BAB II POLIGAMI DALAM ISLAM DAN TINJAUAN UMUM TENTANG GENDER
A. Poligami Dalam Islam 1. Sekilas Sejarah Poligami Pada masa pra-Islam tidak ada pembatasan tentang jumlah isteri yang dimiliki laki-laki. Para pemuka dan pemimpin mempunyai banyak isteri untuk menjalin hubungan dengan keluarga lainya. Sebelum Islam datang poligami dilakukan tanpa aturan, batasan dan syarat.1 Setiap laki-laki boleh kawin dengan beberapa perempuan menurut kemauannya. Dan itulah yang berlaku di kalangan bangsa-bangsa zaman dahulu.2 Agama Yahudi juga membolehkan poligami tanpa batas. Nabi-nabi yang namanya disebut dalam Taurat semuanya berpoligami, tanpa pengecualian. Ada keterangan di Taurat bahwa Nabi Sulaiman a.s. (Solomon) memiliki 700 isteri dan 300 selir. Sementara Raja David (Daud) mempunyai enam isteri dan sejumlah selir.3
1
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2003, hlm. 28. lihat juga : Yusuf Qardhawi, Hadya al-Islam: Fatawa alMu’asyirah, ((tarj.) Al-Hamid al- Husaini, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 685-686. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Cairo: Daar: al-Fatah al-I’lam al-Arabi, 1990, hlm. 237 2 Misalnya di kalangan bangsa Yunani pada masa kejayaan Athena, di kalangan bangsa Cina, Bangsa India, Kerajaan Babylonia, Kerajaan Assyria, Kerajaan Mesir. dan poligami di kalangan mereka jelas tidak terbatas, dengan beberapa isteri. Agama “Like” dikerajaan Cina umpamanya memperbolehkan poligami sampai 130 isteri bahkan ada yang sampai 30.000 (tiga puluh ribu) isteri. Lihat Musthafa al-Syiba’y, al-Mar’atu Baina al-Fiqh wa al-Qanuun, (Tarj.) Chadidjah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hlm. 100 3 Ibid.
16
17
Sedangkan dalam agama Kristen tidak ada keterangan yang tegas melarang poligami, yang ada hanyalah kata-kata bernada nasehat bahwa Allah SWT menciptakan seorang isteri untuk tiap laki-laki, hal ini hanya merupakan dorongan agar supaya laki-laki mencukupkan hanya satu isteri saja dalam kehidupan normal.4 Dalam sejarah masyarakat Islam formatif tercatat pula beberapa tokoh yang juga memiliki banyak isteri. Sejarah mencatat, misalnya Mughirah Shuebah memiliki 80 isteri sepanjang hidupnya, Muhammad Thayib (432 H) pernah menikahi sejumlah 900 perempuan, bahkan salah seorang Khalifah Abbasiyah yang membawa Islam ke zaman keemasan, Harun al-Rasyid membangun tempat khusus untuk lebih dari seribu selirnya. Fenomena ini menunjukan bahwa tradisi poligami merupakan tradisi yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 5 Tidaklah benar anggapan bahwa poligami merupakan tradisi yang berkembang dalam Islam. Islam membolehkan poligami dengan pembatasan sampai empat orang dengan persyaratan yang dapat berbuat adil kepada para isteri-isterinya. Islam menetapkan hal tersebut sebagai batas maksimum dan seorang tidak boleh melebihinya.6
4
Namun tidak ada keterangan mengenai hal ini dalam injil sebagaimana dikutip oleh al Syiba’y bahwa beberapa surat Paulus ada keterangan bahwa poligami itu boleh. Dengan mengatakan : “Tidak mesti seorang Uskup menjadi suami dari seorang isteri saja, dan menetapkan peraturan yang demikian itu kepada Uskup adalah menjadi alasan tentang bolehnya poligami itu untuk orang lain yang buka Uskup”. Ibid., hlm. 101 5 Suhadi, Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Agama, Budaya dan Wacana Poligami, KOMPAS, Senin 16 Agustus 2002. 6 Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, (tar.) M. Hashem, Bandung: Lentera Basritama, 2000, hlm. 255
18
2. Pengertian dan Dasar Hukum poligami Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu apolus yang artinya banyak dan gamos yang berarti perkawinan.7 Poligami dalam istilah bahasa Arab : ﺘﻌـﺩﺩ ﺍﻟﺯﻭﺠـﺔyang artinya adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak boleh lebih darinya.8 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.9 Menurut Sudarsono apabila seorang laki-laki menikah dengan dua sampai empat orang maka disebut poligami. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : 10 a) Yang menikah lebih dari satu hanya pada pihak laki-laki, oleh sebab itu perlakuan yang menyimpang ciri-ciri ini dilarang Islam . b) Jumlahnya dibatasi, yaitu maksimal empat orang perempuan sesuai dengan surat al-Nisa ayat : 3
7
Leli Nurohmah, Poligami Saatnya Melihat Realitas, Jakarta: Jurnal Perempuan : Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Edisi 31, 2003, hlm. 33. 8 Didin Hafifuddin, Memahami Keadilan dalam Poligami, Jakarta: Globalmedia, 2003, hlm. 25. Istilah ﺘﻌﺩﺩ ﺍﻟﺯﻭﺠﺔjuga dipakai oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah lihat hlm. 237. 9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 693. Sedangkan Sidi Ghazalba sebagaimana dikutip oleh Prof. DR Huzaiman Tahido Yanggo adalah bahwa sebenarnya poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri, tetapi karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negaranegara yang memakai hukum Islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami. Lihat makalah : Huzaiman Tahido Yanggo, Poligami dalam Perspektif Hukum Islam, dalam situs Muslimat Nahdhatul ‘Ulama : http:/www. muslimat-nu. Or.id atau e-mail : Sekretariat@muslimatnu .or.id. 10 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam , Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 234.
