BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PERFILMAN IRAN DAN FILM IRAN BERPERSPEKTIF PEREMPUAN
2.1 Perfilman Iran Prarevolusi Jalan panjang perfilman Iran memang bukan tanpa rintangan, sejak dijadikan alat dokumentasi pemerintahan kerajaan Qajar beserta kehidupan privasi keluarganya, Iran terus memproduksi film-film baik fiksi maupun dokumenter tentang kondisi sosial budaya masyarakatnya, atau mengisahkan pemimpinpemimpin negara mereka. Periode 1960an, di masa kepemimpinan Shah Reza Pahlevi, ketika Amerika Serikat mulai mempropagandakan aksi menentang komunis di negara-negara Islam dan Arab, Iran tidak ketinggalan memproduksi film-film bertema liberal dan mengusung nilai-nilai Barat secara besar-besaran. Kendali pemerintah atas industri perfilman makin memperkuat citra Iran yang pro-Barat. Pada saat itu, pemerintahan Shah merupakan sekutu dekat Amerika Serikat di Timur Tengah. Pemerintah mengontrol sepenuhnya industri film, sehingga kemudian terjadi percampuran dua sektor film, swasta dan film yang disubsidi pemerintah. 1 Tidak seperti negara lain di dunia ketiga, film dijadikan sebagai komoditas komersial yang dapat dipasarkan dan dipakai sebagai media hiburan massal, 2 perfilman Iran hanya berputar pada lingkungan istana dan keluarga kerajaan. Sinematografi hanya dipertunjukkan pada saat-saat tertentu seperti pernikahan atau khitanan atau acara-acara kerajaan pada masa dinasti Qajar, yang biasanya ditampilkan yaitu film komedi pendek yang diimport dari Prancis dan Russia. 3 Shah Reza, penguasa pertama dari dinasti Pahlevi, mulai berkuasa di Iran pada tahun 1920-an. Meskipun tertarik pada modernisasi dan teknologi, ia belum mengerti bagaimana pentingnya industri film. Satu-satunya kontribusi Shah pada perfilman ialah ketika menganugerahkan penghargaan kepada Mo’tazedi berupa 1
Hamid, Naficy, “Iranian Cinema Under Islamic Republic” dalam American Antropologist Vol. 97. No.3. 1995, (www.jstor.org/stable/683274. Diakses terakhir pada 28 Januari 2009 Pukul 15:01 BBWI) hal.548 2 Roy Armes, Third World Film Making and the West, (Berkeley: University of California Press. 1987) hal. 55 3 Hamid Reza Sadr, Iranian Cinema: A Political History, (London: I.B. Tauris. 2006) hal. 14
Universitas Indonesia
500 toman atas jasanya merekam dokumentasi pada saat Shah dinobatkan sebagai raja. Pemahaman Shah Reza terhadap peradaban dan modernitas membawa banyak nilai-nilai Barat ke dalam masyarakat Iran. Misalnya, ia melarang penggunaan cadar di kalangan perempuan. Ia menerapkan cara berpakaian a la Barat untuk pria-pria Iran. Di tahun 1970 perfilman Iran memasuki tahap kedewasaannya. Institut Seni Drama, yang didirikan pada tahun 1963, menghasilkan lulusan angkatan pertamanya di awal dekade ini. Banyak film-film progresif yang dihasilkan oleh mereka. Dekade 1970-an merupakan dekade istimewa bagi perfilman Iran. Dekade
ini
juga
memperlihatkan
tingginya
kepercayaan
Shah
dalam
keberhasilannya di bidang sosial dan politik. Karena kondisi yang mulai stabil tidak dapat disangkal lagi, maka rezim Shah mengizinkan dibuatnya film-film dengan tema kritik sosial. Lingkungan budaya, politik, dan ekonomi yang baru dari pertengahan 1960-an hingga akhir 1970-an menciptakan perfilman nasional yang unik dan khas yang menunjukkan akar perspektif orang Iran terhadap seni, sastra, dan budaya. Film-film yang bertendensi komersial di 1970-an bertemu dengan bentukbentuk inovatif dari pembuatan film. Film-film selanjutnya merupakan balasan berupa film politik yang mengembangkan bahasa simboliknya dalam kaitannya dengan sejarah panjang sensor film. Perfilman dunia ketiga ini berbeda dibanding film-film dunia ketiga yang diproduksi di Amerika Latin, Afrika atau negaranegara berkembang mana pun, karena konteks sosial-historis yang berbeda pula. Beberapa pembuat film dari periode ini terpaksa meninggalkan Iran karena keadaan politik dan budaya yang baru. Mereka yang bertahan harus berani menantang gaya baru dalam seni dan budaya dengan pertimbangan-pertimbangan agama dan moral penguasa baru setelah revolusi Islam meletus.
2.2 Perfilman Iran Pascarevolusi Sistem politik dan hukum Iran yang selalu berubah dari waktu ke waktu dan situasi ekonomi yang memburuk ditambah dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintahan Shah Reza Pahlevi, bukan hanya mendesak reformasi total pada birokrasi pemerintah namun juga mendorong terjadinya
Universitas Indonesia
revolusi. Akhirnya pada Februari 1979, meletuslah revolusi Islam yang digawangi Khomeini yang secara total meruntuhkan kebijakan-kebijakan yang timpang dari rezim Pahlevi. Iran tumbuh menjadi negara yang memadukan sistem demokrasi sekaligus teokrasi pertama di dunia dan semakin memantapkannya sebagai negara penganut Islam Syiah terbesar. Sistem politik di Iran dipengaruhi apa yang sedang terjadi di dalam lingkungan-lingkungannya. Hal ini diperjelas di dalam undangundang Republik Islam Iran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada ditangan Imam sesuai dengan ajaran mazhab Syiah yang menerapkan prinsip Imamah (keimaman) sebagai salah satu ajaran utamanya. 4 Regulasi yang dibuat pemerintah Republik Islam pun dengan segera ditetapkan berlandaskan hukum syariah dan menghapus peraturanperaturan sekuler rezim Shah. Tidak terkecuali peraturan perfilman. Ketika revolusi Islam yang terjadi pada tahun 1978-1979 melengserkan rezim Shah Reza dan menggantikannya dengan rezim Republik Islam, hampir terjadi penghentian industri film lokal. Semangat antisinema pun mulai menjalar di Iran. Pemerintah Republik Islam menganggap film dapat merusak moral bangsa karena berasal dari budaya Barat. Selain itu, film dianggap sebagai salah satu alat ideologi Barat dengan rezim Pahlevi (1925-1979) yang dibuat dalam bentuk media dan industri hiburan. 5 Gaya hidup kapitalis ditandai dengan dibangunnya bioskop-bioskop komersil. Hingga akhirnya revolusi Islam meletus di tahun 1979 yang di dua tahun pertamanya pemerintah Republik Islam memerintahkan untuk membakar gedung-gedung bioskop. Mullah mengangggap bioskop-bioskop sebagai tanda kemusyrikan dan menyaingi keberadaan masjid. Kontrol lebih ketat diberlakukan terhadap film-film yang diproduksi di dalam negeri. Film-film asing dilarang didistribusikan di dalam negeri dan otomatis tidak ditayangkan. Sebenarnya, Ayatollah Rohulla Khomeini pun mendukung keberadaan perfilman asal tidak disalahgunakan. Menurutnya film adalah penemuan modern yang seharusnya digunakan untuk mendidik masyarakat, bukan sebaliknya, merusak generasi muda 4
Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran: Puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi dan Fenomena Khatami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 77-81. 5 Sadr.Op.cit. hal.131
Universitas Indonesia
Iran. 6 Film-film Iran diproduksi dengan tidak melupakan nilai-nilai tradisi dan kental akan budaya Islam, bukan mengandung nilai-nilai yang diusung Barat. Meskipun pembersihan dari pemerintah melibatkan perubahan ideologikal dan kultural dalam film, namun tidak sepenuhnya menghapus produksi film anak negeri. Kecuali berkaitan dengan sensor ketat pemerintah, yang setidaknya membatasi jumlah film yang akan tayang. Menteri Budaya dan Pedoman Islam pada tahun 1982 membuat satu regulasi yang disetujui oleh kabinet mengenai pengawasan terhadap industri film nasional. 7 Pemusatan kebijakan tersebut yaitu semua film yang akan diputar harus melalui proses penyuntingan dari pemerintah dengan tahap-tahap: tinjauan sinopsis oleh kementerian, pengeluaran izin produksi, meninjau keseluruhan film, dan mengizinkan film untuk diputar. Regulasi pemerintah seperti ini mulai diterapkan ketika film Bahram Baizai Marg-e Yazdgerd (Death of Yazdgerd, 1980), dan Cherikeh-ye Tara (The Ballad of Tara, 1981) dilarang diputar. Nasib sama dialami oleh Mohsen Makhmalbaf dengan dua filmnya, Shabha-ye Zayandehrud (Zayandehrud’s Night, 1991) dan Nowbat-e Asheqi (A Time to Love, 1991) ikut ditarik sebelum diputar di pasaran. 8 Khomeini sendiri akhirnya memanfaatkan instrumen-instrumen seperti film sebagai media propaganda melawan budaya Barat dan menjaga budaya Islam. Semenjak periode transisi dan instabilitas sosial terjadi, tampaknya terjadi suatu kecenderungan bagi para sineas nasional untuk menghasilkan sebuah gaya perfilman baru. Arah baru sinematik ini sepertinya dalam beberapa waktu dinilai oleh pemerhati film internasional, terutama Barat, sebagai bagian dari tradisi Islam Syiah yang antimodern. Hasil reportase di media negara-negara Barat mengatakan bahwa perlakuan pemerintah terhadap pekerja seni pertunjukan dan hiburan di Iran tidaklah manusiawi dan teraniaya, serta sensor yang keras terhadap kreatifitas anak negeri semakin memperkuat adanya intoleransi terhadap mereka. 9 Meskipun demikian, perfilman baru yang perlahan muncul di Iran menciptakan suatu industri dan sistem yang baru pula. Yaitu perfilman nasional yang kini memiliki struktur finansial sendiri; nilai-nilai ideologikal, tematik, dan produksi 6
Ibid.
7
Ibid. hal.156 Naficy, Op.cit. hal. 548-558 9 Ibid. 8
Universitas Indonesia
yang khas. Yang harus ditekankan saat ini adalah bahwa film Iran kini bukanlah sinema propagandistik yang didukung oleh ideologi yang sedang berkuasa. Bahkan, kedua belah pihak, pemerintah dan sineas nasional saling bekerjasama. Para sineas posrevolusioner menilai bahwa film Iran pascarevolusi lebih menekankan pada plot, tema, karakterisasi, hubungan antar manusia, dan pencitraan perempuan. Kualitas film, di sisi lain, memakai nilai-nilai tersebut dan menciptakan kritik atas kondisi sosial selama pemerintah Republik Islam berkuasa. Pada awal masa revolusi, pemerintah memang berusaha keras untuk membuat film yang Islami, yang bisa diarahkan lewat cara yang benar. Namun di saat yang sama, gaya lain dalam ‘mengarahkan’ film juga dihasilkan. Beberapa pembuat film mengatur cara untuk menciptakan bahasa yang dapat melewati batas aman sensor pemerintah. Film-film yang diinspirasi dari kejadian sehari-hari atau dari puisi-puisi Persia, diformulasikan baik melalui film dokumenter atau fiksi. Walaupun terkesan bermain aman, namun kesegaran dan kemurnian film-film tersebut dapat menyentuh perasaan masyarakat pemerhati film. Perang Teluk dengan Irak yang terjadi selama delapan tahun, membuat 56 film yang diproduksi, hampir sepertiganya difokuskan pada tema-tema perkelahian dan operasi militer, sementara sisanya mengkonsentrasikan diri pada pengaruh perang dalam kondisi sosial dan psikologis masyarakat. 10 Arusi-ye Khuban (Marriage of the Blessed) dan Bashu: The Little Stranger merupakan film-film dengan gayanya yang kompleks bukan hanya memasukkan unsur ketegangan dari masyarakat di saat perang, tetapi juga memberi kritik tajam terhadapnya. Bersamaan dengan ideologi pemerintah yang berpihak pada kaum yang tertekan, film-film Iran banyak berkonsentrasi pada tema masyarakat kelas bawah, misalnya dalam film The Peddler, dan Off the Limit yang menunjukkan bahwa kaum miskin dapat ditunjukkan memiliki moralcenter yang dapat membimbing mereka mencari keadilan. Otoritarianisme dan kontrol kekuasaan yang dapat melakukan
segalanya
menjadi
isu
utama
dari
banyaknya
film-film
pascarevolusioner. Perempuan dan representasi mereka di dalam film menjadi 10
Sadr, Op.cit. hal.167
Universitas Indonesia
bahan perdebatan utama, menyebabkan para pembuat film seketika setelah revolusi terjadi tidak mau melibatkan perempuan dalam film untuk menghindari kontoversi. Bagaimanapun, sejak pertengahan 1980-an, representasi perempuan dalam film perlahan menghilang baik dari belakang layar, maupun sebagai karakter dominan di film. Melodrama keluarga telah menjadi tema populer walaupun peraturan pemakaian hijab tetap menciptakan ambiguitas dalam proses perfilman atas perlakuan dan pencitraan perempuan. Untuk beberapa lama, para sineas memilih untuk memakai sedikit pemeran perempuan dan menampilkannya tidak dalam waktu lama. Ketika perempuan dimainkan, mereka kebingungan jika perempuan disettingkan di dalam rumah, yang merupakan (menurut ideologi) domain aman perempuan. Peraturan hijab mengharuskan aktris menutup rambutnya baik itu dengan
menggunakan
selendang
atau
syal,
rambut
palsu,
atau
topi.
Ketidakleluasaan seperti ini, yang perlahan berkurang, membuat interaksi dengan lawan main menjadi terbatas, dan akhirnya menghasilkan rekonfigurasi gender. 11 Jika perempuan mendapat kesulitan dalam menampilkan diri di depan kamera, tampaknya mereka tidak banyak mendapat masalah dengan belajar di sekolah film atau bekerja di belakang kamera sebagai sutradara. Di sub bab berikutnya, penulis menjelaskan film-film yang dihasilkan oleh sineas-sineas perempuan dan yang terhitung film-film berperspektif perempuan.
2.3 Film-film Iran Berperspektif Perempuan Pada masa rezim Shah Reza Pahlevi, yang menuntun Iran menuju modernitas, kebijakan penggunaan hijab oleh penguasa Dinasti Qajar perlahan dihapus. Di penghujung masa kepemimpinannya di tahun 1942, Shah Reza membuat peraturan baru bagi perempuan-perempuan Iran untuk tidak memakai hijab di lingkungan publik. Sebuah kebijakan liberalis yang sama sekali tidak berjalan mulus bagi kaum konservatif dan tradisional yang merupakan mayoritas di Iran.
11
Shahla Lahiji, “Chaste Dolls and Unchaste Dolls: Women in Iranian Cinema since 1979,” dalam R.Tapper (ed.) The New Iranian Cinema, (London: IB Tauris, 2002) hal. 215
Universitas Indonesia
Politik penggunaan hijab bagaimanapun telah menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung usai dari masa transisi rezim Shah Mohammad Reza Pahlevi ke masa pemerintahan Republik Islam, atau di antara kaum sekuler dan agamis. Maka ketika kebijakan pembebasan perempuan dari hijab diterapkan pada masa rezim Pahlevi yang mengusung modernitas, muncul pergerakan baru yang dimotori kaum perempuan, sebagaimana yang terjadi ketika kewajiban penggunaan hijab bagi perempuan di masa pemerintahan Khomeini di bawah hukum Islam terjadi. 12 Sesungguhnya hak untuk berekspresi di ruang publik dan berpartisipasi dalam proses berpolitik merupakan intisari perjuangan pergerakan perempuan Iran yang sudah berlangsung lama. Di balik persoalan budaya dan konstitusi yang selama ini dianggap membatasi kebebasan perempuan, perjuangan hak-hak perempuan Iran sendiri bergantung pada kemampuan mereka bernegosiasi pada penguasa, pembuat peraturan, termasuk hak-hak mereka dalam berbusana. Meskipun usungan hak-hak kesetaraan itu ditujukan baik untuk laki-laki dan perempuan, namun hanya sedikit yang memilih menggunakannya. Di dalam masyarakat pada kenyataannya arus westernisasi yang datang memberi alasan bagi kaum patriarki 13 tradisional dan relijius untuk ‘melindungi’ perempuanperempuan Iran atas ancaman moralitas dari kaum urban. Patriarki di negara Iran sesungguhnya tidaklah berbeda secara fundamental dengan istilah yang sama yang digunakan masyarakat non Islam, namun dogma relijius merupakan satu hal yang menantang kaum perempuan Iran dalam rangka memperjuangkan hak-hak kesetaraan mereka. Salah satu cara untuk melindungi para perempuan Iran bagi kaum patriarki di Iran adalah dengan mewajibkan istri, anak perempuan, dan saudara perempuan mereka untuk tidak berkeliaran di muka umum tanpa menggunakan hijab. 12
Sandra Mackey, The Iranians: Persia, Islam, and the Soul of the Nation, (New York: Penguin Books, 1998) hal. 180 13 Melani Budianta dalam tulisannya “Pendekatan Feminis terhadap Wacana” dalam Analisis Wacana, dari Linguistik sampai Dekonstruksi” (Yogyakarta: Penerbit Kanal, 2002), hal.207 menjelaskan bahwa: Patriarki adalah sebutan terhadap sistem yang sudah melalui tatanan sosial politik dan ekonominya memberikan prioritas dan kekuasaan terhadap laki-laki. Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, dengan kasat mata maupun tersamar, laki-laki melakukan penindasan atau subordinasi terhadap perempuan.
Universitas Indonesia
Tantangan untuk menempatkan kembali kesetaraan gender kini ada dalam setiap aspek kehidupan di Iran, baik itu dalam kehidupan domestik atau publik; pragmatis atau ideologis; akademik maupun estetik. Simbiosis antara identitas tradisional dengan hal-hal yang baru diterjemahkan melalui representasi budaya dan seni. Instrumen demikian telah dijadikan pembuktian eksistensi sosial dan politik oleh para budayawan dan seniman. Model produksi budaya yang berupa bentuk kreatifitas dialektikal, perpaduan antara kultur tradisional dengan rasa modernisme, inilah yang memberikan definisi baru bagi identitas nasional, kultural, bahkan gender. 14 Dari sejumlah bentuk representasi budaya, penulis memfokuskan penelitian pada film, karena film dianggap sebagai salah satu satu wadah ‘advokasi’ perempuan Iran dan sebagai media yang menyuarakan aspirasi pihak-pihak yang dianggap minoritas, terlepas dari batasan agama dan pemerintah yang dipercaya dapat menghalangi gerakan hak-hak perempuan itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, perfilman Iran telah menjadi simbol dari perkembangan budaya, sosial dan politik di Iran. Para pembuat film Iran telah mengembangkan
gaya
naratif
yang
bersifat
non-konfrontasi
untuk
mengekspresikan suara mereka, meskipun masih diawasi pemerintah melalui lembaga sensor. Karya-karya sutradara kawakan seperti Kiarostami atau Makhmalbaf, dapat dikatakan telah membantu perfilman Iran yang oleh dunia internasional diklaim mewakili apa yang disebut sebagai sinema 90-an, film-film yang diakui secara posisi artistik dapat merepresentasikan film yang berjaya di periode tersebut. Tidak kalah kencangnya dengan suara para pembuat film pria, perempuan-perempuan pembuat film Iran pun termasuk di antara mereka yang aktif mengekspresikan pandangan mereka melalui dunia perfilman profesional. Partisipasi dan karya-karya yang dibuahkan oleh sineas perempuan ini mendapat antusiasme positif dari publik, bukan hanya karena mencitrakan perempuanperempuan Iran melainkan juga lelaki-lelakinya menjadi lebih realistis, bukan artifisial. Semenjak industri film Iran bergulir pada awal abad 20, masyarakat menyambut positif sebuah seni pertunjukan baru yang bukan hanya menawarkan unsur hiburan untuk masuk dalam kehidupan masyarakat, namun juga media baru 14
Naficy. Op.cit. hal. 548-558
Universitas Indonesia
yang mencerminkan kehidupan masyarakat Iran sendiri. Tentu saja berbagai macam tema diusung oleh para pembuat film semata demi memanjakan penikmatnya, namun seperti yang dijabarkan pada awal bab ini, keterlibatan pemerintah Iran dari masa ke masa tetap menjadi syarat yang menentukan kemana industri film Iran berjalan. Sejarah menunjukkan bahwa keberlangsungan perfilman Iran baik sebelum maupun setelah revolusi Islam, adalah gambaran nyata dinamika sosial dan politik yang terjadi di Iran. 15 Berkaitan dengan pendekatan penulis dalam penelitian ini, yaitu yang berhubungan dengan isu politik tentang representasi perempuan dalam film, latar belakang produksi, serta bagaimana film tersebut diterima oleh penonton, dan sebelum pembahasan lebih lanjut pada bab berikutnya tentang salah satu film yang dapat merepresentasikan alasan diatas, penulis membagi secara kronologis perjalanan panjang perfilman Iran, terutama yang berkaitan dengan perempuan pada masa sebelum revolusi Islam bergulir dan pascarevolusi Islam.
