BAB II PEMODELAN PROPAGASI
2.1
Umum Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel
ke sel yang lain. Secara umum terdapat 3 komponen propagasi yang menggambarkan kondisi dari komunikasi seluler yaitu pathloss, shadowing dan multipath fading. Kondisi propagasi diilustrasikan seperti Gambar 2.1 [2].
Gambar 2.1 Komponen propagasi Free space loss, diasumsikan bahwa propagasi hanya terjadi pada satu lintasan dan tidak terjadi refleksi serta lintasan harus bebas halangan. Free space loss terjadi akibat adanya penyebaran daya yang diradiasikan oleh antena pemancar. Faktor yang mempengaruhi adalah frekuensi dan jarak lintasan gelombang.
Path
loss
merupakan
komponen
deterministik
dari
RSS 6
Universitas Sumatera Utara
(received signal strength), yang dapat dievaluasi oleh model rugi-rugi lintasan propagasi. Shadowing disebabkan karena halangan terhadap jalur garis pandang (LOS) antara pemancar dan penerima oleh bangunan, bukit, pohon dan lain-lain. Multipath fading timbul karena pantulan multipath dari gelombang yang dipancarkan oleh benda-benda seperti rumah, bangunan, struktur-struktur lain buatan manusia, juga kondisi alam seperti hutan yang berada di sekitar UE (user equipment) [3,4,5]. Sistem seluler diharapkan memiliki efisiensi spektral yang tinggi dan memberikan cakupan layanan yang luas. Agar dapat mengurangi dampak dari lingkungan propagasi dan mentoleransi noise dan interferensi yang tinggi, sistem ini akan membutuhkan : 1. arsitektur seluler yang efektif 2. pengukuran kualitas link yang cepat dan akurat 3. kontrol yang terus-menerus pada semua tipe lingkungan 4. instalasi BS untuk menyediakan cakupan radio yang luas 5. perencanaan air interface dengan daya dan bandwidth yang efisien Sistem radio mobile seluler yang menggunakan TDMA (Time Division Multiple Access) dan FDMA (Frequency Division Multiple Access) mengandalkan reuse frekuensi, dimana user dalam sel yang terpisah secara geografis menggunakan frekuensi carier yang sama secara bersamaan. Susunan sel dari sistem komunikasi seluler seringkali dideskripsikan sebagai susunan sel atau daerah cakupan radio berbentuk hexagonal yang seragam. Pada kenyataannya, sel tidak benar-benar berbentuk hexagonal, tetapi merupakan area yang tumpang tindih dan berubah-ubah. Bentuk hexagonal adalah pilihan yang ideal untuk
7 Universitas Sumatera Utara
mewakili area cakupan makro seluler, karena dianggap mendekati bentuk sebuah lingkaran dan menawarkan jarak yang luas untuk ukuran reuse cluster. Persamaan (2.1) menunjukkan konstruksi reuse cluster berukuran N.
dimana
dan
=
+
+
(2.1)
adalah bilangan bulat bukan negatif, dan
ukuran cluster yang diizinkan,
≥ . Ini mengikuti
= 1, 3, 4, 7, 9, 12, … . Sebagai contoh reuse
cluster 3-sel, 4-sel, dan 7-sel ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Rancangan reuse frekuensi 7-sel yang sederhana ditunjukkan pada Gambar 2.3, dimana sel yang bertanda sama menggunakan frekuensi carier yang sama.
Gambar 2.2 Reuse cluster yang sering digunakan pada sistem seluler
8 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Sistem makroseluler menggunakan pola reuse cluster 7-sel Faktor reuse co-channel (Q), didefinisikan sebagai perbandingan jarak reuse co-channel (D) antara sel yang menggunakan frekuensi carier yang sama dan jari-jari sel (R) seperti ditunjukkan oleh Persamaan (2.2) [10,11] ditunjukkan pada Gambar 2.4. =
= √3
(2.2)
di mana N adalah ukuran reuse cluster.
Gambar 2.4 Dua sel dengan frekuensi carier yang sama
9 Universitas Sumatera Utara
2.2
Rugi-rugi Lintasan Bebas (free space path loss) Propagasi lintasan bebas antara dua titik dapat terjadi ketika kedua antena
pemancar dan penerima yang cukup tinggi, sehingga tidak ada penghalang sinyal untuk mencapai antena penerima. Dimana gain antena pemancar adalah Gt dan daya transmisi adalah Wt , daya kerapatan Pr pada jarak d dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: =
(2.3)
daya terima Wr pada jarak d dengan gain antenna penerima Gr karena itu =
atau =
.
