BAB II PARTAI POLITIK DALAM NEGARA DEMOKRASI KONSTITUSIONAL 2.1 Tinjauan Umum Teori Demokrasi Konstitusional 2.1.1
Negara Demokrasi Konsitusional Demokrasi berlandaskan pada paham kedaulatan, atau kekuasaan tertinggi
ada pada rakyat. Demokrasi sebagai konsepsi bernegara menurut Jimly Asshiddiqie mengkonstruksikan kekuasaan berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat melalui wakil-wakil atau utusannya, kegiatan-kegiatan kekuasaan itu diselenggarakan bersama dengan rakyat, serta semua fungsi penyelenggaraan kekuasaan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi yang demikian adalah demokrasi berdasar atas hukum. Demokrasi memberikan kebebasan yang memerlukan kerangka aturan sehingga dapat diselenggarakan dengan tertib dan beraturan. Dalam hal ini aturan juga berfungsi sebagai pengimbang kebebasan. Karena itu, pengertian demokrasi tidak dapat dipisahkan dan harus dilihat berpasangan dengan konsep Negara demokrasi konstitusional.1 Demokrasi tanpa adanya pengimbang berdasarkan prinsip Negara hukum akan tergelincir kepada kekuasaan mayoritas yang merupakan ciri utama dari demokrasi, baik dari sisi teori maupun praktik. Demokrasi dalam makna demikian adalah suatu kondisi dimana kebijakan publik dibuat atas dasar suara mayoritas para wakil rakyat yang tunduk pada pengawasan publik melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala. Karena itu, Negara demokrasi harus didasarkan pada prinsip Negara hukum. Demokrasi dilaksanakan dalam koridor
1
Jimly Asshidiqie II, 2010, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta, h. 361-362.
23
24
tertib hukum sehingga esensi demokrasi tetap terjaga dan dapat mencapai tujuan dari demokrasi itu sendiri.2 Di sisi lain, suatu Negara hukum yang mencita-citakan keadilan berdasarkan prinsip persamaan dihadapan hukum tidak dapat terwujud tanpa adanya demokrasi. Negara hukum tanpa demokrasi akan menjadi Negara otoritarian yang menindas hak asasi manusia dan tidak memiliki pembatasan kekuasaan sehingga mengingkari makna sesungguhnya dari Negara hukum itu sendiri. Karena itu, Negara hukum secara ideal harus merupakan Negara hukum yang demokratis. Hukum harus dibuat demokratis dan merefleksikan nilai-nilai demokratis.3 Konsep Negara hukum yang demokratis dan Negara demokrasi berdasarkan hukum juga dapat didekati dari gagasan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi di suatu Negara. Demokrasi mendalilkan kedaulatan ada di tangan rakyat sehingga pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan rakyat, sedangkan Negara hukum mendalilkan bahwa sesungguhnya kekuasaan tertinggi ada pada aturan hukum dan hukumlah yang memerintah (nomokrasi). Berdasarkan uraian tersebut, antara demokrasi dan nomokrasi memiliki keterkaitan, baik dari sisi teori maupun praktik. Demokrasi dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat tidak mungkin terjadi pada masa Yunani kuno karena perkembangan persoalan dan jumlah rakyat yang meningkat pesat sehingga munculah praktik demokrasi perwakilan. Rakyat terlibat secara langsung dalam bentuk pemilu untuk memilih wakil-wakilnya, sedangkan dalam penyelenggaraan 2
Janedjri M. Gaffar I, Op.cit, h. 62.
3
Jimly Asshidiqqie II, Op.cit, h. 362.
