15
BAB II NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN NOVEL
A. NILAI PENDIDIKAN ISLAM 1. Pengertian Nilai Nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Sesuatu dianggap bernilai apabila sesuatu itu memiliki sifat menyenangkan (peasent), berguna (useful), memuaskan (satisfying), menguntungkan (profitable), menarik (interesting), keyakinan (belief).1 Nilai merupakan sesuatu yang diharapkan (das solen) oleh manusia. Nilai merupakan sesuatu yang baik yang dicitakan manusia. Nilai menjadikan manusia terdorong untuk melakukan tindakan agar harapan itu terwujud dalam kehidupannya. Nilai diharapkan manusia sehingga mendorong manusia berbuat.2 Menurut Esti Ismawati dalam bukunya Ilmu Sosial Budaya Dasar, nilai merupakan sebuah konsepsi abstrak yang menjadi acuan atau pedoman utama mengenali masalah mendasar dan umum yang sangat penting dan ditinggikan dalam kehidupan. Suatu masyarakat, bangsa, atau bahkan kemanusiaan. Ia menjadi acuan tingkah laku sebagian besar besar masyarakat
1
Herimanto & Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm.
2
Ibid, hlm. 128
126-127
16
yang bersangkutan, mengkristal dalam alam pikiran dan keyakinan mereka, cenderung bersifat langgeng dan tidak mudah berubah atau tergantikan.3 Nilai itu penting bagi manusia. Nilai dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia dan nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan manusia.4 Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap buruk dan salah. Nilai bersifat ideal, abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra, sedangkan yang dapat ditangkap hanya barang atau tingkah laku yang mengandung nilai tersebut. Nilai juga bukan fakta yang berbentuk kenyataan dan konkret. Oleh karena itu, masalah nilai bukan soal benar dan salah, tetapi soal dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak, sehingga bersifat subyektif. Nilai tidak mungkin diuji dan ukurannya terletak pada diri yang menilai.5 Menurut Khoiron Rosyadi, nilai adalah ukuran untuk menghukum atau memilih tindakan dan tujuan tertentu, nilai merupakan cita, idea, bukan fakta, dan nilai tidak dapat dipastikan secara kaku dan tidak ada ukuranukuran obyektif tentang nilai.6
3
Esti Ismawati, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 170 Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 126 5 Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam: Landasan Teori dan Praktis, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hlm. 35-36. 6 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 135 4
17
Secara umum pengertian nilai tak terbatas. Segala sesuatu yang ada di alam ini adalah bernilai. Sehingga nilai itu seluas potensi kesadaran manusia, dan variasi kesadaran manusia sesuai dengan individualitas dan keunikan kepribadiannya.7 Nilai dalam kehidupan manusia berkaitan dengan masalah baik dan buruk. Sehingga tolok ukur kebenaran sebuah nilai dalam pandangan perspektif filsafat adalah aksiologi. Perbedaan pandangan tentang aksiologi pada setiap manusia akan membedakan ukuran baik buruknya sesuatu.8 Jadi nilai adalah suatu idea atau cita-cita atau keyakinan terhadap suatu obyek oleh suatu subyek. Penilaian yang diberikan kepada obyek tersebut berbeda antara subyek satu dengan subyek yang lainnya. Karena nilai yang diberikan tergantung dari siapa yang diberi nilai dan siapa memberi nilai. Ketika suatu nilai itu disebut sebagai nilai Islami maka tentunya nilai tersebut didasari oleh al-Qur‟an dan al-Hadis. Sehingga menjadikan suatu nilai yang mengandung nilai-nilai iman, takwa, kemanusiaan, dan kebaikan yang dapat memberikan manfaat bagi setiap manusia yang mengamalkan nilai Islami tersebut. 2. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik untuk dapat memainkan peranan dalam 7
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendiidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 127 8 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 121
18
berbagai lingkungan hidup secara tepat pada masa yang akan datang. Pendidikan juga diartikan sebagai pengalaman-pengalaman terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non formal, dan informal di sekolah dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup, bertujuan untuk mengoptimalisasi kemampuan-kemampuan individu.9 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan meliputi proses, perbuatan dan cara mendidik.10 Menurut Binti Maunah dalam bukunya Ilmu Pendidikan, pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup dan pendidikan itu sendiri merupakan segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia.11 Sedangkan menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam, secara bahasa pendidikan dalam bahasa Arab diartikan dengan Tarbiyah dengan kata kerja Rabba. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa arab yaitu Tarbiyah Islamiyah. Sedangkan menurut istilah pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim (insan kamil). Dengan pola takwa insan kamil artinya manusia utuh rohani dan
9
Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 60-61 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 232 11 Binti Maunah, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 59 10
19
jasmaninya dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal, karena takwa kepada Allah SWT. 12 Menurut pemikiran Hasan Langgulung bahwa pendidikan dapat dilihat dari 3 segi, yaitu: a.
Pendidikan
dari
segi
pandangan
masyarakat
adalah
pewarisan
kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan, dimana terdapat proses pemindahan nilai-nilai budaya yang disalurkan ke generasi berikutnya. b.
Pendidikan dari segi pandangan individu adalah proses penampakan (manifestasi) yang tersembunyi (content) pada peserta didik, dimana pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi terpendam dan tersembunyi yang dimiliki oleh masing-masing individu.
c.
Pendekatan ketiga memandang bahwa pendidikan adalah interaksi antara potensi dan budaya, dimana kedua proses itu sejalan bersama-sama, isi mengisi satu sama lain.13 Dengan perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau
pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti
12 13
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 28-29. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1992), hlm. 3-4
20
mental.14 Dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Dengan melihat pengertian-pengertian di atas maka bisa disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai pengertian yang sangat luas, tidak hanya dalam pengertian formal tetapi juga informal, tidak hanya berkaitan dengan intelektualis dan rasionalis, tetapi juga mencakup jasmani dan sekaligus rohani. Pengertian-pengertian di atas juga menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu aktivitas yang mempunyai tujuan. Hal ini perlu diperhatikan, karena dalam pendidikan Islam juga mempunyai tujuan yang akhirnya akan bermanfaat bagi sesama manusia ataupun dirinya sendiri. Ahmad Tafsir mendefinisikan bahwa pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam dan lebih singkatnya dia mengatakan bahwa bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin. Definisi ini lebih menekankan kepada hasil bimbingan atau pendidikan yaitu “menjadi muslim semaksimal mungkin”.15 Zuhairini, dkk mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak sesuai dengan
14
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 32 15
21
ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat sesuatu berdasarkan nilainilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.16 Pendidikan
Islam
adalah
usaha
yang
dilakukan
untuk
mengembangkan sebuah potensi manusia baik lahir maupun batin agar terbentuknya pribadi muslim seutuhnya.17 Omar M. al Toumy al-Syaibani menyatakan bahwa pendidikan islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan.18 Menurut Muhammad Fadhil Jamali pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.19 Pendidikan Islam berusaha menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi laten (fitrah) agar menjadi kemampuan yang aktual. Pendidikan Islam mengemban beban yang bersifat dinamis dan progresif dalam merealisasikan kebutuhan anak didik dalam arti yang luas.20
16
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 152 Haidar Putra Daulany, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 11 18 Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399 19 Muhammad Fadhil al-Jamali, Falsafah Pendidikan dalam Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 3 20 Zubaedy, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 8 17
22
Pendidikan Islam menurut Endang Saifudin adalah proses bimbingan (pimpinan tuntunan, usaha) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, keamanan, intuisi, dan sebagainya) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dengan akal perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disukai evaluasi dengan ajaran Islam.21 Di sisi lain, dia juga mengemukakan definisi pendidikan Islam dalam arti khusus, yaitu pendidikan yang materi didiknya adalah al-Islam (akidah, syariah, ibadah, dan muamalah dan akhlak Islam).22 Seperti yang dikutip dari Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam dimana Musthafa al-Maraghi membagi kegiatan al-tarbiyat dengan dua macam. Pertama, tarbiyat khalqiyah, yaitu penciptaan, pembinaan, dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai suasana bagi pengembanga jiwanya. Kedua tarbiyat diniyat tahzibiyat, yaitu pembinaan ;jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu Ilahi. Berdasarkan pembagian, maka ruang lingkup al-tarbiyat mencakup berbagai kebutuhan manusia, baik kebutuhan dunia dan akhirat, serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam lingkungan dan relasinya dengan Tuhan.23 Dengan memperhatikan definisi-definisi di atas maka pendidikan Islam adalah proses pembelajaran yang mengarah kepada pembentukan akhlak dan kepribadian. 21
Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), hlm. 173 22 Ibid., hlm 176 23 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm 3
23
Dalam pendidikan Islam, setidaknya dikenal tiga istilah konsep yang terkait dalam pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Tarbiyah mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik yang ke dalamnya sudah termasuk makan mengajar atau „allama. Berangkat dari pengertian ini maka tarbiyah didefinisikan sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia (jasmani, ruh, dan akal) secara maksimal agar menjadi bekal dalam menghadapi kehidupan dan masa depan.24 Selanjutnya Syeikh Naquib Al-Attas merujuk makna pendidikan dari konsep ta’dib, yang mengacu pada kata adab dan variatifnya. Berangkat dari pemikiran tersebut ia merumuskan definisi dari mendidik adalah membentuk manusia dalam menempatkan posisi manusia yang sesuai dengan susunan masyarakat, bertingkah laku secara proporsional dan cocok dengan ilmu teknologi yang dikiasinya.25 Menurut Naquib Al-Attas selanjutnya, bahwa pendidikan Islam lebih tepat berorientasi pada ta’dib. Sedangkan tarbiyat dalam pandangannya mencakup obyek yang lebih luas, bukan saja mencakup pada pendidikan manusia tetapi juga meliputi dunia hewan. Sedangkan ta’dib hanya mencakup pengertian pendidikan untuk manusia.26 Dari berbagai pendapat tentang pendidikan Islam di atas terlihat tidak ada pertentangan satu dengan yang lainnya dan bahkan saling melengkapi. Dari semua itu bisa dipertegas atau disimpulkan bahwa pendidikan Islam pada intinya adalah segenap upaya penanaman (internalisasi) nilai-nilai
24
Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 70-71 Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 66 26 Ibid, hlm. 67 25
24
(ajaran) islam ke dalam diri subyek didik dengan tujuan terwujudnya kepribadian muslim.27 Terlihat pula pendidikan Islam tidak hanya berurusan dengan intelektualitas, tetapi bahkan lebih ditekankan pada pembentukan kepribadian, moralitas dan seterusnya. 3. Materi Pendidikan Islam Filosof-filosof Islam sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa dari materi pendidikan Islam sebab tujuan pertama dan termulia pendidikan Islam adalah menghaluskan akhlak dalam mendidik jiwa.28 Materi pendidikan harus mengacu kepada tujuan bukan sebaliknya tujuan mengacu pada suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari kontrol tujuannya.29 Materi-materi yang diuraikan Allah dalam kitab suci-Nya al-Qur‟an menjadi bahan-bahan pokok pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan Islam, formal maupun non formal atau informal, oleh karena itu materi pendidikan Islam bersumber dari Al-Qur‟an harus dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan umat Islam. Hakekat ilmu pengetahuan dalam Islam menunjukkan, bahwa tandatanda kekuasaan (ayat-ayat) Allah itu berada di dalam diri manusia, di dalam alam, dan ditambah dengan apa yang tertulis di dalam kitab suci al-Qur‟an. Prestise dan kedudukan manusia yang tinggi itu memberi pengaruh pembebanan tugas yang mesti diperankan di dunia pendidikan. Dengan 27
M. Nashir Budiman, Pendidikan Islam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Madani, 2001),
hlm. 44 28
Hasan Langgulung, Op.cit., hlm. 117 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hlm. 159 29
25
demikian, arahan yang dikaitkan dengan al-Qur‟an dan hadis akan sama saja dengan pengajaran bahasa Arab yang merupakan kategori pengetahuan. Pertama, dari materi pendidikan yang terkandung pada pendidikan Islam. Bahasan seperti ini telah dirumuskan oleh para ahli seperti yang telah dikaitkan sebagai “Pengajaran tradisional” atau “Materi Pengajaran Agama”. Kategori kedua dari bidang ilmu pengetahuan yang termasuk dalam isi kurikulum pendidikan Islam, biasanya dipandang sebagai bidang-bidang pengetahuan yang berdiri sendiri atau sebagai kesatuan disiplin ilmu pengetahuan. Kategori ini meliputi: bidang-bidang sosiologi, psikologi, sejarah, dan lain-lain. Kategori ketiga yang termasuk dalam kaitannya dengan sub bidang ilmu pengetahuan alam. Seperti astronomi, biologi, biotani dan lain-lain.30 Secara umum, sistematika dan materi dalam kurikulum pendidikan Islam harus meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu ilmu kealaman (natural) serta derivatnya yang membantu ilmu pokoknya, seperti: sejarah, geografi, sastra, syair, nahwu, balaghah, filsafat dan logika. Materi atau mata pelajaran untuk tingkat dasar adalah al-Qur‟an dan agama, membaca, menulis dan syair. Khusus materi tingkat dasar bagi peserta didik dari anak para amir atau penguasa agak berbeda sedikit, yaitu ditegaskan pentingnya pengajaran khitobah, ilmu sejarah, cerita epic (perang), cara-cara pergaulan, di samping ilmu-ilmu pokok al-Qur‟an, syair dan fikih.31
30 31
Abdurrahman Saleh Abdullah, Op.Cit., hlm. 161-162 Hasan langgulung, Op.Cit., hlm. 117-118
26
Secara lingkup materi pendidikan Islam itu menurut Abdullah Nasikh Ulwan seperti yang dikutip oleh Heri Jauhari Muchtar dalam bukunya Fikih Pendidikan, materi pendidikan terdiri dari beberapa unsur yaitu: a. Pendidikan Keimanan Pendidikan ini mencakup keimanan kepada Allah, malaikat, kitabkitab Allah, Nabi/Rasul, Hari Kiamat dan takdir. Termasuk di dalamnya adalah materi tata cara ibadah, baik ibadah mahdlah seperti zakat, shaum, dan haji; maupun ibadah ghair mahdlah seperti berbuat baik kepada sesama. Tujuan dasar dari materi ini agar anak/peserta didik memiliki dasar-dasar keimanan dan ibadah yang kuat.32 b. Pendidikan Moral/Akhlak Materi pendidikan ini merupakan latihan membangkitkan nafsunafsu rubbubiyah (ketuhanan) dan meredam/menghilangkan nafsu-nafsu syaithaniyah. Pada materi ini peserta didik dikenalkan mengenai: 1) Perilaku/akhlak yang mulia (akhlakuk karimah/mahmudah) seperti jujur, rendah hati, sabar, dan sebagainya. 2) Perilaku/akhlak yang tercela (akhlakul madzmumah) seperti dusta, takabur, khianat dan sebagainya.33 c. Pendidikan Jasmani Rasulullah pernah memerintahkan umatnya agar megajarkan memanah, berenang, naik kuda dan bela diri kepada putra putrinya. Ini merupakan perintah kepada kita agar mengajarkan pendidikan jasmani 32 33
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 16 Ibid., hlm. 16
27
kepada anak-anak. Tentu hal itu dengan memperhatikan batas umur, kemampuan, aurat dan memisahkan antara anak-anak lelaki dan anakanak perempuan, terutama ketika pelajaran berenang. Tujuan dari materi ini adalah agar anak-anak memiliki jasmani yang sehat dan kuat serta memiliki ketrampilan dasar seperti berlari, lompat dan renang.34 d. Pendidikan Rasio Manusia di anugerahi oleh Allah kelebihan diantaranya berupa akal. Supaya akal ini dapat berkembang dengan baik maka perlu dilatih dengan teratur dan sesuai dengan umur atau kemampuan anak. Contoh materi ini adalah berupa pelajaran berhitung atau penyelesaian masalah (problem solving). Tujuan materi ini adalah agar peserta didik dapat menjadi cerdas dan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.35 e. Pendidikan Kejiwaan/Hati Nurani Selain nafsu dan akal yang harus dilatih/dididik pada diri manusia adalah kejiwaan atau hati nuraninya. Pada materi ini anak dilatih agar dapat membina hati nuraninya sehingga menjadi “tuan” dalam dirinya sendiri dan dapat menyuarakan kebenaran dalam keadaan apapun. Selain itu diharapkan agar anak memiliki jiwa atau hati nurai yang kuat, sabar, dan tabah dalam menjalani kehidupan ini.36
34
Ibid., hlm. 16 Ibid., hlm. 17 36 Ibid., hlm. 17 35
28
f. Pendidikan Sosial/Kemasyarakatan Manusia memiliki dua tugas hubungan yang harus dilakukan dalam hidupnya, yaitu hubungan dengan Allah (hablumminallah) berupa ibadah
mahdlah,
dan
hubungan
dengan
sesama
manusia
(hablumminannas) berupa ibadah ghair mahdlah atau kemasyarakatan. Dalam materi pendidikan sosial atau kemasyarakatan ini anak dikenalkan mengenai, misalnya hal-hal yang terdapat atau terjadi di masyarakat serta bagaimana caranya hidup di dalam masyarakat, tentu dengan tata cara yang Islami. Materi ini perlu disampaikan karena islam mengajarkan mengenai kemasyarakatan, terlebih pada zaman “modern” sekarang ini makin menggejala pola hidup individualistis yaitu cara hidup yang mementingkan diri sendiri, dan masyarakat merupakan bagian terpisah dari dirinya. Apabila ini terus terjadi maka akan terwujud masyarakat yang rapuh, karena tanpa kekuatan. Dengan materi pendidikan ini diharapkan anak memiliki wawasan kemasyarakatan dan mereka dapat hidup serta berperan serta aktif di masyarakatnya secara benar.37 g. Pendidikan Seksual Pendidikan seksual di sini berbeda dengan yang “disuarakan” secara makin gencar oleh orang-orang sekuler (yang sebenarnya merupakan program Yahudi). Pendidikan seksual yang dimaksud di sini adalah yang Islami dan sesuai dengan perkembangan usia serta mental anak. 37
Ibid., hlm. 17-18
29
Kita khawatir dengan “perkembangan” cara hidup masyarakat sekarang ini yang lebih meniru cara hidup yang cenderung jauh dari nilainilai keagamaan. Gaya hidup “free sex”, “samen leven” (kumpul kebo) sudah mewabah sekarang ini. Apabila hal ini terus berlangsung maka akan rusaklah kehidupan manusia, dan akan menjerumuskan mereka ke martabat yang lebih rendah daripada binatang. Contoh pendidikan seksual dalam Islami misalnya dengan memisahkan tempat anak tidur dari kamar orang tua, memisahkan kamar tidur anak lelaki dan kamar tidur anak perempuan, mengenalkan dan menjelaskan perbedaan jenis kelamin anak, kewajiban menutup aurat bagi lelaki maupun perempuan, menjelaskan batas-batas pergaulan antara lelaki dan perempuan menurut Islam dan sebagainya.38 4. Nilai Pendidikan Islam Nilai adalah harga, sesuatu barang bernilai tinggi karena barang itu harganya tinggi. Bernilai artinya berharga. Jenis segala sesuatu pasti bernilai, karena segala sesuatu itu berharga, hanya saja ada yang harganya rendah ada yang tinggi. Sebetulnya tidak ada sesuatu yang tidak berharga, tatkala kita mengatakan “ini tidak berharga sama sekali”. Sebenarnya yang kita maksud adalah ini harganya amat rendah, kita mengatakannya dengan cara lain bahwa barang itu nilainya amat rendah. Dan dihubungkan dengan istilah nilai-nilai agama diartikan sebagai sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi manusia. Dalam pengertian yang lebih luas, nilai mengandung arti sebagai sesuatu yang 38
Ibid., hlm. 18
30
digunakan dan dipandang berharga dan pantas yang mempengaruhi perilaku manusia dan masyarakat yang memilikinya. Jika kata nilai dihubungkan dengan agama, maka mengandung pengertian sebagai nilai yang sifatnya mengikat, yang mendasari, menuntut tindakan hidup kepada Allah dan mengembangkan hidup kepada Allah yang di anut manusia melalui cara dan tujuan yang benar. Islam sebagai agama dan ajaran mempunyai sistem sendiri yang bagian-bagiannya saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Intinya adalah tauhid, yang berkembang melalui akidah. Dari aqidah mengalir syariah dan akhlak Islam. Ketiga-tiganya laksana bejana yang berhubungan. Melalui syariah, baik ibadah maupun mu‟amalah, serta akhlak di kembangkan sistem-sistem Islam dalam lembaga keluarga, masyarakat, pendidikan, hukum, ekonomi, budaya, filsafat dan sebagainya. 39 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan Islam berarti nilai yang mengajarkan kebenaran yang bersifat universal dan mutlak, lebih jelas daripada moral dan paling benar dibandingkan segala nilai hidup manusiawi, di dalamnya termuat segala nilai yang berhubungan dengan dimensi ukhrowi dan duniawi berupa nilai iman dan aqidah, syariah dan akhlak. Hakikat sebenarnya dari inti-inti nilai pendidikan Islam meliputi: a) nilai keimanan atau akidah, b) nilai keibadahan atau syariah, c) nilai
39
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm 154
31
kesusilaan atau akhlak. Yang ketiganya didasarkan pada sumber Islam berupa al-Qur‟an dan sunnah nabi serta hadis nabi.40 a) Nilai Keimanan atau Akidah Istilah iman dalam bahasa Arab Aqidah (dalam bahasa Indonesia ditulis akidah), menurut etimologi adalah ikatan, sangkutan. Dalam pengertian Islam adalah iman atau keyakinan. Akidah Islam (Akidah Islamiyah) karena itu, ditautkan dengan rukun iman yang menjadi asas seluruh ajaran Islam.41 Pokok-pokok rukun iman itu merupakan asas seluruh ajaran Islam jumlahnya enam terdiri atas iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat-malaikat Nya, iman kepada kitab suci, iman kepada rasul-rasul Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadhar atau takdir.42 Iman kepada Allah merupakan dasar fondasi terpenting dalam ketauhidan Islam. Ilmunya adalah ilmu tauhid. Ilmu tauhid adalah ilmu tentang ke Maha Esaan Tuhan. Tauhid menjadi inti rukun iman dan prima causa seluruh keyakinan Islam. Secara sederhana, sistematika akidah Islam, dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika orang telah menerima tauhid sebagai prima causa yaitu asal yang pertama, asal dari segalagalanya dalam keyakinan Islam, maka rukun iman yang lain hanyalah
40
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 199 41 ibid, hlm. 199 42 Ibid, hlm. 201
32
akibat logis (masuk akal) saja penerimaan tauhid tersebut. Jika orang yakin bahwa Allah mempunyai kehendak, sebagai bagian dari sifat Nya, maka orang yakin pula adanya para malaikat, kitab, rasul, hari kiamat, qadha dan qadar. 43 Ajaran Islam tentang ke Maha Esaan Tuhan adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Tuhan Maha Esa dalam Zat Nya Tuhan Maha Esa dalam Sifat-sifat Nya Tuhan Maha Esa dalam perbuatan-perbuatan Nya Tuhan Maha Esa dalam Wujud Nya Tuhan Maha Esa dalam menerima ibadah Tuhan Maha Esa dalam menerima hajat dan hasrat manusia Tuhan Maha Esa dalam memberi hukum.44 Iman kepada malaikat. Malaikat adalah makhluk ghaib, tidak
dapat ditangkap oleh panca indra manusia, akan tetapi dengan izin Allah, malaikat dapat menjelma dirinya seperti manusia, seperti malaikat Jibril yang menjadi manusia di hadapan Maryam.45 Jumlah malaikat ada 10, yaitu Jibril, Mikail, Malik, Ridwan, Raqib, Atid, Izroil, Isrofil, Munkar, Nakir. Allah menciptakan malaikat dari cahaya dan manusia (Adam) dari tanah, namun Allah menjadikan manusia sebagai makhluk lebih utama dari malaikat agar malaikat menghormati dan memuliakan Adam. Iman kepada Kitab suci, kitab-kitab suci itu memuat wahyu Allah, yang disampaikan malaikat Jibril kepada Rasul Nya. Al-Qur‟an 43
Ibid, hlm. 200-201 Ibid, hlm. 202-208 45 Ibid, hlm. 209 44
33
menyebutkan beberapa kitab suci itu ada empat yaitu Zabur yang diturunkan melalui Nabi Daud, Taurat di turunkan melalui Nabi Musa, Injil di turunkan melalui Nabi Isa, dan Al-Qur‟an di turunkan melalui Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Di antara ke empat kitab tersebut Al-Qur‟an adalah kitab yang paling sempurna, menjadi pelengkap atau penyempurna syariat dan hukum-hukum kitab yang lain.46 Iman kepada Rasul-rasul Allah. Setelah para Nabi dan Rasul di utus Allah untuk memimpin masing-masing umatnya di bumi ini, Allah mengutus Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia.47 Sebagai umat muslim seharusnya kita mentaati Allah dan juga mentaati Rasul sebagai pembimbing dan pemberi petunjuk umat manusia.48 Sebagaimana yang terdapat dalam surah An Nisa ayat 59:
َّللا ٔأ ِطيعُٕا ان َّزسُٕل ََّ يا أيُّٓا انَّ ِذيٍَ آيُُٕا أ ِطيعُٕا Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad).”49 Iman kepada hari akhir. Keyakinan kepada hari akhir inilah yang mendorong manusia menyesuaikan diri dalam kerangka nilai abadi yang di
tetapkan
Allah
dan
mendorong
manusia
mengembangkan
kepribadiannya secara sehat dan mantap. Karena itu ajaran Islam mementingkan benar keyakinan kepada hari akhir.50 Pada hari akhir 46
Ibid, hlm. 213-214 Ibid, hlm. 222 48 Mohammad Daud Ali, op. Cit., hlm. 222 49 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), hlm. 128 50 Ibid, hlm. 229 47
34
