BAB II PENGATURAN TENTANG PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Instrumen Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana Aturan-aturan internasional yang mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana tersebut antara lain : 1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Decleration Of Human Rights). (ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948). Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah suatu Deklarasi yang menjadi dasar instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Deklarasi ini juga merupakan interpretasi resmi terhadap semangat Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang salah satu tujuannya adalah memajukan dan mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebabasan dasar bagi manusia tanpa adanya perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.64 Sejak lahirnya deklarasi ini pada tanggal 10 Desember 1948 dan diterima oleh _______________________________________________ 64
Rani Purwanti Kemalasari, Instrumen-Instrumen Internasional Hak-Hak Asasi Manusia (The International Bill Of Human Rights), (Jakarta : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum Dan HAM, 2012), hal.38.
39 Universitas Sumatera Utara
negara-negara di dunia, maka manusia telah mempunyai peraturan untuk bertindak karena telah memiliki peraturan internasional tentang hak asasi manusia yang mewajibkan pemerintah untuk bertindak menurut cara tertentu, menerima pengaduan seseorang apabila hak dan kebebasannya tidak dihormati. Semua penduduk dunia mendapat manfaat dari prinsip-prinsip yang sama tersebut dan dapat menyampaikan protes apabila hak-haknya dilanggar. Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal yang mengajak manusia agar menggalakkan, menjamin dan mengakui serta menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang telah ditetapkan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada awalnya diterima oleh 49 negara, 9 abstain dan tidak ada dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menentang. Hak-hak yang diuraikan oleh deklarasi tersebut adalah mengenai hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya adalah merupakan sintesa antara konsep liberal barat dan konsep sosialis.65 Pasal 1 dan 2 menegaskan, bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat yang sama dan berhak atas semua hak-hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh deklarasi tanpa membeda-bedakan warna kulit, ras, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran dan kedudukan.66 ____________________________ 65
Sanwani, Bahan kuliah HAM dan Sitem Hukum Indonesia (Pasca Sarjana Fak Hukum USU, 2011). 66 Lihat Pasal 1 dan 2 Deklerasi Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia sebagai
salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945 sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan, pemenuhan, penegakan, penghormatan HAM, demikian juga terhadap narapidana yang sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan. Sosialisasi perlindungan HAM bagi narapidana, sangat perlu dilaksanakan, dengan demikian diharapkan agar petugas pemasyarakatan dapat meningkatkan etos kerjanya dengan tetap menjunjung tinggi harkat, martabat dan nilai-nilai kemanussiaan, dimana pada gilirannya akan berdampak positif terhadap masyarakat luas.
2. Peraturan-Peraturan
Standart
Minimum
Bagi
Perlakuan
Terhadap
Narapidana (Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners). 67 Peraturan ini telah disepakati oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Pencegahan Kejahatan
dan Perlakuan Terhadap Pelanggar.
Diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1995, dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tanggal 1Mei 1997. Tidak semua aturan internasional yang berhubungan dengan perlakuan terhadap narapidana dapat diterapkan di negara lain, dikarenakan beragamnya sistem ____________________________ 67
Peter Bachr dkk., (ed), Instrumen Internasional Pokok-pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1997), hal. 671-704.
Universitas Sumatera Utara
hukum, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan aturan ini, dengan adanya aturan ini yaitu Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners, tidaklah serta merta dapat diadopsi dan menjadi pedoman sepenuhnya bagi sikaf maupun perlakuan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Dalam aturan ini terdapat 95 (Sembilan Puluh Lima) poin aturan yang mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana, seperti : makanan, pakaian, kebersihan pribadi, latihan dan olah raga, pelayanan kesehatan, informasi kepada dan keluhan oleh narapidana, hubungan dengan dunia luar, buku, agama, penyimpanan harta kekayaan narapidana, pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan dan sebagainya, personal lembaga, hak-hak istimewa, pekerjaan, pendidikan dan rekreasi, hubungan sosial dan perawatan sesudahnya, narapidana gila dan bermental tidak normal, narapidana yang ditahan atau sedang menunggu pemeriksaan pengadilan, narapidana sipil sampai kepada orang-orang yang ditangkap atau ditahan tanpa tuduhan. Makanan narapidana diatur pada angka 20 (a) yang berbunyi : Setiap narapidana harus diberikan menurut pengaturannya pada jam-jam biasa dengan makanan bernilai gizi yang memadai untuk kesehatan dan kekuatan, berkualitas sehat dan disiapkan serta yang disajikan dengan baik.68
____________________________ 68
Hadi Setiadi Tunggal (ed.), Op. cit, hal. 203.
Universitas Sumatera Utara
Pakaian dan tempat tidur diatur pada angka 17 (a,b dan c) yang berbunyi : (a) Setiap narapidana yang tidak diperkenankan memakai pakaiannya sendiri harus disediakan pakaian lengkap yang layak dengan iklim dan memadai untuk menjaganya dalam kesehatan yang baik. Pakaian tersebut dengan cara apa pun tidak boleh menurunkan martabat atau menghinakan. (b) Semua pakaian harus bersih dan dijaga dalam kondisi yang cocok. Pakaian dalam harus diganti dan dicuci sesering yang diperlukan untuk memelihara kesehatan. (c) Dalam kondisi-kondisi pengecualian, setiap waktu seseorang narapidana dipindahkan di luar lembaga untuk tujuan yang diizinkan, dia harus diperkenankan mengenakan pakaian sendiri atau pakaian lain yang tidak menarik perhatian orang. 69
Agama diatur pada angka 41 (a,b,c) dan angka 42, yang berbunyi : 41 (a) jikalau lembaga menampung para narapidana beragama yang sama dalam jumlah yang cukup, suatu perwakilan yang memenuhi syarat dari agama tersebut harus ditunjuk atau disetujui. Jikalau jumlah narapidana membenarkannya dan kondisi-kondisi mengizinkan, pengaturannya harus atas dasar sehari penuh. (b) Suatu perwakilan yang memenuhi syarat, yang ditunjuk atau disetujui menurut ketentuan ayat satu akan diperkenankan melakukan pelayanan-pelayanan tetap dan kunjungan-kunjungan keagamaan secara pribadi kepada para narapidana yang seagama dengan dia pada waktu-waktu yang tepat. (c) Akses ke suatu perwakilan agama apapun yang memenuhi syarat tidak boleh ditolak pada narapidana apapun. Pada sisi lain, kalau ada narapidana yang menolak suatu kunjungan perwakilan agama apapun, sikap dia harus sepenuhnya dihormati.70
Buku, diatur pada angka 40, yang berbunyi sebagai berikut :
Setiap lembaga harus mempunyai perpustakaan untuk digunakan oleh semua katagori narapidana, yang dengan memadai diisi bukan saja dengan buku-
Universitas Sumatera Utara
buku rekreasi tetapi juga buku pelajaran dan narapidana didorong untuk menggunakannya dengan sepenuhnya.71 ____________________________ 69 70 71
Ibid. Ibid, hal. 209. Ibid.
