20
BAB II POLA ASUH ORANG TUA DAN KECERDASAAN SPIRITUAL
A. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Secara epistimologi kata pola diartikan sebagai cara kerja, dan kata asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, atau dalam bahasa populernya adalah cara mendidik. Secara terminologi pola asuh orang tua adalah cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari tanggung jawab kepada anak.1 Menurut Gunarsa Singgih dalam bukunya Psikologi Remaja, Pola asuh orang tua adalah sikap dan cara
orang
tua dalam
mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami perubahan dari keadaan bergantung kepada orang tua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.2 Menurut Kohn yang dikutip Chabib Thoha bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya. Sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua 1
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar offset, 1996), Cet. I, hlm. 109. 2 Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan Gunarsa, Singgih D , Psikologi Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), cet. 16, hlm. 109.
21
memberi peraturan pada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian dan tanggapan terhadap keinginan anak.3 Menurut Broumrind yang dikutip oleh Dr. Yusuf mengemukakan perlakuan orang tua terhadap anak dapat dilihat dari : a) Cara orang tua mengontrol anak. b) Cara orang tua memberi hukuman. c) Cara orang tua memberi hadiah. d) Cara orang tua memerintah anak. e) Cara orang tua memberikan penjelasan kepada anak.
Sedangkan menurut Weiton dan Lioyd yang juga dikutip oleh Dr. Yusuf menjelaskan perlakuan orang tua terhadap anak yaitu : 1) Cara orang tua memberikan peratuaran kepada anak. 2) Cara orang tua memberikan perhatian terhadap perlakuan anak. 3) Cara orang tua memberikan penjelasan kepada anak. 4) Cara orang tua memotivasi anak untuk menelaah sikap anak.4
Jadi yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah pola yang diberikan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak baik secara langsung maupun tidak secara langsung. Cara mendidik secara langsung artinya bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan ketrampilan yang dilakukan secara sengaja, baik berupa perintah, 3
Chabib Thoha, Op.Cit, hlm. 110. Syamsu Yusuf LN., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008). hlm. 52. 4
22
larangan, hukuman,
penciptaan situasi maupun pemberian hadiah
sebagai alat pendidikan. Sedangkan mendidik secara tidak langsung adalah merupakan contoh kehidupan sehari-hari mulai dari tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan orang tua, keluarga, masyarakat dan hubungan suami istri. 2. Dasar dan Fungsi Pengasuhan Anak a) Dasar Pengasuhan Anak
1)
Al-Qur’an Surat At Tahrim ayat 6
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim 6)5 2)
Al-Qur’an Surat Thaahaa ayat 132
Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaahaa 132)6 3) Al Qur’an Surat Luqman ayat 14
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Thoha Putra,1989), hlm. 951 6 Op.Cit, Departemen Agama RI, hlm. 492
23
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Al Luqman:14)7 Dari
beberapa
ayat
di
atas
menjelaskan,
bahwa
Allah
memerintahkan bagi orang-orang yang beriman untuk saling menjaga keluarga dari api neraka. Orang tua dan anak mempunyai kewajiban dan tugasnya masing-masing, orang tua bertugas untuk mendidik dan mengajarkan anak-anaknya kepada kebaikan dan berperilaku sesuai dengan perintah
agama serta memerintahkan
anak
untuk selalu
mendirikan shalat, begitupun kewajiban anak kepada orang tua harus sopan dan berbuat baik kepada kedua orang tua. b) Fungsi Pengasuhan Anak
Fungsi pengasuhan orang tua dalam Islam mencakup tujuh bidang pendidikan yaitu: 1)
Dalam Pendidikan Fisik. Yang pertama dapat dikenal dan terlihat oleh setiap orang adalah dimensi yang mempunyai bentuk terdiri dari seluruh perangkat : badan, kaki, kepala, tangan, dan seluruh anggota luar dan dalam, yang diciptakan oleh Allah dalam bentuk dan kondisi yang sebaik-baiknya. Pendidikan
7
Op.Cit,Departemen Agama RI, hlm. 654
fisik
bertujuan
untuk
24
kebugaran kesehatan
tubuh
yang
terkait
dengan
ibadah,
akhlak dan dimensi kepribadian lainnya. 2)
Dalam Pendidikan Akal (Intelektual Anak). Dalam pendidikan akal yaitu menolong anak-anaknya menemukan, membuka, dan menumbuhkan kesediaan, bakatbakat, minat- minat dan kemampuan akalnya serta memperoleh kebiasaan-kebiasaan dan sikap intelektual yang sehat dan melatih indera kemampuan-kemampuan akal.
3)
Dalam Pendidikan Keindahan Keindahan dapat gerakan
hati
dalam
didefinisikan sebagai perasaan cinta, kesadaran,
gerakan
perasaan
dalam
pemberian, gerakan otak dalam pikirannya. Dapat orang tua rasakan bahwa sesuatu hal yang indah itu dapat merubah suasana hati yakni memberikan ketenangan dan kedamaian kepada jiwa anak. 4)
Dalam Pendidikan Psikologikal dan Emosi anak. Dalam aspek ini untuk menciptakan pertumbuhan emosi yang sehat, menciptakan kematangan emosi yang sesuai dengan umurnya, menciptakan penyesuaian psikologikal yang sehat dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain di sekitarnya, menumbuhkan emosi kemanusiaan yang mulia.
5)
Dalam Pendidikan Iman bagi Anak. Orang
tua
berperan
membangkitkan
kekuatan
dan
25
kesediaan spiritual yang bersifat naluri, yang ada pada anak-anak melalui bimbingan yang sehat, mengamalkan ajaran- ajaran agama membekali dengan pengetahuan agama, serta menolong sikap beragama yang benar. 6)
Dalam Pendidikan Akhlak bagi Anak- anaknya. Orang tua mengajarkan akhlak pada anak, nilai-nilai dan faedah yang berpegang teguh pada akhlak di dalam hidup serta membiasakan akhlak pada anak sejak kecil.
7)
Dalam Pendidikan Sosial Anak-anaknya. Orang tua memberikan bimbingan terhadap tingkah laku sosial ekonomi dan politik dalam kerangka aqidah Islam.8 Dari fungsi-fungsi di atas jika dapat terlaksana, maka hal ini
akan berpengaruh pada diri anak, baik dari sisi kognisi, afeksi, maupun psikomotorik anak. Perwujudan ini menyangkut penyesuaian dalam dirinya maupun dengan lingkungan sekitar. 3. Bentuk-Bentuk Pola Asuh Orang Tua
Menurut Chabib Thoha cara mendidik anak ada tiga macam, yaitu : 1) Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih 8
apa
yang
terbaik
bagi
dirinya,
anak
didengarkan
Zakiyah Drajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Remaja Rosdakarya Offset, 1995), Cet. 2., hlm. 18.
26
pendapatnya,
dilibatkan
dalam
pembicaraan
terutama
yang
menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak
diberi
kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk bertpartisipasi dalam mengatur hidupnya.9 Di samping itu, orang tua memberi pertimbangan dan pendapat kepada anak, sehingga anak mempunyai sikap terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain,
karena
anak sudah
terbiasa menghargai hak dari anggota keluarga di rumah. Selain hal yang disebutkan di atas, mendidik anak dengan cara demokratis yaitu orang tua memberikan pengakuan tehadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak tergantung kepada orang tua. Orang tua memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang yang terbaik baginya, mendengarkan pendapat anak, dilibatkan dalam pembicaraan, terutama yang menyangkut kehidupan anak sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : (QS. aliImron/03 : 159)
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah 9
Op.Cit, Chabib Thoha, hlm. 111.
