BAB II PEMBAHASAN A. PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN PADA TINGKAT NASIONAL PROVINSI DAN KABUPATEN KOTA
1. Proses Pembentukan Peraturan dan Perundang-Undangan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai
dari
perencanaan,
persiapan,
perumusan,
pembahasan,
pengesahan pengundangan dan penyebarluasan. Sedangkan Peraturan Perundang-undangan adalah Peraturan tertulis yang dibentuk oleh Lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.1 Bentuk-bentuk peraturan perundangan suatu negara yang dapat dikeluarkan pada suatu masa tertentu dapat berbeda dengan bentukbentuk Peraturan Perundangan yang dapat dikeluarkan pada masa yang lain. Hal ini tergantung pada macamnya penguasa serta kewenangan untuk
membentuk
suatu
keputusan
yang
berbentuk
peraturan
perundangan. Semua ini ditentukan dalam sistem ketatanegaraan yang dilaksanakan. Maka apabila terjadi suatu perubahan ataupun pergantian sistem ketatanegaraan, akan terjadi pula perubahan atau pergantian
1
Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,(Yogyakarta: PT. Kanisius Yogyakarta, 2007), Hlm. 11
31
penguasa yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu keputusan yang berbentuk Undang-Undang atau perundangan lainnya. Selanjutnya akan mengakibatkan perubahan atau pergantian macammacam bentuk perundangan yang dapat dikeluarkan. Sistem ketatanegaraan suatu negara dapat diketahui dari Undang-Undang Dasarnya sepanjang negara itu mempunyai UndangUndang Dasar. Undang-Undang Dasar suatu negara merupakan suatu bentuk perundangan yang tertinggi, karena merupakan suatu dasar serta sumber dari segala peraturan perundangan yang dapat dikeluarkan menurut Undang-Undang Dasar itu sendiri, sehingga semua peraturan perundangan dibawah tingkat Undang-Undang Dasar tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selanjutnya sesuai dengan prinsip negara hukum, maka setiap peraturan perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas kepada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatanya2.
2. Macam dan Bentuk Peraturan Dan Perundang-Undangan Didalam Undang-Undang baik sebelum dan sesudah perubahan, hal-hal
mengenai
peraturan perundang-undangan tidak banyak
dikemukakan, selain menyebut beberapa jenisnya. Secara eksplisit Undang-Undang 1945 hanya menyebut Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, 2
Soehino, S.H., Hukum Tatanegara Teknik Perundang-Undangan, (Yogyakarta:Liberti Yogyakarta, 2005), Cet, 4, Hlm. 1
32
sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya tumbuh dan berkembang seiring dengan praktek ketatanegaraan dan ketata pemerintahan Negara Republik Indonesia. Apabila pancasila yang terdapat dalam pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam Pembuka UUD 1945 itu merupakan Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm). sedangkan Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar Tidak Tertulis yang merupakan Konvensi Ketatanegaraan merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), maka Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia yang merupakan “Formel Gesetz” dan “Verordnung & Autonome Satzung” adalah Undang-undang dan peraturan Perundang-Undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga pemerintah dalam perundanga-undang lainnya yang merupakan peraturan peraturan yang bersumber dari kewenangan atribusi dan delegasi dari peraturan perundang-Undangan yang lebih tinggi.3 Sedangkan Berdasarkan pengertian dan fungsi peraturan Perundang-undangan, bentuk-bentuk peraturan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana ditegaskan dalam ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Sementara
XX/MPRS/1966 tersebut adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
3
Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Op, Cit. Hlm. 183-184
33
No.
2. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat, 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 4. Peraturan Pemerintah, 5. Keputusan Presiden, 6. Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Lainnya seperti: -
Peraturan Menteri
-
Instruksi Menteri
-
Dan Lain-Lainnya.4 Dengan demikian jenis-jenis peraturan perundang-undangan di
Negara
Republik
Indonesia
(Dengan
Penyesuaian
Penyebutan
berdasarkan Undang-Undang N0. 10 Th. 2004) adalah sebagai berikut: a) Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Pusat. 1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 2. Peraturan Pemerintah 3. Peraturan Presiden 4. Peraturan Menteri 5. Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Non Parlemen 6. Peraturan Direktur Jenderal Departemen 7. Peraturan Badan Hukum Negara b) Peraturan Perundang-Undangan di Tingkat Daerah 1. Peraturan Daerah Provinsi
4
Soehino, S.H.Op. Cit, Hlm. 8
34
2. Peraturan/Keputusan GubernurKepala Daerah Provinsi 3. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 4. Peraturan/Keputusan Bupati/Wali Kota Kepala Daerah Kabupaten/Kota.5 3. Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam Undang-Undang dasar 1945 hanya disebutkan 3 jenis bentuk peraturan perundangan, yaitu undang-undang, peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, dan peraturan pemerintah. Undang-Undang adalah bentuk peraturan perundangan yang dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang, yaitu presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hal ini ditentukan dalam pasal 5 ayat (1) jo pasal 20. ayat (1). Pasal 5 ayat (1) presiden memegang kekuasaan Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (1) tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Badan Pembentuk Undang-Undang adalah Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 89. Pasal 89 kecuali apa yang dibentuk dalam pasal 140 maka kekuasaan perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
5
Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH, Op. Cit. Hlm. 183-184
35
Rakyat. Pasal 140 berisi tentang ketentuan perubahan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Sedangkan menurut sistem Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat 1949 ternyata ada dua macam Undang-Undang federal yang masing-masing dibentuk oleh Badan Pembentuk Undang-Undang Federal yang berbeda susunannya. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 127 “kekuasaan perundangundangan federal sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini dilakukan oleh: a. Pemerintah, bersama-sama dengan Dewan perwakilan Rakyat dan Senat, sekedar hak itu mengenai peraturanperaturan tentang hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagianya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara Republik Indonesia Serikat dan daerahdaerah yang tersebut dalam pasal 2. b. Pemerintah bersama –sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya.6
4. Undang-Undang Perlindungan Perempuan dan Anak Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan, kelompok maupun tingkat sosial tertentu. Hak-hak tersebut mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat dan merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib
6
Soehino, S.H., Op. Cit. Hlm. 14-15
36
dijunjung tinggi, tidak saja oleh setiap individu dari suatu Negara yang mengakui keberadaan dan merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi, tidak saja oleh setiap individu dari suatu Negara yang mengakui keberadaan dan menghargai HAM itu sendiri, namun harus juga dijamin oleh Negara tanpa ada perkecualianya.7 Pelanggaran HAM dewasa ini sangat menghawatirkan, baik pelanggaran HAM didalam lingkungan keluarga,
industri,
pariwisata,
ekonomi
sosial
dan
budaya
(ekososbud) terjadi begitu kompleks dan banyak hal yang melatarbelakanginya. Pada proses penanganan KDRT misalnya, yang kemudian diajukan ke pengadilan, selain faktor putusan hakim yang dipertimbangankan dengan mengedepankan asas persamaan dan tanpa diskriminasi, juga termasuk didalamnya suasana pengadilan yang juga berpihak kepada korban KDRT (biasanya perempuan). Beberapa pedoman yang digunakan hakim dalam menghindari bias gender dipengadilan di antaranya ialah: memperlakukan setiap individu secara baik dengan prinsip kesetaraan; tidak bercanda atau sikap yang mengarah pada pelecehan seksual; memperhatikan seluruh komunikasi baik tertulis maupun verbal dengan netral tanpa membedakan jenis kelamin; dengan tidak memanggil setiap perempuan dengan panggilan “Honey” atau “Dear”; tidak 7
Dr. Niken Savitri, SH., MCL. HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap Kuhap, (Bandung: PT. Refika Aditama), Hlm: 1
37
memberikan komentar yang memojokkan, termasuk menyerang keadaan fisik seseorang; tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang merendahkan martabat ras, kelas sosial, orientasi seksual pada setiap orang. Selanjutnya berkenaan dengan pemidanaan oleh hakim, jika diartikan secara luas dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, juga mencakup keseluruhan ketentuan peran yang mengatur bagaimana hukum pidana dapat ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seorang dapat dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini artinya semua aturan peran mengenai hukum pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapatlah dilihat dari satu
kesatuan
sistem
pemidanaan.
