BAB II PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA A. Hubungan Pusat dan Daerah dalam Beberapa Perundang-Undangan 1. Undang-Undang Dasar 1945 Pengaturan tentang hubungan pusat dan daerah, dituangkan dalam peraturan setingkat undang-undang. Diperlukannya peraturan setingkat undang-undang mengenai pemerintah daerah adalah amanat lebih lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan mengenai pemerintahan daerah tersebut diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan: ”Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Namun setelah UUD 1945 diamendemen yang berkaitan dengan pemerintahan daerah berubah menjadi tujuh ayat. Ayat (1) menyebutkan ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang selanjutnya pada ayat (1) menyatakan ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Oleh karena terjadi perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945, maka penjelasan UUD 1945 yang selama ini turut serta menjadi acuan dalam mengatur pemerintahan daerah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, satu-satunya sumber konstitusional pemerintah daerah adalah Pasal 18, Pasal 18 A, dan Pasal 18 B. Selain meniadakan kerancuan, penghapusan, penjelasan Pasal 18 sekaligus juga sebagai penataan tatanan
Universitas Sumatera Utara
UUD baik dari sejarah pembuatan penjelasan maupun meniadakan “keganjilan” bahakan “anomali”
37
Selain tidak lazim UUD memilik penjelasan, juga selama ini
penjelasan dianggap sebagai sumber hukum disamping ketentuan batang tubuh UUD. Di dalam Pasal 18 A UUD 1945 Perubahan Kedua, hubungan antara Pusat dan Daerah hanya dirumuskan secara garis besar, sehingga belum memberikan kejelasan tentang bagaiman hubungan antara Pusat dan Daerah itu dilaksanakan. Pasal 18A UUD 1945 menyatakan : 1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keberagaman daerah; 2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksankan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 setelah diamandemen adanya keharusan dalam menyelenggarakan pemerintahan menerapakan asas desentralisasi. Akan tetapi perintah/amanat untuk melaksanakan otonomi (asas desentralisasi) pada UUD 1945 sebelum diamandemen bersifat umum; dan tidak tegas secara terinci model otonomi yang bagaimana, maka formulasi dan penerapan otonomi pada setiap undang-undang tentang pemerintahan daerah yang pernah ada sejak Indonesia merdeka selalu berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut dapat terlihat pada peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah sebagai berikut ini:
37
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat studi Fakultas Hukum UII, 2001), Hal. 7
Universitas Sumatera Utara
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah Pengaturan yang berbeda itu menimbulkan keberatan bukan hanya pada masalah hubungan antara pusat dan daerah, tetapi juga dalam hal timbulnya ketidakseragaman dalam pemerintahan antara satu daerah dengan lainnya. UndangUndang No.1 Tahun 1945 juga tidak berhasil melaksanakan fungsinya dengan baik maupun terlalu dominannya kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan atas prakarsanya sendiri. Diakui bahwa pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 dipandang kurang memuaskan karena isi Undang-Undang tersebut sangat sederhana, banyak hal mengenai pemerintahan daerah tidak diatur dalam UndangUndang tersebut, sehingga pada umumnya peraturan-peraturan dari masa yang lampau masih dijadikan pegangan. Terlepas dari berbagai kendala tersebut, kontribusi utama dari kehadiran Undang-Undang No.1 Tahun 1945 ini ialah, Undang-Undang ini tidak saja telah meletakkan tiang pancang konstruksi badan legislatif lokal dan hubungan-hubungan legislatif lokal dengan eksekutif lokal di Negara Republik Indonesia, ia juga telah menanamkan tradisi berpemerintahan sendiri alias berotonomi kepada elit lokal kita di daerah-daerah dengan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan diri sendiri maupun golongan. 38
38
Soetandyo Wignyosubroto dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah Sketsa Perjalanan 100 Tahun, (Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, 2005), Hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah Untuk menjamin agar kewenangan yang diberikan kepada daerah-daerah tidak disalahgunakan, pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap daerah. Bagi propinsi pengawasan dilakukan oleh presiden, sedang bagi tingkat-tingkat daerah lainnya oleh daerah setingkat di atasnya, yaitu propinsi mengawasi kabupaten/kota besar dalam lingkungan wilayahnya, sebaliknya kabupaten/kota besar mengawasi desa/kota kecil yang berada di bawahnya. Bentuknya dapat berupa pengawasan preventif yaitu sebelum putusan dikeluarkan oleh DPRD atau DPD, kepala daerah selaku wakil pemerintahan berhak menahan putusan tersebut bila putusan-putusan tersebut dinilainya bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Disamping itu, bisa pula dilakukan pengawasan represif, yaitu putusan-putusan yang telah dikeluarkan DPRD atau DPD jika dinilai oleh presiden bagi propinsi dan oleh DPD setingkat lebih atas bagi lainlain daerah bertegangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, dapat ditunda atau dibatalkan. 39 Meskipun semula dimaksudkan untuk mengatasi berbagai dualisme dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1945, setelah berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, sifat dualisme dalam pemerintahan di daerah masih ada. Ada dua hal lain yang dicatat oleh Bagir Manan yang mengantarkan kepada kesimpulan bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,
39
Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), Hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
yaitu, pengisian sistem rumah tangga daerah (asas otonomi) dan keuangan daerah. Karena dua faktor tersebut, maka kecenderungan desentralistik yang dikehendaki oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Bahkan sebaliknya, daerah menjadi tergantung pada pusat sehingga terjadi kecenderungan sentralistik. Sebagaimana disebutkan di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu: Pemerintah Daerah terdiri dari 2 (dua) macam yaitu: a. Pemerintahan Daerah yang bersandar pada hak otonomi, dan b. Pemerintahan Daerah yang disandarkan pada hak medebewind Tentang perbedaan hak otonomi dan hak medebewind adalah sebagai berikut: Pada pembentukan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah in maka pemerintah pusat ditentukan kewajiban pekerjaan mana-mana saja yang dapat diserahkan kepada daerah. Penyerahan ini ada dua macam yaitu: a. Penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajiban (pekerjaan yang diserahkan itu), diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonomi), dan b.Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan prinsip-prinsipnya ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri (hak medebewind). Hak medebewind ini jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atas saja, sekali-kali tidak. Oleh karena pemerintah daerah berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapatnya sendiri. Jadi masih mempunyai hak otonom sekalipun hanya mengenai cara menjalankan, ini benar artinya bagi tiap-tiap daerah.40
40
R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintah Lokal, (Bandung: Alumni, 1979), Hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
Kajian lain terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 menyimpulkan, bahwa konstruksi desentralisasi politik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini dikatakan “overdosis” alias kebablasan atau terlalu maju, tidak sesuai dengna realitas pertumbuhan pemerintahan kita, ini disebabkan oleh pemikiran liberal yang merasuki perancang undang-undang waktu itu demi menampakkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis sebagai dukungan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pokok-pokok utama dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 adalah untuk menghapuskan perbedaan antara cara pemerintahan di pulau Jawa-Madura dengan daerah di luar Jawa-Madura. Peraturan ini menuju persamaan cara dalam pemerintahan daerah bagi seluruh Indonesia dan membatasi tingkatan badan-badan pemerintahan daerah sedikit mungkin. Termasuk untuk penghapusan dualisme dalam pemerintahan daerah, dan pemberian hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya pada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar permusyawaratan.41 4.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Di daerah sendiri, keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 baru terasa
