BAB II PREDATOR PRICING DAN ETIKA BISNIS ISLAM
A. Predator Pricing 1. Pengertian Predator Pricing Predator pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan.14 Untuk dapat melakukan perbuatan tersebut, maka pelaku usaha haruslah mempunyai pangsa pasar yang besar dan keuntungan yang akan diperoleh dapat menutupi kerugian yang diderita selama masa predator. Terdapat dua syarat pendahuluan sebelum melakukan predatori yaitu; pertama, pelaku usaha yakin bahwa pesaingnya akan mati lebih dulu dari pada dia. Kedua, keuntungan setelah predatori akan melebihi kerugian selama masa predatori. Menurut R. Sheyam Khemani, predator pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan datang
14
http://id.wikipedia.org/wiki/Predatory_pricing (di akses tanggal 13 Oktober 2015)
21
22
pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan harga. Oleh karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan praktek predator pricing, namun tidak mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga, maka mungkin tidak akan terjadi predator pricing yang bertentangan dengan hukum. Dalam UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 6 UU Antimonopoli,‟Persaingan curang (tidak sehat) adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha‟. Oleh karena ketentuan yang mengatur mengenai Predator pricing dirumuskan secara rule of reason, maka sesungguhnya dapat dikatakan sebenarnya pelaku usaha tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau persaingan curang.15 Adapun contoh dari predator pricing penulis berikan ilustrasi sebagai berikut : Ada seseorang mempunyai usaha kerupuk kecil-kecilan sebut saja “S“ dan menjual di desa “L“ yang lebih kurang 1 jam lamanya perjalanan jika ditempuh dari tempat usahanya. Desa ini merupakan pasar yang paling besar dan dia kuasai dalam penjualan kerupuknya. Pada suatu hari ada kerupuk dari pabrik yang lain menjual dan menggeser pasar kerupuknya. 15
https://pandubudimulya.wordpress.com/2015/06/11/anti-monopoli-dan-persainganusaha-tidak-sehat/, 14 oktober 2015
23
Pendatang baru ini menjual kerupuk dengan harga yang sama, tetapi kerupuknya lebih besar dari kerupuk yang di jual “S”. Untuk menghadapi pabrik saingan ini, maka “S“ melakukan competitor monitoring untuk mengetahui data-data pesaingya, baik itu jumlah karyawan dan gajinya, jumlah dan wilayah konsumen, strategi penjualannya serta harga produk. Lalu “S“ membuat kerupuk yang sama besarnya seperti di jual oleh pesaingya dan harga yang sama, serta dia berpesan kepada karyawannya pada saat mengantar pesanan kerupuk, dia membantu penjaga toko atau warung dalam penyusunan display kerupuk dan berusaha meletakkan kerupuknya dengan menutup kerupuk pesaingnya. Selain itu “ S “ juga berusaha merayu karyawan untuk pindah ke pabriknya, sehingga dia dapat mempekerjakan karyawan yang sudah mengetahui pasar saingannya dan memanfaatkan bekas karyawan pesaingnya untuk mengembangkan penjualannya dan mematikan pasar pesaingnya. Predator pricing ini tidaklah selalu bertentangan dengan hukum. Harus dibedakan dengan persaingan sempurna atau persaingan yang sangat ketat, karena bisa saja dianggap predatori tapi sebenarnya adalah persaingan yang sangat kompetitif. Strategi predator pricing hanya bisa berlaku jika perusahaan pesaing baru sulit muncul dan pesaing yang sudah mati sulit bangkit lagi dalam industri tersebut. Jika tidak, ini adalah strategi “bunuh diri”: kalau pesaing baru mudah muncul, atau pesaing lama mudah bangkit lagi, sang predator perlu terus menerapkan harga yang kompetitif. Semakin lama persaingan
24
