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
Universitas Sumatera Utara
42 diisi dengan jelas 33, benar 34 dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak. Berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Seperti disebutkan dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
Direktorat Jenderal Pajak dapat
mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Apabila SPOP tidak disampaikan sebagimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran. 2. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
33
Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan Negara maupun WP. Data diperoleh dari Mardiasmo, Op Cit, hal 304 34 Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom pertanyaan yang ada pada SPOP. Data diperoleh dari Mardiasmo, Op Cit, hal 304
Universitas Sumatera Utara
43 C. Dasar-dasar Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Menurut Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, dasar pengenaan pajak adalah NJOP serta besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Dengan memperhatikan 35: 1. Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. 2. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan telah diketahui harga jualnya. 3. Nilai perolehan baru 4. Penentuan nilai Jual Objek Pengganti Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan nilai jual obyek pajak cukup besar, maka dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan banyak mendengar pertimbangan Gubernur setempat. Besarnya NJOP juga dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi 36: 1. Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan. 2. Objek Pajak Sektor Perkebunan. 3. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan hutan, hak Pengusahaan hasil Hutan, Izin pemanfaatan kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan hutan Tanaman Industri. 4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
35
Astridutanet, “Dasar hukum pajak bumi dan bangunan”, 20 Maret 2007, www.scribd.com, terakhir kali diakses pada tanggal 2 Oktober 2009 36 Anastasia Diana dan Lilis Setiawati, Perpajakan Indonesia. Konsep, Aplikasi dan penuntun praktis, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2004), hal 316-317
Universitas Sumatera Utara
44 5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan gas Bumi 6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi. 7. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan galian C 8. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian c 9. Objek Pajak Sektor Pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya atau Kontrak Kerjasama 10. Objek Pajak usaha bidang perikanan laut. 11. Objek Pajak usaha bidang perikanan darat. 12. Objek Pajak yang bersifat khusus. Berdasarkan pengertian NJOP pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, bahwa pengertian nilai-nilai yang disebutkan nilai perbandingan harga dengan obyek lain sejenis, nilai perolehan baru, dan NJOP pengganti, disini harus memperhatikan kondisi wajib pajak serta kondisi perekonomian nasional yang berfluktuasi keadaannya. Memang dalam sistem penetapan NJOP yang harus banyak diperhatikan adalah distribusi beban pajak pada masyarakat yang harus adil. Akan tetapi untuk menilai adil tidaknya distribusi beban pajak tersebut harus melihat dua (2) tolok ukur yang digunakan. Pertama, adalah prinsip kemampuan membayar dan kedua, adalah prinsip manfaat. Dimana pada tolok ukur yang pertama bahwasannya NJOP yang ditetapkan untuk sementara ini memenuhi prinsip keadilan, dan dalam penerapannya juga memperhatikan tiga aspek, yaitu tingkat pendapatan, kekayaan dan pengeluaran wajib pajak. Dan semakin banyak dan tinggi NJOP yang dimiliki wajib pajak, jelas semakin tinggi pula tingkat kemakmuran wajib pajak tersebut untuk membayar pajak
Universitas Sumatera Utara
45 juga tinggi. Sedangkan dilihat dari prinsip manfaat, dalam sistem penetapan NJOP tinggi rendahnya, ditentukan diantaranya oleh fasilitas-fasilitas dan jasa-jasa yang diberikan pemerintah. Karenanya pula, wajar apabila NJOP di daerah perkotaan lebih tinggi daripada daerah yang kurang atau belum terjamah oleh sarana dan prasarana dari pemerintah. Berdasarkan mekanisme atau prosedur yang telah ditetapkan dalam sistem perpajakan, diamati bahwa beberapa kenyataan empiris mengarah pada gambaran bahwa penetapan NJOP selalu lebih rendah dibandingkan harga jual riel obyek tersebut. Kenyataan tersebut disebabkan oleh 37: 1. Penetapan Zona Nilai Tanah (ZNT) tidak dilakukan melalui pengumpulan data yang aktual tetapi berdasarkan perkiraan-perkiraan. 2. SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) pernah diisi ketika SISMIOP ( Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak) baru diterapkan, tetapi setelah itu wajib pajak tidak lagi mengisi SPOP. 3. Perkembangan yang sangat dinamis di daerah perkotaan membawa perubahan pada NJOP riel yang cepat.
