BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI
A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Menurut Barda Nawawi Arief, strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru
harus
memperhatikan
hakekat
permasalahannya.
Bila
hakekat
permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah dibidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda atau semacamnya.46 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Sehubungan dengan adanya kalimat “dapat dijatuhi pidana tambahan” dalam Pasal 17 tersebut, maka penjatuhan pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah fakultatif, artinya bahwa hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili, melainkan
46
Efi Laila Kholis, Loc.Cit. hal. 16
Universitas Sumatera Utara
terserah pada pertimbangannya apakah disamping menjatuhkan pidana pokok, hakim juga bermaksud menjatuhkan suatu pidana tambahan atau tidak.47 Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan memberi efek takut kepada orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi. Menurut UndangUndang, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang “merugikan negara”. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi.48 Penjatuhan pidana tambahan dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas. Dalam arti sempit, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Dilihat dalam arti luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksanaan pidana. Seperti pidana lainnya, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dicantumkan dalam putusan hakim.49
47
P.A.F. Lamintang, Loc.Cit, hal. 84 Efi Laila Kholis, Loc.Cit, hal. 17 49 Ibid., hal 17-18 48
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa pengumuman putusan hakim yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bukan merupakan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.3 KUHP, kecuali dalam putusan hakim tersebut terdapat perintah kepada Jaksa agar putusan hakim diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 KUHP.50 Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut di atas, maka Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan yang berupa uang pengganti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka perlu adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli (sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi.51 Adapun yang dimaksud dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut menurut R. Wiyono tidak hanya ditafsirkan harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi
50
R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 126 51 Ibid., hal. 129
Universitas Sumatera Utara
yang masih dikuasai oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, tetapi ditafsirkan juga termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, yang pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, harta benda tersebut oleh terdakwa sudah dialihkan penguasaannya kepada orang lain.52 Sehubungan dengan adanya kalimat “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah …..dst” dalam perumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi adalah pidana tambahan yang ditentukan dalam : Pasal 10 huruf b KUHP, yang meliputi : a. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP terdiri dari : 1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu 2) Hak memasuki angkatan bersenjata 3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum 4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang bukan anak sendiri 5) Hak menjalankan mata pencaharian tertentu. b. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUHP ditentukan bahwa dapat dirampas atas : 1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan 2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. 3) Pengumuman keputusan hakim. 2. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang terdiri dari : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
1.
52
Ibid., hal. 130
Universitas Sumatera Utara
b. Pembayaran uang pengganti c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.53 B. Penetapan Uang Pengganti Penetapan jumlah uang pengganti yang lebih memenuhi rasa keadilan, bahwa penetapan dan penghitungan dari jumlah Uang Pengganti kepada Terdakwa tindak pidana korupsi adalah sejumlah uang negara yang telah dirugikan setelah diperiksa dan diselidiki oleh pihak Kejaksaan.54 Sedangkan menurut R. Wiyono adalah dengan cara menghitung seperti terdapat di dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 11 Mei 1955 Nomor 26 K/Sip/1955 dan tanggal 15 Januari 1958 Nomor 11 K/Sip/1957, meskipun cara menghitung yang terdapat didalam kedua putusan Mahkamah Agung RI tersebut adalah cara menghitung uang tebusan yang berkaitan dengan gadai tanah.55 Dengan berpedoman pada kedua putusan Mahkamah Agung RI tersebut, cara menghitung jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana adalah sebagai berikut : negara yang dirugikan dan terpidana, masing-masing memikul setengah dari perubahan nilai mata uang, diukur dari harga emas pada waktu tindak pidana korupsi dilakukan dan pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, misalnya : Sebagai akibat dari tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana, negara telah menderita kerugian uang sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Harga emas pada saat tindak pidana korupsi dilakukan terpidana Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per gram, sedang harga emas pada saat pengadilan menjatuhkan putusannya Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah) per gram. Uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana adalah ½ x Rp. 45.000,-/Rp. 15.000,- x Rp.60.000.000,- = Rp. 90.000.000,-. Dengan cara perhitungan seperti di atas, terpidana tidak akan sampai dapat mengambil keuntungan dari adanya penurunan nilai mata uang.56
53
Ibid., hal. 131 Wawancara dengan Bapak Arfan, Loc.Cit. 55 R.Wiyono., Loc.Cit., hal 134 56 Ibid., hal. 134 54
Universitas Sumatera Utara
Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan : “….. undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayarkan pidana tambahan berupa uang pengganti keuangan negara”. Penjelasan tersebut berkaitan dengan ketentuan yang terdapat didalam Pasal 18 ayat (3) yang merupakan ketentuan lanjutan dari ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 18 ayat (2). Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut, dapat diketahui adanya beberapa syarat agar terpidana yang dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dapat dipidana dengan pidana penjara, yaitu : 1. Oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : “terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b”, artinya dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, ternyata disamping terpidana sudah tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang pengganti, juga hasil lelang dari harta benda kepunyaan terpidana yang telah disita oleh jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti; 2. Lamanya pidana penjara oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : “tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”, artinya pidana penjara yang dijatuhkan kepada terpidana karena tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, tidak boleh melebihi ancaman maksimum pidana penjara dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana; 3. Lamanya pidana penjara tersebut oleh Pasal 18 ayat (3) ditentukan : “sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”, artinya pada waktu pengadilan menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, di dalam putusan pengadilan tersebut sudah ditentukan atau dicantumkan lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap terpidana jika sampai terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti.57 Dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3) tersebut, untuk waktu yang akan datang, terdapat kecenderungan bahwa pengadilan pada waktu menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti 57
Ibid., hal. 134-135.
