BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Dasar-Dasar Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan Soemitro dalam Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (h. 1). Pengertian pajak menurut Adriani dalam M. Zain (2003) menyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h. 10). Kemudian Smeets dalam Waluyo (2003) menyatakan bahwa pajak adalah
prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah (h. 5). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah: 1. Pajak dipungut berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.
Dalam
pembayaran
pajak
tidak
dapat
ditunjukkan
adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
II.1.2. Pengelompokan Pajak Menurut Mardiasmo (2005) dalam bukunya yang berjudul Perpajakan, pengelompokan pajak dibagi atas :
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. 3. Menurut lembaga pemungutannya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : ● Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. ● Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. (h. 5, 6).
II.1.3. Asas-Asas Pemungutan Pajak Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu dipegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Dengan demikian, terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi, yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam buku An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nation menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada: 1. Keadilan ( Equality ) Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah. 2. Kepastian ( Certainty ) Pajak yang dibayar oleh wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi. Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak dan ketentuan mengenai pembayarannya. 3. Kemudahan ( Confinience of Payment ) Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan / keuntungan yang dikenakan pajak.
4. Ekonomi ( Economic of Collection ) Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, juga sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang diperoleh.
II.1.4. Fungsi-Fungsi Dan Tata Cara Pemungutan Pajak Menurut Resmi, S. (2005) sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, ada dua fungsi pajak, yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. ( h. 3).
Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2005) terdiri atas : 1) Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
a) Stelsel nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. b) Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. c) Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. 2) Asas Pemungutan Pajak a) Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. b) Asas sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c) Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri. 3) Sistem Pemungutan Pajak a) Official Assessment System Adalah suatu system pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2) Wajib Pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak. b) Self Assessment System Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c) With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. (h. 8, 9)
II.1.5. Subjek Dan Objek Pajak Menurut Mardiasmo (2005), Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah : 1. a. Orang pribadi b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak 2.
Badan
3.
Bentuk usaha tetap
Subjek pajak dibedakan menjadi : 1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Subjek Pajak luar negeri a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melelui bentuk usaha tetap di Indonesia. b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (h. 105). Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan. Yang termasuk penghasilan adalah: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima termasuk gaji, upah, honorarium, bonus, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. 3. Laba usaha. 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham. b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha. d. Keuntungan karena hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan social yang ditetapkan Menteri Keuangan. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang 7. Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. 8. Royalti. 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau prolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi. 15. Iuran yang diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha dari pekerjaan bebas. 16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
II.2. Pajak Penghasilan II.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-undang No. 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000, menyatakan Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun Pajak. Pajak Penghasilan menurut Waluyo (2003), menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya dikategorikan sebagai Pajak Subjektif. Dengan pengertian bahwa Pajak Penghasilan ini berpangkal atau didasarkan pada Subjek Pajaknya. (h. 54). Menurut Suandy, E. (2005), Pajak Penghasilan termasuk sebagai kategori
pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Perpajakan. (h. 33). Pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menurut Mardiasmo (2005) dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu pajak Negara dan pajak daerah. Pajak Negara yang masih berlaku sampai saat ini adalah : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. (h. 97- 99).
II.2.2. Wajib Pajak dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Wajib Pajak PPh pasal 21 Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor Kep-545 / PJ / 2000 adalah : 1. Pejabat Negara, adalah : a) Presiden dan Wakil Presiden. b) Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. c) Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung. e) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. f) Menteri dan Menteri Negara. g) Jaksa Agung. h) Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi. i) Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten. j) Walikota dan Wakil Walikota. 2. Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1974. 3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD. 4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala. 5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. 6. Pegawai Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalam apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
7. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua. 8. Penerima Honorarium, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.
Objek Pajak PPh Pasal 21 Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 tanggal 23 Pebruari 2006 pasal 5 adalah : 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang
pensiun bulanan, upah honorarium (termasuk
honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak. 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun. 3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian
atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai. 4. Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (JHT), uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja. 5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lain yang dilakukan Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari : a) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris. b) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya. c) Olahragawan. d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator. e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah. f) Pemberi jasa dalam bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial. g) Agen iklan. h) Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat.
i) Pembawa pesanan atau menemukan langganan. j) Peserta perlombaan. k) Petugas penjaja barang dagangan. l) Petugas dinas luar asuransi. m) Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai. n) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang sifatnyan terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara dan PNS.
Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 pasal 7 adalah : 1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah kecuali yang diatur dalam pasal 5 ayat (2). 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja. 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
II.2.3. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21 Hak-hak Wajib Pajak PPh pasal 21 menurut Mardiasmo (2005) adalah : 1. Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari pajak penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh pasal 21 final. 2. Wajib Pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak, jika PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. 3. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. Permohonan banding dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Kewajiban Wajib Pajak PPh pasal 21 adalah : 1. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
2. Wajib Pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim. 3. Wajib Pajak berkewajiban memasukan SPT tahunan, jika Wajib Pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja. (h. 146 dan 147).
II.2.4. Hak Dan Kewajiban Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Ilyas,W., B. (2003), yang bertindak sebagai Pemotong Pajak PPh pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan penyelenggara jamsostek, perusahaan, bentuk usaha tetap, yayasan, penyelenggara kegiatan yang membayar honorarium kepada Wajib Pajak. Sedangkan yang tidak termasuk Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah Badan perwakilan Negara asing dan Organisasi internasional yang dikecualikan sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Hak-hak Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah : 1. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT tahunan pasal 21. Pengajuan permohonan dilakukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan pajak sementara pajak terutang dalam satu tahun pajak. Pengajuan permohonan paling lambat tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya.
2. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun yang bersangkutan. 3. Pemotong Pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan tahunan. 4. Pemotong Pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya atau berakhirnya masa pajak, dengan syarat Direktur Jendral Pajak belum melakukan pemeriksaan. 5. Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil. 6. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Kewajiban Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah : 1. Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak setempat. 2. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak.
3. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetor PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. 4. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh pasal 21 sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan takwim berikutnya. 5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, dan penerima dana pensiun. 6. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap. 7. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tariff UU Nomor 17 tahun 2000. 8. Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar. 9. Pemotong Pajak wajib melampiri SPT tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiranlampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.
10. Pemotong Pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam suatu tahun takwim lebih besar daripadaPPh Pasal 21 yang disetor. (h. 128-130).
II.2.5. Tarif Dan Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 adalah sebagai berikut : 1. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari : a. Pegawai tetap, termasuk pejabat Negara, PNS, Anggota TNI / Polri, pejabat Negara lainnya, pegawai BUMN dan BUMD, dan anggota dewan komisaris, atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama. b. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan. c. Pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai. d. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya. Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar : (1) Bagi pegawai tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan: biaya jabatan; iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai (termasuk iuran tabungan hari tua/ tunjangan hari tua).
(2) Bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan: biaya pensiun dan PTKP. (3) Bagi pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP. (4) Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan. PPh pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17 UU PPh
2. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto berupa : a. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. b. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pangawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama. c. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai. d. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, oleh peserta program pensiun. PPh pasal 21 = Penghasilan Bruto x tarif pasal 17 UU PPh
3. Tarif sebesar 15 %, ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek,dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris). Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. PPh pasal 21 = ( Penghasilan Bruto x 50% ) x 15%
4. Tarif sebesar 5% ditetapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 110.000,- sehari tetapi tidak melebihi Rp 1.100.000,- dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan. PPh pasal 21 sehari = ( Penghasilan Bruto Sehari – Rp 110.000,- ) x 5%
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut : Tabel II.1. Tarif Pajak atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 0,-
s.d. Rp 25.000.000,-
Tarif Pajak 5%
Rp 25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,-
10%
Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,-
15%
Rp 100.000.000,- s.d. Rp 200.000.000,-
25%
Di atas Rp 200.000.000,-
35%
II.2.6. Pengurangan Yang Diperbolehkan Untuk menghitung besarnya PPh pasal 21 yang terutang kepada penerima penghasilan tertentu sebagai Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/ PJ / 2006 besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : 1. Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang besarnya 5 % dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,- setahun atau 108.000,- sebulan. 2. Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 432.000,- setahun atau Rp 36.000,- sebulan. 3. Besarnya PTKP disesuaikan dari waktu ke waktu dengan UU PPh pasal 17 tahun 2000, Keputusan Menteri Keuangan No. 564/ KMK.03 /2004, dan Peraturan Menteri Keuangan No.137/ PMK.03 / 2005.
Tabel II.2. Penyesuaian PTKP Dari Waktu ke Waktu Keterangan
UU PPh pasal KMK No. 564/ PMK No. 137/ 17 (tahun 2000)
1. Untuk diri Wajib Rp. 2.880.000,-
KMK.03/2004
PMK.03/2005
(tahun 2005)
(tahun 2006)
Rp 12.000.000,-
Rp 13.200.000,-
Rp 1.200.000,-
Rp 1.200.000,-
Rp 12.000.000,-
Rp 13.200.000,-
Rp 1.200.000,-
Rp 1.200.000,-
Pajak ybs. 2. Tambahan untuk Wajib Pajak yang Rp 1.440.000,berstatus kawin. 3. Tambahan untuk seorang
isteri
Rp 2.880.000,-
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. 4. Tambahan untuk anggota Rp 1.440.000,-
setiap
keluarga sedarah/ semenda garis
dalam
keturunan
lurus serta anak
angkat,
yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak
tiga orang.
4. Keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang. 5. Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. 6. Bagi karyawati yang menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan diberikan tambahan PTKP sebesar Rp 1.200.000,setahun atau Rp 100.000,- sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya. 7. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
8. Pengurangan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) sampai (3) tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
II.2.7. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Suandy, E. (2006), penghitungan Pajak Penghasila pasal 21 dilakukan dengan mengkalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif Pajak Penghasilan Kena Pajak adalah penghasilan neto dikurang dengan PTKP. Penghasilan neto dihitung dengan 2 cara yaitu : 1.
Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan.
2.
Penghasilan bruto dikalikan dengan persentase norma penghiungan penghasilan neto.Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan PTKP.
3.
Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. (h. 121).
Berikut ini perhitungan PPh pasal 21 yang terutang pada pegawai tetap secara umum : Gaji pokok
xxx
Jamsostek
xxx
Tunjangan-tunjangan
xxx
Penghasilan bruto
xxx
+
Pengurangan: Biaya jabatan
xxx
Iuran pensiun
xxx
Iuran Jaminan Hari Tua
xxx
+ xxx
Penghasilan neto sebulan
xxx
Penghasilan netto setahun
xxx
-
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) : Wajib Pajak
xx
Tambahan menikah
xx
Tanggungan (maksimum 3)
xx
+
Penghasilan Tidak kena Pajak
xxx
Penghasilan Kena Pajak
xxx
-
PPh pasal 21 setahun terutang: 5%
( Penghasilan sampai dengan Rp 25.000.000,- )
10%
( Diatas Rp 25.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,- )
15%
( Diatas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,- )
25%
( Diatas Rp 100.000.000,- sampai dengan Rp 200.000.000,- )
35%
( Diatas Rp 200.000.000)
III. Perencanaan Pajak
III.3.1. Definisi Perencanaan Pajak Menurut Suandy, E. (2005), perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak dengan melakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis penghematan pajak yang akan dilakukan. Tujuan dari perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak, karena pajak merupakan unsur pengurang laba. Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, dan apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya ( h. 8). Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax palnning) adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak karena pajak itu ikut mempengaruhi dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi dengan cara menganalisis dengan cermat dan memanfaatkan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan : a. Perbedaan tariff pajak (tax rate). b. Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak (tax base)
c. Loopholes, shelters dan havens. (h. 14).
III.3.2. Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak Menurut E. Suandy (2005), dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat local maupun internasional, maka agar tax planning dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perncanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut : 1. Analisis informasi yang ada (analysis of the existing data base). 2. Buat satu model atau lebih rencana kemungkinana besarnya pajak (design of one or more possible tax plans). 3. Evaluasi pelaksanaan rencana pajak (evaluating a tax plan). 4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plan). 5. Mutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan). (h. 14).
III.3.3. Pengelolaan Efisiensi PPh dengan pemberian kesejahteraan Peluang melakukan efisiensi PPh badan sangat banyak yang dapat dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan. Strategi yang berkaitan dengan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan,
sebagai berikut : 1. Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya. 2. Untuk perusahaan yang PPh Badannya dikenakan secara final, sebaiknya memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura, karena pemberian natura kepada karyawan tidak termasuk objek pajak PPh pasal 21 dan tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan. 3. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian kenikmatan dan natura akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil.