BAB II PERWAKAFAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Wakaf 1. Secara bahasa Secara bahasa wakaf berasal dari kata َو َو َوyang berarti berhenti, berdiri. 1 Kata َو َو َوsinonim kata َو َو َو
dengan makna aslinya berhenti,
diam ditempat, atau menahan. Kata al-waqf adalah masdar dari ungkapan waqfu al-sya‟i yang berarti menahan sesuatu.2 Kata
al-waqf
dalam
bahasa
Arab
mengandung
beberapa
pengertian:
ِ ْ اَولْو ْ ُ بِم ْعنَوى الت َّسِْي ِل ْ َّح ْي ِ َوالت َو َو Artinya : Menahan-nahan harta untuk diwakafkan, tidak di pindah milikkan.3 2. Secara istilah Menurut istilah syara’, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT.4 Secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan 1
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Bahasa Arab Indonesia. (Surabaya : Pustaka Progressif. 2022), hlm. 1576. 2 Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 7 3 Depag RI, Fiqih Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimbingan masyarakat Islam Fiqih wakaf. (Jakarta : 2007) hlm. 1 4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14. Alih Bahasa oleh Mohammad Nabhan Husein, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1987) hlm. 153
19
20
(pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan. 5 Adapun definisi wakaf menurut ahli fikih adalah sebagai berikut : a. Mazhab Hanafi Menurut Imam Abu Hanifah wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu madzhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak millik dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial) baik sekarang maupun akan datang.6 b. Mazhab Maliki
5
Depag RI, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia (Direktoral Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggaraan Haji, 2005) hlm. 1 6 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), hlm. 2
21
Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemiliknya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (sighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif. Ibn Arafah mendefinisikan wakaf seperti yang dikutip oleh Abdul Ghofur : Memberikan manfaat sesuatu pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya perkiraan (pengandaian).7 Mazhab maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.8 c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambali Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakaf tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : Perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh
7
Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 10 8 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007) hlm. 2
22
ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat,
di mana
wakif tidak dapat
melarang penyaluran
sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qodli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf „alaih. Karena itu mazhab syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).9 Dari berbagai rumusan pengertian tentang wakaf dapat diartikan bahwa wakaf adalah memindahkan hak kepemilihan suatu benda abadi tertentu dari seseorang kepada orang lain (individu) atau organisasi Islam, untuk diambil manfaatnya dalam rangka ibadah untuk mencari ridha Allah SWT. 10 3. Definisi wakaf dalam perundang-undangan Dalam PP nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 11
9
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007) hlm. 3. 10 Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 14 11 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, bab I pasal 1 (b)
23
Definisi wakaf yang terdapat dalam peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 memperlihatkan tiga hal : a. Wakif atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti perusahaan atau organisasi kemasyarakatan b. Pemisahan tanah milik belum menunjukkan pemindahan kepemilikan tanah milik yang diwakafkan. Meskipun demikian dengan melihat durasi yang ditetapkan, yaitu dilembagakan untuk selama-lamanya; ketentuan ini menunjukkan bahwa benda yang diwakafkan sudah berpindah kepemilikannya dari milik perorangan atau badan hukum menjadi milik umum (milik Allah). c. Tanah wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 12 Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariat Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf ditetapkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan 12
12.
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2008), hlm.
24
selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah. Definisi wakaf tersebut memperlihatkan dua hal : a. Pihak yang mewakafkan langsung disebut wakif tanpa memperinci pihak yang mewakafkan sebagaimana yang dirincikan dalam PP nomor 28 tahun 1977. b. Durasi wakaf, hal inilah yang membedakan definisi wakaf menurut undang-undang nomor 41 tahun 2004 dengan peraturan perundangundangan sebelumnya. Dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya ditetapkan bahwa wakaf bersifat mu‟abbad (abadi, selamanya atau langgeng). Benda yang diwakafkan tidak dapat ditarik kembali karena bukan lagi menjadi hak milik wakif (tapi menjadi milik umum). Sedangkan dalam undangundang nomor 41 tahun 2004 terdapat ketentuan secara eksplisit yang menyatakan bahwa benda wakaf dapat dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 terdapat pengakuan terhadap wakaf mu’aqqat (jangka waktu tertentu) dan pengakuan terhadap aqad wakaf yang ghoir lazim.
B. Dasar Hukum Wakaf Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang utama memberi petunjuk secara umum tentang amalan wakaf. Sebab amalan wakaf termasuk salah satu
25
yang digolongkan dalam perbuatan baik. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan wakaf tersebut antara lain : 1. Qs. Al-Hajj ayat 77 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. Al-Qurthubi
mengartikan
“berbuat
baiklah
kamu”
dengan
pengertian pebuatan baik itu adalah perbuatan sunnah bukan perbuatan wajib. Sebab perbuatan wajib adalah kewajiban yang sudah semestinya dilakukan hamba kepada Tuhannya. Salah satu perbuatan sunnah itu adalah wakaf yang selalu menawarkan pahala disisi Allah. Bunyi akhir dari ayat diatas adalah “ Mudah-mudahan kamu sekalian beruntung” adalah gambaran dampak positif dari berbuat amal kebaikan termasuk wakaf. 13 2. Qs. Ali Imran ayat 92
13
Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 19
26
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”. 3. Qs. Al-Baqarah ayat 267
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Selain ayat Al-Qur’an ada juga hadits Rasulullah SAW yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum wakaf, antara lain :
ِ اهلل صلَّى اهلل علَوي ِو سلَّم َو َو ِ ضى اهلل َوع ْنوُ اَو َّن رسو َول ِ ات ا َوذا َوم َو: ال َو ْ ُ َو ُ َوع ْن اَوبِى ُى َوريْ َورَوة َور َو ُ َو ْ َو َو َو ِ ِ ٍث ٍث ِ ِ ٍث ِ ٍث ِ صالِ ٍثح اَو ْ عل ٍثْم يُ ْنتَو َوف ُ بِو اَو ْ َولَو َو, ص َو َو َو ا ِريَو َو,اْ ْ َوسا ُن ا ْ َو َو َو َوع َوملُوُ ا َّ م ْن َو َوث )يَو ْ ُع ْو لَووُ (ر اه مسلم Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda : “Apabila seseorang meninggal, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendo‟akannya” (HR. Muslim).14 14
Syinqithy Djamaludin dan H.M. Mochtar Zoerni, Ringkasan Shohih Muslim (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm. 539-540 (Terjemah Mukhtasar Shahih Muslim oleh Al Hafizh Zaki Al Din Abd. Al Azhim Al Mundziri Terbitan Al Maktab Al Islami, Beirut).
27
Adapun penafsiran sadaqoh jariyah dalam hadits tersebut adalah :
ِ ْ ْجا ِري َو بِالْو ِ ذَوَوكرهُ فِى بَو َّ ُاب اْ َولو ْ ِِ َوَّوُ فَو َّس َور اْ ُلعلَو َومآء الص َو َو َو ال َو َو َو َو Hadits tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf. 15 Ada hadits nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf yaitu : Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu Umar r.a yang mengatakan bahwa Umar r.a datang kepada nabi Muhammad SAW untuk minta petunjuk tentang tanah yang diperolehnya di khaibar, sebaiknya digunakan untuk apa, oleh Rasulullah SAW dinasihatkan: “ Kalau engkau mau, tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya”. Umar mengikuti nasihat Rasulullah SAW tersebut, kemudian disedekahkan (diwakafkan) dengan syarat pokoknya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. 16 Dari riwayat tersebut, dapat diperoleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, baik dijualbelikan, diwariskan atau dihibahkan. 2. Harta wakaf terlepas kepemilikannya dari wakif (orang yang berwakaf) 15
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf, (Direktorat Jenderal Bimas Islam : 2007) hlm. 18 16 Syinqithy Djamaludin dan H.M. Mochtar Zoerni, Ringkasan Shohih Muslim (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm. 539.