dilakukan, semakin dekatlah perusahaan pada kebangkrutan. Secara garis besar strategi predator pricing ini dilaksanakan dalam tiga tahap: 1) Perusahaan A memberikan harga yang rendah atas produk/jasa yang dia produksi dengan tujuan memperoleh sebanyak mungkin konsumen sehingga perusahaan pesaingnya (B,C, D) akan tertekan. meskipun sebenarnya perusahaan A merugi. 2) Ketika perusahaan pesaing (B, C, D) sudah tidak mungkin lagi dapat menggarap pasar karena pangsa pasar yang tersisa sudah sangat sedikit, maka dalam pasar tersebut tinggal satu perusahaan saja yang sangat dominan (perusahaan A). 3) Ketika sudah tidak ada lagi pesaing yang berarti (signifikan) maka perusahaan A akan menaikan harga barang/jasa, sehingga dapat menutup kerugian yang dialami pada tahap pertama. Kebijakan predatori pricing seperti itu tentu akan merugikan dunia usaha dan tentu saja konsumen. Kerugian yang ditimbulkan adalah sebagai berikut: a) Dominasi pasar oleh satu/lebih pelaku usaha akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar, sehingga secara makro akan menghambat investasi. b) Konsumen tidak memiliki cukup pilihan atas barang/jasa yang ditawarkan dalam suatu pasar. c) Pelaku usaha yang dominan akan menentukan harga secara sewenangwenang/tidak wajar.
25
2. Pelaku usaha Pelaku usaha secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:16 a.
Produsen Produsen tidak punya hubungan langsung dengan para konsumen, ini dikarenakan produsen hanya bertugas membuat makanan yang akan dijual oleh penjual.
b.
Penjual Penjual di sini mempunyai hubungan langsung dengan konsumen, karena setiap harinya penjualah yang berhadapan langsung dengan para konsumen. Di samping itu, beberapa kalangan ahli ekonomi yang tergabung
dalam ikatan sarjana ekonomi Indonesia (ISEI) mengatakan bahwa pelaku usaha itu terdiri dari 3 kelompok besar, yaitu : a. Kelompok penyedia dana atau biasa disebut dengan investor. Investor disini unutk memenuhi kebutuhan pelaku usaha atau orang perorangan (konsumen). Contoh : bank, koperasi atau lembaga penyedia dana lainya. b. Kelompok pembuat barang (produsen) seperti pabrik atau industri rumah tangga. c. Kelompok pengedar barang, seperti warung, PKL, toko dll.17
16
Ratno Pamungkas, Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Makanan dan Minuman yang Melanggar Label Halal, Skripsi, fakultas hukum Universitas Erlangga, Surabaya, 2004, hlm.21 17 Hadi soesanto, Aida Budiman, dkk, “Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir”, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm,.88
26
Menurut UU Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (3) pengertian Pelaku usaha adalah : “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” a. Kewajiban Pelaku Usaha Menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha yaitu sebagai berikut : 1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi
diperdagangkan.
atas
barang
yang
dibuatdan/atau
yang
27
6)
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. b. Hak-hak Pelaku Usaha Hak-hak pelaku usaha diatur di dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 6, yaitu : 1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ataujasa yang diperdagangkan. 2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. 4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 5) Hak-hak
yang
diatur
perundangundangan lainnya.
dalam
ketentuan
peraturan
28
c. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 8 sampai dengan Pasal 18, namun dalam kasus perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha ini khususnya tercantum pada Pasal 8 yang berbunyi : 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan Barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut. c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
29
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/ isi bersih atau netto. Komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat. j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangakan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
30
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang mempergunakan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. d. Tanggung jawab pelaku usaha Di dalam UU Perlindungan Konsumen diatur tentang tanggung jawab pelaku usaha yang tercantum di dalam Pasal 19 yang berbunyi: 1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen mengkonsumsi
barang
dan/atau
jasa
yang
dihasilkan
akibat atau
diperdagangkan. 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanaya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan.
