lxvi
BAB II MUSIK DIATONIS DALAM BEBERAPA ASPEK Penulis memasukkan perihal musik diatonis ke dalam penelitian ini dengan tujuan menjelaskan musik diatonis dari aspek-aspek yang nantinya dapat dijadikan rujukan untuk menentukan sejauh mana seorang komposer, dalam penelitian ini, mengadaptasi musik diatonis (musik Barat) dalam karya musiknya. Dari aspek keilmuan musik, dasar-dasar musik Barat dijelaskan dengan konsep tangganada diatonis, syarat bunyi, elemen musik, dan struktur musik. Dari aspek penyebaran musik diatonis, akan dijelaskan secara singkat bagaimana masuknya musik diatonis di Indonesia dan secara khusus di Minangkabau serta tokoh-tokoh yang berperan. Beberapa misi Kristen dan sekolah-sekolah Belanda pada masa pra kemerdekaan sangat berperan dalam penyebaran musik diatonis di Indonesia. Selain itu, terdapat juga orang-orang Indonesia, khususnya orang Minangkabau yang menempuh pendidikan musik Barat di Eropa yang kelak juga memberikan andil yang cukup besar terhadap perkembangan musik Barat di Indonesia. Peran ini dilakukan terutama melalui institusi akademis. Suka Hardjana berpendapat bahwa musik diatonis sangat mempengaruhi kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia. Menurut Suka Hardjana setiap anak Indonesia telah menyesuaikan kesadaran pendengarannya dengan musik tradisi, musik nasional, dan musik populer. Dua musik yang terakhir adalah diatonis (disebut juga musik mayor-minor atau musik Barat).
lxvii
Pengaruh musik diatonis bukanlah persoalan sederhana. Suka Hardjana berpendapat bahwa pengaruh tersebut bukan perkara main-main, tetapi akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam pembentukan budaya musik anak Indonesia selanjutnya. Berikut kutipan dari pendapat Suka Hardjana tentang kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia yang ia beri judul Tiga Pasang Telinga. Penulis menyebutnya sebagai Teori Tiga Pasang Telinga. “Tiga Pasang Telinga” (Telinga Daerah, Telinga Nasional, dan Telinga Internasional) “Dalam hal kesadaran pendengaran musik, setiap orang Indonesia mempunyai 3 pasang telinga, terutama bagi mereka yang berada di daerahdaerah yang seni tradisinya relatif masih kuat. ‘Telinga pertama’ adalah memori pendengaran musikal yang terbentuk dari pengalaman budaya ‘asal-usul’ sejak dini. Contoh, orang Bali, sejak dini telah dilahirkan dengan daya tangkap pendengaran yang akrab dengan tradisi gamelan Bali. Lingkungan dinamik dan karakter sistem nada tradisi gamelan Bali itulah yang mendasari latar belakang persepsi musik dan psikoestetik budaya orang Bali. Pengalaman budaya musik ini Fundamental dan tidak dapat di abaikan begitu saja. ‘Telinga kedua’ adalah kesadaran pendengaran yang bersifat ‘Nasional’. Penerimaan budaya ‘baru’ dari luar lingkungan diri ini dari sebuah toleransi yang ‘harus’, sebagai akibat dari politik budaya ‘nasionalisasi’ musik dalam bentuk lagu-lagu nasional yang diajarkan di sekolah. Politik pendidikan mengharuskan semua anak hafal lagu-lagu Indonesia – baik lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu anak, lagu-lagu daerah atau folklor, dan lagu-lagu nasional yang sifatnya politisasi saja. Semua lagu-lagu itu diajarkan dengan sistem nada ‘solmisasi’ yang diambil dari bahan-bahan elementer sistem sakala nada mayor-minor musik Barat yang paling sederhana. Demikianlah seorang anak Indonesia mulai melatih dan membangun kesadaran telinga keduanya yang bersifat ‘Nasional’. Sampai di sini, setiap anak Indonesia telah memakai dua pasang telinga, yaitu telinga ‘daerah’ dan telinga ‘nasional’, dalam kesadaran pendengaran musik mereka. Ini bukan perkara main-main, tetapi akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam pembentukan budaya musik anak Indonesia selanjutnya. ‘Telinga ketiga’merupakan kesadaran pendengaran yang dipengaruhi budaya musik popular yang bertolak dari sistem musik Barat. Sebelum beranjak dewasa, setiap telinga anak Indonesia telah akrab dengan sistem musik mayor-minor yang dipakai sebagai sistem dasar musik pergaulan dunia. Pada akhirnya , justru pola perilaku budaya dan sistem musik Barat inilah – terutama kini dari
lxviii
Amerika – yang sangat berpengaruh terhadap citra musik dan kesadaran pendengaran ‘telinga ketiga’ anak Indonesia” 39. Pendapat Suka Hardjana tentang kesadaran pendengaran anak-anak Indonesia yang didominasi oleh musik diatonis bisa diperkuat dengan pendapat Bambang Sugiharto tentang musik Barat. Bambang Sugiharto (2013:282) mengungkapkan bahwa berbagai jenis musik memiliki kecerdasan dan kecanggihannya sendiri. Sugiharto memilih musik Barat sebagai contoh tentang kecerdasan dan kecanggihan dengan beberapa alasan 40: 1. Musik Barat telah merupakan tradisi musik yang paling berpengaruh dan sangat dominan di dunia kita saat ini. Posisinya serupa dengan bahasa Inggris atau sains modern dalam sistem pendidikan kita kini. 2. Banyak hal dalam bahasa musikal yang kita gunakan hingga saat ini memang berkembang dari dunia Barat juga, seperti sistem notasi, sistem nada, teori harmoni, dsb. 3. Musik Barat adalah tradisi musik yang tingkat eksplorasinya atas kemungkinan-kemungkinan musikal sangatlah ekstensif, agresif, dan kritis, sehinggga pewacanaannya pun telah tergarap sedemikian sistemik dan mendalam. Pengaruh musik diatonis sangat mendominasi musik dunia. Musik-musik yang ingin bertahan hidup ‘terpaksa’ harus beradaptasi. Tonal mayor-minor bahkan memarjinalkan struktur dan naluri alami dan pendengaran ‘asli’ sebagian besar penduduk bumi. Semua terpaksa harus menyesuaikan diri atau bahkan 39
Suka Hardjana, 2003. Corat-Coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Periksa halaman
272-285. 40
Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal.
282-283.
lxix
punah dihadapan pengaruh dominan sistem mayor minor – bukan hanya di luar budaya musik Eropa, tetapi juga di lingkar kebudayaan musik Eropa sendiri 41.
2.1. Tetrachord Awal Orang Yunani memiliki konsep awal tentang pertangganadaan yang disebut sebagai tetrachord. Tetrachord merupakan empat nada dengan susunan interval-interval yang dapat dikombinasikan. Tetrachord ini merupakan cikal bakal tangganada diatonis yang kita kenal sekarang. Karl Edmund (2006:24) menuliskan bahwa bangsa Yunani membuat tangga nadanya, yang disebut tangga nada diatonis atau tangga nada asli dari rangkaian tetrachord 42 . Dasar dari semua teori tersebut ialah tetrachord yang berarti: empat (=tetrares) dawai (=chorda), sesuai dengan kebiasaan pada musik instrumental asli Yunani yang hanya memakai empat dawai saja. Empat dawai berarti empat nada yang berasal dari dawai-dawai tersebut. Sebuah tetrachord disebut diatonis bila pada empat nada tetrachord tersebut sekurang-kurangnya terdapat dua langkah nada yang utuh (Edmund 2006:24). Nada utuh yang dimaksudkan adalah interval satu laras atau yang lebih umum dikenal sebagai whole tone atau a tone. Atas dasar susunan nada-nada yang berinterval utuh pada tetrachord diatonis tersebut maka posisi langkah nada setengah (semitone; setengah laras; setengah nada) hanya dapat ditunjukkan dengan tiga kemungkinan, yaitu:
41
Op. cit. Periksa halaman 130-131. Karl Edmund, 2006. Sejarah Musik jilid 1. Hal. 24.
42
lxx
a. Sesudahdua langkah nada yang utuh barulah terdapat langkah setengah nada. Deretan ini merupakan nada diatonis yang paling asli dari Yunani, oleh karena itu dinamai doris (dari daerah Yunani: Doris). Susunananya sebagai berikut:
Gambar 1. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada Di Ujung Perlu dicatat bahwa tangga nada Yunani selalu turun dari nada tinggi ke nada rendah 43. Hal ini berbeda dari tangga nada yang kita kenal sekarang yang selalu naik dari nada rendah ke nada tinggi b. Langkah setengah nada terdapat di tengahdua langkah nada yang utuh. Deretan ini dinamai frigis(dari daerah Asia kecil: Phrygia). Susunannya sebagai berikut:
Gambar 2. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di tengah c. Langkah setengah nada terletak sebelum dua langkah nada yang utuh. Deretan nada ini dinamai lydis (dari daerah Asia kecil lain ialah: Lydia). Susunannya sebagai berikut:
Gambar 3. Tetrakord Dengan Interval Setengah Berada di pangkal
43
Ibid. hal. 24.
lxxi
Tangga nada yang utuh dihasilkan dari rangkaian dua tetrachord yang persis sama susunan intervalnya. Dengan demikian diperoleh tiga tangga nada pokokdari musik Yunani klasik: a. Tangga nada Doris:
Gambar 4. Susunan interval tangga nada doris b. Tangga nada Frigis:
Gambar 5. Susunan interval tangga nada frigis c. Tangga nada Lydis:
Gambar 6. Susunan interval tangga nada lydis
Edmund (2006:25) memberi catatan bahwa ternyata tangga nada doris Yunani berbeda dengan tangga nada doris Gregorian 44. Dari masing-masing tanggga nada pokok di atas masih dapat ditambahi dengan satu tetrachord lagi. Penambahan tetrachord dari sebelah atas tangga nada akan menghasilkan tangga nada hyper-, misalnya hyper doris (hyper dalam bahasa Yunani = atas). Sebaliknya bila sebuah tetrachord ditambahkan dari sebelah atas
44
Perikasa Karl-Edmund, Sejarah Musik jilid 1. Hal 88.
lxxii
tangga nada, maka dihasilkan tangga nada hypo-,misalnyahypo frigis (hypo dalam bahasa Yunani = bawah). Dengan variasi penambahan tetrachord di atas atau di bawah tangga nada pokok Yunani kuno maka didapatkan 9 tangga nada sebagai berikut: b’ a’ g’ f’ e’ d’ c’ b e’ d’ c’ b a g f e agfe dcBA
Hyperdoris = Miksolidis Doris Hypodoris = Eolis
a’ g’ f’ e’ d’ c’ b a d’ c’ b a g f e d gfed cbAG
Hyperfrigis Frigis Hypofrigis = Yonis
g’ f’ e’ d’ c’ b a g c’ b a g f e d c fedc BAGF
Hyperlydis Lydis Hypolidis
2.2. Modalitas Gregorian Estetika musik Gregorian sangat bergantung pada modalitas. Edmund (2006:87) mengatakan bahwa kekayaan estetik musik Gregorian hanya dapat dimengerti bila modalitas dipahami. Modalitas Gregorian merupakan hasil mata pelajaran “Musica” yang diajarkan dan dilatih dalam semua sekolah di Eropa sepanjang Abad Pertengahan. Buku-buku yang menerangkan tentang tangga nada Gregorian disusun oleh beberapa biarawan, seperti misalnya: Hucbald dari biara St. Amand (840-930). Pengarang ini menjadi terkenal karena tulisannya De harmonica institutione. Harmonica institutione diartikan sebagai tangga nada. Lebih lanjut Edmund menuliskan bahwa dalam buku tersebut dipakai nama-nama tangga nada yang dahulu dipakai oleh ahli-ahli musik Yunani, tetapi sayang
lxxiii
nama-nama tersebut digunakan secara berlainan. Menurut Edmund (2006:87) perubahan agak aneh ini mungkin disebabkan oleh: a. Karena praktek menyanyikan tangga nada-tangga nada ini berlainan dengan metode yang biasa dalam kebudayaan Yunani klasik: dulu dimulai dari atas ke bawah; pada Abad Pertengahan orang mulai menyanyikan tangga nada dari bawah ke atas—suatu metode baru yang akan diteruskan sampai zaman modern ini. b. Karena pengaruh Boethius (480-524). Meskipun baru lahir sesudah keruntuhan kerajaan Romawi (tahun 476) toh seringkali disebut sebagai ‘orang Romawi sejati yang terakhir’, sebab berkat Boethius ini abad Pertengahan mewarisi banyak kekayaan dari kebudayaan Yunani klasik. Hanya sayang sekali, interpretasi Boethius tentang musik Yunani telah dibuktikan kurang benar. Namun demikian pengaruh mental filsuf ini pada Abad Pertengahan mengenai nama-nama tangga nada Yunani antara lain dapat diterangkan karena kurang informasi ilmiah tentang kebudayaan Yunani.