seelah pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) diselenggarakan. Di beberapa daerah di Jawa, Sumatera Selatan, dan Kalimantan. DPRD hasil pemilu segera memilih kepala daerah dan membentuk 41
Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung: Alumni, 1986), Hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tetapi dalam menjalankan kekuasaannya DPD beserta kepala daerahnya sering jatuh bangun, persis seperti model kabinaet di Pusat, gara-gara dilancarkannya mosi tidak percaya oleh DPRD. Kemelut bertambah pelik, karena di daerah selepas diberlakukannya Undang-Undang ini, terdapat dua nahkoda atau dua pimpinan pemerintahan. Urusan desentralisasi dan medebewind dipimpin oleh DPD/kepala daerah, sedangkan urusan dekonsentrasi/pemerintahan umum ditangani oleh pejabat pamong praja. Dampaknya adalah, efisiensi, efektivitas dan koordinasi tidak berjalan.42 Sebagai Undang-Undang yang berinduk pada UUD Sementara 1950 Pasal 131, maka Undng-Undang No. 1 Tahun 1957 menganut asas yang ditetapkan UUD induknya yakni “otonomi yang seluas-luasnya” yang diwujudkan dalam asas otonomi yang nyata. Ini merupakan implikasi dari asas yang terlampau demokratis sehingga menjadi ultra democratis, yang mengandung bahaya membawa perpecahanperpecahan dalam golongan-golongan masyarakat dan memperlemah hubungan hirarki antara pusat dan daerah. 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ini menganut sistem otonomi yang riil dan seluas-luasnya, dalam pelaksanaannya apabila dibutuhkan setiap saat urusan pangkal yang menjadi urusan rumah tangga daerah itu dapat ditambah dan dikurangi, sesuai kebutuhan yang didasarkan pada faktor-faktor riil.
42 43
Soetandyo Wignyosubroto, Pasang Surut Otonomi Daerah,........Op. Cit, Hal. 84-85. Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah (Bandung: Alumni, 1978), Hal. 93-
94.
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang dimaksud dengan sistem otonomi riil menurut Jimmi Mohammad Ibrahim adalah wewenang daerah otonom ini dibatasi secara positif yaitu disebutkan secara tegas apa saja yang berhak diatur dan diurusnya.44 Menurut analisis Moh. Mahfud MD, ada dua alasan yang sangat rasional mengapa Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 harus segera diganti menyusul perpindahan kekuasaan dari partai di parlemen ke tangan Soekarno, yaitu tuntutan konstitusi dan realitas politik. Pertama, dalam logika Soekarno Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tidak sesuai dengan UUD 1945 karena bersendikan demokrasi liberal yang mengandung instabilitas. Karenanya harus diganti dengan Undang-Undang yang bersendikan demokrasi kekeluargaan (gotong royong). UUD 1945 melalui Pasal 18 memberikan garis-garis besar atau prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kedua, dilihat dari sudut politik, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ternyata menyebabkan munculnya fenomena disintegrasi atau penyempalan daerah-daerah terhadap pusat yang mengancam prinsip negara kesatuan. Jadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang merupakan produk sistem politik yang sangat liberal-demokratis telah membawa efek desintegrasi sehingga sebuah kekuatan politik yang otoriter di bawah demokrasi terpimpin segera mencabut dan menggantinya.45 Ketika Presiden Soekarno mempraktekkan Demokrasi Terpimpin, masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mewujudkan apa yang menjadi aspirasi mereka. Demokrasi Terpimpin sebenarnya merupakan nama lain dari otoritarianisme. Dalam 44
Jimmi Mohammad Ibrahim, Prospek Otonomi Daerah Dalam Rangka Memberi Peranan Yang Lebih Besar Kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. (Semarang: Dahara Prize, 1991), Hal. 54. 45 Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah,……Op. Cit, Hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
kaitannya dengan mekanisme hubungan kekuasaan antara Pusat dengan Daerah, pemerintah pada waktu itu menguburkan ide otonomi daerah yang luas, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 diganti dengan hanya sebuah “Penetapan Presiden”, yaitu Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959”.46 Penetapan Presiden merupakan suatu produk hukum baru yang disetarakan dengan UndangUndang. 5.
Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah Penpres No. 6 Tahun 1959 menggariskan kebijaksanaan politik yang ingin
mengembalikan dan memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat. Kepala daerah diberi fungsi rangkap, yaitu sebagai alat dekonsentrasi dan desentralisasi, tetapi dalam prakteknya jauh lebih menonjol dekonsentrasinya. Penpres ini dimaksudkan sebagai perubahan atau penyempurnaan terhadap tata pemerintahan daerah yang berlaku sebelumnya, minimal mencakup dua hal. Pertama, menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah antara aparatur dan fungsi otonomi dan pelaksana dan fungsi kepamong prajaan. Kedua, memperbesar pengendalian pusat terhadap daerah. Di dalam Pasal 15 ditetapkan bahwa dalam rangka menjalankan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah selaku alat pusat diserahi kewenangan untuk menangguhkan/membatalkan keputusan DPRD yang bersangkutan dan keputusan pemerintah daerah bawahannya yang bertentangan 46
Syaukani, HR Afan Gaffar dan M. Ryas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan Kerjasama Dengan Pusat Pelajar, 2002), Hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Kehadiran Penpres yang memberi kekuasaan besar kepada pemerintah pusat untuk mengatur pemerintah daerah, khususnya kedudukan kepada daerah, merupakan langkah mundur dalam sejarah pembuatan kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Alasannya, pertama, pemilihan kepala daerah yang dilakukan murni oleh DPRD dan direncanakan paling lambat empat tahun ke depan akan ditunaikan langsung oleh rakyat seperti ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, kini pupus sudah. Pemilihan langsung kepala daerah kepada DPRD selaku wakil rakyat diganti menjadi kepada pemerintah pusat. Malahan, kepala daerah sebagai wakil pusat dapat menangguhkan/membatalkan keputusan DPRD. Ketiga, sekaligus alat daerah memang berguna untuk menghapus dualisme pemerintahan di daerah, tetapi juga berpotensi membuat kepala daerah menjadi sewenang-wenang karena ia menjadi penguasa tunggal. 6.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Secara khusus Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 memuat bab khusus tentang
pengawasan terhadap daerah, yakni Bab VII mencakup Pasal 78 sampai dengan Pasal 87. Menurut Pasal 78 suatu keputusan daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh pusat atau kepala daerah yang tingkatannya lebih tinggi. Penetapan keputusan yang harus menunggu pengesahan itu diatur dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Jangka waktu pengesahan
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan selama 3 (tiga) bulan (dan dapat diperpanjang 3 bulan lagi). Atinya dalam waktu 3 bulan, pusat atau instansi yang lebih tinggi tidak mengeluarkan keputusan pengesahan atau penolakan, maka keputusan daerah tersebut dapat diberlakukan. Jika pusat atau instansi yang lebih tinggi menolak untuk mengesahkan keputusan, daerah yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada instansi yang lebih atas dari instansi yang menolak (Pasal 79). Menurut Pasal 80, menteri dalam negeri atau kepala daerah yang setingkat lebih tinggi dapat menangguhkan atau membatalkan keputusan kepada daerah yang bertentangan yang tingkatannya lebih tinggi. Pembatalan ini berakibat pula pada batalnya semua akibat yang timbul dari keputusan yang dibatalkan (Pasal 82). Tidak lama setelah Orde Baru lahir, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 dipandang sebagai sesuatu yang tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab itu pada tanggal 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/196647 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Jika dilihat dari penekanan pada otonomi yang seluas-luasnya, maka menurut MPRS pada waktu itu asas demokrasi sebagai bagian dari UUD 1945 dapat diwujudkan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah.