31
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. 3. Hubungan antara mutu produk dan tanggung jawab produk Produk disebut produk cacat, bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya,
tidak
memenuhi
syarat-syarat
keamanan
tertentu
sebagaimana diharapkan orang, dengan mempertimbangkan berbagai keadaan yang ada, terutama tentang :18 a. Penampilan produk. b. Kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk. c. Saat produk tersebut diedarkan. Berkenaan dengan masalah hubungan antara mutu produk dan tanggung jawab produk. perlu dikemukakan terlebih dahulu beberapa pengertian istilah yang berkaitan dengan tanggung jawab produsen atau product liability. Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat dan dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen (product liability ) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangiable seperti listrik, produk alami (misalnya makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan
18
Nasution, konsumen dan hukum, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, cetakan I, hlm.173.
32
(misalnya peta penerbangan yang diproduksi secara masal ) atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (misalnya rumah).19 Pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen dan suku cadang. Berkenaan dengan masalah cacat atau rusak dalam pengertian produk yang cacat/rusak yang menyebabkan produsen harus bertanggunng jawab, dikenal ada 3 jenis, yaitu :20
a. suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen. b. Bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari desain produk tersebut lebih kecil dari resikonya. c. Buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket, atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentangpenggunaanya yang aman. Istilah product liability diterjemehkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti “ Tanggung gugat produk ” atau juga “Tanggung jawab produk“. Secara historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara pelaku usaha dan konsumen.21
19
Erman rajagukguk, et al, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000, cetakan I, hlm.44. 20 Ibid. hlm.45. 21 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Malang, Sinar Grafika, 2008, cetakan I, hlm.92.
33
Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan 3 hal (teori ), yaitu :22 a.
Pelanggaran jaminan Pelanggaran jaminan ini berkaitan dengan jaminan pelaku usaha, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk, atau barang yang dihasikan atau dijual mengandung cacat, dan ini dapat terjadi pada : 1) Konstruksi barang 2)
Desain
3) Pelabelan Contoh kasus: Sewaktu A sedang berbelanja di salah satu tempat perbelanjaan yang cukup ternama, A mencoba untuk membeli sebuah tempat beras dengan ukuran kecil, dimana tepat dibawah tempat beras tersebut tertera sebuah harga berkisar Rp 197 ribu, untuk memastikan A mencoba untuk mem-barcode kode barang tersebut sebelum A membayarnya di kasir. Setelah A barcode ternyata harga yang tertera sekitar Rp 206 ribu, untuk memastikan harga mana yang benar A mencoba untuk memanggil petugas yang sedang bekerja disitu dan dia juga mengatakan “Benar yang tertera Mba, sedang promo weekend”, karena mendengar penjelasan petugas tersebut lalu A membayarnya dikasir, sesampainya dikasir ternyata harga yang tertera sebesar Rp 206 ribu, A mencoba untuk menjelaskan kepada petugas kasir 22
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, jakarta, prenada media group, 2008, cetakan I, hlm.305.
34
sebagaimana petugas yang sebelumnya menjelaskan kepada A. Untuk meyakinkan petugas kasir tersebut mengajak A untuk ketempat dimana A mengambil barang tersebut, dan sekali lagi petugas kasir tersebut meminta salah satu petugasnya untuk memerisakan harga barang tersebut dengan petugas yang berbeda dengan A tadi. Petugas ini mengatakan bahwa harga yang benar Rp 206 ribu, karena A merasa benar A jelaskan kembali “Tapi itu didaftar harganya Rp 197 ribu” dengan santai dia menjawabnya “Ya itu harga lama, harga yang baru Rp 206” A berpikir kalau memang itu hrga lama kenapa masih dipasang disitu bukankah itu pembohongan public? Itu baru satu barang yang jelas terlihat perbedaan harganya, memang kalau dilihat selisih nilai nominalnya tidak terlalu jauh, tapi karena A sudah kesal dengan pembohongan tersebut akhirnya A memutuskan untuk pulang tidak jadi membeli barang itu. b.