25
pemerintahan, rakyat berpartisipasi secara tidak langsung. Hal itu berpeluang menjadikan pemerintahan tidak lagi untuk rakyat, tetapi semata-mata untuk kepentingan pemegang kekuasaan.4 Kelemahan lain dari demokrasi adalah sulitnya mencapai kesepakatan umum tentang penyelenggaraan Negara. Akibatnya, dalam mekanisme demokrasi, aturan hukum dan kebijakan lebih merupakan kehendak mayoritas. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari demokrasi yang melihat rakyat dari sisi kuantitas. Di sisi lain, kedaulatan hukum juga mengandung kelemahan. Hukum dapat saja ditentukan oleh penguasa untuk kepentingan kekuasaannya yang belum tentu sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat. Antara demokrasi dan nomokrasi, jika dianut bersama dalam suatu Negara akan melahirkan konsep Negara demokrasi konstitusional. Hukum harus mencerminkan kepentingan dan perasaan keadilan rakyat. Karena itu, hukum harus dibuat dengan mekanisme demokratis. Hukum tidak boleh dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan penguasa yang akan melahirkan Negara hukum yang totaliter. Hukum tertinggi di suatu Negara adalah produk hukum yang paling mencerminkan kesepakatan dari seluruh rakyat, yaitu konstitusi. Dengan demikian aturan dasar penyelenggaraan Negara yang harus dilaksanakan adalah konstitusi. Semua aturan hukum lain yang dibuat melalui mekanisme demokrasi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Hal ini karena
4
Janedjri M. Gaffar I, Op.cit, h. 64.
26
aturan hukum yang dibuat dengan mekanisme demokrasi tersebut adalah produk mayoritas rakyat, sedangkan konstitusi adalah produk seluruh rakyat.5 2.1.2 Negara Sebagai Suatu Sistem Politik Negara bila dilihat dari sudut kekuasaan/politik merupakan suatu sistem kekuasaan. Pengertian kekuasaan adalah suatu kemampuan seseorang atau kelompok orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku seseorang atau kelompok orang tersebut menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kemampuan itu. Gejala kekuasaan itu adalah gejala yang lumrah terdapat pada setiap masyarakat. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan sistem politik dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin biologi). Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat.
5
Janedjri M. Gaffar II, 2012, Demokrasi Konstitusional, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perbubahan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, h. 6-8.
27
Analisis mengenai kinerja sistem politik sering merujuk pada teori yang disusun oleh David Easton. Uraian Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas tetapi unggul dalam pencakupannya. Artinya, teori Easton ini mampu menggambarkan kinerja sistem politik hampir secara holistik dan sebab itu sering disebut sebagai grand theory. Uraian Easton juga bersifat siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik dipandang sebagai sebuah organisme hidup yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output, dan dikembalikan sebagai feedback kepada struktur input. Struktur input kemudian merespon dan kembali menjadi input ke dalam sistem politik. Demikian proses tersebut berjalan berputar selama sistem politik masih eksis.6 Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan parsial. Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di struktur input tidak dilakukan secara sederhana, melainkan harus pula melihat keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam struktur output.
6
Beddy Iriawan Maksudi, Op.cit, h. 5.
28
Easton menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai
dalam
kondisi
tidak
seimbang.
Ketidakseimbangan
inilah
yang
merupakan bahan bakar sehingga sistem politik dapat selalu bekerja.7 Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini. Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang terdiri atas: 1.
Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem
politik pun terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti
7
Beddy Iriawan Maksudi, Op.cit, h. 6.
29
legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya. 2.
Input-output Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input
yang masuk dari masyarakat kedalam sistem politik dapat berubah tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata atas sejumlah unit masyarakat dalam sistem politik. Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk. Sementara itu,tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat. 3.
Diferensiasi dalam sistem Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan)
kerja. Di masyarakat modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam proses penyusunan Undangundang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama, melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu, kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai politik, serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sehingga dalam konteks
30
undang-undang pemilu ini, terdapat sejumlah struktur yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. 4.
Integrasi dalam sistem Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai
tujuan bersama. Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.8 2.2 Sejarah Pengaturan Partai Politik di Indonesia Secara Historis, partai poltik di Indonesia sebenarnya telah hadir sejak zaman kolonialisme, sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan membawa Indonesia ke suatu tatanan hukum yang baru. Oleh Miriam Budiardjo, Partai politik lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Salah satu partai politik pada zaman kolonialisme yaitu Budi Utomo namun pergerakannya sangat terbatas. Sedangkan ketika terjadi pergantian kekuasaan antara belanda dengan jepang, maka gerarak-gerakan politik maupun partai politik yang telah hadir dahulu dibubarkan. Yang ada hanya organisasi sosial dari golongam muslim yang disebut Masyumi.9 Setelah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan pasca dikeluarkannya Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945, partai politik mulai banyak dibentuk. Sejumlah partai politik yang telah ada sejak era Pergerakan Nasional, tumbuh dengan kemasan yang baru. Partai-partai tersebut telah memiliki massa
8
9
Beddy Iriawan Maksudi, Op.cit, h. 23.