28
3. Tujuan wakaf harus jelas dan termasuk amal kebaikan menurut pandangan Islam. 4. Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang mempunyai hak untuk ikut menikmati harta wakaf sekedar perlunya dan tidak boleh berlebih-lebihan. 5. Harta wakaf dapat berupa tanah dan lain sebagainya yang tahan lama, tidak musnah seketika setelah dipergunakan. 17
C. Rukun dan Syarat Wakaf 1. Rukun Wakaf Menurut jumhur ulama’ (Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah) ada empat rukun yang harus dipenuhi dalam berwakaf, yaitu : a. Orang yang berwakaf (al-waqif) b. Harta yang diwakafkan (al-mauquf) c. Tempat kemana diwakafkan harta itu/tujuan wakaf (al-mauquf „alaihi) d. Lafadz atau ikrar wakaf (sighat), Dalam pasal 6 undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, unsur atau rukun wakaf ditambah 2 hal lagi yaitu : e. Pengelola wakaf (nazhir) f. Jangka waktu yang tak terbatas.18
17
Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 23 18 Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 26
29
2. Syarat-syarat Wakaf a. Wakif, syaratnya : 1. Wakif harus memiliki secara penuh harta itu (merdeka) 2. Berakal sehat 3. Baligh 4. Mampu bertindak secara hukum (rasyid) b. Mauquf, syaratnya : 1. Tahan lama dan bermanfaat/berharga 2. Diketahui kadarnya 3. Milik wakif 4. Berdiri sendiri, tidak melekat pada harta lain. c. Mauquf alaih, syaratnya : Mauquf „alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah. Mauquf „alaih harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan halhal yang dibolehkan atau “mubah” menurut nilai hukum Islam. Mauquf „alaih harus jelas apakah untuk kepentingan umum seperti untuk mendirikan masjid, ataukah untuk kepentingan sosial seperti pembangunan panti asuhan, ataukah bahkan untuk keperluan keluarga sendiri. Apabila ditujukan kepada kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau sifat mauquf alaih. Secara jelas agar harta wakaf segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Apabila
30
diperlukan organisasi (badan hukum) yang menerima harta wakaf dengan tujuan membangun tempat-tempat ibadah umum.
19
d. Shighat, syaratnya : 1. Mengandung kata-kata yang menunjukkan wakaf (ta‟bid) 2. Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa digantungkan kepada syarat tertentu. 3. Ucapan itu bersifat pasti 4. Ucapan itu tidak diikuti syarat yang membatalkan. e. Nazhir (Pengelola wakaf), syaratnya : Nazhir wakaf adalah orang, organisasi, atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan dan peruntukkannya. 20 Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nazhir asalkan ia tidak terhalang melakukan prbuatan hukum. Akan tetapi, kalau nazhir itu adalah perorangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhinya, yaitu: beragama Islam, dewasa, dapat dipercaya (amanah) serta mampu secara jasmani dan rohani untuk menyelenggarakan segala urusan yang berkaitan dengan harta wakaf.21 f. Jangka waktu
19
Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 27 20 Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 28 21 Abd. Ghofur Anshari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005) hlm. 28
31
Para fuqaha berbeda pendapat tentang syarat permanen dalam wakaf. Diantara mereka ada yang mencantumkannya sebagai syarat tetapi ada yang tidak mencantumkannya. Di Indonesia, syarat permanen sempat dicantumkan dalam pasal 215 KHI namun syarat itu kemudian berubah setelah keluarnya undang-undang No. 41 tahun 2004 pada pasal 1 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Jadi menurut ketentuan ini, wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.
D. Macam-Macam Wakaf 1. Wakaf Ahli Wakaf ahli atau wakaf keluarga adalah wakaf yang diperuntukkan khusus kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga wakif atau bukan. Karena wakaf ini diperuntukkan bagi orang-orang khusus atau orang-orang tertentu, maka wakaf ini disebut pula dengan wakaf khusus. 22 Di satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. 22
H. Abdurrahman, SH.MH Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. PT. Citra Aditya Bakti, 1994 h. 59
32
Akan tetapi, pada sisi lain wakaf ahli sering menimbulkan masalah seperti : Bagaimana kalau anak cucu punah ? Siapa yang berhak mengambil manfaat harta wakaf itu ? atau sebaliknya, Bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil harta wakaf.23 2. Wakaf Khairi Wakaf khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhusukan untuk kepentingan orang-orang tertentu. Ditinjau dari penggunaanya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya. Dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu.24 Secara substansi, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Kalau dilihat dari manfaatnya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya. dengan demikian, benda wakaf
23
Depag RI, Fiqih Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2009) h. 15 24 Depag RI, Fiqih Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2009) h. 17
33
tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas. 25
E. Nazhir Wakaf 1. Pengertian dan dasar hukum Nazhir berasal dari kata kerja bahasa Arab nazhara-yanzhurunazhran yang mempunyai arti menjaga, memelihara, mengelola, dan mengawasi. 26 Adapun nazhir fa‟il dari kata nazhara yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas atau penjaga. Jadi nazhir wakaf adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas memelihara dan mengurus benda wakaf. Definisi nazhir menurut undang-undang perwakafan adalah pihak yang menerima benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan. Sesuai dengan peruntukannya.
27
Dengan demikian nazhir berarti orang
yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memeliharanya, mengembangkan dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.