(2.4)
=
(2.5)
Sinyal yang ditransmisikan melalui propagasi lintasan bebas ke sebuah antena penerima (receiver) dimana tidak ada penghalang yang akan mengalami rugi-rugi. Rugi-rugi ini disebut dengan rugi-rugi lintasan bebas dan ketika kedua antena pemancar dan penerima yang isotropic (Gr = Gt = 1) dapat dinyatakan dengan persamaan berikut[6]: L0(dB)= 32 + 20 log fMHz+ 20 log dKm
(2.6)
Dimana: L0 = rugi-rugi lintasan bebas (dB) f = frekuensi (MHz) d = panjang lintasan propagasi (Km) c = kecepatan propagasi (3 x 108 [m/s])
10 Universitas Sumatera Utara
2.3
Model Propagasi Model
propagasi
menjelaskan
perambatan
rata-rata
sinyal
pada
suatu daerah. Model propagasi juga memungkinkan untuk mengkonversikan besarnya rugi-rugi perambatan maksimum yang diperbolehkan menjadi besarnya cell range maksimum. Besarnya rugi-rugi propagasi tersebut bervariasi sesuai dengan spektrum dan kondisi alam serta lingkungan disekitarnya[8]. Model-model propagasi umumnya cenderung menyederhanakan kondisi propagasi yang sebenarnya dan biasanya sangat tidak akurat di dalam lingkungan daerah metropolitan yang kompleks. Model-model propagasi empiris hanya memberikan petunjuk umum dan terlalu sederhana untuk disain jaringan yang akurat. Oleh karena itu, pengukuran lapangan yang akurat harus dilakukan untuk
memberikan
informasi
mengenai
cakupan
gelombang
radio
di
daerah perkotaan. Mekanisme perambatan gelombang elektromagnetik secara umum sangat dipengaruhi oleh efek pantulan (reflection), difraksi dan hamburan (scattering). Model propagasi merupakan cara untuk memprediksi daya rata-rata pada sistem transmisi radio komunikasi bergerak pada suatu daerah. Model propagasi juga memungkinkan
untuk
mengkonversikan
besarnya
rugi-rugi
perambatan
maksimum yang diperbolehkan menjadi besarnya cell range maksimum. Besarnya rugi-rugi propagasi tersebut bervariasi sesuai dengan spektrum dan kondisi alam serta lingkungan disekitarnya. Karena itu diperlukan perhitungan yang cukup rumit untuk memperkirakan redaman lintasannya[8]. Model propagasi juga digunakan dalam aspek-aspek performansi sistem yang
lain,
seperti:
Optimasi
Handoff,
pengaturan
level
daya
dan
11 Universitas Sumatera Utara
penempatan antena. Meskipun tidak ada model propagasi yang dapat menghitung semua gangguan dalam kondisi nyata, penggunaan satu atau beberapa model, penting untuk menentukan path loss dalam jaringan. Beberapa model propagasi yang biasa digunakan untuk memperkirakan redaman lintasan sepanjang daerah yang tidak teratur kebanyakan model-model didapatkan dari data hasil pengukuran yang dilakukan dalam jumlah besar dan cukup lama. Model-model propagasi yang biasa digunakan adalah model Okumura, model Hatta dan model Lee.
2.4
Analisa Path Loss dengan Menggunakan Model Propagasi Karena PL(d) adalah sebuah variabel acak dengan distribusi normal
dalam dB, maka begitu juga dengan Pr(d). Fungsi Q dapat digunakan untuk menentukan probabilitas level sinyal yang diterima melewati atau berada di bawah level tertentu. Peluang bahwa level sinyal yang diterima akan berada di atas atau melebihi nilai tertentu
dapat ditentukan melalui fungsi kerapatan
kumulatif dengan persamaan berikut[8]:
Dimana:
[ ( )> ]=
( )
(2.7)
= threshold = standard deviasi
Dengan cara yang sama, peluang bahwa level sinyal yang diterima berada di bawah nilai
yang diberikan oleh:
[ ( )< ]=
( )
(2.8)
12 Universitas Sumatera Utara
Nilai
merepresentasikan keadaan kepadatan dari lingkungan propagasi
yang dilalui oleh sinyal. Semakin besar nilai
maka nilai keacakan dan besar dari
fading akan semakin besar.
2.5
Kuat Sinyal Terima (received signal strenght) UE mengukur RSS dari masing-masing BS. Nilai RSS (dB) yang terukur
merupakan besar selisih antara daya yang ditransmisikan oleh BS dengan redaman dari model propagasi empirik. Persamaan yang akan dijelaskan berikut ini adalah sama dengan yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya, hanya saja dilakukan beberapa perubahan notasi dengan tujuan penyederhanaan dan sesuai dengan sistem yang akan disimulasikan. Perubahan notasi tidak mengubah arti dari nilai yang sebenarnya[3,4,5]. Misalkan di menunjukkan jarak antara UE dengan BSi. Jika daya yang ditransmisikan oleh BS adalah Pt, maka kuat sinyal dari BSi, dinotasikan dengan Si(d), dan dapat ditulis, Si(d) = Pt– PL
(2.9)
Dimana: Si(d)
= kuat sinyal dari BSi (dBm), dimana i = 1,2,…2000
Pt
= daya yang ditransmisikan BS (dBm)
PL
= path loss model empirik (dB)
13 Universitas Sumatera Utara
2.6
Model Okumura Model Okumura merupakan model propagasi yang umum digunakan dan
lebih
optimal
dalam
memodelkan
probabilitas
outage
sistem
CDMA.
Model Okumura adalah model propagasi yang cocok untuk range frekuensi antara 150-1920 MHz dan pada jarak antara 1-100 km dengan ketinggian antena base station (BS) berkisar 30 meter sampai 100 meter [7,8]. Untuk menentukan redaman lintasan dengan model Okumura, pertama kita harus menghitung rugi-rugi lintasan bebas (free space path loss), kemudian nilai Amu (f,d) dari kurva Okumura ditambahkan kedalam faktor koreksi untuk menentukan tipe daerah. Model Okumura dapat ditulis dengan persamaan berikut[6,8]: L50(dB) = LF + Amu(f,d) – G(hte) – G(hre) - GAREA
(2.10)
Dimana: L50(dB) = nilai redaman lintasan propagasi (dB) LF
= redaman lintasan ruang bebas (dB)
Amu
= rata-rata redaman relatif terhadap rugi-rugi lintasan bebas (dB)
G(hte)
= gain antena BS (dB)
G(hre)
= gain antena MS (dB)
GAREA = gain tipe daerah (dB) Untuk menentukan nilai rata-rata redaman relatif terhadap ruang bebas model Okumura menyediakan kurva. Kurva Amu(f,d) untuk range frekuensi 100-3000 MHz ditunjukkan pada Gambar 2.5 [8,9].
14 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Kurva Amu(f,d) untuk range frekuensi 100-3000 MHz Untuk menentukan nilai gain berdasarkan lingkungan, model Okumura juga menyediakan kurva. Kurva GAREA untuk berbagai tipe daerah dan frekuensi ditunjukkan pada Gambar 2.6[8].
Gambar 2.6 Nilai GAREA untuk berbagai tipe daerah dan frekuensi 15 Universitas Sumatera Utara
Nilai gain untuk antena pengirim dan penerima ditunjukkan persamaan[7]: G(hte) = 20log(hte/200) G(hre) = 20log(hre/3) G(hre) = 10 log(hre/3)
100 m > hte> 10 m
(2.11)
10 m > hre> 3 m
(2.12)
hre 3 m
(2.13)
Dimana: hte
= tinggi antena BS (m)
hre
= tinggi antena MS (m)
G(hte)
= gain antena BS (dB)
G(hre) = gain antena MS (dB) Model Okumura sepenuhnya berdasar pada hasil pengukuran, sehingga tidak memiliki penjelasan analitis. Meskipun demikian, model ini sering dianggap salah satu model perambatan yang paling sederhana dan terbukti memiliki keakuratan yang sangat baik. Besar perbedaan antara path loss yang diprediksi dengan model Okumura dan path loss yang diukur sebenarnya dilapangan hanya berkisar 10 dB hingga 14 dB. Kelemahan model Okumura adalah bahwa model ini tidak dapat mengikuti cepatnya perkembangan kondisi area, sehingga bagus digunakan di daerah perkotaan yang perubahannya sudah relatif melambat tetapi kurang bagus di daerah pedesaan yang perubahannya masih sangat cepat [8].
16 Universitas Sumatera Utara