Universitas Sumatera Utara
kepada pelaku tindak pidana korupsi didalam putusannya akan selalu mencantumkan pula pidana penjara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3). Jika di dalam putusan pengadilan tidak sampai dicantumkan pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), akan timbul masalah seandainya uang pengganti tidak dapat dibayar seluruhnya atau sebagian oleh terpidana. Pasal 34 huruf c undang-undang Nomor 3 / 1971 dan pasal 18 ayat (1) huruf b hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang di dakwakan. Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama-tama hakim harus secara cermat memilah-milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang bukan. Setelah melakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan perhitungan berapa besaran uang pengganti yang akan dibebani. Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan sifatnya mempunyai nilai fluktuatif, yang nilainya terus berubah. Salah seorang pejabat kejagung. Yoseph Suardi Sabda saat itu menjabat sebagai Direktur Perdata mengatakan pengaturan rumusan jumlah uang pengganti dalam undang-undang korupsi yang berlaku saat ini sangat membingungkan. Disebutkan lebih baik menggunakan pemahaman bahwa uang pengganti disamakan saja dengan
Universitas Sumatera Utara
kerugian negara yang ditimbulkan. Dengan menetapkan besaran uang pengganti sama dengan jumlah kerugian negara maka sisi positifnya adalah menghindari kerepotan hakim dalam memilah dan menghitung aset terpidana karena besarannya sudah jelas serta memudahkannya pengembalian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi. 58 Pada prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilahmilah mana aset yang berasal dari korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap. Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu.59 Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009, mengenai petunjuk kepada jaksa penuntut umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu diantara petunjuk adalah mengenai pidana pembayaran uang pengganti yaitu : 1. Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat tuntutan : “membayar uang pengganti kepada Negara (institusi yang dirugikan) sebesar ....dst. 2. Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian (tidak penuh) dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supaya ditambahkan klausul: “apabila terdakwa / terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti. 3. Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya di dalam Amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti 58 59
Efi Laila Kholis, Loc.Cit, hal. 18 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4.
5.
jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdakwa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti tersebut. Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi “turut serta” dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP. Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggung jawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan Negara oleh Kejaksaan Agung.60
C. Prosedur Penyelesaian Pembayaran Uang Pengganti Jika pengadilan sudah menjatuhkan putusannya mengenai pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, kepada terpidana diberi tenggang waktu untuk membayar uang pengganti seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu “paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Terhadap tenggang waktu tersebut, jaksa sebagai pelaksana dari putusan pengadilan (Pasal 270 KUHAP), tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tidak seperti halnya jaksa dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran denda, yaitu yang ditentukan dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, karena pembayaran uang pengganti berbeda dengan pembayaran denda.
60
Ibid, hal. 20-21.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti maka terpidana diberi tenggang waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk melunasinya, jika dalam waktru yang ditentukan tersebut telah habis maka jaksa sebagai eksekutor Negara dapat menyita dan melelang harta benda terdakwa (Pasal 18 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001 perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi).61 Pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan, sedangkan denda merupakan pidana pokok, sehingga akibatnya ketentuan-ketentuan mengenai pidana denda yang antara lain terdapat dalam Pasal 273 ayat (2) KUHAP, tidak dapat demikian saja diberlakukan untuk pembayaran uang pengganti. Meskipun jaksa tidak dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran uang pengganti, tetapi mengingat perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) menggunakan kalimat “paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan”, maka menurut R. Wiyono, jaksa masih dapat menentukan tahaptahap pembayaran uang pengganti, tetapi dengan syarat tahap-tahap tersebut tidak dapat melebihi tenggang waktu 1 (satu) bulan.62 Jika tenggang waktu untuk pembayaran uang pengganti sudah lewat dan terpidana ternyata tidak membayar uang pengganti, tindak lanjutan adalah seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu “…maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”.63 Ketentuan yang merupakan tindak lanjut dari akibat terpidana tidak membayar
61
R.Wiyono, Loc.Cit, hal. 22 Ibid., hal. 132 63 Ibid. 62
Universitas Sumatera Utara
