BAB II PEMAHAMAN MATEMATIS, KOMUNIKASI MATEMATIS, DISPOSISI MATEMATIS, DAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES
A. Pemahaman Matematis Dalam
proses
pembelajaran
matematika,
pemahaman
matematis
merupakan bagian yang sangat penting. Pemahaman matematis merupakan landasan penting untuk berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan matematika
maupun
persoalan-persoalan
di
kehidupan
sehari-hari.
Mengembangkan kemampuan pemahaman matematik, di samping karena sudah merupakan salah satu tujuan dalam kurikulum, kemampuan tersebut sangat mendukung pada kemampuan-kemampuan matematis lain, yaitu komunikasi matematis, penalaran matematis, koneksi matematis, representasi matematis dan problem solving. Pemahaman merupakan aspek kemampuan yang termasuk ke dalam Cognitive Domain (ranah kognitif). Ranah kognitif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berfikir. Pemahaman dalam mempelajari matematika ada beberapa macam. Skemp (1976) membagi pemahaman ke dalam 2 jenis yaitu: a.
Pemahaman instrumental: hafal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/ sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik saja.
15
16
b.
Pemahaman relasional: dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan. Sejalan dengan pendapat Skemp, Van Hille (1986) menyatakan bahwa
pemahaman matematis adalah: 1. Sebuah proses yang dibangun dari skema sebelumnya yang memuat konsepkonsep dan jaringan hubungan antara konsep-konsep tersebut. 2. Sebuah proses yang dibangun dengan menggunakan multiple representasi dalam lima tahap berfikir individu yaitu pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi dan keakuratan. Ruseffendi (1991) menyatakan ada 3 macam pemahaman yaitu: a.
Pengubahan (translation) misalnya mengubah soal kata-kata ke dalam simbol dan sebaliknya.
b.
Pemberian arti (interpretation) misalnya mampu mengartikan suatu kesamaan.
c.
Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation) misalnya mampu memperkirakan suatu kecenderungan dari diagram. Sumarmo (2002), membedakan 4 level pemahaman yaitu:
a.
Pemahaman mekanikal: dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara rutin atau perhitungan sederhana
b.
Pemahaman induktif: dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa.
c.
Pemahaman rasional: dapat membuktikan kebenaran sesuatu.
17
d.
Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa raguragu, sebelum menganalisis secara analitik. Ada beberapa aspek yang dapat mengembangkan pemahaman matematis
menjadi
lebih
baik.
Aspek
tersebut
meliputi
assesment,
kontrol
dan
keseimbangan. Bloom (1956) berpendapat bahwa assesment dari berbagai level berfikir dapat mengembangkan pemahaman matematis. Hal ini dapat dilakukan dengan meminta siswa menjelaskan sebuah konsep dengan bahasanya sendiri yang akan membantu siswa tersebut mengorganisasikan skemanya sendiri. Selain itu pemberian masalah aplikasi yang konstektual dapat membantu siswa mengolah pentransferan konsep. Schoenfeld (1992) mengatakan bahwa kontrol merupakan aspek dari pemahaman matematis, kontrol digambarkan sebagai pencarian dan penyeleksian pendekatan yang tepat dari berbagai pilihan pendekatan dalam proses pemecahan masalah. Seorang siswa yang memiliki kontrol yang baik memilih berbagai bagian skematik yang ada untuk memecahkan suatu masalah. Dari satu bagian skematik, siswa dapat menentukan bagian skematik lainnya dalam sebuah teknik yang efisien atau sebuah transfer konsep baru. Kelenturan dalam memilih mana skema yang cocok dan mana yang tidak cocok merupakan bentuk dari pemahaman matematis. Kemampuan pemahaman matematis memiliki indikator tertentu. NCTM (1989) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsep matematika dapat dilihat dari: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) Mengidentifikasi membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram dan
18
simbol-simbol untuk merepresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu bentuk representasi ke bentuk lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan suatu konsep;
(7) Membandingkan dan membedakan konsep-
konsep. Berbeda dengan pemahaman pada umumnya, pemahaman matematis diantaranya didasarkan pada konsep skema dari Dubinsky dan McDonald (2001). Skemp berpendapat bahwa skema menentukan struktur yang berperan dalam proses-proses dan pengatahuan seseorang serta memfasilitasi hubungan di antara pengetahuan tersebut. Ketika kita mempelajari matematika kita memiliki skema melalui proses asimilasi dan merekonstruksi sementara skema melalui proses akomodasi. Dubinsky berpendapat bahwa skema harus diinterelasikan
dalam
suatu hal yang besar yaitu suatu organisasi yang kompleks. Pemahaman matematis terjadi ketika hubungan antara konsep-konsep terbentuk, dan sebaliknya akan menjadi sebuah kesulitan yang besar jika hubungan antara konsep tersebut berdiri sendiri-sendiri. Sponsel (2003) berpendapat bahwa pemahaman matematis juga dapat ditingkatkan melalui adanya: a. Keseimbangan antara abstraksi dan konstektualisasi. Pembelajaran akan terjadi dengan baik jika terdapat kombinasi antara pembelajaran konsep abstrak dengan ilustrasi konkrit yang dapat memotivasi dan mendorong transfer proses kognitif siswa.
