BAB II Potensi Biomassa Spirulina platensis sebagai Biosorben Logam Kromium (Cr )
A. Biosorpsi 1. Pengertian Biosorpsi Saat ini, pengolahan secara biologis untuk mengurangi ion logam berat dari air tercemar menjadi teknologi alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu di antaranya adalah biosorpsi yang memanfaatkan kemampuan pertukaran ion, pembentukan kompleks dan penyerapan mikroorganisme untuk menyerap logam berat (Krenaswati dan Panji., 2007: 82). Menurut Hirato (1992: 82) biosorpsi merupakan proses utama dari jenis adsorpsi yang berlangsung melalui daya tarik elektrostatik dari kation logam menjadi bermuatan negatif pada permukaan sel mikrobial.
2. Mekanisme Proses Biosorpsi Secara alami di mana kondisi tanpa kendali, proses biosorpsi ion logam berat umumnya terdiri dari dua mekanisme yang melibatkan proses active uptake dan passive uptake. Pada saat ion logam berat tersebar pada permukaan sel, ion akan mengikat pada bagian permukaan sel berdasarkan kemampuan daya afinitas kimia yang dimilikinya. Berikut merupakan perbedaan dari active uptake dan passive uptake.
7
8
a.
Passive uptake. Passive uptake dikenal dengan istilah proses biosorpsi. Proses ini terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalen dan divalen seperti Na, Mg, dan Ca pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat dan kedua adalah formasi kompleks antara ion-ion logam berat dengan functional groups seperti karbonil, amino, thiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi-karboksil yang berada pada dinding sel. Proses biosorpsi ini bersifat bolak balik dan cepat. Proses bolak balik ikatan ion logam berat di permukaan sel ini dapat terjadi pada sel mati dan sel hidup dari suatu biomassa. Proses biosorpsi dapat lebih efektif dengan kehadiran tertentu pH dan kehadiran ion-ion lainnya di media di mana logam berat dapat terendapkan sebagai garam
yang tidak terlarut
(Suhendrayatna, 2001: 5). Menurut Wainwright (1992: 82) metode ini menjadi tidak efektif bila terdapat penghambat-penghambat proses metabolisme (metabolic inhibitor) atau siklus gelap terang. Secara umum, biosorpsi ion logam berat berlangsung cepat, bolak balik dan tidak tergantung terhadap faktor kinetik biosorpsi bila dikaitkan dengan penyebaran sel (dispersed cell) (Nora et al, 1998). b. Active uptake Active uptake dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini secara simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan mikroorganisme atau/dan akumulasi intraselular ion logam tersebut. Logam berat dapat juga diendapkan pada proses metabolisme dan ekskresi pada
9
tingkat ke dua. Proses ini tergantung dari energi yang terkandung dan sensitifitasnya terhadap parameter-parameter yang berbeda seperti pH, suhu, kekuatan ikatan ionik, cahaya dll. Disamping itu proses ini dapat dihambat oleh suhu yang rendah, tidak tersedianya sumber energi dan penghambatpenghambat metabolisme sel. Di sisi lain, biosorpsi logam berat dengan sel hidup ini terbatas dikarenakan oleh akumulasi ion yang menyebabkan racun terhadap mikroorganisme. Hal ini biasanya dapat menghalangi pertumbuhan mikroorganisme
disaat
keracunan
terhadap
ion
logam
tercapai.
Mikroorganisme yang tahan terhadap efek racun ion logam akan dihasilkan berdasarkan
prosedur
mikroorganisme
yang
seleksi
yang
ketat
tahan
terhadap
terhadap
kehadiran
pemilihan
ion
logam
jenis berat
(Suhendrayatna, 2001: 5). Menurut Ahalya et al (2003: 73), berdasarkan ketergantungan metabolisme sel, mekanisme biosorpsi dapat dibagi menjadi: 1). Tergantung dari metabolisme 2). Tidak tergantung dari metabolisme Berdasarkan
lokasi
ditemukannya
logam
dari larutan,
biosorpsi dapat
diklasifikasikan menjadi: 1). Akumulasi ekstra seluler 2). Penyerapan dipermukaan sel 3). Akumulasi intraseluler Biosorpsi yang tidak tergantung dari metabolisme, penyerapan logam melalui interaksi fisika-kimia diantara logam dan gugus fungsi terdapat pada permukaan
10
sel dari mikroba (Ahalya et al., 2003: 73). Biosorpsi ionik dari permukaan sel mikroalga membentuk suatu proses untuk sejumlah gugus kimia (hidroksil, karboksil, karbonil dan gugus amino) yang terdapat dipermukaan sel (Davies et al., 2003; Chojnacka et al., 2005 dalam Gokhale et al., 2007: 3600); Ahalya et al., 2003: 73. Kecepatan biosorpsi dan mekanismenya sama untuk semua jenis mikroalga (Lodero et al., 2005 dalam Gokhale et al., 2007: 3600). Bagaimana pun nilainya signifikan ketika biomassa yang berbeda digunakan (Gokhale et al., 2007: 3600). Manfaat dari biosorpsi ini memiliki nilai ekonomi yang rendah dan tingkat efisiensinya tinggi terhadap penyerapan logam dari limbah (Naja et al., 2004: 1).