19
c) Setiap poligami harus memenuhi syarat tertentu yaitu laki-laki dapat berbuat adil kepada isteri-isterinya, giliran menggauli dan nafkah.11 Sedangkan dasar hukum bagi pembolehan bagi laki-laki untuk beristeri lebih dari satu dan maksimal 4 orang hal tersebut berdasarkan firman Allah :
ﻻ ﺨ ﹾﻔ ﹸﺘ ْﻡ َﺃ ﱠ ِ ﻥ ْ ﹶﻓِﺈ ( ٣ :) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
ﺝ
ﺙ َﻭ ُﺭ َﺒ َﻊ ﻥ ﺍﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِﺀ َﻤﺜﹾﻨﻰ َﻭﺜﹸﻼ ﹶ َ ﺏ ﹶﻟ ﹸﻜ ْﻡ ﱢﻤ َ ﻓﹶﺎ ﹾﻨ ِﻜﺤُﻭﺍ ﻤَﺎ ﻁﹶﺎ
ﻻ ﹶﺘﻌُﻭﻟﹸﻭﺍ ﹶﺫﻟِﻙَ َﺃ ْﺩﻨﹶﻰ َﺃ ﱠ
ﻗﻠﻰ
ﺕ َﺃ ْﻴﻤَﺎ ﹸﻨ ﹸﻜ ْﻡ ﺤ َﺩ ﹰﺓ َﺃ ْﻭ ﻤَﺎ ﻤَﹶﻠ ﹶﻜ ﹾ ِ ﹶﺘ ْﻌ ِﺩﻟﹸﻭﺍ ﹶﻓﻭَﺍ
Artinya : “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil. Maka kawinilah seorang saja. Atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (al-Nisa: 3).12 Maksud ayat ini menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut: “Bahwa bila anak perempuan yatim berada di bawah asuhan dan kekuasaan salah seorang di antara kamu dan kamu takut tidak dapat memberikan kepadanya maskawin yang sama besarnya dengan perempuan-perempuan lain, maka hendaklah kamu pilih perempuan lain. Saja, sebab perempuan lain ini banyak dan Allah tidak mau mempersulit, bahkan dihalalkan bagi seorang laki-laki kawin sampai empat orang isteri namun jika takut akan berbuat durhaka kalau kawin lebih satu dari seorang perempuan maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang saja atau mengambil budak-budak perempuan yang ada di bawah tangannya.”13 Sedangkan dalam hadits untuk membatasi dalam berpoligami didasarkan pada hadits Gailan ibn Salamah dari riwayat Abdullah bin Umar sebagai berikut :
11
Ibid. Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 115 13 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 222 12
20
ﺃﻥ ﻏﻴﻼﻥ ﺒﻥ ﺴﻠﻤﺔ ﺃﺴﻠﻡ ﻋﺸﺭ ﻨﺴﻭﺓ ﻓﺄﺴﻠﻡ ﻤﻌﻪ ﻓﺄﻤﺭﻩ ﺍﻟﻨﺒﻲ 14
()ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺤﻤﺩ ﻭﺍﻟﺘﺭﻤﺫﻯ
ﺼﻠﻌﻡ ﺃﻥ ﻴﺘﺨﻴﺭ ﺃﺭﺒﻌﺎ
Artinya : Sesungguhnya Gailan ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 orang isteri. Mereka bersama-sama dia masuk Islam. maka Nabi memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja di antara mereka (dan menceraikan yang lainnya). (Riwayat Ahmad, al-Tarmidzi) 3. Syarat dan Aturan Poligami dalam Islam Beberapa ulama dzahiri15 ada yang menafsirkan ayat al-Qur’an (4:3), matsna artinya, dua, dua, tsulats, artinya tiga, tiga dan ruba, artinya empat, empat. dan demikian jumlah tersebut di izinkan bertambah 18. Kemudian Ada orang yang menafsirkan bahwa matsna wa thulasa wa ruba’ menarik dalam jumlah bilangan yaitu 9, artinya menjadi sembilan isteri. Menurut Abdur Rahman I. Doi adalah sebuah interpretasi yang tidak tepat terhadap perintah al-Qur’an. Penafsiran ayat ini termuat dalam hadits Nabi. Nabi bersabda kepada Ghaylan ibn Umayyah al-Thaqafi siapa dipandang keadilannya oleh Islam dan mempunyai sepuluh isteri. “pilihlah empat dari mereka dan ceraikan yang lain”.16 Ayat ini mempunyai latar belakang dibolehkannya poligami karena merasa khawatir tidak terurusnya anak-anak yatim yang 14
Al-San’ani, Subul al-Salam, Juz. 3, Kairo: Daar al-Ihya al-Araby, 1960, hlm. 132 Ulama Dzahir adalah ulama yang mengutamakan dzahir ayat saja (harfiyah) di dalam menafsirkan ayat al-Qur'an dan Hadits tidak melakukan ta’wil. Maka ajaranya sering disebut dengan mazhab al-Zahiriyah yang salah satu tokohnya adalah Daud bin al-Zahiriyyah (815883.M)di mana pada masanya aliran ini cukup berpengaruh di Afrika Utara. Lihat : Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, 2001, hlm. 51 16 Abdur Rahman I. Doi, Women in Islam (Islamic Law), Kuala Lumpur: A. S. Noordeen, 1992, hlm. 53. 15