19
b. Keseimbangan antara eksplorasi dan latihan. Siswa akan mengingat lebih lama informasi yang dikonstruksinya sendiri secara aktif daripada yang diterimanya secara pasif, tetapi mereka pun dapat mengingat informasi dengan baik jika informasi itu disajikan dengan baik pula. c. Keseimbangan antara bekerja secara individual dan kelompok. Bekerja secara berkelompok mungkin cocok untuk aspek tertentu dari suatu kompetensi, tetapi tidak efisien untuk melatih aspek keahlian yang lain. Alfeld (2004) menyatakan bahwa seorang siswa dikatakan sudah memiliki kemampuan pemahaman matematis jika ia sudah dapat melakukan hal-hal berikut ini: a.
Menjelaskan konsep-konsep dan fakta-fakta matematika dalam istilah konsep dan fakta matematika yang ia telah miliki.
b.
Dapat dengan mudah membuat hubungan logis di antara konsep dan fakta yang berbeda tersebut.
c.
Menggunakan hubungan yang ada ke dalam sesuatu hal yang baru (baik di dalam atau di luar matematika) berdasarkan apa yang ia ketahui.
d.
Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang ada dalam matematika sehingga membuat segala pekerjaannya berjalan dengan baik. Mengingat betapa pentingnya kemampuan pemahaman dalam belajar
matematika, maka ada beberapa hal yang dianjurkan kepada siswa dalam belajar matematika. Alfeld (2004) menganjurkan hal-hal sebagai berikut: a. Selalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk memahami konsep matematika dan tidak hanya sekedar menghafalnya saja.
20
b. Jika kamu sudah kembali ke rumah pelajari kembali materi yang diajarkan di sekolah. Jangan biarkan apa yang tidak kamu pahami lewat begitu saja, karena dari hal yang tidak kamu pahami tersebut pemahaman barumu terbentuk. c. Jika kamu harus membaca 1000 halaman buku dan 1 halaman pertama menghabiskan 1 hari untuk memahaminya, tidak berarti kamu harus menghabiskan 1000 hari untuk membaca seluruh halaman buku tersebut. Karena jika kamu memahami dengan baik halaman-halaman awal maka halaman berikutnya akan lebih mudah untuk dipahami. d. Bacalah pokok-pokok materi sebelum kamu memasuki kelas, karena akan membuatmu belajar lebih efektif saat di dalam kelas. e. Kerjakan latihan-latihan yang lebih bervariasi dan menantang, dan tidak hanya mengerjakan soal yang ditugaskan guru saja. f. Selalu periksa jawabanmu sehingga penyelesaian yang kamu peroleh benarbenar masuk akal. g. Ketika kamu mengerjakan sebuah soal dan menemukan sebuah kasus yang menarik perhatianmu, maka kasus tersebut dapat membuatmu menyadari sesuatu atau mengajarkanmu sesuatu yang baru. h. Temukanlah suasana kelas yang membuatmu dapat bertukar pikiran dan saling membantu kesulitan belajarmu satu sama lain dan gunakanlah selalu kemajuan teknologi untuk meningkatkan pemahamanmu.
21
Sebagai ilustrasi berikut disajikan salah satu contoh soal pemahaman matematis: Tanah milik Pak Aman berbentuk seperti gambar di bawah ini, Sudut BDA = θ , BD = CD dan panjang AB = a satuan. Dari situasi tersebut kamu diminta untuk menyatakan panjang BC dalam a dan θ .
a. Konsep-konsep matematika apa yang dapat kamu gunakan untuk menyelesaikannya? b. Tuliskan pengertian dari konsep-konsep matematika tersebut dengan bahasamu sendiri. c. Tuliskan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah tersebut d. Berdasarkan langkah-langkah yang kamu buat pada bagian c, selesaikan masalah tersebut. Pada soal bagian a siswa diminta untuk menentukan konsep-konsep yang terkandung dalam soal tersebut. Kemudian dapat dinilai pemahaman siswa tersebut pada soal bagian b dimana siswa mengemukakan pengertian konsepkonsep tersebut dengan bahasanya sendiri. Setelah itu pada bagian c dan d kita dapat melihat proses model-eliciting activities siswa untuk mengaplikasikan konsep-konsep tersebut dalam menyusun langkah-langkah penyelesaian masalah sehingga pada akhirnya dapat menentukan solusi dari masalah tersebut.
B. Komunikasi Matematis Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling menyampaikan pesan yang berlangsung dalam suatu komunitas dan konteks
22
budaya. Konsep komunikasi merupakan prinsip pertama dalam pengajaran dan pembelajaran (Cole & Chan, 1994). Artinya salah satu keberhasilan program belajar- mengajar diantaranya adalah bergantung pada bentuk komunikasi yang digunakan oleh guru, pada saat ia berinteraksi dengan siswa. Menurut Abdulhak (2001), komunikasi dimaknai sebagai suatu proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan tertentu. Dalam ilmu komunikasi dikenal tiga bentuk komunikasi yaitu komunikasi linier yang sering disebut juga dengan komunikasi satu arah (one-way communication), komunikasi relational dan interaktif yang disebut dengan ”Model Cybernetics”, dan komunikasi konvergen yang bercirikan multi arah. Komunikasi linier misalnya, sangat berpengaruh pada konsep mengajar. Peristiwa ini berlangsung antara pengajar dan peserta belajar secara satu arah (transfer of knowledge). Guru dipandang sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Selain itu ”Model Cybernetics” juga mempengaruhi konsep interaksi pembelajaran. Dalam konteks pendidikan, komunikasi relasional ini sudah melibatkan peran aktif antara guru dan siswa, walaupun peran guru tetap dominan, selain sebagai sumber utama juga berperan sebagai fasilitator yang dilakukan secara klasikal. Dalam konteks pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa, pemberi pesan tidak terbatas oleh guru saja melainkan dapat dilakukan oleh siswa maupun media lain, sedangkan unsur dan pesan yang dimaksud adalah konsepkonsep matematika, dan cara menyampaikan pesan dapat dilakukan baik melalui lisan maupun tulisan.
23
Komunikasi dalam pembelajaran matematika yang ingin diterapkan dalam studi ini adalah komunikasi yang bersifat konvergen, karena mengandung unsur koperatif. Salah satu manfaat pembelajaran koperatif ini adalah terjadinya sharing process antar peserta belajar, sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemahaman bersama di antara mereka. Bentuk sharing ini dapat berupa curah pendapat, saran kelompok, kerjasama dalam kelompok, presentasi kelompok dan feedback dari guru
sehingga
dapat
meningkatkan
kemempuan
mereka
dalam
mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan. Berikut petikan para pakar mengenai pengertian, prinsip, dan standar komunikasi matematis. NCTM (1989) mengemukakan bahwa standar kurikulum, matematika sebagai alat komunikasi (mathematics as communication) untuk siswa kelas 9- 12 (SMU) adalah dapat: (1) mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematik dan hubungannya, (2) merumuskan definisi matematik dan membuat generalisasi yang diperoleh melalui investigasi, (3) mengungkapkan ide matematik secara lisan dan tulisan, (4) menyajikan matematika yang dibaca dan ditulis dengan pengertian, (5) menjelaskan dan mengajukan pertanyaan yang dihubungkan pada matematika yang telah mereka baca atau dengar dan, (6) menghargai nilai ekonomis, kekuatan, dan keindahan notasi matematika, serta peranannya dalam mengmbangkan ide/ gagasan matematik. Selanjutnya standar evaluasi untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa kelas 9- 12 (NCTM,1989) adalah kemampuan : (1) menyatakan ide matematika dengan berbicara, menulis, demonstrasi, dan menggambarkannya dalam bentuk visual, (2) memahami, menginterpretasi, dan menilai ide matematik yang disajikan dalam
24
tulisan, lisan atau bentuk visual, (3) menggunakan kosa kata/bahasa, notasi dan struktur matematik untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan, dan pembuatan model. Dengan demikian, komunikasi matematis dapat terjadi ketika siswa belajar dalam kelompok, ketika siswa menjelaskan tentang algoritma,
untuk
memecahkan suatu persamaan, ketika siswa menyajikan cara unik untuk memecahkan masalah, ketika siswa mengkonstruk dan menjelaskan suatu representasi grafik terhadap fenomena dunia nyata, atau ketika siswa memberikan suatu konjektur tentang gambar- gambar geometri (NCTM,1991). Menurut Baroody (1993) terdapat lima aspek komunikasi, kelima aspek itu adalah: (1) Representasi diartikan sebagai bentuk baru dari hasil translasi suatu masalah atau idea, atau translasi suatu diagram dari model fisik ke dalam simbol atau kata-kata (NCTM, 1989). Misalnya bentuk perkalian ke dalam model kongkrit, suatu diagram ke dalam bentuk simbol. Representasi dapat membantu anak menjelaskan konsep atau idea dan memudahkan anak mendapatkan strategi pemecahan. Selain itu dapat meningkatkan fleksibelitas dalam menjawab soal matematika (Baroody, 1993). Ada beberapa bentuk representasi matematik yang dapat digunakan dalam menyelesaikan soal matematika, antara lain melalui: grafik/gambar (drawing), persamaan aljabar (math expression), dan dengan kata-kata (written texts). (2) Mendengar (listening), dalam proses diskusi aspek mendengar salah satu aspek yang sangat penting. Kemampuan siswa dalam memberikan pendapat
25
atau komentar sangat terkait dengan kemampuan dalam mendengarkan topiktopik utama atau konsep esensial yang didiskusikan. Siswa sebaiknya mendengar dengan hati-hati manakala ada pertanyaan dan komentar dari temannya. Mendengar secara hati-hati terhadap pertanyaan teman dalam suatu grup juga dapat membantu siswa mengkonstruksi lebih lengkap pengetahuan matematika dan mengatur strategi jawaban yang lebih efektif. (3) Membaca (reading), kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks, karena di dalamnya terkait aspek mengingat, memahami, membandingkan,
menemukan,
menganalisis,
mengorganisasikan,
dan
akhirnya menerapkan apa yang terkandung dalam bacaan. (4) Diskusi (discussing), merupakan sarana bagi seseorang untuk dapat mengungkapkan dan merefleksikan pikiran-pikirannya berkaitan dengan materi yang diajarkan. Beberapa kelebihan dari diskusi antara lain: (a) dapat mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi, (b) membantu siswa mengkonstruksi pemahaman matematik, (c) menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendiri-sendiri tetapi membangun idea bersama pakar lainnya dalam satu tim, dan (d) membantu siswa menganalisis dan memecahkan masalah secara bijaksana. (5) Menulis (writing), kegiatan yang
dilakukan dengan sadar untuk
mengungkapkan dan merefleksikan pikiran, dipandang sebagai proses berpikir keras yang dituangkan di atas kertas. Menulis adalah alat yang
26
bermanfaat dari berpikir karena siswa memperoleh pengalaman matematika sebagai suatu aktivitas yang kreatif. Kemudian Greenes dan Schulman (1996) menambahkan, komunikasi matematis merupakan (1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi, (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika, (3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, berbagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain. Sullivan dan Mousley (1996)
mempertegas bahwa
komunikasi matematis bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan, klarifikasi, bekerjasama (sharing), menulis dan akhirnya melaporkan apa yang telah dipelajari. Schoen, Bean dan Ziebarth (1996) mengemukakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. Kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, mengambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Dalam
27
hal
ini
kemampuan komunikasi
dipandang
sebagai
kemampuan
siswa
mengkomunikasikan matematika yang dipelajari sebagai isi pesan yang harus disampaikan. Pandangan lain matematika dipandang sebagai alat komunikasi (bahasa matematika) dalam arti matematika sebagai bahasa simbol yang terlukis dalam proses simbolisasi dan formulasi yaitu mengubah pernyataan kedalam bentuk rumus, simbol atau gambar. Esty dan Teppo (1996), mengemukakan bahwa bahasa simbol adalah alat untuk mengkomunikasikan dan mempresentasikan konsep,
struktur
dan
hubungan
dalam
matematika.
Sumarmo
(2000)
mengemukakan bahwa, salah satu hakekat matematika itu adalah sebagai bahasa simbol. Bahasa simbol mengandung makna bahwa matematika bersifat universal dan dapat dipahami oleh setiap orang kapan dan dimana saja. Setiap simbol mempunyai arti yang jelas, dan disepakati secara bersama oleh semua orang. Sebagai contoh simbol ‘5’ , operasi ≤ , × , U , dan L = 4 π R2 berlaku secara nasional di setiap jenjang sekolah dimanapun sehingga dapat dipahami oleh semua orang. Dengan adanya bahasa simbol dalam matematika, maka komunikasi antar individu atau komunikasi antara individu dengan suatu obyek menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, dengan menggunakan simbol aljabar penyelesaian soal menjadi lebih ringkas, cepat, dan mudah. Contoh lain penyajian data dalam bentuk tabel, diagram atau grafik menjadi lebih komunikatif daripada disajikan dalam bahasa verbal.
28
Sementara itu dalam NCTM (2000) dinyatakan bahwa standar komunikasi matematis adalah penekanan pengajaran matematika pada kemampuan siswa dalam hal : a. mengorganisasikan
dan
mengkonsolidasikan
berfikir
matematis
(mathematical thinking) mereka melalui komunikasi; b. mengkomunikasikan mathematical thinking mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya, guru dan orang lain; c. menganalisis
dan
mengevaluasi
berfikir
matematis
(mathematical
thinking) dan strategi yang dipakai orang lain; d. menggunakan
bahasa
matematika
untuk
mengekspresikan
ide-ide
matematika secara benar. Jika dicermati dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, komunikasi matematis didefinisikan sebagai suatu cara menyampaikan ide atau pesan tentang matematika dalam matematika dan dengan matematika. Komunikasi tentang matematika yaitu kemampuan yang menggambarkan proses pemecahan masalah yang merefleksikan proses kognitifnya. Komunikasi dalam matematika
yaitu
kemampuan
menggunakan
bahasa
matematika
dalam
merepresentasikan ide-ide, cara-cara atau argumen-argumen. Komunikasi dengan matematika yaitu kemampuan menggunakan matematika sebagai alat pemecahan masalah dan mencari makna dari masalah-masalah tersebut. Komunikasi matematis juga bisa ditumbuhkan dengan merancang suatu bentuk permasalahan matematika yang untuk menjawabnya dibutuhkan
29
penjelasan-penjelasan dan penalaran-penalaran dan tidak sekedar jawaban akhir dari suatu prosedur yang baku. Sebagai contoh, perhatikan persoalan pertama ini : Dalam suatu segitiga siku-siku, jika diketahui panjang sisi miring (hipotenusa) = 10 cm, salah satu panjang sisi siku-sikunya = 6 cm. Berapa panjang sisi yang belum diketahui ? Selanjutnya perhatikan persoalan kedua sebagai berikut : Pada suatu hari Zaky pergi ke rumah Vina dengan menggunakan motor. Dari rumahnya, ia harus mengendarai motornya dengan arah barat sejauh 8 km. Kemudian belok dengan sudut 90o dan melanjutkan perjalanan sejauh 6 km dan sampailah ke rumah Vina. Dalam perjalanan pulang, Zaky tidak melalui jalan semula, melainkan melalui jalan lurus yang langsung menghubungkan rumah Vina dan Zaky. Jelaskan bagaimana bisa mengukur total jarak yang ditempuh oleh Zaky selama menempuh semua perjalanan tersebut ? Perhatikan bahwa pada persoalan pertama
tidak banyak dibutuhkan
kemampuan komunikasi matematis, misalnya membaca maupun menuliskan ideide matematis siswa. Hal ini berbeda dengan persoalan kedua, pada persoalan ini siswa berlatih untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya melalui membaca persoalan dan memahaminya, kemudian mengkomunikasikan ide-ide matematisnya ke dalam tulisan sehingga bisa dipahami orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa, siswa bisa dilatih dengan persoalan-persoalan dengan model persoalan kedua tersebut.