3. Biosorben Menurut Ahalya et al (2003: 72) biosorben yang kuat dari beberapa mikroorganisme terhadap ion logam merupakan fungsi dari susunan kimia dari sel mikroba yang mati dan metabolisme selnya tidak aktif. Dinding sel lapisan luar dari mikroalga terbentuk dari bahan pektin sedangkan lapisan dalam terbentuk dari selulosa. Contohnya: Entermorpha, Caulerpa, Halimeda dan Spirulina. Berbagai molekul kompleks permukaan sel pada pH fisiologis antara lain gugus kimia fosforil, karboksil dan amino, secara keseluruhan dapat memberi muatan negatif atau anionik yang akan berinteraksi dengan ion atau molekul bermuatan yang berada pada lingkungan luar. Akibatnya kation logam secara elektrostatik akan terikat pada permukaan sel (Langley and Beveridge, 1999 dalam Syamsudin, 2003: 1).
11
Mikrolga dapat dimanfaatkan sebagai biosorben logam berat karena dalam proses pertumbuhannya, mikroalga membutuhkan berbagai jenis logam sebagai nutrien alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan sangat bervariasi. Suatu lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat yang melebihi jumlah yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan mikroalga terhambat, sehingga dalam keadaan ini eksistensi logam dalam lingkungan adalah polutan bagi mikroalga (Bachtiar, 2007: 12). Secara umum, keuntungan pemanfaatan mikroalga sebagai biosorben adalah: 1). Mikroalga mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengadsorpsi logam berat karena di dalam mikroalga terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma. 2). Bahan bakunya mudah didapat dan tersedia dalam jumlah banyak. 3). Biaya operasional yang rendah. 4). Sludge yang dihasilkan sangat minim. 5). Tidak perlu nutrisi tambahan
(Bachtiar, 2007: 12-13).
Mikroalga itu sendiri banyak ditemukan di lingkungan air tawar. Menurut Donmez et al., (1999: 886), mikroalga dapat menyisihkan ion logam berat dengan mekanisme adsorpsi dan absorpsi yang sama seperti yang dilakukan oleh mikroorganisme lainnya seperti bakteri, karena pada bakteri juga memiliki kemampuan yang sama seperti mikroalga. Adanya kemampuan mengikat logam pada bakteri diduga karena adanya gugus kimia pada membran luar, yaitu lapisan
12
lipopolisakarida (LPS). Lapisan LPS bersifat sangat anionik di bawah protein membran luar sehingga lapisan ini diduga sebagai situs pengikatan logam pada bakteri gram negatif (Langley & Beveridge, 1999 dalam Syamsudin, 2003: 1). Menurut Volesky (1994: 103) kualitas dari biosorben dinilai berdasarkan dari berapa banyak sorbat yang dapat menarik dan menahan dalam bentuk immobilisasi. Untuk tujuan ini telah ditetapkan kapasitas pengikatan logam (q) oleh biosorben sebagai jumlah sorbat yang terikat pada setiap unit dalam bentuk padat (berat, volume, dll). Perhitungan dari pengikatan logam yaitu mg/g sorben kering yang berdasarkan pada keseimbangan materi dari sistem sorpsi, yaitu sorbat yang ‘hilang’ dari larutan dalam bentuk padatan.
Gambar 2.1 Elektron mikrograf dari Spirulina platensis pada bagian dinding sel yang multilayered (cw). Sekumpulan subseluler dari sitoplasma. Akumulasi dari granula poliglukan (pg) menutupi dinding sel longitudinal (cw) dan dalam ruang intertilakoidal. Pada daerah sitoplasma bagian tengah terdapat beberapa karboksisom (cs) (tanda panah) dan dua badan silinder (cb). Pada perbesaran 0,5 m (Sumber: Tomaselli, 2002: 6).