D. Eksistensi Nilai Jual Obyek Pajak dan Mekanisme Penetapannya Sebelum penulis membahas sistem penerapan NJOP, bila melihat pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 menegaskan bahwa dasar pengenaan pajak adalah NJOP. Yang dimaksud dengan NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Dalam hal ini tidak
37
Tri Wibowo, “Penetapan NJOP sebagai dasar perhitungan PBB dan BPHTB”,17 Mei 2008, diperoleh dari www.fiskal.depkeu.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 20 Oktober 2009
Universitas Sumatera Utara
46 terjadi transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tersebut di atas, kewenangan menetapkan NJOP diberikan kepada Menteri Keuangan. Pengertian “Penilaian” di atas didefinisikan sebagai kegiatan mengadakan estimasi nilai terhadap suatu harta kekayaan. Beberapa pengertian yang perlu dipahami dalam penilaian atas suatu harta kekayaan (property) adalah : a. Biaya, adalah sejumlah uang yang di perlukan untuk membuat suatu barang. b. Harga, adalah sejumlah uang yang terjadi di dalam suatu transaksi atau pertukaran barang yang dipandang pantas oleh pihak pembeli dan diterima baik oleh penjual. c. Nilai, adalah sejumlah yang sama dengan harta yang dapat memberikan keuntungan, yang timbul dari pemilikan harta tersebut. Atau dapat juga diartikan sebagai semua hak yang ada pada saat sekarang atau semua harapan keuntungan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud,
yang timbul dari suatu
pemilikan harta. Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pengertian NJOP tidak selalu sama dengan pengertian Harga Jual Obyek Pajak. Sehingga tidak jarang terjadi Harga Jual Obyek Pajak di lapangan dapat lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari NJOP yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada umumnya bila NJOP yang ditetapkan pemerintah ternyata lebih rendah dari Harga Jual Obyek Pajak di lapangan, masyarakat tidak bereaksi. Namun bila yang terjadi sebaliknya maka masyarakat akan bereaksi keras untuk tidak menerima NJOP tersebut. Hal lain yang sering terjadi adalah meskipun Wajib Pajak (WP) mengakui kebenaran NJOP-nya, akan tetapi tetap keberatan, dengan mengajukan
Universitas Sumatera Utara
47 argumentasi dia tidak akan menjual tanah/bangunannya 38. Dewasa ini banyak instansi pemerintah maupun swasta yang meminta informasi tentang NJOP yang telah ditetapkan pemerintah, baik untuk kepentingan penentuan nilai atas tanah dan bangunan yang dimilikinya, maupun dalam rangka pengadaan atau tukar menukar (ruitslag). Kecenderungan lain yang terjadi di masyarakat dewasa ini, khususnya dalam rangka pemberian ganti rugi atas tanah/atau bangunan, masyarakat menuntut ganti rugi sesuai dengan NJOP yang ditetapkan. Walaupun apabila dikaitkan dengan pelunasan PBB yang terhutang, masyarakat belum tentu mau menerima NJOP yang telah di tetapkan tersebut. Apalagi dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dimana dalam Pasal 15 antara lain ditentukan bahwa, NJOP dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan besarnya ganti rugi atas tanah, maka dapat diantisipasi bahwa masyarakat akan berpedoman pada NJOP dalam menuntut ganti rugi39. Dari uraian tersebut di atas kiranya dapat dilihat, bahwa eksistensi NJOP dewasa ini tidak hanya sekedar sebagai dasar pengenaan pajak saja, akan tetapi mulai mengarah untuk dipergunakan bagi kepentingan lain (misalnya : ganti rugi atas tanah dan/atau bangunan). Hal ini merupakan pertanda baik, karena idealnya hanya ada “satu nilai” (siapapun yang menetapkan), yang dapat dipergunakan untuk semua kepentingan apakah itu ganti rugi, asuransi, jaminan bank dan lain sebagainya. Dalam prakteknya, mekanisme penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan
38 39
Muhammad Djafar Saidi, Op Cit, hal 70 Ibid, hal 71
Universitas Sumatera Utara
48 pajak antara lain adalah sebagai berikut 40: a. Tahap Pengumpulan Data Pasar Pada tahap ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), berupaya semaksimal mungkin mengumpulkan data pasar yang menyangkut transaksi jual beli yang terjadi atau perkiraan harga jual beli atas obyek pajak dari berbagai sumber data, antara lain : Pemerintah Daerah setempat, penawaran melalui media massa, Notaris/PPAT, developer, dan sebagainya. b. Tahap Analisa Data Pasar dan Penentuan Kerangka Klasifikasi Obyek Pajak. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang menentukan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, data pasar yang telah dikumpulkan tersebut selanjutnya dianalisa untuk menentukan Nilai Indikasi Ratarata, dan kerangka Klasifikasi Obyek Pajak yang ada di setiap kelurahan. c. Tahap Penentuan Nilai Indikasi Rata-rata di Lapangan. Atas dasar nilai indikasi rata-rata dan kerangka klasifikasi obyek pajak yang disusun tersebut di atas, selanjutnya diadakan kegiatan penentuan nilai indikasi rata-rata atas seluruh obyek pajak (dalam hal ini bumi) yang ada di setiap kelurahan/kecamatan. d. Tahap Legalisasi Nilai Jual Obyek Pajak NJOP yang telah ditentukan atas dasar Nilai Indikasi Rata-rata dan kerangka Klasifikasi Obyek Pajak tersebut, dikukuhkan dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak atas usulan dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang bersangkutan.
40
Aji Kusuma,“Mekanisme penetapan NJOP” 22 April 2008, www.pajak.go.id. Terakhir kali diakses pada tanggal 30Agustus 2009
Universitas Sumatera Utara
49 Dari mekanisme penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak, secara implisit sebenarnya telah memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994. Namun secara eksplisit dalam hal ini mekanisme yang diatur secara limitatif khususnya menyangkut pemberian pertimbangan Gubernur tersebut belum diatur lebih lanjut. Hal inilah yang sering menimbulkan kesimpangsiuran dan silang pendapat dalam menafsirkan pernyataan tersebut di atas. Dalam hal ini asas self assessmentnya belum sepenuhnya bisa diterapkan.
E. Analisis Langkah-langkah yang Dapat Ditangani. Untuk mengatasi permasalahan yang timbul sehubungan dengan penetapan NJOP dalam PBB perlu kiranya diambil langkah-langkah sebagai berikut 41 : Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah, penentuan suatu nilai (Obyek Pajak) khususnya bumi/tanah untuk berbagai kepentingan. Dalam hal ini pemerintah diharapkan dapat menentukan satu nilai yang dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan yang secara formal mempunyai kekuatan mengikat secara hukum baik keluar maupun ke dalam. Artinya, baik masyarakat, pihak swasta, pemerintah dalam hal melaksanakan transaksi jual beli, maupun perbuatan hukum lainnya yang berhubungan dengan penentuan nilai suatu harta (Obyek Pajak) agar berpedoman kepada nilai tersebut (Objek Pajak). Namun apabila terjadi transaksi di atas dari nilai yang telah ditetapkan maka atas kelebihan transaksi tersebut dimungkinkan dikenakan pajak tertentu. Langkah kedua, apabila hal tersebut diatas telah melembaga di tengah-tengah
41
Andri Simanjuntak, “Solusi untuk mengatasi permasalahan penetapan NJOP dalam PBB” 25 April 2005, www.ortax.com, terakhir kali diakses pada tanggal 10 September 2009
Universitas Sumatera Utara
50 masyarakat, secara bertahap penentuan NJOP dapat sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat/wajib pajak sesuai mekanisme pasar, dengan konsekuensi sebagaimana yang dikemukakan di atas. Secara bertahap maksudnya, atas obyek-obyek pajak yang ternilai tinggi/mempunyai kriteria atau karakteristik tertentu NJOP-nya dapat ditentukan secara individual oleh wajib pajak yang bersangkutan (bisa dengan mempergunakan jasa penilai), sedangkan obyek pajak lainnya nilai jualnya masih ditentukan secara masal oleh pemerintah. Langkah ketiga, membuat perangkat peraturan yang secara tegas mengatur tentang kewajiban para pejabat yang dalam tugasnya berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan obyek pajak, dan sanksi yang dapat diterapkan. Apabila pejabat di maksud tidak memberikan laporan yang sebenarnya. Seperti yang di maksud dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pada Pasal 21 yang berbunyi : Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak, wajib : a. Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan obyek pajak secara tertulis kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak. b. Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Dirjen Pajak. Menurut penjelasan Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak adalah : Camat sebagai pejabat pembuat akta tanah, notaris pembuat akta tanah, dan pejabat pembuat akta tanah. Sedangkan laporan tertulis tentang mutasi obyek pajak misalnya antara lain jual beli, hibah, warisan harus disampaikan kepada Dirjen Pajak yang
Universitas Sumatera Utara
51 wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak. Mekanisme dan enforcement di atas dimaksudkan agar pejabat yang dimaksudkan di atas ikut juga menjaga kondisi yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam penetapan NJOP.
Universitas Sumatera Utara