2.3.1 Masa Prarevolusi Dokhtar-e Lor (The Lor Girl) pada tahun 1933, karya sutradara Abdolhossein Sepanta, merupakan film bicara Persia pertama yang dirilis. 16 Film ini bukan hanya menjadi obyek eksperimen untuk diproduksi sebagai film panjang berbicara pertama dengan genre drama, tetapi juga menjadi film pertama yang menampilkan tokoh utama perempuan dalam film Iran. Dokhtar-e Lor berkisah seputar seorang gadis bernama Golonar, yang hidup sebatang kara dan mencari nafkah dengan menjadi gipsy, menjadi penyanyi dan penari di kedai-kedai teh dan penginapan-penginapan di jalan Lorestan-Khuzistan. Walaupun permasalahan dalam produksi film masih banyak, seperti gaya penceritaan yang kurang dan representasi yang lemah dari realita kehidupan masyarakat Iran pada masa itu, namun kisah kepahlawanan seorang gadis Iran yang hidup independen rupanya dapat menarik perhatian publik kala itu dilihat dari jangka waktu pemutaran di bioskop hingga dua tahun. 17 15
Sadr, Op.cit. hal. 169 Ibid. hal.35 17 Ibid. 16
Universitas Indonesia
Antara tahun 1933 hingga 1937, beberapa film Iran yang lain masih diproduksi di India. Produksi film Iran relatif vakum selama sebelas tahun, setelah akhirnya penggambilan gambar pertama di Iran diizinkan. 18 Film-film yang diproduksi pada sepuluh tahun pertama bergulirnya perfilman Iran, kebanyakan menghadirkan kisah-kisah romantik yang dipadu dengan tendensi moralitas yang kuat. 19 Pada sebagian besar film-film tersebut, karakter-karakter perempuan dimainkan sebagai korban dari amoralitas laki-laki. Perempuan-perempuan ini tidak dihadirkan sebagai contoh dari superioritas moral, meskipun mereka merupakan bentuk advokasi dari tipe sederhana tokoh yang tertindas. Dapat dikatakan mereka hanya dijadikan pelengkap dan penghias kebanyakan film. Tokoh-tokoh utama perempuan tidak banyak yang memiliki kecantikan fisik, dan biasanya dipilih dari pemain-pemain teater maupun penyanyi-penyanyi terkemuka Iran. Mereka biasanya memainkan peran yang jauh lebih muda dari usia mereka sebenarnya. Pada akhirnya memang peran mereka terlihat palsu, miskin ekspresi dan nilai artistik sekaligus artifisial. Pada sebagian film-film tersebut, kekerasan terhadap perempuan juga sering menjadi bagian dari cerita, namun aksi para aktor tetap ditunjukkan lewat cara yang simbolik. 20 Ketika mendiskusikan peran perempuan dalam film-film di masa awal perfilman Iran, yang perlu dicatat adalah karena masih terbatasnya penikmat film pada masa itu, maka mereka, para pemeran perempuan, mengalami kesulitan untuk menarik perhatian penuh masyarakat, dengan begitu peran mereka tergolong netral. Peran perempuan hanya ditampilkan beberapa adegan, itu pun hanya berupa peran yang terpinggirkan, misalnya menjadi penari kabaret atau wanita prostitusi yang kemudian ditolong oleh seorang lelaki jagoan, si pemeran utama. Masa ini menjadi satu periode dalam perfilman Iran yang paling meminggirkan citra perempuan dan jauh dari realitas kehidupan perempuan pada saat itu. Kehidupan, kesengsaraan, dan kebahagiaan dari perempuan normal Iran, baik itu sebagai ibu rumahtangga, petani, buruh pabrik, pelajar, karyawati, ilmuwan, 18
Ibid. hal. 48 Ibid. hal.96 20 Najmeh Khalili Mahani, Women of Iranian Popular Cinema: Projection of Progress, 2006. Offscreen Edisi. 10, (diakses terakhir 24 Maret 2009 pukul 17:20 pada www.offscreen.com)hal. 7 19
Universitas Indonesia
perawat, seniman, penulis, pengacara, hingga pendidik, yang menjadi contoh nyata gambaran perempuan Iran saat itu, tidak memiliki tempat dalam peran-peran yang ditunjukkan lewat film-film Iran. Film-film demikian kosong dari penggambaran perempuan yang sebenarnya, bahkan lelaki yang sebenarnya. Apa yang ditampilkan lewat layar perak sepenuhnya murni fantasi termurah tanpa nilai artistik dan estetik yang seharusnya menjadi esensi sebuah film. Memasuki awal 1960-an, industri film Iran perlahan memasuki babak baru dengan lahirnya generasi baru kreator film. Sejumlah pemuda Iran yang menimba ilmu perfilman di Eropa kembali ke Iran. Produksi film semakin membaik dengan lahirnya film-film yang lebih berkualitas secara teknik maupun dari segi konstruksi ceritanya. Film-film tersebut diikutkan dan diantaranya memenangkan penghargaan di festival-festival film internasional. Sejumlah majalah film nasional ikut berkontribusi dengan membuka diskusi-diskusi mengenai perfilman nasional dan mengajak masyarakat penikmat film dalam negeri untuk terlibat dan menerima perubahan ini. Pada tahun 1968, kedatangan apa yang disebut sebagai produksi film avant garde (gelombang perintis dalam seni) ditandai dengan dirilisnya Gheysar, 21 yang sedikit banyak membawa perubahan pencitraan perempuan ke dalam film. Dengan harapan menarik generasi baru pecinta film Iran serta mendapat aklaimasi dari lingkaran intelektual, sutradara film Gheysar mengarahkan peran perempuan ke batas film yang berteks dominan lelaki. Jadi walaupun ia memiliki cara pandang yang sama seperti sutradara film bertema perempuan yang sudah ada, namun setidaknya ia berusaha untuk melihat dan melakukan pendekatan yang lain dalam mencitrakan perempuan. Setelah dua dekade berjalannya industri film di Iran, kategori film yang berhubungan dengan relasi manusia, yang sebelumnya dipresentasikan secara murah dan komersil, kini menawarkan pada masyarakat konteks manifestasi dari budaya tradisional yang melawan fenomena kultur asing dari luar yang semakin merajarela. 22 Di periode perfilman avant garde, terutama setelah Gheysar dirilis dan film-film yang mengklaim sebagai film avant garde, penampilan-penampilan 21
Iranian movie database dalam http://www.iranactor.com (diakses pada tanggal 11 Maret 2009 pukul 17:33) 22 Sadr, Op.cit. 39
Universitas Indonesia
perempuan ditandai dengan peran yang menunjukkan ketidakberuntungan dan musibah. Misalnya kisah seorang gadis yang lemah dan tidak dapat mempertahankan kehormatan keluarganya. Kemudian peran perempuan separuh baya dalam beberapa film biasanya digambarkan sebagai pedagang obat bius, berasal dari daerah perbatasan, atau cerita tentang istri tuan tanah yang suka menindas orang-orang miskin, atau paradoks antara perempuan inosen dan materialis yang mendamba lelaki-lelaki berkantung tebal. Gheysar dan film-film sejenis digandakan dalam jumlah banyak. Dari sisi komersil, para pembuat film menambah unsur-unsur seks dan nuditas dalam filmfilm mereka, untuk mendapat respon publik yang lebih besar. Kemudian film-film penerus Gheysar yang berorientasi bisnis lebih jauh lagi menilai kapabilitas perempuan hanya lewat tubuh mereka, yang mempresentasikan citra perempuan yang kehilangan kendali dan jati diri. Dalam kisaran waktu sepuluh tahun, lebih dari 400 film bergenre sama diproduksi. Sementara masyarakat semakin kecanduan terhadap film-film absurd dan penuh dengan definisi tidak realistis terhadap perempuan, penilaian masyarakat sebagai penonton film, sepanjang periode ini menganggap perempuan sebagai boneka tak bernilai, atau makhluk yang dilahirkan amoral. Sikap yang juga amoral pada masyarakat bersamaan dengan berubahnya kondisi sosial di Iran di periode berikutnya. Chesme, karya Bahram Beizai, adalah film pertama yang diadaptasi dari judul drama dalam teater. Namun nuansa yang kental teatrikal, tidak mampu menarik minat konsumen film untuk menontonnya. Masih dari sutradara yang sama, Ragbar (The Downpour), juga diangkat dari cerita drama yang menawarkan representasi baru dari kisah klasik mengenai kehidupan dan percintaan orang biasa dalam konteks yang tidak biasa. Ragbar membawa pesan paling realistis dan penting sepanjang sejarah perfilman Iran dalam menilai perempuan, mengenai kisah pertemanan perempuan-perempuan berbeda kelas dengan lelaki-lelaki berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Berkat kontribusi Ragbar dalam menerjemahkan sisi lain perempuan sekaligus menciptakan estetika dalam sebuah film sebenarnya, akhirnya membuahkan hasil maksimal berupa sukses box-office dan memenangkan sejumlah penghargaan film.
Universitas Indonesia
Sukses Ragbar mengantar pada produksi film bertema sejenis. Gharibeh va Meh (The Stranger and The Fog), Kalagh (The Crow), Cherikeh-ye Tara (The Ballad of Tara), dan Marg-e Yazdgerd (Death of Yazdgerd), masih disutradarai oleh Beizai, merupakan sejumlah film yang berdasarkan pada kehidupan perempuan Iran dengan aspek kekuatan feminin dan maternalnya. Sayangnya, film-film tersebut tidak sempat dirilis karena bersamaan dengan meletusnya revolusi Islam sekaligus berbenturan dengan aturan tidak dibolehkannya menampilkan sosok dan wajah perempuan ke dalam film.
2.3.2 Kondisi Perempuan Pada Masa Pemerintahan Shah Kebijakan liberal Shah Reza berdampak besar bagi kelangsungan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Iran. Shah melarang berdirinya lembaga pendidikan agama. Untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalisnya, ia menyatakan perlunya pendidikan yang modern dan teknikal. Imbasnya, sekolahsekolah Islam, Kristen dan agama lainnya dibubarkan atas kebijakan Shah. Semua rakyat Iran, baik pria dan wanita, diwajibkan belajar di sekolah-sekolah nasional. Di akhir kepemimpinannya, hanya terdapat satu bentuk sekolah dasar dan sekolah lanjutan yang tersisa, itupun sekolah sekuler yang menjadi milik negara. 23 Kemudian dengan tetap dilanjutkannya oposisi terhadap kaum agamis, Shah Reza melanjutkan perangnya terhadap cadar. Setelah tahun 1936, gedunggedung bioskop dan pemandian umum ditutup bagi setiap perempuan yang bercadar. Peraturan juga melarang perempuan yang mengenakan hijab untuk menaiki bus dan taksi. Polisi diperintahkan untuk menangkap para perempuan yang tetap mengenakan hijab dan busana Muslim lainnya, jika perlu dilepas pada saat itu juga. Sementara para perempuan elit kelas atas kegirangan dengan diberlakukannya kebijakan liberal tersebut, mayoritas perempuan Iran yang menolak pelarangan hijab lebih suka mengasingkan diri di rumah. Dengan tetap mengabaikan apakah perempuan Iran menerima atau tidak ide modernisasinya baik
secara
emosional
maupun
kultural,
Shah
mengeluarkan
hak-hak
kewarganegaraan dan pendidikan tinggi untuk perempuan yang merupakan setengah populasi penduduk Iran. Seperti biasa, maksud tersendiri Shah adalah 23
Mackey, Op.cit. hal. 179.
Universitas Indonesia
untuk membangun negara modern. Meskipun begitu, penduduk pria tetap memiliki hak eksklusif untuk memilih dan terlibat dalam pemerintahan, mengajukan cerai, dan memiliki hak pengasuhan anak, yang semuanya tidak dimiliki perempuan. 24 Baru pada tahun 1967, para perempuan Iran sedikit diuntungkan dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Keluarga dan Aksi perlindungan Perempuan yang diusung para feminis Iran. Di bawah ketetapan ini, seorang perempuan, dalam keadaan tertentu, dapat mengajukan cerai, menolak suaminya berpoligami, menjamin kesetaraan hak waris, dan memenangkan hak asuh anak. Undang-undang ini juga menghapus praktik-praktik Syiah terhadap perkawinan Mut’ah dan melarang pernikahan perempuan di bawah umur, di usia 9 hingga 15. Namun, usaha Shah atas kepentingan hak-hak perempuan ini tidak cukup besar berhubungan dengan kebijakan modernisasi Shah, juga terhadap prinsip-prinsip kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki. 25 Ironisnya, perempuan sendiri terkadang melawan kebebasan mereka. Sebagai contoh, gaji yang diterima perempuan pekerja di Iran tidak pernah mencapai level finansial yang cukup yang dapat memerdekakan, memoderatkan, dan membuat mereka keluar dari desakan keluarga patriarkal. Sebagai konsekuensinya, perempuan yang sebelumnya dinyatakan sebagai tiang produksi dalam negeri yang sama seperti laki-laki, juga dibutuhkan oleh keluarga sebagai fungsionaris tradisionil, yaitu ibu yang merawat anak-anaknya dan ibu rumah tangga yang mengurusi hal-hal domestik pada umumnya. Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, ketika krisis ekonomi bergejolak, para perempuan dari berbagai kelas mempertanyakan kegunaan liberalisasi yang selama ini mereka kerahkan, yang kemudian mendorong mereka untuk melirik usungan baru revolusi berbasis ideologi Islam yang dianggap dapat lebih menjanjikan. 26
2.3.3 Masa Pascarevolusi Pada masa pemerintahan Shah Pahlevi, perempuan dalam film sering digambarkan sebagai tokoh atau pemeran pendukung saja. Pada dasarnya, 24
Ibid. Hal. 182 Ibid. hal. 261 26 Ibid. Hal. 262 25
Universitas Indonesia
perempuan dimanfaatkan secara fisik sebagai penghias cerita. Maka aktris-aktris yang bermain dalam film-film komersil secara tidak resmi diwajibkan untuk berpenampilan menarik, menantang dan menyegarkan penonton, laiknya aktrisaktris Hollywood atau Eropa. Setelah revolusi Islam bergulir, kendala untuk merepresentasikan perempuan sesungguhnya terjadi lagi. Kali ini perempuan dilarang mengumbar tubuhnya dengan mewajibkan penggunaan hijab bagi para aktris yang terlibat dalam film. Di masa awal revolusi, keterlibatan perempuan dalam produksi film malah pernah dilarang sepenuhnya.27 Periode perfilman Iran pada masa pascarevolusi Islam dibagi menjadi tiga kategori: era pascarevolusi dan Perang Teluk (1979-1988), pasca-perang dan masa rekonstruksi (1989-1996), dan era reformasi pada masa kepemimpinan Khatami (1997-2005). Pertumbuhan partisipasi perempuan dalam perfilman Iran diukur dari jumlah perempuan yang bekerja baik di belakang maupun di depan layar, keragaman karakter dalam narasi, dan sukses secara box-office dari film-film yang bertemakan
atau
diperanutamakan
oleh
perempuan.
Perkembangan
ini
menunjukkan bahwa perempuan Iran dapat melangkah lebih jauh dari area privasi menuju lingkungan publik yang lebih besar. Bukan hanya dalam karakter film yang bersifat fiksi, namun juga sebagai partisipasi mereka yang signifikan dalam budaya perfilman praktis. 28 Periode pascarevolusi yang terjadi pada tahun 1979 ditandai dengan masa berakhirnya era monarki, kemudian setahun sesudahnya Perang Teluk meletus yang berakhir di tahun 1988, dan kematian Ayatollah Khomeini di tahun 1989. Pada tahun-tahun pertama revolusi dan selama perang berlangsung, bermunculan sejumlah opini politis dari orang-orang yang dianggap sebagai perlawanan terhadap penguasa Republik Islam. Mereka yang dianggap mengadakan konspirasi anti-revolusi dihabisi dengan dieksekusi mati atau digulingkan ke penjara. Film, tidak luput dari pemberantasan ideologikal tersebut. Dari 2208 film yang akan dirilis antara tahun 1979 hingga 1982, setelah dikaji ulang oleh
27 28
Sadr.Op.cit. hal.166 Naficy, Op.cit. hal. 28
Universitas Indonesia
pemerintah, hanya 252 film saja yang mendapat izin layak putar. 29 Lebih lanjut, bukan hanya telah dipolitisasi, alasan pembenaran moral dilakukan oleh pemerintah atas representasi perempuan dalam film yang mereka anggap tidak pantas. Di bawah peraturan hukum Islam yang berlaku, penampilan terbuka aktris yang berakting dalam film sangat dilarang, berlaku sama seperti interaksi antara perempuan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Agar tetap berada dalam koridor aman Islam, Menteri Budaya dan Pedoman Islam pada masa kepemimpinan Khomeini hampir menyensor habis setiap penampilan perempuan yang ada dalam film. Film-film karya Bahram Baizai dan Dariush Mehrju’i, yang kebanyakan bertema perempuan atau kuat karakter perempuannya, sepenuhnya dilarang beredar di seluruh negeri. 30 Di akhir tahun 1982, sejumlah film yang mengetengahkan tema perang bermunculan. Bersama dengan munculnya film-film dengan plot thriller ini membuktikan
bahwa
produksi
film-film
bertema
serupa
tidak
hanya
menguntungkan secara komersil, namun juga bermanfaat sebagai mesin propaganda. Imbasnya, pemerintah mendukung produksi internal film dengan menaikkan pajak penghasilan film-film import dan mengadakan pemotongan pajak dan asuransi untuk produksi film dalam negeri. Produksi film yang secara cepat naik di pertengahan tahun 1984 merupakan refleksi dukungan dan sokongan pemerintah kepada industri film domestik. 31
Gambar 2.1: Grafik Film yang Diproduksi
29
Ibid. hal. 33 Cherikeh-ye Tara (1979) dan Marg-e Yazdgerd (1980) dilarang beredar. Keduanya disutradarai oleh Bahram Baizai. Kemudian film-film Dariush Mehrjui sering menjadi representasi simbolik atas kekacauan yang terjadi dalam masyarakat Iran. 31 Naficy, Op.cit. hal. 39-40 30
Universitas Indonesia
Dalam masyarakat yang memisahkan perempuan dengan peran profesional mereka di dalam mayarakat itu sendiri, tidaklah diperlukan sebuah proyeksi citra dari seorang perempuan, kecuali jika peran perempuan itu hanya sebatas peran kedua, sebagai pendukung cerita atau peran pembantu. Misalnya, perempuan yang berperan sebagai ibu yang bijak dan tidak banyak dialog, peran sebagai istri penurut, atau hanya penduduk biasa. Bahkan dalam memerankan karakter ibu, saudara perempuan, atau istri, aktris-aktris tersebut tidak dibenarkan untuk memerankan tokoh yang sebagaimana mestinya. Sama tidak realistisnya (antara fiksi dengan kehidupan nyata) dengan peran aktor dalam memerankan karakter suami, adik dan anak laki-laki, yang sejatinya bukan mahram mereka. Kemudian karakter seorang istri, tubuh sang aktris harus sepenuhnya tertutup dari kepala hingga kaki, walaupun dalam plot ada interaksi dengan karakter si suami. Ironisnya, pemerintah pun melarang kontak apapun antara aktor dengan aktris. Karena satu ‘pandangan’ saja antara aktor dan aktris dilarang, maka sebuah film romantis yang pertama kali dibuat di masa revolusi, Golhaye Davoudi (1984) karya Rasoul Sadr Ameli, menggambarkan kisah cinta antara dua orang buta. Walaupun industri perfilman yang disokong oleh pemerintah sengaja diproduksi sebagai media propaganda, prospek komersial film-film tersebut mendorong dibukanya kembali lapangan akting untuk aktor perempuan. Sebelumnya karena peran yang mereka mainkan bukanlah peran yang ‘Islamis’, kebanyakan dari mereka meninggalkan Iran karena dilarang bekerja atau terlibat dalam aktifitas perfilman apapun saat revolusi berlangsung. Bahkan proses pembersihan lembaga pemerintahan (paksazi) dari karyawan, guru, dokter, pengacara, insinyur, akuntan, dan manajer yang kebanyakan adalah perempuan, yang dianggap tidak memenuhi syarat pembentukan pemerintah Islam yang ideal, telah membuat republik baru ini kehilangan banyak ahli yang banyak berjasa bagi negara. Bagi para aktris, mereka yang telah mendukung liberalisasi sinema pada masa Shah, dianggap sebagai anti-revolusioner. Bagaimanapun, ketika mengingat pengalaman para aktris tersebut dan jasanya pada negara dahulu, baik secara komersial maupun secara ideologikal, industri baru perfliman di masa Republik Islam ini tidak punya pilihan lain selain mengizinkan para aktris tersebut untuk kembali berkontribusi didalamnya.
Universitas Indonesia
Ketika perang berakhir di tahun 1988, dan dengan meninggalnya Ayatollah Khomeini di tahun 1989, serta dimulainya kepemimpinan presiden AliAkbar Hashemi, perfilman Iran menjadi saksi bukan hanya atas meningkatnya jumlah perempuan yang ditampilkan dalam layar perak, namun juga mencatat pertumbuhan aktor perempuan yang menjadi pemeran utama dalam sejumlah film. Berakhirnya perang bukan hanya menandakan meningkatnya representasi perempuan dalam film, tetapi juga menjadi ladang baru bagi sutradara perempuan untuk berkreasi di belakang kamera. Di akhir dasawarsa 1980-an, Pouran Derakhshandeh, Rakhsan Bani-Etemaad, dan Tahimeh Milani, mencetak sukses, baik secara komersial maupun kritikal, sebagai sutradara perempuan yang mampu menciptakan film-film yang mengekspresikan pandangan feminisnya untuk melawan kultur patriarki Iran. Secara umum, film-film dari sutradara-sutradara perempuan ini adalah gambaran nyata adanya aktris-aktris berkualitas yang menjanjikan, kritis sosial feminis, mencatat sukses komersial, dan mendobrak dominasi pria dalam ladang perfilman yang selama ini identik dengan dunia maskulin. Kesuksesan para sutradara perempuan ini merupakan imbas dari terbungkamnya suara feminin dari perfilman Iran. Dengan pandangannya sendiri atas permasalahan perempuan, mereka adalah resonansi komunitas sosial yang selama ini absen di negara mereka sendiri. Keberhasilan komersial sebuah film biasanya ditunjukkan dengan unsur hiburan (entertainment) dari film tersebut, tingkat kontroversi film, atau kombinasi antara keduanya. Meskipun banyak juga film yang tidak lolos sensor dari Kementerian Budaya dan Pedoman Islam, yaitu film-film yang mengandung teks politik yang kuat atau subteks dari kritik sosial, atau film-film yang mendorong batas tabu antara cinta dan seksualitas, tetap saja film-film tersebut dapat menarik penonton dalam jumlah besar. Survey statistik dan kepopuleran film-film yang memiliki peran utama wanita mengindikasikan bahwa dengan mengkombinasikan romantisme dengan kritik feminis, dapat menghasilkan sukses box-office. Apalagi memadukannya dengan unsur komedi atau suspense yang menjamin langgengnya film tersebut di puncak box-office. Memasuki periode 1990-an, film-film yang mengeksplorasi kisah cinta dan hubungan lelaki dan perempuan biasanya tetap bersih dari unsur seksualitas.
Universitas Indonesia
Pada film yang lebih berbobot, cinta dilibatkan dalam pernyataan-pernyataan yang lebih abstrak maupun yang nyata, seperti yang diperlihatkan dalam film Wedding of The Blessed (1990, Makhmalbaf), Hamoun (1991, Mehrjui), dan The Actor (1992, Makhmalbaf). Tetap dengan referensi literatur dan budaya Persia, mereka mendefinisikan cinta secara mistik. Cinta dalam ketiga film tersebut ditunjukkan sebagai simbiosis antara identitas filosofis dan logika intuitif dari sang pemeran pria protagonis kepada perempuan yang dicintainya. Maka, makna cinta di ketiga film tersebut digenderkan. Untuk pria, ini menunjukkan hasrat alami yang dapat membuat pasangan bersatu. Dan hasrat yang hanya mereka ketahui itu disampaikan melalui suatu abstraksi. Baik itu lewat kreatifitas (seperti dalam The Actor), kepercayaan (sebagaimana dalam The Wedding of the Blessed) atau melalui arti penting kehidupan (seperti dalam Hamoun). Bagi perempuan, di sisi lain, cinta diterjemahkan melalui sesuatu yang sedikit gamblang, namun tetap sukar dipahami. Cinta berbicara kepada pengorbanan, pertahanan, kecemburuan, dan perlindungan. Dengan kesuksesan tak terduga lewat Aroos (The Bride) karya Behrooz Afkahmi di tahun 1992, dan kemunculan bintang muda sekaligus aktris atraktif Niki Karimi, perfilman Iran menjadi lebih membumi dan lebih mendalami arti cinta. Karena diizinkannya representasi interaksi dan atraksi yang manusiawi, antara lelaki dan perempuan. Aroos bercerita tentang seorang pria muda yang terpaksa menjalankan bisnis gelap untuk mengumpulkan cukup uang agar dapat menikahi kekasihnya. Dalam perjalanan bulan madu bersama istrinya, ia tanpa sengaja menabrak seorang penduduk desa. Karena ia menolak untuk membantu korban
tersebut,
dan
setelah
melalui
perdebatan
panjang,
sang
istri
meninggalkannya. Terpengaruh oleh kebaikan istrinya dan takut karena ia dapat menghancurkan pernikahannya, ia kembali dengan penuh penyesalan untuk menghadapi konsekuensi perbuatannya dan untuk membayar kesalahannya. Dengan penjualan lebih dari 1,3 juta tiket, Aroos bukan hanya melahirkan standar baru dalam kesuksesan komersial, namun juga memasukkan feminitas sebagai agent for change dari tindakan dan adat sosial. Kemunculan Nargess (1993, Rakhsan Bani-Etemad), dengan beraninya dapat melepaskan perfilman Iran ke dalam gambaran yang sebenarnya akan
Universitas Indonesia
seksualitas. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hamid Dehbashi, Bani-Etemaad merekonstruksi disposisi dan kealamiahan seksualitas. Perselingkuhan antara pencuri muda, Adel, dengan kekasihnya yang lebih tua, Afagh, dinarasikan dengan intensitas gairah kelam yang tinggi. Dan dengan satu hentakan, BaniEtemad menjawab penikmat film kedua generasi, kepada deseksualisasi perempuan dalam perfilman Iran. 32 Afagh (Farimah Farjami) dan Narges (Atefeh Razavi) digambarkan sebagai karekter yang kuat membongkar patriarkikal dimana terdapat peran gender dan hubungannya dengan kekuasaan. Alih-alih mendapat sukses box-office, Nargess sukses sebagai film bertaraf festival, karena memang
Bani-Etemaad
tidak
bermaksud
membuat
film
komersial.
Bagaimanapun, Nargess mendorong batas wacana seksual dengan langkahlangkah dan batas-batas dan membuka pintu untuk gelombang film-film berperspektif perempuan berikutnya di Iran di penghujung 1990-an. Film-film tentang perempuan di periode 1990-an ditampilkan secara fatal, walaupun karakter-karakter di dalamnya diperankan dengan kuat. Gambaran budaya dan ketidaksamaan hukum terhadap perempuan, membawa permasalahan ketidaksetaraan gender dari wacana sastra intelektual ke dalam forum budaya populer seperti film, yang lebih mudah diterima. Representasi tetap perempuan di dalam film-film yang dibuat selama masa pascaperang di era Hashemi (19881996) perlahan mulai meningkat pada platform Khatami yang dibuat berdasarkan perbaikan-perbaikan kultural. Di awal periode kedua kepemimpinannya (20002001), reperesentasi perempuan dalam film melangkah menuju puncak sejarah perfilman Iran. 33
32
Hamid Dehbashi, Close Up: Iranian Cinema, Past, Present, and the Future, (London:Verso, 2001) hal.228. 33 Op.cit.,www.iranactor.com (diakses terakhir pada tanggal 11 Maret 2009, pukul 17:38)
Universitas Indonesia
Gambar 2.2: Jumlah aktris yang tampil dalam berbagai peran dalam film. Dihitung dari jumlah pemain wanita pada tiap film di tiap tahun produksi. 34
Gambar 2.3: Pertumbuhan representasi perempuan dalam film. Berdasarkan rasio kalkulasi jumlah total pemeran perempuan di semua film di tiap tahun produksi. 35
Walaupun keterlibatan regulasi pemerintah yang berbelit-belit dan adanya batasan kultural dan sosial, namun karakter-karakter perempuan dalam film-film yang dibuat di masa reformasi tetap menghasilkan perbedaan signifikan dibanding film-film pendahulunya. Di dalamnya, mereka memperlihatkan perlawanan pragmatis dan konsisten menolak untuk menerima kondisi pengorbanan mereka. Pemberontakan demikian yang melawan identitas yang sudah dikenal, melawan seksualitas yang disangkal, menentang gerakan yang terkungkung, dan menentang kreatifitas yang termarjinalkan, adalah tema umum utama dari perfilman periode ketiga di masa Republik Islam. 36 Data statistik dari pemeran dan sukses komersial memberikan kesan bahwa perfilman di masa ini telah berani mengetengahkan dan mengutamakan isu-isu perempuan. Dari grafik 2.3 menunjukkan selama pertengahan pertama kepemimpinan Khatami pada masa reformasi, kehadiran perempuan dalam film tumbuh hampir tiga kali lipat. Salah satu karya terbesar di masa ini adalah Red (2000, Fereydoun Jeyrani), dibintangi Hediyeh Teherani yang berperan sebagai seorang wanita yang telah habis kesabarannya karena suaminya yang posesif dan takut tidak mencintainya lagi. Ia kemudian meminta untuk bercerai pada suaminya. Karena hukum dan pengadilan menolak gugatan cerainya, dan karena ancaman pembunuhan atas anak perempuannya, dengan pengorbanan secara fisik, 34
Iranian Actor Database, www.iranactor.com (diakses terakhir 11 Maret 2009, pukul 17:38) Ibid. 36 Dehbashi, Op.cit. hal. 214 35
Universitas Indonesia
psikologis dan hukum, ia melawan balik. Dalam Tootia (2000, Iraj Ghaderi), seorang perempuan yang aktif dan cerdas juga diceritakan hampir menggugat cerai suaminya. Namun pilihannya untuk kembali pada pernikahannya tidak diputuskan berdasarkan ekspektasi tradisionil akan perannya sebagai perempuan, tetapi berdasarkan pilihan maternalnya, ketika datang ancaman yang dapat membahayakan nyawa anaknya. Jika tokoh perempuan dalam Red dianggap memberontak melawan tirani domestik patriarki, karakter Mozdeh Shamsai dalam Sag Koshi (Dog Killing, 2002, Bahram Baizai), diceritakan mengambil perlawanan terhadap korupsi sosial masyarakat patriarki. 37 Bukan hanya karakter-karakter ibu dan istri yang bermain dalam gelombang baru sinema feminis Iran, yang mengangkat suara mereka atas ketidaksepakatan aturan patriarki, namun juga karakter-karakter perempuan muda yang mempertanyakan pembatasan tradisionil atas ekspresi keidentitasan mereka. Dalam Dokhtari Ba Kafhshaye Katani (A Girl in Sneakers, 2000, Rasoul SadrAmeli), karakter gadis tomboy mulai dipertunjukkan. Tokoh Tadayee yang dimainkan oleh Pegaah Ahangarani, dikisahkan tertangkap basah bersama pacarnya di taman. Karena berpacaran dianggap ilegal dan menentang aturan Islam, keluarganya memastikan keperawanannya lewat pemeriksaan medis. Ia kemudian kabur dari rumah dan memulai perjalannya dan menyaksikan kebrutalan dan terganggunya subkultur perkotaan dan pulang ke rumahnya dengan perspektif baru tentang tempatnya di masyarakat dan relasinya dengan lelaki. Dalam In Deep Breath (2003, Parviz Shahbazi), Aida (Maryam Palizban) mempertanyakan identitasnya yang disikapi selama masa-masa terakhir pelariannya sebagai seorang gadis yang di luar konvensional. Ia ikut serta pergi mengembara bersama dua lelaki muda kaya untuk lari dari kebosanan. Karakter Aida menjadi labuhan atas tujuan dan aspirasi hidup mereka. 38 Kisah tabu lainnya tentang virginitas, misalnya kehamilan di luar ikatan perkawinan, yang dapat menarik atensi publik terjadi dalam film Shukaran (2001, Behrooz Afkhami), I’m Taraneh, 15 (2003, Rasoul Sadr-Ameli), dan Khakestari (2003, Mehrad Mir-Fallah). Dalam Shukaran, Hedyeh Teherani berperan sebagai 37
www.offscreen.com/biblio/essay/women_of_iran/ (diakses terakhir pada 24 Maret 2009 pukul 17:44) 38 Ibid.
Universitas Indonesia
Sima, perawat yang menjalin affair dengan lelaki kaya yang sudah menikah. Ketika ia mengandung, lelaki tersebut berusaha untuk mengakhiri hubungannya dengan mencari alamat ayah Sima yang seorang pecandu. Ia menuduh Sima sebagai pelacur, dan menolak untuk bertanggungjawab atas kehamilannya dan menuduhnya berusaha untuk memerasnya demi mencarikan uang untuk ayahnya yang pecandu. Meskipun ending film ini berakhir dengan kematian Sima akibat kecelakaan mobil, Shukaran tidak memberikan pandangan negatif atas karakter Sima yang eksentrik. Terlebih, ia dipresentasikan sebagai perempuan cerdas dan karakter yang simpatik yang menjadi korban dari ambisinya. Secara kontras, I’m Taraneh, 15 dan Khakestari berkisah tentang para gadis muda yang tergoda rayuan teman lelaki sebayanya, yang menghamilinya kemudian melarikan diri. Mereka adalah gadis-gadis yang harus menghadapi akibat dari perbuatan skandal mereka, dan harus memikul banyak kesalahan, penghinaan, dan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat. Namun demikian, ketika diberikan kesempatan untuk menikahi ayah yang akan menjadi anak-anaknya, mereka menolak untuk terlibat dalam pernikahan tanpa cinta dan memilih untuk hidup independen dari lelakilelaki yang telah meninggalkan mereka dalam situasi yang paling keras. 39 Jika dipikirkan bahwa pernyataan kebebasan dari kelaliman suami seperti dalam Red, kelaliman sosial dalam Sag Koshi dan tirani intelektual dalam Tootia, memberikan film-film dramatik ini pada happy ending pada mereka. Bagaimanapun, kejamnya kenyataan hidup dari perempuan pemberontak, ibu muda yang single, atau gadis pengembara, adalah jauh berbeda dari gambaran kuat dalam karakter Taraneh, Tadayee, dan Aida. Meskipun begitu, apakah ia terlalu banyak bahasa gaya (seperti dalam Sag Koshi dan Red) atau terbentuk senyata mungkin (seperti dalam I’m Taraneh, 15 dan Deep Breath), alur-alur dalam cerita diatas membuat contoh intersubyektif atas identifikasi diri para remaja yang mengamatinya dalam refleksi sebuah film. Dalam kata lain, emansipasi yang dinarasikan dengan perbuatan-perbuatan para karakter di atas dapat mengejutkan dan membawa penonton untuk mengklaim satu identitas baru bagi perempuan. 39
Iran movie database www.iranactor.com (diakses terakhir pada tanggal 24 Maret 2009 pukul 17:46)
Universitas Indonesia
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pada dalam film-film yang dibuat di tahun-tahun pertama revolusi, kebebasan dan pergerakan fisik perempuan dalam film sesedikit mungkin ditampilkan. Ketika sutradara Bahram Baizai mempertontonkan kemungkinan mobilitas perempuan yang lebih banyak dalam film-filmnya, teritorialisasi feminitas belakangan ini mulai terfasilitasi melalui properti yang nyata. Mobil, telah menjadi kendaraan penting untuk memperlihatkan kehadiran perempuan dalam lingkungan publik. Dalam banyak drama keluarga akhir-akhir ini, mobil menjadi unsur penting yang memberikan gagasan romantis selayaknya cincin berlian dalam drama-drama Hollywood. Misalnya dalam Red (Fereydon Jeyrani), suami yang posesif dan paranoid (Mohamad Reza Forutan) dapat meyakinkan istrinya (Heydeh Teherani) untuk mengakhiri keributan antara mereka dengan membelikan mobil baru yang mahal untuk membuktikan bahwa ia tidak menentang partisipasi istrinya di kegiatan sosial, meskipun ia tetap menentang istrinya untuk bekerja sebagai perawat. Mobil juga dijadikan sebagai instrumen atas pemberontakan. Sebagai contoh, Tahmineh Milani seringkali mempergunakan mobil dalam filmnya sebagai simbol kebebasan perempuan. dalam Two Women (1999, Tahmineh Milani) Fereshteh (Niki Karimi), yang berasal dari keluarga relijius dan tradisionil, mengejutkan temannya Roya (Marila Zare’i) dengan kemampuannya mengendarai mobil ketika mereka melarikan diri dari penguntit berbahaya. Dalam Fifth Reaction (2003, Milani) Fareshteh (Niki Karimi), janda yang baru saja bercerai, ‘mencuri’ kembali anak-anaknya dari rumah mertuanya, dan dengan mobil sahabatnya Taraneh (Marila Zare’i), mereka melalui berbagai aksi bersama membawa anak-anak Fareshteh kembali. Selain menjadi media ekspresi perempuan secara fisik, mobil juga dijadikan tempat pertemuan paling aman, sebuah lokasi yang privat untuk berkenalan dengan dunia di luar batas rumah, kelas, tradisi, atau bahkan hukum sekalipun. Melalui film 10 (2002) Abbas Kiarostami, menjadi pioneer penggunaan adegan tetap dalam mobil sebagai sarana perbincangan dan wawancara
serta
memanfaatkan
pembangunan
karakter
melaluinya.