27
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imron : 159)10 Orang tua yang mendidik anaknya dengan sikap demokrasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Komunikasi Orang Tua dan Anak b) Menerima Kritik11
Menurut Syamsu Yusuf pola asuh demokratis ini akan berpengaruh pada sifat dan kepribadian anak. Di antaranya : Bersikap bersahabat. a) Percaya kepada diri sendiri. b) Mampu mengendalikan diri. c) Memiliki rasa sopan. d) Mau bekerja sama. e) Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. f) Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas. g) Berorientasi terhadap prestasi.12 Pola asuh secara demokratis sangatlah positif pengaruhnya pada masa depan anak, anak akan selalu optimis dalam melangkah untuk meraih apa yang diimpikan dan di cita-citakan. Pendidikan keluarga dikatakan berhasil manakala terjalin 10
Op.Cit, Departemen Agama RI, hlm. 103. Elizabeth B. Hurloch, Child Developmen, Terj oleh Meitasari Tjandrasa, Perkembangan Anak, Jilid II, (Jakarta: Erlangga, 1978). hlm. 93. 12 Op.Cit, Syamsu Yusuf LN., hlm. 52. 11
28
hubungan yang harmonis antara orang tua dengan anak, baik atau buruk sikap anak dipengaruhi oleh bagaimana orang tua menanamkan sikap. 2) Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan menggunakan kepemimpinan otoriter, kepemimpinan otoriter yaitu pemimpin menentukan semua kebijakan, langkah dan tugas yang harus dijalankan. Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anak dengan aturan yang ketat, sering kali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi, anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita, bertukar pikiran dengan orang tua. Orang tua malah menganggap bahwa semua sikap yang dilakukan itu sudah benar sehingga tidak perlu minta pertimbangan anak atas semua keputusan yang mengangkat permasalahan anakanaknya.13 Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukuman yang dilakukan dengan keras, anak juga diatur dengan berbagai macam aturan yang membatasi perlakuannya. Perlakuan seperti ini sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak dewasa. Menurut Abdul Aziz Al Qussy yang dikutip Oleh Chabib Thoha 13
Op.Cit, Elizabeth B. Hurloch, hlm. 93.
29
mengatakan bahwa kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi tidak boleh berlebihlebihan
dalam
menolong
sehingga
anak
tidak kehilangan
kemampuan untuk berdiri sendiri nantinya dimasa yang akan datang.14 Ciri-ciri pola asuh otoriter di antaranya : a) Hukuman yang keras b) Suka menghukum secara fisik c) Bersikap mengomando d) Bersikap kaku (keras) e) Cenderung emosional dalam bersikap menolak f) Harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah. Akibatnya anak cenderung memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Mudah tersinggung b) Penakut c) Pemurung tidak bahagia d) Mudah terpengaruh dan mudah stress e) Tidak mempunyai masa depan yang jelas f) Tidak bersahabat g) Gagap (rendah diri).15 Orang tua hendaknya tidak memperlakukan anak secara otoriter atau perlakuan yang keras karena akan mengakibatkan perk Pola Asuh 14 15
Op.Cit, Chabib Thoha, hlm. 111. Op.Cit, Syamsu Yusuf LN., hlm 51
30
Permisif Pola Permisif adalah membiarkan anak bertindak sesuai dengan keinginannya,
orang
tua
tidak
memberikan
hukuman
dan
pengendalian. Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan kepada anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri walaupun terkadang bertentangan dengan norma sosial. Dalam hal ini Elizabeth B Hurlock berpendapat disiplin permisif tidak membimbing ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman.16 Ciri-ciri pola asuh permisif yaitu : a) Kontrol orag tua terhadap anak sangat lemah. b) Memberikan kebebasan
kepada anak
untuk dorongan atau
keinginannya. c) Anak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar oleh anak. Hukuman tidak diberikan karena tidak ada aturan yang mengikat. d) Kurang membimbing. e) Anak lebih berperan dari pada orang tua. f) Kurang tegas dan kurang komunikasi. Sebagai akibat dari pola asuh ini terhadap kepribadian anak kemungkinannya adalah: 16
Op.Cit, Elizabeth B. Hurloch, hlm 93
31
a) Agresif b) Menentang atau tidak dapat bekerja sama dengan orang lain. c) Emosi kurang stabil. d) Selalu berekspresi bebas. e) Selalu mengalami kegagalan karena tidak ada bimbingan.17 Pola asuh ini sebaiknya diterapkan oleh orang tua ketika anak telah dewasa, di mana anak dapat memikirkan untuk dirinya sendiri, mampu bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakannya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh sebagai cara mendidik anak yang baik adalah yang menggunakan pola demokratis, tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip nilai yang universal dan absolut terutama yang berkaitan dengan pendidikan agama Islam karena berpengaruh terhadap perilaku keagamaan anak.