Ada unsur kelalaian Adanya unsur kelalaian, manakala pelaku usaha yang digugat gagal menunjukkan bahwa ia cukup berhati-hati dalam membuat, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau
mendistribusikan
suatu barang. c.
Penerapan prinsip tanggung mutlak Alasan-alasan
mengapa
prinsip
tanggung
diterapkan dalam product liability adalah :23
23
Ibid,. hlm 307
jawab
mutlak
35
1) Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, risiko kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi barang-barang cacat/berbahaya di pasaran. 2) Dengan mengedarkan
barang-barang
di pasaran,
produsen
menjamin bahwa barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab. 3) Penerapan
tanggung
jawab
mutlak
dimaksudkan
untuk
menghilangkan proses penuntutan yang beruntun dan panjang. 4. Persaingan usaha Terkait dengan perihal eksistensi kebijakan persaingan usaha yang memang kental perspektif hukumnya, perlu kiranya disinggung terlebih dahulu mengenai beda antara terminologi “kebijakan” (“policy”) dan “hukum” (“law”). Perbedaan pengertian antara terminologi “Kebijakan Persaingan Usaha”
(yang
dalam
bahasa
Inggrisnya
diterjemahkan
sebagai
“Competition Policy”) dengan Hukum Persaingan Usaha (yang dalam bahasa Inggrisnya diterjemahkan sebagai Competition Law) pada dasarnya terletak pada keluasan lingkup pengertian dan bidang pembahasan dari kedua terminologi tersebut. Pengertian Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy) melingkupi pula pengertian dari Hukum Persaingan Usaha (Competition Law) atau dengan kata lain bidang Hukum Persaingan Usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam Kebijakan
36
Persaingan Usaha. Sedang pengertian dan lingkup bidang dari Hukum Persaingan Usaha tidak melingkupi seluruh pengertian dan bidang dalam Kebijakan Persaingan Usaha. Definisi Kebijakan Persaingan Usaha di samping melingkupi Hukum Persaingan Usaha, juga melingkupi perihal deregulasi, foreign direct investment, serta kebijakan lain yang ditujukan untuk mendukung persaingan usaha seperti pengurangan pembatasan kuantifikasi impor dan juga melingkupi aspek kepemilikan intelektual (intellectual property). Sehingga dalam persaingan usaha digunakan istilah “Kebijakan Persaingan Usaha” maka berarti termasuk pula di dalamnya “Hukum Persaingan Usaha”. Di dalam rezim pengaturan persaingan usaha terdapat dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan yang dikenal dengan istilah “per se” dan pendekatan yang kedua dikenal dengan “rule of reason”.24 Pada illegal per se (bahasa latin yang sama artinya dengan “dengan sendirinya” / “by itself” atau “in itself” dan not subject to interpretation) beberapa bentuk persaingan usaha seperti penetapan harga (price fixing) harus dianggap secara otomatis (dengan sendirinya) bertentangan atau melanggar dengan hukum karena aspek negatifnya dapat langsung terlihat atau diduga. Pendekatan
pelarangan ini,
penekanannya terletak pada
unsur formal dari perbuatannya. Sehingga tidak diperlukan adanya klausul kausalitas di dalam pengaturannya seperti klausula “…mengakibatkan 24
A.M. Tri Anggraini, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Perse Illegal dan Rule of Reason, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm,.81
37
kerugian perekonomian dan atau pelaku usaha lain.” Sedangkan dengan “rule of reason”, beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara umum. Dalam pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha yang meskipun anti-persaingan (misalnya tindakan merger
yang menghasilkan dominasi
satu
pelaku usaha) tetapi
menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan
konsumen
atau
perekonomian nasional pada umumnya. Atau sebaliknya, suatu tindakan usaha dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian nasional umumnya, seperti pada tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan tindakan restriktif (menghasilkan barriers to entry). Oleh karenanya, penekanan
pada rule of reson adalah unsur material dari
perbuatannya. Dan pada rule of reason, tindakan restriktif tidak rasionil yang menjadi sasaran pengendaliannya dan penentuan salah tidaknya digantungkan kepada akibat tindakan usaha (persaingan) terkait terhadap pelaku usaha lain, konsumen dan atu perekonomian nasional pada umumnya.25 Maka dari itu, untuk tindakan-tindakan tersebut dalam substansi pengaturannya dibutuhkan klausula kausalitas seperti di atas.