Sedangkan
karasteristik
pemidanaan hakim digambarkan oleh Herbert Packer kedalam beberapa indikator: a. Pemidanaan tersebut harus melibatkan efek rasa sakit atau efekefek lainnya yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. (it must involve pain or other consecuences normally con-sidered unpleasant). b. Penjatuhan pidana tersebut harus ditunjukan kepada perbuatan yang melanggar aturan hukum. (it must be for an offense agains legal rules)
38
c. Penjatuhan pidana tersebut harus dibebankan atau ditetapkan secara paksa kepada orang yang benar-benar atau dianggap benar-benar menjadi terdakwah akibat perbuatan pidananya. (it must be imposed on an actual or supposed offender for his offense) d. Penjatuhan pidana tersebut harus diperlakukan dan diatur oleh manusia. (It must be intentionally administrered by human being than the other offender) e. Penjatuhan pidana diberlakukan dan diatur oleh pihak yang diberi kewenangan oleh sistem
hukum untuk hal tersebut
dimana tindak pidana itu dilakukan .(It must be imposed and administered by an authority constituted by a legal system agains which the offence is comunitted). Dari indikator parker diatas menunjukan bahwa karakteristik sanksi pidana pada dasarnya bersifat memaksa dan memberikan kewenangan hukum untuk menghilangkan kebebasan seseorang rasa sakit dan tidak nyaman bagi pelaku.8 Selanjutnya dalam pembahasan lain yakni teori pemberian efek jera (diterrence) menjelaskan bahwa pencegahan merupakan tujuan pemidanaan yang paling simpel dan sederhana dalam upaya mengurangi adanya kejahatan. Penyebabnya ialah, orang secara
8
Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H. Proses pembenukan hukum kekerasan terhadap perempuan di indonesia dan malaysia, (yogyakarta: Aswaja Pressindo), Hlm. 23-25
39
sadar akan berhati-hati untuk tidak melakukan pidana karena sanksi yang diakibatkan olehnya.9 Dalam beberara literasi buku yang ada menyebutkan bahwa banyak Undang-Undang, Peraturan-Peraturan yang mengatur atas Hak Asasi Manusia (HAM) utamanya upaya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak antara lain: 1. UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 2. UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. 3. UU. No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 4. UU.
No.
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan
membolehkan usia 15 tahun.. 5. UU. No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan Wajib Belajar 9 Tahun. 6. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Hukum Adat. 7. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Staatblad 1849 No. 25. 8. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Staatbled 1917 No. 129. 9. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Staatblad 1919 No. 81. 10. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Ordonasi Tanggal 15 Oktober 1920.
9
Ibid, Hlm. 32
40
11. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Staatblad 1927 No. 31. 12. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Staatblad 1933 No. 75. 13. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Undang-Undang No. 62 Tahun 1958. 14. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 15. Perlindungan
Hukum
Terhadap
Anak
Dalam
Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975. 16. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Surat Edaran No. JHA I/I Tahun 1978. 17. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1984. 18. Perlindungan
Hukum
Terhadap
Anak
Dalam
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983. 19. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Instruksi Menteri Sosial No. 41/HUK/KEP/VII/1984. 20. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 474. 1-311. 21. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 474. 1/1890/PUOD.
41
22. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam
Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri No. 474. 1-785. 23. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 474. 1/809/PUOD. 24. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Konvensi Hak-hak Anak (Convention On The Right Of The Child) Tahun 1989. 25. Perlindungan
Hukum
Terhadap
Anak
Dalam
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1990. 26. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 36 Tahun 1990. 27. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991. 28. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1992.10 29. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 30. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dankerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 31. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
10 Dra. MG. Endang Sumiarni, SH. M. Hum dan Chandrera Halim, SH. M. Hum, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Hukum Keluarga, ( Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2000) , Daftar Isi, Hlm. XIII
42
32. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 33. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 34. Peraturan Daerah Rovinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan
Perlindungan
Terhadap
Korban
Kekerasan Berbasis Gender Dan Anak. 35. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. 36. Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. 37. Rencangan Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Tentang Penyelenggaraan Perempuan. Dari sekian Peraturan dan Perundang-Undangan diatas, dapat diketahui bahwa pembuat (DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Apabila kita melihat definisi anak sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa (YME),
yang
memiliki
peran
strategis
dalam
menjamin
kelangsungan eksistensi Negara ini. Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undanganyang berlaku.
43
Namun itu tidak cukup perlu adanya pengawalan yang kuat untuk mewujudkanya.11 Adapun beberapa konsentrasi penelitian hukum yang akan dikaji peneliti antara lain: a. Regulasi Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak di Tingkat Nasional 1. Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2004
Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1). Asas dan Tujuan Pada pasal 3 dijelaskan: Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: a. Penghormatan Hak Asasi Manusia b. Keadilan dan Kesetaraan Gender c. Pendiskriminasi d. Perlindungan Korban
2). Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada pasal 5 dijelaskan: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan Fisik 11
M. Nasir Djamil (Pimpinan Panja RUU Sistem Peradilan Pidana Anak Komisi III DPR RI), Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UUSPPA),(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Cet. 2. Hlm. 9.