47
Pasal 1: Menugaskan kepada pemerintah bersama-sama DPR-GR untuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah sesuai dengan jiwa dan isi UUD 1945 tanpa mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat di bidang perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadap daerahdaerah. Pasal 2: Untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah, berikut semua aparatur dan keuangannya, kecuali hal-hal yang bersifat nasional. Pasal 3: Daerah diberi tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya untuk mengatur segala sesuatu di bidang kepegawaian dalam lingkungan pemerintah daerah.
Universitas Sumatera Utara
7.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah di Daerah dan Proses Kelahirannya Selama masa pemerintahan Orde Baru, hampir seluruh aspirasi dari daerah tidak
mendapatkan saluran yang memadai di Pusat. Pembangunan di daerah lebih banyak ditentukan prakarsanya oleh Pusat, daerah “wajib” untuk melaksanakannya. Hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah selayaknya hubungan antara atasa dengan bawahan. Pemberdayaan Pusat terhadap Daerah hampir tidak nampak. 48 Dalam bidang politik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “dimandulkan” hak dan wewenangnya oleh undang-undang karena kewenangan yang diberikan kepadanya bersifat semu. DPRD tidak berwenang memilih kepala daerah tetapi hanya memilih bakal calon kepala daerah, yang berwenang memilih adalah Presiden, karena hal itu merupakan hak prerogatif presiden. Konsekuensinya, kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD tetapi kepada presiden, kepada DPRD hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban. Sehingga hampir tidak pernah terdengar adanya “ketegangan” yang berarti antara Kepada Daerah dengan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena DPRD tidak dapat menjatuhkan Kepala Daerah. 49 DPRD juga menjadi bagian dari pemerintahan daerah (eksekutif), dan bukan sebagai lembaga legislatif daerah. Akibatnya, DPRD hanya dijadikan justifikasi atas berbagai keinginan kepala daerah. Peraturan Daerah (Raperda) oleh DPRD, karena pada akhirnya pemerintah yang lebih tinggi akan mengesahkannya (Gubernur untuk 48 49
Ni’Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah,......Op. Cit, Hal. 68. Ibid
Universitas Sumatera Utara
Perda Tingkat I; dan Menteri Dalam Negeri untuk Perda Tingkat II) yang dipahami sebagai pengawasan preventif. Pengawasan ini dipandang sebagai langkah intervensi pemerintah pusat terhadap aspirasi daerah, karena dari awal aspirasi itu bisa terpotong oleh kepentingan pusat yang mungkin tidak selaras dengan kepentingan daerah. 50 Mengiringi lahirnya reformasi politik di tahun 1998, MPR telah mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Kesatuan RI, yang mengisyaratkan secara tegas penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. 8.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang ini lahir dari akibat reformasi pelaksanaan pemerintahan di
Indonesia, yang secara langsung menjawab harapan masyarakat (daerah) dalam merevisi Undang-Undang. No. 5 Tahun 1974 yang mengatur pelaksanaan pemerintah di daerah.
50
Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong (editor), Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pers Kerjasama dengan AIPI, 1993), Hal. 12
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 antara lain : (a) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. (b) pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. (c) pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 51 Melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 daerah diberi kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. UU No. 22 Tahun 1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom (Local Self-government) dan Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati dan Walikota adalah Kepala Daerah Otonom saja.
51
C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Pemerintah Daerah Di Indonesia, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2008), Hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten dan kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi. Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri oleh DPRD Kabupaten/Kota tanpa melibatkan pemerintah propinsi maupun pemerintah pusat. Oleh karena irtu, Bupati/Walikota harus bertanggungjawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu Pemerintahan Pusat (Presiden) hanya diberi kekuasaan untuk ‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati/Walikota jika dianggap membahayakan integrasi nasional. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 memberikan perubahan mendasar dalam desain kebijakan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Desentralisasi kewenangan kepada pemerintah kabupaten dilakukan pada taraf yang signifikan. Setelah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 berlaku lebih kurang 4 tahun, muncul berbagai distorsi dalam implementasinya, bahkan muncul “ketegangan” antara Pusat dan Daerah berkaitan dengan kebijakan Pusat yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi Daerah. Peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 sampai saat menjelang diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 belum juga dikeluarkan oleh Pemerintah, misalnya Peraturan Pemerintah tentang urusan otonomi untuk Kabupaten dan Kota. Tetapi Pemerintah justru mengeluarkan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130-67
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2002 tanggal 20 Pebruari 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Kewenangan antara Pusat dan Daerah juga terjadi dalam hal interpretasi kewenangan antara Pusat dan Daerah. Hal itu terlihat antara lain dari dibatalkannya sejumlah Peraturan Daerah yang dipandang “bermasalah” oleh Pemerintah Pusat dengan alasan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. 52 Adanya penegasan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 bahwa antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota tidak ada jenjang hierarki, telah pula menyebabkan hubungan antara keduanya menjadi tidak harmonis. Daerah Kabupaten/Kota menganggap Daerah Propinsi bukan atasannya lagi sebagaimana dulu diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974. Akibatnya, Gubernur merasa kewenangannya banyak dipangkas terutama hilangnya kapasitas untuk mengontrol dan mengawasi perilaku Kepala Daerah di Kabupaten dan Kota yang selama ini dinikmati pada masa pemerintahan Orde Baru. Padahal dalam Pasal 9 UndangUndang No. 22 Tahun 1999 ditegaskan bahwa kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota. Kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi
52
Ni’Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah,........Op. Cit, Hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. 9.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ditegaskan, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susun pemerintahan. 53 Penyelenggaran urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Urusan
53
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2005), 101.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah dibedakan atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota merupakan urusan dalam skala kabupaten/kota. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pemerintahan tersebut antara lain, pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata. Di dalam Pasal 12 ditentukan, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan didesentralisasikan. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Universitas Sumatera Utara
Sisi lemah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah masalah kewenangan DPRD yang tidak lagi dapat berperan optimal seperti dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, karena sejumlah kewenangannya yang signifikan telah direduksi sedemikian rupa sehingga kewenangan DPRD tidak beda jauh dari desain UndangUndang No. 5 Tahun 1974. 54 DPRD selain tidak lagi memilih kepada daerah, juga tidak bisa minta pertanggungjawaban kepala daerah karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Presiden), kepada DPRD hanya menyampaikan keterangan pertanggungjawaban. Dengan demikian DPRD tidak lagi dapat leluasa mengkoreksi kebijakan kepala daerah yang bisa berakibat pemberhentian kepala daerah sebagaimana dulu dimungkinkan oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Di sinilah terjadi distorsi sistem demokrasi langsung khususnya dalam pemberhentian kepala daerah. B. Pengaturan Pengawasan Dalam Beberapa Undang-Undang Pemerintah Daerah 1. Pengawasan Dalam Undang Undang No. 1 Tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah Undang Undang No. 1 Tahun 1945 merupakan produk hukum pertama berkenaan dengan Pemerintahan Daerah Undang-Undang ini mengatur tentang Komite Nasional Daerah (KND) namun para pakar memandang bahwa ini adalah produk hukum pertama pasca proklamasi yang mengatur mengenai Pemerintahan
54
Agussalim Andi Gadjong, Pemda (Kajian Politik Dan Hukum), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), Hal. 168.
