BAB II PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO HUKUM DI BIDANG PERKREDITAN PERBANKAN
A. MANAJEMEN RISIKO PONDASI BISNIS PERBANKAN 1. Definisi Manajemen Risiko
25 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Definisi yang disajikan dalam penulisan ini hanya memuat beberapa definisi, dikarenakan ada banyak sekali definisi mengenai Manajemen Risiko. Bank Indonesia mendefinisikan manajemen risiko sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank11. Widigdo Sukarman mendefinisikan manajemen risiko sebagai keseluruhan sistem pengelolaan dan pengendalian risiko yang dihadapi oleh bank yang terdiri dari seperangkat alat, teknik, proses manajemen (termasuk kewenangan dan sistem dan prosedur operasional) dan organisasi yang ditujukan untuk memelihara tingkat profitabilitas dan tingkat kesehatan bank yang telah ditetapkan dalam Corporate Plan atau rencana strategis bank lainnya sesuai dengan tingkat kesehatan bank yang berlaku12. Definisi manajemen risiko versi Bank Indonesia, lebih menekankan pada mekanisme dari manajemen risiko itu sendiri, sedangkan definisi yang diberikan Widigdo Sukarman lebih fokus pada tujuan manajemen risiko, demi memelihara tingkat profitabilitas dan kesehatan bank sebagaimana telah ditetapkan dalam Corporate Plan atau Rencana Strategik Bank. Beberapa penjelasan yang perlu ditambahkan melengkapi definisi manajemen risiko di atas, yaitu13:
11
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, PBI No: 5/8/PBI/2003, LN No.56 Tahun 2003, Ps. 1 angka 3. 12
Robert Tampubolon, Risk Management, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hal. 33.
13
Ibid.
26 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
a. Manajemen risiko merupakan titik sentral dari manajemen strategik Bank. Manajemen risiko merupakan proses dimana sebuah bank secara metodik menghubungkan risiko yang melekat pada kegiatannya dengan tujuan untuk mempertahankan atau memperbesar keuntungan dari setiap aktivitas dan lintas portofolio dari semua kegiatan. b. Fokus manajemen risiko yang baik adalah menidentifikasi, mengelola dan mengendalikan
risiko
dengan
sebaik-baiknya, dengan
tujuan
untuk
menambah value dari semua aktivitas Bank ke arah yang paling maksimal. c. Manajemen risiko adalah sejumlah kegiatan atau proses manajemen yang terarah dan bersifat proaktif, yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrumen. Manajemen risiko haruslah merupakan sebuah proses yang dinamis, tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha. d. Manajeman risiko haruslah merupakan proses yang terus bertumbuh dan berkelanjutan, mulai dari penyusunan strategi Bank sampai pada penerapan strategi
dimaksud.
Kegiatan
ini
haruslah
pula
secara
metodik
mengidentifikasi semua risiko yang ada disekitar kegiatan bank di masa lalu, masa kini dan terlebih lagi masa yang akan datang. e. Esensi dari manajemen risiko yaitu adanya persetujuan bersama (komite atau korporat) atas tingkat risiko yang dapat diterima atau ditolelir dan seberapa jauh program pengendalian risiko yang telah disusun untuk mengurangi
27 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
dampak negatif dari risiko yang akan diambil tersebut. f. Manajemen risiko harus diintegrasikan ke dalam budaya organisasi melalui sebuah kebijakan dan sebuah program yang efektif karena diarahkan oleh semua manajemen puncak. Manajemen risiko harus menterjemahkan strategi ke dalam taktik dan tujuan-tujuan operasi, menetapkan tanggung jawab ke seluruh organisasi dimana setiap manajer dan pegawai bertanggung jawab dalam mengelola risiko sebagai bagian dari deskripsi jabatannya. Proses manajemen risiko ini harus mendukung akuntabilitas, pengukuran kinerja dan pemberian penghargaan, yang selanjutnya akan meningkatkan efisiensi pada operasional dari semua satuan kerja.
2. Konsep Dasar Manajemen Risiko Ada 5 (lima) konsep dasar dalam manajemen risiko yang menurut James Essinger dan Josep Rosen harus terlebih dahulu dipahami oleh para pejabat bank yang terlibat dalam proses manajemen risiko, yaitu14: a. Manajemen risiko hanyalah sebuah pendekatan, yakni akan lebih efektif bila diterapkan untuk portofolio yang besar dan kompleks, tetapi manajemen risiko merupakan strategi yang fleksibel, karena tidak hanya diterapkan untuk portofolio yang besar, tetapi juga dapat menjadikan pendekatan yang rinci bagi portofolio yang kecil.
14
Ibid., hal. 36.
28 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
b. Sifat dari instrumen yang digunakan akan menentukan parameter dari sebuah strategi manajemen risiko. Secara relatif tidak ada satu strategi manajemen risiko yang dapat diterapkan pada semua jenis pasar uang atau semua instrumen. c. Sistem manajemen risiko haruslah sistematis dan diikuti secara konsisten tetapi tidak kaku dan fleksibel. d. Manajemen risiko bukan merupakan alat sulap yang secara ajaib akan meningkatkan return dan sekaligus mengurangi risiko. Peter L. Berstein berpendapat bahwa manajemen risiko sendiri bisa menghasilkan risiko baru, yaitu berkurangnya kewaspadaan manajemen bank terhadap seluruh risiko bank yang ada. e. Lingkungan usaha bank saat ini telah menyebabkan kompleksitas manajemen risiko menjadi sangat tinggi dan merupakan proses yang semakin sulit. Kecendrungan pasar yang semakin bergejolak, perkembangan instrumen baru, meningkatnya persaingan, meningkatnya interaksi global, nasabah yang semakin menuntut, dan perkembangan-perkembangan baru dalam teknologi informasi dan telekomunikasi telah semakin mempersulit pengelolaan risiko bank.
29 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
3. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Untuk mengelola risiko sebagaimana disebutkan di atas, Bank Indonesia telah mengidentifikasi 4 (empat) aspek pokok yang sekurang-kurangnya merupakan cakupan dari ruang lingkup dalam manajemen risiko, yaitu15: a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi. 1) Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan manajemen risiko. 2) Wewenang dan tanggung jawab bagi dewan Komisaris sekurangkurangnya: a) menyetujui dan mengevaluasi kebijakan manajemen risiko; b) mengevaluasi
pertanggungjawaban
Direksi
atas
pelaksanaan
kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c) mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan persetujuan dewan Komisaris.
3) Wewenang dan tanggung jawab bagi Direksi sekurang-kurangnya: a) menyusun kebijakan dan strategi manajemen risiko secara tertulis dan komprehensif; b) bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan manajemen risiko dan eksposur risiko yang diambil oleh bank secara keseluruhan; c) mengevaluasi
dan
memutuskan
transaksi
yang
memerlukan
persetujuan Direksi; 15
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, PBI No: 5/8/PBI/2003, LN No.56 Tahun 2003, Ps. 2 - 20.
30 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
d) mengembangkan budaya manajemen risiko pada seluruh jenjang organisasi; e) memastikan peningkatan kompetensi sumberdaya manusia yang terkait dengan manajemen risiko; f) memastikan bahwa fungsi manajemen risiko telah beroperasi secara independen; g) melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan keakuratan metodologi
penilaian
risiko,
kecukupan
implementasi
sistem
informasi manajemen, dan ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko. b. Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit. 1) Kebijakan Manajemen Risiko sekurang-kurangnya memuat: a) penetapan risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan; b) penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen Risiko; c) penentuan limit dan penetapan toleransi risiko; d) penetapan penilaian peringkat risiko; e) penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst case scenario); f) penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko.
31 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
2) Prosedur dan penetapan limit risiko wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap risiko bank. Prosedur dan penetapan limit risiko sekurang-kurangnya memuat: a) akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas; b) pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dan penetapan limit secara berkala; c) dokumentasi prosedur dan penetapan limit secara memadai. 3) Penetapan limit risiko sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mencakup: a) limit secara keseluruhan; b) limit per jenis risiko; dan c) limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur Risiko. c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko. 1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko terhadap seluruh faktor-faktor risiko yang bersifat material. Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko sebagaimana dimaksud di atas wajib didukung oleh: a) sistem informasi manajemen yang tepat waktu; b) laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan Bank, kinerja aktivitas fungsional dan eksposur risiko Bank. 2) Pelaksanaan proses identifikasi risiko sekurang-kurangnya dilakukan dengan melakukan analisis terhadap:
32 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
a) karakteristik risiko yang melekat pada bank; dan b) risiko dari produk dan kegiatan usaha bank. 3) Dalam rangka melaksanakan pengukuran risiko, bank wajib sekurangkurangnya melakukan: a) evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko; dan b) penyempurnaan terhadap sistem pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha bank, produk, transaksi dan faktor risiko, yang bersifat material. 4) Dalam rangka melaksanakan pemantauan risiko, bank wajib sekurangkurangnya melakukan: a) evaluasi terhadap eksposur risiko; dan b) penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi, faktor risiko, teknologi informasi dan sistem informasi Manajemen Risiko yang bersifat material. 5) Pelaksanaan proses pengendalian risiko wajib digunakan bank untuk mengelola risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank. Dalam melaksanakan fungsi pengendalian risiko suku bunga, risiko nilai tukar, dan risiko likuiditas, bank sekurang-kurangnya menerapkan Assets and Liabilities Management (ALMA). 6) Sistem informasi manajemen risiko sekurang-kurangnya mencakup laporan atau informasi mengenai: a) eksposur risiko;
33 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
b) kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta penetapan limit sebagaimana dimaksud di atas; c) realisasi pelaksanaan manajemen risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan. 7) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi manajemen risiko wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi. d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh. 1) Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi bank. Pelaksanaan sistem pengendalian intern sekurang-kurangnya mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi. 2) Sistem pengendalian intern wajib memastikan: a) kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan atau ketentuan intern bank; b) tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu; c) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan d) efektivitas budaya risiko (risk culture) pada organisasi bank secara menyeluruh. 3) Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko sekurang-kurangnya mencakup:
34 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
a) kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat risiko yang melekat pada kegiatan usaha bank; b) penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan, prosedur dan limit; c) penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan kerja operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian; d) struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha bank; e) pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu; f) kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku; g) kaji ulang yang efektif, independen dan obyektif terhadap prosedur penilaian operasional bank; h) pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi manajemen; i) dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional, cakupan dan temuan audit, serta tanggapan pengurus bank berdasarkan hasil audit; j) verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap penanganan kelemahan-kelemahan bank yang bersifat
35 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
material
dan
tindakan
pengurus
bank
untuk
memperbaiki
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Agar efektif, proses manajemen risiko yang dilakukan oleh para manajer risiko ditempatkan dalam kerangka kerja sebagai berikut16: a. memahami rantai risiko (The Risk Chain). Dengan Pemahaman ini Satuan Kerja Manajemen Risiko wajib terlebih dahulu melakukan analisa lingkungan untuk menetapkan masalah atau peluang, cakupan dan konteks serta isu (eksternal maupun internal) yang ada hubungannya dengan risiko seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya; b. melakukan analisis terhadap stakeholders (misalnya para deposan, debitur, pemilik saham, masing-masing dengan kepentingan berbeda), misalnya untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan perilaku dari para stakeholder; c. memahami situasi atau peristiwa (events) yang pernah diambil perusahaan (Satuan Kerja) yang dapat mendatangkan kerugian. Khusus dalam mengidentifikasi risiko operasional cara ini lebih praktis dan efisien, dibandingkan langsung mengidentifikasi penyebab terjadinya peristiwa. Sebuah peristiwa akan mudah dilasifikasikan karena keunikannya dan obyektif; d. melakukan penilaian dan pengendalian atas risiko;
16
Robert Tampubolon, op. cit., hal.41.