25
Ibid,.hlm.82
38
Untuk negara berkembang seperti Indonesia di mana kondisi sumber daya manusia pelaksana hukumnya (termasuk otoritas pengawas persaingan usahanya) masih kurang baik (lack), direkomendasikan untuk lebih banyak menggunakan pendekatan “per se” dari pada“rule of reason”. Hal ini karena pendekatan per se lebih sederhana dalam proses pembuktiannya ketimbang rule of reason. Namun begitu, tindakantindakan yang terkait dengan masalah struktur perusahaan seperti merger, konsolidasi, dan akuisisi serta integrasi vertikal yang memang memiliki unsur tujuan efisiensi tetap diperlukan pendekatan rule of reason ketimbang per se („dengan sendirinya”).
B. Etika Bisnis Islam 1. Pengertian Etika Bisnis Islam Islam menempatkan pasar sebagai tempat perniagaan yang sah, halal dan ideal. Meskipun terdapat persaingan, pasar dalam Islam tetap ditumbuhi dengan nilai-nilai syariah seperti keadilan, keterbukaan, kejujuran dan persaingan sehat, dimana persaingan sehat tersebut tetap menempatkan nilai dan moralitas Islam. Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa ada beberapa karakteristik atau ciri pasar yang Islami, antara lain: adanya kebebasan bagi setiap orang untuk keluar masuk pasar, tidak ada monopoli, adanya informasi yang cukup, tidak ada sumpah palsu, kecurangan dalam takaran dan tidak adanya penjualan barang yang diharamkan. Ajaran Islam menjunjung tinggi kebebasan individu, tetapi
39
yang dibatasi oleh nilai syariah dan mengarah pada kerjasama dan bukan pada persaingan yang mematikan. 26 Etika bisnis dalam Islam adalah sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq al
islamiyah)
yang
dibungkus
dengan
nilai-nilai
syariah
yang
mengedepankan halal dan haram. Jadi perilaku yang etis itu ialah perilaku yang mengikuti perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Dalam Islam etika bisnis ini sudah banyak dibahas dalam berbagai literatur dan sumber utamanya adalah Al-Quran dan Hadis. Pelaku-pelaku bisnis diharapkan
bertindak
secara
etis
dalam
berbagai
aktivitasnya.
Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen pokok dalam mencapai suksesnya suatu bisnis di kemudian hari. Menurut A. Hanafi dan Hamid Salam, etika bisnis Islam merupakan nilai-nilai etika Islam dalam aktivitas bisnis yang telah disajikan dari perspektif Al-Quran dan hadis, yang bertumpu pada 6 prinsip, terdiri dari kebenaran, kepercayaan,, ketulusan, persaudaraan, pengetahuan, dan keadilan.27 Dan perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan roda bisnisnya selalu memiliki motivasi dan perilaku Qur‟an, perlunya berwawasan ke depan dan menekankan perlunya perencanaan, hal itu sebagaimana firman Allah QS. Al Hasyr : 18.
