BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pemahaman Perpajakan
II.1.1 Definisi pajak Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan umum Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2005) mengemukakan, ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Menurut Smeets dalam Waluyo (2003) menyatakan bahwa pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditujukan dalam hal yang individual, dimaksudkan dalam hal membiayai pengeluaran pemerintah. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur – unsur : 1. Iuran rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan undang – undang 6
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang – undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran – pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
II.1.2 Fungsi Pajak dan Tata Cara Pemungutan Pajak Ada dua fungsi pajak, yaitu : 1. Fungsi budgetair Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran – pengeluarannya. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2008) adalah : 1) Stelsel pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel: a) Stelsel nyata (Riel Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada obyek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan oada akhir tahun pajak yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. 7
b) Stelsel anggapan (Fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya penghasilan suatu tahun pajak dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. c) Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian di akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. 2) Asas pengenaan pajak Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak dengan mengacu kepada Mardiasmo (2006) adalah: a) Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Dalam Negeri.
8
b) Asas sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. c) Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan indonesia yang bertempat tinggal di indonesia. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri. 3) Sistem Pemungutan Pajak Husein dan Tjahjono (2005) mengemukakan “Sistem Pemungutan Pajak” adalah: 1. Self Assessment System Suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang sepenuhnya untuk menghitung besarnya pajak yang terutang dilakukan oleh wajib pajak. 2. Official Assessment System Suatu sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak yang harus dilunasi atau pajak yang terutang oleh wajib pajak ditentukan oleh fiskus. 3. Withholding System Suatu cara pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memungut atau memotong besarnya pajak yang terutang.
9
II.1.3 Jenis – jenis Pajak Mardiasmo (2008) menulis “Pajak dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok besar menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya. Berikut ini adalah pengelompokkannya : 1. Menurut Golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : PPh b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : PPN
2. Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : PPh b. Pajak
Objektif,
yaitu
pajak
yang
berpangkal
pada
objeknya,
tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : PPN dan PPnBM 3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : PPh, PPN dan PPnBM, PBB dan Bea Materai b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas :
10
•
Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
•
Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
II.1.4 Subjek dan Objek pajak Menurut Mulyono (2007) yang menjadi subjek dan objek pajak adalah sebagai berikut : 1. Subjek Pajak Subjek Pajak adalah orang pribadi, warisan, atau badan termasuk bentuk usaha tetap (BUT) baik yang berada di dalam negeri maupun berada di luar negeri yang mempunyai atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: 1. Subjek pajak Dalam Negeri Adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau yang bertempat kedudukan di dalam Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia atau luar Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dan juga warisan yang belum terbagi. Subjek pajak Dalam Negeri terdiri dari: .
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari 11
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; 2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Subjek pajak Luar Negeri
Adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT). Subjek pajak Luar Negeri terdiri dari:
12
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak berdasarkan UU No 17 tahun 2000 pasal 4 adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
13
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan pemekaran,
karena
likuidasi,
pemecahan,
penggabungan,
pengambilalihan
peleburan,
usaha,
atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
14
yang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak; i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi; o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
15
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah; r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan s. surplus Bank Indonesia.
II.2
Pemahaman Pajak Penghasilan
II.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Dasar hukum Pajak Penghasilan adalah UU no 7 tahun 1983 sebagaimana telah mengalami perubahan sebanyak empat kali menjadi UU no 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan menurut Waluyo (2008), menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikategorikan sebagai pajak pusat tetapi ditinjau dari sifatnya dikategorikan sebagai Pajak Subyektif. Dengan pengertian bahwa Pajak Penghasilan berpangkal didasarkan pada Subyek Pajaknya. Pajak Penghasilan menurut Suandy,E. (2005), menyatakan bahwa Pajak Penghasilan termasuk sebagai kategori Pajak Subyektif , yang artinya pajak dikenakan karena ada subyeknya yakni yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Perpajakan. Pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia menurut Mardiasmo (2008) dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah. Pajak Negara yang masih berlaku sampai saat ini adalah : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan
16
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang , yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku,
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintah Daerah dan pembangunan Daerah.