36 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
e. menyusun tanggapan atas risiko yang ada; f. menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko; g. mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko; h. melakukan pemantauan terhadap risiko dan pengelolaannya;
5. Penerapan Manajemen Risiko Perbankan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 pada tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko untuk Bank Umum, merupakan wujud keseriusan Bank Indonesia dalam masalah manajemen risiko perbankan. Keseriusan tersebut lebih dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/25/PBI/2005 pada bulan Agustus 2005, tentang Sertifikasi Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum, yang mengharuskan seluruh pejabat bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi manajemen risiko yang sesuai dengan tingkat jabatannya. Perbankan
Indonesia
diharuskan
mengembangkan
proses
penerapan
manajemen risiko yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan efektifitasnya. Berdasarkan kedua peraturan tersebut di atas, Bank Indonesia menekankan bahwa perbankan dalam menjalankan bisnis dan pengendalian diperlukan untuk mengatur risiko-risikonya, yaitu mencakup 4 (empat) tahapan proses, yaitu identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian17. Identifikasi risiko merupakan tahapan yang paling awal untuk memahami karakter risiko yang dikandung dalam binis perbankan. Poses identifikasi risiko 17
Rudjito, ”Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Keuangan (Kegunaan Penerapan Risk Management Untuk Perbankan),” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 23 Nomor 3 2004): 18.
37 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
diantaranya dapat dilakukan melalui penelaahan catatan-catatan kerugian yang pernah dialami dari temuan-temuan satuan kerja audit internal18. Pengukuran risiko merupakan aktivitas yang paling banyak yang paling banyak mengkonsumsi sumber daya dalam pengembangan manajemen risiko suatu bank. Kendala yang paling utama adalah metode pengukuran risiko yang mesih terus dikembangkan serta belum teruji dengan baik serta keterbatasan data historis yang dibutuhkan19. Pemantauan risiko dengan memperhatikan indikator dan parameter yang telah ditetapkan. Kegiatan pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa eksposur tiap jenis risiko tidak melebihi limit yang ditetapkan20. Pengendalian risiko merupakan tindak lanjut yang perlu diambil untuk meminimalisasi potensi kerugian yang mungkin terjadi dan sesuai dengan strategik manajemen risiko bank, pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan cara penghindaran, pengalihan, pengelolaan, atau pengabsorban21. Bank Indonesia mengharapkan sebuah bank yang mempunyai kompleksitas tinggi dalam pelaksanaan operasional bisnisnya, seperti memiliki transaksi obligasi, nilai tukar, pinjaman dalam valuta asing dan sekuritisasi, agar mempunyai suatu struktur manajemen risiko yang lebih kompleks dibandingkan dengan sebuah bank yang mempunyai kegiatan usaha yang secara operasional yang relatif sederhana 18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid.
38 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
seperti pinjaman dan simpanan. Oleh karena itu, melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/25/PBI/2004 pada tanggal 22 Oktober 2004 tentang Rencana Bisnis Bank Umum, Bank Indonesia mewajibkan kepada bank-bank di Indonesia untuk menyusun rencananya bisnisnya secara realistis dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi usaha bank-bank tersebut, dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat22. Salah satu rencana bisnis yang harus dibuat adalah mengenai penerapan manajemen risiko. Direksi dan manajemen bank adalah orang yang bertanggung jawab untuk menerapkan suatu kebijakan manajemen risiko yang efektif pada bank yang dipimpinnya. Agar pelaksanaan tugas yang diembannya dapat dilaksanakan dengan baik, maka direksi harus menetapkan23: a. sasaran-sasaran dan kebijakan-kebijakan dari bank; b. kompleksitas dari bisnis yang dikelolanya; dan c. kemampuan bank untuk mengatur bisnisnya. Struktur
manajemen
risiko
mencakup
risiko-risiko perbankan
yang
disyaratkan oleh Bank Indonesia untuk dikelola. Risiko-risiko tersebut adalah sebagai berikut24:
22
Jimmy E. Ellias, “Peranan Manajemen Risiko Strategik dalam Mendukung Good Corporate Governance (Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Keuangan),” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 23 Nomor 3 2004): 53. 23
Ferry N. Idroes dan Sugiarto, Manajemen Risiko Perbankan (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hal. 66. 24
Ibid., hal. 67.
39 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
1.
Risiko Pasar. Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari potofolio yang dimiliki oleh bank yang dapat merugikan bank. Variabel pasar yang dimaksud disini antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar.
2.
Risiko Kredit. Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan debitur dan/atau lawan transaksi (counterparty) dalam memenuhi kewajibannya.
3.
Risiko Operasional. Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, seperti kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya masalah eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
4.
Risiko Likuiditas. Risiko yang antara lain disebabkan bank tidak memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo.
5.
Risiko Hukum. Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan ini antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundangundangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhi syarat sahnya suatu kontrak.
6.
Risiko Reputasi. Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau perspektif negatif terhadap bank.
40 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
7.
Risiko Strategik. Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.
8.
Risiko Kepatuhan. Risiko yang antara lain disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
B. MANAJEMEN RISIKO PENTING DALAM PENERAPAN PRUDENTIAL BANKING PRINCIPLE Lembaga Perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat, karena tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan baik25. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan masyarakat dengan memberikan perlidungan hukum terhadap kepentingan
masyarakat,
terutama
kepentingan
nasabah
dari
bank
yang
bersangkutan26. Hakikat perlindungan hukum yang diberikan bank adalah untuk melindungi kepentingan nasabah bank dari segala bentuk risiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, termasuk kerugian yang diakibatkan karena adanya risiko hukum. Salah satu bentuk perlindungan hukum dari bank kepada nasabahnya adalah
25
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.4, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.
26
Ibid.
132.
41 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
berkaitan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh bank itu sendiri, yaitu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan dengan menerapkan Prinsip Kehati-hatian Perbankan (Prudential Banking Principle). Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perbankan dikemukakan, bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, yakni senantiasa harus konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 29 ayat (2), (3) dan (4) Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 ayat (2): Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Pasal 29 ayat (3): Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Pasal 29 ayat(4): Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
42 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apa pun juga bagi bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Pasal tersebut juga mengandung arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum27. Penerapan prinsip kehati-hatian perbankan tercermin dalam setiap peraturan dan kebijaksanaan perbankan terhadap segala kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, baik peraturan & kebijaksanaan internal bank tersebut maupun yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tugas mengatur dan mengawasi bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menetapkan ketentuanketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, seperti yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yaitu berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 ayat (1): Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.
Pasal tersebut di atas mengandung makna, bahwa Bank Indonesia menetapkan rambu-rambu (ketentuan-ketentuan perbankan) yang memuat prinsip kehati-hatian agar dapat meminimalisasi risiko-risiko yang timbul akibat kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank, dengan memperhatikan kepentingan umum (nasabah) dan
27
Ibid., hal 135.
43 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
rambu-rambu tersebut tidak boleh merugikan semua pihak, baik bank itu sendiri maupun nasabah bank yang bersangkutan. Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh risiko, karena sebagian besar aktivitas bank mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, deposito maupun giro, untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat lagi dalam bentuk kredit. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, karena manajemen setiap bank menuntut pencapaian target yang semakin tinggi setiap guna menghadapi persaingan usaha yang semakin ketat sehingga segala kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank pasti mengandung suatu risiko. Solusi yang dapat dijalankan adalah meminimalisasi setiap risiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Upaya untuk meminimalisasi setiap risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank adalah dengan menerapkan Prinsip Kehati-hatian Perbankan (Prudential Banking Principle). Hal ini juga telah disinggung dalam Pasal 4 ayat 1 Undangundang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, yaitu berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1): Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah salah satu upaya untuk meminimalisasi risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern bank yang bersangkutan.
Pemerintah telah cukup mencurahkan perhatian pada penyempurnaan peraturan-peraturan di bidang perbankan, mulai dari undang-undang hingga peraturan yang sifatnya teknis sudah cukup tersedia, bahkan peraturan yang berhubungan dengan prinsip kehati-hatian seperti yang telah dikemukakan di atas
44 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
juga tampak cukup memadai28, namun tetap saja terdapat kelengahan bank untuk mengelola risiko yang dapat timbul dari segala kegiatannya, terutama di bidang perkreditan sehingga akhirnya mengakibatkan banyak sekali terjadi kredit macet. Kelengahan ini disebabkan banyak sekali bank yang masih mengabaikan pentingnya penerapan prinsip kehati-hatian dengan tidak mengelola risiko-risiko yang mungkin timbul dengan baik dan prudent. Mengingat pentingnya pengelolaan risiko-risiko tersebut, karena adanya perkembangan pesat dalam industri perbankan yang diikuti dengan semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan, maka Bank Indonesia menerbitkan suatu peraturan yang mewajibkan peneraapan manajemen risiko secara efektif, yaitu Pasal 2 ayat (1) tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/ 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Manajemen Risiko (Risk Management) ini wajib diterapkan oleh seluruh bank, yakni dimaksudkan agar seluruh aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank. Pengelolaan risiko bagi seluruh kegiatan usaha bank harus sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu sistem manajemen risiko yang baik, akurat dan komprehensif, dalam rangka mewujudkan sistem prinsip kehati-hatian perbankan yang benar-benar prudent dan berkesinambungan.