Ia
menciptakan kasus terumit dari seorang perempuan Iran modern dan paling bebas bergerak. Kiarostami menciptakan karakter pengemudi perempuan yang melewati
Universitas Indonesia
kompleksitas masyarakat dan menjadi akrab dengan paradoks-paradoks dari lingkungannya. Hanya di dalam mobilnya lah, seorang supir taksi perempuan mendapatkan kesempatan untuk berbagi cerita tentang cinta, kehilangan, seks, hasrat, dan kepercayaan dengan karakter-karakter yang tidak biasa seperti pelacur dan peziarah makam. Sebuah ikhtisar dari perfilman populer Iran selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa representasi konflik berbasis gender dalam film telah mendorong industri perfilman Iran selanjutnya kepada sebuah pernyataan besar dari kehidupan perempuan Iran karena sikap pembuat film terhadap perempuan telah menjadi satu kriteria mutakhir untuk mengevaluasi sebuah karya sinematografi. 40 Para sutradara film sendiri semakin sadar akan reaksi dan kritik atas gambaran perempuan yang tidak realistis dan telah disimpangkan sebagai karakter yang penuh belas kasihan, angkuh dan terobsesi. Jadi meskipun suatu film hanya memfokuskan pada satu aspek, dapat penuh akan bias dan prasangka yang dapat mengurangi nilai artistik kritisisme. Citra perempuan yang digambarkan lewat proyeksi di masa kini dapat dibenarkan dengan banyaknya catatan ketidakadilan yang telah diperlakukan terhadap perempuan di masa lalu. 41
3.2.4 Kondisi Perempuan Iran di Bawah Pemerintahan Republik Islam Pada masa awal revolusi (1979-1989), Iran hidup sebagai negara neoSyiah usungan Ayatollah Rohulla Khomeini, sebuah Republik Islam yang prinsip bernegaranya diatur oleh konstitusi berbasis agama dan pemerintahannya terdiri dari pimpinan ulama yang melaksanakan otoritas sebagai elit politik. Dalam terma kultur Iran, teokrasi berusaha untuk membersihkan negara dan masyarakat dari kebobrokan pemerintah terdahulu. Representasi Velayat-e Faqih oleh Khomeini adalah percobaan paling tegas dalam sejarah Iran untuk mempersoalkan aspekaspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat kepada gagasan transendental “pemerintahan tuhan”. Dalam fungsinya, inilah pemerintahan
40
Shahla Lahiji, “Chaste Dolls and Unchaste Dolls: Women in Iranian Cinema since 1979,” dalam R.Tapper (ed.) The New Iranian Cinema, (London: IB Tauris, 2002) hal. 215 41 Ibid. hal. 216
Universitas Indonesia
dengan kader para ulama yang memanipulasi perintah-perintah atas hierarki dan otoritas dalam sistem yang didominasi para penguasa. 42 Dalam euforia revolusi 1979, Islam dianggap sebagai tema besar yang dapat mempersatukan Iran pascarevolusi. Sementara Shah Pahlevi mengusahakan berdirinya Iran sebagai negara yang mengusung nilai-nilai budaya Persia praIslam, Khomeini beserta jajarannya mencoba untuk mengkarakterisasi Iran hanya dalam budaya Islam. Dengan adanya nilai-nilai Islam dalam konstitusi negara teokrasi,
nilai-nilai
tersebut
meliputi
seluruh
kehidupan
berkeluarga,
bermasyarakat dan bernegara di Iran. Melalui hukum dan intimidasi, peraturan pemakaian hijab diwajibkan bagi semua perempuan, baik Muslim maupun nonMuslim. Peraturan ketat tentang segregasi menurut jenis kelamin juga diberlakukan di lingkungan sekolah, pantai, taman, kendaraan umum, dan tempat publik lainnya. Untuk menjamin dilaksanakannya peraturan ini, sejumlah polisi moral Iran yang bertugas menjaga nilai-nilai Islam di masyarakat diturunkan dan diizinkan untuk berpatroli di lingkungan masyarakat. 43 Khomeini juga melakukan penghapusan Aksi Perlindungan Perempuan (FPA) yang tercantum dalam undang-undang perlindungan keluarga tahun 1967. Khomeini menganggap undang-undang ini sebagai permainan pihak asing dan pemerintah untuk mengubah firman Tuhan yang jelas. Salah satu program FPA ditentang keras oleh para ulama pada waktu itu berkaitan dengan perceraian dan pengasuhan anak. Walaupun mendapatkan dukungan dari Asosiasi Pengacara Perempuan, FPA tidak menghapus bagian paling diskriminatif dari hukum Perdata yang diambil langsung dari syariah, misalnya: pelarangan poligami dan nikah mut’ah; tidak memberikan hak-hak setara bagi perempuan dalam perceraian, pengasuhan dan perwalian anak; tidak juga ia menjamin kesetaraan hak bagi perempuan dalam hak waris atau hak-hak mereka untuk bekerja di luar rumah, tindakan-tindakan yang seolah-olah menentang syariah ada di seputar isu-isu tentang status personal perempuan yang paling penting. 44 Pembubaran FPA berdampak negatif bagi perempuan, khususnya kelas bawah.
42
Mackey, Op.Cit.hal. 275-276 Ibid. hal. 335 44 Haideh Moghissi. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. (Yogyakarta: LKiS. 2005) hal. 142 43
Universitas Indonesia
Di Iran, kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik kelompok Islamis dimaksudkan untuk mengkonter gagasan-gagasan feminis dan membungkam para aktivis yang memperjuangkan demokrasi gender, melewati batasan-batasan hukum Islam dan politik Islam. Maksud represifnya sangat jelas sekali. Tetapi, bagi negara-negara lainnya di Timur Tengah dan Afrika Utara, Iran tampaknya memberikan harapan bagi sebuah masyarakat yang didasarkan pada prinsipprinsip moral dan etis Semenanjung Arabia pada abad ke-7. 45
Iran
memperkenalkan pemerintahan fundamentalis Islam pertama yang berkuasa melalui sebuah gerakan revolusioner yang mendapatkan dukungan massa. Di samping itu, dengan berkecamuknya perang sipil serta konflik politik dan militer di Afghanistan dan Sudan, Iran sebaliknya telah menjadi model utama bagi sebuah pemerintahan Islam ‘yang berhasil’. Manipulasi para Islamis terhadap isu-isu gender dan konsep-konsep feminis telah menyebabkan kebingungan bagi banyak para intelektual sekuler, termasuk para feminis Islam sebagai agenda mereka, sebagian menerimanya dengan antusias, tidak sedikit pula yang dengan tegas menolaknya. Ketika ini terjadi, perdebatan tentang isu-isu ini di kalangan feminis sekuler Iran menjadi lebih marak dan hidup dibandingkan di kalangan feminis Timur Tengah lainnya. Tetapi, relevansi persoalan ini tidak hanya terbatas di Iran. Perdebatan ini menempatkan perjuangan ideologis pada landasan di mana kerangka rujukan dasarnya telah ditentukan oleh kelompok fundamentalis; sebuah wilayah yang bertolak belakang dengan kebutuhan, kepentingan, dan ungkapan para akademisi, peneliti dan aktivis feminis sekuler, baik di dalam atau di luar masyarakat Islam. 46 Di Iran sendiri, emansipasi terhadap perempuan sering diasosiasikan dengan Barat. Perempuan Iran modern yang telah terwesternisasi, biasanya wanita-wanita kelas menengah atas, dianggap sudah teracuni oleh budaya Barat (westoxificated), yang merusak identitas budaya bangsa Iran dan menyimpang dari nilai-nilai Islam. Problematika seperti ini yang menyulitkan perempuan-
45 46
Ibid. hal.180 Ibid. hal.181
Universitas Indonesia
perempuan Iran untuk mengasumsikan identitas feminisnya atau bahkan untuk mengkritisi budaya Islam secara praktis. 47 Apakah itu feminis atau humanis, baik itu populer maupun repertoir, baik itu sukses komersil atau sepenuhnya dilarang beredar, perfilman Iran telah mencapai satu keberhasilan dalam menggunakan kesempatan dan mengambil keuntungan dari pencarian paradoksikal Republik Islam menuju modernisme Islam dan menjadi saluran berekspresi bagi generasi yang telah mengalami sebuah revolusi, perang dan reformasi, yang terjadi di tiga dekade ini. 48 Perfilman di Iran ada di antara institusi yang terlelap yang dibangunkan oleh suara-suara dari ‘gender kedua’. Sekalipun begitu, di dalam kehampaan representasi keragaman feminin, suara-suara sineas perempuan, baik itu yang bekerja di belakang maupun di belakang kamera, telah menggemakan terus-menerus kepada publik yang selama ini tertidur. Dari sini, kita melihat pada gambaran kemajuan yang telah dibuat oleh perempuan perfilman Iran, dari kekalahan menuju kebangkitan menuju revolusi. Perkembangan kemajuan ini memperlihatkan kesiapan para penonton untuk sebuah perubahan. Kepada para sineas yang telah mengambil resiko terus didorong untuk membuka imajinasi dan harapan penonton untuk melewati tradisi-tradisi dan pantangan-pantangan. Di bab selanjutnya, penelitian akan difokuskan kepada dua film Iran yang paling merepresentasikan citra perempuan yang baru dalam perfilman Iran selama ini. Perempuan yang sebelumnya digambarkan sebagai the second class person, melalui film 10 dan Persepolis diharapkan mampu memperlihatkan keadaan terbalik dengan memanfaatkan potensi dirinya di tengah keterkungkungan budaya patriarki.
47
M. Tavakoli-Targhi ‘Women of the West Imagined: the Farangi Other and the emergence of the woman question in Iran’ dalam Nickie Charles dan Helen Hitjens (ed). Gender, Ethnicity, and Political Ideologies, (London: Routledge. 1998), hal. 96 48 Lahiji, Op.Cit. hal 217
Universitas Indonesia
BAB III ANALISIS FILM 10 KARYA ABBAS KIAROSTAMI DAN FILM PERSEPOLIS KARYA MARJANE SATRAPI
Untuk mengetahui citra perempuan yang terefleksikan dalam film 10 dan film Persepolis, penulis merujuk pada pembangunan sebuah citra perempuan, apakah tokoh perempuan dicitrakan sebagai obyek penderita atau perempuan sebagai satu individu yang berkuasa yang dapat memanfaatkan potensi dirinya. Dengan ini, penulis dapat mengetahui tokoh perempuan dalam kedua film dikonstruksikan seperti apa. 1 Terlepas dari kemampuan kedua sutradara menerjemahkan citra perempuan dalam film-filmnya, penulis menggolongkan sendiri gambaran yang penulis tangkap ketika menonton kedua film tersebut. Naomi Wolf, seorang feminis yang mengemukakan bahwa perempuan membutuhkan citra baru yang lebih kokoh untuk mengalahkan dominasi budaya patriarki, menyatakan dua pendekatan feminisme, yaitu feminisme kekuasaan dan feminisme korban. Pendapat Naomi Wolf tidak jauh berbeda dengan pandangan feminisme Islam yang menginginkan semua perempuan berjuang untuk menghentikan diskriminasi terhadap kaumnya. Namun feminisme Islam memasukkan unsur agama dalam menentukan rambu-rambu bagi sikap dan perilaku perempuan dan laki-laki. Bagi feminisme Islam, kesetaraan gender tidaklah semata melihat dengan cara bahwa apa yang dilakukan pria juga bisa dilakukan wanita, tetapi kesetaraan gender dikembalikan kepada nilai-nilai agama. Pemikiran ini menganggap bahwa bila wanita dianggap berdosa, dianggap aib dan tidak patut melakukan sesuatu, mengapa pria tidak dianggap berdosa dan boleh melakukan hal yang berdosa bagi perempuan tersebut. Kalau perempuan tidak boleh melakukan hal-hal tertentu, mengapa pria boleh melakukan atau sebaliknya. 1
Kamla Bhasin dalam bukunya Menggugat Budaya Patriarki (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996) hal.14, mengemukakan bahwa: “media adalah alat yang penting di tangan laki-laki untuk menyebarluaskan ideologi gender dan kelas. Dari film dan televisi sampai majalah, koran, radio, penggambaran perempuan sifatnya stereotipikal dan terdistorsi. Pesan-pesan mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan sangat merajalela, khususnya dalam film. Bersama sektor-sektor lain, perempuan sangat ditonjolkan di media secara profesional dan bias-bias dalam pemberitaan, liputan, iklan, dan pesan-pesan masih sangat seksis.”
Universitas Indonesia
Jawaban yang kritis terhadap pertanyaan ini dikaitkan dengan ajaran agama dalam kitab suci, bukan dari penafsiran patriarki terhadap kitab suci tersebut. Berdasarkan pendapat Naomi Wolf, maka salah satu pendekatan feminisme yang digunakan untuk menganalisis citra perempuan dalam penelitian ini adalah pendekatan feminisme kekuasaan dan feminisme korban. Ia menyatakan sebagai berikut: Feminisme Korban melihat perempuan dalam peran sosial seksual yang murni dan mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi atas perempuanperempuan “mulia” ini, sebagai jalan menuntut hak-hak mereka. Yang kedua, Feminisme Kekuasaan, menganggap perempuan sebagai manusia biasa –yang seksual, individual, tak lebih baik dan tidak lebih buruk ketimbang laki-laki yang menjadi mitranya- dan mengklaim hak-haknya atas logika yang sederhana saja: Perempuan memang memiliki hak-hak itu. 2 Wolf menyatakan perlunya membangun citra baru perempuan. Citra yang akan mendorong perempuan ke arah aksi adalah citra yang agresif, keahlian dan tantangan ketimbang pencitraan Feminis Korban. Pergeseran titik ini menuntut perempuan agar memandang diri sebagai orang yang potensial bagi perubahan, dengan banyak sumber daya, bukan lagi sebagai korban-korban. Dengan begitu Wolf lebih menyarakankan pendekatan pada Feminisme Kekuasaan dengan melakukan langkah-langkah praktis yang mempraktekkan toleransi, bukannya pembenaran diri sendiri. Feminis Kekuasaan menurut Wolf: “Menyemangati kita untuk mengidentifikasikan diri satu sama lain terutama melalui keperempuanan yang memiliki sisi kesenangan dan kekuatan yang digenggam bersama-sama, bukannya melalui kebersamaan menanggung derita serta kelemahan”. 3 Dengan pendekatan Feminisme Kekuasaan yang digagas Wolf inilah penelitian dilakukan atas kedua film. Karena kedua film dari Timur Tengah ini bernuansa Islam dan berbudaya Muslim-Iran, maka pemikiran feminisme Islam menjadi dasar pemikiran untuk memaknai film dalam penelitian ini. Sebelumnya, selain karena ketiadaan subtitle dari bahasa Indonesia, penulis
mengutip
dialog
menggunakan
bahasa
Inggris,
dan
tidak
menerjemahkannya ke bahasa Indonesia, walaupun penulis menjelaskan kembali 2 3
Naomi Wolf, Gegar Gender (Yogyakarta: Pustaka Semesta Press. 1997) hal.xxv Ibid. hal. 82
Universitas Indonesia
konteks dialog tersebut di dalam analisis. Bahasa Inggris lebih dipilih dibandingkan dengan bahasa Indonesia, mengingat bahasa Inggris lebih jelas mengungkapkan atau menunjuk kata orang ketiga tunggal. Pembicaraan mengenai konteks sosial dan budaya dalam hal ini terbatas pada apa yang ditampilkan melalui subtitle bahasa Inggris, sebagai teks terjemahan. Pengamatan atas teksteks terjemahan tidak akan berpengaruh pada teks asli. Pembahasan mengarah kepada bagaimana gagasan feminisme Islam menghadapi dominasi budaya patriarki yang muncul dalam film, terutama melalui peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam film dan dari dialog-dialog yang tercipta antara tokoh di dalamnya.
3.1 Analisis Film 10 Sesuai judulnya, film karya Abbas Kiarostami 10 berisi sepuluh perjalanan, sepuluh tujuan, sepuluh dialog, dan sepuluh situasi emosional yang keseluruhan dilakukan di dalam mobil. Penggunaan mobil di dalam film dilakukan untuk menghasilkan makna keintiman yang kuat dan diharapkan dapat menampilkan realitas keseharian yang ditunjukkan tokoh-tokohnya. Demi menghasilkan keintiman dan realitas tersebut maka Kiarostami menggunakan teknik sinematografi yang sedikit ‘menyimpang’ dari film-film fiktif lain, ia menggunakan digital-micro-cinema melalui kamera digital yang diletakkan di dashboard mobil untuk menghasilkan efek dramatis. Secara otomatis, sutradara tidak berperan serta dalam pengambilan gambar film, karena ketidakhadirannya di belakang kamera tergantikan oleh teknik mise-en-scene atau pengambilan gambar hanya dilakukan dua kali secara bergantian di waktu yang sama. Karena teknik sinematografinya, film 10 sering disebut juga sebagai film dokumenter-drama.