uang pengganti tersebut, perlu diberikan penjelasan, yaitu mengenai apa yang dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dan kalimat “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut. Penyitaan dan pelelangan bersifat fakultatif, yaitu baru dilakukan dalam hal terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti sejumlah yang ditentukan dalam putusan dalam waktu yang telah ditentukan seperti diatas. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tidak perlu terlebih dahulu mendapat izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat karena penyitaan ini bukan dalam rangka penyidikan tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan.64 Menurut R. Wiyono yang dimaksud dengan kalimat “harta bendanya” dalam Pasal 18 ayat (2) adalah harta benda kepunyaan terpidana yang bukan merupakan harta benda hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau harta benda kepunyaan terpidana yang bukan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika memang terbukti di sidang pengadilan, bahwa harta benda kepunyaan terpidana tersebut merupakan harta benda hasil tindak pidana korupsi dan/atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi, maka pengadilan sudah tentu akan menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barangbarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP atau Pasal 18 ayat (1) huruf b, sehingga jaksa tidak perlu sampai melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dimaksud dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.65 Dengan dipergunakannya kalimat “dapat disita” dalam Pasal 18 ayat (2), maka menurut hemat penulis, penyitaan yang dilakukan oleh jaksa terhadap harta 64 65
Efi Laila Kholis, Loc.Cit., hal 23 Ibid, hal. 133
Universitas Sumatera Utara
benda kepunyaan terpidana tersebut sifatnya adalah fakultatif. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terpidana dan kemudian harta benda tersebut dilelang, baru dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan (Pasal 270 KUHP) jika ternyata terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti yang jumlahnya seperti yang dimuat pada putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut tidak perlu terlebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan karena penyitaan ini dilakukan bukan dalam rangka penyidikan tetapi dalam rnagka pelaksanaan putusan pengadilan. Jaksa dalam melakukan penyitaan terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tersebut harus dapat memperkirakan harga dari benda yang disita, yang jika dilelang sudah dapat menutupi jumlah uang pengganti seperti yang dimuat dalam putusan pengadilan. Diharapkan jangan sampai terjadi beberapa kali dilakukan penyitaan harta benda kepunyaan terpidana, karena salah memperkirakan harga dari harta benda yang disita, yang setelah dilelang ternyata tidak dapat menutupi jumlah uang pengganti yang harus dibayar. Jika diperhatikan perumusan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, tidak salah kalau semua ada yang mempunyai pendapat bahwa cara menghitung jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana disamakan saja dengna harta benda yang diperoleh terpidana pada waktu atau selama melakukan tindak pidana korupsi. Pendapat tersebut dapat diikuti, jika seandainya pada waktu terpidana mulai melakukan tindak pidana korupsi sampai dengan pada waktu pengadilan
Universitas Sumatera Utara
menjatuhkan putusannya, nilai mata uang tetap stabil, tetapi jika seandainya pada waktu terpidana mulai melakukan tindak pidana korupsi sampai pada waktu pengadilan menjatuhkan putusannya, terjadi penurunan bahkan kemerosotan nilai mata uang, maka menurut hemat penulis pendapat itu perlu dipikirkan kembali. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bahwa pembayaran uang pengganti harus dilaksanakan oleh terpidana paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut selanjutnya jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan (Pasal 270 KUHAP) akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Terpidana akan dipanggil untuk membicarakan masalah pembayaran uang pengganti. 2. Melakukan negosiasi mengenai kesanggupan pembayaran uang pengganti dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh terpidana secara bertahap 3. Melakukan penelusuran dan penyelidikan terhadap harta benda milik terpidana yang diduga diperoleh dari tindak pidana korupsi. 4. Apabila dalam waktu yang telah disepakati antara jaksa dan terpidana, pembayaran uang pengganti tidak dilaksanakan oleh terpidana, maka jaksa akan melakukan penyitaan terhadap harta benda milik terpidana dan mengajukan permohonan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) untuk melakukan lelang eksekusi terhadap barang yang disita tersebut. 5. Uang pengganti yang telah dibayarkan oleh terpidana atau hasil dari lelang eksekusi selanjutnya oleh jaksa disetorkan kepada Kantor Kas Negara atau Bank yang telah ditunjuk oleh negara sebagai penerimaan negara dari pembayaran uang pengganti. 6. Setelah semua penyelesaian pembayaran uang pengganti telah dilaksanakan oleh jaksa, maka kemudian jaksa membuat laporan tentang penyelesaian pembayaran uang pengganti yang disampaikan kepada pengadilan.66 Apabila dalam praktiknya Uang Pengganti tersebut yang telah ditetapkan dan diputuskan pihak pengadilan tetapi terdakwa tidak dapat melaksanakan pembayaran Uang Pengganti sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka akan dikenakan hukuman pengganti yaitu penambahan hukuman penjara sesuai dengan perhitungan pengganti sesuai dengan jumlah Uang Pengganti yang belum dibayarkan. Apabila si terpidana meninggal dunia sebelum Uang Pengganti
66
Wawancara dengan Bapak Arfan Halim, SH, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
dibayarkan maka pihak keluarga dan ahli waris terpidana tersebut bertanggung jawab atas pengembalian Uang Pengganti terpidana apabila terbukti bahwa ada harta dari keluarga atau ahli waris yang ternyata merupakan hasil dari Tindak Pidana Korupsi.67
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara