BAB II PERSEPSI, REMAJA, BIMBINGAN & KONSELING DALAM MEMBINA IDENTITAS GENDER
A. Konsep Persepsi 1. Pengertian Persepsi Istilah persepsi secara etimologis dalam bahasa Inggris yaitu perception yang berarti sebagai penglihatan atau tanggapan daya memahami/tanggapan. Secara harfiah persepsi memiliki arti sebagai penerimaan dan penafsiran. Maka dapat dikatakan bahwa persepsi timbul akibat proses penerimaan, penafsiran dan pemberian dari stimulus yang diterima individu melalui alat indranya. Effendi, S. Praja (1984: 112) mengemukan bahwa persepsi adalah proses penerimaaan, penafsiran, dan memberikan arti dari kesimpulan yang diterima melalui alat drianya. Rahmat (1999: 51) mengemukakan bahwa persepsi sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Levine dan Shefer (Ansori, 2004: 192) mengemukakan bahwa persepsi adalah cara individu menginterpretasikan informasi yang diperoleh berdasarkan atas pemahaman individu itu sendiri. Persepsi terjadi karena sensasi sebagai hasil dari kerja alat dria manusia terhadap lingkungannya. Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian persepsi merupakan hasil proses indrawi dan pengalaman yang memberikan arti dalam merespon stimulus. Persepsi terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sekitar.
Bagaimana proses indrawi dalam diri individu dapat membentuk persepsi, Dale dan Judith (Suherman, 1999: 20) mendefinisikan persepsi sebagai ”thought, beliefs, and feelings about person, situasions, and events”. Ini diartikan sebagai pemahaman, keyakinan dan perasaan mengenai individu, situasi dan peristiwa. Kesimpulan yang diambil dari pengertian-pengertian di atas bahwa persepsi adalah pemahaman, keyakinan, dan perasaan dalam menginterpretasikan stimulus yang datang dari lingkungannya.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Penerimaan persepsi pada setiap individu berbeda-beda tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam mengintepretasikan sesuatu obyek. Mar’at menyatakan bahwa persepsi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan. Faktor pengalaman atau proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk atau struktur terhadap apa yang dilihat, sedangkan pengetahuan dan cakrawala memberikan arti terhadap obyek psikologis (Faozah, 2005: 32). Miftah Thoha (1993: 28) mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah: 1. psikologis, psikologi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat dipengaruhi oleh psikologis; 2. famili, pengaruh yang besar terhadap anak-anak. Famili, orang tua yang mengembangkan suatu cara khusus dalam melihat dan memahami kenyataan dunia, banyak sikap dan persepsi-persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya;
3. Kebudayaan, lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan faktor yang kuat dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara memandang dan memahami keadaan dunia. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat yang telah dikemukakan adalah faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam menanggapi suatu obyek berbeda disebabkan oleh peristiwa serta karakteristik individu sendiri walaupun dalam lingkungan yang sama.
B. Konsep Remaja 1. Pengertian Remaja Istilah remaja atau adolescence berasal dari masa latin adolescere yang berarti tumbuh ke arah kematangan atau kedewasaan yang meliputi seluruh aspek kepribadian, baik fisik, mental, maupun sosial. Masa remaja merupakan suatu transisi proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu dalam keseluruhan hidupnya (Surya, 1990: 89). Hal senada juga dinyatakan oleh Konopka (Yusuf, 2006: 73) bahwa masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu, dan merupakan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa yang diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. Lebih lanjut Konopka menyatakan bahwa dari segi usia, fase remaja merupakan salah satu periode rentang kehidupan individu, fase yang meliputi: (1) remaja awal 12-15 tahun; (2) remaja madya 15-18; (3) remaja akhir 19-22 tahun (Yusup, 2006: 73). Masa remaja merupakan masa persiapan sorang individu menuju masa kedewasaan. Perilaku remaja diarahkan kepada bentuk-bentuk perilaku orang dewasa
dalam hal
berpenampilan, hubungan sosial, mengenal lawan jenis, tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeluarga.
2. Tugas-tugas Perkembangan Remaja Seorang individu dalam masa remaja diharapkan mampu melanjutkan beberapa tugas perkembangan yang semuanya menentukan kepribadiannya. Semakin banyak tugas-tugas perkembangan yang dicapai semakin mudah bagi remaja untuk menyesuaikan diri dengan tugas perkembangan selanjutnya. Salah satu tugas perkembangan remaja adalah mampu melaksanakan peran sosial sesuai dengan jenis kelaminnya. Remaja belajar untuk menerima peran sebagai lakilaki dewasa atau perempuan dewasa sesuai dengan aturan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat (Yusuf, 2006: 76). Menurut Havighust (Hurlock, 1999: 280) bahwa tugas perkembangan pada masa remaja antara lain menunjukkan tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, menerima dan menjalankan peran sosial sesuai dengan jenis kelamin. Proses pencapaian identitas laki-laki atau perempuan dapat dilihat dari perkembangan secara biologis, psikologis, budaya. Secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, baik dalam siklus pertumbuhannya, penampilan fisiknya. Wanita lebih lemah daripada laki-laki, namun fisiknya menjadi daya tarik laki-laki. Dipandang dari sudut psikologis, peranan laki-laki dan perempuan relatif berbeda dalam masyarakat. Sehingga remaja laki-laki harus menerima ide sebagai laki-laki dewasa dan remaja perempuan menerima ide sebagai perempuan dewasa pula. Secara budaya, peran perempuan terus berubah terutama dalam masyarakat perkotaan. Peran perempuan sekarang lebih diberi kebebasan daripada generasi sebelumnya. Sebagian perempuan dapat memilih secara mandiri untuk bekerja dalam bidang bisnis atau suatu profesi tertentu, yang sebelum tidak mungkin dilakukan (Yusuf, 2005: 77).