44
b. Kekerasan Psikis c. Kekerasan Seksual d. Penelantaran Rumah Tangga
3). Hah-Hak Korban Pada pasal 10 dijelaskan Korban berhak mendapatkan: a. Perlindungan
dari
pihak
keluarga,
kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis c. Penanganan
secara
khusus
berkaitan
dengan
kerahasiaan korban d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan e. Pelayanan bimbingan sosial
4). Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat Pada Pasal 11 dijelaskan: pemerintah bertanggung jawab dalam upaya penjelasan dalam rumah tangga.
5). Perlindungan
45
Pada Pasal 16 dijelaskan: (1) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima kepolisiaan
laporan wajib
kekerasan segera
dalam
memberikan
rumah
tangga
perlindungan
sementara pada korban. (2) Perlindungan sementara sebgaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. (3) dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak pemberian perlindungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perlindungan dari pengadilan.
6). Pemulihan Korban Pada Pasal 39 dijelaskan: untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: a. Tenaga Kesehatan b. Pekerja Sosial c. Relawan Pendamping: dan/atau d. Pembimbing Rohani
7). Ketentuan Pidana Pada Pasal 44 dijelaskan bahwa:
46
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15. 000.000.00 (lima belas juta rupiah) (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana diatur dalam ayat (1) mengakibatkan korban mendapatkan jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000.00 (tiga puluh juta rupiah) (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000.00 (empat puluh lima juta) (4) Dalam hal perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau keiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
47
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000.00 (lima juta rupiah).12
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1) Penyelenggaraan Pemulihan Pada Pasal 2 dijelaskan: (1) Penyelengaraan dilaksanakan
pemulihan oleh
instansi
terhadap pemerintah
korban dan
pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; b. Tenaga yang ahli dan profesional; c. Pusat pelayanan dan rumah aman; dan d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
12 Buku Saku, Divisi Publikasi Dan Jaringan Informasi Tim Pelaksana Penanganan Korban Tdak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Kabupaten Jepara, ( Aset Kantor BP2KB Kabupaten Jepara), Hlm. 1-24
48
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
2) Kerjasama Pemulihan Pada Pasal 15 dijelaskan: (1) Menteri dapat melakukan koordinasi mengenai pelaksanaan kerjasama dalam rangka pemulihan korban. (2) Untuk
melaksanakan
ketentuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), menteri dapat membentuk forum koordinasi pusat yang keanggotannya berasal dari instansi terkait dan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. (3) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pelaksanaan
koordinasi, syarat dan tata cara pembentukan forum koordinasi diatur dengan peraturan menteri.
3) Pembiayaan Pada
pasal
22
dijelaskan:
Segala
biaya
untuk
pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah
49
dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dibebankan pada: a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara; b. Anggaran Pwendapatan Belanja Daerah; dan c. Sumber pendapatan lain yang sah yang perolehannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.13
3. Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
Tentang
Perlindungan Anak 1) Asas dan Tujuan Anak Pada Pasal 2 dijelaskan: Penyelengaraan perlindungann anak berdasarkan pancasila dan berlandaskan undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak c. Hak
untuk
hidup,
kelangsungan
perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
2) Hak dan Kewajiban Anak
13
Buku Saku, OP. Cit. Hlm. 35-48
50
hidup,
dan
Pada Pasal 4 dijelaskan: Setiap anak berhalk untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindugan dari kekerasan dan diskriminasi.
3) Kewajiban dan Tanggung Jawab Pada Pasal 20 dijelaskan: Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
4) Kedudukan Anak 1. Identitas diri setiap anak harus dberikan sejak kelahirannya. 2. Identitas
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1)
dituangkan dalam akta kelahiran. 3. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. 4. Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui,
dan
orang
tuanya
tidak
diketahui
keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
51
5) Kuasa Asuh Dalam Pasal 30 dijelaskan: (1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, “(1) orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak: b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya: dan c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan
sesuai
perundang-undangan
dengan yang
ketentuan berlaku.”
peraturan melalaikan
kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. (2) Tindakan
pengawasan
terhadap
orang
tua
atau
pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
6) Perwalian
52
Pada Pasal 33 dijelaskan: (1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau kerabatnya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. (2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan. (3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak. (4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan. (5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
7) Pengasuhan dan Pengangkatan Anak Pada Pasal 37 dijelaskan: (1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya
tidak
dapat menjamin
tumbuh kembang
anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual,
53
maupun sosial. (2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan
oleh
lembaga
yang
mempunyai
kewenangan untuk itu. (3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang
menjadi landasan
lembaga yang bersangkutan. (4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. (5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial. (6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
8) Penyelenggaraan Perlindungan Pada Pasal 42 Dijelaskan: (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama
54
yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.
9) Peran Masyarakat Pada Pasal 73 Dijelaskan: (1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluasluasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. (2) Peran ayat
masyarakat (1)
lembaga
sebagaimana dimaksud
dilakukan oleh orang perlindungan
kemasyarakatan,
lembaga
anak,
perseorangan,
lembaga
swadaya
dalam
sosial
masyarakat,
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.
10) Komisi Perlindungan Anak Indonesia Pada pasal 74 Dijelaskan: Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi
Perlindungan
Anak
Indonesia
yang
bersifat
independen.
11) Ketentuan Pidana Pada Pasal 77 Dijelaskan: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :
55
a. Diskriminasi anak
terhadap
mengalami
anak
kerugian,
yang baik
mengakibatkan materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
12) Ketentuan Peralihan Pada Pasal 91 Dijelaskan: Pada
saat
berlakunya
undang-undang
peraturan perundang-undangan
ini,
semua
yang berkaitan dengan
perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undangundang ini.14
4. Undang-Undang
Nomor
21
Tahun
2007
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 1) Tindak Pidana Perdagangan Orang Pada Pasal 2 dijelaskan:
14
Buku Saku, Op, Cit, Hlm. 55-101
56
Tentang
(1) Setiap
orang
yang
melakukan
perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan
kekerasan,
seseorang
penggunaan
dengan
kekerasan,
ancaman penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran
atau
manfaat
walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua
puluh
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi,
maka
pelaku
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
2) Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pada Pasal 19 dijelaskan:
57
Setiap
orang
yang
memberikan
atau
memasukkan
keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).15
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1) Diversi Pada Pasal 6 Dijelaskan bahwa diversi bertujuan: a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
2) Acara Peradilan Pidana Anak Pada Pasal 16 dijelaskan: 15
Buku Saku, Op, Cit. Hlm. 103-111
58
Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga
dalam
acara
peradilan
pidana
anak,
kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
3) Petugas Kemasyarakatan Pada Pasal 63 dijelaskan Petugas kemasyarakatan terdiri atas: a. Pembimbing Kemasyarakatan; b. Pekerja Sosial Profesional; dan c. Tenaga Kesejahteraan Sosial.