Universitas Sumatera Utara
Daerah. Undang Undang ini terdiri dari 6 pasal kendatipun dibuat oleh pembentuk Undang Undang namun sifatnya serba darurat karena fokus negara pada waktu itu masih
berkonsolidasi
dan
memusatkan
kekuatan
untuk
mempertahankan
kemerdekaan yang baru diproklamasikan.55 Undang Undang ini memposisikan KND sebagai Badan Legislatif Daerah yang dipimpin oleh Kepala Daerah sedangkan secara struktural KND dipimpin oleh Kepala Daerah yang tugasnya menjalankan pemerintahan sehari-hari. Pengawasan secara intenal dilaksanakan oleh lembaga itu sendiri yang secara teknis mempergunakan struktur internal sebagai bagian dari mekanisme Pemerintahan Daerah. 2. Pengawasan Preventif dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah Pola hubungan antara Pemerintahan Pusat-Daerah yang lebih menekankan pada Negara Kesatuan dapat dicermati dari ketentuan tentang pengawasan yang secara eksternal dimiliki oleh Pemerintahan Pusat. Dalam kaitan ini, dinyatakan bahwa segala putusan Dewan Pemerintahan Daerah Provinsi yang merupakan legitimasi otoritas kekuasaan di Provinsi tidak dapat dilaksanakan kecuali setelah memperoleh pengesahan dari Presiden selaku pemegang kekuasaan Pusat. Mekanisme pengawasan sebagaimana dinyatakan diatas, merupakan bentuk komitmen birokratis pemerintahan di dalam Negara Kesatuan. Kontrol dari pemerintah tingkat atasnya secara berjenjang diterapkan dengan konsisten sebagai 55
Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
bagian dari komitmen Negara Kesatuan yang telah ditetapkan sebagai bentuk negara. Hal demikian dapat dimaknai bahwa sebenarnya kedudukan Daerah adalah bawahan Pusat yang senantiasa dapat melakukan kontrol terhadap kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah sebagai manisfestasi dari kekuasaan yang dimilikinya. Secara normatif, bentuk pengawasan sebagaimana dikontruksikan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 dikenal sebagai bentuk pengawasan preventif. Karakter dari bentuk pengawasan ini adalah: 1. Pemerintah Pusat merupakan organ yang mempunyai otoritas untuk melakukan kontrol atas produk hukum yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. 2. Ada penetapan batas waktu tertentu untuk menentukan sikap menolak atau melegitimasi produk hukum. 3. Ada mekanisme pengajuan keberatan atas utusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat berkenaan dengan produk hukum Pemerintah Daerah. 4. Ada tenggang waktu atas penolakan yang mengiringi mekanisme keberatan dan sikap Pemerintah Pusat. Dalam hal pengawasan secara internal (oleh Pemerintahan Daerah) sendiri,ketentuan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 menyatakan bahwa Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah berhak menahan dijalankannya putusan-putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah bila dipandang putusanputusan itu bertentangan dengan kepentingan umum .... dan seterusnya. Secara normatif pengawasan internal-sebagai bentuk pengawasan secara kelembagaan didalam intern Pmerintahan Daerah itu-dikenal sebagai pengawasan represif. Dengan demikian Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 mengenal dua bentuk pengawasan
Universitas Sumatera Utara
dalam sistem pemerintahan di Daerah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Kedua pengawasan ini diatur secara konkret didalam Undang-Undang tersebut sebagaimana tercermin didalam pasal-pasalnya.56 Sebagaimana disampaikan bahwa bentuk pengawasan represif dalam UndangUndang No. 22 Tahun 1948 tekhnisnya adalah penangguhan atau pembatalan. Hal ini dinyatakan pada ketentuan 42 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa:57 1. Putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dapat ditunda atau dibatalkan, bagi propinsi oleh Presiden dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas. 2. Putusan penundaan atau pembatalan diberitahukan dalam waktu 15 hari sesudah putusan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau kepada Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan disertai dengan alasanalasannya. 3. Lamanya tempo penundaan disebutkan dalam surat ketetapan dan tidak boleh lebih dari 6 bulan. 4. Apabila dalam waktu 6 bulan karena penundaan itu tidak ada putusan pembatalan maka putusan daerah itu dipandang berlaku. Pemerintah Pusat dalam kedudukan ini adalah sebagai organ yang mempunyai kekuasaan yang direfleksikan pada kewenangan teknis yang diatur dalam UndangUndang itu untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teknisnya adalah dalam bentuk pengawasan yang bersifat preventif (eksternal) dan pengawan yang bersifat represif (internal) tersebut. Secara praktis kendatipun Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 itu sudah dirumuskan dalam bentuk yang jauh 56
Suriansyah Murhani, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, (Palangkaraya: Agvenda, 2008), hal. 17 57 Ibid
Universitas Sumatera Utara
lebih rinci dan operasional namun tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Sebagaimana disampaikan penyebabnya adalah masih belum mapannya keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada waktu itu karena harus memusatkan potensinya untuk diplomasi mengukuhkan kemerdekaan yang diproklamasikan Tahun 1945, diplomasi itu baru berhasil secara sempurna dan memperoleh kedaulatan penuh pada tahun 1959 ketika Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (R.I.S). 3. Pengawasan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang
No.