21
diperlihara dan untuk melindungi janda-janda yang ditinggal gugur oleh suaminya dalam perang uhud,17 namun sekiranya tidak sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya mengenai nafkah dan berlaku adil maka diperintahkan untuk seorang saja. Para ahli hukum Islam, orang yang akan berpoligami harus mampu melihat kondisi sebagai berikut : 1) Dia harus cukup dalam sumber keuangan untuk memenuhi kebutuhan isteri-isterinya yang dia nikahi. 2) Ia harus dapat berbuat adil kepada mereka, masing-masing isteri harus diperlakukan secara sama dalam pemenuhan terhadap hal-hal yang menyangkut perkawinan serta hak-hal lain harus dipenuhi.18 Di sisi lain ada beberapa hal yang dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Menurut al-Syiba’y ada beberapa hal yang bersifat pribadi antara lain :19 a) Isteri mandul. Sedangkan suami ingin mempunyai keturunan, karena mempunyai keturunan adalah naluri yang wajar
17
Ibid., hlm. 51 Ibid. 19 Musthafa al-Syiba’y, op. cit., hlm. 117-120. Sedangkan di Indonesia, sebagian ketentuan ini sebagai alasan memperoleh izin dari Pengadilan Agama untuk berpoligami sebagaimana dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Lihat Depertemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum: UU N0 7 Tahun 1989 tentang PEradilan Agama, UU No 1Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,2000, hlm 145-146. Lihat juga Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 173 18
22
b) Isteri terkena penyakit kronis, bila isteri terkena penyakit yang lama sembuhnya atau mengkhawatirkan dapat menular. c) Suami benci kepada isterinya. d) Suami banyak bepergian, dengan pertimbangan takut ia berbuat maksiyat bila selalu berjauhan dengan isteri. Di beberapa negara muslim telah juga telah banyak melakukan beberapa aturan baru (modifikasi) mengenai perizinan poligami, terutama melibatkan lembaga peradilan sebagai institusi yang berwenang dalam urusan perkawinan/hukum keluarga (perdata Islam). Di Indonesia misalnya, pembolehan poligami di atur dalam Undangundang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Undang-undang tersebut alasan poligami dapat dilakukan dengan alasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 sebagai berikut : 1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri. 2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.20 Sedangkan syarat-syarat diperbolehkannya poligami diatur dalam Pasal 5 sebagai berikut : a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan– keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
20
Depertemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum……………, op. cit., hlm. 96
23
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.21 Dengan demikian syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua isterinya baik soal makanan, minumannya, pakaiannya tempat tidur maupun nafkahnya.22 Terlalu condong terhadap salah satu merupakan wujud ketidakadilan, hal tersebut mempunyai akibat buruk, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
ﺕ ﻥ ﹶﻜﺎ ﹶﻨ ﹾ ْ ل َﻤ َ ﺴﱠﻠ َﻡ ﹶﻗﺎ َ ﻋﹶﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ﷲ ِ ﺼﱠﻠﻰ ﺍ َ ﻲ ﻥ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِﻋ َ ﻲ ُﻫ َﺭ ْﻴ َﺭ ﹶﺓ ْ ﻥ َﺃ ِﺒ ْﻋ َ )ﺭﻭﺍﻩ
ل ً ﺸ ﹼﱡﻘ ُﻪ َﻤﺎ ِﺌ ِ ﺠﺎ َﺀ َﻴ ْﻭ َﻡ ﺍ ﹾﻟ ِﻘ َﻴﺎ َﻤ ِﺔ َﻭ َ ﺤ َﺩ ُﻫ َﻤﺎ ْ ل ِﺇﹶﻟﻰ ِﺍ َ ﻥ ﹶﻓ َﻤﺎ ِ ﹶﻟ ُﻪ ﺍ ْﻤ َﺭَﺃ ﹶﺘﺎ 23
Artinya :
(ﺍﺤﻤﺩ
Barang siapa beristeri dua sedang dia lebih mementingkan salah seorang dari pada keduanya, dia akan datang nanti di hari kiamat sedang pinggangnya (rusuknya) cenderung (bungkuk). (HR. Ahmad) Bilamana sanggup melakukan poligami, maka seorang suami