3. Prinsip-Prinsip Utama Untuk Perlindungan Semua Orang dari Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan (Body Of Principles For The Protektion Of All Persons Under Any Form Of Detention Or Imprisonment). (disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 9 Desember 1988 dengan resolusi 43 / 173). Prinsi-prinsip ini berlaku untuk perlindungan semua orang yang berada dibawah bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan.72 Dalam kumpulan ini terdapat 39 (Tiga Puluh Sembilan) butir prinsip mengenai perlindungan bagi orang yang ditahan atau dipenjara. Kumpulan
ini
banyak kebersamaannya dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia, antara lain : A. Prinsip 6 yang menyatakan : “ Tidak seorang pun yang berada dibawah bentuk penahanan atau pemenjaraan apapun dapat dijadikan sasaran penganiayaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Tidak satupun keadaan dapat dijadikan sandaran sebagai pembenaran untuk penganiayaan atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.”.73
Universitas Sumatera Utara
Prinsip ini mempunyai kesamaan maksud dengan Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995, antara lain : 1. Pasal 47 ayat (2) yang berbunyi; Jenis hukuman disiplin dapat berupa : a. tutupan sunyi paling lama 6 (Enam) hari bagi narapidana atau anak pidana; dan atau b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.74 ____________________________ 72 73 74
Goran Melander, dkk., (ed), Op. cit, hal. 549. Ibid, hal. 551. Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
2. Pasal 47 ayat (3) yang berbunyi Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan atau menjatuhkan hukuman disiplin wajib : a. memperlakukan warga binaan pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang dan b. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib lembaga pemasyarakatan.75 B. Prinsip 28 yang menyatakan : “ Seseorang yang ditahan atau dipenjara berhak memperoleh dalam batasbatas sumber yang tersedia, kalaupun dari sumber-sumber umum, sejumlah bahan pendidikan, budaya dan informasi yang layak, dengan tunduk pada syarat-syarat yang pantas untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum di tempat penahanan atau pemenjaraan “.76 Prinsip ini mempunyai kesamaan maksud dengan Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995, pasal 14 ayat (1), mengenai hak-hak narapidana yaitu huruf :77 b. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran. f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.
Universitas Sumatera Utara
Banyak lagi butir-butir yang terdapat dalam kumpulan ini yang mempunyai kesamaan dengan UU Nomor 12 tahun 1995 yang tak dapat peneliti tulis dalam tesis ini, karena penelitian ini hanya terfokus kepada hak asasi manusia yang berhubungan dengan narapidana berdasarkan UU RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. ____________________________ 75 76
Pasal 47 ayat (3) UU RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Goran Melander, dkk., (ed), Op. cit, hal. 557
77
Pasal 14 ayat (1) huruf C dan F Undang-Undang RI No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
4. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights). Kovenan ini ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal16 Desember 1966.78 Prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam piagam Perserikatan BangsaBangsa, mengakui bahwa martabat yang melekat dan hak yang sama dan tidak terpisahkan dari seluruh umat manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamain di dunia. Kovenan ini mengakui bahwa cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari ketakutan dan kemelaratan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi yang didalamnya setiap orang dapat menikmati hak sipil dan juga hak ekonomi, sosial dan budaya.
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap individu lainnya dan pada masyarakat dimana dia berada, berkewajiban untuk mengupayakan kemajuan dan penaatan dari pihak yang diakui dalam kovenan ini.79 Kovenan ini terdiri dari 6 bagian dan 53 pasal, diantara pasal-pasalnya juga melindungi hak-hak orang yang sedang dirampas kemerdekaannya oleh putusan
____________________________ 78
Lihat Reselusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966; PBB, Treaty Series, vol. 999, No. 1-14668 dan 1059, No. A-14668 (corrigendum). Kovenan diberlakukan pada tanggal 23 Maret 1976. Pada tahun 1966, Majelis Umum juga menetapkan Protokol Opsional Pertama pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (diberlakukan sejak tahun 1976) dan pada tahun 1989, Protokol Opsional Kedua (diberlakukan sejak tahun 1991). 79 Goran Melander, dkk., (ed), Op. cit, hal. 23
Pengadilan, diantaranya : 80 bagian III; Pasal 4 ; “setiap orang yang dijatuhi hukuman mati harus mempunyai hak untuk memohon pengampunan, atau pengurangan hukuman, amnesti. Pengampunan atau pengurangan hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus”. Pasal 5; “Hukuman mati tidak boleh
dijatuhkan
atas
kejahatan
yang
dilakukan dibawah usia Delapan belas tahun, dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan hamil”. Pasal 10; “Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada setiap manusia”.
Universitas Sumatera Utara
B. Analisis Instrumen Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana. Instrumen hukum internasional mengenai standar bagi perlakuan dan pelayanan terhadap narapidana tidaklah dimaksudkan untuk menggambarkan secara rinci suatu sistem atau model lembaga-lembaga pidana. Peraturan-peraturan itu hanya berdasarkan konsensus umum mengenai pemikiran masa kini dan unsur-unsur penting dari sistem-sistem yang paling memadai saat ini, untuk dapat dinyatakan dapat diterima secara umum apa yang dianggap baik sebagai asas dan praktek dalam perlakuan terhadap narapidana.81 ____________________________________________ 80
lihat Bagian III, Pasal 4,5 dan 10, Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik.seseorang. 81 Peter Bachr dkk., (ed), Instrumen Internasional Pokok-pokok Hak Asasi Manusia, Loc.cit
Tidak semua aturan itu mampu diterapkan pada semua tempat dan waktu, disebabkan karena sangat beragamnya kondisi-kondisi hukum, sosial, ekonomi dan geograpi dunia, meskipun demikian, diharapkan aturan-aturan itu dapat bermanfaat untuk merangsang suatu usaha guna mengatasi kesulitan-kesulitan praktis dalam pengelolaan lembaga pemasyarakatan. Instrumen hukum internassional dimaksudkan tidak untuk menghalangi aturan ataupun pemikiran-pemikiran serta praktek-praktek perlakuan terhadap narapidana yang ada di suatu negara tertentu termasuk di Indonesia. Namun demikian, dalam aturan ini terdapat banyak hal yang bisa dijadikan acuan bagi pelaksanaan perlakuan terhadap narapidana yang sesuai dengan sistem hukum, ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Sejalan
dengan
instrument
hukum
internasional
tersebut,
petugas
pemasyarakatan sebagai aparatur fungsional penegak hukum harus patuh dan turut serta dalam pelaksanaan peraturan perlindunan hak asasi manusia. Tugas yang diemban petugas pemasyarakatan sangat erat dengan nilai kemanusiaan, seperti tuntutan standar aturan internasional dan aturan nasional
C. Perangkat Hukum Nasional Tentang Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Istilah HAM di Indonesia relatif masih baru, akan tetapi konsep HAM telah ada sejak lama yang diterapkan oleh masyarakat adat, seperti yang terdapat dalam Lontara (Wasiat lama Bugis) pada abad XV disebutkan adanya hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak bersama dan independensi hakim.82 Demikian juga dengan masyarakat Jawa telah dikenal hak untuk berpindah ke daerah lain, hak untuk memperotes kebijakan pejabat yang lebih tinggi (nggogol).83 UUD tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia, dirancang pada tahun 1945, ketika merancangnya telah terjadi pertentangan antara Soekarno dan kawan-kawan (sebagai pendiri Negara) dengan M. Yamin dan kawan-kawan (sebagai perancang konstitusi), tentang perlu tidaknya HAM dimasukkan ke dalam UUD. Soepomo dalam pandangannya mengatakan bahwa HAM sangat identik dengan ideologi liberal-individual sehingga tidak cocok dengan bangsa Indonesia. Sebaliknya menurut M. Yamin tidak ada alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD. Akhirnya disepakati untuk dimasukkannya beberapa prinsip HAM ke dalam UUD
Universitas Sumatera Utara
yang sedang dirancang tersebut, sebagaimana yang diatur dalam beberapa pasal UUD tahun 1945.84 Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 sampai 1950 juga mencantumkan HAM yang disebut dengan sebutan Hak-Hak Dasar Warga Negara, kemudian pada Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 sampai 1959 disebut dengan sebutan Hak-Hak kebebasan Dasar Manusia, lalu setelah kembali kepada UUD tahun 1945 pada tahun 1959, maka UUD tahun 1945 yang telah diamandemen menyebutkan dengan tegas tentang HAM yaitu pada Bab X A, pasal 28 huruf A ____________________________________________ 82
Jelly Leviza, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bahan kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum USU tahun 2011. 83 Ibid. 84 Ibid
sampai J, yang mengatur tentang hak untuk hidup, hak untuk melakukan perkawinan/berkeluarga, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh jaminan hukum yang adil, hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan,
hak
atas
status
kewarganegaraan, hak kebebasan memeluk agama, hak untuk berserikat, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk memperoleh perlindungan diri/keluarga/harta, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif, hak identitas budaya/masyarakat tradisional yang dihormati selaras dengan perkembangan zaman, dan lain-lain. Selain dari hak-hak tersebut diatas diwajibkan pula untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
Universitas Sumatera Utara
bernegara serta wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan oleh undangundang yang bertujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.85
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipakai saat ini adalah warisan dari pemerintah kolonial Belanda yang disebut dengan Wetboek van Strafrecht (WvS). Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah telah melakukan ____________________________ 85
lihat UUD tahun 1945 Amandemen I, II, III, dan IV pasal 28 A sampai 28 J.
pembahasan Rencana Undang-Undang dibidang hukum pidana yang terkodifikasi (RUU KUHP) agar dapat melahirkan sistem hukum pidana nasional Indonesia guna memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat hukum Indonesia pada masa sekarang hingga masa yang akan datang, namun kiranya hingga saat ini belum juga selesai dan belum melahirkan sistem hukum pidana nasional sebagai mana yang diharapkan, oleh karena itu hingga kini kita masih memakai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Belanda tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) / Wetboek van Strafrecht (WvS) mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelaku kejahatan dan pelanggaran tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.86
Universitas Sumatera Utara
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia dikodifikasi pada tahun 1918 adalah satu-satunya hukum kodifikasi yang berlaku umum untuk semua golongan penduduk yang berada dalam daerah Indonesia. KUHP ini berlaku terhadap setiap orang yang dapat dihukum (tindak pidana = delik) sejak 1 Januari 1918.87 Kitab undang-undang ini terdiri dari 3 buku, tiap-tiap buku terdiri dari beberapa bab, tiap-tiap bab terdiri dari pasal-pasal dan tiap-tiap pasal terdiri dari ayatayat. Buku I tentang Aturan Umum, terdiri atas 9 bab 103 pasal. Buku II tentang Kejahatan, terdiri atas 31 bab 384 pasal. Buku III tentang Pelanggaran, terdiri atas 9 ____________________________ 86
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal. 257 87
Ibid, hal. 179.