2.2.1. Tetrachord Gregorian Sebagaimana halnya musik klasik Yunani musik Gregorian juga didasarkan pada tetrachord. Tetapi, tetrachord Gregorian terdiri dari nada D-E-FG (bergerak naik). Tetrachord ini dikembangkan menjadi empat tangga nada Gregorian otentik, salah satunya adalah doris yang dimulai dari nada D. Bandingkan dengan tetrachord doris dari Yunani kuno yang dimulai dari nada ED-C-B (bergerak turun). Jadi, terdapat perbedaan penggunaan kata doris untuk
lxxiv
menamai sebuah tangga nada Yunani kuno dan Gregorian. Namun, menurut hemat penulis, konsep tentang interval diatonis dalam setiap tetrachord dari kedua masa (Yunani kuno dan Gregorian) tersebut tetap dipertahankan yaitu kombinasi dari dua tonos dan satu semi tonos. Dari keempat nada yang ada dalam tetrachord Gregorian (D-E-F-G) disusun empat tangga nada Gregorian otentik, dengan nada D atau E atau F atau G sebagai nada dasar/finalis (=penutup).
2.3. Syarat Bunyi (Sound Property) Sebelum menguraikan elemen musik, Kerman (1987:10) mengemukakan tiga properti (sifat) bunyi yaitu adanya frekuensi, timbre, dan volume. Ketiga istilah ilmiah tersebut berhubungan dengan istilah musik pitch, tone color, dan dynamic. 45 1. Frekuensi Frekuensi berhubungan dengan kecepatan atau tingkat vibrasi dalam sebuah benda yang memproduksi bunyi. Frekuensi yang lebih tinggi menghasilkan bunyi yang lebih tinggi pula. Semakin pendek sebuah benda yang bervibrasi maka bunyi semakin tinggi. Sebuah piccolo bunyinya lebih tinggi dari pada sebuah trombon karena piccolo meliputi getaran udara dalam tabung yang lebih pendek. Jika kita meniup permukaan mulut botol yang berisi air di dalamnya, maka bunyi akan lebih tinggi jika ruang udara dalam botol semakin kecil.
45
Joseph Kerman,1987. Listen. hal. 10.
lxxv
Fenomena ini juga belaku untuk dawai. Semakin pendek dawai maka fekuensinya atau terdengar semakin tinggi. Nada secara berurutan akan semakin tinggi bila panjang dawai yang bergetar meliputi
setengah, seperempat,
seperdelapan dari dawai, dan seterusnya. Fraksi atau bunyi sampingan disebut partials atau overtones. Bunyi overtone terdengar lebih lemah (lembut) dari pada bunyi utama. 2. Timbre Timbre merupakan kualitas bunyi yang kerap disebut tone “color” sangat tergantung pada jumlah atau proporsi dari overtones. Dalam sebuah flut, aliran udara menggetarkan keseluruhan panjang tabung dan semakin berkurang dalam setengah atau seperempat panjang tabung, sehingga hanya ada sedikit overtones. Di lain pihak, senar-senar violin bergetar serempak dalam banyak subsegment (ruas) sehingga violin kaya dengan overtones. 3. Volume Volume atau tingkat kelantangan bunyi bergantung pada amplitudo dari getaran, atas sebarapa jauh atau keras sebuah senar atau getaran aliran udara. Sebagai contoh, pada sebuah gitar, volume tergantung pada seberapa kuat kita memetik senarnya. Frekuensi tidak akan berubah. Pemain alat musik tiup mengontrol volume dengan mengatur tekanan angin yang dihasilkan dari tiupan. Bukanlah kebetulan bahwa kelantangan dalam musik diasosiasikan dengan tenaga atau kekuatan. Synthesizer, tidak seperti kebanyakan alat musik tradisional yang dayanya berasal dari kekuatan atau nafas manusia, bunyi synthesizer murni berasal dari
lxxvi
benda-benda elektronik. Sebuah synthesizer terdiri dari tiga elemen dasar: 1) sebuah jaringan osilator elektronik, amplifier, speaker, dan mekanisme lainnya untuk memproduksi dan memanipulasi bunyi; 2)sebuah alat untuk memilih dan menentukan jenis dan kualitas bunyi yang akan dihasilkan—umumnya sebuah keybooard untuk not dan mengontrol tone color; 3) sebuah komputer atau microchip untuk menterjemahkan perintah-perintah dalam bentuk getaran bunyi. Ronald Pen (1992:12-17) mengemukakan elemen dasar (basic element) dari bunyi adalah: duration, pitch, dynamic, dan timbre. Menurut Pen, keempat elemen dasar inilah yang digunakan untuk menyusun musik 46. Jika kita bandingkan pendapat Kerman dan Pen, mereka hanya berbeda satu elemen duration dalam hal properti atau elemen dasar bunyi. Penulis berpendapat bahwa duration berhubungan erat dengan hal waktu dan sangat penting dalam pembentukan rhythm,sebab rhythm merupakan unsur penting dalam musik. Dengan demikian, pendapat Pen telah mencakup semua properti bunyi yang diajukan oleh Kerman.
2.4. Elemen Musik (Music Element) Kerman (1987:12)memaparkan, bahwa elemen (bagian penting) musik terdiri dari: pitch, dynamics, tone color, scales, rhythm, tempo,dan pictch and time. 47
46
Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 12-17. Joseph Kerman. Op.cit. hal. 12.
47
lxxvii
2.4.1. Pitch (Tinggi-rendah) Kita dengan jelas dapat mendengarkan bunyi-bunyi, seperti bunyi tinggi dan bunyi rendah. Kita memberi sifat kepada bunyi tersebut dengan kata tinggi dan rendahuntuk menggambarkan bunyi-bunyi itu dalam keraguan yang penuh tanya, walaupun tidak dengan menggunakan alat yang layak. Kerman (1987:12) menyebutkan, bahwa kualitas tinggi-rendahnya bunyi disebut pitch. 48 Bunyi dihasilkan dari getaran yang sangat cepat dari senar yang tegang, gong, bell, aliran udara dalam pipa,dan benda-benda lainnya. Tinggi rendahnya sebuah bunyi ditentukan oleh cepatnya sebuah getaran. Pengukuran ilmiah dari pitch adalah seberapa banyak jumlah getaran perdetik. Contoh, saat permulaan latihan, sebuah orkestra melakukan tuning dengan pitch A, dan sebuah band melakukan tuning dengan Bb (B mol). Not-not tersebut dapat dicek dengan sebuah garpu tala atau sebuah alat tuning elektronik. Lazimnya, jika bunyi-bunyian digunakan dalam musik, maka pitch-nya harus difokuskan. Jadi, tidak kabur atau tidak tetap seperti sebuah bising yang tinggi atau rendah. Suara knalpot sepeda motor dianggap sebagai noise (bising) karena pitch-nya tidak difokuskan pada sebuah frekuensi tertentu. Namun demikian, ada alat musik yang penalaannya tidak berdasarkan frekuensi tertentu, seperti dram, simbal, cow bell, dan sebagainya. Menurut Kerman (1987:12) pengalaman kita tentang pitch diperoleh ketika kita masih kecil 49. Bayi yang baru berumur beberapa jam dapat merespon suara orang dewasa, mereka segera membedakan mana bunyi atau suara yang 48 49
Joseph Kerman. Ibid. hal. 12. Joseph Kerman. Ibid. hal. 12.
lxxviii
tinggi dan mana yang rendah. Bayi-bayi itu sangat responsif terhadap bunyi yang tinggi. Biasanya bunyi yang tinggi itu mereka kenal dari suara ibunya. Berikut ini adalah rentang suara yang normal. Rentang suara ini lazim digunakan saat bercakap-cakap atau bernyanyi oleh pria maupun wanita. Kerman mendeskripsikannya dalam notasi berikut:
Gambar 7. Rentang suara normal sebagaimana dalam sebuah chorus
2.4.1.1. Interval: Oktaf Kerman (1987:13) mendefinisikan interval sebagai perbedaan, atau jarak, antara sebarang dua pitch. Dari sekian banyak perbedaan interval yang digunakan dalam musik, sebuah interval memiliki karakter khusus yang membuatnya secara khusus menjadi penting yaitu interval oktaf. Interval oktaf merupakan jarak antara dua nada di mana kedua nada tersebut sama tetapi tidak identik. Nada yang satu menduplikasi nada yang lain dalam jarak oktaf. Duplikasi inilah yang disebut dengan oktaf. Jika pria dan wanita menyanyikan lagu yang sama, maka secara insting mereka menyanyi dalam jarak oktaf. Mereka saling menduplikasi suara dalam
lxxix
jarak oktaf. Jika kita tanyakan pada mereka, maka mereka akan menjawab bahwa mereka sedang menyanyikan lagu yang sama. Interval oktaf digunakan untuk menentukan seberapa lebar rentang suara manusia atau sebuah alat musik. Rata-rata suara manusia dan alat musik memiliki rentang dua hingga tiga oktaf. Kecuali beberapa alat musik, misalnya piano memiliki rentang suara hingga tujuh oktaf. Interval nada-nada dalam satu oktaf dari sebuah tangga nada diatonis C,D,E,F,G,A,B,c adalah sebagai berikut: C-C = perfect first(prim murni)
C-G = perfect fifth (kuint murni)
C-D = major second (sekonde besar)
C-A = major sixth(sekt besar)
C-E = major third (ters mayor)
C-B = major seventh(septim besar)
C-F = perfect fourth (kuart murni)
C-c = perfect eighth (oktaf murni)
2.4.2. Dinamik (Dynamic) Syarat
dasar
kedua
dari
bunyi
musikal
adalah
loudness
atau
softness(kelantangan atau kelirihan) atau disebut dynamic (dinamik). Ilmuan mengukur dinamik secara kuantitatif dalam satuan yang disebut decibels (db); gergaji mesin kelantangan bunyinya kira-kira 85 db, dan operatornya terpaksa mengenakan peredam bunyi di telinga. Seorang ahli kesehatan pernah mengukur sistem pengeras suara musik rock yang mencapai 128,5 db.
lxxx
Musisi menggunakan istilah dalam bahasa Italia untuk menggambarkan dinamik, sebab di masa-masa awal dulu, orang Italia menguasai kancah musik Eropa. Beberapa contoh istilah dinamik: pianissimo (pp)
sangat lembut
piano (p)
lembut
mezzo piano (mp)
agak lembut
mezzoforte (mf)
agak keras
forte (f)
keras
fortissimo (ff)
sangat keras
Kadang-kadang perubahan dinamik terjadi dengan tiba-tiba (subito) kadang secara berangsur-angsur lantang atau lirih. Berikut adalah istilah dan notasi perubahan dinamik (kadang-kadang disebut “pasak sanggul”):
crescendo (cresc.) (berangsur-angsur lantang) decrescendo(decresc.) atau diminuendo (dim) (berangsur-angsur lirih)
2.4.3. Warna bunyi(Tone color) Kerman (1978:14) mengatakan, bahwanot-not tunggal dalam musik, baik keras
maupun
lembut,
secara
umum
berbeda
kualitas
bunyinya. 50 Perbedaankualitas itu tergantung dari instrumen atau suara yang
50
Joseph Kerman. Ibid. hal. 14.
lxxxi
memproduksinya. Kerman memberikan istilah tone color untuk menandai kualitas bunyi tersebut. Tone color hampir tidak mungkin untuk digambarkan. Orang kadangkadang menggunakan istilah yang kurang pas seperti bright, harsh, hollow, atau brassy. Kerman menuliskan, Tone color adalah elemen musikal yang dengan mudah dapat dikenali. Orang yang tidak dapat menyanyikan sebuah lagu pun dapat membedakan bunyi dari berbagai alat musik melalui nama instrumen tersebut. Setiap orang dapat mendengar perbedaan antara bunyi yang halus, bunyi yang penuh dari violin, bunyi cemerlang dari trumpet, dan gebukan dram. Tetunya sangat mengagumkan bagaimana alat-alat musik yang berbeda dipertemukan dalam sebuah kelompok untuk memproduksi tone coloryang berbeda. Saat ini teknologi komputer memungkinkan penemuan bunyi-bunyi baru.
2.4.4. Tangga nada(Scales) Kerman
(1978:15)
mengatakan,
musik
tidak
dibuat
berdasarkan
keseluruhan rentang bunyi yang secara alami ada di alam, tetapi dibuat berdasarkan sejumlah pitch yang sudah ditetapkan dalam setiap ruas oktaf. 51 Pitch tersebut dapat disusun dalam sebuah kumpulan yang disebut scale (“ladder”= tangga atau jenjang). Kerman menambahkan, sebenarnya sebuah scalemerupakan sekumpulan pitch yang disediakan untuk membuat musik. Pitch mana yang digunakan dalam sebuah scaledan berapa banyak dalam setiap oktafnya adalah berbeda dari satu kultur dengan kultur yang lain. Dua belas
51
Joseph Kerman. Ibid. Hal. 15.
lxxxii
pitch telah ditetapkan sebagai yang paling banyak digunakan dalam berbagai musik. Lima nada digunakan di Jepang, sebanyak 24 nada digunakan di negerinegeri Arab, dan Eropa Barat pada dasarnya menggunakan tujuh nada. Menurut Ronald Pen, sebuah scale (tangga nada) adalah serangkaian nadanada yang berurutan yang merupakan dasar dari pengaturan susunan melodi dan harmoni 52 . Tangga nada memberikan kerangka susunan yang berjenjang untuk mengorganisasikan konsonan dan disonan dalam sebuah kerangka tonal. Pendapat Kerman dan Pen tentang tangga nada dapat disimpulkan sebagai sekumpulan pitch yang berurutan yang digunakan sebagai dasar untuk menyusun melodi dan harmoni. Sekumpulan pitch sebagai penyusun tangga nada dalam musik Barat terdiri dari tujuh nada.
2.4.5. Tangga nada diatonis (The Diatonic scale) Kerman (1978:15) menjelaskan, bahwa rangkaian tujuh nada yang secara asli digunakan dalam musik Barat disebut tangga nada diatonik 53 . Tujuh nada tersebut berasal dari era Yunani kuno, dan masih digunakan hingga saat ini. Bila nada pertama diulang dengan duplikasi nada yang lebih tinggi, keseluruhannya berjumlah delapan nada—oleh karena itu dinamakan “octave” berarti “delapan jengkal”. Menurut Kerman, Siapa pun yang mengetahui rangkaian “do, re, mi, fa, sol, la, si, do” berarti ia terbiasa dengan tangga nada diatonis. Oktaf dapat dihitung dengan memulai dari “do” pertama sebagai satu dan diakhiri dengan “do” kedua 52 53
Ronald Pen, 1992. Introduction to Music. Hal. 77. Joseph Kerman. Op. cit. Hal. 15.
lxxxiii
sebagai delapan. Serangkaian tuts putih pada piano atau keyboard merupakan merupakan tangga nada ini (diatonis). Berikut ini sebuah gambar not-not pada keyboard dengan rentang dua oktaf serta posisi not-not tersebut pada garis paranada. Pendapat Kerman di atas menyatakan bahwa orang yang mengetahui rangkaian tangga nada diatonik dianggap sudah terbiasa dengan tangga nada tersebut. Hal ini sangat berhubungan erat dengan dengan tetrakord diatonik yang ada dalam musik Minangkabau.
Gambar 8. Posisi nada-nada keyboard dalam notasi balok (Sumber : Kerman)
2.4.5.1. Tangga nada kromatik (The Chromatic scale) Pada sebuah periode terakhir, lima buah pitch lagi ditambahkan di antara tujuh nada anggota tangga nada diatonis, hingga berjumlah dua belas. Berikut ini tangga nada kromatik yang disajikan dengan rangkaian dari not-not (tuts) pada keyboard.
lxxxiv
Gambar 9. Nada-nada kromatik (Sumber : Kerman)
2.4.5.2. Instrumen dan tangga nada (Scales and instrument) Hingga masa kini, musik Barat menggunakan 12 pitch dari tangga nada kromatik yang diduplikasi dalam semua tingkatan oktaf dan pada dasarnya tidak ada tangga nada yang lain 54 . Banyak jenis instrumen yang didisain untuk menghasilkan pitch yang khusus: gitar dengan fret, lobang-lobang yang terukur secara cermat pada flute, dan serangkaian senar yang tersetem pada piano dan harpa. Termasuk juga, katup-katup dan pipa-pipa pada trompet dan tuba yang didisain sedemikian rupa agar bisa mengahasilkan pitch kromatik. Instrumen lain, seperti violin dan trombon gelincir (slide) memiliki rentang pitch yang berkesinambungan (seperti sirine atau suara manusia). Dalam menguasai instrumen ini, salah satu yang harus dikuasai adalah mempelajari 54
Joseph Kerman. Ibid. Hal. 16.
lxxxv
bagaimana cara mengambil sebuah pitch dengan tepat sebagai sebuah patokan. Hal ini disebut sebagai playing in tune (bermain dalam keselarasan).
2.4.5.3. Langkah setengah dan langkah penuh (Half steps and whole steps) Ada dua macam langkah nada yaitu langkah setengah (half step) dan langkah penuh (whole step). 1. Interval paling kecil adalah langkah setengah (half step), atau semitone, yang merupakan jarak antara dua not yang bergerak dari scale kromatik. Langkah setengah merupakan interval antara not-not yang paling dekat. Jarak dari E ke F dan dari B ke C adalah setengah langkah; demikian juga dari F ke F kres (F#), G ke A flat (Ab), dan seterusnya. 2. Langkah penuh (whole step) atau nada penuh,ekuivalen dengan dua langkah setengah atau dua semi tone. D ke E, E ke F#, F# ke G#, dan seterusnya.
Gambar 10. Whole step dan Semitone (Sumber : Kerman)
lxxxvi
2.4.6. Rhythm (Ritme) Rhythm, dalam pengertian yang paling umum adalah, istilah yang merujuk pada keseluruhan aspek waktu dari musik 55. Joseph Kerman menjelaskan aspek waktu dalam musik dengan istilah-istilah beat, accent, meter, dan rhythm and rhythms.
2.4.6.1. beat (ketukan) Beat merupakan satuan ukuran waktu dalam musik. Seseorang dapat dengan mudah mengetukkan waktu dalam musik dengan mengayunkan tangan atau mengetukkan kaki seirama dengan yang dilakukan oleh konduktor dengan button-nya(tongkat kecil pengaba). Para komposer harus memanipulasi dan mengelola elemen waktu sebagaimana tangga nada, harmoni, instrumentasi, dsb. Mereka (komposer) menata (mengontrol) waktu sebagai mana seorang pelukis menata ruang dalam dimensi dua atau seorang arsitek menata ruang dalam dimensi tiga. Hanya dengan mengukur dan mengontrol waktu, para komposer dapat menentukan kapan sebuah efek artistik dapat diterapkan 56.
2.4.6.2. accent (tekanan) Lazimnya waktu jam diukur dalam detik, dan waktu musik diukur dalam beats(ketukan-ketukan). Terdapat perbedaan penting antara detik jam dengan ketukan waktu dalam permainan dram. Secara mekanis detik jam selalu sama, tetapi sebenarnya tidaklah mungkin untuk mengetuk (to beat) waktu tanpa 55
Joseph Kerman. Ibid. Hal. 18. Joseph Kerman. Ibid. Hal. 18
56
lxxxvii
membuat beberapa beat lebih tegas dari yang lainnya. Penegasan ini di sebut sebagai pemberian accent (tekanan) pada sebuah beat 57. Cara alami dalam mengetuk waktu adalah dengan bergantiannya ketukan kuat dan lemah dalam sebuah pola sederhana seperti: satu dua, satu dua, satu dua atau satu dua tiga, satu dua tiga, satu dua tiga. Jadi, dalam mengetuk waktu tidak hanya berarti mengukurnya tetapi juga mengelompokkannya, paling tidak dalam bentuk biner atau terner. Dengan cara inilah mengapa sebuah dram dikatakan sebagai intrumen musikal sedangkan sebuah jam tidak.
2.4.6.3. Meter (meter) Setiap pola ketukan kuat dan lemah yang berulang-ulang disebut meter. Meter adalah suatu pola kuat/lemah yang berulang-ulang untuk membentuk sebuah denyut yang teratur dan berkesinambungan 58 . Setiap unit dari pola berulang tersebut terdiri dari sebuah beat kuat dan satu atau lebih beat yang lebih lemah, ini disebut sebagai mausure (birama) atau bar. Dalam notasi musik, measure ditandai dengan garis vertikal yang disebut garis bar.
Gambar 11. Birama dan garis bar Ada dua jenis dasar penggunaan simple meter (meter sederhana), yaitu duple meter dan triple meter. Kombinasi dari keduanya membentuk compound 57
Ibid. Hal. 18 Ibid. Hal. 19.
58
lxxxviii
meter (birama gabungan) 59. Contoh pola duple meter: 1 2 1 2 1 2 1 2. Contoh pola triple meter: 12 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3. Contoh pola compound meter: 1 2 3 4 5 6
1
2 3 4 5 6 12 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6.
2.4.6.4. rhythm dan rhythms Kerman telah menegaskan bahwa istilah rhythm merujuk pada keseluruhan aspek waktu dari musik. Dalam pengertian yang lebih spesifik rhythms merujuk pada susunan khusus dari panjang-pendek not dalam melodi atau bagian musik lainnya. Dalam sebagian besar musik Barat, duple, triple, atau compound meter berperan sebagai latar belakang yang bersifat teratur melawan rhythm yang sebenarnya selalu lebih kompleks. Sepanjang rhythm bertepatan dengan meter, kemudian berjalan dengan caranya sendiri, bermacam-macam ragam, tension (tegangan), dan kehebohan dapat terjadi.
2.4.7. Tempo Istilah tempo merujuk pada kecepatan perpindahan beat. Sering juga disebut sebagai laju beat. Dalam musik yang bersifat metris, tempo merupakan kecepatan dasar, beat-beat yang beraturan dari sebuah meter saling mengikuti satu sama lain. Tempo dapat diekspresikan secara kuantitatif dengan petunjuk seperti , berarti 60 (not seperempat) beats per menit. Petunjuk demikian adalah
59
Ibid. Hal. 19.
lxxxix
tanda metronom. Metronom 100 adalah sebuah rata-rata tempo mars yang tenang; 42 adalah sangat lambat, 160 adalah sangat cepat.
2.4.7.1. tempo indications (petunjuk tempo) Nada-nada dalam musik memiliki durasi relatif. Laju beat pun bersifat relatif. Bila para komposer memberikan arahan untuk tempo (laju beat), mereka biasanya lebih suka menggunakan istilah-istilah yang umum. Istilah konvensional yang digunakan sebagai petunjuk tempo adalah dalam bahasa Italia. Petunjuk tempo yang lazim digunakan: adagio andante moderato allegretto allegro presto
: lambat : mendekati lambat, tapi tidak terlalu lambat : sedang : mendekati cepat, tapi tidak terlalu cepat : cepat : sangat cepat
Petunjuk tempo yang jarang digunakan: lento, largo, grave larghetto vivace, vivo molto allegro prestissimo
: lambat, sangat lambat : agak lebih cepat dari pada largo : berkesan : lebih cepat : sangat cepat
xc
2.5. Pitch dan Time: Dua dimensi musik Pitchdan time merupakan dua dimensi penting atau merupakan koordinat dari musik. Grafik pitch dengan pembacaan turun naik berada pada sumbu vertikal, dan time yang bergerak dari kiri ke kanan pada sumbu horizontal dapat membantu dalam konseptualisasi musik sebagai mana grafik harga makanan dan waktu yang dapat membantu kita melacak perubahan harga di toko grosir dari bulan ke bulan. Faktanya, demikian pulalah grafik pitch/time menjadi sangat terkait erat dengan notasi musik. Dalam notasi musik, tinggi dan rendahnya nada-nada ditempatkan pada kisi-kisi yang berderet secara horizontal yang sesekali bersilangan dengan garis-garis vertikal. Garis-garis vertikal menandai pitch, dari rendah ke tinggi; garis-garis horizontal menandai waktu dalam pecahan menit (seperti bulan atau minggu, sebagaimana indeks harga):
Grafik 1. Grafik dua dimensi musik (pitch dan time) (Sumber : Kerman)
2.6. The Structures of Music(Struktur Musik) Musik terdiri dari struktur sederhana dan kompleks yang dibangun dari pitch, ritme, tone color, dan dinamik. Keempat elemen ini tidak bisa dipsahkan satu sama lain dalam membentuk struktur musik.
xci
2.6.1. Melody (Melodi) Kerman (1987) mendefenisikan melodi sebagai perpindahan serangkaian nada yang dimainkan atau dinyanyikan dalam sebuah ritme tertentu 60. Pen (1992) mendefenisikan melodi sebagai urutan perpindahan interval yang merupakan ide musikal yang bertalian secara logis. Penulis menyimpulkan pendapat Kerman dan Pen tentang melodi sebagai suatu ide yang tertuang dalam bentuk perubahan interval dalam ritme tertentu.
2.6.2. Texture (Anyaman) Kerman (1987) menjelaskan bahwa tekstur merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perpaduan berbagai macam bunyi dan melodi (banyak melodi) yang terjadi secara serempak dalam sebuah musik. Tekstur yang paling sederhana adalah sebuah melodi tanpa iringan yang disebut sebagai monofoni(monophony). Bila dua atau lebih melodi dimainkan atau dinyanyikan secara bersamaan maka perpaduan tersebut dinamakan sebagai polofoni(polyphony). Tekstur polifoni ada yang bersifat imitatif ada yang tidak. Polifoni imitatif (imitative poliphony) terjadi bila beberapa jalur suara berbunyi bersama dengan menggunakan melodi yang sama atau mirip, tetapi dimulai pada waktu yang tidak bersamaan sehingga satu melodi disusul oleh melodi lainnya dalam jeda interval waktu tertentu. Sedangkan polifoni nonimitatif (nonimitative poliphony) terjadi bila beberapa melodi memang berbeda secara esensi. Bila ada sebuah melodi saja dikombinasikan dengan bunyi-bunyi yang lain maka tekstur
60
Kerman, 1987. Listen. Hal. 30
xcii
ini disebut homofoni (homophony). Bisa saja berupa sebuah melodi yang diringi dengan akor-akor atau setiap pergerakan nada yang diharmonisasi dengan sebuah akor tertentu seperti yang kita dapati pada himne koor atau lagu himne (hymn tune). Harmoni
merupakan
bagian
dari
tekstur.
Sebuah
melodi
dapat
diharmonisasi dengan banyak cara menggunakan akor-akor yang berbeda. Kerman (1987) berpendapat bahwa, keseluruhan efek dari musik bergantung pada perluasan akor-akor natural tersebut yang secara umum di sebut harmoni.
Grafik 2. Grafik tekstur (Sumber : Kerman)
xciii
Grafik 3. Grafik tekstur polifoni imitatif (Sumber : Kerman)
Grafik 4. Grafik tekstur polifoni non imitatif (Sumber : Kerman)
xciv
Grafik 5. Grafik tekstur homofoni (Sumber : Kerman) 2.6.3. Key dan Mode Key berkaitan dengan tonalitas yang mengacu pada kombinasi susunan interval tertentu. Menurut Kerman (1987) key bisa diawali oleh sebarang nada sehingga tersusun menjadi sebuah key mayor atau minor. Misalnya, berawal dari nada C dengan skala interval 1-1-1/2-1-1-1-1/2 akan dihasilkan susunan C-D-E-FG-A-B-C dengan nama key C mayor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan nada permulaan D akan dihasilkan susunan D-E-Fis-G-A-B-Cis-D maka kita dapatkan key D mayor. Bila nada permulaan C dengan skala interval 1-1/2-1-11/2-1-1 akan dihasilkan susunan C-D-Es-F-G-As-Bes-C dengan nama key C minor. Jika skala yang sama kita gunakan dengan nada permulaan A akan dihasilkan susunan nada A-B-C-D-E-F-G-A maka kita dapakan key A minor.
xcv
Posisi nada permulaan yang berbeda-beda dengan skala interval yang sama inilah yang dimaksud dengan key. Ronald Pen (1992) mengatakan, secara struktur, delapan buah not yang menyusun mode menyerupai pola dari langkah penuh (whole step) dan langkah setengah (hal step) yang terdapat dalam mode mayor dan minor. Setiap mode memiliki pola half step yang unik. Berikut ini adalah susunan tujuh mode dengan posisi half step yang berbeda-beda: Ionian
Dorian
Phrygian
Lydian
Mixolydian
Aeolian
Locrian
xcvi
Gambar 12. Skala mode mayor dan minor (Sumber : Kerman)
xcvii
Musik dengan struktur yang telah dirancang sedemikian rupa diwujudkan dengan permainan berbagai alat musik. Sebagai contoh adalah ansambel besar berupa orkestra yang terdiri dari seksi gesek (strings): violin, viola, cello, dan kontra bas; tiup kayu (woodwind): flut, obo, klarinet, dan bason; tiup logam (brass): trompet, horn, trombon,dan tuba, dan perkusi (percussion): timpani, vibrafon, marimba, bell, grand cassa, simbal, dsb.
Gambar 13. Penataan alat musik dalam orkestra (Sumber : Kerman)
2.7. Bentuk dan Stil Musik (Musical Form dan Musical Style) Kerman (1987) menyatakan, bahwa bentuk secara umum merupakan penataan elemen musikal dalam sebuah karya musik yang terdiri dari ritme,
xcviii
dinamik, tone color, melodi, tonalitas, dan tekstur 61. Sedangkan stil merupakan kebiasaan atau kecenderungan seorang komposer dalam menggunakan ritme, melodi, harmoni, tone color, bentuk tertentu, dsb 62.
2.7.1. Bentuk Musik(Form in Music) Bentuk musikal, sebagai pola yang baku, biasanya ditunjukkan dengan huruf-huruf. Dua faktor yang menghasilkan bentuk musik adalah: repetisi dan kontras. Bentunya ditulis dengan diagram A B A, A sebagai elemen repetisi dan B sebagai kontras. Jika pada A terjadi modifikasi maka secara konvensional ditandai dengan A' sehingga susunan dapat berupa A B A'
2.7.2. Stil Musik(Musical Style) Menurut
Bambang
Sugiharto
(2013:283)
Styleadalah
cara
khasmemperlakukan unsur-unsur musikal seperti: melodi, ritme, warna tone, dinamika, harmoni, tekstur, dan bentuk 63. Sugiharto menerangkan bahwa, Style musik itu berubah-ubah dari zaman ke zaman, meskipun batas perubahan itu tidak selalu sangat jelas, tidak mendadak dan tegas. Selanjutnya dijelaskan, bahwa Stylememang bisa menunjuk gaya pribadi seseorang komposer, sekelompok komposer, atau suatu negara, tapi bisa juga menunjuk pada periode-periode
61
Ibid. Hal. 56 Ibid. Hal. 60 63 Bambang Sugiharto, 2013. “Musik dan Misterinya” dalam buku Untuk Apa Seni? Hal. 62
283.
xcix
tertentu. Menurut periode stilistiknya musik-seni di Barat dapat dibagi ke dalam kategori sebagai berikut 64: 1. Abad Pertengahan (450-1450) 2. Renaisanse (1450-1600) 3. Barok (1600-1750) 4. Klasik (1750-1820) 5. Romantik (1820-1900) 6. Modern (1900-1950) 7. Kontemporer (1950- )
2.8. Musik Diatonis di Sekolah-Sekolah Pelajaran musik di sekolah-sekolah umum di Indonesia wajib diisi dengan materi pembelajaran lagu-lagu nasional yang juga kita kenal sebagai lagu-lagu wajib nasional. Sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-Kanak, hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas anak-anak Indonesia secara tidak langsung sudah fasih menyanyikan lagu-lagu yang berdasarkan sistem nada diatonis. Selain dari pelajaran musik di sekolah, anak-anak Indonesia juga terbiasa dengan musikmusik populer Indonesia dan Barat (Amerika) yang juga didominasi oleh sistem nada diatonis. PaEni (2009) menuliskan, bahwa di sekolah-sekolah pelajaran menyanyi masuk ke dalam kurikulum, dan isinya adalah menyanyi dalam sistem nada
64
Ibid. hal. 283. Silakan periksa halaman 283-304.