B. Kecerdasaan Spriritual 1. Pengertian Kecerdasan Spiritual Secara konseptual kecerdasaan spiritual terdiri atas gabungan kata kecedasaan dan spiritual. Kata kecerdasaan sendiri berasal dari kata cerdas yaitu sempurna perkembangan akal budi untuk berfikir dan mengerti. Jadi bisa dikatakan bahwa kecerdasan adalah salah satu anugerah besar dari
17
Op. Cit, Syamsu Yusuf LN, hlm 52
32
Allah SWT, dan menjadikan sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya.18 Dapat dipahami lagi bahwa kecerdasan merupakan pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif danefisien. Dengan kata lain orang yang lebih cerdas akan mampu memilih strategi pencapaian sasaran yang lebih baik dari pada orang yang kurang cerdas.19 Kata spiritual sendiri dapat dimaknai sebagai hal-hal yang bersifat spirit atau berkenaan dengan spirit. Kemudian dari sini, dapat diartikan spiritual sebagai
suatu
hal
yang
berkaitan
dengan
kemampuan
dalam
membangkitkan semangat.20 Bahkan ada yang berbendapat bahwa kata spirit secara etimologi berasal dari bahasa latin spiritus, yang diantaranya berarti ruh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, dan nyawa hidup. Dalam perkembangannya, kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filsuf mengonotasikan spirit dengan; (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada kosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian, atau ke Ilahian).21 Spiritual adalah suatu dimensi yang terkesan maha luas, tak tersentuh, jauh diluar karena Tuhan dalam pengertian Yang Maha Kuasa, 18
Imas Kurniasih, S. Pd.I, Mendidik SQ Anak Menurut Nabi Muhammad SAW, (Yokyakarta: Galang Press, 2010), hlm. 12 19 Ibid, hlm. 14 20 Abd. Wahab dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Dan Kecerdasan Spiritual, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 47 21 Op. Cit, Imas Kurniasih, S. Pd.I, hlm. 10-11
33
benda dalam alam Semesta yang metafisis dan transenden sehingga sekaligus meniscayakan nuansa mistis dan suprarasional. Istilah spiritual dan religius seringkali dianggap sama. Namun, banyak pakar yang menyatakan jika kedua istilah ini digunakan saling silang. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib. Sedangkan religius atau agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan serangkaian praktik tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu dan diikuti oleh penganutnya. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas, dan kode etik. Dengan kata lain spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran), sedangkan agama memberikan jawaban yang harus dikerjakan seseorang (perilku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu, namun tetap memiliki spiritualitas. Orang-orang juga dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama.22 Kecerdasan spiritual melintasi batas agama (religion). Meski demikian, pemaknaan yang mendalam dan lurus terhadap agama yang dianut akan menjadi landasan kuat bagi tumbuh dan berkembangnya suara hati dalam diri manusia. Dari asumsi dasar yang telah diketahui ini, tertaman pengandaian bahwa terdapat sekat tebal antara manusia, Tuhan, dan semesta.23 Dengan demikian terlepas dari pemaknaan spiritual, untuk lebih memfokuskan 22
Aliah B. Purwakanita Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 288. 23 Op. Cit., Abd. Wahab dan Umiarso, hlm. 48
34
pembahasan tentang kecerdasaan spiritual (SQ) secara komprehensif, penulis akan memaparkan beberapa teori-teori mengenai definisi spiritual quotient (SQ) menurut para ahli pembahasan mengenai kecerdasan spiritual tidak mengambang dan membias pada permasalahan-permasalahan yang bersifat percikan. Secara terminologi, kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan pokok yang dengannya dapat memecakan masalah-masalah makna dan nilai, menetapkan tindakan atau suatu jalan hidup dalam kontesks yang lebih luasm kaya, dan bermakna. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, niali-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual meliputi hasrat untuk bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan seseorang untuk senantiasa mencari makna hidupdan mendampakan hidup bermakna (the meaningful life).24 Sedangakn menurut Danang Zohar dan Ian Marshall sebagaimana dikuti dalam buku kepemimpinan pendidikan dan kecerdasan untuk mengahadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilkau dan kehidupan kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. 25 Serta tidak