II.2.2 Subjek Pajak dan Non Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Peneriman penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 Penerimaan penghasilan yang dipotong PPh 21 menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-15 / PJ / 2006 adalah : 1. Pejabat Negara, adalah: •
Presiden dan Wakil Presiden,
•
Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
•
Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
•
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung.
•
Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung .
•
Menteri dan Menteri Negara.
•
Jaksa Agung.
•
Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi.
•
Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten.
•
Walikota dan Wakil Walikota.
17
2. Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah PNS Pusat, PNS Daerah, PNS lainnya yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU nomor 8 tahun 1974. 3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tetulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD. 4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala. 5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium, dan atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan. 6. Pegawai Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. 7. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.
18
8. Penerima Honorariu, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan. Pihak yang tidak Dipotong PPh Pasal 21 adalah: 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. II.2.3 Objek dan Non Objek Pemotongan PPh Pasal 21 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah: Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 menurut Peraturan Dirjen Pajak No. Per-15 / PJ / 2006 pasal 5 adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak. 19
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun. 3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga keja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai. 4. Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua dan Tunjangan Hari Tua (JHT), uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja. 5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lain yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri, terdiri dari: a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris. b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya. c. Olahragawan
20
d. Penasehat,
pengajar,
pelatih,
penceramah,
penyuluh
dan
moderator. e. Pengerang, peneliti, dan penerjemah. f. Pemberi jasa dalam bidang teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial. g. Agen iklan. h. Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat. i. Pembawa pesanan atau menemukan langganan. j. Peserta perlombaan. k. Petugas penjaja barang dagangan. l. Petugas dinas luar asuransi. m. Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan calon pegawai. n. Distributor perusahaan Multilevel marketing ataudirecy selling dan kegiatan sejenis lainnya. 6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara dan PNS. Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 menurut Dirjen Pajak No. PER-15 / PJ / 2006 Pasal 7 adalah: 1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. 21
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2). 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja. 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah. II.2.4 Pengurangan yang diperbolehkan 1. Biaya jabatan atau Biaya pensiun Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan adalah:
Maksimum/tahun Maksimum/bulan
2009 PMK 250/2008 Rp 6.000.000 Rp 500.000
1999-2008 KMK 521/1998 Rp 1.296.000 Rp 108.000
Biaya pensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yaitu :
Maksimum/tahun Maksimum/bulan
2009 PMK 250/2008 Rp 2.400.000 Rp 200.000
1999-2008 KMK 521/1998 Rp 432.000 Rp 36.000
2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan 22
penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. Penyesuaian PTKP dari tahun ke tahun yaitu :
UntukM diri pegawai. Tambahan untuk pegawai yang e menikah. Tambahan untuk setiap n anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang.
2005 Peraturan Menteri Keuangan No.564/KMK.03/2004 Rp 12.000.000 Rp 1.200.000
2006-2008 Peraturan Menteri Keuangan No.137/PMK.03/2005 Rp 13.200.000 Rp 1.200.000
2009 UU No 36 tahun 2008
Rp 1.200.000
Rp 1.200.000
Rp 1.320.000
Rp 15.840.000 Rp 1.320.000
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Skema hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat digambarkan sebagai berikut : 23
1. Hubungan sedarah: a. Lurus satu derajat : Ayah, Ibu, Anak kandung b. Kesamping satu derajat : Saudara Kandung (kakak, Adik kandung) 2. Hubungan Semenda : a. Lurus satu derajat : Mertua, Anak Tiri b.
Kesamping satu derajat : Saudara Ipar (Adik Ipar, kakak Ipar) Berdasarkan skema tersebut, yang termasuk dalam pengertian keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus yaitu : ayah, ibu dan anak kandung. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian keluarga semenda dalam garis keturunan lurus yaitu: ayah mertua, ibu mertua dan anak tiri. Anggota keluarga sedarah dan semenda berikut ini tidak dapat diperhitungkan sebagai tanggungan untuk penghitungan tambahan PTKP. 1. Saudara kandung, karena termasuk dalam pengertian keluarga sedarah kesamping satu derajat. 2. Saudara ipar, karena termasuk dalam pengertian keluarga semenda kesamping satu derajat. 3. Saudara dari bapak atau ibu, karena tidak termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus.