bab dan 80 pasal. Terdapat beberapa pasal yang mengatur atau menjadi dasar bagi perlakuan terhadap pemberian hak-hak narapidana, antara lain : a. Pasal 15 ayat (1) Orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah lalu dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan dari pada itu. Kalau siterhukum itu harus menjalani beberapa hukuman penjara berturut-turut, maka dalam hal ini sekalian hukuman itu dianggap sebagai satu hukuman. b. Pasal 15 ayat (2) Pada waktu dilepaskan itu ditentukan pula lamanya tempo percobaan bagi siterhukum itu dan diadakan perjanjian yang harus diturutnya selama tempo percobaan. c. Pasal 15 ayat (3)
Universitas Sumatera Utara
Tempo percobaan itu lamanya lebih setahun dari pada sisa hukuman yang sebenarnya dari siterhukum itu. Tempo percobaan itu tidak dihitung selama kemerdekaan siterhukum dicabut dengan sah. d. Pasal 15a ayat (1) Pelepasan dengan perjanjian itu harus dengan perjanjian umum, bahwa siterhukum tak akan melakukan perbuatan yang terancam hukuman, ataupun tak akan berkelakuan yang tidak baik dengan jalan bagaimana juapun. e. Pasal 15a ayat (2) Kepada perlepasan dengan perjanjian itu boleh pula diadakan perjanjian yang istimewa tentang kelakuan siterhukum, asal saja perjanjian itu tidak membatasi kemerdekaan agama atau politik. f. Pasal 15a ayat (3) Pengawasan dalam hal menepati segala perjanjian itu dipertanggungkan kepada amtenar yang tersebut dalam ayat pertama dari pasal 14d. g. Pasal 15a ayat (4) Juga dapat diadakan pengawasan yang istimewa dalam hal menepati perjanjian itu, yang semata-mata bermaksud akan memberi pertolongan dan bantuan kepada siterhukum. h. Pasal 15a ayat (5) Selama tempo percobaan, perjanjian itu boleh diubah, boleh dicabut begitupun dapat ditetapkan perjanjian yang istimewa, dapat juga diadakan pengawasan istimewa dan pengawasan yang istimewa itu dapat diserahkan kepada orang lain dari pada yang sudah dipertanggungkan dahulu. i. Pasal 15a ayat (6) Orang yang dilepaskan dengan perjanjian itu diberikan surat permisi, dimana diterangkan segala perjanjian, yang dijanjikan kepadanya. Kalau ayat yang diatas dilakukan, maka diberikan padanya surat permisi yang baru. j. Pasal 15b ayat (1) Pelepasan dengan perjanjian itu boleh dicabut kembali, jika siterhukum selama tempo percobaan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perjanjian yang tersebut dalam surat permisinya. Jika ada dugaan keras tentang perbuatan demikian, maka pelepasan itu boleh ditunda oleh Menteri Kehakiman.
Universitas Sumatera Utara
k. Pasal 15b ayat (2) Waktu yang berjalan diantara pelepasan dan menjalani hukuman kembali tidak dihitung dalam lamanya hukuman. l. Pasal 15b ayat (3) Dicabut kembali itu tidak dapat dilakukan, jika sudah liwat 3 bulan sejak berakhirnya tempo percobaan, kecuali kalau siterhukum sebelum liwat tempo 3 bulan itu dituntut lantaran suatu perbuatan yang terancam hukuman yang dilakukan selama tempo percobaan dan tuntutan itu berakhir dengan suatu putusan yang tidak diubah lagi, yang menyatakan kesalahannya. Jika demikian jika perlepasan dengan perjanjian tadi karena melakukan perbuatan itu, masih dapat dicabut kembali didalam tempo 3 bulan, sejak putusan yang menyatakan kesalahannya siterhukum itu menjadi tidak dapat diubah lagi.88
Selain dari pasal-pasal tersebut diatas masih ada lagi pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP yang mengatur tentang hak-hak narapidana, diantaranya : a. Pasal 16 ayat (1) Keputusan pelepasan dengan perjanjian itu diambil oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus rumah penjara ditempat adanya siterhukum itu dan setelah mendapat kabar dari Jaksa. Keputusan itu tidak akan diambil sebelum Dewan Pusat urusan memperbaiki keadilan orang yang dilepaskan dari penjara, didengar, yang pekerjaannya diatur oleh Menteri Kehakiman. b. Pasal 16 ayat (2) Keputusan mencabut perlepasan dengan perjanjian itu demikian pula keputusan yang diadakan karena melakukan ketentuan pada pasal 15a, ayat kelima, diambil oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari Jaksa ditempat tinggal siterhukum. Keputusan itu tidak akan diambil sebelumnya Dewan Pusat untuk Realassering didengar. ____________________________ 88
Pasal 15 ayat (1,2 dan 3), 15a ayat (1,2,3,4,5,6), 15b ayat (1,2, dan 3) Kitap UndangUndang Hukum Pidana.
c. Pasal 16 ayat (3)
Universitas Sumatera Utara
Selama ada hak akan mencabut perlepasan dengan perjanjian, maka untuk kepentingan ketertiban umum, orang yang dilepas dengan perjanjian itu dapat ditahan, jika ada persangkaan yang patut, bahwa selama waktu percobaan itu ia pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perjanjian yang diterangkan dalam surat permisinya atas perintah Jaksa ditempat tinggal orang itu, sedangkan Jaksa diwajibkan memberitahukan hal itu dengan segera kepada Menteri Kehakiman. d. Pasal 16 ayat (4) Kekuatan penahanan itu selama-lamanya enam puluh hari. Jika penahanan itu bersambung dengan penundaan atau dengan pencabutan perlepasan dengan perjanjian, maka menjalankan hukuman itu dianggab mulai dilakukan kembali pada hari penahanan. (K.U.H.P. 15,17). 89
Pasal tersebut diatas menjadi dasar bagi pelaksanaan proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan berupa Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dengan cara membaurkan narapidana di dalam kehidupan masyarakat luar lembaga pemasyarakatan. Cuti Menjelang Bebas diberikan kepada narapidana yang menjalani masa pidana atau sisa pidana yang pendek. Pasal 15 ayat (1) menjelaskan khusus syarat substantif yang harus dipenuhi narapidana agar layak untuk diberikan haknya berupa Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Syarat-syarat substantif tersebut lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No M.01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas, pasal 7 ayat (2) yang berbunyi “ Persyaratan substantif yang harus dipenuhi narapidana dan anak pidana adalah : ____________________________
Universitas Sumatera Utara
89
Pasal 16 ayat (1,2,3 dan 4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana; b. telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif; c. berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat; d. masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan; e. telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif; f. berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat; g. masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan; h. selama menjalankan pidana, narapidana atau anak pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir; masa pidana yang telah dijalani : 1) untuk asimilasi, narapidana telah menjalani ½ (setengah) dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 ( dua pertiga) dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) dari pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. 3) untuk cuti menjelang bebas, narapidna telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan.90
Universitas Sumatera Utara
KUHP juga mengatur tentang hak-hak narapidana untuk menjalankan pidananya di lembaga pemasyarakatan lain dengan permohonan dan izin Menteri Kehakiman, hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi : Hukuman kurungan dijalani di dalam daerah (gewest) tempat ____________________________
kediaman
90
Pasal 7 ayat (1,2 dan 3) Keputusan Menteri Kehakiman RI No M.01.PK..04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.