28
Mulhadi, “Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle) dalam Kerangka Undangundang Perbankan Indonesia,” (USU Repository, Medan, 2006), hal. 5.
45 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
C. PEDOMAN KEBIJAKSANAAN PERKREDITAN Untuk memperoleh kredit bank seorang Debitur harus melalui beberapa tahapan, yaitu dari tahap pengajuan pengajuan kredit sampai dengan tahap penerimaan kredit. Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses baku yang berlaku bagi setiap Debitur yang membutuhkan kredit. Proses pemberian kredit oleh suatu bank dengan bank lain tak jauh berbeda, walaupun ada perbedaan hanya terletak pada persyaratan dan ukuran penilaian yang ditetapkan
oleh
bank
dengan
pertimbangan
masing-masing
dengan
tetap
memperhitungkan unsur persaingan atau kompetisi29. Proses pemberian kredit dalam suatu bank harus sesuai dan tidak boleh bertentangan
dengan
Surat
Keputusan
Direksi
Bank
Indonesia
Nomor
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan perkreditan Bank Bagi Bank Umum beserta lampirannya berupa Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan perkreditan Bank Indonesia (PPKPB). Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menetapkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Faktor penting yang harus diperhatikan untuk mengurangi risiko tersebut adalah keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Keyakinan tersebut di atas diperoleh dengan cara sebelum memberikan kredit bank
29
Hermansyah, op. cit., hal. 68.
46 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
harus memberikan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur. PPKPB menetapkan Kebijaksanaan Perkreditan Bank sekurang-kurangnya harus meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Prinsip Kehati-hatian dalam Perkreditan Setiap bank harus menetapkan dengan jelas mengenai adanya prinsip kehatihatian dalam perkreditan, yang sekurang-kurangnya harus meliputi kebijakan pokok perkreditan, tata cara penilaian kualitas kredit dan profesionalisme serta integritas pejabat perkreditan. Kebijaksanaan pokok perkreditan tersebut harus menetapkan pokok-pokok pengaturan mengenai tata cara pemberian kredit yang sehat, pokok-pokok pengaturan pemberian kredit kepada pihak yang terkait dengan bank dan debiturdebitur besar tertentu, kredityang mengandung risiko tinggi serta kredit yang perlu dihindari. Pokok-pokok pengaturan mengenai tata cara pemerian kredit yang sehat adalah meliputi: a. prosedur perkreditan yang sehat, termasuk prosedur persetujuan kredit, prosedur dikumentasi dan administrasi kredit serta prosedur pengawasan kredit, b. kredit yang perlu mendapat perhatian khusus, c. perlakuan terhadap kredit yang tunggakan bunganya dikapitalisasi (kredit yang diplafondering),
47 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
d. prosedur penyelesaian kredit bermasalah dan prosedur penghapusbukuan kredit macet serta tata cara pelaporan kredit macet, e. tata cara penyelesaian barang agunan kredit yang telah dikuasai bank yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Pokok-pokok pengaturan mengenai pemberian kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan/atau debitur-debitur besar tertentu yang sekurangkurangnya mencakup: a. batasan jumlah maksimum penyediaan keseluruhan fasilitas kredit yang akan diberikan oleh bank sendiri kepada pihak-pihak tersebut di atas dalam angka prosentase terhadap jumlah keseluruhan kredit dan jumlah bank berdasarkan perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bank, b. tata cara penyediaan kredit kepada pihak-pihak tersebut di atas yang akan disindikasikan, dikonsorsiumkan dan dibagi risikonya (risk sharing) dengan bank-bank lain, c. persyaratan kredit kepada pihak-pihak tersebut di atas khususnya mengenai perbandingan suku bunga kredit dengan yang ditetapkan terhadap debiturdebitur lainnya serta bentuk dan jenis agunan, d. kebijaksanaan bank dalam pemberian kredit kepada pihak-pihak tersebut di atas dalam kaitannya dengan ketentuan perkreditan, khusunya ketentuan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK). Dalam pemberian kredit, bank wajib memperhatikan hal-hal sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun
48 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 ayat (1): Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan. Pasal 8 ayat (2): Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) di atas merupakan dasar atau landasan bagi bank dalam menyalurkan kreditnya kepada nasabah debitur, bahkan selain itu, karena pemberian kredit merupakan salah satu fungsi utama bank, maka dalam ketentuan tersebut juga mengandung dan menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan30. Untuk mencegah kredit bermasalah dikemudian hari, dalam Kebijaksanaan Perkreditan Bank harus ditetapkan bahwa penilaian kualitas kredit harus didasarkan pada suatu tata cara yang bertujuan untuk memastikan bahwa hasil penilaian kolektibilitas kredit yang dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan yang ditatapkan oleh Bank Indonesia. Adapun penilaian bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit harus berpedoman kepada prinsipprinsip kredit yang lebih dikenal dengan sebutan 5C’s, yaitu meliputi31: a. Character.
30
Ibid., hal. 63
31
Ibid., hal. 64
49 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Calon debitur memiliki watak, moral dan sifat-sifat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas dan kemauan dari calon debitur untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha dan informasi dari usaha-usaha sejenis lainnya. b. Capacity. Kapasitas adalah kemampuan calon nasabah debitur untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya akan dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan yang menjamin bahwa ia mampu melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan. Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian terhadap keadaan neraca, laporan rugi laba dan arus kas (cash flow) usaha dari beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini, tentu dapat diketahui pule mengenai tingkat solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas usaha serta tingkat risikonya. Pada umumnya untuk menilai kapasitas seseorang didasarkan pada pengalamannya dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan calon debitur, serta kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam menghadapi persaingan usaha. c. Capital. Bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada
50 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
bagaimana distribusi modal ditempatkan oleh pemohon kredit sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif. d. Collateral. Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman (back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya debitur di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit, baik pokok maupun bunganya. e. Condition of Economic. Bahwa dalam pemberian kredit, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha calon debitur perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil risiko yang mungkin tyerjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.
2. Organisasi dan Manajemen Perkreditan Demi lebih mendukung pemberian kredit yang sehat dan telah mengandung undur pengendalian intern mulai tahap awal proses kegiatan perkreditan, maka disamping keterkaitan pejabat-pejabat bank dalam perkreditan seperti Dewan Komisaris, Direksi dan pejabat perkreditan lainnya dan/atau satuan-satuan kerja dalam organisasi bank, setiap bank wajib memiliki Komite Kebijaksanaan Perkreditan (KKP) dan Komite Kredit (KK). Bank wajib memiliki KKP yang merupakan komite yang memantau Direksi bank dalam merumuskan kebijaksanaan, mengawasi jalannya kebijaksanaan,
51 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
memantau perkembangan dan kondisi portofolio perkreditan serta memberi saransaran langkah perbaikan. Selain itu bank wajib memiliki sekurang-kurangnya KK pada kantor pusat bank yang merupakan komite operasional yang membantu direksi dalam mengevaluasi dan/atau memutuskan permohonan kredit untuk jumlah dan jenis kredit yang ditetapkan oleh direksi. Komite kredit memiliki tugas sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut: a. memberikan persetujuan atau penolakan kredit sesuai dengan batas wewenang atau jenis kredit yang ditetapkan oleh direksi; b. melakukan koordinasi dengan Asset and Liabilities Commitee (ALCO) dalam aspek pendanaan perkreditan. Dalam hal ALCO belum ada, maka KK yang harus melakukan evaluasi atas aspek pendanaan kredit tersebut dan secara berkala melaporkan secara berkala kepada direksi. Komite Kredit (KK) memiliki tanggung jawab sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. melaksanakan tugasnya terutama dalam kaitannya dengan pemberian persetujuan kredit berdasarkan kemahiran profesionalnya secara jujur, obyektif, cermat dan seksama; b. menolak permintaan dan/atau pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit untuk memberika persetujuan kredit yang hanya bersifat formalitas. Direksi bank dapat menetapkan bentuk, cakupan tugas dan kewenangan Satuan Kerja Perkreditan (SKP) sesuai kebutuhan masing-masing bank. Sehubungan
52 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
dengan hal ini, setiap pejabat dan pegawai dari SKP dimaksud sekurang-kurangnya wajib: a. mentaati semua ketentuan yang ditetapkan dalam KPB; b. melaksanakan tugasnya dengan jujur, obyektif, cermat dan seksama; c. menghindarkan diri daripengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit yang dapat merugikan bank.
3. Kebijaksanaan Persetujuan Kredit Kebijaksanaan
Perkreditan
bank
juga
harus
memuat
kebijaksanaan
persetujuan kredit yang sekurang-kurangnya mencakup konsep hubungan total pemohon kredit, penetapan batas wewenang kredit, tanggung jawab pejabat pemutus kredit, perjanjian kredit dan persetujuan pencairan kredit. Persetujuan pemberian kredit tidak boleh didasarkan semata-mata atas pertimbangan permohonan untuk 1 (satu) transaksi kredit dari pemohon, namun harus atas dasar penilaian seluruh kredit dari pemohon kredit yang telah diberikan dan/atau akan diberikan secara bersamaan oleh bank atau yang dikenal dengan konsep hubungan total pemohon kredit (total relationship concept). Pengertian pemohon kredit tersebut juga meliputi seluruh perusahan maupun perorangan yang terkait dengan pemohon kredit yang telah mendapat fasilitas kredit atau akan diberikan kredit secara bersamaan oleh bank. Persetujuan kredit atas dasar konsep hubungan total pemohon kredit sebagaimana dimaksud di atas, harus tercermin dalam analisis kredit.