4) Pidana dan Tindakan Pada Pasal 69 dijelaskan: (1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang- Undang ini. (2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai
tindakan.
5) Pelayanan, Perawatan, Pendidikan, Pembinaan Anak, Dan Pembimbingan Klien Anak Pada pasal 84 dijelaskan:
59
(1)
Anak yang ditahan ditempatkan di LAPAS.
(2)
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak
lain
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. (3)
LAPAS
wajib
menyelenggarakan
pelatihan keterampilan, dan lain
sesuai
dengan
pendidikan,
pemenuhan ketentuan
hak peraturan
perundang-undangan. (4)
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Lapas
wajib
melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
6) Anak Korban Dan Anak Saksi Pada Pasal 89 dijelaskan: Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua pelindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
60
7) Pendidikan dan Pelatihan Pada Pasal 92 disebutkan: (1)
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu.
(2)
Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling singkat 120 (seratus dua puluh) jam.
(3)
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat
kementerian yang
(1)
dikoordinasikan
menyelenggarakan
oleh urusan
pemerintahan di bidang hukum. (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
8) Peran Serta Masyarakat Pada Pasal disebutkan: Masyarakat dapat berperan serta dalam pelindungan Anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara: a. menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak yang berwenang; b. mengajukan
usulan
61
mengenai
perumusan
dan
kebijakan yang berkaitan dengan Anak; c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak; d. berpartisipasi
dalam
penyelesaian
perkara
Anak
melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; e. berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban dan/atau Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan; f.
melakukan
pemantauan
terhadap
kinerja
aparat
penegak hukum dalam penanganan perkara Anak; atau g. melakukan sosialisasi
mengenai
hak
Anak
serta
peraturanperun dang-undangan yang berkaitan dengan Anak.
9) Koordinasi, Pemantauan, dan Evaluasi Pada pasal 99 dijelaskan: (1)
Kementerian
yang
menyelenggarakan
bidang perlindungan
anak
melakukan
urusan
di
koordinasi
lintas sektoral dengan lembaga terkait. (2)
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kebijakan
rangka
mengenai
sinkronisasi langkah
perumusan pencegahan,
penyelesaian administrasi perkara, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.
62
(3)
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan
Pidana
Anak
dilakukan
oleh
kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10) Ketentuan Pidana Pada pasal 96 dijelaskan: Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja
tidak
melaksanakan
kewajiban
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).16
b. Regulasi Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak di Tingkat Provinsi
16 Dokumen dan file kantor Dinas BP2KB Kabupaten Jepara sekaligus Buku saku, Divisi Publikasi Dan Jaringan Informasi Tim Pelaksana Penanganan Korban Tdak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Kabupaten Jepara, Pada hari Jum’at 5 Desember 2014 pukul 10.00 WIB oleh Muji Santoso (PPT. PPA)
63
1. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender Dan Anak 1) Asas dan Tujuan Perlindungan dan anak
korban
kekerasan
berbasis
berasaskan Pancasila
gender
dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, serta prinsipprinsip dasar yang meliputi: a.
non diskriminasi;
b.
kepentingan terbaik bagi korban;
c.
keadilan dan kesetaraan gender;
d.
perlindungan korban;
e.
kelangsungan hidup ibu;
f.
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang anak;
g.
penghargaan terhadap pendapat anak;
h.
keterbukaan;
i.
keterpaduan;
j.
tidak menyalahkan korban;
k.
memberdayakan;
l.
kerahasiaan korban;
m. pengambilan keputusan di tangan korban.
2) Hak-Hak Korban
64
Pada Pasal 4 Dijelaskan: (1)
Setiap korban kekerasan berbasis gender dan anak korban kekerasan berhak: a.
memperoleh
perlindungan
atas
keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan keterangan yang akan, sedang, atau telah diberikan; b.
untuk ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
d.
mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan;
e.
mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, nyaman, dan sesuai kebutuhan;
f.
pemulihan dan reintegrasi sosial;
g.
mendapatkan
pendampingan
hukum,
psikologis, bimbingan rohani, ekonomi, sosial dan penterjemah. (2)
Hak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
65
3) Kebijakan Pemerintah Daerah Pada pasal 5 dijelaskan: (1)
Kewajiban Pemerintah Daerah meliputi : a. mencegah terjadinya kekerasan; b. memberikan perlindungan bagi korban kekerasan; c. menyediakan layanan pemulihan dan reintegrasi sosial; d. mendorong
dan
meningkatkan
partisipasi
masyarakat; e. melakukan kerjasama dengan penyedia layanan dalam upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan. (2)
Untuk
melaksanakan
dimaksud
pada
ayat
kewajiban (1),
sebagaimana
Pemerintah
Daerah
mempunyai kewenangan untuk : a. merumuskan kebijakan dan program tentang penghapusan kekerasan berbasis gender dan anak; b. membentuk pelayanan terpadu dan KPK2BGA; c. memfasilitasi terselenggaranya pelayanan terpadu dan kegiatan KPK2BGA; d. menyediakan sarana dan prasarana;
66
e. meningkatkan
kapasitas
lembaga
penyedia
layanan; f. melakukan koordinasi dan kerjasama dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan anak; g. mendorong partisipasi masyarakat; h. melakukan monitoring dan evaluasi. (3)
Pemerintah daerah dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, suami, istri atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab kepada korban.
4) Penyelenggaraan Perlindungan Pada Pasal 6 dijelaskan: Dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap korban kekerasan b e r b a s i s gender dan anak korban kekerasan, Pemerintah Daerah dibantu oleh: a. Pelayanan Terpadu; dan b. Komisi penghapusan kekerasan berbasis gender dan anak (KPK2BGA).
5) Peran Serta Masyarakat Pada pasal 24 dijelaskan: (1)
Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya
67
pencegahan
dan
penanganan
korban kekerasan
berbasis gender dan anak. (2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan: a. memberikan informasi dan atau melaporkan setiap kekerasan yang diketahuinya; b. memberikan perlindungan bagi korban c. memberikan pertolongan darurat d. memberikan advokasi terhadap korban dan atau masyarakat tentang penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan anak; e. membantu
proses
pengajuan
permohonan
penetapan perlindungan; f. membantu
dalam
proses
pemulangan
dan
reintegrasi sosial.