harus dapat berbuat adil. Dalam hal ini Mustafa Diibul Bigha merincikan dalam hal pembagian (giliran) terhadap para isteri sebagai berikut : 24
21
Ibid., hlm. 97 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (tarj.) Mua’amal Hamidi, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980, hlm. 260 23 Al-Imam Muhammad bin Ismail al-Amir al-Yamin al-Shana’i, Bulugh al-Maram, Juz III, Beirut Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, t. th., hlm. 311. 24 Mustafa Diibul Bihga, Al-Tahzib, (Tarj.) Adlchiyah Sunarto dan Multazam, Semarang: Pustaka Pelajar, 1984, hlm. 383-386 22
24
4)
Menyamakan giliran antara beberapa isteri adalah wajib, bahkan tidak diperbolehkan masuk pada isteri yang tidak mendapat giliran tanpa ada keperluan. 25
5)
Bila hendak bepergian maka, harus mengundi di antara mereka dan harus keluar dengan isteri yang mendapatkan undian.26
6)
Bila kawin dengan isteri yang baru, maka harus mengkhususkan bermalam padanya tujuh malam kalau isteri tersebut masih perawan dan tiga malam kalau ia janda.
7)
Bila mengkhwatirkan isteri nuzyuz (membangkang) maka ia harus menasehatinya. Bila masih membangkang maka hendaknya berpisah tempat tidur. Terutama dalam pembagian (giliran) harus ada pembagian yang
rata. Apabila hendak bepergian, hendaklah mengadakan undian sebelumnya untuk menentukan siapa yang berhak untuk menemani dalam bepergiannya. Dengan demikian, menurut landasan formal ketentuan alQur’an bahwa beristeri lebih dari satu (poligami) diperbolehkan, asalkan dapat menjamin bahwa dirinya dapat berbuat adil kepada semua 25
Dalam mengadakan pembagian, wajib memperhatikan hal sebagai berikut : Pertama, Tempat, Seorang suami tidak boleh mengumpulkan 2 orang isteri dalam satu rumah (tempat) satu waktu (walau hanya satu malam) tanpa izin keduanya. Sebab hal tersebut akan membawa pertengkaran dan ketidakbaikan. Kedua, adalah Waktu, dasar pembagian adalah satu malam diikuti satu hari. Sebab Allah menjadikan malam untuk istirahat dan siang untuk bekerja (mencari rizki). Sedang orang yang bekerja di malam hari, dasar pembagiannya di mulai dari siang diikuti malam. Lihat Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Husain, Kifayat al-Ahyar, Bandung, al-Maarif, 1984, hlm. 72. 26 Imam Taqiyuddin mengemukakan tiga syarat aturan safar (pergi) : (1) Ada undian. (2) Tidak bermaksud pindah tempat tinggal, kalau pindah, maka tidak boleh membawa seorang isteri dan meninggalkan yang lain. (3) Tidak bermaksud bermukim di suatu tepat. Kalau bermaksud bermukim, maka harus ditentukan waktunya. Ibid. hlm. 75
25
isterinya baik bidang materiil maupun immateriil tanpa berat. sebelah walupun hal ini sangat mustahil untuk dapat dilakukan.27 B. Tinjauan Umum Tentang Gender 1. Sekilas Tentang Wacana Gender Gender dalam dua dasawarsa terakhir ini telah menjadi perdebatan yang sangat menarik. Berkaitan dengan persoalan perempuan dan seluk beluknya, termasuk persamaa derajat, keadilan dan kesetaraan antara lakilaki dan perempuan, bahkan termasuk kekerasan terhadap perempuan akibat ketidakadilan gender. Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender sehingga menjadi tema yang menarik untuk dikaji Untuk mengkaji lebih jauh tentang gender, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan seks dan gender, karena keduanya sering berkaitan dan menimbulkan salah paham. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu.28 Misalnya jenis laki-laki memiliki penis, jakun sperma dan lainnya. Sedangkan perempuan mempunyai rahim, vagina menyusui dan sebagainya.