53 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Pengaturan batas wewenang persetujuan kredit dalam KPB harus memuat mengenai dasar pertimbangan dan kriteria pengaturan batas wewenang persetujuan kredit. Penetapan batas wewenang tersebut, bagi setiap pejabat harus dituangkan secara tertulis dalam keputusan direksi, minimal memuat jumlah kredit dan pejabat yang ditunjuk. Setiap pemberian kredit harus memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang memutus kredit dan setiap persetujuan kredit harus dilakukan secara tertulis. Proses persetujuan kredit sebagaimana diterangkan di atas, sesuai dengan Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan perkreditan Bank Bagi Bank Umum beserta lampirannya berupa Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan perkreditan Bank Indonesia (PPKPB), atau yang lebih dikenal dengan sebutan proses pemberian kredit sekurang-kurangnya meliputi tahap-tahap sebagai berikut: a. Permohonan Kredit. Penilaian permohonan kredit harus memperhatikan beberapa prinsip-prinsip pokok, yaitu: 1) bank hanya memberikan kredit apabila permohonan kredit diajukan secara tertulis, baik untuk kredit baru, perpanjangan jangka waktu, penambahan kredit maupun permohonan perubahan persyaratan kredit, 2) permohonan tersebut harus memuat informasi yang lengkap dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank termasuk riwayat perkreditannya di bank lain,
54 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
3) bank juga harus memastikan kebenaran data dan informasi yang disampaikan dalam permohonan kredit. Proses penyaluran kredit dimulai dari masuknya permohonan kredit ke bank. Pada saat calon debitur mengajukan permohonan kredit, mulai dilakukan kegiatan identifikasi terhadap calon debitur tersebut, dengan proses sebagai berikut: 1) Inisiasi, yaitu merupakan tahap awal untuk menentukan siapa subyek hukum dan dalam industri seperti apa yang akan diberikan kredit (Target Market). 2) Pengumpulan Data (Collecting Data), yaitu pengumpulan data-data penting dari calon debitur yang meliputi data-data sebagai berikut:
a) Data Legalitas Jenis Dokumen
Perorangan
Perusahaan
Fotokopi Indentitas Diri (umumnya KTP)
Suami dan Isteri (untuk yang telah menikah)
Susunan pengurus dan Pengawas
Fotokopi NPWP
V
V
Fotokopi Kartu Keluarga
V
-
Fotokopi Akta Nikah (Akta Perceraian) Fotokopi Perjanjian Kawin (Pisah Harta)
V (Khusus bagi yang telah menikah atau bercerai) V (Khusus bagi menikah dengan memakai Perjanjian Kawin)
Fotokopi Akta Pendirian Perusahaan dan perubahannya Fotokopi SIUP/TDP/SKDP (SITU)
-
-
-
V
-
V
55 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
b) Data Keuangan Jenis Dokumen
Perorangan
Perusahaan
Surat Keterangan Kerja dan Penghasilan (Slip Gaji)
V
-
V (Tabungan ataupun Giro, khusus untuk pengusaha)
V (Rekening Giro)
Fotokopi Rekening Koran (umumnya 3-6 bulan terakhir) Laporan Keuangan (umumnya minimal 2 tahun terakhir)
V (In-House atau Audited)
-
c) Data Jaminan (Agunan) Dokumen-dokumen yang harus diberikan kepada bank pada saat pengajuan kredit dapat dilihat dari tabel di bawah ini32: Jenis Agunan
Dokumen Jaminan
Uang Tunai/Setoran Jaminan
Tidak ada dokumen yang harus dilengkapi (diberikan kepada bank pada saat pengikatan kredit) Tidak ada dokumen yang harus dilengkapi (diberikan kepada bank pada saat akad kredit)
Logam Mulia Deposito Berjangka /Sertipikat Deposito Bank Garansi / Standby Letter of Credit (L/C)
Tanah dan/atau Bangunan
32
Fotokopi Bilyet / Sertipikat Deposito Surat persetujuan dari bank penerbit (bank penjamin) yang menyatakan kesediaan mereka untuk menerbitkan surat jaminan tersebut sampai suatu jumlah tertentu - Fotokopi Sertipikat Tanah - Fotokopi Akta Jual Beli (bila tanah yang akan dijaminkan sudah atas nama calon debitur (atau penjamin)). - Fotokopi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Denah Bangunan .yang merupakan lampiran IMB - Fotokopi Surat Perjanjian Jual Beli atau PPJB (bila tanah dan/atau bangunan yang dijaminkanbaru akan dibeli dari pengembang (developer). - Fotokopi Rencana Anggaran Bangunan atau
Jopie Jusuf, Kiat Jitu Memperoleh Kredit Bank, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003),
hal. 127.
56 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
RAB, jika pengajuan kredit adalah untuk pembangunan rumah.
Kendaraan Bermotor
Mesin-mesin dan Peralatan Persediaan Barang (Inventory) Piutang Dagang Saham Personal atau Corporate Guarantee
- Fotokopi Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB). - Fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Fotokopi Faktur Pembelian dan pelengkapnya (packing list, Bill of Lading, dan lain sebagainya) Daftar jenis dan nilai persediaan barang yang akan dijaminkan Daftar konsumen peminjam dan nilai piutang yang akan dijaminkan Tidak ada dokumen yang harus dilengkapi (diberikan kepada bank pada saat pengikatan kredit) Tidak ada dokumen yang harus dilengkapi (diberikan kepada bank pada saat pengikatan kredit)
Sebagai catatan bahwa dokumen-dokumen asli jaminan tersebut di atas, harus diserahkan pada saat pengikatan kredit, jika kreditnya disetujui. d) Data Tambahan, seperti BI Checking, Trade Checking dan Bank Checking. 3) Penelitian Berkas (Data) Kredit, yaitu penelitian secara detail yang dilakukan oleh bank terhadap berkas aplikasi kredit yang diajukan calon debitur. Apabila dari hasil penelitian yang dilakukan itu, bank berpendapat bahwa berkas aplikasi tersebut telah lengkap dan memenuhi syarat, maka bank akan melakukan tahap berikutnya. 4) Solisitasi (Check on The Spot), yaitu melakukan kunjungan ke calon debitur untuk mendapatkan informasi dan data-data guna mengetahui profil dari calon debitur supaya dapat lebih mengenali karakternya. 5) Penilaian Jaminan, yaitu penilaian yang dilakukan terhadap jaminan (agunan), baik secara internal bank ataupun melalui Perusahaan Penilai
57 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Independen, untuk mendapatkan Nilai Taksasi dan Nilai Likuidasi atas jaminan tersebut dengan berdasarkan harga pasar pada saat itu. b. Analisis Kredit Proses selanjutnya adalah melakukan analisis kredit berdasarkan datadata yang telah terkumpul. Setiap permohonan kredit yang telah memenuhi syarat harus dilakukan analisis kredit secara tertulis. Bentuk, format dan kedalaman analisis kredit ditetapkan oleh bank yang disesuaikan dengan jumlah dan jenis kredit. Analisis kredit harus menggambarkan konsep hubungan total pemohon kredit, yakni apabila pemohon telah mendapat fasilitas kredit dari bank atau dalam waktu bersamaan mengajukan permohonan kredit lainnya kepada bank. Analisis kredit harus dibuat secara lengkap, akurat dan obyektif yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) menggambarkan semua informasi yang berkaitan dengan usaha dan data pemohon termasuk hasil penelitian pada daftar kredit macet, 2) penilaian atas kelayakan jumlah permohonan kredit dengan proyek atau kegiata usaha yang akan dibiayai, dengan sasaran menghindari kemungkinan terjadinya praktek mark up yang dapat merugikan bank, 3) menyajikan penilaian yang obyektif dan tidak dipengaruhi oleh pihakpihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit dan analisis kredit tidak boleh merupakan suatu formalitas yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi prosedur perkreditan.
58 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Analisis kredit sekurang-kurangnya harus mencakup penilaian atas watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur atau yang lebih dikenal dengan sebutan 5C’s dan penilaian terhadap sumber pelunasan kredit yang dititikberatkan pada hasil usaha yang dilakukan pemohon serta menyajikan evaluasi aspek yuridis perkreditan dengan tujuan untuk melindungi bank atas risiko yang mungkin timbul. Pedoman 5C’s tersebut, telah diuraikan secara lebih jelas dalam tata cara penilaian kualitas kredit sehubungan dengan penerapan perinsip kehati-hatian dalam perkreditan di atas. Pada proses analisis data ini, sehubungan dengan adanya risiko hukum yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan ini, maka diperlukan analisa yuridis yang dibuat oleh bagian legal (Legal Officer) untuk menganalisa segala aspek hukum yang berkaitan dengan data legalitas, data usaha dan data agunan dari calon debitur. c. Rekomendasi Persetujuan Kredit. Rekomendasi persetujuan kredit harus disusun secara tertulis berdasarkan hasil analisis kredit yang telah dilakukan dan isi rekomendasi tersebut harus sejalan dengan kesimpulan analisis kredit. Kemauan dan kemampuan dari calon debitur untuk memenuhi kewajiban kredit, merupakan hal yang ingin diketahui oleh bank saat melakukan analisis kredit. Jika kemauan (willingness) menunjukkan itikad baik dari calon debitur untuk memenuhi kewajiban kredit, maka kemampuan (ability) mencerminkan
59 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
kapasitas debitur untuk menghasilkan dana tunai yang cukup untuk memenuhi kewajiban kredit. Secara umum, isi suatu rekomendasi persetujuan kredit atau dalam praktek perkreditan lebih dikenal dengan sebutan proposal kredit, dapat diringkas sebagai berikut33: Bagian Ringkasan Eksekutif Identitas Gambaran Umum Kondisi Keuangan Analisis Industri Rencana Bisnis Struktur Keuangan Analisis Proyeksi Jaminan Kredit Lampiran
Keterangan Isi Bagian ini merupakan kondensasi seluruh isi proposal kredit. Memberikan informasi mengenai nama, alamat, telepon, faks, e-mail, situs dan nama orang yang bisa dihubungi. Uraian detail mengenai perusahaan, baik dari sisi legal, filosofi, pengurus, bisnis yang ditekuni dan lain-lain. Uraian dan analisis tentang situasi keuangan perusahaan dalam kurun waktu beberapa tahun. Analisis tentang industri yang ditekuni calon debitur, baik saat ini maupun prospek masa depan Inisiatif-inisiatif yang diimplementasikan oleh perusahaan untuk masa depan, termasuk di dalamnya investasi yang dibutuhkan Uraian detail tentang struktur keuangan atau pembiayaan yang dibutuhkan, termasuk pengajuan pinjaman Gambaran situasi keuangan perusahaan di masa yang akan datang, berikut juga proyeksi cash flow yang akan dimanfaatkan untuk pelunasan pinjaman. Uraian detail mengenai aktiva yang akan dijaminkan ke bank sehubungan dengan permohonan kredit yang dilakukan Tambahan dan kelengkapan informasi yang merupakan kesatuan dari proposal kredit, termasuk di dalamnya dokumendokumen yang dibutuhkan untuk pengajuan kredit.
d. Pemberian Persetujuan Kredit. Setelah proposal kredit selesai dibuat, kemudian diajukan kepada Pejabat Pemegang Batas Wewenang Memutuskan Kredit (BWMK) untuk dinilai dan diputuskan kelayakan kredit tersebut. Setiap pemberian persetujuan kredit harus memperhatikan analisis dan rekomendasi persetujuan
33
Ibid., hal. 191.
