BAB II ONAN NAINGGOLAN SEBELUM TAHUN 1965 2.1
Wilayah dan Geografis Nainggolan adalah sebuah wilayah di Samosir yang mayoritas penghuninya
juga bermarga Nainggolan. Wilayah ini termasuk kedalam daerah adminitistratif Kabupaten Samosir pada tahun 2004, dimana sebelum terjadi pemekaran wilayah, Nainggolan masih tergabung kedalam Kecamatan Onan Runggu 5. Adapun yang menjadi batas – batas wilayah dari daerah ini adalah: Sebelah Utara
: Kecamatan Simanindo
Sebelah Selatan
: Danau Toba
Sebelah Barat
: Desa Urat, Kecamatan Palipi
Sebelah Timur
: Danau Toba
Secara keseluruhan daerah ini termasuk dalam kawasan Pulau Samosir yang secara geografis terletak pada 20.24 LU - 20.25 LU dan 98 21’BT - 99 55’ BT. Batas administratif dari wilayah Kabupaten Samosir dikelilingi oleh tujuh kabupaten, dengan batas – batasnya yaitu: Sebelah Utara
: berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir
Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan
5
Pemda Tk. II Tapanuli Utara Kantor Sensus dan Statistik Tarutung, Onan Runggu Dalam Angka, 1990, Tarutung, Hal. 3
Universitas Sumatera Utara
Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat
Sejarah Kabupaten Samosir, diawali dari sejarah terbentuknya Kabupaten Tapanuli Utara selaku induk dari beberapa Kabupaten pemekaran di wilayah Tapanuli Utara. Kabupaten Samosir adalah hasil pemekaran dari induknya Kabupaten Toba Samosir yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No .36 Thn 2003 tentang pembentukan kabupaten. Dengan waktu yang bersamaan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara, yang diresmikan pada tanggal 7 Januari 2004 oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia dengan sembilan kecamatan, seratus sebelas desa serta enam kelurahan. Dengan lahirnya Undang-Undang No.12 Tahun 1998 tentang pembentukan daerah tingkat II Toba Samosir , akhirnya Kabupaten daerah tingkat II Toba Samosir di resmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 Maret 1999 di Medan. Setelah selama 5 tahun masuk ke dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir maka untuk mengembangkan wilayah Samosir menjadi lebih baik maka pada tahun 2004 untuk seluruh Pulau Samosir dan wilayah di sekitarnya dilakukan pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Samosir. Nainggolan awalnya adalah sebuah desa yang sebelum Samosir di pisahkan dari Kabupaten Toba samosir merupakan satu kecamatan dengan Onan Runggu. Seiring dengan pemekaran otonomi maka daerah Nainggolan menjadi satu kecamatan yang utuh yang terpisah dari kecamatan Onan Runggu setelah pembentukan Kabupaten Samosir 7 Januari 2004. Kecamatan Nainggolan menjadi salah satu
Universitas Sumatera Utara
kecamatan diantara sembilan kecamatan yang berada di Kabupaten Samosir sekarang ini berbatasan wilayah : Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Palipi, Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Onan Runggu Sebelah Selatan berbatasan dengan pantai Danau Toba serta Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rumah Hombar Keberadaan Onan Nainggolan terletak di daerah pinggiran pantai Danau Toba yang dapat ditempuh melalui transportasi air yang menjadi salah satu pintu masuk jalur danau menuju Samosir keseluruhan serta melalui transportasi darat juga. Hal ini dapat dilihat dengan keberadaan pelabuhan kapal motor yang selalu dipadati oleh kedatangan para pelaku ekonomi dari luar Samosir setiap hari pekan di Onan Nainggolan. 2.2
Kondisi Masyarakat Berbicara
mengenai
kondisi
masyarakat
maka
disini
penulis
akan
menguraikan keadaan masyarakat nainggolan dengan : a. Mata Pencaharian Masyarakat Nainggolan pada dasarnya memiliki sumber mata pencaharian dari bertani, beternak, dan mengambil ikan dari danau Toba ( martoba ). Mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Memenuhi kebutuhan hidup keluarga sudah menjadi tujuan paling utama dari setiap kepala keluarga, namun untuk keperluan barang mewah mereka tidak terlalu antusias memikirkannya. Seiring munculnya beragam kebutuhan hidup yang akan dipenuhi dan lebih berbeda dari biasanya maka
tidak jarang mereka melakukan sistem barter yaitu menukarkan
Universitas Sumatera Utara
barang ataupun benda yang mereka inginkan dengan barang yang mereka punya untuk saling melengkapi dan memenuhi barang kebutuhan tadi. Misalkan saja pisang dari petani di tukar dengan ikan hasil tangkapan orang pinggiran danau, jagung ditukar dengan beras ikan di tukar dengan beras dan lain lain. Kampung Nainggolan sangat luas cakupannya karena selain masyarakat yang tinggal di pinggiran Danau Toba masih ada juga penduduknya yang tersebar ke daerah pegunungan hingga akibatnya muncul stigma yang menyatakan orang yang tinggal di pinggiran Danau Toba akan lebih menyatakan dirinya orang pasar dan yang di bagian pegunungan menyatakan dirinya pardolok (orang yang tempat tinggal rumahnya jauh dari pinggiran Danau Toba), mereka ini hidup dari bertani tidak jarang anak sekolahan dari gunung akan tinggal di pinggiran Danau Toba dengan menyewa rumah orang lain. Pada masa itu yang menjadi bayaran sewa masih memakai beras. Mereka menyewa tempat karena jarak tempuh dari rumah ke sekolah sangat jauh dimana sekolah pada masa itu berada di pinggiran Danau Toba. Anak sekolah akan pulang ke gunung di saat liburan pada hari sabtu sore dan akan tiba di gunung malam hari. Hal ini membuat mereka tidak sempat membantu orang tua mereka padahal hari minggu besoknya mereka sudah harus
kembali lagi ke penyewaan mereka di Pinggiran
Danau Toba untuk melanjutkan pendidikan mereka di pagi hari. Masyarakat di Kampung Nainggolan beraktivitas selain petani nelayan dan beternak banyak juga menjadi pekerja harian mengerjakan ladang atau sawah orang. Tidak jarang juga di temui penggarap tanah orang dengan hasil di bagi tiga misalkan saja si penggarap mendapat hasil 90 kaleng padi dari tanah yang di garapnya ,maka untuk pemilik tanah 30 kaleng padi dan untuk si penggarap 60 kalengnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Kebudayaan Masyarakat Nainggolan Masyarakat Nainggolan sangat berbudaya. Bagi mereka adat adalah nomor satu sehingga mereka ini sangat rajin menghadiri upacara yang berkaitan dengan adat. Diantaranya pesta adat dalam pernikahan suku Batak, Upacara adat bagi keluarga yang meninggal dunia dan lain lain. Di Masyarakat Nainggolan masih terkenal apabila seseorang keturunan dari Keluarga Raja Adat karena Raja Adat ini penting dalam pengambilan keputusan musyawarah yang berhubungan dengan adat yang akan menjadi tanggungjawabnya, adalagi sebutan lain Raja Bius, adalagi sebutan Raja Hampung ini akan menjadi sangat di hargai masyarakat karena mereka ini adalah tokoh yang dianggap penting dalam setiap upacara adat 6. Banyaknya hal yang tidak memungkinkan di tengah masyarakat membuat mereka berpikir untuk mengubah beberapa pekerjaan ke pekerjaan lain bahkan melakukan kegiatan dagang yang pada dasarnya mereka mungkin belum menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah aktivitas perdagangan walaupun dengan sistem barter di tempat terbuka. Sebelum berdirinya Onan Naninggolan masyarakat melakukan aktifitas perdagangan ke desa Silaban. Barulah sesudah berdirinya Onan Nainggolan
itu mereka berdagang di lingkungannya sendiri walaupun dengan
kondisi yang masih belum layak dikatakan sebuah Onan. Masyarakat Nainggolan tidak jarang menikah dengan sesama satu marga yang tidak jauh. Pernikahan banyak yang terjadi antara perempuan kampung yang tidak
6
Raja Bius : adalah Jabatan seseorang dalam struktur masyarakat Batak yang dianggap sebagai orang yang paling mengerti akan hukum adat, sedangkan Raja Hampung : gelar bagi seseorang yang pertama sekali melakukan pembukaan hunian dalam masyarakat Batak Toba. Hasil wawancara dengan Bapak Ajumarar Parhusip tanggal 02 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
jauh jaraknya dengan kampung laki-laki, seiring munculnya Onan Nainggolan dan itu semua membawa dampak yang besar terhadap mata pencaharian, pernikahan dan antusias akan barang-barang mewah. c. Agama Masyarakat Nainggolan adalah masyarakat dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun itu tidaklah dengan mudah membuat mereka menjadi lebih bertahan dan taat pada agama yang mereka anut. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya sekitar dua puluh persen masyarakat Nainggolan pada masa ini masih percaya akan mitos, masih seringnya terlihat upacara mamele, yaitu menganggap sebuah tempat yang dihuni oleh nenek moyang mereka sebagai tempat yang sakral dan keramat, bahkan mereka sering menyebutkan kata-kata Mulajadi Nabolon dalam upacara – upacara adat mereka. Melakukan Upacara mangongkal holi (mengambil dan mengumpulkan tulang-tulang nenek moyang hingga membuat tulang tersebut ke satu peti) dan di semen dalam batu kubur yang cantik sudah menjadi tradisi dan untuk melakukan ini dan menghabiskan biaya besar, bagian masyarakat yang sudah melakukan ini akan dianggap masyur, kaya, dan terhormat. d. Pendidikan Masyarakat Nainggolan sebelum tahun 1965 kurang antusias akan dunia pendidikan. Hal ini bisa dipahami sebagai akibat dari persoalan pelik letak Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba. Dimana posisi geografis daerah ini membuat masyarakatnya sulit untuk berkembang karena jalur ke dalam dan ke luar dari daerah ini sangat susah pada masa itu. Dari faktor geografis tersebut terkadang
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan pemikiran bahwa setiap orang yang tinggal di daerah tersebut menjadi kurang berkembang sehingga dengan munculnya Onan di Desa Nainggolan ini membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi lebih baik dan secara tidak langsung membawa pengembangan terhadap wilayah yang mereka tempati. Pengaruh yang dibawa oleh para pedagang dari luar Pulau Samosir yang datang ke kampung Nainggolan tersebut diyakini membawa perubahan terhadap pola hidup, dan pergeseran mata pencaharian yang sebelumnya di dominasi oleh pertanian kini banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Masyarakat Nainggolan ada juga yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hal ini bisa dilihat dari jenjang pendidikan masyarakat yang rata – rata sudah menamatkan pendidikannya dari Sekolah lanjutan Atas bahkan ada juga yang mampu menembus bangku perkuliahan hingga tingkat sarjana.