C. Gender dan Karakteristiknya 1. Seks dan Gender Memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara biologis alat-alat kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan dan bersifat permanen, hal ini merupakan kodrat ketentuan Tuhan (Fakih, 2006: 8). Kata gender berasal dari bahasa Inggris ”jenis kelamin”, dalam Webster’s New Wolrd Distionary gender diartikan sebagai perbedaan yang nampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Umar, 2008). Fakih (2006: 71) menyatakan juga bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural yang panjang. Perubahan ciri dan sifat-sifat yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut konsep gender. Istilah gender adalah konsepsi perbedaan kepribadian laki-laki dan perempuan (yang bertujuan untuk memberi identitas). Biasanya istilah tersebut diiringi dengan istilah maskulinitas dan femininitas yang berkaitan dengan peranan sosial serta terdapat perbedaan keberadaan dalam waktu, tempat, budaya, bangsa, kultural maupun peradaban (Teichman, 1998: 142; Rahmawati, 2004: 18). Di lain pihak Santrock (2003: 365) mengungkapkan bahwa istilah gender dan seks. Istilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologi seorang laki-laki dan perempuan
sedangkan gender mengaju pada dimensi sosial-budaya seorang sebagai laki-laki atau perempuan. Seks berasal dari bahasa latin sexus yang berarti jenis kelamin. Kata sexus berasal dari kata kerja ”secare” yang berarti memotong, membagi atau memisahkan. Seks berarti hal-hal yang membagi mahkluk hidup ke dalam dua kelompok atau jenis. Jenis yang pertama laki-laki (man) atau pria (male), sedangkan jenis yang lain disebut perempuan (women) atau perempuan (female) (Konseng, 1995: 1). Istilah gender merujuk pada karakteristik dan ciri-ciri sosial yang diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya didasarkan pada perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan kultural tentang apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan (Rahmawati, 2004: 19). Dapat diambil kesimpulan bahwa seks merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan kodrat yang tidak dapat diubah-ubah. Sedang gender merupakan hasil kontruksi manusia tentang laki-laki atau perempuan bersifat berbeda-beda tergantung waktu, tempat, budaya, agama dan peradaban.
2. Pengertian Identitas Gender Ada beberapa definisi tentang pengertian identitas gender yang kemukakan. 1. Myers (1996) mengartikan gender merupakan suatu set perilaku yang
diharapkan
(norma-norma untuk laki-laki & perempuan) (Nauly, 2002) 2. Baron (2000: 188) mengartikan bahwa identitas gender merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu sebagai seorang laki-laki atau perempuan.
3. Identitas gender sebagai perasaan individu tentang dirinya sebagai seorang
laki-laki atau
perempuan (Kosmekl, 2003). 4. Identitas gender diartikan sebagai harapan sosial dan kultural dalam hal peran, nilai, ciri-ciri kepribadian, minat dan aktivitas serta bagaimana menjadi seorang laki-laki atau perempuan (Nn, 2007). Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa identitas gender adalah karakteristik laki-laki dan perempuan dalam hal ciri-ciri kepribadian, nilai, aktivitas, peran dan minat yang diterima oleh lingkungan sosial di mana individu berada.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas Gender Meskipun telah diyakini bahwa perbedaan paling nyata antara laki-laki dan perempuan adalah faktor biologis, namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai karakteristik tipikal laki-laki dan perempuan dapat dipelajari.
Proses
penentuan
identitas
gender
memerlukan waktu yang panjang dan berbeda-beda, seperti yang dijelaskan dalam teori pembentukan identitas gender sebagai berikut.
1. Teori Biologi Adanya faktor-faktor biologis seperti laki-laki mempunyai kromosom seksual XY atau disebut heterogametic sex dan XX untuk perempuan disebut juga homogametic sex yang dapat mempengaruhi perkembangan peran gender individu. Jadi seseorang dengan kromosom seks XY akan berkembang dengan kepribadian berkarakteristik masklin dan seorang dengan kromosom seks XX akan berkembang dengan kepribadian berkarekteristik feminin. Proses menjadi laki-laki atau perempuan sejak awal ditentukan oleh ayah. (Aisyah,2000: 56).
2. Teori Psikoanalitik Menurut Freud dan Erikson memiliki pandangan bahwa alat kelamin mempengaruhi perilaku gendernya, oleh karena itu anatomi adalah nasib bagi seorang individu. Perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan berasal dari anatominya. Erikson memperkuat pendapatnya, karena struktur genital laki-laki lebih suka merusak dan agresif sedangkan perempuan lebih tenang dan pasif (Santrock, 2003: 367).
3. Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial menekankan bahwa perkembangan gender pada anak-anak dan remaja muncul dari hasil pengamatan serta imitasi terhadap perilaku gender, melalui penguatan, hukuman yang dialami oleh mereka untuk perilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan gendernya (Santrock, 2003: 367). Secara umum anak diberi imbalan untuk berperilaku yang pantas dan tidak pantas ketika berpoerilaku tidak sesuai dengan gendernya. Sebagai contoh orang tua lebih mengawasi anak perempuan dengan alasan kerawanan seksual sehingga memberikan perhatian yang lebih dan memastikan untuk selalu mengawasinya daripada anak laki-laki. Ketika orang tua menempatkan larangan berlebihan pada remaja lakilaki, hal ini akan mengacaukan perkembangannya (Baumrind dalam Santrock, 2003: 367) Remaja belajar tentang gender melalui pengamatan terhadap orang tua, dan orang dewasa lainnya, teman sebaya, media massa, lingkungan sekolah, dalam memilih peran yang akan diikutinya (Sears, 1994: 210). 4. Teori Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif dikembangkan oleh Kohlberg, yang menekankan bahwa perubahan penting dalam perkembangan gender pada usia anak-anak. Ketika memasuki usia 67 tahun, anak-anak mengerti akan kepastian gender laki-laki atau perempuan (Santrock, 2003: 370), dan akan tetap menjadi orang dewasa laki-laki atau perempuan (Aisyah, 2000: 25). Selanjutnya timbul teori yang merupakan gabungan dari teori belajar dan teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Bem, teori ini mengatakan bahwa sex-typing terjadi melalui proses kognisi. Anak menyadari proses gender schmatic diperoleh melalui latihan-latihan dalam membedakan simbol-simbol jenis kelamin pada lingkungan sosialnya Teori perkembangan kognitif mengasumsikan bahwa sex typing dipelajari dari fenomena-fenomena dan dari kesiapan individu secara keseluruhan untuk menerima kode-kode dan mengorganisasikan informasi tentang sifat maskulin dan feminin menurut standar budaya. Anak belajar untuk mengenal artibut-artibut yang cocok dengan jenis kelaminnya. Dengan demikian anak dapat memilih dan menjadikan konsep diri yang sex typed atau memilih konsep non sex typed. Pada subyek yang non sex typed tidak akan melihat adanya perbedaan tingkat atau sederajat dari stereotip yang cocok dengan dirinya (Aisyah, 2000: 59). Menurut Bem (Cook dalam Tessa, 2003: 58), setiap individu mempunyai “gender schema”, merupakan proses kognitif di mana standar nilai mengenai karakteristik atau sifat yang pantas untuk laki-laki atau perempuan yang diberikan oleh lingkungan sosial akan mempengaruhi konsep diri individu dan tingkah lakunya. Proses yang terjadi dalam gender schema adalah sebagai berikut. 1. Individu mendapat informasi dari lingkungan sosialnya mengenai karakteristik yang sepantasnya dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Kemudian informasi yang didapat akan diterima, diinterpretasikan dan diorganisasikan secara efektif di dalam struktur internal
kognitif individu. Proses selanjutnya penyeleksian dan asimilasi sehingga terbentuk dalam diri individu mengenai karakteristik yang sepantasnya dimiliki laki-laki dan perempuan dinamakan gender schema . Jika proses pembelajaran berlangsung terus maka gender schema pada individu akan mempengaruhi penerimaannya terhadap lingkungan dalam konteks gender. 2. Individu mulai mengevaluasi berkaitan dengan proses pembelajaran dalam gender schema, yang berfungsi sebagai standar evaluasi karakteristik yang dimiliki individu tersebut dalam nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya. Jika individu termotivasi untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berada di lingkungannya maka konsep diri mengenai suatu nilai tertentu semakin kuat, hasil akhir dari proses ini akan terbentuknya suatu identitas gender tertentu.
4. Stereotip identitas Gender Stereotip gender adalah katagori-katagori yang bersifat umum yang menggambarkan pandangan dan keyakinan tentang laki-laki dan perempuan (Santrock, 2003: 374). Stereotip merupakan asumsi-asumsi budaya yang bekerja sebagai harapan, agar laki-laki dan perempuan menampilkan karakteristik tertentu yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Stereotip gender meliputi informasi tentang penampilan fisik, sikap, minat, trait kepribadian, relasi sosial dan pekerjaan (Ashmore, Delboca, Wahlers, Deaux, Lewis da Huston dalam Rahmawati, 2004: 26). Hurlock (1999: 157) mengemukakan bahwa stereotip berfungsi sebagai pedoman pelatihan anak. Sejak awal anak dilatih dalam kehidupannya untuk bertindak sesuai dengan standar yang ditentukan oleh stereotip untuk kelompok jenis kelaminnya.
Stereotip ini
merupakan bagian dari kebudayaan yang merupakan nilai, simbol, keyakinan yang terbentuk
melalui sistem tertentu.
Stereotip merupakan standar yang berlaku bagi individu untuk
mampu mengembangkan identitas gendernya yang sesuai dengan jenis kelaminnya atau standar individu untuk menilai dirinya. Hal ini meliputi bagaimana cara individu berpenampilan, termasuk bentuk dan ciri anggota tubuh, perilaku, cara berbicara, serta cara mengungkapkan perasaan. Perilaku-perilaku yang disetujui secara umum yang mencerminkan suatu stereotip dapat berubah-ubah dan berbeda-beda pada kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Namun hampir setiap kebudayaan keberanian, agresif, kemandirian dipandang sebagai simbol laki-laki, sedangkan ketaatan, tanggung jawab sosial sebagai simbol perempuan (Aisyah, 2000: 52). Perbedaan jenis kelamin dalam tingkah laku interpersonal diyakini perempuan lebih cenderung
menyadari
emosinya
daripada
laki-laki,
lebih
penghargaan
dan
ingin
mempertahankan hubungan daripada mengendalikannya, memperjuangkan kerjasama dan kemurahan hati daripada kompetisi dan keegoisan, perempuan secara tradisional didorong untuk rendah hati terhadap prestasi sendiri (Baron, 2002: 203). Perbedaan persepsi diri laki-laki dan perempuan, bahwa faktor utama ketidakbahagian perempuan adalah kekhawatiran yang berlebihan terhadap penampilan fisik. Hal ini sejalan dengan pendapat Dave Barry (Baron, 2002: 203) menyatakan ”laki-laki memandang dirinya sendiri memiliki penampilan ’biasa-biasa saja’, ini berarti menarik, namun perempuan memiliki penampilan ’biasa-biasa saja’ berarti penampilannya tidak cukup memuaskan.”
5. Aspek Perkembangan Identitas Gender
Aspek perkembangan identitas gender diawali dengan determinan genetik jenis kelamin pada saat konsepsi, setiap orang mengalami perkembangan melalui serangkaian tahap perkembangan untuk belajar dari diri sendiri dan lingkungan sebagai laki-laki atau perempuan. Serta menginternalisasikan identitas gender sebagai bagian konsep diri, dan memperoleh hal-hal yang disetujui oleh stereotip gender budaya dan akhirnya mengadopsi sebuah peran gender yang sesuai dan tidak sesuai stereotip gender dari lingkungannya (Baron, 2000: 192). Berikut bagan 2.1. tentang tahapan aspek perkembangan identitas gender pada diri setiap individu.
Bagan 2.1. Tahapan Perkembangan Identitas gender
Remaja dan Dewasa Identitas gender telah tercipta dengan mantap dan stereotip sudah dipahami dengan baik. Individu dapat mengidentifikasi diri dengan stereotip gender yang berhubungan dengan jenis kelaminnya atau tidak sehingga, seseorang dapat mengadopsi stereotip yang berhubungan dengan jenis kelaminnya, stereotip lawan jenis, kedua jenis kelamin, atau tidak sama sekali.