C. Disposisi Matematis 1. Pengertian Disposisi Matematis NCTM (1989) menyatakan disposisi matematis adalah keterkaitan dan apresiasi terhadap matematika yaitu suatu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang positif. Disposisi siswa terhadap matematika terwujud
30
melalui sikap dan tindakan dalam memilih pendekatan menyelesaikan tugas. Apakah dilakukan dengan percaya diri, keingintahuan mencari alternatif, tekun, dan tertantang serta kecendruangan siswa merefleksi cara berpikir yang dilakukannya. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima (Irianto, 2007). Refleksi siswa akan terlihat pada saat siswa berdiskusi, pernyataan langsung tentang materi pelajaran yang diperolehnya pada hari ini, catatan, dan hasil kerjanya. Menurut Sumarmo (2006), disposisi matematis adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika. Terdapat hubungan yang kuat antara disposisi matematis dan pembelajaran. Pembelajaran matematika selain untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis atau aspek kognitif siswa, haruslah pula memperhatikan aspek afektif siswa, yaitu disposisi matematis. Pembelajaran matematika di kelas harus dirancang khusus sehingga selain dapat meningkatkan prestasi belajar siswa juga dapat meningkatkan disposisi matematis. Selanjutnya, NCTM (2000) menyatakan bahwa sikap siswa dalam menghadapi matematika dan keyakinannya dapat mempengaruhi prestasi mereka dalam matematika. Sejalan dengan hal di atas, Wardani (2009) mendefinisikan disposisi matematis adalah ketertarikan dan apresiasi terhadap matematika yaitu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dengan positif, termasuk kepercayaan diri, keingintahuan, ketekunan, antusias dalam belajar, gigih menghadapi permasalahan, fleksibel, mau berbagi dengan orang lain, reflektif dalam kegiatan
31
matematik (doing math). Sedangkan menurut Mulyana (2009) disposisi terhadap matematika adalah perubahan kecenderungan siswa dalam memandang dan bersikap terhadap matematika, serta bertindak ketika belajar matematika. Misalnya, ketika siswa dapat menyelesaikan permasalahan non rutin, sikap dan keyakinannya sebagai seorang pelajar menjadi lebih positif. Makin banyak konsep matematika dipahami, makin yakinlah bahwa matematika itu dapat dikuasainya. Disposisi matematis siswa dikatakan baik jika siswa tersebut menyukai masalah-masalah yang merupakan tantangan serta melibatkan dirinya secara langsung dalam menemukan/menyelesaikan masalah. Selain itu siswa merasakan dirinya mengalami proses belajar saat menyelesaikan tantangan tersebut. Dalam prosesnya siswa merasakan munculnya kepercayaan diri, pengharapan dan kesadaran untuk melihat kembali hasil berpikirnya. Disposisi matematis merupakan salah satu faktor yang ikut d i p a n d a n g menentukan keberhasilan belajar siswa. Siswa memerlukan disposisi yang akan menjadikan mereka gigih menghadapi masalah yang lebih menantang, untuk bertanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri, dan untuk mengembangkan kebiasaan baik di matematika. Sayangnya, guru cenderung mengurangi beban belajar matematika dengan maksud untuk membantu siswa padahal itu merupakan sesuatu yang penting untuk siswa. Paris, Lipson, dan Wixson (1983) menyatakan ada tiga komponen aspek penting metakognitif dari strategi, meliputi: pengetahuan deklaratif (apa yang disebut dengan strategi), pengetahuan prosedural (bagaimana strategi bekerja), dan pengetahuan kondisional (kapan dan mengapa suatu strategi diterapkan).
32
Mengetahui ketiga karakter strategi dapat membantu siswa untuk membedakan taktik yang produktif dari counter-productive, dan kemudian menerapkan strategi yang sesuai. Ketika siswa ‘menjadi strategis’, mereka akan memperhatikan opsiopsi sebelum memilih strategi untuk menyelesaikan masalah. Pilihan ini merupakan disposisi matematik, karena merupakan hasil dari analisis kognitif dari opsi-opsi alternatif untuk melakukan pemecahan masalah. Selain itu, Bandura (1997) menekankan bahwa disposisi matematis melibatkan tiga proses yang saling berkaitan, yaitu: observasi-diri, evaluasi-diri, dan reaksi-diri. Ketiga proses ini merupakan bagian metakognisi dari penetapan tujuan dalam disposisi matematis. 2. Indikator Disposisi Matematis Untuk mengukur disposisi matematis siswa diperlukan beberapa indikator. Adapun beberapa indikator yang dinyatakan oleh NCTM (1989) adalah sebagai berikut. 1. Kepercayaan
diri
dalam
menyelesaikan
masalah
matematika,
mengkomunikasikan ide-ide, dan memberi alasan 2. Fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah. 3. Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika. 4. Ketertarikan, keingintahuan, dan kemampuan untuk menemukan dalam mengerjakan matematika. 5. Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan kinerja diri sendiri.
33
6. Menilai aplikasi matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari. 7. Penghargaan (appreciation) peran matematika dalam budaya dan nilainya, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa. Wardani (2009) mengungkapkan aspek-aspek yang diukur pada disposisi matematis. Aspek-aspek tersebut meliputi: 1. Kepercayaan
diri
dengan
indikator
percaya
diri
terhadap
kemampuan/keyakinan. 2. Keingintahuan terdiri dari empat indikator yaitu: sering mengajukan pertanyaan, melakukan penyelidikan, antusias/semangat dalam belajar, banyak membaca/mencari sumber lain. 3. Ketekunan dengan indikator gigih/tekun/perhatian/kesungguhan. 4. Flesibilitas, yang terdiri dari tiga indikator yaitu: kerjasama/berbagi pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda, berusaha mencari solusi/strategi lain. 5. Reflektif, terdiri dari dua indikator yaitu bertindak dan berhubungan dengan matematika, menyukai/rasa senang terhadap matematika. Syaban (2008) menyatakan, untuk mengukur disposisi matematis siswa indikator yang yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Menunjukkan gairah/antusias dalam belajar matematika. 2. Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar matematika. 3. Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan. 4. Menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah. 5. Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.
34
6. Menujukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain. Berdasarkan indikator-indikator disposisi matematis yang dikemukakan di atas, indikator disposisi matematis dalam penelitian ini, adalah adalah (1) kepercayaan diri dengan indikator percaya diri terhadap kemampuan/keyakinan; (2) keingintahuan yang meliputi: sering mengajukan pertanyaan, melakukan penyelidikan, antusias/semangat dalam belajar, dan banyak membaca/mencari sumber lain; (3) ketekunan dengan indikator gigih/tekun/perhatian/kesungguhan; (4) flesibilitas, yang meliputi: kerjasama/berbagi pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda, dan berusaha mencari solusi/strategi lain; (5) reflektif dan rasa senang, yang meliputi: bertindak dan berhubungan dengan matematika dan menyukai/rasa senang terhadap matematika. Untuk mengungkapkan disposisi matematis siswa, dapat dilakukan dengan membuat skala disposisi dan pengamatan. Skala disposisi memuat pernyataanpernyataan masing-masing komponen disposisi. Misalnya “untuk pemahaman lebih mendalam, saya mencoba menyelesaikan soal matematika dengan cara lain”. Melalui pengamatan, disposisi siswa dapat diketahui ada tidaknya perubahan pada saat siswa memperoleh atau mengerjakan tugas-tugas. Misalnya pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung dapat dilihat apakah siswa dalam menyelesaikan soal matematika yang sulit siswa terus berusaha sehingga memperoleh jawaban yang benar. D. Model-Eliciting Activities Pendekatan
model-eliciting
activities
(MEAs)
adalah
pendekatan
pembelajaran untuk memahami, menjelaskan dan mengkomunikasikan konsep-
35
konsep yang terkandung dalam suatu sajian masalah melalui proses pemodelan matematika. Dalam model-eliciting activities (MEAs),
kegiatan pembelajaran
diawali dengan penyajian situasi masalah yang memunculkan aktivitas untuk menghasilkan model matematis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Dalam model-eliciting activities, siswa melalui satu proses pemodelan yang diharapkan dapat mengkonstruksi model matematis yang sharable and reusable. Gambar 1 melukiskan proses pemodelan yang digambarkan dalam standar NCTM (NCTM, 1989). Proses ini menunjukkan bahwa pemodelan matematis adalah proses non-linier yang meliputi tahap-tahap yang saling berhubungan. Menurut NCTM, terdapat tahap-tahap dasar dalam proses pemodelan matematis
In
te rp
re ta si
meliputi:
1. Mengidentifikasi dan menyederhanakan (simplifikasi) situasi masalah dunia nyata 2. Membangun model matematis 3. Mentransformasi dan memecahkan model 4. Menginterpretasi model
Pada tahap pertama, siswa mengidentifikasi masalah untuk dipecahkan dalam situasi dunia nyata, dan menyatakannya dalam bentuk yang setepat mungkin. Dengan observasi, bertanya, dan diskusi, mereka berpikir tentang informasi apa yang penting atau tidak dalam situasi yang diberikan. Jadi, mereka
36
menyederhanakan situasi dengan pertama-tama mengabaikan informasi yang kurang penting. Pada tahap kedua, siswa membuat representasi matematis tentang komponen spesifik dari masalah dan hubungan diantara mereka. Pada tahap ini, siswa
mendefinisikan
variabel,
membuat
notasi,
dan
secara
eksplisit
mengidentifikasi beberapa bentuk dari hubungan dan struktur matematis, membuat grafik, atau menuliskan persamaan. Semua usaha matematisasi ini akhirnya mendorong siswa membangun model matematis. Lesh dan Doerr (2003) menggabungkan
kedua
tahap
ini,
simplifikasi
dan
matematisasi,
dan
menamakannya sebagai “deskripsi”. Pada deskripsinya dalam proses pemodelan Zbiek dan Conner (2006) menjelaskan proses matematisasi ini sebagai penemuan “sifat dan parameter matematis” yang berhubungan dengan ”kondisi dan asumsi” yang telah diidentifikasi sebelumnya. Pada tahap transformasi, siswa menganalisa dan memanipulasi model untuk menemukan solusi yang secara matematika signifikan terhadap masalah yang teridentifikasi. Tahap ini biasaya familier bagi siswa. Model dari tahap kedua dipecahkan, dan jawaban dipahami dalam konteks masalah yang orisinil. Siswa mungkin perlu menyederhanakan model lebih lanjut jika model tersebut tidak dapat dipecahkan. Pada tahap interpretasi, siswa membawa solusi matematis mereka yang dicapai dalam konteks dari model matematis kembali ke situasi masalah yang spesifik (atau terformulasi). Jika model yang sudah dikonstruksi telah melewati pengujian yang diberikan dalam proses validasi, model tersebut dapat
37
dipertimbangkan sebagai model yang kuat (powerful) dengan sifat ”sharable” dan ”reusable” (Lesh & Doerr, 2003). Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan contoh perancangan model-eliciting activities yang berkaitan dengan trigonometri. Dalam perhitungan matematika dan dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai masalah yang model matematikanya memuat ekspresi trigonometri. Setelah kita tahu bahwa karakteristik masalahnya berkaitan dengan model matematika yang memuat ekspresi trigonometri, maka pemecahan masalah tersebut selanjutnya diselesaikan sebagai berikut. 1. Tetapkan besaran yang ada dalam masalah seperti variabel yang berkaitan dengan ekspresi trigonometri. [Mengidentifikasi dan menyederhanakan (simplifikasi) situasi masalah dunia nyata] 2. Rumuskan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan trigonometri. [Membangun model matematis] 3. Tentukan penyelesian dari model matematika. [Mentransformasi dan memecahkan model] 4. Berikan tafsiran terhadap hasil-hasil yang diperoleh. [Menginterpretasi model] Agar lebih memahami dan terampil dalam memecahkan masalah yang model matematikanya berkaitan dengan trigonometri, berikut disajikan beberapa contoh. Contoh 1 Model-Eliciting Activities yang berkaitan dengan Aturan Sinus Sebuah tiang bendera berdiri tegak pada tepian sebuah gedung bertingkat. Dari suatu tempat yang berada di tanah, titik pangkal tiang bendera terlihat dengan sudut elevasi 60o dan titik ujung tiang bendera terlihat dengan sudut elevasi 70o.