Berikut penjelasan mengenai Status Wajib Pajak yang terdiri dari: 1. Tidak Kawin (TK) beserta tanggungannya. Misal TK/1: tidak kawin dengan satu tanggungan, TK/2, TK/3, dan TK/0 2. Kawin beserta tanggungannya. Misal Kawin tanpa tanggungan (K/0), kawin dengan satu tanggungan (K/1), K/2, K/3. Wajib Pajak untuk status seperti ini 24
berarti Wajib Pajak Kawin, istrinya tidak mempunyai penghasilan atau mempunyai penghasilan tetapi tidak digabungkan dengan penghasilan suaminya di SPT PPh Orang Pribadi 3. Kawin, istri punya penghasilan dan digabungkan dengan penghasilan suaminya, serta jumlah tanggungannya. Misal K/I/1 artinya Wajib Pajak kawin, istri berpenghasilan dan digabungkan dengan suami di SPT dengan satu tanggungan. Mengacu pada Rusdji, M (2006), menentukan besarnya PTKP untuk karyawati yang bekerja yaitu: 1. Status kawin suami bekerja, maka PTKP yang didapat hanya untuk diri sendiri. 2. Status tidak kawin, maka besarnya PTKP untuk diri sendiri dan tanggungan jika ada maksimal tiga orang. 3. Status kawin, suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan maka besarnya PTKP untuk diri sendiri, status kawin, dan tanggungan maksimal tiga orang dengan syarat menunjukkan surat keterangan tertulis dari pemda setempat minimal tingkat kecamatan. II.2.5 Tarif Pajak PPh Pasal 21 dan Penerapannya
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung
berdasarkan
sebagai
berikut:
- Pegawai Tetap; Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto, 25
maksimum Rp 6.000.000,- setahun atau Rp 500.000,- (sebulan); dikurangi iuran pensiun. Iuran jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). - Penerima Pensiun Bulanan; Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000,- setahun atau Rp 200.000,- sebulan); dikurangi PTKP. Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai: Penghasilan bruto dikurangi PTKP. (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tanggal 31 desember2008) - Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai : Penghasilan bruto dikurangi PTKP yang
diterima
atau
diperoleh
untuk
jumlah
yang
disetahunkan.
- Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis; penghasilan bruto tiap bulan dikurangi PTKP perbulan.
2. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan; mantan pegawai yang menerima jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus; peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun; dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan penghasilan bruto
3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif PPh 15% dari perkiraan penghasilan neto
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, 26
upah borongan dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp.150.000 sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp. 1.320.000,- dan atau tidak di bayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp. 150.000. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.1.320.000,- sebulan, maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi 360.
5. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut: - 5% dari penghasilan bruto diatas Rp 25.000.000 s.d. Rp. 50.000.000. - 10% dari penghasilan bruto diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 100.000.000. - 15% dari penghasilan bruto diatas Rp. 100.000.000 s.d.Rp. 200.000.000. - 25% dari penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000. Penghasilan bruto sampai dengan Rp. 25.000.000,- dikecualikan dari pemotongan pajak.
6. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan lain yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali yang dibayarkan kepada PNS Gol. lId kebawah, anggota TNI/POLRI Peltu kebawah/ Ajun Insp./Tingkat I Kebawah.