(١٢٩:ﺼ ﹸﺘ ْﻡ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ْ ﺤ َﺭ َ ﻥ ﺍﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِﺀ َﻭﹶﻟ ْﻭ َ ﻥ ﹶﺘ ْﻌ ِﺩﻟﹸﻭﺍ َﺒ ْﻴ ْ ﺴ ﹶﺘﻁِﻴﻌُﻭﺍ َﺃ ْ ﻥ ﹶﺘ ْ ” َﻭﹶﻟKamu sekali-sekali tidak akan dpat berbuat adil di antara isteri-isetrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…….” (Q.S. al-Nisa : 129) 28 Secara biologis alat-alat biologis tersebut melekat pada laki-laki dan perempuan selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak dapat berubah dan merupakan ketentuan (kodrat) Tuhan. Lihat : Surya Darma (ed.), Konsep Penelitian Gender, Malang: UMM Press, 2002, hlm. 5 27
26
Dalam kamus bahasa Inggris, tidak ada perbedaan antara sex gender.29 Di mana keduanya diartikan sebagai jenis kelamin.30 Sedangkan menurut Dr. Yulfita Raharjo bahwa konsep gender tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia, bahkan juga bukan konsep barat. Konsep itu berasal dari berbagai bahasa yang memberi kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Konstruksi linguistik ini kemudian diambil oleh antropolog menjadi kata yang hanya bisa dijelaskan.31 Menurut Elane Showalter sebagaimana di kutip Nasarudin Umar mengartikan gender adalah : “Gender lebih dari sekedar pembeda laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya”.32 Gender lebih banyak digunakan dalam pengertian sehari-hari untuk menyebut perbedaan sosial antara maskulin dan feminim.33 Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan.
29
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1997,
hlm. 265.
30
Menurut Nasaruddin Umar bahwa arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan dengan pengertian sex yang berarti jenis kelamin. Karena kata gender termasuk kosa kata baru yang memang belum ada padanannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Lihat Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 33. 31 Makalah Yulfita Raharjo, Gender Buka Konsep Barat, yang disampaikan dalam acara “Sosialisasi Keadilan dan Kesetaraan Gender” bagi pimpinan media cetak di Jakarta pada tanggal 02 Agustus 2000 lihat : KOMPAS, Kamis 03 Agustus 2000. 32 Showalter (ed.) Speaking of Gender, dalam : Nasaruddin Umar, op. cit., hlm. 34 33 Dengan pengertian ini gender dapat dibedakan dari jenis kelamin dan merupakan piranti yang lebih dikonsentrasikan secara sosial dari pada bersifat biologis. David Gradol, Joan Swann, Gender Voices, (tarj.) M. Muhith, Pasuruan: Pedati, 2003, hlm. 11
27
Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain : kalau perempuan di kenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik emosional dan keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Hal ini kemudian dapat dibedakan makna seks atau jenis kelamin dengan gender. Untuk lebih memperjelas konsep seks dan gender dapat dilihat melalui tabel berikut : Tabel Perbedaan Antara seks dan Gender.34 No
Karakteristik
Seks
1
Sumber Pembeda
Tuhan
2
Visi, missi
Kesetaraan
3
Unsur Pembeda
Biologis (alat produksi)
4
Sifat
Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan.