3.1.1 Hijab, Tipikal Berbusana Perempuan Muslim-Iran Ada kesamaan mendasar yang ditemui ketika membahas gambaran fisik tokoh-tokoh perempuan baik di film 10 maupun Persepolis. Topik permasalahan dalam kedua film ini adalah penggunaan hijab pada tiap tokoh perempuannya baik pada pemeran utama maupun pemeran pendukung. Kecuali pada tokoh Amin, yang merupakan satu-satunya tokoh pria, sutradara sengaja tidak memberikan
Universitas Indonesia
nama pada semua tokoh yang berperan dalam film 10. Dilihat dari tokoh perempuan yang muncul secara berurutan, tokoh perempuan dalam film 10 yakni: supir taksi (ST) yang merupakan tokoh utama; adik ST, selanjutnya akan diberi keterangan sebagai Penumpang 1 (P1); peziarah tua atau Penumpang 2 (P2); pelacur atau Penumpang 3 (P3); perempuan muda I atau Penumpang 4 (P4); dan perempuan muda II atau Penumpang 5 (P5). ST, tokoh protagonis dalam film ini, adalah seorang ibu berusia 30-an yang bekerja sebagai supir taksi di Teheran. Kiarostami menggambarkan tokoh ST sebagai perempuan urban kelas menengah yang atraktif. Penampilan fisiknya, memberikan gambaran bahwa ia merupakan karakter yang bebas
dengan
pemakaian kerudung yang tidak sepenuhnya menutupi rambut dan leher, pakaian bermerek a la Eropa, serta kacamata hitam yang ia gunakan selagi menyusuri jalanan Teheran. Dengan dalih kesopanan dan menaati peraturan tentang penggunaan hijab, ST tetap menyematkan selembar selendang untuk menutupi kepalanya. Cara berpakaiannya sedikit banyak menggambarkan kehidupan perempuan Iran yang hidup dalam lingkungan masyarakat paradoksial antara modernisasi dan teokrasi. Tokoh perempuan lain adalah adik ST atau P1 yang muncul di menit ke18. Penampilannya memang tidak ‘seterbuka’ ST, dengan baju terusan lengan panjangnya dan hijab yang menutupi dada. Namun selagi menunggu kakaknya mengambil kue tart di toko, di mobil ia kerap kali membuka setengah kerudungnya dan mengipas-ngipas sebagian lehernya sehingga dapat terlihat oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitar jalan. Penampilan fisik ST dan P1 juga dapat dibedakan menurut profesi dan aktivitas keseharian mereka berdua. P1 adalah seorang guru, yang diharuskan berpenampilan formal dan sopan sekaligus juga seorang ibu beranak satu. Sedangkan ST adalah perempuan yang telah bercerai dan dibebaskan oleh suami barunya untuk bekerja sebagai pengemudi taksi. ST juga mempunyai seorang anak lelaki yang tinggal bersamanya. Cara berpakaian ST terlihat lebih bebas dibandingkan P1 karena lingkungan keluarga dan profesinya sendiri yang mengizinkan ia berekspresi lebih leluasa. Tokoh perempuan selanjutnya adalah P2 yang merupakan peziarah perempuan tua. Diceritakan peziarah tua ini menumpang mobil ST untuk
Universitas Indonesia
berziarah ke makam Imam Ali sekaligus menunjukkan kepadanya jalan pulang saat ST tersesat setelah mengantarkan P1. P2 mengenakan hijab sebatas dada dan membawa sejuntai tasbih, yang menurutnya merupakan hartanya yang paling berharga. Walau hanya muncul dalam satu adegan, kesan yang ia timbulkan cukup kuat sebagai perempuan tua yang relijius, rendah hati, dan bersahabat. Perlu diketahui bahwa dalam adegan ini, angle kamera tidak mengambil penuh gambar tokoh peziarah, kecuali saat pertama kali ia meminta tumpangan kepada ST dan ketika ia turun dari mobil. Sehingga hanya suaranya saja yang terdengar, bukan profil keseluruhan. Walaupun P2 hanya muncul pada awal dan akhir adegan, namun penampilan fisiknya seketika berubah yang dapat dilihat dari pakaian yang ia gunakan di awal dan akhir adegan. Di awal, ketika ia berbicara dengan ST lewat jendela mobil, ia hanya menggunakan kerudung bermotif sebatas dada. Namun ketika ia turun dari mobil, P2 sudah mengenakan cadar hitam panjang beserta jubahnya sebatas mata kaki. Ia pun menawari ST untuk ikut berziarah, namun ST menolak dengan dalih tidak membawa cadar, maka kita dapat mengetahui bahwa pemakaian cadar diwajibkan bagi peziarah perempuan di Iran.
Gambar 3.1: Film 10, adegan 9 mnt. 00:12
Di adegan selanjutnya, ketika menyusuri Teheran di malam hari, ST bertemu dengan tokoh perempuan lain yang bekerja sebagai seorang pelacur (P3). Semula ia mengira ST adalah laki-laki, maka dengan segera ia menaiki mobil setelah ST meminggirkan mobilnya untuk ia tumpangi. Hampir sama seperti P3, di dalam film, P3 tidak digambarkan secara penuh fisiknya. Penonton tidak dapat melihat wajahnya, profil pelacur ini ditampilkan belakangan di akhir adegan, itu pun hanya melalui kaca spion mobil ST. Kecenderungan Kiarostami tidak menampilkan profil utuh tokoh ini bisa jadi untuk menghindari penyuntingan dari pemerintah Republik Islam. Namun ia pun menanggapi kebijakan pemerintah melalui alur cerita yang menarik. Adegan terakhir menarik perhatian kita karena
Universitas Indonesia
tanpa diduga sepeninggalnya perempuan itu dari mobil ST, P3 pun berjalan menuju persimpangan lampu merah dan menunggu ‘tumpangan’ dari mobil lain, dan yang terlihat hanyalah profil P3 dari belakang dengan memakai kerudung, pakaian dan celana panjang yang tergolong sopan dan rapih, serta memakai sepatu berhak tinggi. Disini kita melihat bahwa di Teheran, seorang pelacur pun tetap menggunakan hijab. Pada adegan ke-7 (atau adegan ke-4 menurut hitungan mundur film 10), ST bertemu dengan penumpang selanjutnya (P4). Peristiwa terjadi di mobil pada malam yang sama ketika ST bertemu dengan P3, dan di hari yang sama saat ia bertemu Amin, P1, dan P2. Tidak banyak yang dapat digambarkan lewat perbincangan singkat mereka. P4 adalah seorang perempuan muda yang sedang patah hati. Cara berpakaian P4 tidak tergambar karena peristiwa terjadi di malam hari dengan tidak adanya efek pencahayaan yang cukup di film ini (yang sengaja dilakukan oleh sutradara). Hanya cara P4 memakai hijab mencerminkan gaya berpakaian remaja yang hanya mengikat kedua ujung kerudungnya ke bawah dagu, namun hanya setengah bagian kepalanya saja yang terbungkus sehingga sebagian rambut P4 terlihat. Tokoh perempuan selanjutnya ialah seorang perempuan muda (P5) yang baru pulang berziarah dari makam Imam dan menumpang mobil ST di hari berikutnya. Jika pada adegan ke-3, tokoh P2 mengenakan cadar yang menutupi kepala hingga kakinya, maka penumpang ST berikut ini hanya mengenakan sehelai kerudung yang menempel di kepalanya. ST heran karena beberapa saat sebelumnya ia tidak diperbolehkan masuk makam karena tidak menggunakan cadar, namun P5 berkata bahwa ia berziarah dengan tetap menggunakan cadar yang sekarang ia simpan di tasnya. ST pun paham dan berkata bahwa sebagian situs makam meminjamkan cadar untuk perempuan yang tidak memakai cadar atau yang tidak memakai hijab dengan sempurna. Dari sini kita mengetahui sekali lagi seperti pada adegan P2 di awal film, bahwa semua perempuan diwajibkan memakai cadar jika ingin berziarah dan ternyata tidak semua perempuan di Iran menggunakan cadarnya setiap saat. Dua tokoh perempuan dalam film ini hanya menggunakan cadarnya saat akan memasuki makam dan sedang berziarah. Bahkan seorang perempuan tua yang
Universitas Indonesia
relijius sekalipun hanya mengenakannya sepanjang ia masih dalam area makam. Di hari berikutnya, ST bertemu lagi dengan P5. Kali ini ia mengenakan kerudungnya begitu ketat. Ketika ST menanyakan cara berkerudungnya, P5 kemudian melepaskan kerudungnya dan memperlihatkan kepalanya yang botak. Ternyata ia mencukur habis rambutnya karena frustasi akibat ditinggal oleh tunangannya. Di sisa adegan ini, ST terkesima dan menyuruhnya untuk melepaskan saja kerudungnya karena menurutnya ia menjadi lebih cantik dengan penampilan barunya. Dari film 10, Kiarostami memperlihatkan kenyataan bahwa tidak semua perempuan Iran merasa nyaman dengan mengenakan hijab. Apa yang mereka kenakan seolah-olah semata hanya untuk menuruti kewajiban negara yang mengatur mereka bagaimana cara berpakaian dan cara hidup yang beragama. Seperti yang terjadi di belahan negara Muslim lainnya, kode berbusana yang Islami dianjurkan bagi setiap perempuan, tak terkecuali Iran. Dalam kajian yang mendalam, tampak bahwa justifikasi terhadap cadar atau praktik Islami lainnya, selain wujud radikal mereka, secara faktual tidak benar dan secara politik sengat konservatif. Bahkan, banyak tulisan-tulisan tentang perempuan dan Islam membahas prakti-praktik tertentu tanpa sama sekali mengaitkannya dengan fundamentalisme Islam, salah satu tantangan ideologis, politis dan filosofis terkuat saat ini bagi feminisme dan konsep feminis adalah tentang otonomi individual dan hak perempuan untuk memilih. 4 Haideh Moghissi mengemukakan alasan perempuan memilih hijab (cadar). Menurutnya, dalam tulisan-tulisan yang memandang cadar sebagai sarana pemberdayaan, unsur pilihan itu diambil secara taken for granted, sementara unsur paksaan, baik dalam bentuk kekerasan atau intimidasi, atau tekanan sosial, kultural dan politik, seringkali diabaikan sama sekali. Unsur paksaan inilah yang paling dominan. 5 Di Aljazair, pilihan perempuan adalah antara menggunakan cadar atau mati. Di Sudan, setelah kejatuhan Numeiri tahun 1989, penerapan undang-undang pakaian Islami menjadi salah satu tindakan revolusioner pertama yang diambil 4 5
Haideh Moghissi. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. (Yogyakarta: LKiS. 2005) hal.65 Ibid. hal.59
Universitas Indonesia
oleh junta militer fundamentalis. Perempuan-perempuan karir di Sudan diusik dan dipersoalkan oleh rezim penguasa dan orang-orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai ‘para penjaga moral’ berkenaan dengan keberadaan mereka di muka umum serta hubungan mereka dengan rekan laki-laki di perusahaan mereka. Sementara kelompok fundamentalis lain masih terus berjuang, kita melihat bentuk kekerasan lain dalam penerapan cadar. Di Tepi Barat dan Jalur Gaza, usaha-usaha yang dilakukan oleh Hamas untuk memaksa perempuan mengenakan kerudung dilakukan melalui intimidasi dan ancaman, jika kedapatan perempuan tidak memakai kerudung, lalu dianggap sebagai sekutu Israel. Di Irak merdeka, atau Kurdistan, dua faksi suku Kurdi yang saling bermusuhan, untuk memenuhi tuntutan Republik Islam Iran, keduanya berusaha mewajibkan cadar terhadap perempuan Kurdi dengan undang-undang. Di Jordan, di mana praktik-praktik Islami masih sedang diperdebatkan, kampanye untuk merubah penampilan perempuan dilakukan melalui pendekatan penarik dan pemukul. 6 Sejumlah perempuan Jordan kemungkinan terpengaruh oleh argumen-argumen kelompok fundamentalis dan telah mengadopsi cadar, baik karena alasan politis maupun spiritual. Di Mesir, cadar yang telah diperbaharui dikaitkan dengan kegagalan modernisasi kapitalis selama satu abad dalam mengupayakan perbaikan nyata dalam kehidupan perempuan dan untuk mengubah nilai-nilai dan praktik-praktik patriarkal relijius. Setelah seabad modernisasi yang dicanangkan oleh Barat, orang-orang tetap hanya memiliki pilihan antara keamanan serta perlindungan besar-besaran ekonomi pasar yang korup dan kacau. Dengan kata lain, modernisasi gaya Dunia Ketigalah yang telah menentukan pilihan perempuan, bukan daya tarik spiritual dan ideologis Islam dan cadar. 7 Sebagaimana kita ketahui bahwa Iran merupakan negara penganut Islam Syiah terbesar di dunia. Kebijakan penggunaan hijab bagi perempuan Iran telah menjadi kewajiban semenjak pemerintahan Republik Islam mulai bergulir di tahun 1979. Jika perempuan Iran diharuskan memakai cadar, maka ia harus mengenakan pakaian yang panjang dan longgar untuk menutupi kepala dan ambin yang memotong bagian tubuh atas, atau paling tidak selendang yang dipakai untuk 6 7
Ibid. hal.60 Ibid.hal.61
Universitas Indonesia
menutupi kepala. 8 Kebijakan pemimpin spiritual Iran Ayatollah Rohullah Khomeini sejak masa revolusi Islam dahulu memang mewajibkan perempuan Iran menggunakan hijab walaupun tidak mengharuskan mereka memakai cadar. Menurut Khomeini, perempuan berhak menentukan bagaimana cara berpakaian selama itu sopan dan harus tetap mengenakan hijab. 9 Semua itu berdasarkan dengan prinsip hukum syariah yang berlaku di Iran. Penggunaan hijab, yang masih berlangsung hingga kini, menurut Khomeini adalah peraturan yang telah ditentukan oleh hukum Islam yang dimaksudkan untuk melindungi status perempuan. 10 Lebih jauh lagi, kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga nilainilai perempuan Iran dari pihak imperialis yang merusak moral bangsa. Seperti yang telah ditunjukkan pada masa Shah Reza dahulu. 11 Menurutnya, penampilan perempuan Iran dahulu adalah bentuk pemihakan pada budaya Barat (gharbzadeh). Perempuan gharbzadeh yakni mereka yang diidentifikasikan sebagai perempuan yang penuh make-up, memakai rok mini, memakai celana terlalu ketat, memakai pakaian terlalu pendek, terlalu jauh dalam berhubungan dengan pria, dan merokok di depan publik, atau dahulu lebih dikenal sebagai ‘the painted dolls of the Pahlevi’. 12 Pandangan menarik mengenai gharbzadeh sebenarnya adalah bahwa pandangan ini merupakan kritik “tradisional” terhadap modernitas yang kemudian menciptakan sebuah agenda untuk kembali kepada tradisi-tradisi dan cara hidup yang Islami. 13 Menurut Qasim Amin, pemakaian cadar tidak lebih dari sekedar tradisi. Cadar merupakan suatu tradisi yang lahir dari interaksi pergaulan antar bangsa, yang dinilai baik dan lalu dilabeli sebagai pakaian yang Islami. Ia berargumen bahwa cadar sesungguhnya telah hadir dalam masyarakat Yunani Kuno, dan 8
Asghar Ali Engineer. Pembebasan Perempuan. (Yogyakarta: LKiS, 2003). hal. 83 Juliana Shaw dan Behrooz Arezoo. (trans.) The Position of Women from the Viewpoint of Imam Khomeini. (Teheran: The Institute for Compilation and Publication of Imam Khomeini’s Works. 2001) hal. 53-54 10 Ibid. 11 Shah Reza pernah melarang penggunaan hijab bagi perempuan-perempuan Iran. Menurutnya, jika ingin menjadikan Iran sebuah negara modern, maka diharuskan untuk mengeliminir segala hal yang dianggap sebagai citra keterbelakangan, seperti pemakaian hijab bagi perempuan. 12 Afsaneh Najmabadi, “Hazards of Modernity and Morality: Women, State and Ideologi in Contemporary Iran” dalam Daniz Kandiyoti (ed.). Women, Islam, & the State. (London: Macmillan Press Ltd. 1991) hal. 65 13 Ali Mirsepassi, Intellectual Discourse and the Politics of Modernization: Negotiating Modernity of Iran. (Cambridge Univ.Press. 2000) hal. 78 9
Universitas Indonesia
karenanya bukanlah suatu ciri khas Islami tetapi suatu tradisi yang dikenal luas di setiap bangsa, bahkan di Spanyol dan Amerika sekalipun.14 Walaupun terdapat perbedaan kerangka berpikir di antara Amin dan aktivis feminis kontemporer karena kritik-kritik yang diusung Amin terdengar cukup konvensional di masa sekarang, namun jasa Amin yang sangat besar memberikan pengaruh bagi gerakan feminisme Islam dan memberikan resonansi di berbagai belahan dunia Islam, keberaniannya melawan arus dan menggugat struktur dan sistem sosial yang sudah mapan selama berabad-abad. Salah satunya, mengenai perempuan dan tradisi hijab. Apa yang dimaksud Amin dengan tradisi hijab di Mesir saat itu adalah pemakaian cadar dan pemingitan perempuan. Gagasan utama Amin bukanlah bermaksud membongkar dan membuang norma hijab yang telah digariskan ajaran agama, melainkan merestorasi bentuk hijab yang sebenarnya (hijab syar’i), seperti yang dikehendaki oleh teks-teks suci ajaran agama. Menurut Amin, dalam Quran dan Sunah sesungguhnya tak ada larangan eksplisit terhadap tindakan penampakan wajah perempuan. Menurut Amin seorang perempuan yang bercadar tidak dapat leluasa menangani urusan niaganya ataupun melakukan berbagai aktivitas kehidupan sosial lainnya yang secara jelas berkaitan langsung dengan penghidupannya. 15 Pemerintah Republik Islam mewajibkan perempuan memakai hijab dengan alasan teologi. Hijab dan cadar dianggap merupakan pola berpakaian perempuan Muslim. Namun pejuang feminis Arab Muslim pada tahun 1920-an ketika melakukan gerakan membuka hijab, menyatakan bahwa penggunaan hijab adalah bentuk lain pengungkungan perempuan, bukan merupakan ajaran agama. Menurut mereka cara berpakaian seperti ini adalah tradisi yang telah ada bahkan sebelum Islam masuk. Pandangan seperti ini awalnya diterima perempuan Timur Tengah yang melakukan gerakan membuka hijab pada awal abad 20 yang diprakarsai Huda Sya’rawi dari Mesir. Namun pada tahun 1970-an, muncul gerakan kembali menggunakan hijab. Tidak bisa dihindari bahwa permasalahan politik dan ekonomi ikut mempengaruhi gerakan ini. Hijab menjadi trend lagi saat itu, dipakai lebih karena alasan sosial ketimbang alasan teologis. Menggunakan 14
M.Arskal Salim GP. “Pembebasan Perempuan di Dunia Islam: Pemikiran Qasim Amin”. Jurnal Perempuan. Edisi 10, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Februari-April 1999) hal.46 15 Ibid.
Universitas Indonesia
hijab merupakan bentuk perlawanan terhadap kapitalisme Barat. Bagi perempuan Timur Tengah penggunaan hijab merupakan alat penolakan untuk menggunakan produk-produk Barat. 16 Menurut Fatima Mernissi dalam The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights In Islam, hijab berarti kain penutup atau tabir, yang sesungguhnya ‘diturunkan’ bukan untuk meletakkan suatu pembatas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi antara dua orang laki-laki. Peristiwa hijab terjadi saat ditariknya tirai oleh Nabi antara dirinya dengan seorang laki-laki yang berada di pintu masuk kamar pengantin beliau. Terganggunya privasi beliaulah yang mengawali turunnya ayat tentang hijab, Quran Surat 33 ayat 53. 17
3.1.2. Keterbukaan dan Kebebasan Berekspresi Perempuan Sifat dan sikap karakter perempuan dalam film merupakan salah satu faktor yang membantu dalam meneliti citra perempuan di dalam film. Penelitian ini diuntungkan dengan banyaknya dialog yang dilakukan oleh masing-masing karakter dalam film 10 sehingga watak dan sikap mereka dapat langsung terlihat. Seperti yang dilakukan di sub bab sebelumnya, penulis akan menganalisis sifat dan sikap tokoh-tokoh perempuan mulai dari adegan pertama (di dalam film dihitung mundur menjadi adegan 10). Secara umum, keterbukaan dan kebebasan berekspresi perempuan menjadi pokok permasalahan dalam film 10, yang akan dianalisis pada sub bab ini. Sudah menjadi rutinitas keseharian bagi ST untuk menjemput anak lelakinya, Amin dan mengantarnya ke tempat tujuan sebelum ia memulai aktivitasnya sebagai supir taksi di Teheran. Sebagai adegan pembuka di film ini, terjadi perdebatan antara ST dan Amin di dalam mobil. Konflik di adegan ini dimulai ketika Amin mempertanyakan peran ibunya yang menjadi penyebab perceraian dengan ayahnya. Ia pun tidak ingin tinggal dengan ayah tirinya. Ia menilai ibunya egois dan tidak bertanggungjawab. Dengan nada tinggi, Amin 16
Margot Badran, “Competing Agenda: Feminists, Islam and the State in Nineteenth-and Twentieth- Century Egypt” dalam Women, Islam and the State oleh Deniz Kandiyoti (ed.), (London: Macmillan. 1991) hal. 226-227 17 Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elie (translated by Mary Jo Lakeland). (New York: Basic Books. 1991) hal. 85
Universitas Indonesia
terus menerus menolak bujukan ibunya mengalih perhatian dengan mengajaknya membeli es krim bersama sebelum mengantarnya ke kolam renang. Kemudian ketika ibunya bercerita tentang teman perempuannya, Amin menanggapi dengan kasar bahwa itu bukan urusannya. Ketika menjawab tuduhan Amin yang menganggap ia menelantarkan anaknya sendiri, ST mengelaknya dan berkata bahwa ia sudah tidak bisa hidup bersama ayah Amin karena ia mereka sudah tidak saling mencintai. Amin pun menuduh ibunya berbohong, seraya mengibaskan tangannya, karena ia mengatakan pada pengadilan bahwa ayahnya seorang pecandu dan sering memukulnya. Dengan suara lantang ST menjawab jika ia memang harus berbicara seperti itu jika ingin menggugat cerai suaminya. “…the rotten laws in this society of ours give no rights to women!” ucap ST “to get a divorce a woman has to say that she is beaten or her husband’s on drugs” (adegan 1, 6:35)
Gambar 3.2: Film 10, adegan 1 mnt. 11:32
Peran ST sebagai seorang ibu yang tegas dan diplomatis ditunjukkan di adegan ini. Ia menanggapi omongan cengeng dan kasar anaknya dengan melarangnya berkata kasar karena bagaimanapun omongan ibunya lah yang harus didengar. Bukan omongan orang lain seperti yang Amin lakukan selama ini. Amin menolak untuk mendengarkan ibunya karena ia tidak mau terus menerus dikuliahi. “…because you’re going to lecture me again,” keluhnya, “you always have to talk.” (adegan 1, 2:25). Kemudian ST terdiam sebentar dan menanyakan apa benar ia selalu menguliahinya. Sikap Amin semakin kasar ketika ia mempersilahkan ibunya berbicara apapun, ia tetap tidak akan mempercayainya, “…say what you like. I don’t believe it. I don’t believe it.”. “Don’t believe it then,” kata ST “You only talk to fight. Like those children full of hate.” (adegan 1, 3:25).