13
Gambar 2.2 Elektron mikrograf dari Spirulina platensis pada daerah sitoplasma. Susunan dari membran tilakoid (t), area bebas tilakoid (tf), diisi dengan ribosom (r), bulir lipid (l), daerah nukleoplasma bagian tengah menunjukkan beberapa karboksisom (cs) dan satu badan silinder (cb). Pada perbesaran 0,5 m (Sumber: Tomaselli, 2002: 8).
Pada Gambar 2.1 dan 2.2 merupakan struktur umum dari Spirulina platensis. Pada dinding sel, kebanyakan gugus kimia berperan dalam biosorpsi pengikatan logam oleh organisme seperti mikroalga dan bakteri atau dengan molekul seperti biopolimer. Gugus kimia tersebut berperan penting untuk proses biosorpsi logam oleh beberapa biomassa, proses ini tergantung kepada jumlah sisi aktif pada materi biosorben, kemudahan pengikatan oleh sisi aktif, keberadaan gugus kimia pada sisi aktif dan afinitas diantara sisi aktif dan logam (Regine et al., 2000: 19). Biosorpsi logam berat kromium, timbal dan tembaga oleh mikroorganisme dari limbah industri telah diteliti (Ilhan et al., 2004: 50).
14
B. Logam Berat Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, bobot ini beratnya lima kali dari berat air, sehingga dengan sendirinya logam yang beratnya kurang dari 5 gram termasuk logam ringan (Darmono, 1994: 7) serta terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977: 1). Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977: 139). Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut Darmono (1994: 95) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+. Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengendalian Pencemaran Lingkungan, dijelaskan bahwa membuang limbah cair kedalam tanah tidak diperkenankan, kecuali mendapat izin dari menteri terkait dan berdasarkan hasil penelitian. Oleh karena itu diharapkan bahwa setiap kegiatan industri yang
15
mengeluarkan limbah harus dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah, dengan harapan untuk menekan dampak yang terjadi, sehingga kelestarian lingkungan dapat teratasi (Anonim, 2008). Kontaminasi lingkungan oleh logam yang bersifat toksik merupakan masalah yang serius di seluruh dunia, karena akan terakumulasi dalam rantai makanan dan akan terus berada didalam lingkungan (Hong and Pan, 2004: 171).
C. Kromium Kromium merupakan salah satu contoh logam berat yang bersifat karsinogenik, termasuk unsur golongan VI B pada tabel susunan berkala (Larashati, 2004).
1. Sifat Kromium Menurut Svehla (1985: 270-271) kromium merupakan logam kristalin berwarna putih, tidak begitu liat dan tidak dapat ditempa. Titik lebur kromium adalah 1765° C. Logam ini larut dalam asam klorida encer atau pekat. Dengan adanya oksigen dari atmosfer, kromium sebagian atau seluruhnya menjadi teroksidasi ke keadaan tervalen (ke dalam bentuk ion kromium III). Asam nitrat, baik yang encer maupun yang pekat, membuat kromium menjadi pasif, begitu pula asam sulfat pekat dingin dan air raja. Dalam larutan-larutan air, kromium membentuk tiga jenis ion, yaitu kation-kation kromium (II), kromium (III) dan anion kromat (dan dikromat), yang dalam keadaan teroksidasi yaitu kromium +6. Umumnya kromium di alam berada pada valensi 3 [Cr(III)] dan valensi 6 [Cr(VI)] (Larashati, 2004: 1), kedua unsur ini memiliki kesamaan sifat biologi
16
(Suhendrayatna, 2001: 3). Kromium (VI) bersifat toksik bila dibandingkan dengan Cr(III). Toksisitas Cr(VI) diakibatkan karena sifatnya yang berdaya larut dan mobilitas tinggi di lingkungan. Apabila masuk ke dalam sel dapat menyebabkan kerusakan DNA sehingga terjadi mutasi. Cr(llI) bersifat daya larut rendah dan penting bagi metabolisme sebagai kofaktor insulin (Larashati, 2004: 1). Kromium bervalensi tiga umumnya merupakan bentuk yang umum dijumpai di alam, dan dalam material biologis kromium selalu berbentuk valensi tiga, karena kromium valensi enam merupakan salah satu material organik pengoksida tinggi (Suhendrayatna, 2001: 3).