24
Wahyudi siswanto, Membentuk Kecerdasan Spiritual Anak, (Jakarta : Amzah, 2010),
25
Ibid, hlm. 49
hlm. 11
35
hanya mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secarakreatif menemukan nilai-nilai baru.26 Definisi tersebut mengandung dua hal yang dianggap penting oleh Danah Zohar dan Ian Mashall, yaitu aspek nilai dan makna sebagai unsur penting dari kecerdasaan spiritual. Nilai dalam pandang Brubachertak terbatas ruang lingkupnya, karena niali sangat erat hubungannya dengan pengertian-pengertian dan aktivitas manusia yang kompleks. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif didalam masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap baik atau benar dan hal-hal yang dianggap buruk atau salah. Nilai juga bukan semata-mata untuk memenuhi dorongan intelek dan keinginan manusia. Nilai justru berfungsi untuk membimbing dan membina manusia supaya menjadi manusia yang lebih luhur, lebih matang, sesuai dengan martabat human-dignity, yang merupakan tujuan dan cita-cita manusia.27 Kemudian menurut marsha sinetar yang terkenal luas sebagai pendidik, penasehat, pengusaha, danpenulis buku-buku best seller yang juga dikutip oleh Abdul Wahab dan Umiarso dalam buku “kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual”, menafsirkan kecerdasan spiritual sebagai pemikiran yang terilhami, yang maksudnya adalah kecerdasan yang di ilhami oleh dorongan dan efektivitas, keberadaan atau hidup keillahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya. Lebih lanjut Masha Sinetar mengatakan bahwa kecerdasaan spiritual adalah cahaya, ciuman kehidupan yang membangun keindahan tidur kita.
26 27
35-36
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung : Alfabet, 2005), hlm. 2008. Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan : STAIN Press, 2007), hlm.
36
Kecerdasan spiritual membangun orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.28 Sedangkan menurut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya “ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam”, kecerdasan spiritual adalah kemampuan memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip “hanya karena Allah”.29 Dengan demikian berarti orang yang cerdas secara spiritual adalah orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiah sebagai manifestasi dari aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya mempertahankan keharmonisan dan keselarasan dalam kehidupannya, sebagai wujud dari pengalamannya terhadap tuntutan fitrahnya sebagai makhluk yang memiliki ketergantungan terhadap kekuatan yang berada diluar jangkauan dirinya yaitu Sang Maha Pencipta. Kecerdasan spiritual akan membawa seseorang pada nilai hidup yang lebih bermakna, tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi lingkungan sekitarnya. Dengan kecerdasan spiritual, seseorang dapat dengan kreatif membuat lingkungan sekitarnya lebih indah. Secara cerdas ia akan berusaha semaksimal mungkin berbuat yang terbaik bagi dirinya dan orang lain. Semua yang terjadi dalam hidup ini dihayatinya sebagai anugrah sekaligus amanat dari Yang Maha Kuasa, sehingga apapun yang
28
Op. Cit, Abd. Wahab dan Umiarso, hlm. 49 Ari Ginanjar Agustian, ESQ (Emosional, Spiritual, Quentient), (Jakarta : Arga Publisier, 2001), hlm. 57. 29
37
terjadi dikembalikan kepada-Nya dengan ikhlas dan ridho meskipun tidak semuanya yang terjadi adalah yang menyenangkan bagi dirinya. 30 Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan
pemikiran
yang
amat
tinggi
yang
memungkinkan
menghasilkan petunjuk moral yang kuat dan mampu mengantarkan manusia pada derajat yang sangat tinggi (derajat orang-orang yang berilmu dan
beramal
membedakan
saleh) antara
sehingga yang
salah
berakibat (tidak
timbulnya bermakna)
kemampuan dengan
yang
benar/bermakna ibadah. 2. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual, ketika menghadapi persoalan dalam hidupnya, tidak hanya dihadapi dan dipecahkan dengan rasional dan emosi saja, tetapi ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dengan demikian, langkah-langkahnya lebih matang dan bermakna kehidupan.31 Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, setidaknya ada Sembilan tanda orang yang mempunyai kecerdasan spiritual, yakni sebagi berikut: 1)
Kapasitas diri untuk bersikap fleksibel, seperti aktif dan adaptif secara spontan.