Universitas Indonesia
Sementara situasi semakin memanas, ST pun mulai berubah dalam menyikapi anaknya dengan mengajaknya bicara pelan-pelan dan selayaknya orang dewasa, “You see, Amin. If we lived to 100, we’d still argue. Unless you listen to me and start thinking. You must have your own experiences to understand life.” (adegan 1, 4:04). Amin menanggapinya dengan menutup kedua telinganya dan menggumam tidak jelas. Mengetahui anaknya sulit untuk diajak berdiskusi, maka sikap ST kembali lagi seperti seorang ibu yang menyelesaikan masalah dengan anak kecilnya dengan menenangkan dan melarangnya berbicara kasar. Dialog antara ibu dan anak (berumur 10 tahun) dalam adegan ini memang jarang terdengar dalam peristiwa keseharian di lingkungan kita. Namun dengan tegas sutradara memberikan informasi yang bukan tidak mungkin dapat dialami berkaitan dengan peran seorang ibu dalam keluarganya. Sikap ibu yang lunak namun tetap rasional tampak ketika tokoh ST kembali beradu argumentasi dengan Amin. Ketika anaknya dengan jelas menggumamkan kata tidak sopan, ST berkalikali melakukan tindakan yang terhitung aman dan berusaha tidak memancing ledakan amarah anaknya muncul kembali.”…you stupid cow…” (adegan 1, 5:56) gumam Amin, “Bravo…God bless you,” (adegan 1, 5:58) ST menanggapi. Atau ketika dengan jelas Amin mencerca ibunya kembali “…you’ll never know how to talk. And you’ll never be anything! (adegan 1, 10:36). Kemudian ST kembali hanya menjawab “Bravo…Bravo...Thank you.” (adegan 1, 10:39). Dan sekali lagi ketika Amin mengakhiri pembicaraan dengan berinisiatif keluar dari mobil, “I’ll show you what I’ll do. You stupid. I’ve never seen anyone so stupid.” (adegan 1, 16:27). Sementara anaknya keluar dari mobil, ST mengucapkan kata terakhir “Bravo, Amin!” (adegan 1, 16:30) Dua sekuen berikutnya adalah adegan ST dan adik perempuannya (P1) sebagai penumpang ST selanjutnya di hari yang sama. Setelah melalui perdebatan emosional dengan anaknya, dialog antara ST dengan P1 berlangsung ringan. ST dan P1 digambarkan sebagai dua perempuan yang saling menaruh simpati dan berbagi cerita atas pengalaman mereka menghadapi berbagai kesulitan hidup berumahtangga. Pada adegan dengan P2, ST terlihat menghormati perempuan tua itu dengan menawarkan tumpangan. Begitu mengetahui peziarah yang ia berikan
Universitas Indonesia
tumpangan adalah perempuan yang relijius dan rendah hati, dengan segera ST membetulkan letak kerudungnya dan mengencangkannya. Sikap demikian ditunjukkan untuk menghormati perempuan yang lebih tua. Sikap ST dalam menghormati orang yang lebih tua juga ditunjukkan ketika ia dan P1 berpapasan dengan seorang perempuan tua cacat dan miskin di pinggir jalan dengan menawarkan tumpangan kepadanya. Sifat dermawan kembali ditunjukkan di adegan ke-3 ini. Dalam adegan ST bersama P3 di perjalanan berikutnya, pada awalnya ia mengira ST adalah laki-laki. ST pun tidak segera mengusirnya atau langsung menghindar, namun ia meminggirkan mobilnya dan meminta pelacur itu bercerita tentang pekerjaan dan kehidupannya. “Pretend I’m a man. Just imagine I’m a man,” (adegan 4, 1:37) ucap ST ramah “You’ve only had experience with men. Talk to a woman for once. I’d like to know”. P3 pun lalu terkikik geli “I’m not working in that field yet” (adegan 4, 1:51) Ia pun mengklaim jika ia mulai menyukai pekerjaannya. Rasa penasaran ST semakin kelihatan ketika ia menanyakan pada P3 alasan memilih pekerjaannya. Penumpangnya bilang ia melakukannya untuk seks dan cinta. Kita dapat melihat raut muka ST berubah “That’s all life is?” (adegan 4, 2:20). Dengan suara yang atraktif, P3 pun mengatakan bahwa pernikahan pun sebenarnya adalah perdagangan yang melibatkan seks 18 , “you’re (para istri) the wholesalers. We’re (pelacur) the retailers.” (adegan 4, 11:33). Jika sebelumnya ketika ST beradu argumentasi dengan
anaknya
ia
dengan
tegas
mempertahankan
prinsipnya
tentang
kemerdekaan perempuan, maka seolah-olah lewat perbincangan singkatnya di adegan ini ia mendengar perkataannya terlempar kembali dari kata-kata P3, bahwa seorang perempuan memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Jadi walaupun ST terlihat sering menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai bahasa tubuh bahwa ia tidak sependapat dengan P3, namun ketika ia menilai perkataan P3 tentang hidup perempuan yang merdeka, ia menghargainya dan berkata bahwa ia 18
Nawaal el Saadawi menyamakan hubungan perkawinan dimana istri tidak bisa menikmati hubungan seks dengan suami sama seperti hubungan “pelacuran”, istri sama seperti perempuan yang dibayar paling murah. Dalam tulisan-tulisan Saadawi, ia banyak mengulas hal-hal seperti ini. Antara lain dalam Perempuan dalam Budaya Patriarki. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hal. 24-27
Universitas Indonesia
tidak mempunyai maksud untuk menghakimi siapapun terkait pekerjaan P3. Rasa penasaran ST terjawab dan ia pun mendapat satu pelajaran lagi mengenai hidup. Ketika ST bertemu dengan P4, seorang gadis yang sedang patah hati, sifat ST yang dewasa dan sikapnya yang tenang mampu meredakan emosi P4 yang labil. Begitu mengetahui P4 tidak mampu mengendalikan emosinya, ST langsung bersikap layaknya seorang kakak kepada adiknya, atau bahkan seperti seorang ibu kepada anak gadisnya. Dari dialognya dengan P4, sifat dan sikap ST yang rasional dan selalu memberikan ketenangan muncul kembali. Sedangkan P4 lebih digambarkan sebagai perempuan yang emosional dan rapuh. Perbicangan ST dengan P3 sebelumnya merupakan salah satu adegan yang paling menarik. Gambaran sifat ST yang selalu ingin belajar dan menghargai pandangan hidup orang lain dapat terlihat. Juga ketika suatu hari ia bertemu dengan penumpang selanjutnya (P5), seorang gadis lugu yang, sama seperti P4, sedang mengalami patah hati, gambaran sifat dan sikap ST yang atraktif dan ramah kembali muncul seperti pada adegan peziarah tua. ST meminggirkan mobilnya di depan masjid ketika ia bertemu dengan P5 yang menjadi penumpang pertamanya di hari itu. Sifat akrab ST muncul ketika selama beberapa saat tidak ada perbincangan di dalam mobil. Begitu ia mengetahui penumpangnya tidak banyak bicara, ST memulai percakapan dengan menanyakan apa ia juga sering berziarah. Ketika percakapan berlangsung hangat, ST bercerita tentang pengalamannya berziarah dan menanyakan apa yang dilakukan P5 ketika berziarah. Perbincangan terus berlangsung hangat dan bersahabat, dari sini diketahui bahwa ST pandai memancing P5 untuk dengan mudah bercerita tentang kehidupannya, tentang tunangannya yang kontradiktif, yang tidak segera menikahinya. Di hari berikutnya, ia bertemu kembali dengan P5, namun kali ini ia mendapati P5 sudah putus hubungan dengan tunangannya. ST merasa simpati karena P5 berani terang-terangan menunjukkan bahwa ia patah hati karena ditinggal tunangannya dengan perempuan lain. Rasa simpati ST lebih terlihat lagi ketika ia meminta P5 untuk membuka hijabnya yang terlalu ketat. Begitu ia mendapati P5 telah mencukur habis rambutnya, ST tercengang dan menanyakan apa yang terjadi. Gadis itu dengan lugu mengatakan bahwa ia frustasi dan merasa lega jika ia melampiaskan masalahnya lewat caranya sendiri. Sikap ST berubah
Universitas Indonesia
dengan menanggapi cerita P5 menjadi lebih dekat, dengan bersikap layaknya seorang kakak begitu tahu P5 menangis ST mengusap air matanya secara refleks. Dengan maksud menghibur, ia memuji potongan baru P5, “…in any case, it really suits you...” Sikap tegar begitu ditunjukkan di adegan ini, tidak seperti P4 yang terlihat cengeng dan tidak mampu mengendalikan emosinya, P5 di sini bukan hanya digambarkan sabar dalam menghadapi cobaan tetapi juga tidak takut salah mengekspresikan perasaannya, “Yes, it’s hard…No. not that hard. The hardest part for me is admitting that it’s hard. I’m ashamed of saying that it’s hard.” (adegan 9, 1:56). Walaupun terdengar P5 meragukan sendiri perkataannya, ia pun dengan segera mengutarakan perasaannya, lega karena meluapkannya dengan menangis dan tertwa, pada ST begitu ia membuka hijabnya dan bercerita, “…I’m laughing and crying…I felt great…I stopped crying. Now it much better.” (5:20).
Gambar 3.3: Film 10, adegan 9 mnt. 4:25
Empat interaksi dan dialog yang terjadi antara ST dengan para penumpangnya memperlihatkan bahwa dalam film ini segala kemungkinan dalam hidup yang melibatkan mereka sebagai perempuan dapat terjadi lewat peristiwa keseharian. Dari masing-masing adegan dapat terlihat bagaimana sifat dan sikap tokoh yang terlibat dalam film muncul lewat berbagai interaksi dan dialog diantara mereka. ST yang berjiwa bebas, akrab, rasional, dan mau belajar lewat orang lain; seorang peziarah tua yang relijius dan rendah hati; seorang pelacur yang atraktif, terbuka dan berterus terang; seorang gadis remaja yang beremosi labil; dan seorang perempuan muda yang lugu dan tegar. Persamaan diantara mereka termanifestasi ketika muncul sikap ingin mengekspresikan diri sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kebebasan
dan
keterbukaan
menjadi
maksud
terpenting
yang
diinterpretasikan melalui semua pendapat yang mereka ajukan di dalam tiap adegan di atas. Tentang pelepasan diri dari keterkungkungan segala aturan-aturan Universitas Indonesia
masyarakat ataupun pemerintah, tentang izin berkehendak yang membatasi perempuan untuk berekspresi, atau tentang permasalahan rumah tangga terwujud dalam beberapa titik permasalahan yang diutarakan pada masing-masing tokoh perempuan. Tokoh ST di awal film mengatakan kepada anaknya ia memang harus berbohong jika ingin bercerai dengan suaminya, dengan mengatakan bahwa suaminya seorang pecandu dan sering memukul dirinya. Alasan seperti ini yang disahkan oleh pengadilan di Iran bagi istri yang ingin menggugat cerai suaminya. Padahal suami ST tidak terbukti melakukannya, dan ia malah menggugat balik ST, maka dengan begitu pengadilan mengabulkan permintaan cerai si suami. Inisiatif ST untuk menuduh suaminya bersalah justru mampu membuat permintaan cerainya terkabulkan, karena memang mereka sudah tidak saling mencintai lagi. Namun hukum pemerintah Republik Islam telah memberi keputusan yang jelas bahwa seorang istri tidak bisa menggugat cerai suaminya begitu saja.
3.1.3 Pandangan Hidup Tokoh Perempuan Dalam film 10, terbagi dua pandangan hidup yang diinterpretasikan oleh tokoh-tokoh perempuan melalui dialog-dialognya. Kemandirian wanita (melalui tokoh ST dan P3) dan kepasrahan (melalui tokoh P4 dan P5) adalah dua pandangan hidup yang dapat penulis terjemahkan dari peristiwa yang terjadi di tiap adegan. Sementara dari peristiwa di masing-masing adegan pula, penulis dapat mengetahui kedudukan tokoh perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Seperti yang telah disebutkan melalui interpretasi gambaran fisik, sifat, dan sikap tokoh perempuan, tokoh utama ST menggambarkan perempuan yang berjiwa bebas dan mandiri. Selain itu dari dialog yang terjadi dalam film, ada usaha dari sutradara untuk memperlihatkan bahwa ST adalah perempuan yang berani memberontak karena ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Seperti yang ia perlihatkan dalam adegan pertama (kesepuluh dalam hitungan mundur), “…the rotten laws in this society of ours give no rights to women!” ucap ST “to get a divorce a woman has to say that she is beaten or her husband’s on drugs,”(adegan 1, 15:29). Kemudian ketika ia memberi pengertian kepada anaknya, “(in here) A woman has no right to live! A woman has to die so as to be
Universitas Indonesia
able to live? I ran away..I was like a zombie!”,(adegan 1, 16:07). Kata-kata yang terlampiaskan dari mulutnya memperlihatkan jiwa untuk memberontak dan mengkritik ketimpangan sosial masyarakat dan hukum negara. Sekaligus juga melalui
perkataannya,
ia
menggugat
adanya
diskriminasi
gender
dan
memperlihatkan sekalipun ia adalah korban dari sistem negara, namun ia mampu mengelola dan memanfaatkan potensi dirinya. Pandangan hidup tokoh perempuan dalam film 10 seringkali menciptakan sebuah citra baru bagi perempuan Iran dan juga perempuan muslim umumnya. Seperti yang diutarakan melalui dialog antara ST dan P3, seorang pelacur yang tidak sengaja menumpang dalam mobil ST. “The reason (why I do this) is for sex, love, sex, love, sex…” (adegan 4, 2:12). Dari pembicaraan selanjutnya, P3 seolah ingin memperlihatkan bahwa ia tidak dipaksa oleh pihak lain yang memanfaatkannya atas motif ekonomi. Ia memulai pekerjaannya dengan kesadaran kritis sebagai perempuan yang berhak menentukan sendiri atas dirinya, dan sepenuhnya mengambil kemanfaatan tanpa adanya kekuasaan di luar dirinya. Sementara P3 hanya menertawakan pertanyaan ST mengenai perasaan bersalah dan ketakutannya akan dosa, ia pun mengklaim pernyataan ST bahwa ia hanya melayani pelanggannya, menerima uang, kemudian selesai, tidak ada kisah yang berlanjut dengan para lelaki itu. P3 kemudian menambahkan bahwa di dalam hidup pun sesungguhnya ada interdependensi antara dirinya dengan ST, terkait posisi ST dalam keluarga sebagai seorang istri dan posisi P3 dalam masyarakat sebagai perempuan yang menjadikan pekerjaannya sebagai proses give and take, yang juga melibatkan para istri. Kutipan you’re the wholesalers and we’re the retailers seolah menjadi jargon P3 yang membangkitkan nurani ST. Dari dialog antara P3 dan ST seolah tergambar bahwa P3 membanggakan profesinya sebagai pelacur. Ia menganggap profesinya memberikan kebebasan dan ruang lebih luas kepada perempuan. Menurut pandangan P3, menjadi istri yang patuh, melayani suami dan menjadi budak di rumah tangga, tidak membuat perempuan diakui keberadaannya. Cara P3 menyebut “istri” dengan nada sarkastis dan mengejek, menunjukkan perasaan kecewanya terhadap laki-laki dan terhadap sikap perempuan memandang diri mereka. Ia menggambarkan bahwa simbol materi tertentu dapat mengangkat derajat manusia dan membuatnya dianggap terhormat.
Universitas Indonesia
Ketika ia mengatakan you’re the wholesalers untuk memposisikan peran istri yang sakit, ST hanya terdiam namun cukup terusik dengan perkataan P3. Seolah P3 ingin menyatakan ST sebagai istri yang tidak berguna bagi suaminya, padahal P3 pun tidak lebih berharga darinya. Gagasan-gagasan feminisme yang memberontak dan menolak nilai-nilai patriarki seketika bersinggungan dengan perkataan P3 yang kental dengan budaya patriarki. Jiwa perempuan yang independen terutarakan ketika ST berhadapan dengan dua penumpangnya yang masih gadis, yang sama-sama mengalami patah hati. “Life is so vast, why depend on just one person? It’s not love. It’s an illusion. You’re wrong to cling to him. It’s an illusion. That’s all!” (adegan 7, 2:17) kata ST ketika ia berusaha menenangkan P4 yang menangis terisak di dalam mobilnya. Sindiran ST atas sifat para remaja yang terlalu posesif pada tiap pasangannya, “you were hurting each other like psychopaths: why are you late? who’s on the phone? where were you? why this, why that?” (2:25) semakin memperjelas pandangan hidup ST yang tidak ingin bergantung pada orang lain atau melampiaskannya hanya pada satu orang. Seolah bercerita tentang pengalamannya sendiri, ST juga menjelaskan kepada P4 kenapa perempuan selalu bergantung kepada pihak lain karena kultur yang tertanam dalam hidup sedari kecil mengharuskan mereka berpegang teguh pada ibu dan ayah, kemudian pada kekasih kita, kemudian pada anak kita, dan ketika anak kita diambil, kita pun harus bergantung pada pekerjaan kita, “…Like idiots,” (adegan 7, 3:08) ucapnya. Pandangan hidup ST yang mandiri dan rasional semakin tergambar ketika ia menginginkan P4 kuat dan tegar, “you can’t live to the world without losing. We came into the world for that. To win and to lose.” (5:07). Dengan perbincangan yang berlangsung lebih tenang, ST dan P5, tokoh selanjutnya, berbicara tentang takdir. Ketika P5 baru pertama kali bertemu dengan ST, ia menyatakan jodoh dan pernikahan sudah digariskan oleh takdir. ST lebih suka menyatakan takdir sebagai sesuatu yang berjalan apa adanya, come what may. Dari sini, pandangan hidup tokoh perempuan tergambar lagi melalui kepasrahan, seperti yang ditunjukkan oleh P5 dan P4 (pada akhir adegan).