2. Sumber Logam Kromium Logam ini banyak digunakan di industri-industri seperti industri pengolahan kulit (Ardeniswan, 1993; Gokhale et al, 2007: 3600), industri besi baja, industri pelapisan logam (electroplating), industri fotografi, dan industri pigmen. Juga digunakan sebagai katalis dan pelapis material (Chojnacka, 2007: 218). Pada industri yang menggunakan sistem uap air panas (boiler), kromium heksavalen digunakan sebagai bahan anti korosif pada bagian dalam dinding boiler (Ardeniswan, 1993: 1; Bramer, 1976: 17).
3. Pengaruh Logam Kromium Terhadap Organisme Pada bahan makanan dan tumbuhan mobilitas kromium relatif rendah dan diperkirakan konsumsi harian komponen ini pada manusia di bawah 100
g,
kebanyakan berasal dari makanan, sedangkan konsumsinya dari air dan udara dalam level yang rendah (Suhendrayatna, 2001: 4). Kromium yang bersifat asam
17
sangat bersifat korosif pada kulit serta membran mukasid (selaput lendir). Kontak dengan kromium secara langsung dan terus menerus bagi kulit yang sensitif akan menyebabkan koreng (ulcer) selebar ujung pensil di sekitar kuku maupun punggung tangan (Anonim, 2008: 1). Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Karena dalam limbah itu tidak hanya satu namun terdapat beberapa jenis ion logam (Li et al., 2004: 135). Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (Sutamihardja dkk, 1982: 1), yaitu: 1). Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan). 2). Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut. 3). Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.
C. Mikroalga Spirulina Mikroalga merupakan salah satu organisme yang potensial (Abd El-Baky et al., 2008: 151). Salah satu dari mikroalga tersebut adalah Spirulina, yang mirip dengan sianobakteria dan berbentuk filamen, mengandung protein serta nilai
18
nutrisi yang tinggi (Lúcia et al., 2002: 251; Spiller et al., 2000: 1; Göksan, et al, 2007: 47; Fournadzhieva et al., 2000: 1). Spirulina dapat tumbuh di air laut, danau air tawar dan di kolam (Tornabene et al., 1985: 121). Pada musim-musim tertentu pertumbuhan mikroalga selalu melimpah di danau-danau hingga menimbulkan eutrofikasi bagi kehidupan yang ada dibawahnya (Kabinawa, 2006: 6; Lehman, 2007: 795). Spirulina merupakan ganggang renik berwarna hijau kebiruan yang hidupnya tersebar diseluruh ekosistem darat maupun ekosistem perairan. Ganggang ini mudah tumbuh di danau-danau alami dengan keasaman air alkalis (pH 8,5 - 11) sehingga bisa tumbuh monokultur seperti di danau Chad, Lembah Rift, Texcoco, Togo, Ethiopia, Kenya dan Peru. Untuk di Indonesia mikroalga ini tumbuh endemis di Situ Ciburuy Padalarang dan Ranu Kelakah (Kabinawa, 2006: 6). Spirulina dapat tumbuh subur pada kisaran suhu 18 – 40 °C dengan intensitas cahaya rendah sampai tinggi (500 – 350.000 lux) (Kabinawa, 2006: 6). Suhu merupakan faktor klimatik yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan Spirulina sp. Dibawah suhu 20° C pertumbuhannya hampir nol, namun spirulina tidak mati. Suhu optimum untuk pertumbuhannya yaitu 35° C, namun suhu sekitar 38° C berbahaya bagi spirulina (Jourdan, 2001: 3).
1. Klasifikasi Spirulina Menurut Kabinawa (2006: 6-7) Spirulina dikelompokkan ke dalam golongan Thallophyta yaitu tumbuhan yang tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Spirulina di kelompok Thallophyta termasuk ke dalam dunia alga dengan kelas Chrysophyceae dan spirulina ini mirip dengan kelas Cyanobacterium karena tidak memiliki inti sel. Bakal inti sel Spirulina tersusun atas partikel-partikel kromatin.