Masa kanak-kanak akhir Identitas jenis kelamin menjadi sangat jelas, dan identitas gender (saya seorang laki-laki atau saya seorang perempuan) berkembang sebagai bagian dari konsep diri. Anak juga belajar apa yang secara budaya disebut karakteristik gender yang ”pantas” dan ”tidak pantas”. Pada usia lima tahun, stereotip gender mulai muncul.
Usia 2 sampai 4 tahun Anak belajar kategori sosial pada laki-laki dan perempuan dan memberi label diri dan orang lain sebagai anak laki-laki atau anak perempuan, walaupun dengan pemahaman yang terbatas dari makna yang sebenarnya.
Konsepsi Gen-gen kromosom jenis kelamin, yang menentukan apakah seorang bayi laki-laki atau perempuan telah dimiliki.
(Baron, 2000: 192) 6. Macam-macam Peran Gender Peran gender merupakan pola tingkah laku yang telah disetujui oleh kelompok sosial. Peran gender adalah pola-pola tingkah laku bagi kedua jenis kelamin yang disetujui dan diterima oleh kelompok sosial tempat individu mengidentifikasikan diri (Hurlock, 1978: 156). Pada perkembangannya peran gender berubah dari tahun ke tahun, pembelajaran peran menjadi stereotip gender disebut stereotip gender (sex stereotip). Pada penerapannya berkembang dua peran gender yaitu peran gender tradisional dan peran gender eligaliter.
1. Peran Gender tradisional Peran gender tradisional merupakan perwujudan prinsip dasar bahwa adanya perbedaan antara kedua jenis kelamin. Peran laki-laki sangat ditonjolkan dan dianggap lebih superior daripada peran perempuan. Peran gender perempuan secara tradisional adalah sebagai penanggungjawab pengasuhan anak dan seorang perempuan diharapkan berkarakteristik yang hangat, baik hati, kooperatif dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Sedang laki-laki didorong untuk
berkarakteristik sebagai pencari nafkah, pembuat keputusan bagi semua masalah, dominan dan mandiri (Shaffer dalam Aisyah, 2000: 52). Hal ini sesuai dikatakan Neibuhr bahwa seorang laki-laki harus membiayai, melindungi, dan memimpin keluarganya (Baron, 2000: 199) Peran seorang perempuan secara tradisional baik di dalam maupun di luar rumah diorientasikan pemenuhan dengan melayani orang lain. Perempuan diharapkan tidak bekerja di luar rumah, kecuali untuk keperluan belanja, sebagian besar tanggung jawab adalah mengasuh anak-anak dan memelihara rumah (Hurlock,1978a). Mendidik anak, mengelola rumah tangga, merawat kebersihan dan keindahan rumah atau urusan domestik seolah menjadi kodrat perempuan (Fakih, 1996: 11). Senada dengan pendapat di atas Mayor mengemukakan bahwa peran gender tradisional masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara laki-laki dan perempuan bereaksi di dalam rumah, pekerjaan di rumah masih dibagi berdasarkan gender, secara keseluruhan perempuan menghabiskan waktunya lebih banyak untuk pekerjaan rumah dibanding laki-laki (Baron, 2000: 196).
2. Peran Egaliterian Peran eligaliterian atau peran sederajat menghapuskan penekanan pada perbedaan ekstrim antara jenis kelamin. Pembagian peran yang didasari oleh pandangan ini adalah pembagian peran secara luwes atau fleksibel. Fleksibel bisa diartikan sebagai kemudahan atau kebebasan masing-masing untuk mengembangkan perannya dengan memperhatikan minat dan kemampuan (Rahmawati, 2004: 31). Peran tradisional yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga peran perempuan condong ke arah laki-laki dan sebaliknya peran laki-laki condong ke
arah perempuan. Peran-peran ini lebih banyak unsur persamaannya daripada perbedaannya (Hurlock, 1978: 165). Lebih lanjut masih menurut Hurlock, berikut ini Tabel 2.1. dan 2.2. tentang unsur-unsur penting stereotip peran gender tradisional dan egaliter. Tabel 2.1. Stereotip Peran Gender Tradisional Peran Gender Laki-laki 1. Mendominasi segala situasi seperti terlihat dari perilaku agresif dan asertif; 2. Kepuasan sendiri hanya lewat prestasi sendiri; 3. Pengendalian emosi pada setiap saat untuk menunjukkan kekuatan; 4. Orientasi pada diri sendiri, mempertimbangkan diri sendiri dalam segala situasi; 5. Sebagai pencari nafkah, mengambil semua keputusan penting; 6. Satu-satu peran di rumah ialah memberi nasihat dan mendisiplinkan anak dan bertindak sebagi model peran bagi putranya; 7. Berhak mendapat penghargaan karena pekerjaan di luar rumah lebih berbahaya, dan sulit dibanding pekerjaan di rumah; 8. Mengatur keuangan keluarga; 9. Cenderung meremehkan martabat dan kemampuan perempuan; 10. Merasa berhasil karena kemampuan pribadi.
Peran Gender Perempuan 1. Patuh dalam segala situasi seperti kesediaan menurut keinginan laki-laki; 2. Mengekspersikan emosi dengan memperlihatkan kehangatan dalam hubungan sosial di dalam maupun di luar rumah; 3. Berorientasi pada orang lain, mempertimbangkan segala sesuatu untuk orang lain baru dirinya; 4. Peran utama adalah mengatur rumah tangga dan mengasuh anak; 5. Menyerahkan semua keputusan pada laki-laki; 6. Bekerja di rumah hanya untuk menunjang keperluan keluarga dan hanya khusus pekerjan untuk perempuan; 7. Menyerahkan pengaturan keuangan rumah tangga kepada laki-laki; 8. Pekerjaan di dalam dan di luar rumah dianggap lebih mudah sehingga penghasilan dianggap lebih murah atau ringan; 9. Memiliki peran yang lebih rendah daripada laki-laki; 10. Merasa bersalah bila mementingkan diri sendiri; 11. Menaikkan kedudukan
sosial bila menikah.
