Ummat Islam dan Pemilihan Umum dalam Negara Demokrasi Konstitusional Oleh: Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., MH
Pengantar Keberadaan organisasi partai politik, memiliki posisi dan fungsi tersendiri dalam menata dan mengembangkan sistem demokrasi. Di samping itu, partai politik juga dapat difungsikan sebagai penghubung yang strategis (intermediate structure) dalam menata hubungan pemerintahan dengan warga negara, sehingga keduanya memiliki akses informasi yang memadai dan hubungan yang harmoni dan seimbang. Dalam perspektif ini, maka berjalannya sistem kepartaian akan berpengaruh terhadap kehidupan demokrasi dalam suatu negara. Kondisi ini akan tercapai manakala tradisi dan kultur berfikir bebas dapat tumbuh dengan subur, karena dinamika kebebasan berfikir sangat berpengaruh terhadap tumbuh-kembangnya prinsip kemerdekaan berserikat yang menjadi pilar bagi tumbuh dan berkembangnya alam demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, mendirikan dan sebaliknya membubarkan organisasi kepartaian adalah hak setiap orang, dan dalam perspektif ini, maka tidak ada satu pihakpun yang dapat memaksa untuk mendirikan atau membubarkan organisasi kepartaian kecuali oleh mereka sendiri. Prinsip ini memberikan penegasan bahwa penguasa tidak dapat dengan semena-mena membubarkan suatu partai politik hanya karena berbeda aliran atau pendapat terhadap suatu masalah negara. Sebaliknya, partai politik juga tidak serta merta memiliki kekebalan dan seenaknya melakukan aktifitasnya dengan menafikan berbagai ketentuan terutama yang menjadi materi muatan UUD 1945. Oleh karena itu, kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memiliki kebebasan bukan tanpa batas, tetapi justeru pembatasnya adalah UUD 1945 itu sendiri. Dalam konsep demokrasi, terkandung asas yaitu kedaulatan rakyat yang menentukan arah jalannya pemerintahan. Perwujudan asas kedaulatan rakyat dalam kehidupan pemerintahan tergambar dari keterlibatan rakyat secara intensif dalam memutuskan arah kebijakan pemerintahan. Ukuran kedaulatan rakyat dapat dilihat seberapa jauh besaran peran yang dimainkan rakyat serta semakin selarasnya kepentinganan rakyat dengan kebijakan pubstlik yang srategis. Dalam perspektif ini maka partai politik memainkan perannya yaitu menjembatani antara kepentinganan rakyat dengan kebijakan publik pemerintahan. Oleh karena itu, partai politik sebagai suatu organisasi politik menempatkan diri pada posisi antara (intermediate structure), sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan ideal negara (state) dengan masyarakat/warga negara (society). Partai politik harus mampu menjadi organ penggerak perubahan masyarakat menuju masyarakat yang unggul dan bermoral. Perubahan bagi parpol adalah sunatullah dan harus disambut dengan senyum kreatif, sehingga partai politik tidak pernah berhenti berfikir, bergerak, dan berkarya. Mengembangkan masyarakat yang modern dan rasional merupakan upaya transformasi total agar terjadi perubahan-perubahan yang mendasar baik pada lini individu, keluarga, kelompok sosial, pranata sosial mapun susunan kemasyarakatan secara keseluruhan. Perubahan tersebut harus dilakukan secara simultan dan sinergis agar timbul jalinan yang harmoni dan saling berpengaruh terhadap perubahan-perubahan yang diinginkan menuju terwujudnya sumber daya manusia yang potensial. Hal ini berarti perubahan pada dasarnya adalah rekayasa sosial yang teratur dan berkesinambungan (orderly sustainable change). Oleh karen itu, untuk mengeliminasi kegagalan suatu pembangunan masyarakat katatau rekayasa sosial sebagi bagian dari perencanaan pembangunan, maka salah
satu kunci yang harus diperhatikan adalah keterlibatan masyarakat itu sendiri yang ditempatkan bukan hanya sebagai sasaran pembangunan, tetapi sebagai pelaku pembangunan. Hal ini berarti masyarakat harus diberikan akses yang seluas-luasnya untuk ikut merencanakan pembangunan wilayahnya. Keterlibatan masyarakat ini perlu diorganisir, dan didinamisir agar mereka mampu mengaktualisasikan berbagai kebutuhan dan kepentingannya dalam suatu gagasan dan rencana aksi yang aktual dan manageable. Keterlibatan masyarakat ini juga akan memberikan pengaruh terhadap nilai tanggung jawab kolektif (colective responsibility velue) terhadap setiap gerak perubahan. Sikap positif (positive thinking) terhadap perubahan, merupakan bagian dari kemajuan itu sendiri. Oleh karena itu membangun sebagai sarana untuk mengarahkan perubahan yang dikehendaki, maka merubah sikap masyarakat untuk bersikap positif terhadap setiap perubahan merupakan bagian penting dari pembangunan itu sendiri. Hal ini berarti partai politik memiliki fungsi ideal diantaranya adalah; Parpol sebagai sarana recruitment, yaitu bahwa organanisasi partai politik harus mampu secara aktif melakukan recruitment anggota dan membinanya menjadi kader partai yang handal yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas sebagai penggerak perubahan masyarakat. Parpol sebagai sarana komunikasi politik atau artikulasi politik. Hal ini berarti partai politik merupakan media atau alat (a tool) untuk menyampaikan aspirasi kepentingan (interest) dan kebutuhan (needs) mayarakat/rakyat kepada rezim yang memimpin. Inilah hakekat fungsi parpol sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Parpol sebagai sarana sosialisasi politik. Fungsi ini lebih ditekankan pada aspek pendidikan politik kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi, peran, dan tanggungjawab masyarakat dalam kehidupan bernegara. Partisipasi politik ini menjadi penting, agar legitimasi politik atas kebijakan publik dapat dipahami secara merata oleh masyarakat. Parpol sebagai sarana manajemen konflik. Parpol dituntut untuk mampu menjadi media dalam menyelesaikan konflik yang diakibatkan perbedaan pandangan di tataran masyarakat. Dalam tataran konsolidasi demokrasi, maka demokrasi merupakan “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokrasi. Untuk melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut, terdapat beberapa agenda: 1) Memperluas akses warga Negara terhadap sistem peradilan dan membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang professional dan independen; 4) Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah, sehingga demokrasi dapat lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah suatu negara; 5) Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat—bukan hanya kepentingan personal para pemimpin dan lingkungan para politisi belaka; 6) Membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara; 7) Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan, program pendidikan warga yang baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi, dan kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis. Agenda konsolidasi yang ambisius tersebut memerlukan adanya peningkatan aturan
hukum baru, penumbuhan lembaga-lembaga baru dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara, sistem kepartaian, dan masyarakat sipil. Pemilu dalam Perspektif Transisi Demokrasi Ketidakpastian dalam masa transisi menyebabkan tidak menentunya aturan dalam berbagai kehidupan. Hal ini terjadi bukan hanya karena berbagai aturan dalam berbagai kehidupan tersebut, bekerja dalam situasi perubahan yang terus menerus, tetapi juga karena biasanya aturan tersebut dipertarungkan dalam suatu kompetisi politik yang sengit sebagaimana yang dikemukakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter bahwa, para pelaku politik tidak hanya berjuang untuk sekadar memuaskan kepentingan-kepentingan pribadi sesaat dan atau kepentingan orang lain namun juga berjuang untuk menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang konfigurasinya dapat menentukan siapa yang mungkin akan menang atau kalah di masa mendatang. Sesungguhnya, peraturan-peraturan yang muncul akan sangat menentukan sumber-sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke dalam arena politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk.1 Masa transisi ini ditandai dengan terjadinya liberasasi dan demokratisasi. Liberasasi adalah ”proses pendefinisian ulang, perluasan, dan mengefektifkan hak-hak tertentu yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga”.2 Liberasasi ini merupakan konsekuensi yang muncul (seringkali tanpa diniatkan) dari proses transisi yang akhirnya sering memainkan peran penting dalam menentukan kelanjutan proses transisi. Dalam masa transisi demokrasi yang perlu mendapat perhatian cukup serius adalah antara mayoritas dan minoritas dalam pengambilan keputusan. Kecenderungan yang tumbuh dalam paham demokrasi adalah prinsip ‘the rule of majority’ menjadi instrumen untuk legitimasi kebijakan publik. Jika hal ini terus berkembang tanpa adanya kontrol normatif, maka akan melahirkan kediktatoran baru atas nama demokrasi. Demokratisasi mengacu pada proses-proses dimana aturan-aturan dan prosedur-prosedur kewarganegaraan (citizenship) diterapkan pada lembaga-lembaga politik yang sebelumnya dijalankan dengan prinsip lain (misalnya kontrol oleh kekerasan), atau diperluas sehingga mencakup mereka yang sebelumnya tidak ikut menikmati hak dan kewajiban (misalnya perempuan, anak-anak, etnis minoritas), atau diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembagalembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat (misalnya liberalisasi lembaga-lembaga pendidikan).3 Antara demokratisasi dan liberalisasi tidak selamanya berjalan simultan. Tanpa jaminan kebebasan bagi individu dan kelompok sosial yang melekat dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin hanya akan berubah menjadi sekadar formalisasi belaka. Di sisi lain tanpa pertanggungjawaban terhadap rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga di bawah demokratisasi, liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan dibatalkan demi kepentingan mereka yang duduk di pemerintahan. Dari aspek hukum, situasi ketidakpastian dalam masa transisi mengindikasikan tidak berjalannya proses-proses hukum yang bersifat stabil dan otonom. Proses hukum beroperasi di tengah perubahan yang terus menerus dan dipengaruhi 1
Guillermo O’Donnel dan Phlippe C. Schmitter, , Transisi Menuju Demokrasi : Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpasatian (terj. Transitions from Authoritarian Rules: Southern Europe), (Jakarta: LP3ES, 1993), hal 6-7. 2 Ibid. 3 Sudjatmoko, , Pembangunan dan Kebebasan, (Jakarta: LP3ES, 1984), hal. 25.
oleh konflik di antara para pelaku politik. Dalam situasi seperti ini fungsi hukum yang dapat diproyeksikan secara sosiologis adalah sebagai instrumen pengendali dan pemandu perubahan sosial serta sebagai mekanisme integratif dalam mengelola berbagai konflik sosial yang terjadi. Pada saat perubahan sosial politik yang terjadi di masa transisi, hukum dapat difungsikan untuk mengontrol dan memandu perubahan tersebut ke arah terbentuknya rezim demokratik yang solid. Secara teoritik, di sini hukum difungsikan sebagai instrumen bagi perubahan sosial ke arah kondisi sosial tertentu. Hal itu dilakukan dalam kaitan dengan proses liberalisasi dan demokratisasi. Dalam kaitan dengan liberalisasi, hukum diarahkan pada pemilihan hak-hak individu dan kelompok yang selama rezim otoritarian direpresi. Amandemen UUD mengenai HAM, misalnya merupakan salah satu proses liberalisasi melalui instrumen hukum. Perubahan UU Politik (UU Patai Politik, Pemilu, dan Susduk MPR/DPR/DPRD) adalah proses liberalisasi melalui instrumen hukum yang terbukti berhasil membentuk rezim yang demokratik. Penggunaan instrumen hukum dalam proses demokratisasi dilakukan dengan pelembagaan aturan-aturan dan prosedur-prosaedur kewarganegaraan. Ini, misalnya, dilakukan dengan penegakkan pronsip-prinsip supremasi hukum dalam seluruh proses kehidupan sosial dan politik. Di dalamnya termasuk penghilangan diskriminasi hukum, perluasan partisipasi publik dalam proses hukum, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum dan pemerintahan. Dalam konteks yang sama, hukum pun berfungsi sebagai mekanisme integratif dan pengelola konflik di tengah masa transisi. Dalam banyak kasus, persaingan politik yang sengit di era transisi telah mengakibatkan konflik yang meluas. Apalagi di negar-negara dunia ketiga yang masih kuat dipengaruhi oleh budaya patrimonalisme, persaingan politik tidak jarang menjadi konflik sosial yang dahsyat. Di tengah situasi konflik tersebut hukum seringkali menjadi mandul dan kehilangan relevansi. Konflik sosial dalam situasi seperti ini lebih sering memunculkan mekanisme penyelesaian melalui kekerasan yang akhirnya mengakibatkan disintegrasi sosial yang parah. Problem hukum yang muncul berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum di era transisi tersebut adalah kontekstualitas hukum dengan situasi transisi pada negara berkembang seperti Indonesia. Fungsi-fungsi hukum yang diuraikan di atas merupakan kajian terhadap hukum pada masyarakat yang memilki karakteristik impersonal, otonom, dan rasional. Dalam kaitan ini, fungsi hukum sebagai instrumen perubahan sosial dibangun berdasarkan asumsi hukum sebagai “an agency of power; an instrument of goverment.”4 Hal Ini berarti negara memilki otoritas yang kuat untuk menggerakkan perubahan melalui instrumen hukum. Problematiknya dalam konteks masa transisi di Indonesia, hukum bekerja di tengah perubahan drastis dan konflik yang sengit