1
Tahun
1957
adalah
tentang
pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Dalam banyak hal Undang-Undang ini sebenarnya dasardasarnya banyak mengambil dari ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, namun yang nyata bahwa Undang-Undang ini lahir di dalam semangat Negara Kesatuan di bawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Secara konstitusional ada perbedaan mendasar antara UUD 1945 dengan UUDS 1950. Sama halnya dengan Undang-Undang sebelumnya, secara normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 juga mengatur pengawasan preventif dan pengawasan repsresif. Pengawasan preventif diatur dalam ketentuan pasal 62 dan pasal 63. Untuk pengawasan represif diatur dalam Pasal 64 sampai dengan pasal 72.58 Berdasarkan ketentuan di atas, produk hukum dan kebijakan tertulis dari Daerah tidak dapat diberlakukan sebelum memperoleh persetujuan instansi tingkat 58
Ibid, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
atasnya. Artinya bahwa di samping keputusan-keputusan daerah yang menurut Undang-Undang ini harus diawasi secara preventif (seperti pasal 12 ayat 3, pasal 21 ayat 2, pasal 22 ayat 2, pasal 39 ayat 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, dan sebagainya). Pemerintah Pusat melalui Undang-Undang atau produk hukum lainnya yang menjadi kewenangan Pusat dapat menunda berlakunya suatu produk hukum Daerah dengan alasan tertentu, khususnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu berarti bahwa produk hukum Daerah tidak dapat diberlakukan sebelum mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat. Pada
dimensi
pengawasan
represif
dalam
bentuk
pembatalan
dan
penangguhan di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 diatur dalam pasal 64 yang menyatakan bahwa Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, UndangUndang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau dibatalkan bagi Daerah Swatantra Tingkat ke I oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa lain yang ditujukan dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas. Dari deskripsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 menunjukkan bahwa karakter yang dijadikan sebagai dasarnya adalah otonomi riil (reele houishoudings-begrip). Karakter otonomi riil ini mendasarkan diri pada kondisi yang secara obyektif-riil-nyata ada di Daerah yang memperoleh limpahan otonomi. Hal demikian membawa konsep konsekuensi adanya harmoni yang nyata
Universitas Sumatera Utara
dan obyektif antara kewenangan yang dilimpahkan, potensi yang dimiliki dan kemampuan untuk melaksanakan.59 4. Pengawasan dalam Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintah Daerah Sehubungan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pada era Demokrasi Terpimpin, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah (Disempurnakan). Penetapan Presiden (PenPres) ini lebih memfokuskan diri pada pola-pola instruktif, sesuai dengan kedudukan presiden yang bersifat otoritatif atas kekuasaan di dalam Negara Republik Indonesia. Oleh karena sifat yang demikian, maka PenPres ini tidak mengatur tentang pengawasan dan lebih menekankan pada pemusatan kekuasaan pada Presiden sebagai lembaga yang punya otoritas tertinggi dalam Negara dan untuk itu berwenang mengambil keputusan atas berbagai hal dalam Negara, termasuk dalam mengatur dan mengelola pemerintahan daerah.60 Berdasarkan Pasal 21 Penpres No. 6 Tahun 1959 dinyatakan bahwa pengawasan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tetap berlaku. Hal ini berarti bahwa dari pemaknaannya ada pertentangan mendasar. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 yang memusatkan kekuasaan pada presiden (Secara politis diberi label demokrasi terpimpin) sebagaimana disebut di atas memberikan keluasaan bahkan sebagai pengontrol tunggal adalah Pemerintah Pusat.
59 60
Ridwan, Op. Cit, hal. 56 Ibid, hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
Kontekstualitas atas Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 sebenarnya lebih bersifat sebagai akomodasi terhadap kekosongan hukum sebagai akibat dari pergesaran atau tepatnya pergantian sistem politik.61 Oleh karena itu Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 ini tidak berlaku secara efektif. Elemen-elemen dalam masyarakat yang merupakan kekuatan potensial dalam menggerakkan roda pemerintahan negara lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan polittik dan sangat sedikit untuk membangun daerah melalui struktur hukumnya. 5. Pengawasan Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah Secara struktural, manakala di dalam Undang-Undang sebelumnya dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD), maka menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini lebih mengedepankan kenyataan bahwa Dewan Pemerintahan Daerah yang merupakan mekanisme pemerintahan kolektif itu tidak dapat berlangsung efektif karena silang sengketa internal.62 Penyebutan Kepala Daerah secara tegas dan konkret dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 meletakkan posisi kepala daerah dengan beban tanggung jawab yang merupakan refleksi dari kekuasaaan yang besar dalam struktur pemerintahan negara, khususnya Pemerintahan Daerah. Keberadaannya bukan saja merupakan alat Pemerintahan Pusat yang tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat 61 62
Suriansyah Murhani, Op. Cit, Hal. 25 Ridwan, Op. Cit, Hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
Daerah, namun lebih dari itu, pemaknaan dari konsep pemerintahan menunjukkan adanya kemandirian atas berbagai kebijakan yang dibuat tergambar bahwa antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan dua institusi yang melaksanakan pembagian kekuasaan secara fungsional dan bukan hubungan atasanbawahan.63 Di bidang pengawasan, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 lebih rinci mengatur tentang pengawasan tersebut. Dinyatakan bahwa mekanisme pengawasan dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut terdiri dari pengawasan preventif, refresif dan pengawasan umum. Ketiga macam pengawasan ini merupakan mekanisme pengawasan yang ideal dimaksudkan tidak saja sebagai mekanisme kontrol terhadap berbagai kebijakan tetapi juga menjadi semacam penghubung kooordinatif antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. Secara lebih operasional, Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 secara tegas telah meletakkan institusi pemerintahan secara proporsional. Instansi yang sebelumnya bernama Dewan Pemerintah Daerah diganti dengan “Kepala Daerah”, sehingga pengawasan terhadap produk hukum yang dibuat oleh Pemerintah Daerah pun semakin konkret. Dalam hubungan ini Keputusan daerah tingkat II yang menurut undang-undang sebelumnya diawasi oleh Kepala Daerah Tingkat I, dan seterusnya lebih disederhanakan sehingga mecerminkan pengawasan yang efektif.