6) Pengendalian, Pembinaan dan Pengawasan Pada pasal 25 dijelaskan: (1)
Pengendalian, penyelenggaraan
pembinaan perlindungan
dan
pengawasan
terhadap
korban
kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak dilakukan oleh Gubernur, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Wakil Gubernur.
68
(2)
Pelaksanaan
Pengendalian,
pembinaan
dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehari-hari
dilaksanakan
oleh
Badan
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana.
7) Pembiayaan Pada Pasal 26 Dijelaskan: Semua kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.17
2. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak 1) Azaz dan Tujuan Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi: a. non diskriminasi; b. kepentingan terbaik bagi anak; 17
Ibid, Dokumen dan fail kantor Dinas BP2KB Kabupaten Jepara sekaligus Buku saku, Bagian: Perda Pemrov. Jateng. No. 3 Th. 2009
69
c. hak
untuk
hidup,
kelangsungan
hidup
dan
perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pandangan anak.
2) Hak Anak Pada Pasal 4 dijelaskan: (1) Setiap anak berhak: a. memperoleh perlindungan atas keberlangsungan pemenuhan hak dan keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan pengasuhan yang aman. c. mendapatkan layanan yang cepat, tepat, nyaman, dan sesuai kebutuhan anak. (2) Hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai
dengan
perundang-undangan.
(3) Kewajiban Pemerintah Daerah Pada Pasal 5 Dijelaskan:
70
ketentuan
peraturan
(1) Kewajiban Pemerintah Daerah meliputi: a.
menyediakan data dan informasi anak;
b.
mencegah dan mengurangi risiko kerentanan terjadinya
tindak
kekerasan,
eksploitasi,
penelantaran dan perlakuan salah terhadap anak; c.
menangani
anak
saksi
pelaku tindak kekerasan, eksploitasi,
dan
yang
menjadi
korban,
penelantaran dan perlakuan salah; d.
mendorong
tanggung
masyarakat,
lembaga
jawab
orang
pendidikan,
tua,
lembaga
penyelenggara layanan , lembaga partisipasi anak dan kelompok profesi didalam upaya pencegahan, pengurangan risiko kerentanan dan penanganan korban; e.
melakukan fasilitasi, koordinasi dan kerjasama dalam mencegah dan menangani terjadinya tindak kekerasan,
eksploitasi,
penelantaran
dan
perlakuan salah terhadap anak. (2) Untuk dimaksud
melaksanakan pada
kewajiban
ayat
sebagaimana
(1), Pemerintah Daerah
mempunyai kewenangan untuk: a. merumuskan kebijakan pencegahan, pengurangan risiko kerentanan dan penanganan tindak kekerasan,
71
eksploitasi,
penelantaran
dan
perlakuan salah
terhadap anak; b. meningkatkan kapasitas orang tua, masyarakat, lembaga
pendidikan,
lembaga
penyelenggara
layanan, lembaga partisipasi anak dan kelompok profesi
dalam
melakukan
pengasuhan
dan
perlindungan terhadap anak; c. membentuk
dan/atau
menguatkan
lembaga
penyelenggara pencegahan, pengurangan
risiko
kerentanan dan penanganan tindak kekerasan, eksploitasi,
penelantaran
dan
perlakuan
salah
terhadap anak; d. menyediakan sarana dan prasarana; e. melakukan fasilitasi, koordinasi dan kerjasama dalam penyelenggaraan pencegahan, pengurangan risiko kerentanan dan penanganan tindak kekerasan, eksploitasi,
penelantaran
dan
perlakuan
salah
terhadap anak; f. mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan, pengurangan risiko dan penanganan terhadap segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah terhadap anak; g. mewujudkan
72
pemenuhan
hak
anak
yang
dilaksanakan secara terpadu dan
sistematis,
dari seluruh sektor secara berkelanjutan melalui kebijakan pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak; h. melakukan
monitoring,
terhadap
supervisi
penyelenggaraan
dan
evaluasi
pencegahan,
pengurangan risiko kerentanan dan penanganan tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah terhadap anak. (3)
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewajiban dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus memperhatikan hak dan tanggung jawab orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab kepada anak.
(4) Penyelenggaraan Perlindungan Anak Pada Pasal 6 Dijelaskan: Penyelengaraan perlindungan anak meliputi: a. pencegahan; b. pengurangan risiko kerentanan; c. penanganan korban; d. sistem data dan informasi anak.
73
(5) Kelembagaan Pada Pasal 16 Dijelaskan: (1) Penyelenggaraan perlindungan anak dilakukan oleh SKPD yang terkait dengan perlindungan anak, dan lembaga lain non pemerintah. (2) Penyelenggaraan perlindungan anak oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. (3) Penyelenggaraan
Perlindungan
Anak
oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), dibantu oleh : a. Pelayanan Terpadu. b. Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial Anak. (4) Penyelenggaraan perlindungan anak oleh lembaga non pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan yang.
(6) Peran Serta Masyarakat Pada Pasal 20 Dijelaskan: (1) Masyarakat
dapat
berperan
serta
dalam
pencegahan, pengurangan risiko, dan anak
korban,
74
pelaku
dan
saksi
upaya
penanganan kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah. (2) Bentuk peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a.
memberikan setiap
informasi
risiko
dan/atau
melaporkan
kerentanan dan
kekerasan,
eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah yang diketahuinya; b.
memberikan perlindungan bagi korban;
c.
memberikan pertolongan darurat;
d.
memberikan advokasi terhadap korban (pelaku dan saksi anak), dan/atau masyarakat tentang penanganan
kasus
kekerasan,
eksploitasi,
perlakuan salah dan penelantaran anak; e.
membantu proses pemulangan, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial.
(7) Penanganan Pengaduan Pada Pasal 21 dijelaskan: Penanganan pengaduan penyelenggaraan perlindungan anak meliputi: a. penyediaan
mekanisme
dan
sarana
pengaduan
khusus untuk anak dan menugaskan pelaksana yang kompeten
dalam
75
pengelolaan
pengaduan
dengan
mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak; b. pengelolaan pengaduan yang berasal dari penerima pelayanan dalam batas waktu tertentu; c. tindak lanjut hasil pengelolaan pengaduan.
(8) Larangan Pada Pasal 24 dijelaskan: Setiap orang dilarang melakukan tindakan: a.
diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;
b.
penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;
c.
kekerasan terhadap anak;
d.
eksploitasi
ekonomi
dan/atau
seksual
dan/atau
melibatkan,
menyuruh
perdagangan terhadap anak; e.
menempatkan,
membiarkan,
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi NAPZA; f.
memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang
76
menyandang cacat.
(9)
Sanksi Administrasi Pada Pasal 25 dijelaskan: (1) Setiap
orang
dan/atau
lembaga
dalam
penyelenggaraan perlindungan anak baik lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi. (2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. penghentian sementara dari kegiatan; d. pemutusan kerjasama; e. pembekuan ijin; f. pencabutan ijin; (3) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
pemberian
sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.
(10) Ketentuan Penyidikan Pada Pasal 26 dijelaskan:
77
(11) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, PPNS di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Anak dan/atau Satuan Satpol PP diberi kewenangan khusus sebagai Penyidik, untuk membantu
Pejabat
Penyidik
Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. (12) PPNS dan/atau Satpol PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a.
Melakukan laporan
pemeriksaan atau
keterangan
atas yang
kebenaran berkenaan
dengan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Anak ; b.
Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Anak;
c.
Meminta keterangan dan barang bukti dari orang
sehubungan
dengan peristiwa tindak
pidana dalam bidang Perlindungan Anak; d.
Melakukan pemeriksaan atas dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Anak;
78
e.
Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti dan dokumen lain serta
melakukan
penyitaan
dan
penyegelan
terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang Perlindungan Anak; dan f.
Meminta bantuan
tenaga ahli dan/atau saksi
ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang Perlindungan Anak. (13) Apabila
pelaksanaan
dimaksud
pada
ayat
kewenangan
sebagaimana
(2) memerlukan
tindakan
penangkapan dan penahanan, PPNS dan/atau Satpol PP melakukan koordinasi dengan Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia
sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (14) PPNS
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(12)
Sanksi Pidana Pada pasal 27 dijelaskan (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
79
dimaksud dalam Pasal 24 diancam pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran.
(15) Pembiayaan Pada pasal 28 dijelaskan: Pembiayaan
Penyelenggaraan
Perlindungan
Anak
dibebankan pada Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah.
(16) Ketentuan Peralihan Pada pasal 29 dijelaskan: Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan berkaitan dengan perlindungan korban kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru.18
c. Regulasi Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak di Tingkat Kabupaten
18
Ibid, Dokumen dan fail kantor Dinas BP2KB Kabupaten Jepara sekaligus Buku saku, Bagian: Perda Pemrov. Jateng. NO. 7 Th. 2013
80
1. Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak 1) Asas , Prinsip, Tujuan dan Ruang Lingkup Pada Pasal 2 Dijelaskan: Penyelenggaraan perlindungan anakberasaskan pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945
2) Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga Dan Orang Tua Pada Pasal 6 Dijelaskan: Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
3) Penyelenggaraan Perlindungan Anak Pada pasal 11 dijelaskan: (1) Pemerintahan Daerah melakukan upaya pencegahan pelanggaran hak-hak anak dari perlakuan salah. Kekerasan, eksploitasi dan penelantaran dengan cara: a. Merumuskan kebijakan, program dan mekanisme b. Meningkatkan kesadaran dan sikap masyarakat melalui sosialisasi edukasi dan informasi
81
c. Meningkatkan kapasitas pelayanan perlindungan anak yang meliputi pengembangan kapasitas kelembagaan dan tenaga penyedia layanan d. Meningkatkan kemampuan anak untuk mengenali resiko dan bahaya dari situasi atau perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran. (2) Merumuskan
kebijakan,
program
dan
mekanisme
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. kebijakan
pencegahan,
pengaduan/pelaporan
dan
pengawasan,
pengembangan
data
masalah perlindungan anak b. kebijakan adanya jaminan pemenuhan hak setiap anak yang menjadi korban kekerasan, perlakuan salah,
eksploitasi,
dan
penelantaran
dengan
memberikan: 1) layanan pemulihan dan pemeliharaan kesehatan 2) kelangsungan pelayanan pendidikan 3) layanan sosial dan psikologis 4) akta kelahiran dan 5) layanan bantuan hukum c. kebijakan
penyelenggaraan
keluarga yang meliputi:
82
pelayanan
untuk
1) konseling 2) pendidikan pengasuhan anak 3) mediasi keluarga dan 4) dukungan ekonomi d. kebijakan upaya untuk meningkatkan pencapaian Standar Pelayanan Minimal yang sesuai dengan ketentuan penyelenggaraan perlindungan anak. (3) Meningkatkan kesadaran dan sikap masyarakat melalui sosialiasi, edukasi dan informasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Huruf b mengenai: a. Hak-hak anak, perlindungan anak, dan pengasuhan anak: dan b. Dampak
buruk
kekerasan,
perlakuan
salah,
eksploitasi, dan penelantaran anak. (4) Meningkatkan kapasitas pelayanan perlindungan anak yang meliputi pengembangan kapasitas kelembagaan dan tenaga penyedia pelayanan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. Tenaga penyedia layanan kesehatan b. Tenaga penyedia layanan pendidikan c. Tenaga penyedia layanan sosial dan psikologi d. Tenaga penyedia layanan pengasuhan: dan e. Tenaga penyedia layanan bantuan hukum
83
(5) Meningkatkan kemampuan untuk mengenali resiko dan bahaya dari situasi dan bahaya dari situasi atau perbuatan
yang
dapat
menimbulkan
kekerasan,
eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran.
4) Partisipasi Anak Pada Pasal 24 dijelaskan: Pengembangan partisipasi anak dalam penyelenggaraan perlindungan
anak
dilakukan
untuk
meningkatkan
kecakapan hidup, melalui: a. Penyediaan kesempatan bagi anak untuk terlibat dalam kegiatan
pencegahan,
pengurangan
resiko
dan
penanganan. b. Mendorong ketertiban penyelenggaraan pendidikan, penyelenggaraan perlindungan anak, dan lembaga masyarakat
dalam
pengembangan
kemampuan
partisipasi anak: dan c. Memfasilitasi pengembangan anak dalam berpartisipasi melalui organisasi anak.
5) Kota Layak Anak Pada Pasal 26 dijelaskan:
84
(1) Bupati membentuk gugus kota layak anak dalam penyelenggaraan perlindungan anak (2) Gugus kota layak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pokok: a. Mengkoordinasikan
pelaksanaan
kebijakan
dan
pengembangan kota layak anak b. Menetapkan tugas-tugas dari anggota gugus tugas. c. Melakukan sosialisasi, advokasi dan komunikasi informasi dan edukasi kebijakan kota layak anak. d. Melakukan analisis kebutuhan yang bersumber dari data dasar. e. Menyusun program kerja. f. Menyusun rencana aksi daerah kota layak anak dalam 5 (lima) tahun kedepan dan menyusun mekanisme kerja: dan g. Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan paling sedikit satu kali dalam setahun (3) Keanggotaan gugus kota layak anak diangkat dan diberhentikan oleh bupati.