5
Dampak
Terciptanya nilai-nilai : kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian dll. Sehingga menguntungkan kedua belah pihak.
6
Ke-berlaku-an
Sepanjang masa, di mana saja, tidak mengenal pembedaan kelas
Gender Manusia (masyarakat) Kebiasaan Kebudayaan (tingkah laku) Harkat, martabat dapat dipertukarkan Terciptanya norma-norma ketentua tentang “pantas” atau “tidak pantas” lakilaki pantas menjadi pemimpin perempuan “pantas” dipimpin, sering merugikan salah satu pihak, kebetulan adalah perempuan. Dapat berubah, musiman dan berbeda antara kelas
Katika seorang anak dilahirkan, maka pada saat itu anak-anak sudah dapat dikenali, apakah dia seorang anak laki-laki atau perempuan, 34
Surya Dharma, op. cit., hlm. 7
28
berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya. Begitu seorang anak dilahirkan, maka pada saat yang sama pula ia memperoleh tugas dan beban gender (gender assigment) dari lingkungan budaya masyarakatnya. 35 Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Dalam
teori
gender
dikenal
beberapa
teori
yang
cukup
mempengaruhi dalam perbedaan dan perasamaan peran gender laki-laki dan perempuan. Adapun teori tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : a) Teori Psikoanalisa/Identifikasi Teori ini dikemukan oleh Sigmund Freud (1856-1939) sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar bahwa : “Prilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas”.36 Menurut Freud, bahwa kepribadian seseorang tersusun atas tiga struktur, yaitu id, ego dan superego. Pertama, id, sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis seseorang sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang cenderung selalu agresif. Sifat ini bekerja pada sistem yang tidak rasional, yaitu berorietasi dalam kesenangan dan kepuasan biologis. Kedua, ego, bekerja pada lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Sifat ini membantu manusia 35
Nilai-nilai budaya sangat besar pengaruhnya terhadap beban gender, dimana sejak awal seorang laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Nasaruddin Umar, op. cit., hlm. 37 36 Lihat Nasaruddin Umar, op. cit., hlm. 46
29
keluar dari rasa individual untuk bertahan dalam dunia realitas. Ketiga, superego, merupakan sebagai sifat moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan kesempurnaan dalam hidup. Sifat ini juga mengontrol fungsi id.37 Freud lebih banyak melihat masa perkembangan manusia pada usia 3 sampai 6 tahun yang disebutnya phallic. Karena pada masa ini melahirkan pembedaan formasi sosial beradasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan. Pada masa inilah menurut Freud seorang anak mulai mengenali anatomi tubuhnya dan mulai mengerti dari fungsi pada masing-masingnya. Dengan melihat lingkungan sekitar sebagai pedoman utamanya.38 Teori ini juga didukung oleh Nancy Horney,39 yang intinya sama, namun Freud yang menitik beratkan faktor penis (phallocentrik) sedangkan Horney menitik beratkan faktor rahim (gynocentric). Hanya saja Horney tidak mengesampingkan faktor budaya dalam pembentukan kepribadian. b) Teori Fungsional Struktural Teori ini muncul tahun 30-an sebagai kritik terhadap teori
37
Ibid. Misalnya pola hubungan dalam keluarga, hubungan ayah dan ibu sehari-hari disaksikan, dimana ayah tampak lebih inferior dari pada sosok seorang ibu termasuk dalam anatomi tubuhnya. 39 Seorang psikoanalisa yang tergabung dalam Freud’s Circle, suatu kelompok yang menaruh perhatian khusus terhadap teori Freud. Walauun dia sendiri tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Freud. 38
30
evolusi, yang disebut sebagai fungsionalisme.40 Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencoba menerangkan fungsi dan unsur-unsur yang mempengaruhi dalam masyarakat. Dalam hal gender pengikut teori ini menunjukkan masyarakat pra-industri sebagai contoh, bahwa masyakat tersebut terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gather). Sebagai pemburu laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggungjawab untuk mencari makanan untuk keluarga. Sedangkan peran perempuan lebih terbatas pada sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara dan menyusui anak. Pembagian seperti ini berfungsi dengan baik menciptakan tatanan masyarakat yang teratur dan stabil. Dalam masyarakat seperti ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh jenis kelamin.41 Walaupun pada akhirnya teori ini dikritik bahwa teori ini terikat pada masyarakat pra-industri. Padahal struktur dan fungsi pada
40
Teori ini sangat mempengaruhi hampir semua teori tentang perubahan sosial dan teori tentang perubahan sosial dan teori pembangunan yang didasarkan pada 6 asumsi tentang perubahan yaitu : natural, direksional, imanen, suatu keharusan berjalan melalui universal yang sama. Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 30. 41 Nasaruddin Umar, op. cit., hlm. 52-53
31
masyarakat kontemporer sudah banyak berubah. Keluarga dan unit rumah tangga telah banyak mengalami perubahan dan penyesuaian.42 Teori fungsional struktural walaupun tidak mendalam formatnya tetapi masih ada kecenderungan tetap bertahan sampai saat ini pada tataran masyarakat tertentu. Hal ini menurut Michel Foucault bahwa masyarakat
modern-kapitalis
cenderung
mengakomodir
sistem
pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin.43 b) Teori Konflik Ketika membahas teori konflik biasanya tidak terlepas dari Marx salah seorang tokoh yang paling populer dengan teori tersebut. Menurut Marx dalam kapitalisme, penindasan perempuan diperlukan karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi perempuan di dalam rumah tangga akan membuat buruh laki-laki di pabrik lebih produktif. Kedua, perempuan juga berperan dalam produksi yang buruh yang murah, sehingga memungkinkan harga tenaga kerja lebih murah. Ketiga, masuknya buruh perempuan sebagai buruh dengan upah lebih rendah menciptakan buruh cadangan.44 Teori ini menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya melahirkan konflik.