siterhukum, waktu keputusan hakim dijalankan atau bila ia tidak bertempat kediaman, didalam daerah tempat ia ada pada waktu itu kecuali kalau atas permohonannya, Menteri Kehakiman mengizinkan akan menjalani hukuman itu di tempat lain. 91
Perbaikan nasib narapidana dengan biaya sendiri diatur dalam pasal 23 ayat (1) yang berbunyi : Orang hukuman kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan ongkosnya sendiri menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam ordonansi (K.U.H.P. 29).92 Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa narapidana berhak bermohon untuk berpindah dari lembaga pemasyarakatan yang satu ke lembaga pemasyarakatan lainnya dalam menjalani hukumannya dengan persetujuan pejabat yang berkompeten, dan juga narapidana berhak memperbaiki nasibnya dengan biayanya sendiri. Hak-hak narapidana atas upah kerja, pendidikan, menjalankan ibadah, makanan, pakaian dan lain sebagainya diatur dalam pasal 29 ayat (1) yang berbunyi : Tentang menunjukkan tempat (gedung), dimana hukuman penjara, atau hukuman kurungan, atau kedua macam hukuman itu dijalani, demikian juga tentang peraturan dan urusan tempat itu, tentang membagi-bagi orang hukuman atas beberapa kelas, tentang pekerjaan, tentang upah kerja, tentang
Universitas Sumatera Utara
pemondokan orang-orang yang dihukum, yang tinggal diluar rumah penjara, tentang perkara pengajaran, tentang melakukan agama, tentang siasat, ketertiban, tempat tidur, tentang makanan dan tentang pakaian, ditentukan dalam ordonansi yang sesuai dengan kitab undang-undang ini. 93
____________________________ 91 92 93
Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 23 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 29 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal tersebut diatas menjelaskan tentang pembagian atau klasipikasi narapidana, pekerjaan, upah kerja, pendidikan, ibadah, makanan, pakaian dan sebagainya, yang disesuaikan dengan aturan hukum lainnya. Narapidana berhak mengganti hukuman denda (subsider) dengan membayar dendanya yang telah diputuskan hakim, baik sudah mulai menjalani hukuman maupun sebelum, sesuai dengan jumlah denda yang dibayar dan hukuman yang telah dijalankan, hal ini sesuai dengan pasal 31 ayat (1,2 dan 3) KUHP, yang berbunyi: Pasal 31 ayat (1) Siterhukum boleh menjalankan hukuman kurungan dengan tiada menunggu habisnya tempo untuk membayar denda. Pasal 31 ayat (2) Setiap waktu ia berhak melepaskan dirinya dari hukuman kurungan itu dengan membayar dendanya. Pasal 31 ayat (3) Dengan membayar sebagian dari denda, baik sebelum maupun sesudah mulai dijalani hukuman kurungan, dapatlah dibebaskan sebagian dari hukuman pengganti itu sepadan dengan bagian denda yang dibayar.94 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang ini merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia. Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan, melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi, disamping itu sistem pemasyarakatan juga bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, melindungi
masyarakat
terhadap
____________________________ 94
Lihat Pasal 31 ayat (1,2 dan 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga bianaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai - nilai
yang
terkandung dalam pancasila. Narapidana mempunyai hak-hak yang wajib dilindungi berdasarkan undangundang, 95 yaitu : a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan; b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;
Universitas Sumatera Utara
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas; m. hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
____________________________ 95
Lihat Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 14 ayat (1) huruf a sampai m.
Hak-hak sebagaimana tertulis diatas adalah merupakan hak yang harus diberikan kepada seluruh narapidana, kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya narapidana yang melanggar aturan atau disiplin lembaga pemasyarakatan, maka
narapidana tersebut dapat dikenakan sangsi berupa tutupan sunyi untuk sementara waktu, menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu, seperti : tidak diberikan atau pencabutan remisi, tidak diusulkan atau pencabutan pembebasan bersyarat, tidak diusulkan atau pencabutan cuti bersyarat dan lainnya sesuai dengan paturan perundang-undangan yang berlaku.96 Hak-hak narapidana untuk memperoleh pengurangan hukuman (remisi), asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembabasan bersyarat, cuti menjelang bebas diatur dengan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :97
Universitas Sumatera Utara
a. Pengurangan hukuman (remisi), dasar hukumnya : 1. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun1995 tentang Pemasyarakatan 2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 3. Keputusan Presiden RI Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi 4. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor : M.09.HN.02-10 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 174 ____________________________ 96
Lihat Pasal 47 ayat (2) Huruf a dan b, UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lihat Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Tentang Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyrat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), (Jakarta : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).tahun 1999 tentang Remisi. 97
b. Pembebasan Bersyarat (PB), dasar hukumnya : 1. KUHP Pasal 15a,15b dan Pasal 16 2. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3. Undang-undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 5. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan
Universitas Sumatera Utara
6. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas 7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No : E.06. PK.04-10 tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas c. Cuti Menjelang Bebas, dasar hukumnya : 1. KUHP Pasal 15a, 15b dan 16 2. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3. Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 5. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan 6. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas 7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No : E.06. PK.04-10 tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas d. Cuti Mengunjungi Keluarga, dasar hukumnya : 1. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Universitas Sumatera Utara
2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 3. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. No : M.01.03.02 tahun 2001 tentang Cuti Mengunjungi Keluarga Bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan e. Asimilasi, dasar hukumnya : 1. KUHP Pasal 15a, 15b dan 16 2. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3. Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 5. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan 6. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas 7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No : E.06. PK.04-10 tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Universitas Sumatera Utara
Rasa tanggung jawab pemerintah untuk memajukan dan menegakkan Hak Asasi Manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, dan dengan adanya desakan dari luar terhadap pemerintah Republik Indonesia agar permasalahan yang terjadi di dalam negeri, seperti peristiwa Tanjung periuk, Timor timur agar dapat dinyatakan merupakan pelanggaran HAM berat sehingga kasus ini dapat dibawa ke pengadilan HAM Internasional. Guna mengatasi desakan itu, maka pemerintah Indonesia secepat mungkin harus melahirkan undang-undang HAM dan undang-undang pengadilan HAM sendiri, sehingga dengan demikian bagi pelaku-pelaku tersebut dapat diperoses di dalam negeri berdasarkan undang-undang yang ada. Adanya permasalahan tersebut diatas ditambah lagi Indonesia sebagai salah satu anggota PBB, maka Indonesia harus mengikuti perkembangan jaman, yang mana setiap negara di dunia pada saat ini selalu menanamkan nilai-nilai HAM dalam pembuatan konstitusinya, maka pada tanggal 23 September 1999 guna malaksanakan TAP MPR No. XVII/MPR 1998 diberlakukanlah Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang ini menegaskan Dua hal yang sangat prinsipil, yakni Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Dasar Manusia.98 Untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan perlindungan, kepastian keadilan serta menyelesaikan pelanggaran HAM sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk suatu pengadilan HAM. Manusia dianugerahi Tuhan yang Maha Esa akal budi dan nurani dan juga kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk yang akan membimbing dan
Universitas Sumatera Utara
mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupan ini. Akal budi dan nurani tersebut menjadi alat bagi manusia dalam kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya, namun dari itu agar terjadi keseimbangan antara kebebasan dan perilaku, manusia mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat manusia, oleh karena itu negara, pemerintah atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi pada setiap manusia tanpa kecuali, ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan
tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
_____________________________ 98
Majda El-Muhtaj, HAM Dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hal.124.
