PENGUATAN PARTAI POLITIK SEBAGAI PEMBANGUNAN DEMOKRASI EFEKTIF
Muradi* In democracy system, political party has important roles. In principle, political party is a breath of democracy itself. But, in democracy transition in Indonesia, political party has alienation phase from society. Besides, regeneration and internal conflict has thrown political parties into deep troubles. Nevertheless, there is an increasing tendency that political parties have become vehicle for those who want to be a president, governor, mayor or, region head. They used political parties to get involved in national or regional election. In regards of this tendency, it is important to bring the political parties back to their function as democracy foundation by upholding political education and good governance as political vehicle in a democracy system. Keyword: Democracy, transition, political party, participation Pendahuluan Keberadaan partai politik dalam setiap transisi demokrasi di banyak negara memiliki posisi strategis. Bahkan bisa dikatakan, berhasil tidaknya sebuah politik transisi yang demokratis di sebuah negara banyak ditentukan oleh partai-partai politik yang terlibat dalam proses tersebut. Posisi yang strategis ini pula yang mendorong partai politik silih berganti lahir dan redup sebagai kendaraan politik yang efektif untuk mencapai kekuasaan. Di Indonesia, fenomena tersebut diperkuat dengan banyak berdirinya partai politik di awal reformasi bak cendawan di musim hujan. Ketatnya aturan yang dikenakan bagi partai politik baru, tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk terus membangun dan mendirikan partai politik baru, sebagai kendaraan politiknya. Beragam partai politik, baik yang mewakili ideologi politik, keprofesiaan, agama, kelompok, golongan, keetnisan, hingga paguyuban masyarakat berdiri seiring dibukanya saluran politik yang lebih *
Muradi, lahir di Jakarta, 10 Mei 1976; Lulus S1 dari Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung dan S2 Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI). Staf Pengajar Tetap di Universitas Padjadjaran, Bandung & Pengajar Tidak Tetap pada Dept. Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Jakarta. Manager Program pada Research Institute for Democracy and Peace (The RIDEP INSTITUTE), Jakarta.
Jurnal Universitas Paramadina Vol.4 No. 2, Maret 2006: 173-189
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
dari 32 tahun tersumbat. Tak heran apabila pada Pemilu 1999, ada 48 partai politik yang boleh mengikuti pelaksanaan pemilu dari kurang lebih 300 partai politik yang mendaftar.1 Gairah politik masyarakat yang begitu membara menariknya tersalurkan dengan baik. Dalam pengertian bahwa hanya ada dua pilihan yang menjadi favorit masyarakat sebagai bentuk ekspresi politik, yakni: membentuk partai politik, dan melakukan unjuk rasa. Secara prinsip, dua pilihan tersebut telah menggambarkan bahwa langkah yang diambil oleh masyarakat sudah dalam trek demokrasi yang benar.2 Meski begitu Geogffrey Pridham dan Paul Lewis menyebutkan bahwa demokrasi yang terbangun dari lonjakan partisipasi politik yang berlebihan akan membangun demokrasi yang rapuh.3 Kerapuhan tersebut didasari pada kontinyuitas pembangunan lembaga politik, serta saluran yang akan memudahkan masyarakat sebagai stake holder sebuah Negara. Kecenderungan bahwa demokrasi yang dibangun di sebuah Negara yang lama dipimpin oleh rezim otoriter adalah demokrasi yang semu. Hal ini ditegaskan oleh Juan J. Linz, bahwa demokrasi yang tengah dibangun bukan tak mungkin akan terinterupsi oleh praktik-praktik politik yang bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri.4
1
Berdasarkan data dan jumlah yang dimiliki oleh Litbang Harian Kompas, 14 Desember 1999 berkisar antara 177 hingga 200-an partai politik. Namun media lainnya menyebutkan kisaran antara 200 hingga 300-an partai politik. Penulis mengambil data terbanyak sebagai bentuk dari lonjakan partisipasi politik. Lihat Republika 12 Desember 1999, Media Indonesia, 13 Desember 1999.
2
Menurut Riswandha Imawan, ada tiga saluran politik yang menjadi pilihan masyarakat, yakni: partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan. Kelompok kepentingan dan kelompok penekan dapat termanifestasi pada salah satu bentuknya dengan unjuk rasa, baik yang dilakukan oleh LSM, kelompok yang tumbuh di masyarakat, dan sebagainya. Lihat Imawan, Riswandha. “Kelompok Kepentingan dan Kelompok Penekan” dalam Riza Noer Arfani. Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta. 1996 3
Dikutip dari Jhonson, Paige. “Partai Politik dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Dalam Panduan Parlemen Indonesia 2001.