Tabel 1. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Onan Runggu Tahun 1961 Mata
Tahun
NO Pencaharian
1961
1971
1991
1.
Petani
5.664 Jiwa
8.725 Jiwa
9.387 Jiwa
2.
Pedagang
4.774 Jiwa
7.658 Jiwa
17. 986 Jiwa
3.
PNS/TNI
368 Jiwa
1.036 Jiwa
8.743 Jiwa
4.
Buruh Tani
4.121 Jiwa
4.992 Jiwa
1.257 Jiwa
5.
Nelayan
6.357 Jiwa
5.956 Jiwa
1.679 Jiwa
Universitas Sumatera Utara
6.
Total
21. 284 Jiwa
28. 367 Jiwa
39. 052 Jiwa
Sumber: Kantor Statistik Kab. Tapanuli Utara
2.3
Keadaan Onan Nainggolan Sebelum Tahun 1965 Secara historis Pasar Onan Nainggolan dulunya disebut Onan Pesanggrahan.
Onan Pesanggrahan ini dulunya hanya merupakan tanah kosong yang digunakan masyarakat sebagai tempat pesanggrahan atau tempat pertemuan raja-raja Batak (Raja Bius) dalam melakukan pertemuan penting, kecuali hari Senin karena difungsikan sebagai pasar (onan) 7. Onan Pesanggrahan terletak di dekat pelabuhan Nainggolan. Tanahnya tidak begitu luas jika dibandingkan dengan lahan kosong di sekitarnya. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar masih percaya bahwa tanah yang dijadikan sebagai Onan Pesanggrahan tersebut tidak angker jika dibandingkan dengan tanah kosong lain di sekitarnya. Onan Pesanggrahan telah ada sejak tahun 1936 dan merupakan tanah milik marga Nainggolan Parhusip. Hal ini dibuktikan dengan adanya Tugu Nainggolan Parhusip di dekat lokasi pasar untuk menunjukkan kepada masyarakat banyak bahwa Onan tersebut dibangun di atas tanah marga Nainggolan Parhusip. Sebelum Onan Nainggolan berdiri tahun 1936 penduduk Nainggolan untuk melakukan pertukaran barang harus ke Desa Silaban Kecamatan Palipi dengan menggunakan transportasi kuda beban atau berjalan kaki. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa kapal mesin masuk ke daerah Samosir pada tahun 1933 oleh 7
A. Deddy Lumban Siantar, Wawancara, di Kampung Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir tanggal 1 Agustus 2013
Universitas Sumatera Utara
Pastoran pada masa zending Katolik di Desa Silaban Kecamatan Palipi. Kapal inilah yang digunakan juga oleh Pastoran membantu masyarakat untuk digunakan sebagai pengangkutan manusia dan barang-barang hasil bumi dengan rute penyeberangan sekali atau dua kali seminggu terjadi penyeberangan Kondisi ini menimbulkan kegelisahan dari beberapa mayarakat sampai mereka menyampaikan aspirasi terhadap Tuan Nagari dan Raja Bius serta Raja Adat supaya satu hati satu pemikiran melihat dan menyetujui sebuah lahan yang dianggap strategis sebagai tempat perkumpulan melakukan barter dan sebagai sarana pengumuman atau undangan dan fasilitas pertemuan 8. Asal usul nama
Onan Nainggolan yang disebut sampai sekarang ini,
mempunyai latar belakang tersendiri. Menurut hasil wawancara dengan Deddy Lumban Siantar bahwa nama Onan Nainggolan ini diambil karena tanah yang dijadikan sebagai lahan perdagangan sekarang ini adalah tanah milik Marga Nainggolan Parhusip. Di samping itu, di daerah yang dijadikan areal dagang kebanyakan bermarga Nainggolan. Dahulu areal ini merupakan tanah kosong yang biasanya digunakan oleh RajaRaja Adat dalam melakukan pertemuan. Lama kelamaan daerah ini menjadi Onan Nainggolan yang dijadikan sebagi tempat melakukan aktifitas dagang (masih bersifat barter) masyarakat. Hal ini terjadi atas permintaan masyarakat Nainggolan kepada Raja Adat yang didasari atas kegundahan masyarakat akan jauhnya jarak yang harus ditempuh masyarakat dalam melakukan aktifitas dagang pada masa itu.
8
Wawancara dengan Ajumarar Parhusip di Kampung Sitonggor, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 2 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1936 pedagang masih menjajakan barang dagangannya dalam jumlah yang masih relatif sedikit. Jumlah pedagangnya pun masih sedikit, serta jarak berjualannya juga masih berjauhan antara pedagang yang satu dengan pedagang lainnya. Para pedagang pada masa itu belum ditentukan tempat berjualannya karena belum memiliki aturan yang benar-benar mengikat di antara para pedagang tersebut. Aturan yang berlaku hanya peraturan yang bersifat lisan saja, yang tidak saling merugikan di antara para pedagang 9. Para pedagang biasanya menggunakan lahan yang kosong di sekitar Onan Pesanggrahan sebagai tempat menjajakan barang dagangannya. Dengan kata lain, lapak/lahan mereka tidak menetap. Siapa cepat dia dapat, istilah tersebut menggambarkan pola hidup pedagang pada masa itu. Siapa yang pertama tiba di areal dagang dialah yang akan menempati areal tersebut hanya untuk hari itu saja. Pada hari selanjutnya, areal dagangnya bisa saja berganti ke tempat lain hanya karena terlambat atau telah ditempati oleh pedagang lain. Atau dengan kata lain, tidak ada peraturan sewa lahan untuk berdagang pada masa itu. Jenis barang dagangan yang diperdagangkan berupa kebutuhan hidup seharihari, seperti sayur-mayur, padi, ubi, ikan, pakaian, attirha (ubi yang direbus dengan daun) dan kebutuhan hidup lainnya. Pada saat itu para pedagang di pasar belum mengenal adanya uang, sehingga proses jual beli dengan uang belum ada pada masa itu. Sistem yang dikenal pada masa itu adalah sistem barter, di mana barang ditukar dengan barang. Cara menghitung sistem barter pada masa itu tidak didasarkan pada
9
Wawancara dengan Op. Dorlan Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
nilai kegunaan dan manfaat barang melainkan berdasarkan kebutuhan masyarakat pada masa itu 10. Sebagai contoh si A memiliki 5 tumba beras. Beliau membutuhkan 2 ekor ikan mas sebagai lauk di rumah. Kemudian beliau akan mencari orang yang membutuhkan beras di Onan yang kebetulan membawa ikan mas dan bersedia menukarkannya dengan beras yang dimilikinya. Kebetulan si B memiliki 2 ekor ikan mas yang ingin menukarkan ikan dengan beras. Mereka akan membawa barang dagangannya ke Onan Pesanggrahan. Ketika si A dan si B bertemu maka akan terjadi barter (pertukaran) barang dagangan yang didasarkan atas kebutuhan masing-masing. Pengunjung Onan Pesanggrahan tahun 1936 hanyalah warga dari sekitar daerah Nainggolan. Hal ini disebabkan karena pada masa itu hanya ada satu di daerah Nainggolan. Di sisi lain belum ada angkutan yang memadai untuk masyarakat melakukan aktifitas dagang ke daerah lain. Hal inilah yang menyebabkan pengunjung dan pedagang masih relatif sedikit jumlahnya. Sekitar tahun 1945 Onan Pesanggrahan tidak lagi digunakan oleh raja-raja Bius dalam melakukan aktivitas rapat atau pertemuan lagi melainkan telah sepenuhnya menjadi pasar. Kemudian satu tahun setelahnya yakni tahun 1946 Onan Pesanggrahan diganti namaya dengan Onan Nainggolan dan pada tahun itu juga disahkanlah Onan Nainggolan. Dalam upacara pengesahannya dilakukan ritual adat Batak dengan melakukan upacara selama 3 hari 3 malam dengan tujuan agar Onan
10
Wawancara dengan Op. Dorlan Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
Nainggolan tersebut terhindar dari hal-hal mistik dan dapat digunakan semaksimal mungkin oleh masyarakat sekitar sebagai tempat mencari nafkah 11. Mengingat kecenderungan jumlah penduduk yang semakin bertambah, karena manusia selalu berusaha merubah lingkungannya untuk memperoleh kebutuhan hidupnya, sehingga tidak jarang mereka selalu merusak lingkungan alam sebagai tempat tinggalnya. 12 Dengan demikian, dulunya jumlah penduduk yang berada di sekitar pasar masih sangat jarang telah berubah menjadi daerah yang cukup padat. Hal ini disebabkan karena pada umumnya mereka yang datang banyak yang menggantungkan mata pencahariannya di pasar tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya bangunan rumah di dekat pasar yang memanfaatkan badan pasar sehingga menyebabkan luas pasar semakin menyempit. Untuk menghindari penyempitan tersebut, masyarakat membuat kawat duri di pinggiran pasar yang berguna untuk membuat batasan antara rumah warga dengan pasar. Seiring dengan kemajuan pada waktu itu, tanah kosong berubah secara perlahan. Sebagian pedagang mulai membuat undung-undung yaitu tenda yang dibangun dengan empat buah bambu sebagai tiang penyangga. Kondisi pedagang masa itu sangat memprihatinkan. Pada saat hujan turun misalnya, pedagang yang menjajakan barang dagangannya langsung di atas tanah yang beralaskan tikar akan sangat merugi dikarenakan kondisi Onan akan menjadi sangat becek. Oleh karena itu pada tahun 1962 petugas pasar membangun undung-undung kepada para pedagang
11
Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013. 12 Zoer, aini, Djamuel Irwin, Ekosistem Komunitas dan Lingkungan, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hal.74
Universitas Sumatera Utara
dengan catatan pedagang memberikan uang iuran kepada petugas pasar sebagai sewa lahan dan undung-undung. Selain undung-undung ada pula sebagian bangunan yang dibuat dari papan yang telah dibuat atapnya akan tetapi masih sebagian kecil. Uang iuran yang diberikan pada masa itu tidak dipatok jumlahnya, tergantung kerelaan pedagang untuk memberikan iuran mereka. Jika hasil dagangan berlebih, tidak jarang para pedagang memberikan iuran berlebih. Sebaliknya jika pedagang tidak mendapatka penghasilan yang cukup, mereka tidak memberikan iuran kepada petugas pasar. Uang hasil iuran tersebut selanjutnya akan diberikan sebahagian kepada punguan Marga Parhusip sebagai sewa lahannya dan sebagian lagi akan diserahkan kepada pemerintah dinas pasar setempat 13. Pada tahun 1948 masyarakat telah mulai meninggalkan sistem barter dan mulai menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Setiap barang telah ditentukan dengan harga yang diatur oleh pihak pedagang sehingga di pasar terjadi persaingan dalam menentukan harga barang. Istilah yang digunakan pada masa itu adalah sasukku (sasukku = 50sen). 14 Pedagang biasanya menentukan harga barang dengan kebutuhan mereka untuk membeli barang lain yang mereka butuhkan dalam tingkat kewajaran harga yang berlaku di pasar. Dalam hal ini pemerintah tidak ikut ambil bagian dalam menentukan harga barang di pasar.
13
Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013. 14 Wawancara dengan Op.Dorlan Nainggolan (71 tahun) tanggal 1 Agustus 2013 di desa Nainggolan Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERKEMBANGAN ONAN NAINGGOLAN (1965-1998) 3.1
Kondisi Fisik Pada tahun 1965, di Samosir, terlebih di Onan Nainggolan terjadi perombakan
secara besar-besaran. Onan Nainggolan yang dulunya hanya berupa undung-undung telah dirombak dan secara keseluruhan menjadi bangunan papan yang atapnya telah dibuat dengan menggunakan ijuk sebagai pelindung dari hujan dan terik matahari sebagai tempat berjualan para pedagang. Akan tetapi bentuk fisik bangunannya masih tergolong sederhana, luas lapak masing-masing tidak merata. Ada beberapa yang luasnya 4x6 meter, dan ada pula yang luasnya hanya 2x3 meter. Pada tahun itu hanya ada 57 bangunan sebagai tempat berjualan para pedagang. Selanjutnya setelah semua pembangunan selesai diadakan lagi upacara adat untuk meresmikan pasar tradisional tersebut karena sudah menjadi adat dan kebiasaan masyarakat sekitar 15. Walaupun telah dibangun lebih baik, ternyata jumlah pedagang setiap tahunnya terus bertambah. Hal ini menyebabkan Onan Nainggolan tidak dapat lagi menampung banyaknya para pedagang, sehingga banyak di antaranya yang berjualan di luar pasar
dengan memanfaatkan badan jalan sebagai tempat berjualannya.
Kebanyakan dari mereka berasal dari wilayah Nainggolan itu sendiri, dan hanya sebagian saja yang berasal dari luar Nainggolan.
15
Wawancara dengan A. Deddy lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
Para pedagang yang berasal dari luar Nainggolan biasanya menggunakan kuda beban sebagai alat transportasi mereka untuk mengangkut barang dagangannya, saat itu belum ada angkutan kendaraan bermotor. Mereka yang datang berasal dari Onan Runggu, Dolok, Palipi, Mogang dan Sitinjak. Barang dagangan yang diperjual belikan pada masa itu tidak jauh berbeda dengan tahun 1946, akan tetapi berubah secara kuantitas. Barang dagangan yang sebelumnya dijual hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari saja telah berubah menjadi motif untuk mencari keuntungan lebih yang mampu digunakan untuk hari berikutnya. Harga barang dagangan yang dijual pada masa itu pun bervariasi tergantung kepada harga di pasaran. Setelah itu akan terjadi tawar menawar antara pedagang dan pembeli untuk mencapai kesepakatan harga 16. Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama, hingga dimulainya kedatangan pedagang dari luar Pulau Samosir (Muara, Balige, Sibandang, Parapat, dll) pada tahun 1985. Pada tahun 1994 dibangunlah bangunan baru yang lebih mewah. Pasar yang dulunya hanya terbuat dari papan dirubah menjadi pasar dengan bangunan yang lebih bagus. Bangunannya berubah menjadi bangunan beton dengan ukuran merata yaitu 4x5m keseluruhannya. Sementara itu, menunggu pembangunannya selesai, lokasi Onan Nainggolan untuk sementara waktu dipindahkan ke tanah lapang yang masih berada di sekitar wilayah Nainggolan itu juga 17.
16
Wawancara dengan Op. Parpandua di Kampung Nainggolan, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 2 Agustus 2013. 17 Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
Awalnya pemindahan tersebut mendapatkan perlawanan dari masyarakat setempat. Bentuk perlawanan mereka ditunjukkan dengan cara berjualan bukan di Onan Nainggolan melainkan di sepanjang jalan dari Pelabuhan Nainggolan hingga ke jalan besar Nainggolan (berjarak sekitar 500M dari Pelabuhan ke jalan besar Nainggolan menuju simpang tiga dan simpang empat juga tanah lapang). Hal ini sangat mengganggu aktifitas lalu lintas., atas himbauan pemerintah setempat, yang juga masih merupakan Raja Bius, maka warga setempat mau pindah ke tanah lapang sebagai tempat berjualan untuk sementara waktu 18. Pada tahun 1995 pembangunan Onan Nainggolan yang baru dengan bangunan beton telah rampung. Pedagang pun dipindahkan kembali dari tanah lapang ke Onan Nainggolan yang baru. Masyarakat pun menerima dengan bangga hasil pembangunan pasar yang baru. Akan tetapi pada tahun 1995 terjadi perubahan yang sangat jauh berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pasar dibagi atas beberapa kelas yaitu:
1. Kelas I Pada lokasi ini dikhususkan kepada para pedagang yang menjual pakaian, barang pecah belah dan alat dapur seperti keramik, piring, gelas, kaca, ember, dan lain-lain, jenis ikan dan daging serta aksesoris. Dalam hal ini pada kelas pertama ini mereka dikenakan biaya retribusi yang lebih besar
18
Wawancara dengan A. Karmila Parhusip di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 3 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
yakni 3000 rupiah per hari sebagai sewa lahan. Dengan kata lain mereka harus membayar sewa lahan sesuai dengan tarif yang sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat. Letaknya berada langsung di depan pintu masuk ke Onan Nainggolan dari pelabuhan. 2. Kelas II Pada lokasi ini dikhususkan kepada para pedagang yang menjual sayursayuran, buah-buahan, dan bahan pangan seperti beras, gula, minyak, dan lain-lain. Dalam hal ini, pada kelas kedua para pedagang dikenakan biaya retribusi sebesar 2000 rupiah per harinya sebagai sewa lahan. Letaknya berada tepat di belakang kelas pertama. 3. Kelas III Pada lokasi ini dikhususkan kepada para pedagang yang menjual makanan tradisional seperti pecal, mie sop, the manis, attirha dan lain sebaginya. Dalam hal ini, pada kelas ketiga para pedagang dikenakan biaya 1000 rupiah per harinya sebagai sewa lahan. Letaknya lebih ke belakang pasar, tepatnya di belakang kelas kedua 19.
Sebenarnya, hal ini bertujuan agar tidak terjadi tumpang tindih, di mana pada satu lokasi terdapat berbagai jenis barang dagangan dan juga menjaga kenyamanan bagi setiap pembeli yang berbelanja di pasar tersebut. Retribusi yang dikenakan per
19
Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
orang dan per hari pekan pun tidak lagi diberikan kepada Marga Parhusip, melainkan sepenuhnya diserahkan kepada Dinas Pasar Kecamatan Onan Runggu. Dalam hal pengutipan retribusi pun tidak ada lagi pengecualian kepada Marga Parhusip. Dengan kata lain, semua pedagang memiliki kewajiban yang sama dalam hal membayar retribusi termasuk dari keluarga Parhusip sekali pun 20. Permasalahan baru muncul pada tahun 1998, di mana Onan Nainggolan yang telah dirancang dan dibangun sedemikian rupa demi kesejahteraan masyarakat mengalami kebakaran. Kebakaran terjadi pada malam hari sehingga tidak ada dari kalangan pedagang yang mengalami kerugian. Kerugian dari kebakaran pasar hanya pada bangunan dan tidak ada korban jiwa sama sekali. Dampak dari kebakaran Onan Nainggolan terhadap para pedagang adalah dengan dipindahkan lagi areal perdagangan ke tanah lapang menunggu pembangunan Onan Nainggolan yang baru.