6) Peran Serta Masyarakat dan Swasta Pada pasal 28 dijelaskan:
85
Masyarakat dan sektor swasta mempunyai kewajiban dan kedudukan yang sama dengan pemerintah daerah untuk berperan serta dalam perlindungan terhadap hak-hak anak dan pengawasan baik secara individu, kelompok atau kelembagaan.
7) Forum Anak Pada Pasal 30 dijelaskan: (1) Pemerintah daerah wajib memfasilitasi terbentuknya forum anak (2) Forum anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas: a. Merencanakan, mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan forum anak: dan b. Melaporkan hasil kegiatan bersama bupati (3) Dalam setiap penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan anak, pemerintah daerah harus memperhatikan dan mengakomodasi pendapat anak yang disampaikan melalui forum anak. (4) Pembentukan forum anak sebgaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bupati.
8) Kelembagaan dan Koordinasi
86
Pada Pasal 31 dijelaskan: (1) Bupati berwenang meelakukan pengendalian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak. (2) Pelaksanaan pengendalian, pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh satuan kerja yang membidangi urusan perempuan dan anak.
9) Pembiayaan Pada pasal 34 disebutkan: Semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan perlindungan
anak
dibebankan
pada
anggaran
pembelanjaan dan belanja daerah dan sumber lain yang sah.
10) Pembinaan dan Pengawasan Pada Pasal 36 dijelaskan: (1) Bupati
berwenang
melakukan
pembinaan
dan
pengawasan atas penyelenggaraan perlindungan anak (2) Bentuk pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan kelompok anak mengenai konsep kota layak anak dan hak anak.
87
b. Menyediakan
buku,
leaflet,
brosur
mengenai
perlindungan anak, kesehatan reproduksi, bahaya penyakit menular seksual dan narkotika dan zat adiktif
lainnya
(NAPZA)
serta
menyebarkan
kemasyarakat. c. Memberikan
pelatihan
yang
berkaitan
dengan
pengasuhan/pendidikan anak, prinsip konseling, psikologi dasar terhadap masyarakat yang berperan serta dalam upaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, penyelenggaraan pelayanan terpadu perlindungan anak dan kegiatan lainnya yang sejenis yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan anak. d. Memfasilitasi terselenggaranya forum partisipasi anak dan komponen kelompok sosial budaya anak e. Memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya pusat atau wadah layanan kesehatan reproduksi remaja: dan f. Memberikan penghargaan nkepada masyarakat, baik individu
maupun
kelompok
atau
organisasi
masyarakat yang dianggap telah melakukan upaya perlindungan anak dengan baik. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
kegiatan
88
monitoring
dan
evaluasi
atas
penyelenggaraan perlindungan anak yang dilaksanakan oleh penyelenggara perlindungan anak. (4) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilimpahkan kepada kepala SKPD dan/atau pejabat lain di lingkungan pemerintah daerah sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
11) Sanksi Administrasif Pada Pasal 37 dijelaskan: (1) Setiap orang dan/atau lembaga dalam penyelenggaraan perlindungan anak baik lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah yang tidak melaksanakan perlindungan anak dikenakan sanksi administrasi (2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berfungsi: a. Teguran lisan b. Teguran tertulis c. Penghentian sementara dari kegiatan d. Pemutusan kerjasama: atau e. Pencabutan izin (3) Ketetapan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan bupati.
89
12) Ketentuan Penyidikan Pada pasal 38 dijelaskan: (1) Penyidikan terhadap pelanggaran peraturan daerah ini, dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah. (2) Wewenang penyidik sebgaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang mengenai adanya tindak pidana b. Melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan ditempat kejadian c. Menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka d. Melakukan penyitaan benda atau surat e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang f. Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi g. Mendatangkan
ahli
yang
diperlukan
dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara h. Mengadakan
penghentian
penyidikan
setelah
mendapat petunjuk dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui
90
penyidik
memberitahukan
hal
tersebut
kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya: dan i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
memberitahukan dimulainnya penyidikannya kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undanag-Undang Hikum Acara Pidana.
13) Ketentuan Pidana Pada Pasal 39 dijelaskan: Setiap
perbuatan
pidana
yang
berkenaan
dengan
perlindungan anak dikenakan pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.19
2. Rencana peraturan daerah (ranperda) kabupaten jepara nomor Tahun 2014 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah
1) Maksud dan Tujuan Pada Pasal 2 dijelaskan: 19
Buku kumpulan peraturan daerah kabupaten Jepara, Bagian Hukum Stda Kabupaten Jepara Tahun 2014
91
Maksud dibentuknya Peraturan Daerah tentang PUG adalah untuk memberikan landasan hukum dan pedoman kepada Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat yang responsif gender.
2) Ruang dan Lingkup Pada Pasal 4 dijelaskan: Ruang lingkup PUG meliputi : a. perencanaan
kebijakan
gender
dalam
pembangunan
daerah. b. pelaksanaan PUG. c. Pembinaan pelaksanaan PUG.
3) Kewenangan Daerah Pada Pasal 5 dijelaskan: Pemerintah Daerah berwenang: a. menetapkan kebijakan daerah dalam pelaksanaan PUG di Daerah; b. mengkoordinasi, memfasilitasi, dan memediasi pelaksana kebijakan PUG di Daerah; c. melakukan pemantauan dan evalusi pelaksanaan PUG; d. memfasiiltasi anggaran untuk kegiatan PUG.
92
e. memfasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga non pemerintah; f. mengkoordinasi dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan yang responsif gender; g. melakukan pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksana PUG, analisis gender, perencanaan anggaran yang responsif
gender,
pengembangan materi
komunikasi,
informasi, dan edukasi PUG. h. melaksanakan pembangunan,
PUG
yang
terutama
terkait
di
dengan
bidang
bidang
pemberdayaan
perempuan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, hak asasi manusia, politik, dan ketenagakerjaan; i. memfasilitasi data terpilah menurut jenis kelamin; j. menetapkan
nama
badan
khusus
yang
menangani
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi PUG.
4) Perencanaan Pada Pasal 6 dijelaskan: (1) Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan responsif gender yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
93
Daerah (RPJMD), Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD. (2) Penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan responsif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis gender.
5) Pelaksanaan Pada Pasal 10 dijelaskan: (1) Bupati bertangung jawab atas pelaksanaan PUG. (2) Bupati dapat melimpahkan pelaksanaan PUG kepada Pejabat yang ditunjuk.
