BAB II PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI Sindrom terowongan karpal merupakan suatu kumpulan gejala akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan. Penyakit ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Istilah terowongan kapal digunakan karena daerah yang dilewati oleh nervus medianus tersebut berbentuk seperti terowongan dan dikelilingi oleh delapan tulang yang disebut tulang karpal. Pada sindrom ini muncul gejala akibat kompresi pada nervus medianus, yang berjalan melewati terowongan. (Basuki Andi, 2011) Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus. (Gorsché Ron, 2001)
Sumber : Harvey Simon, 2012 2.2 EPIDEMIOLOGI CTS adalah entrapment neuropathy yang paling sering dijumpai. Nervus medianus mengalami tekanan pada saat berjalan melalui terowongan karpal di pergelangan tangan menuju ke tangan. Penyakit ini biasanya timbul pada usia pertengahan . Wanita lebih banyak menderita penyakit ini daripada pria. Perbandingan antara wanita dengan pria adalah 6:1. Diduga perubahan hormonal memegang peranan dalam meningkatkan insiden timbulnya CTS pada wanita. (Basuki Andi, 2011) Insiden bedah antara penduduk yang bekerja di Montreal
telah dihitung
menjadi 0,9 per 1.000 untuk dewasa. Dalam studi kelompok pekerja tertentu, kejadian di pengguna komputer sebenarnya tidak berbeda dengan populasi umum, sedangkan di pengepakan daging , itu dilaporkan setinggi 11 per 100 orang per tahun. (Gorsché Ron, 2001)
2.3 PATOGENESIS CTS dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi, suatu reaksi yang secara normal terjadi pada jaringan yang mengalami kerusakan, akibat cedera berulang, trauma atau kondisi medis lain. Adanya proses inflamasi pada terowongan karpal yang terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya jebakan pada mervus medianus yang terletak di dalamnya. Atritis rematoid, diabetes mellitus, penyakit tiroid, kehamilan, dan menopause merupakan beberapa keadaan yang dapat menimbulkan gejala CTS. Factor mekanik dan vascular diduga merupakan factor terpenting dalam pathogenesis terjadinya CTS. Awalnya factor mekanik mempunyai peranan yang lebih besar, namun pada akhirnya kedua factor tersebut akan saling mempengaruhi. (Basuki Andi, 2011) 2.4 ETIOLOGI Sebagian besar kasus CTS (> 50%) bersifat idiopatik, tetapi berbagai kondisi dapat berkontribusi sebagai penyebab. Pada umumnya kasus CTS penyebab pasti masih belum diketahui. Aktivitas berulang pada tangan umunya diduga sebagai penyebab sindroma ini. Pekerjaan mempunyai dengan resiko terjadinya CTS. Factor resiko tersebut adalah gerakan berulang, gerakan kecepatan tinggi, posisi sendi yang tidak nyaman, tekanan langsung pada pergelangan tangan, vibrasi, dan postur pergelangan tangan yang dipertahankan untuk jangka waktu lama. (Dewanto, at all . 2009) 1. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy, misalnya HMSN (hereditary motor and sensory neuropathies) tipe III.
2. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap pergelangan tangan. Gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan yang berulang-ulang. 3. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis. 4. Metabolik: amiloidosis, gout. 5.Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus, hipotiroidi, kehamilan. 6. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma. 7.Penyakit
kolagen
vascular:
artritis
reumatoid,
polimialgia
reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik. 8. Degeneratif: osteoartritis. 9. Iatrogenik : punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.
2.5 GEJALA Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja .Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari. Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari
sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya. Bila penyakit berlanjut, rasa nyeri dapat bertambah berat dengan frekuensi serangan yang semakin sering bahkan dapat menetap. Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai ke lengan atas dan leher, sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah distal pergelangan tangan . Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari, tangan dan pergelangan tangan terutama di pagi hari. Gejala ini akan berkurang setelah penderita mulai mempergunakan tangannya. Hipesetesia dapat dijumpai pada daerah yang impuls sensoriknya diinervasi oleh nervus medianus. Pada tahap yang lebih lanjut penderita mengeluh jari-jarinya menjadi kurang trampil misalnya saat menyulam atau memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan juga dapat dijumpai, sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang dialami penderita sewaktu mencoba memutar tutup botol atau menggenggam (Basuki Andi, 2011: N. Katz, at all. 2002). Pada penderita CTS pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar dan otot-otot lainnya yang diinnervasi oleh nervus melanus. (Accident Compensation Corporation, 2009) Keluhan penyerta penyebab CTS di antaranya adlah diabetes mellitus yaitu komplikasi dari neuropati diabetic, perubahan hormonal khususnya pada wanita (kehamilan, menopause, penggunaan kontrasepsi oral), obesitas, hipotiroid, arthritis rheumatoid dan faktor genetic.
2.6 DIAGNOSA Diagnosa CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-gejala di atas juga didukung oleh beberapa pemeriksaan yaitu : 2.6.1. Pemeriksaan fisik Harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS adalah (N. Katz, at all. 2002) : a. Flick's sign. Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa STK. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud. b. Thenar wasting. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar. c. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat dinamometer. Penderita diminta untuk melakukan abduksi maksimal palmar lalu ujung jari (Basuki Andi, 2009) dipertemukan dengan ujung jari lainnya. Di nilai juga kekuatan jepitan pada ujung jari-jari tersebut. Ketrampilan/ketepatan dinilai dengan meminta penderita melakukan gerakan yang rumit seperti menulis atau menyulam. d. Wrist extension test. Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti STK, maka tes ini menyokong diagnosa STK. e. Phalen's test. Penderita melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa STK.
Sumber : Medicastroe.com f. Torniquet test. Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa. g. Tinel's sign. Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.
h. Pressure test. Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti STK, tes ini menyokong diagnosa. i. Luthy's sign (bottle's sign). Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosa. j. Pemeriksaan sensibilitas. Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa. k. Pemeriksaan fungsi otonom. Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa STK. 2.6.2 Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik) (Gorsche Ron, 2001) a. Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31 % kasus STK. b. Kecepatan Hantar Saraf(KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi safar di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik. 2.6.3 Pemeriksaan radiologis. (Dewanto, at all. 2009)
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto palos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi.
2.6.4 Pemeriksaan laboratorium. (Gorsche Ron, 2001) Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap. 2.7 DIAGNOSA BANDING (Basuki Andi, 2009) 1.
Cervical radiculopathy.
Biasanya
keluhannya
berkurang
hila
leher
diistirahatkan dan bertambah hila leher bergerak. Oistribusi gangguan sensorik sesuai dermatomnya. 2. lnoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain otototot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan dan lengan bawah. 3. Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di telapak tangan. 4. de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan yang repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan tangan di dekat ibu jari.
KHS normal. Finkelstein's test : palpasi otot abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah. 2.8 TERAPI Selain ditujukan langsung terhadap CTS, terapi juga harus diberikan terhadap keadaan atau penyakit lain yang mendasari terjadinya CTS. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi atas 2 kelompok, yaitu : 2.8.1 Terapi konservatif (non operatif) (Basuki Andi, 2009: Dewanto, at all. 2009) 1. Istirahatkan pergelangan tangan. 2. Obat anti inflamasi non steroid. Ibuprofen dan piroksikam merupakam NSAID yang banyak digunakan untuk menghilangkan nyeri pada CTS. 3. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu. 4. lnjeksi steroid. Penggunaan steroid dapat dengan menghambat proses inflamasi. Pada penelitian Cochrane didapatkan bahwa injeksi steroid local memberikan perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan dengan steroid oral. Pemberian peroral dapat memberikan efek samping berupa mual, muntah, bahkan perdarahan lambung. 5. Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika. 6. Vitamin B6 (piridoksin). 7. Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan.
2.8.2 Terapi Operatif Operasi umumnya terapi nonoperasi efektif untuk kasus ringan/ jika gejala CTS menetap ,direkomendasikan terapi operasi CTS. Tindakan operasi dilaksanakan bila telah ada atrofi otot. Tujuan operasi CTS untuk membelah lapisan transkunervus (TCL). Ketika TCL, dipotong tekanan nervus dibawahnya akan berkurang. Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada safar. Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali maupun tenosinovitis pacta terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka. (Gorsche Ron, 2001: Accident Compensation Corporation, 2009)
Terapi operatif untuk membebaskan tekanan pada terowongan karpal
Sumber : medicastore.com 2.9 PROGNOSIS Prognosis biasanya baik. Beberapa factor bias menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk, seperti status mental dan penggunaan alcohol. Penelitian menunjukan bahwa 34% pasien CTS idiopatik mengalami resolusi sempurna( remisi ) dalam 6 bulan. Tingkat remisi lebih tinggi pada kelompok usia muda, wanita, dan selama kehamilan. Indicator prognosis yang positif adalah durasi gejala yang singkat dan usia muda. Sedangkan, gejala bilateral dan maneuver Phalen yang positif merupakan indicator prognosis yang buruk (Dewanto, at all. 2009)
BAB III KERANGKA BERFIKIR DAN KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Berfikir Carpal Tunnel Syndrome
Definisi
Klasifikasi
Epidemiologi
Patogenesis
Etiologi
Gejala
Diagnosis
Diagnosis Banding Operatif Terapi Non operatif Prognosis
3.2 Kerangka Konsep
Adapun konsep penelitian dari penentuan angka prevalensi kasus nyeri punggung bawah di RSUP Sanglah adalah sebagai berikut :
Pasien Carpal Tunnel Syndrome
Karakteristik pasien Carpal Tunnel Syndrome
Umur
Jenis kelamin
penyebab
Terapi
Keluhan penyerta
Penyakit penyerta
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data sekunder berupa rekam medis di RSUP Sanglah Denpasar bulan April 2015 – Oktober 2016 untuk melihat karakteristik penderita CTS berdasarkan karakteristik subjek penelitian dan karakteristik klinis penyakit. Peneliti menggunakan metode ini karena memiliki keuntungan mudah dilaksanakan, relatif murah, tidak memerlukan waktu yang lama, dan dapat memberikan gambaran karakteristik penyakit. 4.2 Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi Penelitian 1.Populasi Target Populasi target dalam penelitian ini adalah penderita CTS. 2.Populasi Terjangkau Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah penderita CTS yang datang ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar pada bulan April 2015 – Oktober 2016.