7.Perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 bagi penerima penghasilan yang tidak mempunyai NPWP adalah dengan ketentuan sebagai berikut :
27
a. Bagi Penerima penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. b. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. c. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. d. Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Tarif Pajak atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 UU PPh adalah sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp 25.000.000 >Rp 25.000.000 s/d Rp 50.000.000 >Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000 >Rp 100.000.000 s/d Rp 200.000.000 >Rp 200.000.000
Tarif Pajak 5% 10 % 15 % 25 % 35 %
Namun setelah adanya UU No 36 tahun 2008, maka untuk tahun pajak 2009, tarif pajaknya adalah sebagai berikut :
28
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000 >Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 >Rp 250.000.000 s/d Rp 500.000.000 >Rp 500.000.000
Tarif Pajak 5% 15 % 25 % 30 %
Tambahan tarif Lainnya
Tarif Pajak yang dikenakan atas objek pajak (PBB) adalah = 0,5% Tarif Pajak yang dikenakan atas BPHTB adalah
=5
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah
= 10 %
•
Dengan Peraturan Pemerintah menjadi paling rendah
= 5%
•
Dengan Peraturan Pemerintah menjadi paling tinggi
= 15 %
•
Atas ekspor barang kena pajak
= 0%
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Paling rendah
= 10 %
Paling tinggi
= 75 %
Atas ekspor barang kena pajak
= 0%
II.2.6 Hak dan Kewajiban Penerima Penghasilan yang Dipotong Pajak Hak-haknya adalah: 1. Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
29
2. Wajib pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak, jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini diajukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Pengajuan surat keberatan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. 3. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasan Indonesia dengan alasan yang jelas dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut. Kewajibannya adalah: a)
Wajib pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada
pemotong pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri. Surat pernyataan tersebut dibuat untuk pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Surat pernyataan tersebut harus diserahkan pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun. b)
Wajib pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada
pemotong pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim. 30
c)
Wajib pajak berkewajiban memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT)
tahunan, jika Wajib Pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja.
II.2.7 Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Hak-haknya adalah: a.
Pemotong pajak berhak untuk mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21. b.
Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh
Pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. c.
Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada
SPT tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya pada tahun berikutnya. d.
Pemotong pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan
sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun atau tahun pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. e.
Pemotong pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketatapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Nihil.
31
f.
Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis
dalam bahasa Indonesia disertai alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan yang jelas, dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dan dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut. Kewajibannya adalah: 1. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim. 2. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. 3. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut dalam ayat (2) sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2). 4. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. 5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan 32
pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun. 6. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada
pegawai
tetap,
termasuk
penerima
pensiun
bulanan,
dengan
menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir. 7. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun. 8. Pemotong Pajak wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja tersebut selama 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. II.2.8 Saat Terutang PPh Pasal 21 a. PPh Pasal 21 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan. b. PPh Pasal 21 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak. c. Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
33
II.3
Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pasal 21 SPT Tahunan PPh Pasal 21 (formulir 1721) adalah surat yang diguanakan oleh
pemotong untuk melaporkan pemotongan, perhitungan, dan penyetoran pajak atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, kegiatan. SPT Tahunan PPH Pasal 21 dapat diambil di: 1. Kantor Pelayanan Pajak 2. Kantor Penyuluhan Pajak atau 3. Tempat lain yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak 4. Download dari situs resmi Dirjen Pajak, www.pajak.go.id. Angka-angka Rupiah dalam SPT tahunan PPh Pasal 21 beserta lampirannya dinyatakan dalam Rupiah penuh, kecuali untuk besarnya PKP dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 adalah 31 Maret setelah akhir Tahun Pajak SPT Tahunan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau dikukuhkan dengan cara menyampaikan langsung atau melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 Maret setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT disampaikan.
34
SPT Tahunan PPh Pasal 21 terdiri dari induk SPT dan lampiran-lampirannya yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Induk SPT dan lamiranlampirannya masing-masing diberi nomor, kode, dan nama pada formulirnya sebagai berikut: No 1 2
Kode 1721 1721-A
3
1721-A1
4
1721-A2
5
1721-B
6
1721-C
Nama Formulir SPT Tahunan PPh Pasal 21 Daftar Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun/ THT/JHT Penghasilan dan Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai tetap atau Pensiun/ THT/JHT Penghasilan dan Penghitungan PPh Pasal 21 PNS, Anggota ABRI, Pejabat Negara dan Pensiunannya Daftar Pegawai Tidak Tetap/ Penerima Honorarium dan Penghasilan Lainnya/ Penerima Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 21 Bersifat Final/ Pegawai dengan Status WP Luar Negeri Daftar Penghasilan yang dibayarkan kepada Pengurus/ Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas/ Tenaga Ahli
Keterangan Induk SPT Lampiran I Lampiran I-A Lampiran I-B Lampiran II
Lampiran III
35