bernegara.99 Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa menyandang dua aspek, yaitu aspek pribadi (individualistis) dan aspek bermasyarakat (sosialitas) oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain, artinya setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain.100
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 mengatur tentang hak asasi seseorang pada ketentuan umum pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa : “Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik”.101 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, jika dikaitkan dengan UU Nomor 12 tahun 1995 Pasal 47 ayat (2), (yang mengatur tentang hukuman disiplin bagi warga binaan pemasyarakatan yang melanggar disiplin), dan Kumpulan PrinsipPrinsip Untuk Perlindungan Semua Orang yang Berada di bawah Bentuk Penahanan
____________________________ 99
Undang-Undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 2000 dan Undang-Undang HAM 1999, ( diperbanyak oleh : Direktorat Jenderal Perlindungan HAM Departemen Hukum dan HAM-RI), hal. 41-42. 100 Ibid. 101 . Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Apapun atau Pemenjaraan, pada prinsip 6, sangat erat kaitannya, dan mempunyai tujun yang sama, yaitu perlindungan terhadap narapidana dari segala bentuk perlakuan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh petugas. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
Universitas Sumatera Utara
hukum.102 Perlakuan yang sama di depan hukum adalah merupakan hak narapidana, jika hal ini dilaksanakan sepenuhnya maka tidak akan terjadi dikriminasi antara seorang narapidana dengan narapidana yang lainnya. Dalam rangka pembinaan, maka narapidana dapat digolongkan berdasarkan jenis kelamin, usia, jenis pelanggaran pidana yang dilakukan, lama pidana yang dijatuhkan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.103 Penggolongan itu sebatas pemisahan tempat atau blok hunian di dalam lembaga pemasyarakatan, bukan berarti membeda-bedakan hak-hak mereka. Banyak pasal-pasal di dalam UU RI Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, dapat menjadi pedoman dalam upaya perlindungan HAM bagi narapidana yang juga harus disesuaikan dengan UU RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam arti, untuk situasi dan kondisi tertentu (status narapidana), hak asasi manusia tidak sepenuhnya diberikan kepadanya, hal demikian tidaklah berarti aparat pemerintah telah melanggar HAM, sebagai contoh, dalam pasal 9 ayat (1) UU RI Nomor 39 tahun 1999 dinyatakan: ____________________________ 102 103
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lihat Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
“ Setiap orang berhak
hidup, mempertahankan
hidup
dan meningkatkan
taraf kehidupannya”. Putusan pengadilan yang menyatakan hukuman mati bagi pelanggar undang-undang tertentu, harus dilaksanakan oleh eksekutor, dalam hal ini eksekutor tidaklah dapat dikatakan telah melanggar HAM, karena pelaksanaan hukuman mati berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan hukuman mati juga dianggap tidak melanggar konstitusi selama pelaksanaannya telah dijalankan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Kejahatan yang dilakukan seseorang yang menyebabkan ia terancam hukuman mati, seperti menghilangkan nyawa orang lain, berarti ia telah melanggar hak asasi orang lain dan juga peraturan perundang-undangan yang membatasi HAM itu sendiri, oleh karna itu negara berkewajiban untuk memenuhi rasa keadilan korban dengan memberi hukuman yang setimpal atas perbuatan orang tersebut. Pasal 72 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa salah satu langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam hal perlindungan HAM adalah melalui implementasi yang efektip dalam bidang hukum. Implementasi disini dimaksudkan bahwa terpidana telah diperoses sesuai dengan hukum acara yang berlaku, sehingga tidak ada hak-haknya yang dilanggar. Hukuman mati menurut kaca mata perlindungan HAM bagi sikorban dan keluarga korban sangat dimungkinkan. Pejelasan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999, bahwa dalam keadaan yang luar biasa, pidana mati masih diijinkan. Dalam pelaksanaan pidana mati Ekskutor (Jaksa/Polisi) harus tetap memperhatikan dan menghargai hak-hak dasar manusia. Pelaksanaan
hukuman
mati
diatur
dengan
Undang-Undang
Nomor
2/Pnps/1964 yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No.38 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969), yaitu pada Bab II tentang Tata cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Di lingkungan Peradilan Umum.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.104 Waktu dan tempat pelaksanaan ditentukan setelah Kepala Kepolisian Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut mendengar nasihat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan.105 Untuk menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau ditempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan. 106 Jaksa sebagai eksekutor yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan putusan Hakim memerintahkan kepada Polisi sebagai pelaksananya, selain itu jaksa juga harus menjalin koordinasi, kebersamaan dan sinergi kepada segenap unsur atau komponen penegak hukum yang terlibat didalamnya.
____________________________ 104
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Di lingkungan Peradilan Umum. 105 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Di lingkungan Peradilan Umum. 106 Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan Di lingkungan Peradilan Umum.