___________, 2013, Sejarah Partai Politik di Indonesia, Tersedia pada situs : http:// teoripolitik.com/sejarah-partai-politik-di-indonesia/, Diakses pada tanggal 14 Juni 2015.
31
dan basis pendukungnya sendiri-sendiri.10 Pada awal kemerdekaan Indonesia, yang dapat disebut sebagai partai besar pada waktu itu adalah Masyumi dan Partai Nasional Indoesia (PNI). Disamping kedua partai besar ini, terdapat pula partai lain yang memainkan peranan dalam dunia perpolitikan Indonesia saat itu seperti Partindo, Gerindo, Parindra, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh, dan Partai Sosialis yang kemudian pecah menjadi partai sosialis dan Partai Sosialis Indonesia, juga terdapat gerakan lain yang telah hadir sebelum Indonesia merdeka yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Peranan partai politik pada masa awal kemerdekaan Indonesia, dalam hal pengambilan keputusan, kebanyakan wakil yang duduk dalam kabinet dan Komite Nasioal Indonesia Pusat (KNIP) (yang menjadi pembantu presiden sebelum adanya DPR dan MPR) adalah dari partai politik.11 Keikutsertaan Partai politik dalam pemilu di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1955 dilaksanakan pada era Kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu Pertama di Indonesia ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, dilaksanakan 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen (DPR). Pelaksanaan pemilihan umum ini kemudian dimenangkan 4 partai besar, yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) 60 Kursi, PNI 58 kursi, NU 47 kursi, dan PKI 32 kursi. Tahap kedua, dilaksanakan pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.12 Landasan konstitusional dari pelaksanaan
10
Suwarno, 2012 Sejarah Politik Indonesia Modern, Ombak, Yogyakarta, h. 91.
11
Ibid.
12
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 261.
32
pemilu 1955 yang diikuti oleh partai politik maupun perorangan ini terdapat dalam pasal 57 dan 134 UUDS 1950 yang secara langsung maupun tidak langsung mengisyaraktkan untuk dilakukan pemilihan umum untuk anggota DPR maupun Badan Konstituante, sehingga terjadilah suatu refleksi terhadap cita-cita bangsa yang demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari Negara-negara asing.13 Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Terlaksananya Pemilu 1955 di Indonesia setidaknya merupakan sebagai suatu babak baru dalam proses demokratisasi suatu bangsa yang plural. Dapat dibayangkan pada suatu bangsa baru merdeka selama 10 tahun (bahkan baru mendapatkan pengakuan secara de Jure pada tahun 1949 oleh pemerintah kolonial Belanda) ternyata dapat melangsungkan suatu proses yang menjadi salah satu pilar demokrasi pada Negara modern saat ini. Keberadaan Partai politik sempat menurun pada saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959 yang secara singkat berisi membubarkan dewan konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan membentuk MPRS dan DPAS. Dalam hal pengangkatan MPRS oleh Presiden, walaupun MPRS kedudukannya adalah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Indonesia yang mana setidaknya menempatkan Presiden pada posisi teratas karena MPRS sendiri diangkat oleh Soekarno. Pembubaran Dewan Konstituante menyebabkan ranah perebutan kekuasaan dari partai politik pada waktu itu berkurang, padahal apabila dalam beberapa waktu belum menghasilkan UUD yang baru tentunya dewan
13
Ibid, h. 265.
33
konstituante masih akan terus ada yang artinya masih terdapat lingkungan kekuasaan pemerintahan yang diperebutkan, walaupun memang pada dasarnya keberadaan konstituante hanya sementara. Setelah dikeluarkannya dekrit 5 juli, kemudian pada tanggal 4 juni 1960, DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Partai Politik akhirnya kehilangan perannya, baik sebagai sarana artikulasi maupun agregasi aspirasi anggota internal partai maupun masyarakat. Alasan selanjutnya yaitu dengan dibentuknya MPRS yang merupakan hasil pengangkatan secara sepihak oleh Presiden Soekarno waktu itu. Tentunya penunjukkan dan pengangkatan secara sepihak ini tidak lagi mementingkan keberadaan partai politik sebagai suatu sarana rekruitmen politik. Terlebih lagi tercancamnya eksistensi partai politik pada waktu itu ketika sejalan dengan dikeluarkannya dekrit 5 juli dan diperkuat keinginan Presiden Soekarno untuk menguburkan partai-partai.14 Pemilihan umum baru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1971 dengan berlandaskan UndangUndang Nomor 15 tahun 1969 sebagai tindak lanjut dari Tap No.XLII/MPRS/ 1968 yang menentukan bahwa pemilu dilaksanakan pada 5 juli 1971. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh sebanyak 10 Partai politik. Partai yang berpartisipasi dalam pemilu tahun 1971 adalah Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti, IPKI, dan Murba. Dalam pemilu kali ini, jumlah suara terbanyak diraih oleh golkar yang mendapatkan 236 kursi dalam parlemen.
14
Titik Triwulan Tutik, Op.cit, h.272.
34
Jumlah suara kepada seluruh partai politik peserta pemilu adalah 54.560.509 juta suara dengan jumlah kursi 360. Berlanjut pada periode berikutnya yaitu diadakannya pemilu anggota DPR tahun 1977 yang didasarkan pada UndangUndang Nomor 4 tahun 1975. Pemilu kali ini, terjadi penyederhanaan partai politik yang akhirnya hanya menyisahkan 3 partai saja yang masing-masingnya merupakan gabungan dari partai sebelumnya berdasarkan platform partai yang mengalami gabungan tersebut. Ketiga partai tersebut adalah Golkar, PPP, dan PDI. Setelah pemilu 1977 maka berlanjut kepada pemilu tahun 1982. Pijakan Hukum Pemilu ini didasarkan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980. Pemilu ini tetap diikuti oleh 3 partai sebelumnya, Golkar, PPP dan PDI dengan komposisi perolehan suara tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya yang mana Golkar masih menempati urutan pertama, disusul PPP kemudian PDI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985, maka pemilu pada tahun 1987 masih diikuti oleh tiga peserta. Pemilu 1997 merupakan pemilu terakhir masa orde baru. Konstalasi yang ada dalam parlemen sebagai hasil pemilu inipun masih sama. Dalam peringkat perolehan suara, Golkar menempati urutan pertama, PPP kedua, dan PDI ketiga.15 Bergulirnya agenda reformasi yang banyak menelan korban, memicu pula terjadinya pemilu pada tahun 1999. Peraturan perundang-undangan yang menjadi pijakan pada waktu itu adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 3 Tentang Pemilihan Umum dan UndangUndang Nomor 4 Tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
15
Suwarno, Op.cit, h. 95.