4 Linz, Juan. J. 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negaranegara Lain. Bandung: Mizan. Hal. 15.
174
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
Namun demikian, setelah pemilu dilaksanakan dua kali; Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, dan memilih presiden dan wakil presiden secara langsung5, serta pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada langsung) yang tengah berlangsung menjadi penegas bahwa peran dan fungsi partai politik telah berjalan dengan baik? Ataukah sebaliknya, partai politik menjadi salah satu ancaman bagi pembangunan pondasi politik yang demokratis? Tulisan ini akan membahas sejauh mana kiprah partai politik untuk membuka jalan bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia. Masihkah relevan partai politik disebut sebagai soko guru demokrasi? Atau justru partai politik menjadi permasalahan itu sendiri dalam membangun pondasi demokrasi di Indonesia.
Partai Politik dan Sistem Kepartaian Secara sederhana, Clifford Geertz membagi anatomi politik di Indonesia ke dalam tiga varian: abangan, priyayi, dan santri.6 Geertz memang terlalu simplistik apabila hal tersebut dikaitkan dengan banyaknya varian-varian politik, di luar tiga varian yang diungkap oleh Geertz. Meski varian-varian tersebut merupakan pengembangan ataupun campuran antara pengaruh Barat dengan budaya sinkretisme yang jauh mengakar di Indonesia, khususnya di Jawa.
Pandangan yang lebih komprehensif
dilontarkan oleh Herbert Feith, yang secara cerdas membagi tiap potongan dan irisan politik antar ideologi dengan mengarahkan kepada partai-partai politik yang tumbuh-kembang sejak jaman pergerakan nasional hingga masa Orde Lama. Feith membagi lima aliran dalam pemikiran politik yang berkembang, yakni: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, 5
Dalam pelaksanaan pemilu 2004, Indonesia mencatatkan diri sebagai salah satu Negara demokratis terbesar di luar India, Perancis, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah 24 partai politik sebagai kontestan, ribuan calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan empat pasang calon presiden dan wakil presiden yang berlangsung secara demokratis. 6
Lebih lanjut lihat Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi Dalam MasyarakatJjawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
175
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
Sosialisme
Demokartis,
dan
Komunisme.7
Nasionalisme
Radikal
mempengaruhi partai-partai seperti PNI, Murba, dan Partindo. Sedangkan Tradisionalisme Jawa mempengaruhi Partai NU, PNI, Partindo, dan PKI. Pemikiran politik Islam sendiri tersebar pengaruhnya kepada Masyumi, NU, PSII, Perti, dan partai Islam gurem lainnya. Semangat pemikiran Sosialisme Demokratis banyak mempengaruhi PSI, dan Masyumi, dan yang terakhir pemikiran komunisme mempengaruhi PKI. Bangunan ideologi politik sebagaimana yang digambarkan oleh Feith sejatinya lebih menggambarkan watak dasar dari partai politik yang ada, baik ketika itu, ataupun sekarang. Masalah utama yang kemudian mengerucut adalah adanya upaya pemaksaan kepada partai-partai politik masa Orde Baru, serta pelarangan terbatas pada era reformasi pada pelarangan penggunaan ideologi marxisme/leninisme bagi partai politik. Meski begitu, ada juga partai politik yang memiliki warna ideologi yang dilarang sebagaimana yang ditetapkan dalam Tap MPRS No. 25 tahun 1966 yang gagal dicabut pada Pemerintahan Abdurrahman Wahid, namun lolos dan ikut Pemilu tahun 1999.8 Meski tidak mendapatkan suara yang signifikan, namun Partai Rakyat Demokratik (PRD) telah menjadi satu dari sekian partai yang menggunakan label dan warna ideologi masa lalu, dan tidak mendapatkan sambutan dan dukungan yang besar dari masyarakat. Untuk lebih memahami partai politik di tiap jaman, Mirriam Budiardjo membagi tujuh periodisasi sejarah perkembangan partai politik di Indonesia. Ketujuh periode tersebut adalah: Periode 1908-1942, periode 1942-1945, periode 22 Agustus 1945-14 November 1945, periode 14 November 19451959, periode 1959-1965, periode 1965-1998, dan periode 1998-kini.9 Periodisasi ini menggambarkan kepada kita bahwa kiprah partai politik 7
Herbert Feith. “Pemikiran Politik Indonesia” dalam Budiardjo, Mirriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia. Hal. 240-242. 8
Meski secara eksplisit PRD tidak menyebutkan diri sebagai partai yang menggunakan ideology marxisme/leninisme, namun cara, pola dan jargon yang digunakan PRD mencerminkan sebagai partai politik yang mengarahkan ideologinya kepada ideology marxisme/leninisme. 9
Budiardjo, Mirriam. “Mencari Sistem Kepartaian yang Cocok” dalam Budiardjo. Ibid. hal. 261
176
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