antara kekuatan-kekuatan politik. Dalam situasi seperti itu, sulit diperoleh adanya otoritas yang kuat dan legitimatif bagi penggunaan hukum sebagai instrumen perubahan sosial. Bukan saja otoritas pemerintahan menjadi lemah, tetapi juga tidak memiliki legitimasi yang kuat di hadapan masyarakat, baik lembagaeksekutif, legislatif maupun yudisial mengalami proses delegitimasi di hadapan masyarakat. Ini mengakibatkan ketidakefektifan penegakan hukum di tengah masyarakat dewasa ini yang sering ditandai oleh terjadinya penggunaan kekerasan dan main hakim sendiri dalam penyelesaian berbagai konflik sosial. Dalam konteks ini hukum tidak dapat berfungsi semestinya sebagai mekanisme integratif dan pengelola konflik sosial.5 Oleh karena itu, perlu diciptakan instrumen yang memungkinkan seluruh konflik baik antara negara dengan warga negara, antar lembaga4 5
Roger Cotterell, The Sociology of Law: An Introduction, ( London: Butterworths, 1992), h. 44. Ibid, hal. 45.
lembaga negara, maupun antar warga negara melalui mekanisme hukum. Sebab, perubahan yang terjadi, jika tidak dikendalikan melalui mekanisme (hukum) yang berwibawa, maka konflik tersebut kemungkinan berdampak pada kerusakan sosial yang dahsyat. Dalam perspektif Pemilu, juga tidak dapat menghindarkan dari situasi transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia, karena Pemilu yang diselenggarakan baik memilih anggota legislative maupun Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah telah mengalami perubahan besar dan berdampak positif bagi masyarakat. Dampak posisitif tersebut diantaranya adalah upaya pendewasaan masyarakat dalam berdemokrasi, baik dalam memilih pemimpinnya, maupun dalam menentukan arah kebijakan pemimpinnya dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan bersama. Proses ini jika dikawal oleh isntrumen yang sesuai, penyelenggara yang independent dan berintegritas, akan melahirkan pemimpin dan kebijakan yang memenuhi prinsip ’legal, legitimate and competence’. Dalam perspektif ini, maka instrument penyelenggaraan Pemilu harus disiapkan secara matang mulai dari kelembagaan (lembaga penyelenggara, lembaga pengawas, lembaga penyelesai sengketa), perangkat peraturan, mekanisme penyelenggaraan, pendanaan, dan budaya masyarakat. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, maka yang terjadi adalah terjadinya demokrasi transaksional bahkan muncul keonaran demokrasi, kebingungan masyarakat, dan anarchisme, sehingga berdampak pada demokrasi biaya tinggi. Partai Politik Berbasis Agama (Islam) dalam Pemilu Dinamika Partai Politik berbasis agama (Islam) mengalami pasang surut sejak Pemilu pertama tahun 1955 sampai dengan Pemilu tahun 2009. Walaupun secara demografis jumlah ummat Islam kurang lebih 85 % tetapi jumlah mayoritas ini tidak berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara dan kursi dalam Pemilu anggota legislative bahkan di beberapa daerah, misalnya Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah jumlah ummat Islam yang mayoritas tetapi dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimenangkan oleh Calon di luar ummat Islam. Kondisi ini menunjukkan bahwa ummat Islam dalam perspektif demografis tidak berbanding lurus dengan politik ummat Islam, sehingga organ politik Islam belum mampu dan memiliki representasi kekuasaan untuk menjadi lokomotif perubahan menurut doktrin Islam, walaupun dalam dunia ekonomi lambat laun prinsip syari’ah sudah melembaga dalam system hukum nasional. Pasang surut kepercayaan ummat Islam kepada partai yang berbasis agama (Islam) dalam Pemilu sejak tahun 1955 sampai dengan 2009 dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pemilu 1955 Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang saat itu Negara Republik Indonesia baru berusia 10 tahun. Dalam perspektif historis, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Oleh karena Negara dan pemerintahan saat itu masih dalam kondisi belum stabil, maka penyelenggaraan Pemilu sebagaimana amanat Maklumat X Wakil Presiden belum dapat dilaksanakan, dan baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat
X, maka pemilu 1955 dilakukan dua kali, yaitu pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR, danyang kedua, pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante. Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut disebabkan antara lain oleh ketidaksiapan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan Negara, serta sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Di samping itu, penyebab lainnya adalah terjadinya serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Pada Kabinet Mohammad Natsir dari Masyumi, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi. Setelah Kabinet Natsir jatuh, maka 6 (enam) bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena perintah Pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Namun demikian, pemerintahan Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953 dan lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Hal yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante. Dalam Pemilu 1955 ini ummat Islam terwakili dalam Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan hasilnya jika dijumlahkan adalah 43,5 % atau masih belum memiliki nilai
mayoritas. Secara rinci perolehan suara paratai politik dan perorangan peserta Pemilu tahun 1955 adalah sebagai beikut: a. Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR. No. Partai/Nama Daftar 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 2. Masyumi 3. Nahdlatul Ulama (NU) 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 7. Partai Katolik 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 12. Partai Buruh 13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 16. Murba 17. Baperki 18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 19. Grinda 20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 21. Persatuan Daya (PD) 22. PIR Hazairin 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 24. AKUI 25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 28. R.Soedjono Prawirisoedarso 29. Lain-lain Jumlah
Suara % Kursi 8.434.653 22,32 57 7.903.886 20,92 57 6.955.141 18,41 45 6.179.914 16,36 39 1.091.160 2,89 8 1.003.326 2,66 8 770.740 2,04 6 753.191 1,99 5 541.306 1,43 4 483.014 1,28 4 242.125 0,64 2 224.167 0,59 2 219.985 0,58 2 206.161 0,55 2 200.419 0,53 2 199.588 0,53 2 178.887 0,47 1 178.481 0,47 1 154.792 0,41 1 149.287 0,40 1 146.054 0,39 1 114.644 0,30 1 85.131 0,22 1 81.454 0,21 1 77.919 0,21 1 72.523 0,19 1 64.514 0,17 1 53.306 0,14 1 1.022.433 2,71 37.785.299 100,00 257
b. Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante. No. Partai/Nama Daftar 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 2. Masyumi 3. Nahdlatul Ulama (NU) 4. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Suara 9.070.218 7.789.619 6.989.333 6.232.512
% Kursi 23,97 119 20,59 112 18,47 91 16,47 80
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 7. Partai Katolik 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 12. Partai Buruh 13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 16. Murba 17. Baperki 18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 19. Grinda 20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 21. Persatuan Daya (PD) 22. PIR Hazairin 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 24. AKUI 25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 28. R.Soedjono Prawirisoedarso 29. Gerakan Pilihan Sunda 30. Partai Tani Indonesia 31. Radja Keprabonan 32. Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 33. PIR NTB 34. L.M.Idrus Effendi lain-lain Jumlah
1.059.922 988.810 748.591 695.932 544.803 465.359 220.652 332.047 152.892 134.011 179.346 248.633 160.456 162.420 157.976 164.386 169.222 101.509 74.913 84.862 39.278 143.907 55.844 38.356 35.035 30.060 33.660 39.874 33.823 31.988 426.856 37.837.105
2,80 2,61 1,99 1,84 1,44 1,23 0,58 0,88 0,40 0,35 0,47 0,66 0,42 0,43 0,42 0,43 0,45 0,27 0,20 0,22 0,10 0,38 0,15 0,10 0,09 0,08 0,09 0,11 0,09 0,08 1,13
2. Pemilu Tahun 1971 s/d 1997 Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar.
16 16 10 10 8 7 3 5 2 2 3 4 2 2 2 2 3 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 514
Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut. Hasil Pemilu 1977 Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basisbasis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5. PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini. N o. . . .
Partai
Suara
%
Kursi
% (1971)
Keteran gan
1 Golkar
39.750.096
62,11 232
62,80
2 PPP
18.743.491
29,29
99
27,12 + 2,17
3 PDI
5.504.757
8,60
29
10,08
63.998.344 100,00 360
100,00
Jumlah
- 0,69
- 1,48
Hasil Pemilu 1982 Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4
Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masingmasing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971. No. 1. 2. 3.
Partai Golkar PPP PDI Jumlah
Suara DPR 48.334.724 20.871.880 5.919.702 75.126.306
% Kursi % (1977) Keterangan 64,34 242 62,11 + 2,23 27,78 94 29,29 - 1,51 7,88 24 8,60 - 0,72 100,00 364 100,00
Hasil Pemilu 1987 Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini. No. Partai Suara 1. Golkar 62.783.680 2. PPP 13.701.428 3. PDI 9.384.708 Jumlah 85.869.816
% Kursi % (1982) Keterangan 73,16 299 68,34 + 8,82 15,97 61 27,78 - 11,81 10,87 40 7,88 + 2,99 100,00 400
Hasil Pemilu 1992 Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen,
atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI. No. Partai 1. Golkar 2. PPP 3. PDI Jumlah
Suara % Kursi % (1987) Keterangan 66.599.331 68,10 282 73,16 - 5,06 16.624.647 17,01 62 15,97 + 1,04 14.565.556 14,89 56 10,87 + 4.02 97.789.534 100,00 400 100,00
Hasil Pemilu 1997 Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992. Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
No. 1. 2. 3.
Partai Golkar PPP PDI Jumlah
Suara 84.187.907 25.340.028 3.463.225 112.991.150
% Kursi % (1992) Keterangan 74,51 325 68,10 + 6,41 22,43 89 17,00 + 5,43 3,06 11 14,90 - 11,84 100,00 425 100,00
3. Pemilu 1999 Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah tumbangnya kekuasaan orde baru dan munculnya gerakan reformasi. Periode akhir pemerintahan Orde Baru membawa perubahan yang cukup besar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, terutama tatanan masyarakat, dan perpolitikan Indonesia. Pada masa Orde Baru yang dikenal dengan praktek kekuasaan otoriter membawa dampak pada kehidupan serba negara (etatisme), dan mandegnya kepedulian/partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa dan negara. Tetapi sejak Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh Habiebie, sistem ketatanegaraan mengalami perubahan, yakni, kebekuan sosial, budaya dan politik berubah, dan terjadi pencairan yang kadangkala pencairan tersebut seolah-olah tidak terkontrol. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti, dan Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapanpersiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie
menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional. Hasil Pemilu 199 adalah sebagai berikut: No. Nama Partai 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
PDIP Golkar PPP PKB PAN PBB Partai Keadilan PKP PNU PDKB PBI PDI PP PDR PSII PNI Front Marhaenis PNI Massa Marhaen IPKI PKU Masyumi PKD PNI Supeni Krisna Partai KAMI PUI PAY Partai Republik Partai MKGR PIB Partai SUNI PCD PSII 1905 Masyumi Baru PNBI PUDI PBN
Suara DPR 35.689.073 23.741.749 11.329.905 13.336.982 7.528.956 2.049.708 1.436.565 1.065.686 679.179 550.846 364.291 345.720 655.052 427.854 375.920
Kursi Tanpa SA(stembus accoord.) 153 120 58 51 34 13 7 4 5 5 1 2 1 1 1
Kursi Dengan SA(stembus accoord.) 154 120 59 51 35 13 6 6 3 3 3 2 1 1 1
365.176
1
1
345.629
1
1
328.654 300.064 456.718 216.675 377.137 369.719 289.489 269.309 213.979 328.564 204.204 192.712 180.167 168.087 152.820 152.589 149.136 140.980 140.980
1 1 1 1 -
1 1 -
37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46 47. 48.