4.2.2 Sampel Penelitian Sampel pada penelitian ini adalah penderita CTS yang datang ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar pada bulan April 2015 – Oktober 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. 1.Kriteria Inklusi Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari populasi target yang terjangkau yang akan diteliti. Adapun kriteria inklusi sampel yang diteliti adalah: Pasien dengan catatan rekam medis CTS yang datang ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar pada bulan April 2015–Oktober 2016. 2. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subjek memenuhi kriteria inklusi namun tidak dapat diikut sertakan dalam penelitian. Adapun kriteria eksklusi sampel yang diteliti adalah: 1) Catatan rekam medis tidak ditemukan atau tidak lengkap. 2) Catatan rekam medis tidak sesuai dengan data yang diinginkan. 4.2.3 Cara Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik total sampling. Pada teknik penentuan sampel ini, setiap data subjek yang didapatkan dari rekam medis dengan kriteria data sesuai kebutuhan penelitian dimasukkan ke dalam analisis data. 4.2.4 Besar Sampel
Besar sampel adalah semua penderita CTS yang datang ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar pada bulan April 2015 – Oktober 2016. 4.3 Variabel Penelitian Klasifikasi variabel penelitian: 1. Variabel terikat: kejadian CTS 2. Variabel bebas: 1) Umur 2) Jenis kelamin 3) Penyebab CTS 4) Terapi 5) Keluhan penyerta 6) Penyakit penyerta
4.4 Definisi Operasional Variabel Defisiensi operasional variable dalam penelitian ini antara lain: Carpal tunnel syndrome : kumpulan gejala yang disebabkan oleh kompresi nervus medianus di pergelangan tangan berjalan melalui terowongan karpal (carpal tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan punggung tangan di daerah ibujari, telunjuk,jari tengah dan setengah sisi. Variable yang mempengaruhi, yang akan diamati dalam penelitian, sebagai berikut: 1.Umur 2.Jenis kelamin
3.Penyebab CTS 4.Terapi 5.Keluhan penyerta 6. Penyakit Penyerta 4.5 Spesimen Penelitian 1. Rekam medis Berkas atau catatan penting yang berisikan informasi mengenai penderita CTS yang datang ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar pada bulan April 2015 – Oktober 2016. 4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.6.1 Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar. 4.6.2 Waktu Peneltian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 – Oktober 2016.
4.7 Prosedur Pengambilan Penelitian 1. Pengambilan data sekunder pasien yang terdiagnosis CTS pada rekam medis pasien di poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar pada bulan April 2015Oktober 2016. 2. Tahap pengolahan dan analisis data. 3. Tahap penyusunan laporan. 4.8 Pengolahan Analisis Data
1. Analisis Univariat Analisis ini digunakan untuk mengetahui gambaran karakteristik subyek penelitian dengan menyajikan distribusi frekuensi dari masing–masing variabel yang diteliti, dinyatakan dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi untuk mengetahui proporsi masing – masing variabel. 4.9 Kelemahan Penelitian 1. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insiden, maupun prognosis. 2. Tidak dapat menggambarkan faktor risiko sebagai efek tetapi hanya dapat menggambarkan karakteristik penyakit pada suatu waktu dan tempat tertentu. 3. Menggunakan data sekunder berupa rekam medis sehingga, terdapat kemungkinan adanya data yang tidak lengkap.