1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
9.
Tabel 2.2 Stereotip Peran Gender Egaliter Peran Gender Laki-laki Peran Gender Perempuan Hanya merasa superior bila 1. Mewujudkan potensi dalam prestasi superior, bukan aneka ragam kegiatan untuk karena jenis kelaminnya; mewujudkan potensinya; Bebas memuaskan 2. Lebih berorientasi pada diri kemampuan dan minatnya daripada orang lain; tanpa merasa takut tidak 3. Lebih mengharapkan kerja sesuai dengan jenis sama dengan orang lain kelaminnya; daripada harus berperilaku Lebih berorientasi kepada sebagai pembantu; orang lain daripada ke diri 4. Tidak merasa bersalah jika sendiri; menggunakan kemampuan Bekerja atas dasar untuk mencapai kepuasan kemintraan dengan diri sendiri; perempuan dan tidak 5. Menuntut kesempatan yang merasa canggung bekerja di sama dan gaji yang sama; bawah wanita; 6. Tidak merasa kurang Berbagi tanggung jawab feminin bila prestasinya rumah tangga dan melampaui prestasi lakipengasuhan anak; laki; Melibatkan keluarga dalam 7. Bersedia menerima peran mengambil keputusan; pemimpin dalam pekerjaan Bangga akan prestasi atau masyarakat; anggota keluarga 8. Tidak merasa canggung perempuan, dan juga bila untuk bekerja di dalam bisa melebihi prestasinya dunia laki-laki; sendiri; 9. Tidak merasa bersalah Tidak perlu memberikan apabila pekerjaannya kesan superior atau memberikan kepuasan yang maskulin dengan lebih besar daripada melakukan hal yang pekerjaan perempuan; berlebihan; 10. Menuntut hak untuk Tidak canggung melakukan mengambil keputusan pekerjaan yang dianggap dalam kehidupan dan pekerjaan perempuan baik minatnya; di dalam maupun di luar 11. Mobilisasi sosial naik rumah. melalui diri sendiri.
Mengacu pada perkembangan peran gender dan variasi individu yang menerima konsepkonsep tertentu tentang peran laki-laki dan perempuan dapat ditinjau dari segi-segi tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal dan status ekonomi suatu kelompok. Menurut tingkat pendidikan, individu yang memiliki tingkat pendidikan rendah lebih banyak menerima konsep peran laki-laki dan perempuan secara tradisional, sedang bagi yang memiliki tingkat pendidikan menengah dan tinggi cenderung menerima konsep egaliter dan hanya sedikit yang menganut konsep tradisional. Menurut daerah tempat tinggal, pada masyarakat pendesaan lebih cenderung menerima konsep yang tradisional dan sedikit yang menerima konsep egaliter. Bagi masyarakat yang tinggal di kota dan pinggiran kota (sub urban) cenderung menerima konsep egaliter. Status sosial ekonomi, individu yang memiliki status sosial ekonomi rendah cenderung menerima konsep tradisional, dan individu yang memiliki konsep ekonomi menengah ke atas lebih banyak menerima konsep peran gender egaliter dibanding peran gender tradisional.
D. Konsep Maskulin dan Feminin Maskulin dan feminin identik dengan karakter yang sesuai dengan jenis kelamin yang terpelihara melalui sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat, sehingga menjadi stereotip peran gender. 1. Definisi Maskulin dan Feminin Maskulin diartikan sebagai ciri-ciri & sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri laki-laki yang ideal. Sedangkan feminin diartikan sebagai ciri-ciri & sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk sebagai ciri ideal perempuan (Nauly, 2002)
Dalam kamus psikologi maskulin (masculinity) adalah suatu keadaan atau kondisi sebarang organisme yang memiliki sifat-sifat khas kejantanan, istilah maskulin juga mengenai perempuan yang memperlihatkan karakteristik kejantanan (Chaplin, 1996: 287). Sedangkan feminin (feminity) adalah keadaan umum dari sifat-sifat karakteristik yang khusus terdapat pada jenis kelamin perempuan; kualitas atau keberadaan seorang perempuan (Chaplin, 1996: 190). Istilah-istilah maskulinitas dan femininitas oleh Duval diartikan sebagai sekumpulan karakteristik tingkah laku yang diasosiasikan dengan anggota jenis kelamin tertentu (Tessa, 2003: 53). Dalam pengertian konsep diri jenis kelamin, yang dimaksud maskulin adalah orang yang menganggap dirinya memiliki ciri-ciri, minat, kegemaran, dan ketrampilan bermasyarakat yang secara khusus dikaitkan dengan sifat kejantanan. Sedangkan feminin adalah orang yang menganggap dirinya memiliki ciri-ciri, minat, kegemaran, dan ketrampilan yang berkaitan dengan sifat keperempuanan (Sears, 1994: 205). Feminin dan maskulin ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Stereotip peran gender ini dihasilkan dari pengkategorian antara laki-laki dan perempuan, yang merupakan satu reprentasi sosial yang ada dalam struktur kognisi (Nauly, 2002). Salah satu contoh pada banyak kebudayaan anak laki-laki pada umumnya dilarang menangis, sementara yang perempuan dibolehkan menangis. Itu sebabnya anak laki-laki yang mudah menangis dikatakan seperti perempuan (Kongseng, 1995: 11).
2. Stereotip Maskulin dan Feminin Stereotip maskulin dan feminin adalah konsep yang memuat berbagai bentuk tingkah laku yang disetujui dan diterima secara sosial. Nilai-nilai konsep maskulin dan feminin,
meliputi banyak hal dan tidak tertulis namun mampu menyebabkan sekumpulan manusia menunjukkan kesamaan dalam berperilaku sesuai dengan jenis kelamin. Stereotip-stereotip yang disetujui oleh kedua jenis kelamin mencakup berbagai hal dalam kehidupan, seperti dalam bidang penampilan, terdapat pola-pola yang disetujui untuk perawatan rambut, tubuh dan wajah, model pakaian, model rambut. Beal dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sejak awal orang tua membedakan lingkungan bagi anak laki dan perempuan, pada bayi perempuan ditemukan warna pink, kuning, bunga-bunga. Sedangkan pada bayi laki-laki diberi warna biru atau merah dengan gambar transfortasi (Kosmelk, 2003).
Dalam minat pendidikan, pekerjaan, emosi terdapat
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Seolah segala sesuatu bersifat berbeda antara maskulin dan feminin, contoh dalam pekerjaan perawat, guru, sekertaris, penjahit, penulis steno, pembantu rumah tangga adalah pekerjaan perempuan. Sedang pekerjaan laki-laki seperti jurnalis, artis, pendeta, polisi, pemadam kebakaran, petani, buruh bangunan, mekanik, guru, pelatih, peneliti, pengacara, salesmen, banker, arsitek (McKinney, Lorion, Zax, 1976: 132). Masyarakat tradisional yang selalu memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukannya & perannya dari perempuan (terlihat jelas adanya pemisahan yang tajam bahkan bukan hanya pada peran tetapi juga sifat gender. Misalnya laki-laki dituntut bersifat pemberani, gagah, sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut penurut, padahal laki-laki & perempuan adalah manusia biasa yang mempunyai sifat tertentu yang dibawa sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani, penakut, tegas, pemalu, ada dalam diri setiap individu. Sayangnya konstruksi sosial di masyarakat merubah pandangan ”netral’ pada sifat gender tersebut (William, 2006).
a. Stereotip Maskulin
Pada umumnya harapan masyarakat terhadap terhadap peran gender laki-laki-laki seperti yang dinyatakan oleh Beal (1994) bahwa anak laki-laki harus kuat, bercelana panjang dan berkemeja, bermain di luar, kotor, bermain sepeda. Senada yang diungkapkan oleh Beal, Streitmatler (1994) menyatakan stereotip tentang murid
laki-laki
di sekolah, diharapkan pintar, lincah, kreatif, memiliki kemampuan di
pelajaran matematika & science, tidak menunjukkan emosi terutama kesedihan dan rasa takut, mampu berolah raga, bisa menjadi pemimpin, kompetitip, mandiri, tegas, agresif, memiliki kemampuan untuk sukses dan memiliki banyak uang (Kosmelk, 2003). Stereotip gender maskulin mengambarkan laki-laki sebagai pengambil keputusan, bersifat agresif, menguasai (dominan), asertif dan memaksa. Kualitas-kualitas yang bersifat tindakan dan sedikit perasaan (Rahmawati, 2004: 40). Dzuhanyatin mengungkapkan bahwa konsep kekuasaan pada budaya patriakhi adalah ekspresi kelakian sang penentu, sehingga setiap laki-laki merekfleksikan kekuasaan kepada masyarakat lain, ayah terhadap anak, suami terhadap istri, kakak laki-laki terhadap adik, yang tertinggi raja terhadap rakyatnya (Nauly, 2002). Banyak kalangan remaja laki-laki merasa stereotip terlalu memaksa. Stereotip yang ada membuat remaja terkekang untuk mengekspresikan seluruh aspek kepribadian. Khususnya di kalangan anak muda, banyak yang mengalami konflik, kerena tidak dapat memisahkan diri antara perasaan dan stereotip yang ada. Remaja khawatirkan adanya penolakan dari teman sebaya jika tidak menjalankan stereotip maskulin. Saat remaja laki-laki gagal mengekspresikan karakteritik stereotip maskulin, maka remaja akan menggantikannya dengan tindakan-tindakan feminin. Sungguh merupakan resiko yang sangat besar (Rahmawati, 2004: 40).
b. Stereotip Feminin Perempuan menghadapi pengharapan dari masyarakat, namun demikian terdapat problema-problema sebagaimana di kalangan laki-laki. Stereotip peran gender perempuan yang diyatakan oleh Beal (1994) bahwa digambarkan memakai rok, diam di rumah, selalu rapi, baik pada semua orang, terlihat cantik. Streitmatler (1994) menyatakan senada bahwa perempuan di sekolah sebagai siswa yang baik, menunjukkan kepatuhan, pandai dalam bahasa & seni, pelajaran ilmu sosial dan memiliki ketrampilan tentang pekerjaan rumah, dan secara tradisional tidak digambarkan sebagai pemimpin dalam lingkungan yang luas (Kosmekl, 2003). Budaya merupakan sumber bagi perempuan dewasa untuk belajar bagaimana menjadi seorang perempuan seharusnya, perempuan harus belajar memperhatikan orang lain. Saat perempuan berusaha memenuhi kepuasan karir, mempertahankan keyakinan diri, pemilihan ambisi pribadi dan pengambilan posisi merupakan hal yang asing bagi stereotip feminin. Ini menimbulkan konflik dalam diri untuk menemukan kekuatan mandiri.
3. Karakteristik Maskulin dan feminin Beberapa karakateristik yang dianggap sesuai dengan jenis kelamin masing yang membentuk konsep maskulin dan feminin. Berikut ini disajikan stereotip yang berkembang di masyarakat mengenai karakteristik maskulin dan feminin. Tabel 2.3. mendeskripsikan karakteristik maskulin dan feminin sebagai landasan tingkah laku yang ditampilkan (Dagun, 1992: 2).