63
C. S. T Kansil dan Christine S.T Kansil, Op.Cit, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2008), Hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
Tentang pengawasan preventif di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 diatur dalam Pasal 78 dan Pasal 79, sedangkan pengawasan represif diatur dalam Pasal 80. Inti dari mekanisme pengawasan itu adalah bahwa dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapakan bahwa suatu Keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh instansi yang ada di atasnya dan secara konkret adalah: a. Menteri Dalam Negeri untuk Keputusan Daerah Tingkat I; b. Kepala Daerah Tingkat I untuk Keputusan Daerah Tingkat II dan c. Kepala Daerah Tingkat II untuk Keputusan Daerah Tingkat III. Adapun tentang Pengawasan preventif, erat kaitannya dengan pengawasan umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yang untuk di daerah dilakukan oleh Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat. Oleh karena itu suatu Keputusan Daerah (termasuk Peraturan Daerah) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga harus ditanda tangani oleh Kepala Daerah yang bersangkutan. Dengan demikian harus ada bentuk kerjasama yang harmonis antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 6. Pengawasan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah di Daerah dan Proses Kelahirannya Pengawasan yang diterapkan di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 sebenarnya dapat dinyatakan tidak mengalami perubahan dari Undang-Undang sebelumnya. Di dalam Undang-Undang ini dikedepankan pengawasan preventif, pengawasan represif, dan pengawasan umum. Letak perbedaan yang menonjol kalaupun itu disebut sebagai perbedaan adalah di dalam hal objek pengawasan. Kalau
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya objek pengawasan ditujukan kepada berbagai institusi yang secara teknis menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan di daerah maka menurut UndangUndang No. 5 Tahun 1974 yang menjadi objek pengawasan adalah Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Dengan demikian pengawasan lebih ditekankan pada produk hukum yang dibuat oleh daerah sebagai penjabaran atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.64 Penerapan pola pengawasan preventif terhadap produk hukum daerah, dilaksanakan dengan kinerja tertentu bahwa suatu peraturan daerah ataupun keputusan kepala daerah harus memperoleh pengesahan terlebih dahulu sebelum diberlakukan kepada masyarakat di daerah yang bersangkutan. Pengawasan demikian dinilai jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan pengawasan yang sumber atau objeknya pada kinerja pemimpin daerah yang secara kuantitatif sulit diperoleh tolak ukurnya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 menyebut pengesahan sebagai wujud pengawasan preventif. Hal ini bermakna luas karena produk hukum daerah yang telah dibuat dengan susah payah tidak dapat begitu saja diberlakukan. Masih memerlukan waktu tunggu yang tidak dibatasi berapa lama untuk memperoleh pengesahan. Di dalam mekanisme pengawasan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 ini juga memuat ketentuan yang lebih rinci. Pengawasan yang diterapkan dapat digolongkan sebagai pengawasan preventif atau pengawasan eksternal. Sebagai
64
Irawan Soetjito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983), Hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
penjabaran dari mekanisme pengawasan dimaksud dapat dicermati sebagai suatu pedoman atau yang dapat dijadikan pedoman bagi Kepala Daerah. Pedoman ini juga dipandang sebagai batasan yang riil dapat dijadikan sebagai dasar tentang bagaimana kewajiban Kepala Daerah di dalam memberikan pertanggung jawaban kepada Dewan Perwakilan rakyat Daerah.65 Mekanisme pengawasan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 telah meletakkan posisi pemerintah pusat sebagai pemegang otoritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam pelaksanaan adminstrasi pemerintahan, hal-hal yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah adalah menjabarkan ketentuan tersebut di dalam Peraturan Daerah. Hal itupun harus memperoleh pengesahan yang dapat disebut sebagai mekanisme kontrol oleh Pemerintah pusat terhadap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. 7. Pengawasan Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Berdasarkan ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut sebenarnya ada berbagai macam bentuk pengawasan. Berbagai pengawasan dimaksud pada dasarnya tergantung dari mana sudut pandang dilakukan. Dalam hal ini bisa dipandang dari sudut waktu, jenis pengawasan atau kompentensi pengawasnya. Hal-hal demikian menjadi diversifikasi pengawasan khususnya dari pusat kepada daerah menjadi bermacam-macam.
65
Ni”Matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: FH UII Press, 2010), Hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
Dipandang dari sudut waktu pada saat pengawasan dilakukan, dihubungkan dengan jenis pengawasan maka dapat dibedakan antara pengawasan preventif dan pengawasan refresif. Dalam hal ini, dilakukan pengawasan preventif apabila pengawasan itu dilaksanakan sebelum dikeluarkannya suatu peraturan atau keputusan oleh pemerintah atas pemberlakuan produk hukum pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah telah membuat suatu kebijakan terlebih dahulu sebelum mendapat pengesahan dari pemerintah, Sedangkan yang dimaksud pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkannya peraturan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat atau produk hukum daerah. Peraturan biasanya bersifat mengatur sedangkan keputusan biasanya beranjak dari permintaan, khususnya untuk memberikan penilaian terhadap produk hukum daerah tertentu.66 Membandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 maka kedua jenis pengawasan itu juga ada. Sama halnya dengan Undang-Undang sebelumnya juga mengatur jenis pengawasan yang sama. Normatifnya, di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 hanya dikenal satu bentuk pengawasan terhadap Pemerintah Daerah yaitu pengawasan represif. Sedangkan untuk pengawasan preventif tidak dinyatakan atau tidak dijadikan sebagai dasar dalam melakukan pengawasan oleh Pusat terhadap Daerah. Lebih lanjut hal ini dapat dicermati dalam penjelasan Undang-Undang tersebut yang menyatakan bahwa
66
Suriansyah Murhani, Op. Cit, Hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 lebih menekankan pada pengawasan yang sifatnya represif.67 Pada aspek pengawasan lain, pengawasan juga dilaksanakan terhadap hukum yang dibuat oleh Daerah yaitu Peraturan Daerah. Bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh daerah tidak memerlukan pengesahan oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal ini adalah pemerintah pusat untuk tingkat produk hukum daerah Tingkat I sedangkan daerah Tingkat II oleh daerah Tingkat I. Dengan konstruksi demikian Kepada Daerah diberikan keleluasaan di dalam mengambil kebijakan di daerah yang direfleksikan dalam bentuk Peraturan Daerah maupun di dalam Keputusan Kepala Daerah. Hal ini juga mengfungsikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat di daerah untuk melaksankan pengawasan di daerah. Konstruksi yuridis sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan pasal 114 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Peraturan Daerah kiranya dapat lebih diperbaiki dengan konstruksi lebih jelas. Kejelasan ini denagn senantiasa mengingat bahwa peraturan daerah pada hakikatnya adalah produk daerah melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang sudah barang tentu dipersiapkan sesuai dengan kondisi obyektif daerah. Hal ini berarti
67
Ridwan, Op. Cit, Hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
bahwa faktanya produk daerah itu, mencerminkan kenyataan yang secara objektif ada di daerah. Secara yuridis, ketentuan di dalam Pasal 114 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi daerah. Penjelasan Umum angka 10 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa pembinaan lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi dalam rangka pemberdayaan daerah otonom sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mewujudkan fungsinya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karenanya, Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh daerah otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Jika pasal 112 sampai dengan pasal 114 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ditelaah lebih lanjut, maka dapat digambarkan mekanisme pengawasan represif sebagai berikut: a. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah (Pusat) selambat-lambatnya 15 (Lima Belas) hari setelah ditetapkan. b. Pemerintah (Pusat) dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau peraturan perundang-undangan lainnya. c. Keputusan pembatalan tersebut diberitahukan oleh Pemerintah (Pusat) kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasanalasannya. d. Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan tersebut, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah tersebut dibatalkan pelaksanaannya oleh Pemerintah Daerah.
Universitas Sumatera Utara
e. Daerah yang tidak dapat meneriama keputusan pembatalan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah sebelumnya mengajukannya kepada Pemerintah (Pusat) pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagai upaya terakhir, dilakukan selambat-lambatnya 15 hari setelah adanya keputusan pembatalan dari Pemerintah (Pusat).68 Dalam hubungannya dengan pengawasan terhadap pemerintah daerah, maka untuk
memberlakukan
peraturan
perundang-undangan
daerah
ialah
bahwa
kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dapat dilihat sebagai hak yang standar bagi pelaksanaan kegiatan dalam membuat dan menyetujui suatu peraturan daerah, akan tetapi peraturan daerah yang dibuat dan disetujui tersebut sesuai dengan tolak ukur yang telah direncanakan sebelumnya sebagai ketentuan, yang merupakan landasan keberadaan hubungan diantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu sendiri. 8. Pengawasan Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan . Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi: a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
68
Ni”Matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah,......Op. Cit, Hal. 122
Universitas Sumatera Utara
Di dalam Pasal 38 Undang-Undang. 32 Tahun 2004, Gubernur dalam kedudukannya memiliki tugas dan wewenang: a. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b. Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Di dalam kerangka Undang-Undang ini perlu dikemukakan bahwa masalah pengawasan pemerintah (Pusat) dalam penyelenggaraan pemerintah daerah pada sebelum berlakunya Undang-Undang. 32 Tahun 2004 diatur dalam ketentuan Pasal 113 dan 114 Undang-Undang. No. 22 Tahun 1999 yang intinya bahwa dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah disampaikan kepada pemerintah selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. Secara teknis ketentuan Pasal 114 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pengawasan preventif hanya dikaitkan dengan pengesahan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. Padahal undang-undang ini juga memuat berbagai ketentuan yang dapat digolongkan sebagai pengawasan
preventif.
Misalnya
pedoman
tentang
cara
pelaksanaan
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD (Pasal 31 ayat 5). Disamping itu, juga ketentuan Pasal 112 ayat (2) yang menyatakan bahwa pedoman mengenai
Universitas Sumatera Utara
pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena Peraturan Pemerintah merupakan kewenangan eksekutif Pemerintah Pusat (dalam hal ini presiden) maka dapat dipahami bahwa produk hukum demikian ini nantinya lebih banyak mengakomodasikan kepentingan pusat jika dibandingkan dengan kepentingan daerah.69 Ketentuan dan model pengawasan yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan beberapa peraturan pelaksananya tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa pola pengawasan preventif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah masih dianut oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Hanya saja dalam hal pengesahan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah wewenang pengawasan preventif sudah tidak dianut lagi tetapi lebih menekankan pada pengawasan represif. Mencermati ketentuan di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 secara substansial tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1999. Namun demikian dalam aspek pengawasan internal ada masalah yang kiranya memerlukan perhatian secara khusus.70 Sesuatu yang nyata bahwa dengan diberikannya kewenangan yang lebih luas kepada daerah, dan tidak dianutnya lagi pengawasan preventif terhadap Perda dan Keputusan Kepala Daerah (dalam UU. No. 10 Tahun 2004 kemudian namanya di ubah menjadi Peraturan Kepala Daerah), maka masing-masing daerah berlombalomba membuat Perda khususnya yang berkaitan dengan upaya meningkatkan
69 70
Suriansyah Murhani, Op. Cit, Hal. 67. Agussalim Andi Gadjong, Op. Cit, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), Hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
Pendapatan Asli Daerah (PAD).71 Akhirnya munculah banyak Perda yang mengesahkan berbagai macam pungutan baik dalam bentuk pajak atau retribusi yang membebani masyarakat. Padahal jenis pajak atau retribusi tersebut sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menjadi wewenang Pemerintah Pusat. 9. Pengawasan Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Dan Retribusi Daerah, pengawasan terhadap peraturan daerah diatur dalam 157 dan Pasal 158, Pasal 157 menyatakan: ”Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud”.
Selanjutnya dalam Pasal 158 menyatakan: 1) Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (Tujuh) hari setelah ditetapkan. 2) Dalam hal Peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 71
Muhammad Sapta Murti, Op. Cit, Hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Pasal 157 menyatakan, Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses konsolidasi. Penjelasan Pasal 158 menyatakan, penerapan jangka waktu 7 (Tujuh) hari dalam ayat (1) telah memeprtimbangkan administrasi pengiriman peraturan dari daerah yang tergolong jauh. Pembatalan peraturan daerah berlaku sejak tanggal ditetapkan. 10. Pengawasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) a. Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Otonomi Daerah Dalam
Peraturan
Pemerintah
ini,
ditegaskan
pengawasan
atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Macam-macam pengawasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi pengawasan represif, pengawasan fungsional, pengawasan legislatif, dan pengawasan masyarakat. Pengawasan resresif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan Daerah baik berupa Perda, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan
DPRD
maupun
Keputusan
Pimpinan
DPRD
dalam
rangka
penyelenggaraan pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan,
Universitas Sumatera Utara
pengujian, pengusutan dan penilaian. Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap Pemerintah Daerah sesuai tugas, wewenang dan haknya. Pengawasan masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan masyarakat. Dalam Pasal 7 ditentukan, Pemerintah melakukan Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah Pemerintah dapat melimpahkan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah sesuai peraturan perundang-undangan. Melalui Peraturan Pemerintah tersebut dipertegas pejabat yang berwenang melakukan pengawasan represif. Pasal 9 menyatakan bahwa pengawasan represif oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah setelah berkoordinasi dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait. Dalam melaksanakan pengawasan refresif Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dibantu oleh Tim yang anggotanya terdiri dari unsur Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen dan unsur lain sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah dapat melimpahkan pengawasan represif kepada Gubernur selaku wakil pemerintah terhadap Perda dan atau Keputusan Kepala daerah serta Keputusan DPRD dan keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten dan Kota setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam melaksanakan pengawasan represif Gubernur dibantu oleh Tim yang anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah Daerah dan unsur lain sesuai dengan kebutuhan. Gubernur selaku wakil Pemerintah menerbitkan Keputusan Pembatalan Perda dan atau Keputusan Kepala Pimpinan DPRD Kabupaten dan Kota, Keputusan DPRD,
Universitas Sumatera Utara
Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten atau Kota sesuai kewenangan yang dilimpahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Dalam rangka pengawasan represif Gubernur selaku wakil Pemerintah dapat mengambil langkahlangkah berupa saran, pertimbangan, koreksi serta penyempurnaan dan pada tingkat akhir dapat membatalkan berlakunya kebijakan Daerah Kabupaten/Kota. Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang tidak dapat menerima Keputusan Pembatalan Perda, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD dan Keputusan Pimpinan DPRD Propinsi oleh Pemerintah dapat mengajukan keberatan kepada Daerah Kabupaten/Kota yang tidak dapat menerima Keputusan Pembatalan Perda, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD dan Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota atau Gubernur sesuai kewenangan yang dilimpahkan kepadanya dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah. Di dalam Pasal 15 ditegaskan Pemerintah Daerah dan DPRD menindaklanjuti hasil pengawasan. Tindak lanjut hasil pengawasan Pemerintah dilaporkan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan tembusan kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga ditegaskan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan legislatif, yakni DPRD. Pasal 17 menegaskan DPRD melakukan pengawasan legislatif dilakukan sesuai dengan tugas dan wewenangnya melalui dengar pendapat, kunjungan kerja, pembentukan panitia
Universitas Sumatera Utara
khusus dan pembentukan panitia kerja yang diatur dalam tata tertib dan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 223 UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah ini dijelaskan mengenai pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang meliputi: a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; b. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota; dan c. Pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi terdiri dari: a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat wajib; b. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat pilihan; c. Pelaksanaan urusan pemerintahan menurut dekosentrasi dan pembantuan.
tugas
Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota terdiri dari: a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat wajib; b. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat pilihan; c. Pelaksanaan urusan pemerintahan menurut tugas pembantuan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 Pemerintah membuat ketentuan dan aturan mengenai pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Model pengawasan yang dianut dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 meliputi berbagai macam, yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintah di daerah (Pasal 20 s/d Pasal 36); pengawasan peraturan daerah dan
Universitas Sumatera Utara
peraturan kepala daerah (Pasal 37 s/d Pasal 42); dan pengawasan oleh DPRD, artinya DPRD sesuai fungsinya dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah daerah di dalam wilayah kerjanya sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 43 PP No. 79 Tahun 2005). Pengawasan terhadap perda sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah. No. 79 Tahun 2005 dilakukan terhadap Rancangan Perda dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah sebelum diberlakukan. Khusus terhadap Raperda APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang pejabaran APBD, Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang disampaikan paling lama 3 hari setelah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk dievaluasi sebelum diberlakukan. Pejabat yang diberi wewenang melakukan evaluasi adalah Mendagri un tuk Raperda Provinsi dan Gubernur untuk Raperda Kabupaten/kota. Evaluasi terhadap Raperda dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah dilakukan paling lambat 15 hari kerja sejak diterimanya rancangan tersebut (Pasal 39 PP No. 79 Tahun 2005). Kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) wajib menindaklanjuti hasil evaluasi terhadap rancangan Perda atau rancangan Peraturan Kepala Daerah dalam waktu paling lama 7 hari sejak diterima. Apabila kepala daerah tersebut tidak menindaklanjuti atau merevisi hasil evaluasi, maka peraturan daerah atau peraturan kepala daerah yang telah ditetapkan dapat dibatalkan oleh pejabat yang lebih tinggi, yakni untuk Provinsi dilakukan oleh Mendagri dengan Peraturan Menteri, sedangkan untuk kabupaten/kota dibatalkan Menteri tetapi didelegasikan kepada Gubernur
Universitas Sumatera Utara
dengan Peraturan Gubernur. Kepala daerah yang tidak dapat menerima Pembatalan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah oleh Mendagri atau oleh Gubernur untuk Kabupaten/Kota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya pembatalan. Lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah serta evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Pasal 42 PP. No. 79 Tahun 2005). Namun dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2007 Tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tidak diatur mengenai pengawasan terhadap Perda atau Peraturan Kepala Daerah. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 23 Tahun 2007 disebutkan bahwa ruang lingkup pengawasan hanya meliputi pengawasan administrasi umum pemerintahan dan pengawasan terhadap urusan pemerintahan. Tujuan pengawasan tersebut adalah untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan efektif dan efisiensi sesuai rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dalam Permendagri No. 65 Tahun 2007 hanya mengatur evaluasi terhadap Rancangan Perda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD oleh Kepala Daerah. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut tidak diatur evaluasi dan pengawasan terhadap perda dan Peraturan Kepala Daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 42 PP No. 79 Tahun 2005.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 24 ditegaskan pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksankan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Pejabat pengawas pemerintah ditetapkan oleh Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah non Departemen di tingkat pusat, oleh Gubernur di tingkat provinsi, dan oleh Bupati/Walikota di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah diatur dalam Pasal 37 sebagai berikut: 1) Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan. 2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. 3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. 4) Peraturan Daerah sebagaimanadimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri. c. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 30 ayat (9) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Menurut Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2007 ini urusan pemerintahan terdiri atau urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan
Universitas Sumatera Utara
urusan pemerintahan yang dibagi bersama antara tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah meliputi: a. b. c. d. e. f.
Politik Luar Negeri Pertahanan Keamanan Yustisi Moneter dan Fiskal Nasional Agama Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antara tingkatan dan/ atau susunan
pemerintahan meliputi 31 (Tiga Puluh satu) bidang, meliputi: 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Pekerjaan Umum 4. Perumahan 5. Penataan Ruang 6. Perencanaan Pembangunan 7. Perhubungan 8. Lingkungan hidup 9. Pertahanan 10. Kependudukan dan Catatan Sipil 11. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 12. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera 13. Sosial 14. Ketenagakerjaan 15. Koperasi dan Usaha kecil menengah 16. Penanaman modal 17. Kebudayaan dan Pariwisata 18. Kepemudaan dan Olahraga 19. Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri 20. Otonomi Daerah Administrasi keuangan dan daerah 21. Pemberdayaan masyarakat dan desa. 22. Statistik 23. Kearsipan 24. Perpustakaan 25. Komunikasi dan Informatika 26. Kehutanan 27. Energi dan Sumber Daya Mineral
Universitas Sumatera Utara
28. Kelautan dan Perikanan 29. Perdagangan 30. Perindustrian. Dalam hal penyusunan Peraturan Daerah (Perda), Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang yaitu Penyusunan Perda Provinsi, Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah dan penyampaian perda kepada pemerintah untuk dievaluasi. Sedangkan Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota yaitu penyusunan Perda Kabupaten/Kota, dalam Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada Gubernur dan menyampaikan perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Universitas Sumatera Utara