26
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 160 27 Johan Arifin, “Fiqih Perlindungan Konsumen”, Semarang: Rasail Semarang, 2007. hlm.64
40
Artinya : “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah (tiap-tiap) diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS. Al Hasyr : 18)28 Di dalam ayat ini kita dilarang menjadi orang yang lupa kepada Allah, lupa kepada diri sendiri, sehingga kita menjadi orang yang fasik. Dalam larangan ini kita diperintahkan untuk selalu memperhatikan perbuatan kita untuk hari esok, karena setiap perbuatan yang dilakukan akan diminta pertanggung jawaban dan mendapatkan ganjarannya. Maka dalam Q.S Al-Hasyr : 18 inilah yang membahas tentang upaya yang harus dipertimbangkan umat muslim untuk memperoleh manfaat di masa yang akan datang. Berkaitan dengan hal ini yakni dalam melakukan kegiatan aktivitas ekonomi seperti investasi, menabung, dan pembentukan bank islami, hendaknya setiap mengambil keputusan atau menentukan perilaku yang akan diperbuatkan harus benar-benar diperhitungkan. Karena semua yang hendak dilakukan tersebut akan mendatangkan manfaat bagi diri kita sendiri dimasa yang akan datang. 2. Prinsip-prinsip Etika Bisnis Islam Prinsip-prinsip etika bisnis Islami, yaitu :29
28
Mujamma‟ Al Malik Fahd Li Thiba‟ At Al Mush-haf, Al Qur’an dan Terjemahannya”, Saudi Arabiyah: Al Qur‟anul Karim Kepunyaan Raja Fahd. hlm. 919 29 Johan Arifin, Fiqih Perlindungan Konsumen……………….hlm. 80
41
a.
Prinsip tauhid (kesatuan/unity). Prinsip ini merupakan prinsip pokok dari segala sesuatu, karena di dalamnya terkandung perpaduan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya menjadi satu (homogeneous whole). Maka Islam kemudian menawarkan keterpaduan antara agama sebagai perwujudan dari sikap taat hamba kepada Khalik, dengan berbagai aspek kehidupan di dunia (ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya) yang bertujuan untuk membentuk satu kesatuan yang utuh.
b.
Prinsip keseimbangan (keadilan/equilibrium). Prinsip yang kedua ini lebih menggambarkan dimensi kehidupan pribadi yang bersifat horizontal. Prinsip keseimbangan (equilibrium) yang berisikan ajaran keadilan merupakan salah satu prinsip dasar yang harus dipegang oleh siapapun.
c.
Prinsip kehendak bebas (ikhtiyar/free will). Konsep Islam memahami bahwa institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif dalam kehidupan perekonomian. Hal ini berlaku manakala terjadi persaingan bebas dapat terjadi secara efektif, hal ini dimungkinkan terjadi manakala tidak ada intervensi bagi pasar dari pihak manapun, tak terkecuali oleh pemerintah.
Dalam Islam
kehendak bebas mempunyai tempat tersendiri, karena potensi kebebasan itu sudah ada sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini. Namun, sekali lagi perlu ditekankan bahwa kebebasan yang ada dalam
42
diri manusia bersifat terbatas, sedangkan kebebasan yang tak terbatas hanyalah milik Allah semata. d.
Prinsip pertanggungjawaban (responsibility). Dan untuk memenuhi segala bentuk kesatuan dan juga keadilan, maka manusia harus bertanggungjawab atas semua perilaku yang telah diperbuatnya. Dan dalam dunia bisnis hal semacam itu juga sangat berlaku. Setelah melaksanakan segala aktifitas bisnis dengan berbaagi bentuk kebebasan, bukan berarti semuanya selesai saat tujuan yang dikehendaki tercapai, atau ketika sudah mendapatkan keuntungan. Semua itu perlu adanya pertanggungjawaban atas apa yang telah pebisnis lakukan, baik itu pertanggungjawaban ketika ia bertransaksi, memproduksi barang, menjual barang, melkukan jual-beli, melakukan perjanjian dan lain sebagainya.
e.
Prinsip kebenaran (correctnesss) Prinsip ini disamping memberi pengertian benar lawan dari salah, merupakan prinsip yang mengandung dua unsur penting yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebenaran meupakan satu prinsip yang tidak bertentangan dengan seluruh ajaran Islam. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan perilaku yang benar dan jauh dari kesan salah, semisal dalam proses transaksi barang, proses mengembangkan bisnis, maupun proses untuk mendapatkan keuntungan harus berlandaskan prinsip kebenaran. Dan tentunya jika
43
hal itu sudah dilaksanakan dengan sendirinya nilai kehalalannya akan tampak. f.