Universitas Indonesia
3.2. Analisis Film Persepolis Untuk menganalisis citra perempuan dalam film Persepolis, penulis akan menganalisis makna film dari segi penampilan fisik, yang terlihat secara visual dari tokoh perempuan yang terlibat dalam film; sifat dan sikap tokoh perempuan dan pandangan hidup mereka. Persepolis 19 merupakan film drama yang dibungkus melalui proyek animasi. Film ini adalah sebuah biografi kecil dari sutradara film Persepolis sendiri, Marjane Satrapi, mengenai pengalamannya hidup di Teheran pada masa revolusi Islam dari tahun 1979 hingga menghabiskan masa remajanya baik di Iran maupun di Eropa di periode delapan puluhan hingga awal sembilan puluhan. Salah satu alasan mengapa Satrapi lebih memilih teknik animasi dalam menggambarkan pengalamannya adalah karena melalui animasi ia lebih mampu menerjemahkan secara abstrak peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.
Selain
itu,
banyak
adegan-adegan
dalam
film
yang
lebih
memungkinkan untuk diterjemahkan melalui gambar, dengan tetap tidak meninggalkan esensi film dan (sama seperti Kiarostami pada mise-en-scene-nya) ia hanya menjadikannya sebagai nilai estetik sebuah film saja.
3.2.1 Hijab, Konsep Publik dan Konsep Privat Sama seperti dalam film 10, sutradara Persepolis Marjane Satrapi mengetengahkan diskriminasi gender dan kekuasaan budaya patriarki dalam film otobiografinya ini, terutama pada permasalahan kewajiban penggunaan hijab bagi perempuan Iran di bawah pemerintahan Republik Islam. Tokoh perempuan dalam film Persepolis adalah Marjane, sebagai tokoh utama dan pusat pembangun cerita film yang juga bertindak sebagai narator; ibu Marjane dan nenek Marjane, yang menjadi tokoh pendukung cerita.
19
Dalam The Iranians:Persia, Islam & the Soul of a Nation (NY:Penguin,1998), Sandra Mackey mengemukakan b ahwa Persepolis sebagai situs bersejarah Persia kuno, bukan hanya sebagai ibukota namun juga kota ritual suci. Persepolis adalah bukti kebesaran Kekaisaran Persia yang masih dihormati dan dipandang sebagai simbol identitas nasional hingga kini. Melalui upacara yang hanya diadakan di Persepolis dahulu (upacara No Ruz), bangsa Persia mengetahui apa dan siapa mereka sebenarnya, yaitu orang-orang istimewa yang duduk (ditempatkan) di pusat alam raya.
Universitas Indonesia
Secara keseluruhan, pesan film Persepolis yang ingin disampaikan merujuk pada kemampuan campur tangan pemerintah untuk mengatur tubuh perempuan dengan mengharuskan perempuan pada masa sesudah revolusi 197920 untuk mengenakan hijab selama mereka berada di ruang publik. Hijab sesungguhnya adalah bagian dari sejarah, tradisi yang tidak dapat dirubah sekaligus menjadi kewajiban bagi semua perempuan Iran untuk melaksanakannya. Hijab menjadi bagian dari norma yang dikonstruksi dalam penjajaran dengan bentuk tertentu atas politik, kultur, dan agama (misalnya Negara sekuler modern, negara modernis Islam, negara teokrasi dan demokrasi Islam dan sebagainya). Perempuan dan segala problematikanya menjadi bahan yang menarik ketika kita ingin mempelajari kondisi sosial atau tindakan opresi tertentu yang dialami perempuan beserta pergerakannya di ranah publik dan privat. Hal ini yang menjadi pokok pembahasan feminisme Islam ketika mereka mempertanyakan gagasan mengenai peran dan citra perempuan yang direpresentasikan sesuai dengan kepentingan politik laki-laki. Feminisme
seringkali
berkaitan
dengan
permasalahan
pergerakan
perempuan di ranah publik dan privat. Ketika ingin mempelajari kondisi sosial atau tindakan opresi tertentu yang dialami perempuan, dua kategori berbeda tersebut tidak dapat dipisahkan. Feminis dunia ketiga sering menggarisbawahi bahwa tidak semua perempuan mengalami perbedaan tersebut dengan cara yang sama. Di Iran, politik penggunaan cadar atau hijab di bawah pemerintahan Republik Islam, memberikan pengertian berbeda pula atas pembagian konsepsi publik versus privat ini, dengan memberi penekanan pada kebebasan berekspresi perempuan dan pengembangan potensi diri yang terabaikan. Legislasi dan peraturan
pemerintah
mewajibkan
penggunaan
cadar.
Perempuan
yang
menggunakan cadar dengan tidak benar (bad hijab) dapat dikenai hukuman yang keras. 21 Menurut Fatima Mernissi dalam The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights In Islam, hijab secara harafiah berarti tirai, yang menutup, bukan menjadi palang antara pria dan wanita, namun di antara dua pria. 20
Periode pascarevolusi Islam antara tahun 1979 hingga 1993 menjadi latar waktu film Persepolis dan latar tempat berlangsung di tiga kota: Paris, Teheran, dan Wina. 21 Ibid. Hal. 60
Universitas Indonesia
Hijab dapat mengekspresikan dimensi tempat, menandai ambang batas di antara dua area yang berbeda, yang dapat menyembunyikan sesuatu dari pandangan. Namun
juga
dapat
menunjukkan
gagasan
sebaliknya
yang
membatasi
pengetahuan tentang ketuhanan, seperti dalam kasus mahjub (“the veiled”) dalam terminologi sufistik, yaitu seseorang yang kesadarannya dideterminasikan oleh keinginan sensual atau mental dan seseorang yang tidak merasa adanya cahaya ketuhanan dalam jiwanya, seseorang yang terjebak pada realita keduniaan. Pada kasus terkini, hijab lebih terbatas pada individualitas, yaitu sesuatu yang menyelubungi tubuh si pemakai, yang bisa membatasi diri dari ruang publik, namun tidak dapat menciptakan rintangan antara kita dengan Tuhan. 22 Di masa kecil, Marjane hidup di masa transisi kekuasaan rezim Pahlevi menuju revolusi Islam di tahun 1979, maka baik ibu, nenek Marjane, dan figur perempuan lain masih mengenakan busana a la Barat. Kemudian di tahun 1982, dimana pemerintahan Republik Islam sudah berkuasa, dan ketika Marjane beranjak remaja, kewajiban penggunaan hijab sudah mulai diberlakukan. Di tempat Marjane bersekolah, semua muridnya adalah perempuan. Sutradara menggambarkan perempuan-perempuan Iran di masa ini seluruhnya memakai hijab (berwarna hitam). Ketika Marjane duduk di bangku SMP, gurunya menjustifikasi penggunaan hijab bagi murid-murid perempuannya, dengan mengatakan bahwa hijab adalah simbol pembebasan perempuan. Hal ini dipertegas oleh perkataan seorang guru ketika mengajar, “The veil stands for freedom. A decent woman shelters herself from men’s eyes. A woman who shows herself will be burn in hell.” (23:48). Pernyataan yang tidak digubris Marjane yang malah asyik membincangkan poster grup musik idolanya dengan teman sebangkunya ketika pelajaran berlangsung. Sikap Marjane bertolak belakang dengan pandangan perempuan pada umumnya yang menyatakan bahwa penggunaan hijab sebagai simbol resistensi kapitalisme Barat. Marjane, sama seperti remaja di belahan dunia lain, tidak menutup diri pada perkembangan budaya populer. Sebagai cerminan dari jiwa pemberontaknya, Marjane dengan berani membeli barang-barang ‘haram’ dari jalanan dan merasa puas dengan apa yang dilakukannya. 22
Mernissi, Op.cit. hal. 85, 95-96.
Universitas Indonesia
Gambar 3.4: Adegan film Persepolis, 23:50
Penguasa Republik Islam memiliki gagasan tersendiri mengenai kewajiban penggunaan hijab bagi perempuan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai perempuan Iran dari pihak imperialis yang merusak moral bangsa dan juga sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dan gaya hedonis Barat. Padahal, Leila Ahmed dalam bukunya Women and Gender in Islam (1992:145) menjelaskan bahwa dilihat dari perspektif Barat, hijab dianggap sebagai simbol ketertindasan perempuan Muslim dan keterbelakangan masyarakat Islam. pandangan serupa dikemukakan Qasim Amin, seperti dikutip Leila Ahmed “changing customs regarding women and changing their costume, abolishing the veil in particular, were key, in the author’s thesis, to bringing about the desired general social transformation.” Pemerintah Republik Islam Iran, tidak seperti pemerintah negara muslim lain, mengadopsi interpretasi Islam Syiah ke dalam hukum negara. Karena Iran telah menggunakan cara yang berbeda dibandingkan negara muslim lain yang mayoritas sunni, maka interpretasi hukum syariahnya juga berbeda. Pemerintah menjustifikasi penghilangan kebebasan dan kesetaraan perempuan yang menurut pemerintah sesuai dengan kriteria Islam. Salah satunya dengan menetapkan kode berpakaian yang berbeda sesuai dengan ketentuan hukum syariah. Perempuan muslim Iran diwajibkan mengenakan hijab jika berada di ruang publik. Tidak diperkenankan memakai kosmetik dan pakaian yang mengumbar bentuk tubuh. Politisasi
penggunaan
hijab
memunculkan
sebuah
wacana
yang
menciptakan antitesis atas gagasan seksualitas perempuan dan standar praktis agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang dapat mengalihkan normanorma sosial yang diberikan oleh masyarakat kepadanya, maka hak-hak istimewa yang mereka miliki dapat hilang dari lingkungan privat mereka. Sebagai contoh, di adegan pertama memperlihatkan tindakan Marjane yang ketika ia akan pulang ke Iran maka ia harus mengenakan hijabnya kembali di ruang publik (di bandara) Universitas Indonesia
sekalipun ia masih berada di negara lain. Tindakan Marjane ini meruntuhkan pilihan pribadinya (untuk tidak mengenakan hijab) karena sesampainya di bandara Teheran, polisi Iran akan memaksanya menegakkan hukum Islam, dalam hal ini memaksanya untuk mengenakan hijab. Contoh sederhana seperti ini mampu menciptakan satu klasifikasi bagi Muslim itu sendiri yang memperlihatkan gagasan bahwa manifestasi atas agama dari seorang Muslim (dalam konteks ini Muslim-Iran) adalah produk dari pemikiran kelompok penguasa, bukan hasil dari individu seorang Muslim untuk menentukan pilihannya sendiri. Perbedaan
antara
konsepsi
“publik”
dan
“privat”
dengan
jelas
direpresentasikan melalui Persepolis. Ada beberapa adegan kunci tertentu yang dapat menggambarkan perbedaan ini. Seperti yang terlihat pada adegan dimana Marjane melepas hijabnya, ketika ia sedang menyetir mobil, terbuka beberapa aspek penegasan yang memposisikan diri Marjane pada batas ranah publik dan privat. Pertama, sebagaimana kita lihat di awal film, Marjane berlatarbelakang keluarga yang kaya keturunan bangsawan dinasti Qajar, ayahnya mampu membiayai kehidupan Marjane, ia tumbuh dalam keluarga modern dan moderat. Kedua, Marjane tidak digambarkan sebagai perempuan yang relijius atau anti Barat,
dengan
demikian
‘pelepasan’
hijabnya
merefleksikan
penegasan
kebebasannya. Perbedaan lebih lanjut mengenai masalah publik dan privat dalam film ini adalah ketika seorang polisi, yang merepresentasikan publik, meminggirkan mobil Marjane dan keluarganya sepulangnya dari pesta. Marjane dan neneknya dengan segera berlari menuju rumah untuk membuang semua botol wine dan minuman beralkohol, kemewahan yang sering mereka nikmati di rumah. Rumah mereka seharusnya merepresentasikan kehidupan privat, yang tidak terselubung, the unveiled. Segala yang berada di luar rumah merepresentasikan ruang publik, yang terselubung, the veiled. Dalam adegan ini, baik yang tidak terselubung maupun yang terselubung berhadapan. Namun, polisi sebagai representasi publik memiliki kekuasaan yang lebih besar yang menekan aksi Marjane dan neneknya (ketika membuang semua minuman beralkohol) sebagai representatif ruang privat.
Universitas Indonesia
Ketika ibu Marjane baru saja pulang dari pasar swalayan, dengan segera ia melepaskan dan melempar hijabnya begitu ia berada dalam rumah. Sikap ibu Marjane
menunjukkan
rasa
frustasi
karena
penggunaan
hijab
ini
menyembunyikan kebebasannya dan ia merasa bahwa dengan memakai hijab membuatnya terpencil dari ruang publik yang memaksa dirinya sebagai perempuan menjadi orang yang lebih tertutup dan tersendiri. Bagaimanapun, beberapa perempuan di dalam film tidak menantang norma-norma tersebut. Misalnya, ketika ibu Marjane sedang duduk di meja makan bersama temannya. Ketika kedua perempuan ini sedang berbincang, keduanya sedang tidak memakai hijab karena sedang di dalam rumah dan kemudian ayah Marjane datang. Teman ibu Marjane dengan segera mengambil hijabnya dan memakainya cepat-cepat. Kedua tokoh perempuan dalam film ini memang telah diperintahkan untuk menggunakan hijab di depan publik dan ketika berada dalam keadaan privat, di dalam rumah, mereka melepaskannya. Kehadiran pria lah yang membuat teman ibu Marjane mengenakan kembali hijabnya seketika, mengingat area privat perempuan hanya bisa dikunjungi oleh pria yang menjadi muhrimnya saja Meskipun tamu ibu Marjane berada pada ruang privat dan ketika ayah Marjane datang ia memastikan hijabnya terpakai, ibu Marjane tidak keberatan jika tamunya melepaskan hijabnya di depan suaminya. Maka ibu Marjane memiliki pandangan berbeda mengenai penggunaan hijab, ia menganggap bahwa hijab adalah sebuah pilihan, bukan keharusan atau sesuatu yang dimandatkan. Persepolis dipenuhi oleh skenario dan situasi yang menjelaskan secara lengkap pertimbangan sulit antara konsep publik dan privat yang secara konsisten dialami oleh para perempuan Iran. Contoh paling nyata dari situasi ini adalah tentang penggunaan hijab, yang secara harafiah, fisik, dan secara visual membagi dan menggolongkan waktu dan pengalaman-pengalaman perempuan ke dalam ruang publik dan privat, indoor dan outdoor. Di dalam film, ada sebuah adegan ketika Marjane baru pulang kuliah dan menemui neneknya di taman, Neneknya seketika mengomentari Marjane yang masih mengenakan hijab dan memintanya untuk melepas hijabnya karena membuatnya risih pada ketertutupan, yang ia istilahkan seperti seorang claustrophobic. Kemudian ia melanjutkan berbicara, sebagai efek dari ketidaksengajaan Marjane yang tetap mengenakan hijabnya,
Universitas Indonesia
bahwa menjadi sangat krusial bagi Marjane, dan perempuan Iran lainnya, untuk tidak menerima begitu saja usaha penguasa untuk mendominasi pikiran dan hidup mereka. Adegan Marjane dengan neneknya menjadi salah satu yang terpenting dan dapat dibaca dalam beberapa cara berbeda. Bisa saja sikap Marjane yang tidak membuka hijabnya sepenuhnya karena kelalaiannya. Atau bisa juga seperti yang dikatakan oleh nenek Marjane, sebagai rasa toleransi perempuan, sebuah pemakluman, dan kesudian menerima dominasi budaya patriarki. Atau dapat juga diartikan sebagai saat ketika Marjane tidak menganggap penting untuk memisahkan ‘dunia’ luar dan dalam, hanya untuk membedakan satu waktu dengan yang lain sebelum ia masih berada di luar rumah, tidaklah terlalu penting. Adegan lain yang secara nyata dapat membedakan konsep publik dan privat dalam film ini adalah ketika pada tahun 1992 saat Marjane sudah berkuliah di fakultas seni rupa Universitas Teheran, Marjane tertangkap basah oleh polisi moral Iran sedang berpegangan tangan dengan pacarnya di dalam mobil. Polisi menghentikan mobil mereka dan meminta Marjane untuk diperiksa di kantor polisi dan menelepon orangtuanya untuk membayar tebusan atau Marjane akan dihukum cambuk. Sementara di sepanjang adegan, penonton tidak melihat sesuatu terjadi pada pacar Marjane. Ketika dalam perjalanan pulang, ayah Marjane tidak memarahinya, hanya menyesali perbuatan ceroboh Marjane. Orangtua Marjane dahulu mendapat kebebasan untuk menumpahkan kasih sayang mereka di muka umum, tetapi keadaan berubah ketika di generasi Marjane pada tahun 1983, pemerintah memberlakukan pemisahan ruang bagi lawan jenis yang bukan muhrim. Ayah Marjane mengatakan kepada Marjane bahwa ia harus tidak boleh terlihat bersama teman lelakinya ketika berada di ruang publik, yang membuat Marjane segera memutuskan untuk menikahi kekasihnya. Pada dekade delapan puluhan hingga awal sembilan puluhan, Marjane dan keluarganya hidup dalam masyarakat yang mengharuskan mereka untuk mengenakan hijab, ia sadar peraturan ini sangat membatasi dan menghalangi dirinya untuk berekspresi dengan bebas. Di dalam film diperlihatkan dengan jelas bahwa bagi keluarga Marjane hijab telah menjadi simbol ancaman dan kekuatan absolut pemerintah Iran. Hijab merepresentasikan terbatasnya kebebasan publik yang seharusnya dimiliki perempuan. Sejatinya, mereka memiliki inner-selves
Universitas Indonesia
sebagai bagian dari cara mereka berfikir, merasakan, dan merespon basis individualnya, namun kini dibatasi dan bahkan dilarang. Ini yang mengizinkan hijab meliputi inti pribadi mereka, melebihi outer image mereka yang dapat dirasakan oleh masyarakat umum. Memang, di ruang publik Iran, hijab melambangkan kekuasaan hukum yang keras dan simbol opresif terhadap perempuan. Namun keputusan seseorang untuk mengenakannya juga mempunyai kepentingan pribadi yang lebih dalam. Jadi meskipun dalam Persepolis sikap subversif Marjane terhadap stereotip perempuan Timur Tengah ini secara jelas diperlihatkan, ia menuliskan kembali gagasannya dalam Persepolis dengan memperkenalkan hijab sebagai cara berbusana yang tipikal. Seperti yang didemonstrasikan dalam film, hijab bukan hanya menunjukkan adanya rintangan dalam kehidupan privat dan publik, lingkungan inner dan outer, namun juga memiliki dan memuat maksud inner dan outer orang yang memakainya sendiri. Meskipun Marjane beserta keluarganya hanya menyatakan salah satu diantaranya, yaitu memakai hijab karena desakan pihak luar, tetapi alam bawah sadar mereka pun mengakui bahwa dorongan dari dalam tidak dapat dihindari. Konflik internal juga terjadi ketika di kemudian hari Marjane pulang ke Iran dan mengharuskan dirinya berhadapan dengan problematika berhijab. Di Iran, hijab dapat merepresentasikan kesalehan atau kealiman, namun hijab juga dapat menjadi simbol dominasi budaya patriarki dalam masyarakat. Dua perbedaan ini bergema dalam sejarah Iran sendiri, hijab yang pernah dilarang di masa kepemimpinan Shah dan hijab yang kini justru diperintahkan, diwajibkan kepada setiap perempuan Iran oleh penguasa Republik Islam. Pengunaan hijab merupakan alat politikal yang secara kuat dipakai untuk memanipulasi perempuan untuk merefleksikan aspirasi-aspirasi tertentu oleh negara. Pada tahun 1936, Shah Reza Pahlevi sebagai penguasa saat itu membuat undang-undang mengenai pelarangan perempuan untuk memakai hijab di depan publik. Beberapa perempuan Iran memprotes keputusan ini dan tetap memakainya di muka umum. Jika ketahuan memakai hijab di muka umum, polisi diperintahkan untuk memenjarakan mereka jika tidak ingin hijab mereka dilepas. Alih-alih memerdekakan perempuan, peraturan ini justru membuat mereka kehilangan kebebasan dalam menentukan pilihan untuk merepresentasikan dirinya di depan
Universitas Indonesia
publik. Dan seperti yang sudah diketahui, hal yang sama terjadi ketika revolusi berlangsung dan pada tahun 1983 ketika hukum penggunaan hijab sudah diberlakukan, perempuan Iran diwajibkan memakai hijab jika berada di ruang publik. Dua peraturan opresif yang berbeda ini rupanya tidak berbeda mengingat mereka sama-sama menggunakan perempuan sebagai alat politik kebijakan pemerintah yang disaat bersamaan mengungkung kebebasan perempuan sendiri.