Polisi dalam melaksanakan tugas yang dibebankan
kepadanya harus
berdasarkan tata cara yang ditentukan, adapun tata cara yang dipedomani oleh Polisi dalam hal melaksanakan tugas tersebut adalah berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Universitas Sumatera Utara
Demikian sekilas gambaran tentang proses pelaksanaan pidana mati di Indonesia, selanjutnya kembali kepada permasalahan yang sedang dibahas yaitu tentang Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, tentang HAM, yang berkaitan dengan Narapidana. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.107 Sejalan dengan ini, narapidana dapat dipindahkan dari satu lembaga pemasyarakatan ke lembaga pemasyarakatan yang lain untuk kepentingan : 108 a. Pembinaan b. Keamanan dan ketertiban c. Proses peradilan d. Lainnya yang dianggap perlu. Ketentuan mengenai
syarat-syarat tata cara pemindahan narapidana
sebagaimana dimaksud, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
____________________________ 107 108
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Dari contoh-contoh tersebut diatas dapat dilihat bahwa, tidak setiap HAM yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 dapat dilaksanakan bagi narapidana yang sedang dalam proses
menjalani
hukuman
di
lembaga
pemasyarakatan, harus ada kesesuaian antara undang-undang HAM dengan keadaan
Universitas Sumatera Utara
tertentu dalam hal ini narapidana di lembaga pemasyarakatan, agar dapat tercapai rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
5. Peraturan-Peraturan Lain yang Terkait dan Berpengaruh Terhadap Perlindungan
Hak
Asasi
Manusia
bagi
Narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan
Banyak peraturan-peratuaran lain yang menjadi pedoman bagi pelaksanan perlindungan HAM bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan yang bersifat Nasional selain yang peneliti tulis sebelumnya, diantaranya : A. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan ini terdiri dari V BAB, 55 Pasal yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pemberian hak-hak narapidana, remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, beribadah, perawatan, pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan dan lain-lain sesuai dengan pasal 14 ayat (1) huruf a sampai m Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Ketentuan mengenai remisisi diatur lebuh lanjut dengan peraturan presiden.109 PP No 28 tahun 2006 merubah ketentuan tentang pemberian remisi kepada narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika,
Universitas Sumatera Utara
dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa pidana.110 PP No 28 tahun 2006 merubah ketentuan tentang pemberian asimilasi kepada narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan asimilasi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut : berkelakuan baik, dapat mengikuti program pembinaan dengan baik, dan telah menjalani 2/3 masa pidana.111 Untuk melaksanakan pemberian remisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden yaitu Keputusan Presiden RI Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi,
____________________________ 109
Pasal 35 Peraturan Pemrintah RI Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 110
Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemrintah RI Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. 111
Pasal 36 ayat (4) Peraturan Pemrintah RI Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
ironisnya dalam Keputusan Presiden ini masih mengacu kepada PP No 32 tahun 1999, yang tidak mengatur tentang narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
Universitas Sumatera Utara
keamanan
negara
dan
kejahatan
hak asasi manusia yang berat, dan
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Yang lebih menjadi tanda tanya lagi bagi peneliti yaitu pada tataran undang-undang, yaitu UU No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan pasal 14, yang mengatur tentang hak-hak narapidana tidak mengenal pengecualian, namun pada tataran Peraturan Pemerintah terdapat pengecualian seperti yang tersebut diatas.
B. Keputusan Presiden RI Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi. Keputusan Presiden ini menjelaskan tentang warga binaan pemasyarakatan yang mendapatkan remisi, macam-macam remisi serta syarat-syarat mendapatkan remisi. Disebutkan
dalam
Keputusan
Presiden
ini
bahwa
warga
binaan
pemasyarakatan yang mendapatkan remisi yaitu : 1. Narapidana 2. Anak pidana. macam-macam remisi yaitu : 1. Remisi Umum, diberikan pada HUT RI tanggal 17 Agustus 2. Remisi Khusus, diberikan pada Hari Besar Keagamaan 3. Remisi Tambahan, diberikan pada narapidana/anak pidana yang berjasa kepada Negara, perbuatan yang bermanfaat, dan pemuka.
Universitas Sumatera Utara
4. Remisi Dasa Warsa, diberikan satu kali setiap 10 tahun HUT RI. Syarat-syarat mendapatkan remisi : a. Remisi Umum. 1. Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani cuti menjelang bebas. 2. Warga binaan pemasyarakatan tidak sedang menjalani pidana pengganti denda. 3. Warga binaan pemasyarakatan tidak dijatuhi hukuman mati dan seumur hidup. 4. Sudah menjalani pidana lebih dari 6 bulan. 5. Tidak sedang dikenakan hukuman disiplin. Besarnya remisi : 1 bulan, bagi yang dihukum 6 sampai 12 bulan. 2 bulan, bagi yang dihukum 12 bulan lebih. Pada tahun ke-2 diberi remisi 3 bulan, tahun ke-3 diberi remisi 4 bulan, tahun ke-4 dan 5 diberi 5 bulan, tahun ke-6 dan seterusnya diberi 6 bulan.
b. Remisi Khusus. Syaratnya sama seperti syarat remisi umum. Besarnya, 15 hari, bagi yang dihukum 6 sampai 12 bulan.
Universitas Sumatera Utara
1 bulan, bagi yang dihukum 12 bulan lebih. Pada tahun ke-2 dan 3 diberi 1 bulan, tahun ke-4 dan 5 diberi 1 bulan 15 hari, tahun ke-6 dan seterusnya diberi 2 bulan. c. Remisi Tambahan. Syaratnya sama seperti syarat remisi umum. Besarnya, ½ dari remisi umum bagi yang berjasa bagi negara dan perbuatan yang bermanfaat, 1/3 dari remisi umum bagi yang membantu kegiatan pembinaan sebagai pemuka. d. Remisi Dasa Warsa. Syaratnya : 1. Dipidana lebih dari 6 bulan 2. Warga binaan tidak dijatuhi hukuman mati dan seumur hidup 3. Warga binaan tidak dalam pelarian. Pelaksanaan dari Keputusan Presiden RI Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi diatur dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan RI Nomor : M.09.HN.02.01 Tahun 1999.
C. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.02.PK.04-10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Menyadari bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan narapidana yang sering pula disebut therapeutics process maka jelas bahwa membina
Universitas Sumatera Utara
narapidana itu sama artinya dengan penyembuhan seseorang yang sementara tersesat hidupnya karena adanya kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.112 ____________________________________ 112
Himpunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan (Buku 6 Bidang Pembinaan), Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, (Jakarta : 2004), hal. 56.
Yang dikemukakan di dalam pola pembinaan narapidana semuanya mengacu kepada kondisi ideal yang ingin dicapai, namun disadari bahwa tidak ada satupun Lapas, Rutan, Cabang rutan dan Bapas yang mampu secara sempurna mengikuti pola ini karena faktor-faktor keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing unit pemasyarakatan tersebut disamping adanya kondisi yang
sulit diubah
(misalnya merubah gedung yang sudah permanen).113 Faktor manusia atau pelaksananya sangatlah menentukan berhasil tidaknya pola pembinaan narapidana ini, pola ini harus juga dilengkapi dengan Juklak dan Juknis yang bisa dipergunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Terdapat 10 BAB dalam Keputusan Menteri Kehakiman ini terdiri dari : pendahuluan, pengertian, tujuan, kebijaksanaan, faktor-faktor yang mempengauhi pelaksanaan pembinaan, metoda pembinaan, pelaksanaan pembinaan, sarana pembinaan, pelaksanaan pengawasan dan penutup.
D. Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
Universitas Sumatera Utara
Dalam keputusan ini terdapat 8 Bab dan 37 pasal, yang mengatur tentang syarat-syarat narapidana untuk dapat diberikan asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Syarat-syarat tersebut ada syarat substantif dan ada syarat administratif.
___________________________________ 113
Ibid, hal. 118.
Syarat substantif sebagai berikut : 1. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana, 2. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif, 3. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat, 4. Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan, 5. Masa pidana yang telah dijalani : a. Untuk asimilasi, telah menjalani ½ masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk pembebasan bersyarat, telah menjalani 2/3 masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan. c. Untuk cuti menjelang bebas, telah menjalani 2/3 masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 bulan.114 114
Pasal 7 Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.
Syarat administratif sebagai berikut : 1. Salinan putusan pengadilan (ekstrak vonis), 2. Surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya, 3. Laporan penelitian kemasyarakatan (litmas) dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana, 4. Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kepala LAPAS),
Universitas Sumatera Utara
5. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain dari Kepala LAPAS, 6. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di lembaga pemasyarakatan tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmas atau Rumah Sakit Umum, 7. Bagi narapidana atau anak pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan, berupa 115 a. Surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing yang bersangkutan; _____________________________________________
115
Pasal 8 Keputusan Menteri Kehakiman RI No : M.01.PK.04-10 tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
b. Surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat. E. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No : M.09.HN.02-10 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No 174 tahun 1999 tentang Remisi. Dalam rangka melaksanakan Keputusan Presiden RI Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi perlu ditetapkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundangundangan tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI dimaksud, merupakan
Universitas Sumatera Utara
salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Keputusan ini terdapat 9 pasal yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana.
F. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. No : M.01.03.02 tahun 2001 tentang Cuti Mengunjungi Keluarga Bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Untuk perlindungan hak asasi manusia serta pemulihan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan narapidana dan anak didik pemasyarakatan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, perlu memberi kesempatan bagi yang bersangkutan untuk cuti mengunjungi keluarga. Keputusan ini terdiri dari 5 Bab dan 14 pasal yang mengatur tentang pengertian, syarat dan tata cara pelaksanaan, pengamanan dan pengawasan tentang cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana.
D. Analisis Instrumen Hukum Nasional Tentang Hak Asasi Manusia Bagi Narapidana
Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang HAM adalah merupakan salah satu instrument hukum nasional yang menjadi landasan pengaturan tentang HAM di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, yang di dalamnya mengatur hak-hak yang harus dihormati, dilindungi, dijunjung tinggi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang. Hak-hak tersebut meliputi : 116 1. hak untuk hidup, 2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, 3. hak mengembangkan diri, 4. hak kebebasan pribadi, 5. hak atas rasa aman, 6. hak atas kesejahteraan, 7. hak untuk memperoleh keadilan, 8. hak turut serta dalam pemerintah, 9. hak wanita dan 10. hak anak. Hak-hak tersebut dijamin oleh undang-undang terhadap setiap orang, termasuk narapidana yang sedang menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan. _____________________________ 116
Vini Hygyani Waluya, Dede Erni Kartikawati (ed), Instrumen Nasional Hak Asasi Manusia, (Kementerian Hukum dan HAM RI, BPSDM Hukum dan HAM, 2012), hal. 7 – 37.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak narapida lebih lanjut diatur dengan UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang juga merupakan landasan sikaf dan prilaku petugas pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya dan juga melindungi HAM terhadap narapidana. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, terutama dalam hal memberikan perlindungan HAM bagi narapidana, maka petugas pemasyarakatan dapat menjadikan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai pendamping dari undang-undang Pemasyarakatan, serta undang-undang lainnya yang berhubungan dengan system pemasyarakatan dan juga HAM. Meskipun telah banyak instrument hukum nasional yang dapat dijadikan acuan bagi pelaksanaan perlindungan HAM terhadap narapidana, akan tetapi pada kenyataannya masih saja terjadi perlakuan-perlakuan yang dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di lembaga pemasyarakatan, hal demikian jika dikaji lebih mendalam, terlihat bahwa lembaga pemasyarakatan rentan dengan pelanggaran HAM, dimana lembaga pemasyarakatan telah melakukan upaya paksa untuk menghalangi kebebasan seseorang yang jika dilihat dari sudut pandang HAM hal demikian dianggap telah melanggar HAM. Perlindungan HAM terhadap narapidana telah diatur dalam UUD tahun 1945, meskipun tidak secara rinci, selain itu juga diatur dalam KUHP, UU No 12 tahun 1995, UU No 39 tahun 1999, masih tersebar di dalam peraturan-peraturan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan sebagainya, yang seharusnya diantara aturan-aturan tersebut selaras, guna mencapai
Universitas Sumatera Utara
tujuan yang sama yaitu dalam hal perlindungan HAM, baik sesama undang-undang maupun antara undang-undang dengan peraturan pelaksananya. Undang-undang pemasyarakatan telah memberikan hak-hak narapidana tanpa menyebutkan pengecualian pada narapidana kasus-kasus tertentu, namun pada tataran peraturan pelaksananya yaitu PP No 28 tahun 2006 yang merubah PP No 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, telah memberikan pengecualian terhadap narapidana kasus-kasus tertentu yaitu : kasus narkotika, korupsi, pelanggaran HAM berat, teroris, dan kejahatan trasnasional lainnya, hal demikian telah mengenyampingkan asas kebersamaan di depan hukum. Hal yang perlu diperhatikan menurut peneliti, bahwa hingga saat ini belum ada ketentuan yang jelas yang diatur oleh undang-undang tentang batasan-batasan HAM yang dapat diberikan kepada narapidana yang sedang menjalankan pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan, sehingga membuat petugas pemasyarakatan yang tugas dan fungsinya berhubungan dengan narapidana, selalu dikait-kaitkan dengan isu pelanggaran HAM.
Universitas Sumatera Utara