2)
Tingkat kesadaran diri (self-awareness) yang tinggi.
3)
Kapasitas diri untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan (suffering).
30
Op. Cit, Imas Kurniarsih, S. Pd.I, hlm. 3 31 Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Bagi Anak, (Yogyakarta: kata Hati, 2010). hlm. 42.
38
4)
Kemampuan menghadapi rasa takut.
5)
Kualitas hidup yang terinspirasi dengan visi dan nilai- nilai.
6)
Keenggan menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7)
Memiliki cara pandang yang holistik, dengan memiliki kecenderungan untuk melihat keterkaitan di antara sesuatu yang berbeda.
8)
Memiliki kecenderungan nyata untuk bertanya: “mengapa?” (“why”) atau “bagaimana jika?” (“what if”) dan cenderung untuk mencari jawaban-jawaban yang fundamental (prinsip, mendasar).
9)
Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “fieldindependent” (“bidang mandiri”), yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konveksi. Seseorang yang tinggi SQ-nya juga cenderung menjadi seorang
pemimpin yang penuh pengabdian, yaitu seseorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk pengunaanya.32 Dalam bukunya yang berjudul ESQ, Ary Ginanjar menyatakan bahwa setidaknya ada 7 Spiritual Core Value (nilai dasar ESQ) yang diambil dari Asmaul Husna yang harus di junjung tinggi sebagai bentuk pengabdian manusia kepada sifat Allah yang terletak pada pusat orbit (God Spot) yaitu: jujur, tanggung jawab, disiplin, kerjasama, adil, visioner, peduli.33
32
Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik Dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan, hlm. 14 33 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi Dan Spiritual The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman Dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2005). hlm. 90.
39
Menurut Toto Tasmara, pada hakikatnya orang yang cerdas spiritualnya akan memiliki ciri sebagai berikut: 1)
Bertaqwa Taqwa berasal dari kata ”waqa” yang artinya menjaga diri. 34 Takwa merupakan bentuk pelaksanaan dari iman dan amal shaleh dalam hal memelihara hubungan dengan Tuhan.35 Makna taqwa secara nyata dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, tingkat terendah yaitu rasa takut terhadap hukuman Allah SWT. Pada tingkat ini orang menjalankan ibadah kepada Allah karena takut akan ancaman siksa neraka. Kedua, makna taqwa yang lebih berkonteks sosial. Pada tingkat ini diartikan sebagai rasa takut akan segala akibat buruk perbuatan. Orang yang bertaqwa dalam kategori ini yaitu orangorang
yang
selalu
waspada,
mampu
menghitung
dan
mempertimbangkan baik atau buruknya perbuatan. Ketiga, rasa takut akan kehilangan cinta Allah, rasa dekat dengan Allah dan cinta kepada Allah. Orang yang bertaqwa pada kategori ini selalu menaati perintah Allah dengan rasa cinta.36 Orang tanggung
yang
jawabnya
bertakwa sebagai
harus
bisa
mahluk
membuktikan rasa
ciptaan
Allah yaitu
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan semangat mengharap ridho Allah SWT. 34
Muhamad Wahyuni Nafis, Sembilan Jalan Cerdas Emosi Dan Spiritual, (Jakarta: Hikmah, 2006), hlm. 225. 35 Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual Dari Hamka Ke Aa Gym, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm.98. 36 Op. Cit , Muhamad Wahyuni Nafis, hlm. 225.