3.2
Pengelolaan Onan Nainggolan Pasar tradisional merupakan pusat aktifitas sebagian besar masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya mulai dari kebutuhan sandang, pangan, papan, maupun kebutuhan sosial lainnya. Keberadaan pasar tradisional terus mengalami perkembangan dan semakin banyak pula masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari keberadaan pasar tradisional tersebut. . Dalam hal pengelolaan, Onan Nainggolan lebih bersifat pelayanan kepada masyarakat yang dikelola oleh pemerintah daerah setempat. Onan Nainggolan 20
Wawancara dengan A. Jumses, di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
dipegang oleh Petugas Peraturan Pasar (PERPAS). Tugas pokok dari PERPAS adalah menyiapkan bahan perencanaan dan program kerja, pelayanan administrasi dan teknis pembinaan dan bimbingan, evaluasi dan pelaporan bidang pengelolaan pasar yang meliputi pendapatan serta sarana kebersihan, keamanan, dan ketertiban. Petugas PERPAS Onan Nainggolan mengelola segala kegiatan yang berhubungan dengan aktifitas di pasar. Pengelolaannya meliputi pembangunan bangunan fisik pasar, pelayanan kebersihan dengan menyediakan tong sampah yang bekerjasama dengan dinas kebersihan, pemungutan pajak sewa bangunan, dan pelaksana keamanan dan ketertiban di area pasar. Pajak atau sewa bangunan selanjutnya akan dilaporkan kepada pihak Kecamatan yang mengurusi masalah keuangan dan pendapatan kecamatan. Pada dasarnya sistem pengelolaan Onan Nainggolan bukan hanya dikendalikan oleh petugas pasar (PERPAS) melainkan adanya peran serta masyarakat pedagang yang banyak menggantungkan hidupnya di Onan Nainggolan. Para pedagang yang mengelola Onan Nainggolan adalah para pedagang yang berjualan menetap di mana telah memiliki lapak/tempat berjualan yang tidak berpindah dan telah menandatangani kontrak atas sewa areal dagang. Para pedagang yang menyewa dengan sistem kontrak mulai ada sejak tahun 1997 dimana setiap tempat berdagang yang mereka sewa dikenakan biaya pajak yang berbeda tergantung kepada kelasnya masing-masing. Sistem pengelolaan Onan Nainggolan adalah sistem yang bersifat kekeluargaan, di mana pemerintah menetapkan harga sewa di samping berdasarkan kelas juga didasarkan pada tingkat kemakmuran ekonomi masyarakat. Dalam
Universitas Sumatera Utara
menetapkan harga sewa biasanya pihak pemerintah akan melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat setempat sehingga pajak sewa yang dikenakan kepada masyarakat tidak terlalu besar dan masyarakat pun akan tepat waktu dalam pembayaran karena semua aturan yang menyangkut sewa didasarkan pada kesepakatan antara pemerintah setempat dengan masyarakat sekitar.
3.3
Aktifitas Onan Nainggolan Barang-barang dagangan yang diperjual belikan pada masa itu tidak jauh
berbeda dengan tahun 1946, akan tetapi berubah secara kuantitas. Barang dagangan yang sebelumnya dijual hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari selanjutnya berubah menjadi motif untuk mencari keuntungan lebih yang mampu digunakan untuk hari berikutnya. Harga barang dagangan yang dijual pada masa itu pun bervariasi tergantung pada jenis barang dan harga di pasaran. Setelah itu akan terjadi tawar menawar antara pedagang dan pembeli untuk mencapai kesepakatan harga. Dalam hal retribusi, para pedagang dikenakan biaya retribusi dua sukku (1 rupiah) atas sewa lahan mereka. Uang retribusi tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Dinas Pasar Kabupaten Tapanuli Utara dan tidak ada lagi pemberian kepada Marga Parhusip karena pada tahun 1965 tanah tersebut telah resmi dihibahkan oleh Raja Parhusip kepada pemerintah setempat untuk renovasi pasar dengan catatan setiap Marga Parhusip yang berjualan di Onan Nainggolan tidak dikenakan pungutan biaya. Hal ini dikarenakan sistem adat Batak Toba secara turun temurun yang
Universitas Sumatera Utara
menghargai adat dan selalu peduli terhadap keturunannya walaupun moyang mereka telah meninggal 21. Pungutan/retribusi yang dikutip dari para pedagang digunakan untuk penataan kota supaya tercipta daerah yang indah, tertib, dan bersih. Masalah sampah yang dimunculkan para pedagang merupakan suatu kendala bagi pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli Utara dalam mewujudkan daerah yang bersih dan indah. Maka untuk itu, diperlukan penanganan yang lebih serius dari seluruh pihak yang berkompeten karena apabila tidak ditangani secara serius maka akan menjadi permasalahan yang lebih kompleks. Melihat kenyataan yang berkembang, maka pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara telah menyediakan gerobak-gerobak dan tongtong sampah.Di samping itu juga telah menyiapkan tenaga-tenaga kerja kebersihan yang bertugas memelihara kebersihan kota, menyapu jalan/pasar, dan petugas pengangkutan gerobak sampah. Jumlah dari petugas kebersihan dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini merupakan bukti nyata dari upaya pemerintah dalam penanggulangan sampah dan juga demi kesejahteraan para pedagang dan kenyamanan para pembeli 22. 3.4