25
Depag RI, Fiqih Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2009) h. 17 26 Ahmad Warsun Munawwir, Al-Munawair Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997) Cet. 14 h. 1576 27 Ketentuan umum undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 1
34
Pada dasarnya, siapapun dapat menjadi nazhir sepanjang ia bisa melakukan tindakan hukum. Tapi karena tugas nazhir menyangkut harta benda yang menfaatnya harus disampaikan kepada pihak yang berhak menerimanya, jabatan nazhir harus diberikan pada orang yang memang mampu menjalankan tugas itu.28 Menurut para ulama’, yang berhak menentukan nazhir adalah wakif. Alasannya, wakiflah yang paling dekat dengan hartanya. Ia tentu berharap harta yang diwakafkan bermanfaat terus menerus, sehingga ia harus memilih orang yang memang mampu mengurus dan memelihara harta wakaf. Jika wakif tidak menunjuk nazhir disaat ia melakukan ikrar, yang berhak mengangkat adalah hakim. Manfaat yang akan dinikmati oleh wakif atau orang lain sangat tergantung kepada nazhir, karena hanya nazhir yang mampu menjamin kesinambungan. Oleh karenanya kedudukan nazhir dalam perwakafan sangatlah penting. Adapun dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum nazhir antara lain sebagai berikut : a. QS. An-Nisa’ ayat 58 :
28
Depag RI, Paragdigma Baru Wakaf di Indonesia (Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam : 2007) hlm. 51
35
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.29 Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghy dalam kitabnya Al-Maraghy bahwa amanat ada 3 macam. Pertama : Amanat hamba dengan Rabbanya. Kedua: Amanat hamba dengan sesama manusia , diantaranya adalah menyampaikan sesuatu benda atau barang yang dititipkannya kepada yang dikehendaki oleh sang pemberi amanat. Ketiga: Amanat manusia terhadap dirinya sendiri. 30 Ayat tersebut bisa dijadikan sebagai dasar hukum nazhir, sebab nazhir merupakan pengemban amanah wakaf. Nazhir diberi amanah (kepercayaan) untuk mengelola
harta
wakaf
sesuai
dengan
tujuan
wakaf
serta
menyampaikan (memberikan) manfaatnya untuk kepentingan umum. Amanah tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. b. QS. Al-Mukminun Ayat 8
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. c. QS. Al-Anfal Ayat 27 29
Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggraan Haji 1971, h. 203 30 Syekh Ahmad Mustofa Al-Maraghy, Terij. Tafsir Al-Maragyh, (Bandung: CV. Rosda Bandung, 1987). Juz 5 h. 114
36
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. Dalam hadits, Rasulullah juga menjelaskan sebagai berikut :
ِ َوصاب ُعمر ر: ال ض َوى اهللُ َوع ْنوُ َْور ًض ُصلَّى اهلل فَواَوتَوى النَِّيَّى َو,ضا بِ َو ْيَو َور َوع ِن ابْ ِن ُع َوم َور َو َو َو َو َو َو َو ِِ ِ ُّ ب َوما ًض َو ط َوعلَوْي ِو َو َوسلَّ َوم يَو ْستَوأ ِْم ُرهُ فِ ْي َوها فَو َو َو ت اَو ْر ًض ُ ْص ْ ضا بِ َو ْيَو َور لَو ْم َوص ال يَو َوار ُس ْو َول اهلل ا ِّى اَو َو ِ ىو اَوْ َوف ِعن ِ ى ِمنو فَوما تأْمر ِى بِ ِو َو َو )ْت بِ َوها ْ ُ ص َّ َو ت َو َو ْس َو (ا ْن ِش ْئ َو: ال ْ ت اَو صلَو َوها َوتَو َو ْ ُ ُ ْ ُ َو َو ُ َو ص َّ َو بِ َوها َو َو ُ صلُ َوها َو َويُ ْتَواعُ َو َويُ ْوَور ْ اَوَّوُ َويَُواعُ اَو:ص َّ َو بِ َوها ُع َوم ُر ب فَو تَو َو فَو تَو َو: ال ُ ث َو َو يُ ْو َوى ِ فِى سِْي ِل,ب ِ الض َّْي,السِْي ِل ِ ُع َوم ُر َّ َوابْ ِن,اهلل ِّ َوفِى, َوفِى اْل ُ ْربَوى,فى الْ ُف َو َور ِء الر اَو ِ َو َو َو ِ ِ ِ ِ ص ِ يْ ًض ا غَوْي َور َوم ْت ُم ْوٍثل فِ ْي ِو اح َوعلَوى َوم ْن َوليَو َوها اَو ْن يَوْأ ُك َول م ْن َوها بِال َوْم ْع ُرْ ف َو ْ يُ ْع َوم َو َو َو ُ نَو َو
)(ر اه ال ارى
Artinya : “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Ia berkata: Umar telah menguasai sebidang tanah di khaibar lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta fatwanya sehubungan tanah tersebut. Ia berkata : Ya Rasulullah, aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengannya: “Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu menginginkannya tahanlah aslinya, shodaqohkan hasilnya maka bershodaqohlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan. Ia menshodaqohkan kepada orangorang fakir, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu sabil dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan hasil dari tanah tersebut dengan cara yang ma‟ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri (HR. 31 Bukhori).