38
Jika jarak horisontal dari titik pengamatan ke tepian gedung sama dengan 10 meter, tentukan tinggi tiang bendera tersebut. Penyelesaian: 1. Perhatikan gambar dibawah ini.
Tinggi tiang bendera itu adalah CD, dimisalkan CD = h meter.
Menentukan besaran dalam masalah yang dirancang sebagai variabel yang berkaitan dengan ekspresi trigonometri
2. Dalam ∆ ABC berlaku aturan sinus, sehingga diperoleh. CD AC = sin ∠CAD sin ∠ADC
CD = AC
3.
model dari yang dengan
sin ∠CAD sin ∠ADC
AB = cos 60o = ½ → AC = 2 AB = 20 m AC
∠ CAD = 70o – 60o = 10o ∠ ADC = 90o – 70o = 20o Substitusikan nilai-nilai di atas ke CD, diperoleh: CD = 20
Merumuskan matematis masalah berkaitan aturan sinus.
sin 10 o 0,1736 = 20 o 0,3420 sin 20
CD = 10,15 (teliti sampai dua tempat desimal)
Penyelesaian dari model matematis yang berbentuk aturan sinus
39
4. Jadi, tinggi tiang bendera itu adalah CD = h = 10,15 meter
Memberikan tafsiran terhadap hasil yang diperoleh
Contoh 2 Model-Eliciting Activities yang berkaitan dengan Aturan Kosinus Ali, Badu, dan Carli sedang bermain di sebuah lapangan yang mendatar. Dalam situasi tertentu, posisi Ali, Badu, dan Carli membentuk sebuah segitiga. Jarak Badu dari Ali 10 m, jarak carli dari Ali 15 m, dan jarak Carli dari Badu 12 m. Berapakah besar sudut yang dibentuk oleh Badu, Ali, dan Carli dalam posisi-posisi itu? Penyelesaian: 1. Perhatikan gambar dibawah ini.
Sudut yang dibentuk oleh Badu, Ali, dan Carli adalah ∠ BAC, dimisalkan besar
∠ BAC = α o
2.
Dalam ∆ ABC pada gambar di atas berlaku aturan kosinus, sehingga diperoleh: BC = AB + AC – 2AB.AC cos ∠ BAC 2
2
2
⇔ BC2 = AB2 + AC2 – 2AB.AC cos α o ⇔ cos α o =
Merumuskan model matematis dari masalah yang berkaitan dengan aturan kosinus.
AB 2 + AC 2 - BC 2 2AB.AC
3. Substitusi nilai-nilai AB = 10, BC = 12, dan AC = 15, diperoleh: cos α o =
Menentukan besaran yang ada dalam masalah sebagai variabel yang berkaitan dengan ekspresi trigonometri
(10) 2 + (15) 2 - (12) 2 2(10)(15)
cos α o = 0,6033 Dengan menggunakan kalkulator diperoleh:
α o = 52,9o (teliti sampai 1 tempat desimal)
Penyelesaian dari model matematis yang berbentuk aturan kosinus
40
4. Jadi, besar sudut yang dibentuk oleh Badu, Ali, dan Carli adalah ∠ BAC = 52,9o.
Memberikan tafsiran terhadap hasil yang diperoleh
E. Penelitian-Penelitian yang Relevan Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan pendekatan MEAs dan dengan perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis, komunikasi matematis, dan disposisi matematis, diantaranya dilakukan oleh Lesh (1999), Sudrajat (2001), Lesh dan Harel
(2003), Richardson (2004), Dahlan (2004),
Sukmadewi (2004), Gani (2007), Saragih (2007), dan Nanang (2009). Model – eliciting activites (MEAs) telah menjadi subjek dari beberapa proyek penelitian. Akan tetapi, mayoritas dari proyek penelitian ini difokuskan pada siswa sekolah menengah. Sebagai contoh, Lesh (1999) meneliti pengembangan representasi siswa sekolah menengah dalam model - eliciting Activites. Lesh dan Harel (2003) meneliti tentang struktur pembuktian dalam memecahakan masalah dengan MEAs pada siswa sekolah menengah. Sementara Richardson (2004) juga meneliti tentang difusi dari ide/gagasan ketika siswa bekerja dengan MEAs di kelas sekolah menengah. Dari penelitian tentang penggunaan pendekatan model-eliciting activites tersebut di atas, ketiganya menunjukkan hasil yang tergolong baik. Penelitian Dahlan (2004) dengan sampel siswa kelas III SLTP sebanyak 108 orang di kota Bandung, dan salah satu kesimpulannya adalah kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar melalui pendekatan open-ended dan dikombinasikan dengan strategi kooperatif mempunyai kualitas cukup baik.