secara prinsipil terpengaruh oleh sistem pemerintahan yang dianut dari setiap rezim yang berkuasa. Pada masa penjajahan Belanda, Budiardjo mencoba menggambarkan bahwa hanya partai-partai yang radikal dan memiliki basis massa yang kuatlah yang mampu bertahan dan tetap mengadapan perlawanan terhadap Belanda. PNI dan PKI dalam persfektif Budiardjo masuk dalam kategori sebagai partai yang mampu bertahan dan melakukan berulangkali perlawanan terhadap Belanda.10 Sebaliknya, pada masa awal kemerdekaan, justru partai sosialis pimpinan Sjahrir dan Amir Sjariffudin yang berkibar dengan mengusung Koalisi Sayap Kiri. 11 Sementara pada masa demokrasi parlementer, partai politik dengan basis massa yang kuat, ideologis, dan memiliki sentimen keetnisan yang relatif tinggi mampu berkiprah dalam hampir sepuluh tahun demokrasi parlementer dipraktikkan. PNI, Masyumi, dan NU secara bergantian memimpin kabinet masa itu, meski diselingi oleh kabinet karya, yang bukan berasal dari partai politik, tapi kekuatan tiga partai tersebut plus PKI memberikan stimulasi ingatan Bung karno untuk mengembangkan kembali konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) ke dalam praktik politik demokrasi terpimpin. Konsep politik tiga kaki bagi penyanggah pemerintahan yang dibangun Soekarno yang ditulis pada masa pergerakan nasional diasumsikan sebagai sebuah tatanan politik yang ideal. Meski Masyumi pada akhirnya membubarkan diri tahun 196012, namun upaya
10
Bentuk perlawanan terhadap Belanda ditunjukkan oleh PKI pada tahun 1926-1927 ketika merancang pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial yang premature. Sementara PNI dengan lokomotif Bung Karno merancang berbagai pawai dan rapat raksasa yang menuntut Indonesia merdeka. Lebih lanjut lihat Shiraishi, Takeshi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1921-1926. Jakarta: Grafiti
11
Lebih lanjut perihal merger partai pimpinan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, lihat Muradi. 2004. Pergerakan Politik Kaum Marxis di Indonesia. Kiprah Sjahrir dan Tan Malaka Dalam Pergerakan Nasional. Jakarta:CeDeSS. Hal. 70-80
12
Pembubaran diri atau dibubarkan oleh pemerintah menjadi perdebatan yang sengit. Bagi yang pro terhadap eksistensi Masyumi beranggapan bahwa Masyumi tidak pernah membubarkan diri, tapi dibubarkan oleh Pemerintahan Soekarno karena terkait dengan Pemberontakan DI/TII dan PRRI Semesta. Sebaliknya, bagi yang melihat langkah Masyumi, yang mendukung pemberontakan DII/TII dan PRRI/Permesta melihat bahwa Soekarno relatif ‘demokratis’ karena memberikan waktu kepada Masyumi dan PSI, dua partai yang terkait dengan pemberontakan
177
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
merealisasikan konsep Nasakom terus berjalan hingga kejatuhan Soekarno. Rapuhnya konsep Nasakom diperburuk oleh tidak konsistennya NU dalam menjaga
keutuhan
irama
Nasakom.
Sebagaimana
diketahui
bahwa
hubungan PKI dan PNI menjelang akhir kekuasaan Soekarno relatif erat. Sebaliknya, NU perlahan menjauh dari PKI dan memilih berhubungan dengan PNI yang tidak terpengaruh oleh PKI.13 Bahkan NU bersama PNI yang anti PKI bersama-sama TNI, dalam hal ini TNI AD melakukan perburuan terhadap kader, anggota, simpatisan PKI untuk ditangkap, dan sering pula dibantai karena alasan politis, dan dendam masa lalu.14 Kejatuhan Soekarno secara prinsip telah mengubah wajah politik yang ada di Indonesia. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Soekarno mampu membuka jalan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Sejak memproklamasikan republik ini hingga kejatuhannya, Soekarno telah empat kali melakukan perubahan sistem pemerintahan dan sistem
kepartaian:
sistem
presidensial
dengan
satu
partai,
sistem
parlementer dengan multi partai, sistem parlementer dengan multi partai simbolisasi kepemimpinan Soekarno, dan sistem presidensial absolut Nasakom dengan multi partai yang terbatas. Setidaknya Soekarno telah memberikan begitu banyak pelajaran politik dan pengembangan demokrasi. Bahkan demokrasi yang dikembangkan oleh Soekarno selama 25 tahun kekuasaannya dapat dikatakan telah menjadi pondasi bagi perkembangan demokrasi di masa berikutnya. Hanya saja, setelah Soeharto naik tahta, langkah-langkah untuk membangun demokrasi yang lebih berbobot jauh panggang dari api. Trauma PRRI/Permesta untuk membubarkan diri atau dibubarkan. Lihat Legge, J.D. 1985. Soekarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan 13
Lebih lanjut lihat Suryanegara, Ahmad Mansur. 1995. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
14
Dendam masa lalu ternyata sangat dominant dari pada alasan politis. Kebijakan PKI yang mendorong isu pengambilalihan tanah dan lahan yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah yang nota bene merupakan para simpatisan, kader, dan pengurus dari PNI, maupun NU. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, lahan-lahan dengan luas tanah yang besar banyak dimiliki oleh simpatisan PNI maupun NU. Khusus untuk NU, tanah-tanah yang dijadikan sasaran PKI banyak dimiliki oleh para kiai yang mengelola pesantren.
178
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
politik yang berkembang di masyarakat dimanfaatkan oleh Soeharto dan mesin politiknya untuk melanggengkan kekuasaannya. Demokrasi yang dibangun dengan selubung Pancasila telah membunuh banyak sekali sumber daya politik dari elit dan partai politik yang ada untuk menjadi subyek dari proses demokrasi yang tengah berjalan. Dengan hanya merestui sembilan partai politik, dan Golongan Karya untuk ikut dalam Pemilu 1971, pemilu pertama yang diselenggarakan oleh Orde Baru. Dengan berbagai intimidasi dan pemaksaan untuk memilih Golongan Karya dari kaki tangan Orde Baru dan militer, maka dapat dipastikan Golkar menjadi pendatang baru yang mampu memenangkan pelaksanaan Pemilu 1971 tersebut.15 Rupanya, kemenangan yang diperoleh Golkar pada Pemilu 1971 belum cukup memuaskan para penguasa Orde Baru. Perdebatan yang sengit antara perwira moderat dengan perwira radikal yang menginginkan agar system kepartaian di Indonesia sebaiknya terdiri dari dua partai: penguasa dan oposisi, yang akan saling bergantian memimpin negeri ini sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat. Sementara perwira moderat, berangggapan bahwa multi partai merupakan sebuah realitas yang ada di masyarakat. Sehingga membiarkan sistem kepartaian dengan multi partai adalah pilihan yang bijak. Akan tetapi, perdebatan tersebut oleh Soeharto diujicobakan dengan pelaksanaan pemilu pada tahun 1971, yang mencoba membenarkan tesis dari perwira moderat. Sedangkan upaya mendorong terjadinya fusi partai plus Golkar adalah jawaban dari apa yang dipikirkan oleh para perwira radikal. Akan tetapi, Soeharto ingin tetap memposisikan Golkar sebagai partai pemerintah, sehingga adopsi pemikiran perwira radikal tidak benar-benar dilakukan.16 Bahkan Soeharto justru mengadopsi pembagian pola Nasakom yang disempurnakan, dalam
15 Lebih lanjut tentang proses intimidasi dan penggunaan kekuasaan Negara demi memenangkan Golkar pada pelaksanaan Pemilu 1971, lihat Ward, K.E. 1974. The 1971 Election in Indonesia: An East Java Case Study. Australia: Monas Paper, Monash University Press. 16 Lebih lanjut tentang perdebatan antara perwira radikal dan perwira moderat mengenai system kepartaian yang akan digunakan pada system politik di Indonesia lihat Muradi. 2005. Melangkah di Atas Bara: Kegalauan Politik TNI pada Masa Transisi. Bandung: Unpad Press. Hal 79-89.
179
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
pengertian bahwa pembagian nasionalisme plus partai agama non Islam, serta partai kiri yang telah diamputasi seperti Murba bersatu dalam satu partai nasionalis plus dengan nama Partai Demokrasi Indonesia. Sedangkan partai Islam mengelompok menjadi satu partai sendiri dengan nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar tetap diposisikan sebagai partai pemerintah yang akan menjadi pengaman semua kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Menariknya Golkar yang diposisikan sebagai partai pemerintah memiliki tiga jalur pemenangan, yakni: ABRI, Birokrasi, Golkar sendiri (ABG). Tak heran apabila Golkar sepanjang Orde Baru berdiri mengamankan semua kebijakan dan memenangkan semua pemilu yang diadakan pada saat rezim tersebut berkuasa. Bahkan langkah penyederhanaan partai dalam bentuk fusi yang mampu menghasilkan mayoritas partai dibenarkan oleh Alfian,17 sebagai sesuatu yang positif, mengingat pemenang mayoritas akan mampu menstabilkan pemerintahannya tanpa harus terganggu oleh langkahlangkah partai lain yang berbeda kepentingan politik. Sistem kepartaian yang diberlakukan pada Masa Orde Baru relatif bertahan lama, kurang lebih 25 tahun. Sistem tersebut tereduksi oleh adanya gerakan reformasi yang mengkoreksi hampir semua praktik kenegaraan Rezim Orde Baru, dengan ditandai kejatuhan Soeharto dari kursi kepresidenannya. System multi partai terbatas yang banyak memberikan kemenangan kepada Golkar, tersebut tergantikan oleh sistem multi partai yang diperluas. Sebagaimana yang diungkap di atas, jumlah partai yang terlibat dalam proses pemilu berjumlah puluhan, dengan partai pendaftar ratusan partai politik. Ketakutan banyak pengamat politik dengan ledakan partisipasi politik yang tidak terbendung hanya akan memberikan stimulasi bagi mandegnya pemerintahan akibat banyaknya partai politik yang terlibat. Hanya saja, ketakutan tersebut tidak beralasan karena secara substantif, keberadaan partai politik adalah bagian dari demokrasi. Masyarakat dengan berbagai kreativitas partisipatif politiknya membentuk dan menyalurkan
17
Alfian Dalam Panji Masyarakat 1-10 Januari 1988, dikutip dari Budiardjo, Mirriam. Op. cit. hal. 281.
180
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
hasrat politiknya secara bebas. Sebagaimana diurai di awal, hasrat politik masyarakat untuk membentuk partai politik dan mencoba peruntungan dalam Pemilu 1999, dan kemudian Pemilu 2004 adalah bagian dari realitas yang tidak bisa diingkari. Artinya bahwa demokrasi dengan menggunakan kendaraan partai politik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya membangun kesadaran politik masif masyarakat secara masif. Apalagi, saluran politik publik yang ada hingga saat ini belum terlalu menarik untuk dijadikan kuda tunggangan politik, karena dinilai kurang efektif. Langkah maju sesungguhnya adalah ketika Pemilihan Presiden Langsung dan adanya pemilihan Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2004
yang merupakan kanal baru bagi proses demokrasi di Indonesia.
Meski terkesan tidak secara langsung melibatkan partai politik, namun pada kenyataannya calon presiden ataupun calon angggota DPD adalah simpatisan dan kader partai politik, sebut saja misalnya Ginanjar Kartasasmita,
Sarwono
Kusumatmadja
yang
merupakan
kader
dan
dibesarkan oleh Partai Golkar, atau Marwan Batubara, yang simpatisan dari PKS. Sehingga dapat dikatakan bahwa partai politik secara prinsip telah menjadi bagian tak terpisahkan dari langkah politik tiap kelompok atau personal untuk menjadi kendaraan politiknya.
Meski harus diakui bahwa
transisi demokrasi juga telah membangun konflik yang makin mematangkan langkah bangsa ini menjadi bagian dari negara demokratis dengan berbagai konsekuensinya. Hal ini dapat dilihat apabila kita mencermati perkembangan perpolitikan nasional, yakni maraknya konflik internal di hampir semua partai politik, baik yang lahir sebelum reformasi maupun setelah reformasi. Bila Partai Golkar, sebagai partai warisan Orde Baru mampu menyelesaikan konflik internalnya dengan penyelesaian politik yang cenderung elegan, maka hal tersebut tidak terjadi di partai-partai yang lahir sebagai konsekuensi dari liberalisasi politik yang mengikuti arus reformasi. Ada sejumlah partai yang masih dirundung konflik internal yang berlarut-larut seperti PDI Perjuangan dengan Gerakan Pembaruannya, PKB dengan
181
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
adanya kepengurusan ganda, Alwi Shihab-Saifullah Yusuf versus Muhaimin Iskandar yang didukung oleh Gus Dur, PBR, antara kubu Zainuddin M.Z dengan kubu Zaenal Ma’arif, PPP, PAN, PBB, dan sejumlah partai lainnya. Kondisi ini sejatinya merupakan ancaman serius bagi demokrasi yang tengah tumbuh di bumi Indonesia. Sebab, partai politik harus diakui merupakan soko guru dari demokrasi. Tanpa partai politik, maka yang terbangun merupakan demokrasi semu. Karenanya partai politik jangan hanya dipandang sebagai pemanis dari lakon politik, tapi merupakan aset dari pengembangan dan pembangunan politik di Indonesia. Permasalahan yang muncul kemudian apakah elit-elit partai politik tersebut menyadari bahwa partai yang dipimpinnya merupakan aset yang teramat berharga bagi tetap langgengnya
demokrasi di Indonesia?