Tabel 2.3. Karakteristik Maskulin dan Feminin Feminin Maskulin Tidak agresif Sangat agresif Tidak bebas Sangat bebas Sangat emosional Tidak emosional Tidak memendam emosi Hampir memendam emosi Sangat subyektif Sangat obyektif Sangat mudah terpengaruh Tidak mudah terpengaruh Sangat submisif Sangat dominan Tidak menyukai matematika & sains Menyukai matematika & sains Sangat terangsang kemelut kecil Tidak tergugah dengan kekrisisan yang kecil Sangat pasif Sangat aktif Tidak senang kompetitif Sangat kompetitif Sangat tidak suka logika Sangat menggunakan logika Orientasi rumah Orientasi dunia Tidak trampil bisnis Sangat trampil bisnis Tidak terus terang Sangat terus terang Tidak mengetahui aktivitas dunia di Sangat mengetahui aktivitas di dunia dunia ini ini Mudah terluka perasaannya Tidak mudah terluka hatinya Tidak advontur Sangat advontur Sulit membuat keputusan dengan Dapat mudah mengambil keputusan mudah Mudah menangis Sulit menangis Hampir tidak pernah sebagai Hampir sebagai pemimpin pemimpin Sangat percaya diri Tidak percaya diri Menyukai situasi agresif Tidak menyukai situasi agresif Sangat ambisius Tidak ambisi Mudah memindahkan pikiran dan Keterkaitan pikiran dan perasaan perasaan Sangat ketergantungan Tidak ada ketergantungan Sangat suka penampilan Tidak suka penampilan Segan membicarakan seks dengan Bebas berbicara seks dengan teman laki-laki laki-laki Tidak menggunakan kata-kata kasar Mengemukakan kata-kata kasar Sangat suka bicara Tidak suka berbicara Sangat berbudi Sangat tumpul kebijaksanaan Sangat lemah lembut Sangat kasar Peka terhadap perasaan orang lain Tidak peka perasaan orang lain Sangat rerigius Tidak religius
E. Persepsi Remaja Tentang Identitas Gender Identitas gender merupakan hasil proses belajar dari lingkungannya, terutama orang tua karena yang pertama kali memperkenalkan bahwa seorang individu laki-laki atau perempuan adalah perlakuan dari keluarganya. Hurlock (1999: 72) menyatakan bahwa penggolongan identitas gender atau belajar memerankan gendernya sebenarnya dimulai sejak lahir, orang tua menyesuaikan hal-hal yang dianggap pantas dengan jenis kelamin anaknya misalnya dalam pakaian, mainan dan juga cara perlakuan yang diberikan oleh lingkungannya. Identitas gender merupakan perbedaan kepribadian antara laki-laki dan perempuan (yang bertujuan untuk membentuk identitas) dan biasanya mengiringi istilah-istilah maskulinitas dan femininitas. Istilah-istilah maskulinitas dan femininitas oleh Duval diartikan sebagai sekumpulan karakteristik tingkah laku yang diasosiasikan dengan anggota jenis kelamin tertentu (Tessa, 2003: 53). Pendapat lain dikemukakan oleh Myers & Gonda bahwa maskulinitas dan femininitas dipandang lebih luas yaitu meliputi penampilan, perilaku seksual, dan peran-peran sosial, serta kepribadian ( Sears, 1994: 207). Bertambahnya usia pemahaman individu mengenai konsep identitas gender bertambah dan banyak remaja mengalami kesulitan. Tugas ini sulit karena pada awal masa kanak-kanak laki-laki disadarkan perilaku seksual yang patut dan didorong untuk menyesuaikan diri dengan standar yang diakui. Anak perempuan seringkali (sebaliknya) memasuki masa remaja yang membawa konsep peran perempuan yang kabur. Sekalipun konsep idenitas gender laki-laki
lebih jelas dan terumus baik, kenyataan sering terjadi sebagaimana anak perempuan diperbolehkan tampil, bertindak dan merasa seperti laki-laki tanpa adanya dorongan untuk bersikap ”feminin”. Sekalipun berusaha untuk memenuhi standar dan harapan sosial namun dorongan untuk membentuk sesuai dengan peran gender tradisional sering melemah, remaja sadar bahwa peran gender tradisional kurang sesuai dengan kondisi jaman. Menurut Bem (Tessa, 2003: 58), setiap individu mempunyai “gender schema”, merupakan proses kognitif di mana standar nilai mengenai karakteristik atau sifat yang pantas untuk laki-laki atau perempuan yang diberikan oleh lingkungan sosial akan mempengaruhi konsep diri individu dan tingkah lakunya. Remaja belajar tentang identitas gender dengan pemahaman, keyakinan, perasaan dalam menginterpretasikan karakteristik maskulin dan feminin, kemudian diadopsi dan ditampilkan dalam tingkah laku seperti yang dinyatakan oleh Cook (Tessa, 2003: 56) ” The pattern and level of feminine and masculine characteristics adopted and exhibited by a person is the sexrole indentity.” Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh para ahli maka identitas gender yang mengiringi istilah maskulin dan feminin yang akan akan dikaji dalam penelitian ini adalah karakteristik laki-laki dan perempuan dalam hal ciri-ciri kepribadian, nilai, aktivitas rumah tangga, peran, dan minat.
F. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Hasil Penelitian Willams & Best
Williams & Best tahun 1982 melakukan penelitian terhadap pelajar perguruan tinggi di 30 negara tentang stereotip perempuan dan laki-laki. Laki-laki secara luas diyakini lebih dominan, mandiri, agresif, berorientasi pada prestasi dan mampu bertahan, sementara perempuan secara luas diyakini lebih mengasihani, bersahabat, rendah diri, dan lebih penolong di saat-saat sedih. Masih dalam penelitian dalam hal yang sama pada tahun 1989, Williams & Best melakukan penelitian bahwa laki-laki dan perempuan yang tinggal di negara yang tingkat perkembangannya tinggi lebih menganggap diri mereka sama daripada perempuan dan laki-laki yang tinggal di negara yang tingkat perkembangannya lebih rendah. Perempuan di negara yang tingkat perkembangan yang lebih tinggi lebih memungkinkan
bersekolah dan memiliki
pekerjaan yang lebih menguntungkan. Dengan terjadinya peningkatan kesetaraan antar jenis kelamin, stereotip laki-laki dan perempuan mulai berkurang dan perempuan lebih memungkinkan menerima persamaan antar jenis kelamin daripada laki-laki (Hurlock, 2003: 374).
2. Hasil Penelitian Ani Rahmawati Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Rahmawati tahun 2004 terhadap siswa-siswa SMAN 13 Bandung dan SMAN 1 Banjaran, diperoleh hasil bahwa persepsi siswa tentang konsep maskulin dan feminin masih menganut karakteristik-karakteristik atau nilai-nilai yang ada di masyarakat atau nilai tradisional. Nilai tradisional yaitu masih memegang pemahaman bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam aspek perilaku maskulin dan feminin.