19
Dinding sel spirulina mengandung polisakarida dalam bentuk mukopolisakarida seperti bakteri yang berfungsi sebagai makanan cadangan. Spirulina memiliki zat warna Cyanophysin sehingga dikenal juga dengan nama Cyanobakterium. Kelompok Cyanophyceae dicirikan oleh adanya zat warna hijau kebiruan (Cyanophysin), tidak memiliki flagella dan bergerak dengan meluncur. Secara garis besar spirulina diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Cyanophyta
Kelas
: Cyanophyceae
Ordo
: Nostocales
Famili
: Oscillatoriaceae
Marga
: Spirulina
(Sumber: Kabinawa, 2006: 6-7).
2. Morfologi Spirulina Menurut Kabinawa (2006: 7), dalam hal morfologi Spirulina merupakan ganggang renik multiseluler yang berbentuk filamen (benang) yang tersusun atas sel-sel berbentuk silindris tanpa sekat pemisah (septa), tidak bercabang, dengan trikhoma berbentuk heliks dan berwarna hijau kebiruan. Panjang trikhoma sekitar 20 mm, sehingga dapat terlihat dengan mata telanjang. Diameter sel 1-3 m pada tipe yang lebih kecil, sedangkan pada tipe yang lebih besar 3-12 m. Meskipun demikian ada juga spirulina yang dapat tumbuh hingga mencapai 35-50 seperti yang terdapat di Danau Chad, Meksiko.
m,
20
Menurut Kabinawa (2006: 8), pada sitoplasma spirulina terdapat 4 lapisan dinding sel yaitu sebagai berikut: 1). Lapisan eksternal atau lapisan terluar yang posisinya sejajar dengan sel axis dan bersifat gram negatif. 2). Lapisan berikutnya adalah lilitan lapisan protein fibril sepanjang trikhoma. 3). Lapisan peptidoglikan, letaknya menuju ke dalam filamen dan menyatu dengan lapisan septa/dinding pemisah antar sel yang berbentuk cakram tipis, berkaitan dengan belitan spiralnya. Kandungan peptidoglikan mencapai 50% dari berat biomassa. Apabila septanya hilang, sel akan mengalami transformasi genetika menjadi bentuk nonspiral yang bersifat permanen. 4). Selaput lendir dinding sel yang terdiri atas senyawa gula seperti glukosa, galaktosa, arabinosa, manosa, xylosa dan rhamnosa dalam jumlah sedikit yang dikeluarkan melalui poriositi dinding sel. Selaput lendir tersebut berfungsi untuk melindungi sel dari kekeringan dan memudahkan pergerakan sel.
Gambar 2.3 Bentuk dari Spirulina platensis pada pembesaran mikroskop 40x10 (Sumber: dokumentasi pribadi).
21
(a) (b) Gambar 2.4 (a) Scanning elektron mikrograf dari Arthrospira platensis dengan bagian trikom pada filamen helik yang menggulung (10 m) (Tomaselli, 2002: 4). (b) Berbagai jenis spirulina (Fournadzhieva, 2000: 3).
Terdapat beberapa keuntungan mengolah limbah dengan menggunakan spirulina yaitu: 1). Karena berbentuk filamen, sehingga mudah menggumpal dan mudah di panen serta harganya lebih murah dibandingkan dengan mikroalga lainnya. 2). Dibawah kondisi yang cocok, proteinnya akan meningkat hingga 60-70% dari massa kering. 3). Nilai nutrisi sebagai makanan manusia telah diakui. 4). Mengandung banyak komponen biokimia yang dapat di ekstrak untuk meningkatan potensial nilai biomassa. 5). Dapat tumbuh baik pada medium basa. 6). Beberapa spesies resistan terhadap toksisitas amonia pada pH tinggi (Laliberté et al., 1997: 159).
22
3. Fisiologi Spirulina Seperti kebanyakan cyanophyceae, spirulina termasuk organisme obligatfotoautotrof, yaitu organisme yang pertumbuhan selnya sangat tergantung pada cahaya matahari. Spirulina tidak mampu tumbuh dalam keadaan gelap atau jika dikultur di laboratorium harus dalam medium yang mengandung bahan organik sebagai sumber karbon (Kabinawa, 2006: 11). Dalam keadaan terang dengan cahaya tinggi, spirulina bisa memanfaatkan glukosa sebanyak 0,1% sebagai sumber karbon dan berefek positif terhadap reproduksi selnya. Dalam kondisi terang dengan intensitas cahaya rendah dalam kultur sinkronisasi (16 jam terang dan 8 jam keadaan intensitas cahaya rendah) akan membuat biomassa spirulina membesar sampai 3 kali dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan pada proses fotoautotrof biasa (Kabinawa, 2006: 11).