40
2)
Memiliki kualitas sabar Sabar adalah kemampuan untuk dapat menyelesaikan kekusutan hati dan menyerah diri kepada Allah dengan penuh kepercayaan menghilangkan segala keluhan dan berperang dalam hati sanubari dengan segala kegelisahan.37 Sabar mempunyai tiga kategori, sebagai berikut: a) Sabar dalam menjalankan ibadah Pada hakikatnya Allah menciptakan mahluk di dunia ini untuk beribadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S Al-Dzariyat ayat 56:
وو وم ا وخلو ق تت اقلججنن وو قاجﻹقنوس ﺇج ن ل جلويقعبـتبتدقوون
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.38
Sabar dalam menjalankan ibadah yaitu sabar dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban karena Allah.
b) Sabar dalam meninggalkan maksiat Sabar dalam meninggalkan maksiat
yaitu sabar dalam
menahan diri dari nafsu syahwat. Selain itu orang harus sabar bila diganggu oleh seseorang dengan perbuatan ataupun perkataan yang menyakitkan.39
37
Op. Cit Sulaiman al-Kumayi, , hlm.137 Abdul Aziz „Abdur Ra‟uf, Mushaf Al-Qur‟an Terjemah,(Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani, 2005), hlm.524. 39 Imam Ghazali, Ringkasan Ihya „Ulumuddin, Penerjemah Zaid Husein Al-Hamid (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), hlm. 256. 38
41
Dewasa ini banyak sekali godaan- godaan seperti pergaulan bebas, narkoba, tawuran yang kerap memacu emosi diri. Oleh karena itu sabar dalam hal ini yaitu dengan meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan tersebut. Sehingga terwujud iman yang kokoh. c) Sabar dalam menghadapi cobaan Sabar dalam menghadapi cobaan yaitu memiliki ketabahan dan daya yang sangat kuat dalam menerima beban, ujian dan tantangan. Mereka yang sabar menerima cobaan adalah orang yang menetapkan harapan untuk memperoleh ridho Allah. Dengan hati yang lapang dan antusias ia merasakan penderitaan dengan senyuman. Kepedihan hanyalah sebuah selingan dari sebuah perjalanan. Karena itulah Allah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang tabah. 3)
Jujur Salah satu dimensi kecerdasan spiritual terletakpada nilai kejujuran yang merupakan mahkota kepribadian orang-orang yang mulia. Kejujuran adalah komponen ruhani yang memantulkan berbagai sikap terpuji. Orang yang jujur yakni orang yang berani menyatakan sikap secara transparan, terbebas dari segala kepalsuan dan penipuan.40 Jujur dalam hal ini ada tiga macam : a)
40
Jujur pada diri sendiri
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah (transcendent intelligence).Membentuk Kepribadian Yang Bertanggung Jawab, Professional Dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.189- 190.
42
Jujur pada diri sendiri mempunyai arti kesungguhan yang amat sangat untuk meningkatkan dan mengembangkan misi terhadap bentuk keberadaannya. Orang yang jujur pada diri sendiri akan menampakkan dirinya yang sejati, apa adanya, lurus, bersih dan otentik. Orang yang jujur tidak hanya sekadar mengungkapkan keberadaannya tetapi juga bertanggung jawab atas seluruh ucapan dan perbuatannya. b)
Jujur terhadap orang lain. Jujur terhadap orang lain tidak hanya sekedar berkata dan berbuat benar, namun berusaha memberikan manfaat yang sebesar besarnya. Dalam hal ini orang yang jujur terhadap orang lain memiliki sikap empati yang sangat kuat sehingga ia mampu merasakan dan memahami orang lain.
c)
Jujur terhadap Allah. Jujur terhadap Allah yaitu berbuat dan memberikan segalagalanya atau beribadah hanya untuk Allah. Hal ini sebagaimana di dalam do’a iftitah seluruh umat Islam menyatakan ikrarnya yaitu sesungguhnya shalat, pengorbanan hidup dan mati hanya diabdikan hanya kepada Allah. Orang yang jujur terhadap Allah mempunyai keyakinan bahwa hidupnya tidaklah sendirian karena Allah selalu melihat dan menyertai dirinya.