Prinsip ihsan (benevolence) Prinsip ini mengajarkan untuk melakukan perbuatan yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang lain, tanpa harus aturan yang mewajibkan atau memerintahnya untuk melakukan perbuatan itu. Atau dalam istilah lainnya adalah beribadah maupun berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak seperti itu, maka yakinlah bahwa Allah melihat apa yang kita kerjakan.
3. Fungsi Etika Bisnis Islam Pada dasarnya terdapat fungsi khusus yang diemban oleh etika bisnis Islami. Pertama, etika bisnis berupaya mencari cara untuk menyelaraskan dan menyerasikan berbagai kepentingan dalam dunia bisnis. Kedua, etika bisnis juga mempunyai peran untuk senantiasa elakukan perubahan kesadaran bagi masyarakat tentang bisnis, terutama bisnis Islami. Dan caranya biasanya dengan memberikan suatu pemahaman serta cara pandang baru tentang pentingnya bisnis dengan menggunakan landasan nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, yang kemudian terangkum dalam suatu bentuk yang bernama etika bisnis. Ketiga, etika bisnis teruptama etika bisnis Islami juga bisa berperan memberikan satu solusi terhadap berbagai persoalan bisnis modern ini yang kian jauh dari nilai-nilai etika.
44
Dalam arti bahwa bisnis yang beretika harus benar-benar merujuk pada sumber utamanya yaitu Al Qur‟an dan sunnah.30 4. Persaingan usaha dalam perspektif Islam. Kerugian terjadi karena adanya persaingan antar perusahaanperusahan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar, paling hebat dan paling kaya. Hal ini tidak sesuai dengan aturan Hukum dan norma jual-beli atau perdagangan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-sunnah. Diantaranya bahwa setiap pedagang atau pengusaha muslim dituntut untuk senantiasa berperilaku jujur dan adil serta menghindari segala bentuk persiangan yang curang dan kotor. Sebagaimana firman Allah dalam surat Hud : 85
Artinya: "Dan Syu'ayb berkata : Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.31 Secara garis besar Islam tidak menafikan adanya persaingan usaha dalam bisnis dalam rangka mencapai suatu keadaan yang “fair” bagi konsumen dalam memperoleh layanan dan harga yang terbaik dan kompetitif, tetapi Islam juga memberikan rambu-rambu sebagai bingkai 30
Ibid,. hlm. 76 Mujamma‟ Al Malik Fahd Li Thiba‟ At Al Mush-haf, Al Qur’an dan Terjemahannya”,……..hlm. 232 31
45
bagi para pelaku bisnis dalam mengarungi persaingan usaha, sebagai berikut : a.
Bertransaksi secara ribawi.
b.
Penipuan (curang dalam timbangan,tidak jujur, kebohongan dan ingkar janji.
c.
Mengkonsumsi hak milik orang lain dengan cara yang batil
d.
Tidak menghargai prestasi
e.
Partnership yang invalid
f.
Pelanggaran dalam pembayaran gaji dan hutang
g.
Penimbunan
h.
Penentuan harga yang fix
i.
Proteksionisme
j.
Monopoli
k.
Melakukan hal yang dapat melambungkan harga
l.
Tindakan yang menimbulkan kerusakan
m. Pemaksaan Adapun hal-hal yang dapat dilkukan untuk bersaing secara sehat dan secara Islami dan juga merupakan pedoman bagi pelaku bisnis yaitu sebagai berikut: a.
Tidak menghalalkan segala cara
b.
Berupaya menghasilkan produk berkualitas dan pelayanan terbaik sesuai syariah.
46
c.
Memperhatikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan aqadaqad bisnis Dalam UU RI No.5 tahun 1999 tentang larangan praktek persaingan
tidak sehat pasal 19 dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang membuat melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat berupa :32 a) Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau c)
Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan jasa pada pasar brsangkutan; atau
d) Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
32
UU RI. No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak sehat, hlm. 15