35
Undang-undang tentang partai politik ini sendiri meniadakan pembatasan dalam jumlah partai politik. Inilah titik awal bagi proses demokratisasi di Indonesia yang membuka lebar kesempatan dalam partisipasi politik kepada setiap warga negara. Pemilu kali ini diikuti oleh 48 Partai politik, padahal jumlah partai politik yang terdaftar di departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia adalah sebanyak 151 partai. Suatu implementasi prinsip demokrasi yang makin meluas. Secara langsung, dapat terjadi dimana adanya berbagai partai politik yang menduduki kursi Dewan maka instabilitas pemerintahan pun dengan mudah dapat terjadi. Dari 48 partai peserta pemilu, terdapat 5 partai besar yang mendominasi perolehan suara diparlemen dari 21 partai politik yang ada. Diantaranya ialah PDI-P 153 kursi, Golkar 120 kursi, PPP 58 kursi, PKB 51 kursi, dan PAN 38 kursi. Konstalasi yang ada diparlemen ini, berakhir pada goncangnya pemerintahan dan ketatanegaraan pada umumnya. Hal ini terjadi ketika Presiden Abdurahman Wahid (Presiden Gus-Dur) di-impeach oleh MPR karena diangaap melakukan tindakan inkonsistensi terhadap MPR sebagai pemberi mandat dari segi politik, tentunya hal tesebut tidak lepas dari pengaruh konstalasi politik yang ada dalam parlemen. Dimana komposisi partai yang berada dalam parlemen bukanlah partai dari Presiden yang memiliki kekuatan yang lebih besar tetapi partai dari Wakil Presiden-lah yang memiliki kekuatan tersebut. Pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1999 ini diselelnggarakan berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan adil, atau dengan singkatan LUBER dan JURDIL. Berangkat dari proses ini, maka perkembangan mengenai konsep demokrasi di Indoesia terlihat lebih matang. Agenda lima tahunan untuk memilih
36
rakyat sebagai salah satu bentuk dari implementasi salah satu indikator terlaksananya demokrasi yaitu terjadinya rotasi kekuasaan. Sejumlah Ilmuwan Politik merumuskan parameter atau indikator terlaksananya demokrasi pada sebuah Negara jika memenuhi beberapa unsur yaitu antara lain akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen politik yang terbuka, pemilihan umum, dan menikmati hak-hak dasar.16 Maka pemilihan umum pun dilaksanakan kembali pada tahun 2004. Pemilihan umum ini dilaksanakan dengan landasan operasional yang didasari oleh UUD NRI 1945 yaitu dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002 Tentang partai politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pemilu kali ini diikuti oleh 24 partai politik, tujuh diantaranya masuk DPR yaitu Golkar peringkat pertama perolehan kursi, PDIP, PKB, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Partisipasi partai politik dalam pemilihan umum anggota legislatif terjadi pada tanggal 9 april 2009 yang diikuti oleh 44 partai, yang terdiri dari 38 partai politik nasional dan 6 partai politik daerah (Aceh). Adapun peraturan perundangundangan yang menjadi dasar dari keikutsertaan partai politik dalam pemilu kali ini, yaitu khususnya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 Tentang partai politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Selanjutnya yang baru saja berakhir, yaitu pemilu 2014 dengan 10 peserta pemilu dalam bingkai 2 poros kekuatan koalisi partai politik 16
Kunthi Dyah Wardani, 2007, Impeachment Dalam ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 22-23.
37
antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih mengacu pada UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik. Periode tahun 2009 sampai sekarang, kepercayaan masyarakat semakin rendah terhadap partai politik. Berdasarkan hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) mayoritas publik tidak mempercayai partai politik (parpol). Publik yang tidak percaya parpol yaitu sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya 26,3 persen, dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen. Tingkat kepercayaan publik ini dipengaruhi oleh krisis yang dialami sejumlah partai politik. Disinyalir, tingkat kepercayaan publik yang menurun derastis terhadap partai politik dikarenakan begitu banyak kader partai akhir-akhir ini terlibat kasus korupsi.17 Bahkan tidak tanggung-tanggung, banyak petinggi partai yang tersangkut kasus korupsi seperti Luthfi Hasan Ishaq, Anas Urbaningrum, Suryadharma Ali yang ketiganya masih menjabat sebagai Ketua Umum partai besar ketika ditangkap.18 Selain itu, menurut Direkur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto selain kepercayaan publik yang menurun tersebut juga dikarenakan konflik internal partai politik yang sering terjadi.
17
Dian Maharani, 2014, Survey Mayoritas Publik Tak Percaya Partai Politik, Tersedia pada situs http://nasional.kompas.com/read/2014/02/09/1551505/ Survei. Mayoritas .Publik. Tak. Percaya.Partai.Politik Diakses pada tanggal 18 April 2015. 18
Rizky Nugraha, 2015, Daftar Tangkapan Terbesar KPK, Tersedia pada situs http://www.dw.de/daftar-tangkapan-terbesar-kpk/a-18214980 Diakses pada tanggal 18 April 2015.