4)
Memiliki empati. Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami orang
43
lain, merasakan rintihan dan mendengarkan debar jantungnya.41 Dengan kata lain empati merupakan kemampuan untuk memahami perfektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam- macam orang. 5)
Berjiwa besar. Jiwa besar adalah keberanian untuk memaafkan dan sekaligus melupakan kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang lain.42 Orang yang cerdas spiritualnya adalah orang yang mampu memaafkan orang lain, karena menyadari bahwa sikap pemberian maaf bukan saja bukti kesalehan melainkan salah satu bentuk tanggung jawab hidupnya. Dengan memiliki sikap pemaaf akan memudahkan dirinya beradaptasi dengan orang lain untuk membangun kualitas moral yang lebih baik. Sikap memaafkan dan berjiwa besar dapat memberikan kekuatan tersendiri dalam menjalani kehidupan. Sikap memaafkan membuat terbukanya cakrawala yang lebih luas dan tidak ada sekatsekat psikologis yang menghambat interaksi dengan orang lain. Bahkan mendorong untuk bersama-sama melakukan perbaikan. Dari sejumlah indikator di atas tidak semua bisa dijadikan sebagai
standar untuk usia anak. Namun setidaknya penulis dapat mengambil beberapa sikap yang bisa dijadikan acuan standar cerdas secara spiritual
41 42
Ibid, Hlm. 34 Ibid, Hlm. 36
44
untuk anak di antaranya adalah : Kesadaran merasa diawasi, Ikhlas, Jujur, Peduli, Sabar. Analogin dengan pernyataan tersebut, demikan juga orang tua yang tinggi SQ-nya cenderung menjadi pendidik yang penuh dengan pengabdian, yaitu seseorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada anak-anaknya. Dengan kata lain ia mampu memberikan inspirasi, membantu dan member motivasi untuk kesuksesan anak-anaknya serta ia mampu memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya. 3. Fungsi kecerdasan spiritual Dukungan ilmu pengetahuan pada eksistensi Spiritual Quotient (SQ) semakin hari semakin kuat dengan justifikasinya. Hal ini dibuktikan dengan ilmu psikologi, sains, teknologi, seni, manajemen, dan kedokteran yang kini mengarah kepada fenomena spiritual atau SQ. Dalam buku kepemimpinan pendidikan dan kecerdasan spiritual merangkum beberapa fungsi dan manfaat yang didapat dengan menerapkan SQ sebagai berikut: 1) SQ telah menyatakan manusia untuk menjadi manusia seperti adanya sekarang dan memberi potensi untuk menyala lagi, untuk tumbuh dan berubah, serta menjakani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi. 2) Untuk menjadi kreatif, luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif. 3) Untuk berhadapan dengan eksistensial, yaitu saat merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah, masa lalu akibat
45
penyakit dan kesedihan. SQ menjadikan sadar bahwa memiliki masalah setidak-tidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi semua rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup. 4) Pedoman saat berada pada masalah yang paling menantang. Masalahmasalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada di luar yang diharapkan dan dikenal, diluar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui masa lalu , dan melampui sesuatu yang dihadapi. SQ adalah hati nurani kita. 5) Untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragam. SQ membawa kejantung segala sesuatu, ke kesatuan dibalik perbedaan, ke potensi dinamika ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan dengan makna dan ruh esensial dibelakang semua agama besar. Seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalankan agama tertentu, namun tidak secara picik, eksklusif, fantatik atau prasangka. 6) Untuk
menyatukan
hal-hal
yang
bersifat
intrapersonal
dan
interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. SQ membuat seseorang mempunyai pemahaman tentang siapa dirinya. Apa makna sesuatu baginya, dan bagaimana semua itu memberikan suatu tempat didalam dirinya kepada orang lain dan makna-makna mereka. 7) Untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena setiap orang memiliki potensi untuk itu. Masing-masing membentuk suatu karakter melalui gabungan antara pengalaman dan visi, ketegangan antara apa
46
yang benar-benar dilakukan dan hal-hal yang lebih besar dan lebih baik yang mungkin dilakukan SQ membantu tumbuh melebihi ego terdekat diri dan mencapai lapisan yang dalam yang tersembunyi didalam diri. Ia membantu seseorang menjalani hidup pada tingkatan makna yang lebih dalam. 8) Untuk berhadapan masalah baik dan jahat, hidup dan mati, dan asal usul sejati dari penderitaan dan keputusan manusia.43
43
Op. Cit., Abd. Wahab dan Umiarso, hlm 57-59