manusia tidak dapat lagi menyombongkan apa yang dipunyai terlebih dengan hartanya di dunia. Hal tersebut sesuai dengan surat Ali Imran ayat 25:
َفكيفَ إِذا جًعُاُْىَ نِيٕوَ ال ريبَ فِي َِّ ٔ ُٔفِّيتَ ُكمَُّ َفسَ يا كسبت َۖ ًٌَُٕ ُْٔىَ ال يُظه Artinya: “Bagaimana jika (nanti) mereka Kami kumpulkan pada hari (Kiamat) yang tidak diragukan terjadinya dan kepada setiap jiwa diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya dan mereka tidak dizalimi (dirugikan)?”51
Dengan demikian seorang muslim meyakini adanya kehidupan kedua, apakah surga atau neraka yang akan menjadi tempatnya sesuai dengan perbuatannya di dunia. Iman kepada Qadha dan Qadar di artikan juga takdir. Dan untuk memahami takdir, manusia harus hidup dengan ikhtiyar, sebab dalam kehidupan sehari-harinya takdir Ilahi berkaitan erat dengan usaha manusia.52 Ke enam rukun itulah petunjuk Allah SWT yang harus di imani oleh manusia dan setiap manusia berkesempatan untuk mendapatkannya. b) Nilai Keibadahan atau Syariah Makna syariat adalah jalan ke sumber (mata) air. Syariah berasal dari kata syar’i, secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Selain akidah (pegangan hidup), akhlak (sikap hidup), syariah
51 52
Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 79 Ibid, hlm. 233
35
(jalan hidup) adalah salah satu bagian agama Islam. Menurut ajaran Islam, syariah ditetapkan Allah menjadi patokan hidup setiap muslim.53 Menurut Mohammad Idris As-Syafi‟i dalam kitab beliau arRisalah syariat adalah peraturan-peraturan lahir yang bersumber dari wahyu itu mengenai tingkah laku manusia.54 Sedangkan dilihat dari segi ilmu hukum, syariah adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam, baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat.55 Bentuk ibadah manusia dengan Allah seperti doa sebagai bentuk manusia dalam mengingat Allah. Tuntunan untuk kita berdo‟a kepada Allah terdapat dalam surat An-Naml ayat 62 :
َف انسُّٕءَ ٔيجعهُ ُكىَ ُخهفاء َُ أ َّيٍَ ي ُِجيبَُ ان ًُضط ََّز إِذا دعا َُِ ٔيك ِش ٍّٕللاِ قهِيال يا ﺘذﮐَّز ََّ َض أإِنَّ يع َِ األر Artinya: “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada Nya dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu manusia sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.”56 menuntut ilmu ini juga ibadah yang merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Sebagaimana yang terdapat dalam surat AlMujadilah ayat 11:
53
Ibid, hlm. 235 Ibid, hlm. 236 55 Ibid, hlm. 236 56 Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 601 54
36
س ُحىا َ يَا أَيُّ َها الَّ ِذ َّ َيه آ َمىُىا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَف َ س فَا ْف ِ ِس ُحىا فِي ا ْل َم َجال َّ ش ُزوا يَ ْزفَ ِع َّ ح يه آ َمىُىا ُ ش ُزوا فَا ْو ُ َّللاُ لَ ُك ْم َوإِ َذا قِي َل ا ْو َ َّللاُ الَّ ِذ َ يَ ْف ِ س َّ ت َو ىن َخبِيز َ َُّللاُ بِ َما تَ ْع َمل َ ِم ْى ُك ْم َوالَّ ِذ ٍ يه أُوتُىا ا ْل ِع ْل َم َد َر َجا Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”57
c) Nilai Kesusilaan atau Akhlak Akhlak berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak kata khuluk atau al-khuluq, yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Sedangkan dalam kepustakaan, akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik, mungkin buruk, seperti telah disebut di atas. Dalam bahasa Sanksekerta budi artinya alat kesadaran (batin), sedang dalam bahasa Indonesia, budi pekerti berarti kelakuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi. Jika kata budi pekerti ini dihubungkan dengan akhlak, jelas seperti sebagaimana yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keduanya mengandung makna yang sama. Sedangkan menurut Ahmadi akhlak itu hampir sama dengan ihsan yaitu berakhlak serta
57
melaksanakan
Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 910-911
ibadah kepada Allah dan
37
bermuamalah kepada semua sesama, makhluk dengan penuh keikhlasan seakan-akan disaksikan oleh Allah, meskipun dia tidak melihat Allah. Akhlak Islami adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak, jika memenuhi beberapa syarat. Syarat tersebut diantaranya adalah a) dilakukan berulang-ulang, karena jika seseorang tiba-tiba memberi uang kepada seseorang dengan suatu alasan tertentu maka tidak bisa disebut sebagai akhlak yang baik, b) timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir atau ditimbang berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. Jika suatu perbuatan dilakukan dengan pertimbangan apalagi karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah pencerminan akhlak.58 Butir-butir akhlak dalam al-Qur‟an dan al-hadis banyak sekali, di bawah ini hanya beberapa saja sebagai contoh: (1) akhlak terhadap Allah (Khalik) (2) akhlak terhadap makhluk, terdiri dari: 1) Akhlak terhadap manusia, dapat diperinci menjadi: a) hubungan dengan Rasul yakni mencintai, menaati, dan mencontoh, b) akhlak terhadap orang tua, c) akhlak terhadap diri sendiri, d) akhlak terhadap keluarga, karib kerabat, e) akhlak terhadap tetangga, f) akhlak terhadap masyarakat, g) akhlak terhadap antar bangsa.