3.2.2. Jiwa Pemberontak dan Sikap Pengerahan Potensi Diri Tokoh Marjane, yang juga berperan sebagai narator, digambarkan menyorot konflik batin yang dialaminya. Ada perjuangan konkrit dari dalam dirinya dengan pemberontakan perempuan yang ia munculkan dari pemikiran dan diskusi Marjane dengan ibu dan neneknya yang sejalan dengan pemikirannya. Tetapi peristiwa ini merupakan adat dan tradisi yang harus dilakukannya jika tidak ingin tersisih dari lingkungan masyarakat, dan baik Marjane maupun keluarganya tidak mampu menolak tradisi ini. Sikap dan pandangan tokoh Marjane yang berontak terhadap penggunaan hijab merupakan penolakannya terhadap tradisi. Marjane adalah wakil generasi baru yang berubah, ia menganggap hijab sebagai bentuk pengungkungan perempuan. Setelah kejatuhan Shah di tahun 1979 dan pemerintah Republik Islam berkuasa, semua perempuan baik remaja maupun perempuan dewasa, diwajibkan untuk menggunakan hijab ketika berada di ruang publik. Marjane, di usia remajanya, sudah mengoleksi berbagai merchandise musik-musik metal dan punk, membuatnya menjadi pemberontak yang tiada hentinya menantang norma-norma aturan pemerintahnya. Seperti yang ditunjukkan ketika Marjane mendapat banyak masalah karena mencoba berpakaian menurut gayanya sendiri, dengan jaket dan jeans, membuatnya dimarahi oleh gurunya karena ia mencoba mengekspresikan dirinya dengan cara lain yang tidak bisa dilakukannya. Jiwa pemberontak Marjane sudah terlihat sejak kecil. Rasa ingin tahunya yang besar pada segala hal sering membawanya pada banyak masalah. Seperti ketika ia membeli barang ‘gelap’ berupa album grup rock Iron Miden di sudut trotoar pinggir jalan Teheran. Marjane berani mengambil resiko dengan membeli barang tersebut, yang pada
Universitas Indonesia
akhirnya membawa masalah ketika ia dimarahi dua orang wanita bercadar dan berjubah hitam yang memergoki Marjane membeli barang ‘haram’.
Gambar 3.5: Adegan Film Persepolis, 28:32
Keadaan berlainan ketika Marjane yang berusia 13 tahun harus pindah ke Austria. Karena lingkungan di Teheran yang menurut orangtuanya dapat membahayakan Marjane, dan karena tindakan cerobohnya yang memberontak gurunya sendiri saat pelajaran berlangsung, ia kemudian ‘diasingkan’ keluar negeri. Di Wina, pada awalnya ia tinggal dengan kenalan ibunya, seorang biarawati. Hingga tahun 1986, Marjane cepat beradaptasi dengan teman-teman barunya. Lingkungan baru yang sangat berbeda dengan di Teheran membuat perubahan pola dan tingkah laku Marjane. Secara fisik, ia tidak lagi terlihat sebagai perempuan Iran, tetapi sebagai perempuan Eropa. Suatu ketika ia berpakaian a la punk ketika bergaul dengan teman-teman nonchalance-nya, atau bergaya hidup gembel ketika ia bergaul dengan rekan-rekan barunya yang merupakan segerombolan hippie.
Gambar 3.6: Adegan Film Persepolis, 51:28
Ketika akhirnya ia kembali ke Iran, Marjane tidak melupakan ‘aturan main’ di negaranya yang tetap mewajibkan pemakaian hijab bagi para wanitanya. Gambar dari memoir Marjane ini memperlihatkan dua sisi wanita di Iran. Sisi publik dan privat mereka berlawanan secara dikotomis. Topeng yang dikenakan untuk publik adalah topeng perempuan muslim dengan pakaian muslim yang menutup seluruh tubuh, sedangkan kepribadian asli muncul di pesta-pesta tertutup
Universitas Indonesia
dengan pakaian a la wanita Barat pada umumnya. Guna mencegah pelanggaran moral, yang salah satunya adalah berpesta, pasukan penjaga moral Islam pun mengerahkan banyak personil untuk berpatroli mencari para warga yang diamdiam sedang mengadakan pesta semalam suntuk di rumahnya. Ketika Marjane pulang dan berkuliah di Teheran, sifat pemberontak Marjane tidak hilang, justru semakin bertambah. Ia sempat mengajukan protes atas indoktrinasi yang dilakukan oleh para mullah. Yaitu aturan yang menghendaki semua perempuan Iran untuk menggunakan pakaian yang lebih panjang, tidak memakai kosmetik, dan menggunakan penutup kepala sehingga tidak ada sehelai rambut pun yang terlihat. Marjane mempertanyakan hal tersebut, “Since these trousers are the fashion right now, is religion defending our integrity or is it opposed to fashion? You critizise us, yet our brothers here have different hair and clothes. Why, as a woman, should their tight clothes have no effect on me while a shorter headscarf arouses them?” (1:19:20). Karena kritikan pedasnya yang mempertanyakan kebebasannya sebagai perempuan dibatasi oleh pihak otoritas dan perlakuan berbeda antara perempuan dan laki-laki tersebut, Marjane mendapat masalah dengan Komite Islam yang bertugas menjaga kesusilaan para mahasiswa.
Gambar 3.7: Adegan Film Persepolis, 1:17:05 dan 1:19:20
Ketidakadilan yang dilihat oleh Marjane semakin tidak masuk akal ketika ia dan rekan-rekannya sesama mahasiswi seni rupa berada di studio untuk melukis sebuah objek manusia. Namun yang menjadi objek lukisan adalah seorang model perempuan yang berpakaian rapat tertutup dari kepala hingga kaki. Menurut Marjane apa yang ia dan rekan-rekannya kerjakan menjadi sangat bodoh, karena tidak sejalan dengan mata kuliah yang mereka pelajari, kelas anatomi yang seharusnya memperhatikan semua angle dari objek yang mereka lukis, malah membuat lukisannya seperti tenda yang dipergunakan untuk berkemah. Suatu hari Marjane terlambat menghadiri kelas karena kesiangan. Ketika ia berlari mengejar
Universitas Indonesia
bus, dua prajurit revolusi penjaga moral menegur Marjane supaya ia tidak berlarilari karena ketika bergerak bagian belakang Marjane dapat menimbulkan perasaan cabul bagi yang melihatnya. Dengan kesal Marjane berteriak kepada dua prajurit itu supaya dengan demikian tidak melihat bokongnya. Sebagai sutradara, Satrapi memang banyak menyelipkan unsur komedi dalam Persepolis. Dibandingkan film drama yang monoton dan serius, komedi dalam Persepolis dipakai supaya pesan yang ingin Satrapi ungkapkan tersampaikan dengan lebih mudah baik melalui dialog-dialog satir yang miris namun menggelitik, hingga tingkah polah tokoh Marjane yang muncul dalam adegan yang dapat mengundang tawa, khususnya ketika ia menceritakan pengalaman-pengalaman masa remajanya di Teheran. Penonton pun boleh tertawa dengan kegilaan yang Marjane hadapi seperti yang dikisahkan dalam film, namun ketika seorang perempuan seperti Marjane berada dalam lingkungan tersebut (masyarakat Iran) selama bertahun-tahun, tertawa pun telah menjadi kegetiran dalam hidup. Pengalaman yang dikisahkan oleh Marjane seolah menunjukkan bahwa masyarakat di sana pun telah dipaksa untuk berjiwa hipokrit. Seseorang yang seharusnya lahir dan tumbuh dengan normal justru berkembang dalam sistem yang menghalangi dirinya untuk mengenal kepribadiannya sendiri. Karena apa yang tertanam di kepalanya adalah materi hafalan dari hasil indoktrinasi pemerintah Republik Islam atas segala yang dinamakan penjagaan moral dan kesusilaan masyarakat yang Islami. Menurut Marjane, masyarakat seperti inilah yang dapat menghancurkan integritas seseorang. Seseorang tidak lagi dapat menyuarakan pendapatnya, tidak lagi dapat mengekspresikan dirinya. Pada dasarnya perilaku mereka berbeda antara ranah publik dan privat. Dalam domain publik, perilaku yang muncul sesuai dengan slogan-slogan fundamentalis. Namun tidak ada kesamaan dengan apa yang sebenarnya dipikirkan dan diinginkan. Perilaku mereka di ruang publik tidak sesuai dengan kepribadian mereka sesungguhnya, sehingga muncul jiwa munafik yang terkesan dipaksakan, karena tidak memiliki pilihan lain. Sebagai perempuan yang selalu ditanamkan oleh orangtuanya untuk hidup berprinsip
dan
berbudaya,
Marjane
menyadari
bahwa
kecenderungan
berkepribadian bipolar seperti ini jika dipertahankan terus menerus dapat
Universitas Indonesia
membuat jiwanya terganggu. Karena itu, ia pergi dari Iran untuk mempertahankan kewarasannya. Ia juga memperhatikan bahwa dalam masyarakat seperti itu, perilaku perempuan tidak lagi bersifat normal. Ia menyaksikan teman-teman perempuannya banyak yang menjalani dua hidup yang berbeda setiap harinya. Boleh saja ketika siang mereka bersekolah dan menutupi tubuh mereka dengan pakaian serba hitam dan panjang, namun ketika malam tiba mereka berpesta dan mengganti hijabnya dengan pakaian perempuan-perempuan Barat pada umumnya. Namun Marjane mengerti bahwa semua itu merupakan salah satu bentuk resistensi emosional terhadap realitas yang terjadi di masyarakat kala itu. Apa yang telah dilakukan Marjane memperlihatkan bahwa ketika ia menuruti segala sesuatu yang bukan dari kehendaknya sendiri, Marjane sepenuhnya gagal. Ia tumbuh bukan sebagai dirinya sendiri, prinsip hidupnya kacau di tengah perlawanannya terhadap kehendak otoritas. Marjane merasa dengan terus hidup seperti ini, bukan tidak mungkin ia menjadi budak kultur patriarki yang terlanjur menyelubungi masyarakat di tanah airnya sendiri. Maka, Marjane memutuskan untuk keluar dari Iran dan memilih untuk melanjutkan hidupnya di Prancis. Bukan semata karena kemuakkannya terhadap hukum yang tidak memihak kepadanya, namun juga karena kemampuan, talenta dan potensi dirinya yang tertahankan dan tidak mampu ia manfaatkan semaksimal mungkin. Qasim Amin mengatakan bahwa perempuan yang dilarang untuk mendidik dirinya sendiri dan terjebak pada tugas-tugas domestik, atau perempuan yang dibatasi untuk mengejar pendidikan, sesungguhnya adalah budak. Ini disebabkan karena naluri alamiahnya dan talenta yang diberikan Tuhan kepadanya telah tersubordinasi dengan jelas oleh kondisinya sendiri, yakni kondisi yang serupa dengan moral perbudakan. Ia yang sepenuhnya terkungkung dan terselubung (pada lengan, kaki, dan tubuhnya) yang membuatnya tidak leluasa bergerak, berjalan, bernafas, melihat, dan berbicara, dapat digolongkan sebagai budak. 23
23
Diakses pada www.nmhschool.org/tthornton/mehistorydatabase/qasim_amin.htm , pada tanggal 19 Juni 2009 pukul 20 :13, Qasim Amin, Al-Marat al Jadidah (Cairo, 1900), Translated by Ted Thornton, NMH Middle East Resource Center. pp. 30-34.
Universitas Indonesia
3.2.3 Pandangan Hidup dan Posisi Tokoh Perempuan Lewat perspektif Marjane, peristiwa dan tokoh-tokoh digambarkan. Kisah hidup dan keberanian Marjane diceritakan dari sudut pandang Marjane. Maka kisah yang ditampilkan kepada penonton sesuai dengan pemahaman dan penafsiran Marjane tentang apa yang ditemuinya. Dengan posisi seperti ini tidak mungkin menghindari penilaian subjektif Marjane sebagai tokoh yang ikut terlibat dalam cerita. Apalagi penonton tidak mendapatkan gambaran lebih jauh tentang tokoh-tokoh lainnya. Cerita Marjane dalam Persepolis lebih banyak didominasi oleh perjuangan hidup dan penunjukkan potensi diri Marjane dari seorang gadis kecil menuju seorang perempuan dewasa. Ia memainkan tokoh utama bukan sebagai objek penderita laki-laki. Posisi Marjane sebagai narator membuatnya memiliki kekuasaan membangun citra perempuan dan membentuk cerita tentang laki-laki dan perempuan. Tokoh Marjane sebagai tokoh utama dan peran keluarga yang selalu mendukung keberaniannya, digambarkan sebagai karakter-karakter yang terjepit budaya tradisi dan modernisasi. Untuk menggambarkan benturan budaya, sutradara menyorot sistem, struktur dan kondisi budaya tertentu yang membentuk pola-pola pikir dan perilaku seseorang. Sutradara menggambarkan Marjane pada posisi terjerat tradisi dan tanpa disadari terseret dalam sikap memarjinalkan perempuan. Namun begitu Marjane kembali bersikap rasional, ia tidak lagi terjebak dalam masa transisi antara tradisi dan modernisasi. Sutradara memunculkan gugatan Marjane dalam perjuangan perempuan yang menghendaki perubahan. Hal ini bisa diamati dari caranya menggambarkan latar belakang serta alasan yang dikemukakan tokoh perempuan. Sebagian besar fokus film Persepolis terpusat pada perjuangan Marjane untuk menegaskan identitas dirinya. Marjane dibesarkan di lingkungan keluarga yang menyikapi dengan keras sikap opresi penguasa terhadap perempuan. Keluarga Marjane memaklumi bahwa satu-satunya cara bagi Marjane untuk mengembangkan dirinya secara penuh sebagai satu individu adalah memutuskan baginya untuk keluar dari Iran demi penemuan identitas sejatinya. Perjalanan Marjane kemudian membawanya untuk menerima dari mana dia berasal dan
Universitas Indonesia
untuk mengetahui siapa dia sebenarnya. Perjuangan yang Marjane hadapi dalam film ini merepresentasikan perjuangan perempuan Iran yang menahan terlalu lama untuk bebas menentukan dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sendiri. Ketika menjadi seorang imigran, Marjane dihadapkan pada sifat alamiah yang tidak dapat dipisahkan ketika ia berada di luar Iran. Suatu waktu ia bisa bergantung dengan negara dimana ia tinggal, sementara ia juga dapat berkoneksi dengan kampung halamannya. Bagi Marjane, sepeninggalnya dari Iran, Austria adalah negerinya untuk sementara. Rasa nasionalisme Marjane pun sempat dipertanyakan di salah satu adegan dalam film. Satu adegan yang memperlihatkan konflik batin Marjane tentang identitas kebangsaannya adalah ketika suatu malam ia berada di sebuah pesta di Wina bersama teman-teman sekolahnya, ia berbohong kepada temannya dengan mengatakan bahwa ia orang Prancis dan mengaku bahwa
namanya
adalah
Marie-Jean
laiknya
nama
perempuan
Prancis.
Sepulangnya dari pesta, ia menemui bayangan neneknya di pinggir jalan raya dan ‘berbincang’ dengannya. Neneknya mempertanyakan dimana rasa nasionalis Marjane sehingga bisa melupakan asal-usulnya. Marjane pun menebus pesimistik nasionalismenya ketika di suatu adegan dimana teman-teman asingnya bergosip karena mengetahui Marjane berbohong tentang nasionalismenya, Marjane membentak mereka, “That’s right I’m Iranian! And I’m proud of it!.”(53:33) Ketika Marjane menikah, ia sempat kesulitan dalam membina hubungan keluarga. Lelaki yang selama ini ia cintai ternyata tidak seperti yang dikenalinya selama ini. Suaminya pemalas dan pengangguran. Di dalam film ia digambarkan sebagai laki-laki yang tidak jelas. Marjane menanggapi laki-laki seperti itu sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan primitif karena suaminya menikahinya atas desakan nafsu birahinya saja. Maka Marjane menggugat cerai suaminya. Ibu Marjane sedari awal sudah berkeberatan dengan keputusan anaknya yang ingin menikah dini. Ia menginginkan anaknya independen, berpendidikan, dan berbudaya, bukan menikah di usia ke-21. Dialog antara Marjane dengan ibunya memberikan informasi bahwa masyarakat Iran tidak mempermasalahkan remaja menikah di usia dini, sementara ibu Marjane tidak ingin anaknya tumbuh seperti gadis Iran kebanyakan yang memutuskan menikah muda. Keputusan
Universitas Indonesia
Marjane untuk menikah adalah contoh nyata bagi perempuan Iran yang terpaksa untuk membuat keputusan yang tidak praktis, hanya supaya ia diberikan sedikit lagi kebebasan. Pandangan hidup ibu Marjane yang tidak ingin anaknya bersikap pasif karena mengikuti tradisi dan hukum pemerintahan Islam membuatnya menyuruh Marjane untuk keluar dari Iran dan mendapatkan emansipasi. Kondisi sosial politik di Iran menunjukkan ketidakpedulian masyarakat pada masalah perempuan. Ibu Marjane menginginkan anaknya menjadi perempuan sejati, a real woman. A real woman, selain berarti perempuan sesungguhnya atau perempuan nyata, kata ini bisa bermakna perempuan sejati atau benar-benar perempuan yang digambarkan sebagai sosok yang berani, yang patut dihargai dan dihormati karena apa yang telah diperbuatnya. Bukan perempuan sejati dalam perspektif patriarki, yaitu perempuan yang lembut, tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai yang dibangun budaya patriarki: setia, patuh, mengabdi pada keluarga, dan tetap berada di arena domestik. Citra ini membentuk perempuan yang tidak rasional, rapuh, tidak mandiri, dan mudah terpengaruh. Citra seperti inilah yang lebih diinginkan. Sedangkan
pandangan
hidup
tokoh-tokoh
perempuan
di
Persepolis
merepresentasikan kelompok perempuan yang menolak dan berontak terhadap dominasi laki-laki yang mentradisi dan melalui Marjane, pemberontakan perempuan terproyeksikan. Marjane adalah satu dari sekian banyak perempuan muda Iran yang ingin dibebaskan dari keterkungkungan, yang membutuhkan potensinya untuk dikembangkan sebagai satu individu, yang tidak ingin direnggut kebebasannya oleh penguasa. Marjane memang mendapatkan apa yang ia inginkan, namun secara nyata ia tidak melupakan apa yang sesungguhnya terjadi di tanah airnya sendiri.
Universitas Indonesia