41
Sedangkan kemampuan pemahaman matematis
siswa yang belajar melalui
pendekatan open-ended ekspositori, serta pembelajaran biasa kualitasnya sedang. Gani (2007) mengadakan studi tentang pengaruh pembelajaran metode inkuiri model Alberta terhadap kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah siswa SMA. Hasil studi melaporkan bahwa secara keseluruhan siswa yang belajar dengan metode inkuiri terbimbing dan metode inkuiri bebas yang dimodifikasi secara signifikan lebih baik mencapai kemampuan pemahaman matematika. Nanang (2009) dalam penelitiannya menyelidiki tentang perbandingan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dan metakognitif serta konvensional. Penelitian ini melibatkan 255 siswa yang terdiri dari 128 siswa dari sekolah kategori baik dan 127 siswa dari sekolah kategori cukup. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan kemampuan antara siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual dan metakonignif,
pembelajaran
kontekstual
dan
pembelajaran
konvensional.
Kemampuan pemahaman matematis yang memperoleh pendekatan pembelajaran kontekstual dan metakonignif lebih baik daripada pendekatan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pendekatan pembelajaran kontekstual dan metakonignif dan pembelajaran kontekstual berada pada klasifikasi cukup, sedangkan kemampuan pemahaman
matematis
siswa
yang
mendapat
konvensional berada pada klasifikasi kurang.
pendekatan
pembelajaran
42
Sudrajat (2001) melalui pembelajaran tipe SQ3R melaporkan hasil belajar siswa SMU dalam komunikasi matematis tergolong baik dan siswa menunjukkan sikap positif terhadap pembelajaran matematika. Sejalan dengan itu penelitian yang dilakukan oleh Sukmadewi (2004) memberikan kesimpulan bahwa Transactional Reading Strategy membantu siswa mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Saragih (2007) menyimpulkan bahwa siswa yang pembelajarannya dengan PMR secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir logis, komunikasi matematis dan sikap positif terhadap matematika dibanding siswa yang pembelajarannya dengan Pendekatan Matematika Biasa (PMB). Dari penelitian tersebut ditemukan juga kesulitan siswa pada permasalahan komunikasi matematis pada level tinggi yang menuntut kemampuan yang kompleks seperti berpikir dan memberi alasan secara matematis, kreativitas, dan generalisasi yang sebagian besar perwujudannya dilakukan oleh siswa sendiri. Kesulitan lain bagi siswa pada aspek berpikir logis yang memuat kemampuan berpikir deduktif, dan kemampuan berpikir induktif. Berdasarkan respon yang ditunjukkan melalui tes yang diberikan, siswa yang diajar melalui PMR menunjukkan aktivitas, kinerja yang lebih baik dibanding siswa yang diajar melalui PMB.
F. Teori-Teori yang Mendukung Memperhatikan karakteristikanya, pemahaman matematis, komunikasi matematis dan MEAs menganut pandangan kontrusktivisme, dimana siswa belajar secara aktif dalam membangun pengetahuan (pemahaman) melalui proses asimilasi
43
dan akomodasi (Piaget, dalam Slavin, 1994), dan interaksi (komunikasi) dengan lingkungannya (Vigotsky, 1978). Ketika diskusi macet, Vigotsky menganjurkan dilaksanakannya “scaffolding”, yaitu bantuan guru dalam bentuk pertanyaan untuk membantu siswa atau mengarahkan siswa pada jawaban yang dituju. Untuk mendukung berlangsungnya interaksi siswa dengan lingkungannya dan atau dengan dirinya sendiri, maka pengetahuan baru yang disajikan hendaknya berkaitan dengan pengetahuan awal siswa sehingga terbangun pemahaman yang bermakna pada diri siswa. Teori Piaget ini erat kaitannya dengan pendekatan MEAs. Jika dilihat dengan hubungan antara proses assimilasi (penyerapan setiap informasi baru ke dalam pikirannya) dengan pendekatan ini, siswa pertama-tama dihadapkan kepada suatu masalah yang tak lain masalah ini merupakan informasi baru yang masuk ke dalam pikiran siswa. Selanjutnya siswa melakukan proses akomodasi yaitu mereka dituntut untuk dapat menyusun informasi baru/masalah yang diajukan tersebut ke dalam pikirannya. Selain itu, pendekatan MEAs juga ini mengikuti apa yang dikemukakan oleh Vygotsky yaitu pada tahapan memberi arahan, dorongan, dan membantu mereka pada saat terjadi kemandegan berpikir. Untuk proses selanjutnya lebih ditekankan kepada keaktifan siswa. Sehingga pembelajaran tidak berpusat pada guru melainkan siswa yang aktif belajar, menggali pengetahuannya secara mandiri.
44
G. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan hasil kajian teoritis, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Kemampuan pemahaman matematis, komunikasi matematis, dan disposisi matematis siswa yang menggunakan pendekatan model-eliciting activities masing-masing lebih baik dari kemampuan dan disposisi siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 2. Perolehan (gain) kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui model-eliciting activities lebih baik dari pada gain siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 3. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah terhadap kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa. 4. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa. 5. Terdapat asosiasi antara (a) kemampuan pemahaman matematis siswa dengan komunikasi matematisnya; (b) kemampuan pemahaman matematis siswa dengan disposisi matematisnya; dan antara (c) kualitas kemampuan komunikasi matematis siswa dengan disposisi matematisnya.