Sayangnya, dari sekian banyak elit partai politik yang ada, harus diakui hanya elit Partai Golkar yang menyadari akan pentingnya partai politik bagi pembangunan politik di Indonesia. Hal ini tercermin dari tidak berlarutlarutnya pertikaian antara kubu Jusuf Kalla yang memenangi pemilihan ketua umum partai beringin tersebut dengan kubu Akbar Tandjung. Ini artinya bahwa cermin laku politik yang dewasa telah dipraktikkan oleh segenap elit politik di partai warisan Orde Baru tersebut.
Terlepas apakah dalam
prosesnya terjadi praktik-praktik yang keluar dari kaidah demokrasi, namun sebagai bagian dari elit politik partai, elit-elit Partai Golkar relative mampu memposisikan diri dan melihat bahwa partai merupakan kendaraan politik yang strategis bagi pencapaian kekuasaan dengan jalan demokrasi.
Soko Guru Demokrasi Problematika yang paling utama dari maraknya konflik internal tersebut adalah karena kegagalan partai-partai politik menginternalisasi nilainilai demokrasi di partai. Maraknya politik aklamasi dan kuatnya politik uang telah memendamkan
nilai-nilai demokrasi ke dasar jurang yang paling
dalam. Partai politik cenderung hanya dijadikan komoditas untuk mengatrol kekuasaan ke strata yang lebih tinggi oleh elit politik yang melihat partai
182
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
politik sebagai kendaraan strategis. Praktik politik aklamasi bahkan telah meminggirkan semangat regenerasi dan kaderisasi di beberapa partai politik, misalnya di PDI Perjuangan, PBR, dan PKB. Politik aklamasi ini jugalah yang memarjinalkan
kader-kader
terbaik
partai
dari
gelanggang
politik.
Perseteruan di internal partai yang melakukan pemilihan secara aklamasi ini bahkan telah menjalar ke konflik di akar rumput, catat saja PDI Perjuangan yang cepat atau lambat akan memiliki saingan yang serius dengan kepengurusan di semua tingkatan yang dibentuk oleh kader-kader PDI Perjuangan yang berada di kubu gerakan pembaruan. Kepengurusan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar bahkan ditolak di dua basis utama PKB, yakni: Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini artinya bahwa partai politik mengalami ujian yang hebat, yakni bagaimana mengkonsolidasikan basis massa dan kader partainya ke dalam satu titik tujuan; membangun kehidupan negara yang sesuai dengan kaidah-kaidah politik dalam bingkai demokrasi, dengan menggunakan partai politik sebagai kendaraan untuk pencapaiannya. Sebab, dengan tetap mengedepankan partai politik sebagai satu-satunya kendaraan politik mencapai kekuasaan dalam kontestasi demokrasi. Ini berarti memposisikan partai politik sebagai soko guru demokrasi adalah sesuatu yang mungkin dilakukan. Upaya untuk memposisikan partai politik sebagai soko guru demokrasi haruslah menjadi agenda utama dari para pelaku politik di Indonesia. Sebab dengan terus menerus membiarkan partai politik yang lahir dari rahim reformasi politik berkonflik di internal, maka sama saja membiarkan transisi demokrasi ini terinterupsi, dan bukan tak mungkin kondisi politik Indonesia akan kembali berada dalam pelukan rezim otiriter, yang memanfaatkan tidak solidnya partai politik sebagai elemen utama bagi transisi demokrasi yang tengah berlangsung. Apalagi, tingkat soliditas Partai Golkar, sebagai partai warisan Orde Baru terbilang paling mapan, setidaknya bila dibandingkan dengan partai-partai politik yang ada sekarang. Ada empat alasan mengapa kalangan pro demokrasi, LSM, dan elit politik partai harus tetap memposisikan partai politik sebagai soko guru
183
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
demokrasi. Pertama, partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang memiliki legitimasi kuat dalam mengusung dan mengawal serta berkontestasi dalam prosedural demokrasi yang menjadi bagian dari sistem demokrasi. Dengan mendorong agar partai-partai politik lebih demokratis di internalnya, maka diharapkan akan memberikan efek yang sama dalam mengimplementasikan peran dan fungsinya di masyarakat. Kedua, penguatan partai politik sebagai aktor utama demokrasi diharapkan memberikan efek pelemahan terhadap unsur-unsur politik lama yang menginginkan kembalinya rezim lama berkuasa. Juan J. Linz berulangkali menegaskan bahwa partai politik yang lahir dari rahim reformasi politik di suatu negara harus didorong semakin demokratis agar mampu menjadi efek pelemah bagi kemungkinan bangkitnya kekuatan lama yang ingin mengacaukan transisi demokrasi yang tengah berjalan. Ketiga, partai politik yang secara prinsip memiliki budaya politik demokratis
akan
mampu
mengusung
nilai-nilai
demokrasi
melalui
transformasi politik ke masyarakat. Ide dan nilai-nilai demokratis yang termaktub dalam program-program partai yang ditawarkan partai politik ke masyarakat
akan membangun budaya partisipasi politik yang aktif di
masyarakat, sebab partisipasi politik aktif masyarakat adalah indikator bagi penguatan demokrasi di tingkat masyarakat. Keempat,
seberapapun
lemahnya
budaya
demokrasi
yang
terbangun di internal partai politik, sebagai aktor utama demokrasi, partai politik tersebut harus di dorong untuk secara perlahan mengurangi watak oligarki dan patron client, sebagaimana yang berkembang selama ini. Upaya mengurangi watak oligarki dan patron client di sejumlah partai politik ini dapat dilakukan dengan mempengaruhi setiap keputusan partai menyangkut isu-isu tentang pentingnya memberikan kesempatkan kepada kader-kader partai yang lain untuk beraktualisasi di internal partai. Setidaknya beberapa partai politik seperti PKB, dan PAN yang memberikan kesempatan kepada kader-kader partai yang lebih muda yang memiliki watak demokratis yang kuat untuk duduk di kepengurusan partai yang strategis.