31
Abu Abdillah, Muhammad bin Ismail Al-bukhori, Shohih Bukhori, (Beirut-Lubnan: Jeddah, t. th) jilid 1 h. 381
37
Di Indonesia nazhir wakaf dapat ditunjuk oleh wakif yang kemudian dilegalkan oleh pemerintah. Sebagaimana undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tidak secara eksplisit menjelaskan siapa yang mengangkat nazhir wakaf. Hanya saja pada peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang wakaf, pasal 6 ayat 4 dijelaskan, bahwa nazhir dalam jangka waktu 1 tahun sejak akta ikrar wakaf (AIW) dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian nazhir. 2. Macam-macam dan Syarat Nazhir Dalam pasal 9 undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa nazhir meliputi : a. Perseorangan b. Organisasi c. Badan hukum. 32 Pasal 10 ayat 1 menyebutkan: “Perseorangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 huruf a tersebut hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Warga negara Indonesia 2) Beragama Islam 3) Dewasa 4) Amanah
32
Terdapat juga dalam PP Nomor 42 tahun 2006 pasal 2
38
5) Mampu secara jasmani dan rohani 6) Tidak terhalang melakukan tindakan hukum Pasal 10 ayat 2: “Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b tersebut hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan : a. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana disebut pada ayat 1 b. Organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. Pada ayat 3, “Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan : a. Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaa Islam. Syarat nazhir di atas bukan sesuatu yang sulit untuk didapat, sebab sekarang ini telah banyak lembaga profesi dan pendidikan yang berwawasan syari’ah menyediakan sumber daya manusia yang terampil sehingga mampu mengembangkan perwakafan persoalannya, apakah dari pihak wakif memilih nazhir yang sesuai dengan visi kesejahteraan disamping kebutuhannya terhadap dimensi ibadah dan apakah ada kepedulian orang yang terampil dan terdidik untuk melihat perwakafan
39
sebagai potensi ekonomi yang akan mampu menjadi pilar ekonomi masyarakat dan negara disinilah perlu adanya kesatuan visi antara wakif dan nazhir untuk menciptakan perwakafan yang profesiaonal berwawasan ekonomi dan kesejahteraan. 3. Hak dan Kewajiban Nazhir Dalam kitab mughni muhtaji, oleh syam Al-Din Muhammad bin Ahmad Al-Syarbin dijelskan tugas dan tujuan nazhir sebagai berikut : “Kewajiban dan tugas nazhir wakaf adalah membangun, mempersewakan, mengembangkan agar berhasil dan mendistribusikan hasil-hasil itu kepada pihak-pihak yang berhak, serta kewajiban memelihara modal wakaf dan hasilnya. Pasal 11 undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf menyebutkan bahwa nazhir mempunyai tugas: a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. c. Mengawasi dan melindungi harta wakaf, dan d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada badan wakaf Indonesia. Dalam pasal 13 peraturan pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa :
40
a. Nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, pasal 7 dan pasal 11 wajib mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi, dan melindungi harta benda wakaf. b. Nazhir wajib membuat laporan secara berkala kepada menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan laporan sebagimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah Jika melihat tugas dan kewajiban nazhir tersebut di atas, maka sudah sepantasnya nazhir mendapatkan hak atas kerja kerasnya mengelola wakaf. Namun pada kenyataannya hal ini tidak banyak diatur baik dalam peraturan pemerintah maupun dalam undang-undang perwakafan Dalam pasal 12 undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf disebutkan bahwa: “Dalam melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nazhir dapat menrima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen). Selain itu, dalam PP nomor 42 tahun 2006 disebutkan bahwa : a. Nazhir wakaf berhak memperoleh pembinaan dari menteri dan BWI b. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : 1) Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi, dan badan hukum
41
2) Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf 3) Penyediaan fasilitas proses sertifikasi wakaf. 4) Penyediaan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak dan / atau benda bergerak 5) Penyiapan penyuluhan penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada nazhir sesuai dengan lingkupnya, dan 6) Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf. 33
33
PP Nomor 42 tahun 2006 pasal 53