42
Termasuk munculnya fenomena single parent di mana seorang ibu atau seorang ayah berfungsi sebagai orang tua tunggal dari beberapa orang anak. Bisa saja anak tersebut tidak jelas siapa ayahnya atau ibunya sebagai akibat pergaualan bebas, atau akibat perceraian, atau salah satu orang tuanya hilang atau meninggal. 43 Nasaruddin Umar, op. cit., hlm. 60 44 Ibid., hlm. 63
32
c) Teori Feminim Feminim merupakan gerakan yang berusaha menggugat kemapanan patriarkhi dan berbagai steriotif gender lain yang berkembang dalam masyarakat. Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak mengfokuskan pada persamaan hak, pasrtisipasi seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminisme telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan satu studi khusus terhadap wacana ini. Ada tiga kelompok dari gerkan feminisme yaitu : 1) Feminisme Liberal Tokoh aliran ini antara lain Magaret Fuller (1810-1850), Harriet Martineau (1802-1876), Anglima Grimke (1792-1873) dan Susan Anthony (1820-1906) Dasar pemikiran aliran ini adalah bahwa semua manusia lakilaki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya, karena lakilaki dan perempuan mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Walaupun deminkian, aliran ini menolak persamaan secara totalitas, terutama dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih memandang perlu adanya pembedaan. 45
45
Ibid., hlm. 65
33
2) Feminisme Marxis-Sosialis Aliran ini berkembang di Jerman dan Rusia dengan tokohnya adalah Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Lixemburg (1871-1919). Aliran ini berpendapat bahwa ketimpangan gender dalam masyarakat adalah karena sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan, karena isteri mempunyai ketergantungan besar kepada suami dan cenderung memberikan dukungan kekuasaan kepada suami.46 3) Feminisme Radikal Aliran ini muncul pada awal abad ke-19 dengan mengangkat isu menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan. Menurut aliran ini perempuan tidak harus menggantungkan terhadap laki-laki bukan hanya pada tataran kebutuhan materi, tetapi juga pemenuhan seksual. Dimana kemesraan, kehangatan dan kepuasan seksual dapat diperoleh dari sesama perempuan. Dan menganggap kepuasan dari laki-laki merupakan kepuasan psikologi saja.47 Aliran ini banyak mendapat kritikan dari masyarakat luas, termasuk dari gerakan feminis lainya. Yang dinilai sudah sangat kebablasan. d) Teori Sosio-Biologis Toeri ini dikembangkan oleh Pierre van den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox. Pada intinya toeri ini mengatakan bahwa 46 47
Ibid., hlm. 66 Ibid., hlm. 67
34
pengaturan peran jenis kelamin tercantum dari “biogram” dasar yang diwarisi manusia modern dari nenek moyang piramid dan hominid mereka. Keunggulan laki-laki tidak hanya ditentukan oleh biologis tetapi juga gabungan kebudayaan atas biogram manusia. Kenyataan yang memainkan peranan penting dalam aspek pembagian kerja menurut jenis kelamin. Masyarakat akan lebih diuntungkan kalau laki-laki menjadi pemburu dari pada perempuan yang kadang-kadang harus mengandung, menyusui dan menstruasi yang tugas tersebut tidak dapat digantikan oleh kaum laki-laki. Atas dasar inilah laki-laki lebih layak untuk berkerja di luar (pemburu) dari dari pada perempuan yang bekerja di sekitar rumah.48 2. Fenomena Ketidakadilan Gender Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya adalah dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.49 Karena mengalami proses yang begitu panjang, maka seolah-olah hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah dan ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah sebagai kodrat.