PKM PND PADI PRD PPI PID Murba SPSI PUMI PSP PARI PILAR Jumlah
104.385 96.984 85.838 78.730 63.934 62.901 62.006 61.105 49.839 49.807 54.790 40.517 105.786.661
462
462
Pada Pemilu 1999 partai berbasis agama (Islam) yaitu PPP, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, PKU, PNU dan PSII belum juga mendapatkan suara mayoritas, dan hanya memperoleh 169 kursi atau 36,38 %. Apabila dilihat dari realitas gerakan reformasi yang digerakkan Amien Rais yang tokoh Muhammidayah dan PAN, Gus Dur PKB dan lain-lain, ternyata dalam politik riil kepercayaan ummat Islam terhadap wakilnya di DPR melalui partai politik baru 36,38 %. Apabila dibandingkan dengan hasil Pemilu zaman orde Baru, maka perolehan suara dan kursi Parpol Islam pada Pemilu 1999 mengalami kenaikan sekitar 20%, tetapi masih lebih rendah sebanyak 7,3 % dibandingkan dengan perolehan suara kursi Parpol Islam pada Pemilu 1955 (43,5 %). 4. Pemilu 2004 Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama setelah perubahan UUD 1945 yang mengedepankan demokrasi konstitusional. Pada pemilu 2004 ini pertama kali dimulai pemilihan Presiden dan Wakil presiden secara langsung. Namun demikian, penyelenggaraan Pemilu dalam era demokrasi konstitusional masih sarat dengan pelanggaran terhadap asas-asas penyelenggaraan Pemilu. Kesempatan lima tahunan untuk meraih kepercayaan rakyat belum mampu dimanfaatkan oleh Parpol Islam karena perolehan suara dan kursi secara kumulatif tidak jauh berbeda dengan perolehan suara dan kursi pada pemilu 1999 yaitu 37,56 % atau terjadi kenaikan sebanyak 1, 18 %. Secara rinci dapat dilihat sebagai berikut:
Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pemilu 2004 Dan Jumlah Perolehan Kursi Parpol di DPR RI Ranking
Partai
Perolehan Suara
Jml. Kursi DPR RI
Suara 1
2
3
4 5 6
7 8 9 10 11
12
13
14
Politik Partai Golongan Karya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa Partai Persatuan Pembangunan Partai Demokrat Partai Keadilan Sejahtera Partai Amanat Nasional Partai Bulan Bintang Partai Bintang Reformasi Partai Damai Sejahtera Partai Karya Peduli Bangsa Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan Partai Nasional
Jumlah
Persen
24.480.757
21,58
128
21.026.629
18,53
109
11.989.564
10,57
52
9.248.764
8,15
58
8.455.225
7,45
57
8.325.020
7,34
45
7.303.324
6,44
52
2.970.487
2,62
11
2.764.998
2,44
13
2.414.254
2,13
12
2.399.290
2,11
2
1.424.240
1,26
1
1.313.654
1,16
5
1.230.455
1,08
1
Banteng Kemerdekaan Partai Patriot 15 1.073.139 0,95 Pancasila Partai Nasional 16 923,159 0,81 Indonesia Marhaenisme Partai Persatuan 17 Nahdlatul 895.610 0,79 Ummah Indonesia Partai 18 878.932 0,77 Pelopor Partai Penegak 19 855.811 0,75 Demokrasi Indonesia Partai 20 842.541 0,74 Merdeka Partai Sarikat 21 679.296 0,60 Indonesia Partai 22 Perhimpunan 672.952 0,59 Indonesia Baru Partai Persatuan 23 657.916 0,58 Daerah Partai Buruh 24 636.056 0,56 Sosial Demokrat Total 113.462.414 100 Sumber : Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU
0
1
0
2
1
0 0 0 0 0 550
5. Pemilu 2009 Pada Pemilu 2009 terjadi perubahan dalam penghitungan hasil pemilu yakni diterapkannya prinsip Parliamentary Threshold atau ambang batas suara yang mendapatkan jatah kursi di parlemen (DPR). Kebijakan ini atau legal policy pembentuk undang-undang ini justeru memperparah kondisi parpol Islam dalam Pemilu 2009 yakni terdapat beberapa Parpol Islam yang tersingkir. Secara kumulatif perolehan suara dan kursi parpol Islam dalam pemilu 2009 dengan prinsip Parliamentary Threshold atau yang lolos dan memperoleh kursi di DPR hanya 24,15 % atau terjadi penurunan 13,41 % di banding dengan pemilu 2004. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa parpol Islam yang