6) Pembinaan Pada Pasal 21 dijelaskan: Bupati melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan PUG yang meliputi : a. penetapan panduan teknis pelaksanaan PUG di Daerah; b. penguatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan, konsultasi, advokasi, dan koordinasi; c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG pada SKPD; d. peningkatan kapasitas Focal Point , Pokja PUG, lembaga lain pendukung PUG; dan e. strategi pencapaian kinerja.
94
7) Pengawasan dan Evaluasi Pada Pasal 22 dijelaskan: (1) Bupati melakukan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan PUG. (2) Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap SKPD dan secara berjenjang antar susunan pemerintahan. (3) Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan PUG dilakukan sebelum diadakannya penyusunan program atau kegiatan tahun berikutnya. (4) SKPD
yang
membidangi
urusan
perencanaan
pembangunan daerah melakukan evaluasi secara makro terhadap
pelaksanaan
PUG
berdasarkan
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja SKPD. (5) Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi, pusat studi wanita, atau lembaga swadaya masyarakat. (6) Hasil evaluasi pelaksanaan PUG menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan tahun mendatang.
8) Partisipasi Masyarakat
95
Pada Pasal 23 Dijelaskan : (1) Setiap orang, kelompok, organisasi masyarakat, dan/atau Lembaga Swadaya Masyarakat
berpartisipasi
dalam
berbagai kegiatan PUG. (2) Partisipasi
sebagaimana
dikoordinasikan
oleh
dimaksud SKPD
pada
yang
ayat
(1)
membidangi
pemberdayaan perempuan. 9) Pendanaan Pada Pasal 24 dijelaskan: Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG, dapat bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau d. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.20
B. DEFINISI PERLINDUNGAN HUKUM PEREMPUAN DAN ANAK 1. Definisi keadilan perlindungan Hukum Perempuan dan Anak Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
20
Data diperoleh dari Kabang Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara pada hari selasa 9 desember 2014.
96
pengadilan.21 Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.22 Makna keadilan bagi korban kekerasan yang dirumuskan melalui suara-suara korban merupakan pendekatan baru dalam perumusan keadilan. Sebelumnya, makna keadilan biasa dirumuskan berdasarkan tradisi, pandangan keluarga atau tokoh masyarakat teksteks hukum, maupun teks-teks agama. Tentu saja, pengabaian suarasuara perempuan korban kekerasan dapat menyebabkan rumusan keadilan yang ada justru menimbulkan ketidakadilan baru atau reviktimisasi (perlakuan tidak adil) bagi korban.23 Adil baru ada apabila pelaku meminta maaf kepada saya dan kepada korban lain atas apa yang mereka lakukan di masa lalu. Pelaku dihukum sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan terhadap saya, sesuai dengan hukum yang berlaku. Ada jaminan hal yang terjadi pada saya tidak terjadi pada orang lain, dan saya mendapat bantuan yang cukup sehingga bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. (Korban Penyiksaan Seksual di Aceh).24 21
UU. No. 23 Tahun 2004, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. (Jl. Merdeka Barat 15 Jakarta 10110), Hlm. 6 22 Pasal 1 Item 2, UU. 23 Tahun 2002 23 Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. Memecah kebisuan agama mendengar suara perempuan korban kekerasan demi keadilan (respon NU). Open Societiy Institute. Hlm. 184 24 Komisi Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: 2009), Cet. 2, Hlm. 202
97
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.25 Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia telah diatur secara khusus yaitu UU No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Disamping itu KDRT juga diatur dalam kitab Hukum Pidana yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan rancangan KUHP. Dalam hal ruang lingkup KDRT secara khusus diatur di dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004. Dari ketentuan diatas dapat dikatakan suami istri merupakan bagian subjek yang termasuk didalam cakupan ruang lingkup yang diatur di dalam UU No. 23 tahun 2004 ini. 26 Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara
25
Pasal 1 Item 3, UU. 23 Tahun 2002 Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H. Op, Cit. Hlm. 66-67
26
98
pada masa depan.27 Untuk itu perlu upaya perlindungan hukum serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi, antara lain:
a. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dari Stigma Sosial Pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga diberikan keharusan kepada media massa untuk merahasiakan identitas anak, anak korban dan/atau anak saksi dengan hanya menggunakan inisial nama, alamat dan tanpa gambar.
Hal ini
memang menjadi politik hukum dari legislator untuk memberikan perlindungan terbaik
bagi
anak dan menghindari
adanya
liberalisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Pemberian stigma pada anak akan memberikan dampak psikologis yang tidak baik bagi perkembangan mental anak.
b. Pengaturan Sanksi Pidana dan Sanksi Administratif Terhadap Petugas, Aparat Penegak Hukum Yang Tidak Menjalankan Tugas dan Wewenang Sesuai dengan Undang-Undanag Pengaturan sanksi adminitratif diatur dalam Bab XI Pasal 95. UU. No. 11 Tahun 2012 “Tentang Peradilan Anak” Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa petugas yang melanggar ketentuan 27
M. Nasir Djamil (Pimpinan Panja RUU Sistem Peradilan Pidana Anak Komisi III DPR RI) Op, Cit. Hlm. 8
99
kewajiban melakukan upaya diversi dalam setiap tingkat mulai dari penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di persidangan, kemudian kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus, kewajiban untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, evaluasi pelaksanaan program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan kepada anak, kewajiban meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, akan diberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundanag-undangan. Selain sanksi administratif, dalam UU Sistim Peradilan Pidana Anak ini juga memberikan ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XII yang terdiri dari 6 Pasal, mulai dari Pasal 96, 97, 98, 99, 100 dan 101 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak.
c. Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Sistem
Peradilan
Pidana
Anak
adalah
keseluruhan
proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,
mulai
tahap
penyelidikan
sampai
dengan
tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana. ABH adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Sedangkan Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang
100
selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Dalam hal ini anak berhak mendapatkan perlindungan hukum salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pelayanan perlindungan hukum melalui diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana Pasal 3 huruf a UU No. 11. Thn 2012 bahwa: Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; :. Dan pada Pasal 4 (empat) ayat (2) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: (a. mendapat pengurangan masa pidana; b. memperoleh asimilasi; c. memperoleh
cuti
mengunjungi
keluarga;
d.
memperoleh
pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.)28
2. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi Konsentrasi Pembahasan Penelitian 1) Level Nasional
28
UU No. 11. Tahun 2012
101
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak d. Undang-Undang
Nomor
21
Tahun
2007
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah a. Peraturan Daerah Rovinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender Dan Anak. b. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak 3) Peraturan Daerah Kabupaten Jepara a. Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak b. Rencangan Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Tentang Pengarus Utamaan Gender tahun 2014.
102