184
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
Namun demikian, hal yang sama juga harus ditekankan kepada para elit partai politik untuk secara sungguh-sungguh membangun budaya demokrasi di internal partainya masing-masing. Ada lima prasyarat bagi elit politik partai politik agar mampu tetap memposisikan partai politik sebagai soko guru demokrasi yang efektif bagi tetap langgengnya demokrasi di Indonesia.
Pertama,
elit-elit
politik
partai
harus
sesegera
mungkin
mengakhiri konflik yang menjadi titik lemah partai politik tersebut, dan segera mungkin melakukan konsolidasi internal agar siap menjadi pengawal sekaligus aktor dari demokrasi. Ini artinya juga membutuhkan kerja keras agar kembali bekerja sama untuk membangun kembali partai yang sempat tercerai-berai akibat konflik antar dua kubu di internal partai tersebut. Adanya konsesi win-win solution antara kedua belah pihak sebagaimana yang terjadi pada PPP relatif mampu mempercepat konsolidasi internal partai. Kedua, jikapun tidak tercapai kesepakatan untuk islah ataupun berdamai
demi
pembangunan
internal
partai,
maka
diharapkan
penyelesaiannya tidak menimbulkan efek kejut bagi kader maupun simpatisan
partai.
Efek
kejut
seperti
memecat
kader-kader
yang
berseberangan maupun cara-cara anarkisme disertai ancaman sebagaimana yang terjadi di beberapa partai hanya akan memberikan opini yang negatif bagi keberlangsungan partai. memilih penyelesaian secara legal-formal melalui jalur hukum diyakini akan mampu memberikan suasana yang relatif tidak mengundang gonjang-ganjing politik di internal. Disamping melakukan konsolidasi internal dengan lebih mengedepankan pembangunan budaya demokratis. Ketiga, diupayakan untuk tidak menggunakan kekuatan massa dalam melakukan penekanan terhadap kubu yang lainnya. Penggunaan kekuatan massa hanya akan membangun budaya anarkisme yang sama sekali tidak menguntungkan partai, baik secara opini masyarakat, maupun soliditas internal partai. Keempat, jangan membiarkan permasalahan internal partai ini berkembang dan berlarut-larut. Konflik internal yang berlarut-larut cenderung
185
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
membuat
kader
dan
simpatisan
menjadi
frustasi.
Efeknya,
tingkat
kepercayaan masyarakat, baik sebagai kader partai maupun simpatisannya akan menurun drastis. Secara umum, kefrustasian masyarakat ini pula yang akan mengarahkan masyarakat menjadi tidak percaya lembaga-lembaga politik yang ada, sehingga turunannya membuat masyarakat kehilangan pegangan bagi penyaluran aspirasi politiknya. Kelima, elit-elit politik partai sedapat mungkin tidak membangun opini negatif terhadap kubu yang berseberangan dengannya. Pembangunan opini yang negatif terhadap elit politik partai lainnya akan makin menyulitkan kemungkinan
terjadinya
penyelesaian
yang
konstruktif.
Sebab,
biar
bagaimanapun apa yang diucapkan oleh elit-elit politik partai politik akan menjadi fatsoen atau pembenaran yang terpatri di kepala kader maupun simpatisan partai yang saling berseberangan.
Sehingga akan makin
menutup peluang terjadinya upaya penyelesaian yang konstruktif.