Remaja laki-laki dan perempuan memandang aspek kepribadian, seperti cara menyelesaikan masalah, kerapihan, mengambil resiko, memiliki sifat ambisius merupakan hal yang sangat penting dalam menunjukkan maskulinitas seseorang. Remaja laki-laki melihat bahwa aspek penampilan sangat penting dalam diri perempuan, mulai dari ciri-ciri fisik, cara berpakaian, memakai perhiasan atau aksesoris. Remaja perempuan menganggap bahwa kefemininan seseorang perempuan berasal dari kepribadiannya.
3. Hasil Penelitian Alice Indrayanti Tessa Penelitian yang dilakukan di daerah Suburban Kelurahan X Jatinagor tentang gaya perlakuan orang tua dalam membentuk identitas peran jenis kelamin usia 16 sampai 22 tahun, menunjukkan bahwa gaya perlakuan orang tua tetap memiliki hubungan positif terhadap pembentukkan identitas peran jenis kelamin remaja akhir. Nilai-nilai feminin dan maskulin yang ditanamkan melalui perlakuan orang tua akan membentuk pengertian dalam diri remaja mengenai karakteristik yang sepantasnya dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Berdasarkan gaya perlakuan yang banyak dilakukan orang tua di kelurahan X adalah gaya perlakuan
egalitarian dibandingkan gaya perlakuan tradisional. Hal ini menunjukkan
bahwa orang tua tidak membedakan-bedakan perlakuan baik pada remaja laki-laki maupun perempuan. Orang tua menganggap bahwa laki-laki dan perempuan dapat memiliki karakteristik feminin dan maskulin sehingga mereka menanamkan nilai-nilai maskulin dan feminin pada remaja baik laki-laki maupun perempuan. Nilai-nilai feminin dan maskulin dalam perlakuan egalitarian ini ditanamkan dalam bidang komunikasi, permainan, penampilan, pekerjaan/ aktivitas rumah tangga dan pendidikan.
Dari hasil penelitian yang terdahulu tentu ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan terhadap siswa-siswa SMP sehingga diperoleh gambaran permasalahan tentang persepsi remaja dalam identitas gendernya, yaitu bagaimana remaja mengadopsi pola dan kadar karakteristik maskulin dan feminin serta bertingkah laku sesuai dengan lingkungan sosialnya.
G. Peran Bimbingan dan Konseling Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki kewajiban untuk mengembangkan potensi anak didiknya dalam menerapkan nilai dan sikap, pengetahuan, ketrampilan yang diperlukan sebagai warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Bimbingan dan Konseling sebagai bagian dari komponen layanan pendidikan dan mitra kerja guru untuk membantu mengembangkan tugas-tugas perkembangan, sebagai standar kompentensi perilaku dalam pengembangan diri siswanya (Kartadinata, 2007: 4). Dalam hal ini Bimbingan dan Konseling berupaya membantu siswa untuk mencapai perkembangan secara optimal dari setiap aspek potensi dan arah perkembangannya. Ditilik dari aspek potensi dan arah perkembangan siswa, pemahaman identitas gender merupakan bagian dari aspek bimbingan sosial pribadi. Mengarahkan siswa memahami dan memantapkan kepribadiannya sebagai seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai, sikap dan keyakinan stereotipenya yang disetujui oleh kelompok atau masyarakat di mana remaja berada. Kemajuan sains dan teknologi serta proses globalisasi yang pesat, membawa berbagai pembahasan sekaligus tantangan yang mendasar dalam segala aspek kehidupan. Hal ini
berpengaruh kepada remaja untuk belajar bagaimana memerankan dirinya sebagai seorang lakilaki atau perempuan. Remaja harus belajar untuk melihat kesetaraan gender atau kemintraan yang saling mengisi diantara kedua jenis kelamin. Walaupun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, tetapi perbedaan gender yang stereotif yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat harus diubah (M. Sugandi, 2008: 6). Laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan. Peran bimbingan dan konseling dituntut untuk membantu merealisasikan, mengoptimalkan potensi-potensi dan mengembangkan ciri-ciri kepribadian laki-laki dan perempuan yang positif. Pengembangan identitas gender merupakan bagian aspek pribadi sosial, secara khusus tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan pengembangan sosial-pribadi adalah sebagai berikut: 1) memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat bekerja, masyarakat umumnya; 2) memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat menyenangkan dan tidak menyenangkan serta mampu merespon secara positif sesuai ajaran agama yang dianut; 3) memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara obyektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan baik fisik maupun psikis; 4) bersikap respek terhadap orang lain tidak melecehkan martabat dan harga dirinya; 5) memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif (Yusuf, 2006: 42);
Adapun implikasi yang bisa diterapkan dalam bimbingan dan konseling untuk mengembangkan identitas gender, sebagai berikut: 1) Mengembangkan peran model untuk mengembangkan peran laki-laki dan perempuan dalam wilayah publik dan domestik, seperti pemilihan karir bagi perempuan dan peran laki-laki dalam keikutsertaannya untuk mengasuh dan merawat anak; 2) Menjaga emosi, sikap, serta hal-hal yang merusak diri bagi laki-laki dan perempuan dengan cara belajar melalui relaksasi diri; 3) Memberikan pemahaman bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada karakter utama yaitu perbedaan pada anatomi dan reproduksinya, tidak dihubungkan jenis kelamin dengan aktivitas, pekerjaan yang dipisahkan secara tradisional untuk laki-laki dan perempuan. 4) Mendiskusikan hasil pengamatan tentang pengambilan keputusan dalam pengembangan karir bagi laki-laki dan perempuan; 5) Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan melalui eveluasi diri, dan mengenali alur-alur keberhasilan karir perempuan, serta membantu untuk memahami dampak dari isu-isu sosialisasi gender di dalam karir wanita (M. Sugandhi, 2008: 8).