48
Gabungan faktor biologis dan faktor sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul dari para perempuan. Fungsi reproduksi perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki. Ibid., hlm. 72. 49 Mansour Faqih, op. cit., hlm. 9
35
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan “ketidakadilan gender” (gender inequalities).50 Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan tersebut menjadikan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Katidakadilan tersebut merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban. Namun yang menjadi perhatian utama dari perbedaan gender itu ketidakadilan adalah perempuan sebagai pihak yang banyak dirugikan, katidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bantuk ketidakadilan yakni : Pertama, Gender dan Marginalisasi Perempuan, Proses ini mengakibatkan pemiskinan terhadap kaum perempuan. Mekanisme terjadi marjinalisasi kaum perempuan karena dapat bersumber dari kebijakan pemerintah, kayakinan, tafsiran agama,51 kayakinan tradisi dan kabiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.52 Kasus ini misalnya dapat dilihat pada pelaksanan revolusi hijau,53 guru taman kanak-kanak harus selalu seorang wanita, buruh pabrik yang mengakibatkan pada penggajian yang rendah. Marginalisasi ini juga terjadi pada kasus rumah tangga, masyarakat atau kultur dan negara. Kedua, Gender dan Subordinasi Pekerjaan Perempuan. Anggapan bahwa perempuan irrasional atau emosional
50
Ibid., hlm. 12 Marginalisasi yang diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberikan hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hal waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan (dalam konteks tertentu). 52 Surya Darma (ed.), op. cit., hlm. 16 53 Program pertanian yang mengfokuskan pada petani laki-laki mengakibatkan banyak perempuan tergeser dan menjadi miskin. 51
36
sehingga perempuan diangap tidak terampil memimpin, dan berujung pada penempatan wanita pada posisi yang tidak penting. Ketiga, Gender dan Stereotip. Adalah pelabelan terhadap sesuatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu yang mengakibatkan ketidakadilan sehingga dinamakan dengan pelabelan negatif. Misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional jantan, perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lembut, cantik emosional, atau keibuan.54 Keempat, Gender dan Kekerasan. Kekerasan atau (violence) adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang.55 Walaupun kekarasan terhadap manusia dari bersumber yang bermacam-macam, namun ada kekarasan yang bersumber dari berbedaan gender kekerasan ini disesbut juga dengan “gender-related violence” yang bersumber pada kekuasaan. Kekerasan ini terjadi dari tingkat rumah tangga sampai negara dan bahkan ada yang beranggapan dari tafsir agama.56 Menurut Mansour Faqih banyak kekerasan dalam berbagai bentuk dan macamnya, yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan gender diantaranya : a) Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan b) Tindakan kekerasan fisik bisa berupa pemukulan dan penyiksaan c) Bentuk penyiksaan yang mengarah pada alat kelamin, misalnya penyunatan pada wanita.
54
Ibid., hlm. 18 Mansour Faqih, op. cit., hlm. 17. 56 Surya Darma (ed.), op. cit., hlm., 18 55
37
d) Pelacuran, walaupun hal ini akan selalu menjadi fenomena sosial sepanjang masa e) Kekerasan dalam bentuk pornografi di mana banyak tubuh wanita dijadikan obyek demi keuntungan seseorang. f) Kekerasan dalam bentuk pemaksaaan sterilisasi dalam keluarga berencana, karena wanitalah yang harus memakai alat kontrasepsi g) Kekerasan terselubung yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si pemilik. h) Pelecehan seksual terhadap perempuan Kelima, Gender dan Beban Kerja, hal ini kaitannya dengan pembagian kerja, di mana wanita menempati wilayah domestik dan laki-laki harus menempati wilayah publik yang kadang-kadang juga mengakibatkan kesenjangan dan pembebanan yang berlebihan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki atas perempaun. Kekerasan ini untuk memenangkan perbedaan pendapat untuk menunjukkan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekersan yang berbasis gender adalah refleksi sistem patriarkhi yang berkembang di masyarakat. Wanita tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menentukan sikap dan pilihan hidupnya di tengah budayanya tersebut dan inilah yang menjadi akar dari katidakadilan gender terutama bagi perempuan.