60 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
kredit (proposal kredit). Setiap keputusan yang berbeda dengan isi rekomendasi harus dijelaskan secara tertulis. Terdapat 2 (dua) kemungkinan keputusan kredit, yaitu pengajuan kredit ditolak atau diterima. Apabila ternyata ditolak, akan dibuat Surat Pemberitahuan Penolakan Kredit untuk diserahkan kepada calon debitur dan proses kredit berhenti sampai pada tahap ini saja. Apabila proposal kredit dinilai layak untuk dibiayai, Pejabat Pemegang BWMK akan menyetujui proposal tersebut dan dibuatlah Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK), untuk diserahkan kepada calon debitur. Biasanya, selain menerima SPPK tadi, calon debitur pun diminta untuk segera melengkapi berbagai dokumen yang dibutuhkan dalam rangka realisasi permohonan kredit yang disetujui, seperti dokumen jaminan yang asli dan dokumen pendukung lainnya. e. Perjanjian Kredit. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit, wajib untuk dituangkan dalam Perjanjian Kredit (akad kredit) secara tertulis. Bentuk dan format perjanjian kredit ditetapkan oleh masing-masing bank, namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank, 2) memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud.
61 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Perjanjian kredit tersebut di atas umumnya diikuti dengan perjanjian pengikatan agunan. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah accessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada calon debitur. Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Dalam perjanjian baku, pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar dan jika debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut. Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengolahan dan penatalaksanaan kredit tersebut34. Berkaitan dengan itu, menurut Ch.Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai fungsifungsi sebagai berikut: -
perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok,
-
perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur,
-
perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
34
Hermansyah, op. cit., hal. 72.
62 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Perjanjian yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Kredit (Accesoir), misalnya mengenai pemberian kuasa kepada bank untuk menjual agunan apabila kredit bermasalah (wanprestasi), pemasangan Hak Tanggungan untuk jaminan tanah dan/atau bangunan, pengalihan hak tagihan, dan sebagainya. f. Pencairan Kredit. Proses persetujuan pencairan kredit dilakukan setelah proses perjanjian kredit dan pengikatan jaminan selesai dilakukan dan telah dipenuhinya
syarat-syarat
pencairan
sesuai
yang
ditetapkan
dalam
Persetujuan dan Pencairan Kredit oleh pemohon kredit. Sebelum pencairan kredit dilakukan, bank harus memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.
4. Dokumentasi dan Administrasi Kredit Dokumentasi kredit merupakan salah satu aspek penting yang dapat menjamin pengembalian kredit, oleh karenanya bank wajib melaksanakan dokumentasi kredit yang baik dan tertib. Bank harus menetapkan jenis-jenis dokumen yang diperlukan sesuai dengan jenis kredit yang diberikan. Dokumendokumen kredit tersebut harus disimpan dengan aman dan tertib, dengan cara setiap
penggunaan
dan
pengambilan
dokumen
kredit
penyimpanannya harus mengandung unsur pengawasan ganda.
63 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
dari
tempat
Bank juga harus memastikan keabsahan dan dipenuhinya persyaratan hukum atas setiap dokumen kredit yang akan diterbitkan oleh bank atau yang diterima dari pemohon kredit. Selain itu, bank juga perlu mengatur administrasi perkreditannya dengan baik dan tertib. Seluruh kredit yang diberikan oleh bank, harus dicatat dan dibukukan secara benar, lengkap dan akurat. Pengadministrasian kredit dalam suatu bank harus mengandung unsur pengendalian intern dan minimal harus memuat tata cara pengadministrasian sebagai berikut: a. penetapan pejabat dan/atau satuan kerja yang bertanggung jawab dalam pengadminitrasian kredit; b. jenis-jenis dokumen yang wajib ditatausahakan; c. tatacara penatausahaannya; d. tatacara penyusunan statistik perkreditan.
5. Pengawasan Kredit Mengingat perkreditan merupakan salah satu kegiatan usaha bank yang mengandung kerawanan yang dapat merugikan bank, bahkan kerugian tersebut dapat pula berpengaruh pada kepentingan masyarakat penyimpan dana dan pengguna jasa perbankan,
maka setiap bank wajib menerapkan dan
melaksanakan fungsi pengawasan kredit yang bersifat menyeluruh, dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
64 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
a. fungsi pengawasan kredit harus diawali dari upaya yang bersifat pencegahan sedini mungkin terhadap terjadinya hal-hal yang dapat merugikan bank dalam perkreditan atau terjadinya praktek pemberian kredit tidak sehat; b. pengawasan kredit juga harus meliputi pengawasan sehari-hari oleh manajemen bank atas setiap pelaksanaan pemberian kredit atau yang lazim dikenal dengan istilah pengawasan melekat; c. pengawasan kredit juga meliputi audit intern terhadap semua aspek perkreditan yang dilakukan Satuan Kerja Audit Internal (SKAI). Proses pengawasan kredit merupakan proses pementauan terhadap kreditkredit yang telah cair, yaitu meliputi monitoring kredit yang telah lunas, monitoring perpanjangan kredit dan monitoring kredit bermasalah. Adapun aktivitas yang dilakukan dalam proses monitoring adalah sebagai berikut: a. pemantauan terhadap usaha debitur dengan cara meninjau ke tempat usaha debitur (check on the spot); b. pemantauan terhadap rekening koran untuk melihat aktivitas transaksi usaha debitur dan mengetahui kelancaran pembayaran angsuran pinjaman; c. pemantauan terhadap pelaksanaan term and condition oleh debitur yang terdapat dalam Perjanjian Kredit; d. pemantauan arus dana atau pengalokasian dana terhadap kredit yang dicairkan, apakah sesuai dengan tujuan pemberian kredit atau tidak; e. pemantauan terhadap kondisi industri yang menjadi usaha debitur;
65 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
f. pemantauan terhadap kebijakan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, apakah ada perubahan atau muncul peraturan baru atapun dihapuskan.
6. Penyelesaian Kredit Bermasalah Setiap bank tidak mengharapkan terjadinya kredit bermasalah dan dengan ditetapkannya Kebijaksanaan Perkreditan bank (KPB) secara konsekuen dan konsisten diharapkan dapat mencegah terjadinya kredit bermasalah, namun demikian seluruh pejabat bank yang terkait di bidang perkreditan harus memiliki persepsi yang sama dalam menangani kredit bermasalah, yaitu dengan pendekatan sebagai berikut: a. bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit bermasalah; b. bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit bermasalah; c. penanganan kredit bermasalah juga harus dilakukan secara dini; d. bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah
plafond
kredit
atau
tunggakan-tunggakan
bunga
dan
mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut (plafondering kredit); e. bank tidak melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya kepada pihak yang terkait dengan bank atau debitur-debitur besar tertentu.
66 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
D. MANAJEMEN
RISIKO
HUKUM
DI
BIDANG
PERKREDITAN
PERBANKAN 1. Risiko Hukum dalam Proses Persetujuan Kredit Risiko Hukum (Legal Risk) adalah risiko yang berasal dari ketidakpastian tindakan
hukum
atau
ketidakpastian
dalam
menginterpretasikan
atau
mengaplikasikan kontrak, hukum atau peraturan35. Risiko hukum juga berkaitan dengan kemungkinan munculnya upaya hukum oleh pihak tertentu kepada perusahaan yang dapat mengancam kesehatan, bahkan kelangsungan perusahaan36. Identifikasi risiko merupakan tahap awal untuk memahami bentuk-bentuk dan karakter risiko hukum yang terdapat dalam proses persetujuan pemberian kredit perbankan. Pada umumnya, berdasarkan pengalaman dan penelaahan catatan-catatan hasil temuan satuan kerja audit internal suatu bank, risiko hukum dalam proses persetujuan pemberian kredit dikategorikan ke dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: a. risiko hukum yang dapat diidentifikasikan, diukur dan bahkan dapat dipersiapkan bentuk pengendaliannya sejak tahap awal proses pemberian kredit dilakukan; dan b. risiko hukum yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya, bahkan sejak awal risiko tersebut tidak dianggap sebagai suatu bentuk risiko hukum, yang harus diwaspadai, sehingga di kemudian hari bisa menimbulkan efek kerugian (potensial loss) yang cukup besar, baik secara materiil maupun yang berkaitan dengan reputasi bank.
35
Idroes, op. cit., hal. 140.
36
Bramantyo Djohanputro, Manajemen Resiko Korporat, (Jakarta: PPM, 2008), hal. 168.
67 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Potensial Loss secara materiil yang dimaksud adalah kerugian yang akan diderita bank jika kredit bermasalah (non-performing loan) sudah dalam status hapus buku, dimana kerugian tersebut telah diakui. Meskipun masih ada usaha penagihan, tetapi hasil yang didapat melalui penagihan tersebut belum tentu maksimal dan tidak bisa seutuhnya mengembalikan dana kredit yang telah disalurkan. Kerugian materiil yang diperhitungkan di sini adalah kerugian yang menimbulkan status defisit bagi bank dan akibat yang paling ekstrim adalah kerugian tersebut akan memakan porsi modal bank. Hal ekstrim tersebut dapat terjadi apabila kondisi non-performing loan yang ada di bank tidak segera diantisipasi dengan baik, terutama antisipasi terhadap risiko hukum dalam proses pemberian kredit. Bentuk risiko-risiko hukum yang tidak bisa diperkirakan sejak awal proses pemberian kredit, antara lain adalah: a. risiko-risiko hukum yang dianggap tidak dominan, tetapi sangat berpotensi untuk terjadi di kemudian hari, seperti misalnya mengenai adanya kebijakan internal bahwa seluruh fotokopi dokumen yang berkaitan dengan legalitas usaha debitur harus disesuaikan dengan dokumen aslinya dan wajib distempel “sesuai asli”, tetapi dalam praktek kebijakan tersebut sering diabaikan dan yang sering terjadi adalah dokumen legalitas debitur langsung distempel “sesuai asli” tanpa diperiksa lagi keabsahannya; b. selain itu risiko hukum juga masih dapat terjadi, walaupun dokumendokumen yang sudah sempurna baik fisik maupun bentuk pengikatannya, biasanya berkaitan dengan masalah perubahan peraturan hukum yang berlaku (regulasi).
68 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Secara riil dalam praktek, berikut ini akan dijelaskan mengenai bentukbentuk risiko hukum pada masing-masing tahap dalam Proses Persetujuan Pemberian Kredit Perbankan, sesuai dengan alur proses kredit yang secara nyata dilakukan oleh salah satu bank swasta nasional di Indonesia, yaitu sebagai berikut: a. Risiko Hukum dalam Permohonan Kredit. 1) Inisiasi: Risiko hukum yang berkaitan dengan subyek hukum yang menjadi target market pemberian kredit, misalnya seperti;
tidak adanya persetujuan (izin) istri atau suami terhadap pengajuan kredit oleh calon debitur perorangan,
calon debitur yang masih berstatus badan usaha sedang melakukan peralihan statusnya menjadi badan hukum pada saat pengajuan kredit, misalnya perseroan terbatas yang belum disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjadi badan hukum, akan menjadi suatu risiko hukum bagi bank berkaitan dengan siapa pihak yang berwenang mewakili perseroan untuk menandatangani perjanjian kredit.
2) Pengumpulan dan penelitian dokumen kredit: Risiko hukum yang berkenaan dengan tidak dilakukannya pengumpulan dan penelitian dokumen atau data kredit secara baik dan kurang mendetail, terutama menyangkut keabsahan dokumen legalitas dan dokumen agunan, misalnya seperti;
data yang berkaitan dengan identitas calon debitur seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Nikah atau Akta Perceraian dan Perjanjian Kawin, serta
69 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
data legalitas usaha, seperti Akta Pendirian, SIUP, TDP, dan lain-lain, tidak dianalisa dengan baik, padahal ada perbedaan data satu sama lain. Misalnya ada perbedaan tanda tangan ataupun nama antara KTP dengan NPWP dan akta pendirian;
apabila jangka waktu Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) akan segera berakhir, tetapi karena tidak dilakukan pemeriksaan secara detail, dapat menjadi suatu risiko jika ternyata jangka waktu kredit lebih panjang dari jangka waktu brakhirnya SHGB;
apabila bangunan yang akan dijaminkan masih dalam keadaan disewakan kepada pihak lain, tetapi penyewa tidak mengetahui adanya pengajuan kredit dari pihak yang menyewakan (calon debitur) dengan menjaminkan tanah berikut bangunan yang sedang disewanya atau bahkan sebelumnya telah dibuat perjanjian sewa-menyewa tersendiri antara calon debitur dengan pihak penyewa, yang memuat klausul bahwa setiap tindakan pengalihan dan pengagunan obyek sewa-menyewa harus atas persetujuan pihak penyewa.
3) Solisitasi (Check on The Spot): Risiko hukum dapat terjadi apabila data-data dan informasi yang didapat dari hasil kunjungan ke calon debitur, tidak dituangkan menjadi data dan informasi yang sebenar-benarnya. 4) Penilaian Jaminan: Terjadinya risiko hukum berkaitan dengan data agunan, antara lain berupa sertipikat dan IMB, yaitu misalnya:
70 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
apabila pada saat dilakukan penilaian (appraisal), baru diketahui ternyata posisi bangunan terletak di antara 2 (dua) bidang tanah yang memiliki 2 (dua) sertipikat yang berbeda, sedangkan calon debitur hanya akan mengagunkan 1 (satu) sertipikat saja, sementara sertipikat lainnya masih atas nama orang lain;
apabila pada saat dilakukan penilaian (appraisal), baru diketahui terdapat adanya perbedaan luas bangunan yang tercantum dalam IMB dengan luas bangunan sesuai fisik, sedangkan dokumen IMB yang dilampirkan adalah IMB yang lama dan belum tercantum adalah penambahan atau pengurangan luas bangunan;
b. Risiko Hukum dalam Proses Analisis Kredit. Pada tahap ini, risiko hukum yang paling mungkin terjadi, berkaitan dengan 2 (dua) aspek, yaitu pertama berkenaan dengan kurang mendalamnya analisis yuridis yang dilakukan oleh pegawai bank terkait, biasanya oleh legal officer dan yang kedua berkaitan dengan tindakan fraud yang dilakukan oleh pegawai bank, baik secara sendiri maupun bekerjasama dengan calon debitur, dengan cara melakukan mark up data-data dan memanipulasi informasi dalam analisis kredit. c. Risiko Hukum dalam Rekomendasi Persetujuan Kredit. Risiko hukum yang dapat terjadi dalam rekomendasi persetujuan kredit atau juga lebih dikenal dengan proposal kredit, dikarenakan rekomendasi kredit yang diberikan tidak sejalan dengan kesimpulan analisis kredit yang disebabkan adanya penilaian subyektif yang dilakukan pejabat pemberi rekomendasi, yakni karena adanya kepentingan terkait dengan pemohon kredit.
71 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
d. Risiko Hukum dalam Persetujuan Kredit. Risiko hukum dalam proses pemberian persetujuan kredit berhubungan dengan proses sebelumnya, yaitu apabila keputusan pemberian persetujuan kredit yang diberikan berbeda dengan isi rekomendasi persetujuan kredit, tetapi tidak dituangkan secara tertulis dengan bahasa yang jelas atau memuat bahasa yang bermakna kurang jelas sehingga menimbulkan kerancuan. e. Risiko Hukum dalam Perjanjian Kredit. Risiko hukum dalam proses penandatanganan perjanjian kredit (akad kredit) terdiri dari 2 (dua) aspek, yaitu risiko hukum yang terdapat dalam proses akad kredit itu sendiri dan risiko hukum dalam proses pengikatan jaminan. Beberapa dari risiko hukum yang mungkin terjadi dalam 2 (dua) aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1) Proses Akad Kredit. Risiko yang hukum yang dapat terjadi dalam proses akad kredit atau penandatangan perjanjian kredit, misalnya seperti;
pada saat pengikatan telah dilakukan, ternyata dalam Perjanjian Kredit terdapat klausul-klausul yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata, baik itu merupakan syarat subyektif maupun syarat obyektif;
72 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
pada saat yang bersamaan dengan pengikatan kredit, terjadi perubahan struktur organisasi atau manajemen dari perusahaan calon debitur, sehingga menyebabkan berubahnya pihak yang berwenang untuk mewakili perusahaan untuk menandatangani perjanjian kredit.
2) Proses Pengikatan Jaminan. Risiko hukum yang dapat terjadi dalam proses pengikatan agunan, misalnya seperti:
pengikatan jaminan telah dilakukan dengan sempurna, tetapi di kemudian hari baru diketahui bahwa obyek jaminan masih dalam sengketa, yaitu misalnya karena; - jual beli yang dilakukan belum terang dan tunai antara pihak penjual dengan pembeli (calon debitur), meskipun Akta Jual Beli (AJB) telah ditandatangani oleh kedua pihak; - agunan berupa tanah dan bangunan yang sedang disewakan, tetapi ternyata pihak penyewa tidak mengetahui bahwa tanah dan/atau bangunan yang sedang disewanya sedang dijaminkan oleh pemilik sahnya (calon debitur);
obyek jaminan masih dalam proses penyelesaian sengketa, dimana pada saat pengikatan terhadap agunan akan didaftarkan pada lembaga yang berwenang,
ternyata
sudah
ada yang
meletakkan
(conservatoir beslag) f. Risiko Hukum dalam Proses Pencairan Kredit.
73 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
sita
jaminan
Risiko hukum dalam proses pencairan kredit berkenaan dengan data legalitas dan data agunan, misalnya seperti:
apabila pada saat kredit dicairkan, masih ada persyaratan dokumen legalitas yang belum diserahkan secara lengkap (to be obtain) oleh debitur kepada pihak bank sebagai syarat pencairan kredit, sedangkan dokumen tersebut sangat diperlukan sebagai dasar bagi bank untuk melakukan tindakantindakan hukum sekaligus memberikan perlindungan hukum apabila di kemudian hari kredit bermasalah atau wanprestasi;
apabila terhadap dokumen legalitas dan dokumen agunan tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai masa berlakunya, sedangkan dana kredit sudah dicairkan dan pada prakteknya di lapangan, untuk mengatasi masalah tersebut, proses pengkinian dokumen baru dimintakan setelah kredit cair, padahal seharusnya sebelum kredit cair semua dokumen yang diserahkan harus up date dan tidak dalam keadaan kadaluarsa.
g. Risiko Hukum dalam Proses Dokumentasi dan Administrasi Kredit. Risiko-risiko hukum yang dapat terjadi dalam proses dokumentasi dan pengadministrasian kredit, antara lain sebagai berikut;
risiko hukum karena pejabat bank terkait tidak melakukan pemeriksaan lagi mengenai keabsahan dari dokumen-dokumen kredit yang telah dilengkapi oleh debitur, sehingga tidak diketahui apabila terdapat dokumen yang telah
74 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
kadaluarsa jangka waktunya atau bahkan ternyata di kemudian hari baru diketahui bahwa dokumen kelengkapan kredit tersebut ternyata palsu,
tidak dilakukan pengawasan ganda dalam hal pengambilan dan penggunaan dokumen-dokumen kredit dari tempat penyimpanannya, sehingga dapat menimbulkan risiko yaitu dokumen kredit jatuh kepada pihak yang tidak berwenang atau bahkan dokumen tersebut menjadi hilang karena kelalaian pejabat bank terkait.
h. Risiko Hukum dalam Proses Pengawasan Kredit. Adapun risiko-risiko hukum yang mungkin terjadi pada tahap pengawasan atau pemantauan kredit, antara lain sebagai berikut:
risiko yang timbul sehubungan dengan masa berlakunya data-data legalitas dan agunan yang telah dilampirkan pada saat pengumpulan data, yakni apabila proses monitoring tidak dilakukan secara berkesinambungan, maka akan sulit untuk memantau dokumen legalitas yang sudah atau akan kadaluarsa dalam waktu dekat, padahal kredit belum dilunasi;
risiko yang timbul karena dana kredit yang telah cair, tidak dipantau secara terus-menerus sehingga memungkinkan terjadinya penggunaan dana tersebut untuk hal-hal yang melanggar hukum dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
risiko terjadi karena pihak bank tidak senantiasa melakukan pemantauan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni jika terdapat perubahan atau dibuat suatu peraturan baru yang berpengaruh terhadap usaha debitur yang dibiayai oleh bank;
75 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
risiko hukum yang disebabkan kurangnya monitoring antara pegawai bank sendiri, baik monitoring, sehingga sulit diketahui sejak dini apabila ada kecurangan (fraud) yang bisa merugikan bank atas kredit-kredit yang telah dicairkan, yakni biasanya fraud yang terjadi, baru diketahui ketika kredit tersebut macet dan bahkan merupakan kredit fiktif.
2. Penyebab dan Dampak Risiko Hukum Di Bidang Perkreditan Perbankan Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Risiko Hukum adalah risiko yang disebabkan karena lemahnya aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis berkaitan dengan kondisi bahwa peraturan atau kesepakatan yang berlaku itu sendiri tidak kuat, misalnya perusahaan melakukan kontrak dengan pihak lain37. Secara garis besar, penyebab adanya risiko hukum perbankan dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) aspek, yaitu sebagai berikut38: a. aspek pertama berasal dari ketidakpastian yang bersumber pada tuntutan hukum yang dilakukan oleh stake-holders terhadap bank; b. aspek kedua adalah ketidakpastian legislasi, interpretasi, dan proses pengadilan. Stake-holders dan contoh ketidakpastian dari tuntutan hukum yang dimaksud dalam aspek pertama tersebut di atas, diantaranya adalah:
37
Ibid., hal 169.
38
Idroes, loc. cit. hal 140.
76 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
No. 1
Stake-holders Karyawan
Ketidakpastian dari Tuntutan Hukum - Kesalahan pemberian sanksi, - pemecatan, dan - diskriminasi terhadap karyawan tertentu.
2
Nasabah
Kelalaian dari kewajiban yang harus dipenuhi (wanprestasi)
3
Pemegang Saham
4
Pemerintah
Penyalahgunaan wewenang atau jabatan oleh manajemen Ketidakpatuhan dan kesalahan interpretasi terhadap regulasi
Sehubungan dengan aspek kedua, terdapat 2 (dua) hal yang terkait dengan ketidakpastian legislasi, interpretasi, dan proses pengadilan, yakni adanya perbedaan peraturan dan kelengkapan dokumentasi yang dibutuhkan antar wilayah atau negara yang dapat menimbulkan perselisihan. Risiko-risiko hukum yang dapat terjadi pada setiap tahap dalam proses pemberian atau penyaluran kredit dari bank kepada calon debitur, seperti yang telah diuraikan di atas, tidak timbul dengan sendirinya. Tingkat persaingan yang cukup ketat dan target pencapaian kredit yang cukup tinggi setiap tahunnya, menyebabkan banyak sekali terjadi benturan kepentingan bisnis perkreditan bank dengan prosedur dan kebijakan internal bank itu sendiri, terutama kebijakan dan prosedur hukum dalam proses pemberian kredit. Ada beberapa sumber yang umumnya menjadi penyebab risiko hukum di bidang perkreditan bank, antara lain karena kelemahan aspek yuridis, adanya perubahan hukum, kesalahan yang menyebabkan kontrak tidak sesuai dengan hukum, kegagalan dokumentasi, dan adanya perubahan politik.
77 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
a. Kelemahan aspek yuridis: Kelemahan aspek yuridis berkaitan dengan kondisi bahwa peraturan atau kesepakatan yang berlaku itu sendiri tidak kuat. Kelemahan peraturan atau kesepakatn kontrak bisa terjadi, apabila kontrak yang dibuat tidak sejalan dengan hukum yang berlaku. b. Perubahan Hukum: Perubahan hukum dapat mengubah kondisi yang ada, misalnya saat ini terdapat peraturan yang menetapkan bahwa pemberian kredit sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) ke atas, harus melampirkan fotokopi dokumen Nilai Pokok Wajib Pajak (NPWP) pribadi dari nasabah (debitur). Hal ini menuntut perubahan besar kepada bank-bank yang sebelumnya membebaskan para nasabah (debitur) untuk tidak melengkapi dokumen NPWP dan berpengaruh terhadap pencapaian target pencairan kredit, terutama di bidang kredit konsumer. c. Kesalahan dalam kontrak: Risiko hukum juga bisa terjadi karena kesalahan dalam pembuatan kontrak. Hal ini berkaitan dengan risiko operasional, khususnya risiko sumber daya manusia (SDM), yakni kemampuan SDM dalam membuat kontrak sangat menentukan seberapa tinggi probabilitas dan seberapa besar dampak risiko hukum yang terjadi. Kesalahan kontrak bisa terjadi karena isi klausul yang keliru ataupun terjadi karena ketidaksesuaian dengan kontrak lainnya sehingga kontrak yang bersangkutan tidak dapat dieksekusi. d. Kegagalan dokumentasi:
78 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Kegagalan dokumentasi berarti terdapat dokumen yang tidak dapat berfungsi, dikarenakan 2 (dua) hal utama, yaitu adanya kesalahan penulisan dalam dokumen dan dokumen yang diperlukan tidak lengkap. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya risiko hukum tersebut di atas, apabila tidak dikelola dengan cara pengendalian yang cukup baik oleh pihak bank, maka akan menimbulkan dampak atau akibat negatif. Dampak atau akibat tidak dikelolanya risiko hukum di bidang perkreditan perbankan, terutama dalam proses pemberian kredit adalah sebagai berikut: a. Dampak Risiko Hukum dalam Proses Persetujuan Pemberian Kredit. 1) Inisiasi: Akibat dari risiko hukum dalam proses inisiasi, berkaitan dengan subyek hukum yang merupakan target market pemberian kredit, yaitu misalnya seperti;
apabila tidak adanya persetujuan (izin) istri atau suami terhadap pengajuan kredit oleh calon debitur perorangan, sedangkan harta yang dijaminkan adalah harta bersama (gono gini), maka istri atau suami dari calon debitur dapat menuntut bank, bahwa yang bersangkutan masih punya hak atas obyek yang dijaminkan tersebut.
apabila ada peralihan status terhadap calon debitur yang berstatus badan usaha menjadi badan hukum pada saat pengajuan kredit, kemudian terjadi pergantian susunan pengurus yang tidak diketahui pihak bank, maka dapat menimbulkan dampak bahwa pihak yang menandatangani perjanjian kredit adalah bukan pihak yang benar-benar berwenang atau
79 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
sudah tidak berwenang lagi, karena posisinya telah diganti oleh pengurus baru, sehingga di kemudian hari perjanjian kredit dapat dimintakan pembatalannya oleh pengurus baru perseroan. Selain itu, perjanjian pengikatan anggunan juga akan ikut berakhir, karena bersifat accessoir, sehingga masih mengacu pada perjanjian kredit yang dibatalkan tersebut. 2) Pengumpulan dan penelitian dokumen kredit: Dampak risiko hukum karena tidak dilakukannya pengumpulan dan penelitian dokumen atau data kredit secara baik dan kurang mendetail, terutama menyangkut keabsahan dokumen legalitas dan dokumen agunan, adalah sebagai berikut:
pada saat terjadi kredit bermasalah atau debitur wanprestasi dan masalah ini berlanjut sampai ke pengadilan, tetapi karena data-data legalitas yang dilampirkan berbeda satu sama lain atau merupakan data rekayasa (palsu), maka bank akan kesulitan untuk melakukan pembuktian di pengadilan,
apabila jangka waktu kredit lebih panjang dari jangka waktu berakhirnya Sertipakat Hak Guna Bangunan, sedangkan hal ini baru diketahui ketika kredit telah dicairkan, maka akibatnya hak atas tanah tersebut menjadi milik negara dan bank tidak bisa menguasai obyek jaminan itu lagi;
apabila bangunan yang akan dijaminkan masih dalam keadaan disewakan kepada pihak lain, tetapi tidak dilampirkan surat pernyataan atau persetujuan dari penyewa mengenai hal tersebut, maka berakibat pada saat jaminan berupa tanah berikut bangunan akan dieksekusi karena kredit macet, terdapat klaim atau gugatan dari pihak penyewa dengan alasan
80 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
tidak pernah mengatahui dan menyetujui, sehingga penyewa tidak bersedia mengosongkan atau meninggalkan bangunan yang sedang disewanya sebelum masa sewa berakhir. 3) Solisitasi (Check on The Spot): Akibat yang dapat terjadi jika data-data dan informasi yang didapat dari hasil kunjungan ke calon debitur, tidak dituangkan menjadi data dan informasi yang sebenar-benarnya, maka dapat dianggap sebagai data dan informasi palsu yang merupakan suatu bentuk tindakan fraud yang merugikan bank karena ternyata kredit yang diajukan merupakan non-performing loan. Hal ini juga dapat dianggap telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu mengenai pencatatan palsu yang dilakukan oleh pegawai bank. 4) Penilaian Jaminan: Dampak dari risiko hukum dalam tahap penilaian jaminan, akan dirasakan oleh bank apabila catatan-catatan yang dimuat dalam laporan penilaian jaminan diabaikan atau bahkan kondisi di lapangan yang berkaitan dengan agunan tidak dimuat secara lengkap dalam laporan tersebut, sehingga mengakibatkan jaminan tidak dapat dieksekusi jika kredit bermasalah. b. Dampak Risiko Hukum dalam Proses Analisis kredit: Dampak risiko hukum karena kurang mendalamnya analisis yuridis yang dilakukan oleh pegawai bank terkait (legal officer) adalah lemahnya aspek
81 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
yuridis sehingga mengakibatkan lemahnya klausul-klausul dalam perjanjian kredit. c. Dampak Risiko Hukum dalam Proses Rekomendasi Persetujuan Kredit: Dampak risiko hukum yang berkaitan dengan tindakan fraud yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat bank dengan cara memanipulasi informasi dan melakukan mark up data-data yang dituangkan dalam proposal kredit adalah tindakan yang dapat dianggap sebagai pencatatan palsu yang dilakukan oleh pegawai bank dan dapat dianggap melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. d. Dampak Risiko Hukum dalam Proses Pemberian Persetujuan Kredit: Dampak risiko yang ditimbulkan karena adanya persetujuan kredit yang berbeda dengan rekomendasi kredit, tetapi tidak ditulis dalam bahasa yang jelas sehingga menimbulkan kerancuan atau bermakna ganda, maka akan mengakibatkan persetujuan kredit yang seharusnya disertai dengan batasan-batasan atau syaratsyarat tertentu (covenants), tetapi disetujui tanpa syarat atau batasan yang jelas. Hal ini akan berpengaruh pada klasul-klausul perjanjian kredit yang juga tidak memuat covenants tersebut, sehingga sangat mungkin sekali di kemudian hari jika terjadi kredit bermasalah, maka bank tidak memiliki perlindungan hukum yang seharusnya dicover dalam perjanjian kredit tersebut. e. Dampak Risiko Hukum dalam Perjanjian Kredit: 1) Proses Penandatangan Perjanjian Kredit: Dampak risiko hukum dalam proses akad kredit, karena hal-hal di bawah ini;
82 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sehingga berakibat tidak dapat dipenuhinya klausul-klausul dalam perjanjian kredit;
perjanjian kredit yang telah ditandatangi kedua belah pihak tersebut, dapat dimintakan pembatalannya secara hukum di pengadilan, yakni bila syarat subyektif tidak terpenuhi dan menjadi berstatus batal demi hukum, bila syarat obyektif yang tidak terpenuhi;
munculnya tuntutan pembatalan perjanjian kredit dari pihak lain yang dapat membuktikan kewenangannya sah secara hukum untuk mewakili perseroan, dengan alasan perjanjian telah ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak berwenang untuk mewakili perseroan dalam melakukan tindakan hukum dan sebenarnya telah terjadi pergantian pengurus perseroan pada saat yang hampir bersamaan dengan saat pengikatan perjanjian kredit dilakukan.