58
Ibid, hlm. 347-348
38
2) Akhlak terhadap bukan manusia (lingkungan hidup) antara lain: a) hubungan dengan tumbuh-tumbuhan, b) hubungan dengan hewan, c) hubungan dengan benda, baik organik maupun non organik.59 Moral islami adalah adat kebiasaan yang digunakan untuk menentukan suatu sifat yang berdasarkan pada dasar-dasar syariat Islam yaitu al-Qur‟an dan al-Hadis. Moral Islami terdiri dari (1) moral terhadap manusia antara lain: moral kepada kedua orang tua, kepada diri sendiri, keluarga (saudara) tetangga dan masyarakat. Selain memelihara hubungan dengan Allah, manusia juga harus memelihara hubungan dengan sasamanya, dan yang paling penting adalah hubungan dengan dirinya sendiri. Diantaranya dengan berlaku sabar, pemaaf, adil, ikhlas, dan lain-lain. Sedangkan untuk memelihara hubungan dengan manusia lain dengan mengembangkan cara dan gaya hidup yang selaras dengan norma dan nilai yang disepakati bersama dalam masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai agama, (2) moral terhadap bukan manusia (lingkungan hidup), yaitu hubungan dengan tumbuh-tumbuhan, hubungan dengan hewan, hubungan dengan benda. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup antara lain dengan memelihara dan menyayangi binatang dan tumbuhtumbuhan, tanah, air, udara dan semua alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah.60
59 60
Ibid, hlm. 356-359 Ibid, hlm. 357-358
39
Muhammad Fadhil al-Djamali mengemukakan bahwa dalam proses pendidikan Islam pembentukan kepribadian anak didik harus di arahkan kepada nilai-nilai: 1.
Pengembangan iman (aqidah) sehingga benar-benar berfungsi sebagai kekuatan pendukung ke arah kebahagiaan hidup yang dihayati sebagai suatu nikmat Allah. Iman bagi seorang muslim merupakan nikmat paling besar yang di anugerahkan Allah kepada manusia. Iman adalah dasar dari nilai dan moral manusia yang diperkokoh perkembangannya melalui pendidikan.
2.
Pengembangan kemampuan mempergunakan akal kecerdasan untuk menganalisa hal-hal yang berada di balik kenyataan alam yang nampak. Kemampuan akal kecerdasan di ciptakan Allah dalam diri manusia agar dipergunakan untuk mengungkap perbedaan tentang baik dari yang buruk, perkara yang haq (benar) dari yang bathil (salah)
3.
Pengembangan
potensi
berakhlak
mulia
dan
kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan ucapan maupun dengan
perbuatan.
Fitrah
manusia
yang
suci
mempunyai
kecenderungan kepada kebaikan yang dinyatakan melalui lisan dan perbuatan dengan cara lemah lembut. Mengenai cara berkomunikasi seorang muslim dengan orang lain. Allah memberikan petunjuk dasar yang mengandung nilai sosial yang lebih mengutamakan orang lain daripada perasaan pribadinya sendiri.
40
4.
Pengembangan sikap beramal saleh dalam setiap pribadi muslim. Manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk mampu berbuat kebaikan, menjaga diri, kerja sama, dan bergaul dengan orang lain demi kemaslahatan masyarakatnya.61 Uraian di atas menunjukkan bahwa nilai dan moralitas iman
timbul atau tumbuh dari cita ketuhanan yang memancar dari hidayah Allah SWT, bukan dari getaran hati nurani manusia. B. NOVEL 1. Pengertian Novel Novel berasal dari bahasa Latin „Novellas’ yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena jika dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya, seperti puisi, jenis novel ini muncul kemudian.62 Jakob Sumardjo berpendapat bahwa novel adalah cerita fiktif yang panjang. Bukan hanya panjang dalam arti fiksi, tetapi juga isinya. Novel terdiri dari satu cerita yang pokok, dijalani dengan beberapa cerita sampingan lain, banyak kejadian dan kadang banyak masalah juga yang semuanya itu harus merupakan sebuah kesatuan yang bulat.63 Novel adalah prosa rekaan yang terdiri atas serangkaian peristiwa dan latar.64
61 62
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 152-155 Henry Guntur Tarigan, Prinsip Prinsip Dasar Karya Sastra, (Bandung: Angkasa, 1993),
hlm. 164 63
Jakob Sumardjo, Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 185 64 Zaidan Hendy, Kesusastraan Indonesia (Warisan yang Perlu Diwariskan), (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 224
41
Novel dalam arti luas adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas ini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.65 Selanjutnya menurut Suharianto, novel merupakan karya sastra yang berbentuk prosa. Salah satu cirinya adalah adanya kesatuan makna dalam wujud paragraf-paragraf yang membentuk kesatuan yang disebut cerita.66 2. Novel menurut Teori Sastra Karya sastra sebagai produk kehidupan atau hasil karya manusia berbudaya, mengandung aspek sosial, filsafat, etis, religi dan sebagainya, baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang merupakan penyodoran konsep baru.67 Karya sastra yang besar memberikan kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran hidup ini. Melalui karya sastra kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia dan kehidupannya.68 Hal ini berarti bahwa karya sastra banyak mengandung ide baru, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, pertimbanganpertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat baik dan buruk serta pandangan kemanusiaan yang tinggi, atau dengan kata lain di dalam karya sastra itu mengandung nilai-nilai tertentu.
65
Jakob Sumardjo, Kumpulan Cerpen Indonesia Mutakhir, (Bandung: Nur Cahaya, 1994),
hlm. 29 66
Suharianto, Dasar- Dasar Teori Sastra, (Surakarta: Widya Duta, 1982), hlm 26 Suyitno, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 3 68 Jakob Sumardjo, Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 1 67
42
Salah satu nilai dalam karya sastra, termasuk novel adalah aspek sosial. Aspek sosial merupakan fungsi sastra yang berhubungan dengan aspek sosial, seperti nilai religius, nilai moral, nilai pendidikan, nilai estetis, nilai adat, nilai kebenaran dan aspek sosial ekonomi.69 Sedangkan
Nurgiyantoro
menyatakan
bahwa
fiksi
dianggap
bersinonim dengan prosa naratif. Novel sebagai salah satu karya fiksi pada hakikatnya menawarkan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti tema, latar, penokohan, sudut pandang, bahasa, alur dan lain-lain yang bersifat imajiner. Semua itu bersifat rekaan yang dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang, diimitasikan dan dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa dan latar aktualnya sehingga tampak sungguh-sungguh dan tejadi.70 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel adalah salah satu bentuk karya sastra prosa yang melukiskan kehidupan dalam bentuk cerita yang menampilkan tokoh-tokoh serta latar yang dijalin dalam rangkaian peristiwa. Dalam sebuah novel, unsur-unsur pembangunnya saling terkait dan hadir bersama-sama dalam membentuk sebuah cerita. Namun demikian dibanding unsur-unsur yang lain, unsur tokoh dan penokohan merupakan unsur yang paling penting dalam sebuah novel. Pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca dapat diketahui lewat unsur penokohan tersebut.
69
Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1989), hlm. 58 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 4 70
43
Ada novel yang menonjolkan penokohannya akan menyampaikan pesanpesannya
lewat
tokoh
dan penokohan, sehingga
pengarang dapat
mengekspresikan gagasan dan pesan-pesannya kepada pembaca melalui tokoh-tokoh novel tersebut. Tokoh dan penokohan merupakan alat atau jembatan antara pengarang dan pembaca. Lewat tokoh dan penokohan tersebut, gagasan dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang akan dapat sampai kepada pembaca. 3. Novel sebagai Media Pendidikan Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Metode adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim dan penerima pesan. Media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sedangkan Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association (NEA)) memiliki pengertian yang berbeda, bahwa media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatannya.71 Menurut Azhar Arsyad, kata media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar. AECT (Association of Education and Communication Technology, 1997) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan informasi. Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator menurut 71
Arief S. Sadirman, dkk. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 6-7
44
Fleming adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya.72 Menurut Oemar Hamalik, media adalah alat, metode, atau teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah.73 Media pembelajaran adalah perangkat lunak dan perangkat keras yang berfungsi sebagai alat belajar dan alat bantu belajar.74 Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemauan audien sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya.75 Media pendidikan adalah semua aktivitas yang ada hubungannya dengan materi pendidikan agama, baik yang berupa alat yang dapat diragakan maupun teknik atau metode secara efektif dapat digunakan oleh guru agama dalam rangka mencapai tujuan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Semua alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai pendidikan dan pengajaran agama kepada orang lain, segala sesuatu atau benda dapar dipakai sebagai media pengajaran agama.76
72
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm, 3 Oemar Hamalik, Media Pendidikan, (Bandung: Alummni, 1982), hlm 23 74 Aminuddin Rasyad, dkk., Media Pengajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1996), hlm 73
104 75
Asnawir, M. Basyirudin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm
76
Ibid, hlm. 117
11
45
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media bukan sekedar upaya untuk memudahkan proses pembelajaran, tetapi lebih daripada itu sebagai usaha yang ditunjukkan untuk memudahkan siswa atau seseorang dalam mempelajari pengajaran agama.77 Sedangkan menurut Said Agil Husni Al-Munawar, dalam bukunya yang berjudul Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, bahwa nilai-nilai Islam dapat juga disebut sebagai nilai-nilai qur‟ani dan secara garis besar nilai qur‟ani adalah nilai kebenaran (metafisis dan saintis) dan nilai moral. Kedua nilai qur‟ani ini akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya. Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai al-Qur‟an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan oleh pendidikan. Pertama, dimensi spiritual, yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia (yang tercermin dalam ibadah dan muamalah). Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat.78 Pendidikan akhlak menekankan pada sikap, tabiat, dan perilaku ynag menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan budi pekerti anak
77
Ibid, hlm. 121 Said Agil Husni Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm. 7 78
46
dengan baik, karena akhlak ini merupakan implikasi dan cerminan dari kedalaman tauhid kepada Allah SWT. Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini secara universal meniitikberatkan pada pembentukan muslim sebagai individu yang di arahkan kepada peningkatan dan pengembangan faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar (lingkungan) dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman.79 Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inovatif, dan produktif. Dimensi kecerdasan dalam pandangan psikologi merupakan sebuah proses yang mencakup tiga proses yaitu analisis, kreativitas, dan praktis. Kecerdasan apapun bentuknya, baik IQ-ISQ dan lain-lain saat ini diukur dengan tes-tes presentasi di sekolah, dan bukan merupakan prestasi di dalam kehidupan. Dulu kecerdasan itu diukur dengan membandingkan usia mental dengan usia kronologis, tetapi saat ini tes IQ membandingkan penampilan individu dengan rata-rata bagi kelompok dengan usia yang sama. Tegasnya dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai alQur‟an dalam pendidikan.80
79 80
Ibid, hlm. 8 Ibid, hlm. 9