tidak lolos dengan perolehan suara kumulatif sebanyak 5,33 % yaitu PBB (1,79 %), PKNU (1,47%), PBR (1,21 %), PMB (0,40 %), PPNUI (0,14 %), dan PSI (0,14 %). Sekalipun hasil perolehan suara parpol Islam yang lolos dan tidak lolos Parliamentary Threshold digabungkan maka hanya memperoleh 29,47 % atau terjadi penurunan sebanyak 8,09 % dibandingkan pemilu 2004. Secara rinci dapat dilihat pada table berikut ini: 9 Partai Politik yang Berhasil Lolos dari Parliamentary Threshold dan Perolehan Kursi dalam DPR Pemilu Legislatif 2009 No
Partai Politik Perolehan Suara
Kursi Parlemen Perhitungan I Revisi
Demokrat
20,85%
148
150
Golkar
14,45%
108
107
PDIP
14,03%
93
95
PKS
7,88%
59
57
PAN
6,01%
42
43
PPP
5,32%
39
37
PKB
4,94%
26
27
Gerindra
4,46%
30
26
Hanura
3,77%
15
18
Jumlah
100%
560
560
Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009 Keterangan: Perhitungan perolehan kursi Parlemen / DPR bagi 9 Parpol yang lolos dari Parliamentary Threshold tsb di atas dilaksanakan berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Nasional Pemilu Legislatif 2009 No
Partai Politik (No Pemilu) Jumlah Suara
Persentase
Demokrat (31)
21.703.137
20,85%
Golkar (23)
15.037.757
14,45%
PDIP (28)
14.600.091
14,03%
PKS (8)
8.206.955
7,88%
PAN (9)
6.254.580
6,01%
PPP (24)
5.533.214
5,32%
PKB (13)
5.146.122
4,94%
Gerindra (5)
4.646.406
4,46%
Hanura (1)
3.922.870
3,77%
PBB (27)
1.864.752
1,79%
PDS (25)
1.541.592
1,48%
PKNU (34)
1.527.593
1,47%
PKPB (2)
1.461.182
1,40%
PBR (29)
1.264.333
1,21%
PPRN (4)
1.260.794
1,21%
934.892
0,90%
PKPI (7)
PDP (16)
896.660
0,86%
Barnas (6)
761.086
0,73%
PPPI (3)
745.625
0,72%
PDK (20)
671.244
0,64%
RepublikaNusantara (21)
630.780
0,61%
PPD (12)
550.581
0,53%
Patriot (30)
547.351
0,53%
PNBK (26)
468.696
0,45%
Kedaulatan (11)
437.121
0,42%
PMB (18)
414.750
0,40%
PPI (14)
414.043
0,40%
Pakar Pangan (17)
351.440
0,34%
Pelopor (22)
342.914
0,33%
PKDI (32)
324.553
0,31%
PIS (33)
320.665
0,31%
PNI Marhaenisme (15)
316.752
0,30%
Partai Buruh (44)
265.203
0,25%
PPIB (10)
197.371
0,19%
PPNUI (42)
146.779
0,14%
PSI (43)
140.551
0,14%
PPDI (19)
137.727
0,13%
Merdeka (41)
111.623
0,11%
Jumlah
104.099.785
100%
Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009 6. Pemilu 2014
I. Penutup Perolehan suara dan kursi parpol berbasis Islam dalam pemilu sejak tahun 1955 sampai 2009 memiliki trend menurun seperti yang dringkaskan dalam table berikut ini: Tahun 1955 1999 2004 2009 2014
% Perolehan suara 43,5 36,38 37,56 24,15
Keterangan -7,30 % di banding 1955 +1,18 % di banding 1999 -13,41 % di banding 2004
Berdasarkan data tersebut di atas, timbul pertanyaan mengapa ummat Islam yang mayoritas jumlahnya (lebih 85 %) justeru parpol berbasis Islam tidak menjadi pilihannya dalam pemilu ? dan masih banyak pertanyaan yang akan muncul yang harus dijawab oleh para steakholders Parpol berbasis Islam dan para tokoh Ummat Islam serta ummat Islam itu sendiri. Salah satu jawaban yang segera muncul adalah hasil tanggal 9 April 2014 sebagai bagian dari penerapan demokrasi konstitusional. Oleh karena itu hasil tanggal 9 April 2014 tersebut akan menjawab doktrin bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis tercermin dalam ’recruitment’ kepala pemerintahan, dan anggota perwakilan (DPR/DPD/DPRD) serta cara pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik oleh lembaga yang diberikan kewenangan dan tugas untuk kepentingan itu. Persoalannya adalah bagaimana proses politik justeru tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Artinya produk politik yang digodok di lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat menghasilkan produk kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam perwujudan kesejahteraan bersama. Dalam perspektif ini, maka proses ’recruitment’ harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum (legal), dan akan menghasilkan pemimpin yang diterima oleh sebagaian besar masyarakat (legitimate) karena kesalehan intelektual, moral dan berkeinerja tinggi (competence).
Jakarta, 5 April 2014