Penutup Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan. Pertama, partai politik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses transisi demokrasi di Indonesia. Bahkan seberapapun konflik dan problematika partai politik, baik karena konflik internal, maupun permasalahan kaderisasi yang tidak berjalan dengan baik, partai politik harus didorong untuk tetap menjadi soko guru dari demokrasi. Kedua, tugas untuk mendidik dan menstimulasi partisipasi politik rakyat, meski hingga saat ini masih dikatakan minimal dilakukan partai politik. Namun masyarakat secara umum, khususnya kalangan
akademisi dari
perguruan tinggi, dan Lembaga Swadaya Merdeka (LSM), harus terus menstimulasi dan mendorong agar partai politik didorong dan diposisikan sebagai soko guru demokrasi. Ketiga, meski situasi politik dan ekspektasi masyarakat terhadap kinerja partai politik terbilang rendah, namun tidak sedikit dari mereka juga menyadari bahwa dalam sistem demokrasi, untuk dapat merengkuh
186
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
kekuasaan adalah dengan menjadikan partai politik sebagai pijakan politiknya, baik sebagai calon presiden, gubernur, maupun bupati/walikota. Ini artinya bahwa terlepas buruknya opini masyarakat terhadap partai politik, tetapi cepat atau lambat
opini tersebut dapat berubah seiring dengan
dewasanya pemahaman politik masyarakat.
187
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
Daftar Pustaka
Apter, David A. 1985. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES Anderson, Benedict. 1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang Perlawanan Pemuda di Jawa 1944-1946. Jakarta: Sinar Harapan
dan
--------, (et all) 1999. Mencari Demokrasi. Jakarta: ISAI Budiardjo, Mirriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta Gramedia 1982 Bourchier, David, et al. 1994. Democracy in Indonesia 1950-1990’s. Monas hUniversity: Centre of Southeast Asian Studies. Basyaib, Anton. 1998. Agar Indonesia Tetap Bernyanyi, Pergolakan Menjelang dan Pasca Reformasi. Jakarta: Penerbit Lentera Brown, Bernard E.Roy Macridis (ed) 1996. Comparative Politics: Notes and Readings. Belomont:Wadsworth Publishing Company. Bulkin, Farchan (ed). 1992. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia Dahl, Robert. A. 2001. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Jakarta: YOI Ecip, S. Sinansari. 1998. Kronologi Situasi Penggulingan Presiden Soeharto. Feith, Herbeith.1962. The Decline of the Constitutional Democracy in Indonesia. New York: Cornell University Press --------. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: KPG --------, 2001. Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi Dalam MasyarakatJjawa Jakarta: Pustaka Jaya. Huntington, Samuel P. 1983. Tertib Politik dalam Masyarakat yang Berubah. Jakarta: Rajawali Press. --------, 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Grafiti Oklahoma University Press Linz. Juan. Z. (et al) 2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara lain. Bandung: Mizan Laboratorium Ilmu Politik Fisip UI. 1998. Menimbang masa Depan Orde Baru. Bandung: Mizan
188
Muradi “Penguatan Partai Politik sebagai Pembangunan Demokrasi Efektif”
--------. 1998. Mengubur Sistem Politik Orde Baru. Jakarta: Mizan -------. 2000. Memastikan Arah baru Demokrasi. Bandung: Mizan Lim Joo-Jock (ed). 1984. Armed Communist Movement in Southeast Asia. Singapote: Institute of Southeast Asia Studies. Legge, J.D. 1985. Soekarno: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan Media Indonesia, 13 Desember 1999. Muradi. 2002. Saatnya Merevolusi Negara; Biografi Politik Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Jakarta: Gugus Press. --------.2005. Melangkah di Atas Bara: Kegalauan Politik TNI pada Masa Transisi. Bandung: Unpad Press. Muradi. 2004. Pergerakan Politik Kaum Marxis di Indonesia. Kiprah Sjahrir dan Tan Malaka DalamPergerakan Nasional. Jakarta:CeDeSS. Muhaimin, Yahya. Colin MacAndrews. 1995. Masalah-masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: UGM Press O’Donnel, Guilermo, dkk. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan Atau Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES -------. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif. Jakarta: LP3ES Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:UGM Press. Ramage, Douglas. E. 1995. Percaturan Politik Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Yogyakarta: Mata Bangsa. Raillon, Francois. 1985. Politik Dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES. Republika 12 Desember 1999 Suryanegara, Ahmad Mansur. 1995. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan Shiraishi, Takeshi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1921-1926. Jakarta: Grafiti Ward, K.E. 1974. The 1971 Election in Indonesia: An East Java Case Study. Australia: Monas Paper, Monash University Press.
189
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 173-189
190