Permasalahan yang Dihadapi di Onan Nainggolan Para pedagang tersebut apabila sudah selesai berjualan akan meninggalkan
sampah yang berserakan sehingga dapat menimbulkan situasi yang tidak nyaman di sekitar pasar dan selokan/parit. Keadaan ini berlangsung setiap hari sehingga sampah
21
Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013. 22 Wawancara dengan A. Karmila Parhusip di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 3 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
ataupun kotoran tersebut jadi menumpuk di areal pasar tersebut. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut maka dapat mengakibatkan aroma yang tidak sedap dan berbau busuk serta dapat menimbulkan sumber penyakit. Keadaan ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi kebersihan dan keindahan pasar yang disebabkan oleh sampah-sampah yang berserakan dan tata ruang semakin semrawut serta sering kali dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Keadaan payung-payung yang dipasang oleh para pedagang dari luar Pulau Samosir pada saat berjualan juga dapat menimbulkan pemandangan yang kurang sedap dipandang oleh mata. Parit-parit yang tersumbat oleh karena sampah-sampah pedagang kaki lima akan menggenang di sepanjang jalan terutama saat hujan turun. Keadaan ini lambat laun akan mempercepat kerusakan pada badan jalan sementara itu pasar menjadi becek dan berlumpur 23 Dampak lainnya yang disebabkan oleh para pedagang kaki lima adalah kemacetan lalu lintas. Hal ini terjadi karena pedagang kaki lima tidak menghiraukan tempat-tempat yang dilarang untuk berjualan. Sering kali para pedagang membuat lokasi berdagang di sepanjang jalan, bahkan terkadang sampai menempati setengah badan jalan. Hal ini juga dapat menggangu kelancaran lalu lintas meskipun petugas sering melakukan penertiban dan penggusuran terhadap para pedagang kaki lima, akan tetapi hasilnya tidak pernah mengalami perubahan 24.
23
Wawancara dengan Op. Dorlan di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 2 Agustus 2013. 24 Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan pedagang di Onan Nainggolan menjadi suatu dilema bagi pemerintah dalam mewujudkan Samosir yang bersih, tertib, dan aman. Pada tahun 1990 Jumlah pedagang terus bertambah karena tempat penampungan untuk berjualan belum memadai. Inilah hal utama yang masih menjadi kendala bagi pemerintah dalam mengatur tata kota administratifnya, khususnya di daerah Kecamatan Onan Runggu 25. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara telah berusaha menjadikan Samosir menjadi kota yang indah, tertib, dan bersih. Hal ini sangat berpengaruh dengan Onan Nainggolan, karena pasar ini sangat strategis dilalui oleh masyarakat dari berbagai arah atau tempat. Hal ini didukung juga oleh dekatnya lokasi pasar dengan Pelabuhan Nainggolan. Pemerintah berusaha dalam mengatasi masalah yang muncul di tengahtengah masyarakat dalam era keterbukaan dimana memerlukan penanggulangan yang terpadu, yaitu menciptakan kerjasama yang baik dari berbagai pihak dengan memperhatikan aspek dan kepentingan dari berbagai pihak serta tidak mengindahkan nilai kebenaran dan kemanusiaan. Kehadiran pedagang di Onan Nainggolan dari segala bentuk dan kegiatannya tidak pernah luput dari permasalahannya. Pedagang di Onan memberikan masalah yang kompleks terutama masalah sampah, lingkungan kumuh, kemacetan, dan ketertiban lalu lintas yang merupakan ulah dari pedagang tersebut. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mengadakan operasi pasar untuk menertibkan para pedagang dengan mengadakan razia atau penggusuran yang bertujuan untuk menertibkan dan
25
Wawancara dengan A. Deddy Lumban Siantar di Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir, Tanggal 1 Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
menata pedagang agar berjualan di tempat yang telah ditentukan, kemudian menyediakan tempat penampungan bagi para pedagang dengan cara menambah bangunan pasar dan membuka kawat duri pembatas dan dibangun dengan bangunan pasar baru sebagai tambahan bangunan berdagang bagi pedagang dalam menjalankan aktifitasnya. Melalui pasar yang baru ini juga, diharapkan agar para pedagang tidak lagi berjualan di sepanjang jalan maupun badan jalan.
Universitas Sumatera Utara