2) Proses Pengikatan Jaminan (Agunan) Dampak Risiko hukum yang dapat terjadi dalam proses pengikatan agunan, misalnya seperti:
pengikatan jaminan telah dilakukan dengan sempurna, tetapi di kemudian hari baru diketahui bahwa obyek jaminan masih dalam sengketa, maka akan mengakibatkan kesulitan untuk mengeksekusi jaminan apabila debitur wanprestasi;
83 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
agunan berupa tanah dan bangunan yang sedang disewakan, tetapi ternyata pihak penyewa tidak setuju atau bahkan tidak mengetahui bangunan yang disewanya sedang dijaminkan ke bank, maka apabila kredit debitur macet dan tanah dan/atau bangunan yang menjadi jaminan akan dilelang, maka akan berakibat pihak penyewa dapat mengajukan gugatan kepada bank karena tidak bersedia mengosongkan bangunan dengan alasan masih memiliki sisa jangka waktu sewa;
obyek jaminan masih dalam proses penyelesaian sengketa, dimana pada saat pengikatan terhadap agunan akan didaftarkan pada lembaga yang berwenang,
ternyata
sudah
ada yang
meletakkan
sita
jaminan
(conservatoir beslag), bank tidak dapat menguasai obyek jaminan karena hak preferen bagi bank baru akan diakui bila pengikatan agunan sudah didaftarkan. Biasanya obyek jaminan yang rentan terhadap sengketa adalah tanah dan bangunan, yang disebabkan antara lain karena: - tanah hak milik yang ternyata sudah diwakafkan, tetapi belum dapat dibuktikan secara hukum; - tanah dan bangunan yang sebelumnya terlibat dalam perkara jual beli yang belum terang dan tunai; - tanah dan bangunan yang diperoleh sebagai warisan dan digugat bahwa masih ada hak yang dimiliki ahli waris lainnya atas tanah tersebut. f. Dampak Risiko Hukum dalam Proses Pencairan Kredit: Risiko hukum dalam proses pencairan kredit berkenaan dengan data legalitas dan data agunan yang belum diserahkan secara lengkap (to be obtain) oleh debitur
84 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
kepada pihak bank atau karena tidak dilakukan pemeriksaan ulang terhadap masa berlakunya padahal telah dalam keadaan kadaluarsa. Hal tersebut akan berakibat tidak ada atau lemahnya perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur apabila terjadi kredit bermasalah, karena tidak adanya dokumen yang dapat dijadikan alat bukti yang kuat di mata hukum. g. Dampak Risiko Hukum dalam Proses Dokumentasi dan Administrasi Kredit: Dampak risiko hukum karena tidak dilakukannya proses dokumentasi dengan baik dan tertib serta pengadministrasioan kredit secara tidak benar, akurat dan lengkap, dapat mengakibatkan bank tidak memiliki dasar untuk melakukan tindakan hukum dan perlidungan hukum yang cukup kuat ketika debitur wanprestasi atau bila terjadi kredit bermasalah. h. Dampak Risiko Hukum dalam Proses Pengawasan Kredit: Adapun risiko-risiko hukum yang mungkin terjadi dalam proses pengawasan kredit, antara lain sebagai berikut:
apabila proses monitoring tidak dilakukan secara berkesinambungan, maka akan sulit untuk memantau dokumen legalitas yang sudah atau akan kadaluarsa dalam waktu dekat, maka dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum lagi, sehingga bila kreditnya macet posisi bank akan menjadi lemah di mata hukum dan bisa mengakibatkan kerugian secara materiil dalam penyelesaian kasus tersebut;
apabila dana kredit yang telah cair, tidak dipantau secara terus-menerus sehingga memungkinkan terjadinya penggunaan dana tersebut untuk hal-hal yang melanggar hukum dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-
85 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
undangan yang berlaku, dan selanjutnya akan berdampak saat kredit debitur berstatus macet, pihak bank dapat dituduh ikut terlibat sebagai pendukung kegiatan melanggar hukum yang dilakukan sehubungan dengan usaha debitur;
apabila
pihak
bank
tidak
selalu
melakukan
pemantauan
terhadap
perkembangan atau perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, maka akan menimbulkan dampak kerugian bagi bank yaitu karena adanya peraturan baru atau perubahan peraturan yang akan menghambat usaha debitur bahkan sampai mengalami kerugian dan kemudian akan berpengaruh terhadap kelancaran pembayaran angsuran kepada bank;
selain itu, apabila terjadi perubahan peraturan atau adanya peraturan baru tersebut, bertentangan dengan klausul-klausul yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kredit dan disepakati kedua pihak sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak atau bahkan merugikan kedua belah pihak sekaligus;
dampak dari risiko hukum yang disebabkan kurangnya monitoring antara pegawai bank sendiri, sehingga sulit diketahui sejak dini apabila ada kecurangan (fraud) yang dilakukan pegawai bank sehingga dapat mengakibatkan kredit macet atau kredit fiktif, yang selanjutnya akan merugikan bank baik dalam bentuk materiil berupa proses hukum melalui pengadilan yang tidak murah dan memakan waktu lama maupun akan menurunkan reputasi bank di mata Bank Indonesia dan masyarakat.
86 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
3. Pengelolaan Risiko Hukum Di Bidang Perkreditan Perbankan Pengaruh kompleksitas risiko dalam binis perbankan membuat Bank Indonesia menempatkan Legal Risks sebagai salah satu bidang yang perlu dikelola dalam manajemen resiko. Kebijakan ini, membuat setiap bank yang berada di Republik Indonesia harus mulai mengidentifikasikan dan mengendalikan risiko hukum yang melekat di bidang perkreditan melalui proses manajemen resiko. Setiap bank harus memiliki prosedur tertulis untuk mengelola risiko hukum yang disesuaikan dengan strategi usaha bank tersebut. Prosedur tertulis ini secara riil telah dituangkan dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (PBI Nomor 5/8/PBI/2003), yang mewajibkan bank untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 2 PBI Nomor 5/8/PBI/2003 ditetapkan lebih lanjut mengenai ruang lingkup penerapan manajemen risiko yang sekurangkurangnya mencakup: a. pengawasan efektif Dewan Komisaris dan Direksi; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi tertulis Manajemen Risiko; d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut di atas, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3 PBI Nomor 5/8/PBI/2003, yaitu wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank.
87 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
Pada umumnya manajemen risiko terhadap risiko hukum yang dapat dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut: a. isolasi kerugian dan proteksi terhadap jaminan; b. mengurangi risiko hukum dengan cara senantiasa mengevaluasi status transaksi, kontrak dan persetujuan yang telah diberikan sebagaimana kesiapan memenuhinya; c. standarisasi dan dokumentasi sistem dan prosedur; d. proaktif dalam mengikuti perkembangan peraturan. Cara-cara pengelolaan terhadap risiko hukum yang mungkin terjadi di bidang perkreditan, dapat dilakukan antara lain sebagai berikut: a. membuat dan mengklasifikasikan setiap risiko hukum di setiap aktivitas perkreditan, yaitu dengan cara mencatat dan membuat rating risiko-risiko hukum, mulai dari risiko yang paling jarang terjadi sampai dengan tingkat risiko yang paling sering terjadi, termasuk akibat kerugian yang akan diderita bank dari risiko hukum tersebut dan bagaimana cara meminimalisasikannya. Tujuan dibuatnya rating ataupun rangking adalah untuk memudahkan proses identifikasi dan pengukuran risiko hukum dalam bidang perkreditan dan diharapkan akan memberikan solusi penanganan yang tepat terhadap masing-masing risiko; b. melakukan pemantauan dan review (cross check) secara terus-menerus, terutama terhadap perjanjian kredit yang merupakan ujung tombak dari segala proses pemberian kredit yang ada di bank. Cara ini dapat mencegah atau minimalisasi terhadap risiko-risiko hukum yang terjadi;
88 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
c. melakukan pemantauan secara berkala terhadap penyelenggaraan dokumendokumen hukum yang disyaratkan dalam proses pemberian kredit, berdasarkan pengalaman kerugian yang pernah diderita bank di masa lalu; d. melakukan dual control antara masing-masing pegawai bank dalam setiap tahap atau bagian, sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab serta wewenang mereka dalam proses pemberian kredit, dengan tujuan menghindari segala bentuk fraud yang mungkin terjadi dari pihak internal manajemen bank itu sendiri; e. melakukan pemantauan dan penyesuaian antara peraturan internal bank sehubungan proses pemberian kredit dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik itu yang telah diubah maupun yang baru dibuat. Hal ini bertujuan supaya segala eksposur risiko hukum yang akan terjadi terhadap perubahan peraturan ataupun adanya peraturan baru tersebut, dapat dikelola dan diantisipasi dengan baik. Pengelolaan risiko hukum di bidang perkreditan dalam proses penerapan manajemen risiko, tidak hanya merupakan tugas dan tanggung jawab dari Direktur di bidang perkreditan (Direktur Kredit) dalam suatu bank, tetapi juga memerlukan peran aktif dari Direktur Kepatuhan (Compliance Director). Peranan Direktur Kepatuhan dalam pengelolaan risiko hukum di bidang perkreditan, diantaranya adalah: a. menyusun kebijakan dan strategi manajemen risiko secara tertulis dan komprehensif, termasuk kebijakan dan strategi manajemen risiko hukum;
89 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008
b. membuat analisis mengenai risiko-risiko hukum terhadap pengajuan kredit dengan plafond kredit tertentu, biasanya plafond kredit dengan limit besar yang pemberian keputusan persertujuannya harus sampai ke level Direksi; c. memberikan pertimbangan atau opini mengenai faktor negatif (area of concern) dan dampak dari risiko-risiko hukum dalam pemberian kredit kepada debitur; d. menuangkan analisis dan opini tersebut secara lengkap dan akurat ke dalam suatu surat atau laporan resmi Direktur Kepatuhan; e. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan keakuratan penilaian risiko hukum dan ketepatan kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko hukum.
90 Pengelolaan resiko..., Nurul Hanun, FH UI, 2008