c
diatonik 65. PaEni berpendapat bahwa orientasi musik anak sekolahan adalah ‘ke Barat’. Bersama dengan sistem nada diatonik tersebut diperkenalkan pula instrumen-instrumen musik dari Eropa seperti biola, piano, gitar, dan sebagainya. Sekali dalam hidup, kita tentu pernah mengalami peristiwa musik. Setidak-tidaknya setiap upacara bendera khususnya pada hari kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus semua murid Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Perguruan Tinggi, kantor-kantor pemerintahan, dan organisasi-organisasi sosial politik serta seluruh rakyat Indonesia, secara langsung atau pun tidak, tentunya pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sebagai sebuah karya musik, lagu kebangsaan kita Indonesia Raya diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui aturan nada yang umum dikenal di seluruh dunia. Aturan nada yang dikenal di seluruh dunia ini disebut diatonis (Remy Sylado, 1983:8) 66. Sylado mengatakan bahwa perkataan diatonis dipetik dari bahasa Latin, diatonicus, maksudnya nada-nada yang terdiri dari tujuh jenis bunyi yang ditulis di atas garis titi, yaitu do re mi fa sol la si 67.
2.9. Tetrachord Diatonis dalam Lagu-Lagu Tradisional Minangkabau Karawitan Minangkabau yang berasal dari Darek (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, Luhak Lima Puluh Kota) juga memiliki sistem tangga nada yang mirip dengan konsep diatonis seperti yang dikemukakan dalam kajian sejarah 65
Mukhlis PaEni, 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni Media. Hal. 102. 66 Remy Sylado, 1983. Apresiasi Musik. Hal. 8 67 Remy Sylado, Ibid. hal.8
ci
musik 68 . Lagu tradisional Minangkabau berikut ini memenuhi konsep dasar tangga nada diatonis: a. Lagu Malereang Tabiang:
Gambar 14. Notasi lagu Malereang Tabiang dari Agam (Bukittinggi)
b. Lagu Duo-duo:
Gambar 15. Notasi Lagu Duo Duo dari Muara Labuh c. Lagu Tak Tong Tong:
Gambar 16. Notasi lagu Tak Tong Tong dari Darek d. Lagu Simarantang:
68
Periksa Karl Edmund Prier sj, 2006. Sejarah Musik jilid 1.
cii
Notasi 17. Lagu Simarantang dari Kabaupaten 50 Kota
2.10.
Musik Diatonis di Indonesia (Awal Penyebaran) Triyono Bramantyo dalam bukunya Disseminasi Musik Barat Di Timur
mengungkap bagaimana penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang. Buku ini sebenarnya merupakan sebuah desertasi yang berjudul Studi Historis Penyebaran Musik Barat di Indonesia dan Jepang lewat aktivitas misionaris pada kbad ke16. Tesis ini diselesaikan oleh Triyono Bramantyo di Universitas Osaka, Jepang pada bulan Desember 1996. Buku ini merupakan studi komparatif tentang sejarah penyebaran musik Barat di Indonesia dan Jepang pada abad keenam belas khususnya dari Serikat Yesus. Fransisco Xaverius (1506-1552) menyadari bahwa orang Indonesia dan Jepang memiliki kegemaran dalam musik. Xaverius sudah mempersiapkan katekismus 69 dalam bahasa Melayu untuk misinya di Maluku, Indonesia dan bahasa Jepang untuk misinya di Kyushu, Jepang. Termasuk dalam katekismus tersebut adalah lagu-lagu Gregorian yang untuk pertama kalinya diperkenalkan di
69
Katekismus: kitab pelajaran agam Kristen dalam bentuk daftar tanya jawab (Bramantyo,
2004:46).
ciii
Indonesia dan di Jepang sebagai benih dari musik Barat 70 . Selain lagu-lagu Gregorian juga disebarkan lagu-lagu sekular, khususnya oleh saudagar dan pelaut Portugis. Disebutkan bahwa musik keroncong mendapat pengaruh dari musik sado, salah satu jenis musik rakyat Portugis. Francisco Xafier tiba di Ambon pada tanggal 4 Pebruari1546. Dia sudah mempersiapkan katekismus dalam bahasa Melayu yang dipahami oleh masyarakat Maluku. Katekismus itu meliputi Credo, Deklarasi, Pater noster, Ave Maria, dan Salve Regina 71 (Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46). Peristiwa ini menandai karya Jesuit di Maluku. Francisco Xafier tinggal di Ambon sampai Juni 1546 sambil berkarya di antara umat Kristen di Morotai dan mengajari anak-anak bernyanyi Credo. Dia melanjutkan tugasnya dengan harapan bahwa seluruh Ambon akan menjadi Kristen. Dia merubah kepercayaan banyak penduduk dan mengajar agama Kristen pada anak-anak dan mengenalkan doa-doa malam untuk orang-orang sekarat dan pendosa 72 (Jacobs dalam Bramantyo, 2004:46). Dari Ambon, Xavier dikirim ke Ternate dan bertugas di sana hingga September 1546. Di ambon dia menulis katekismus bersajak dalam bahasa Portugis dan mendirikan Misericordia
73
di Ternate. Dari Ternate, Xavier
mengunjungi umat Kristen di Moro. Dia menghabiskan waktunya tidak hanya untuk kegiatan pengajaran agama tetapi juga untuk mengajar anak-anak. Setelah menghabiskan beberapa waktu di Moro, dia berlayar kembali ke Ternate dan
70
Triyono Bramantyo,2004. Hal. viii. Bramantyo, Ibid. hal. 46. Periksa buku Disseminasi Musik Barat Di Timur. 72 Bramantyo, Ibid. hal. 46. 73 Misericordia: suatu lembaga amal yang didirikanpada tahun 1498 di Portugal. 71
civ
bertugas di sana hingga April 1547, sebelum meninggalkan Ambon lagi guna berlayar kembali ke Malaka dan India 74(Bramantyo, 2004:47). Selama tinggal di Maluku, Xavier (beserta para Jesuit lainnya) menyadari bahwa apa yang benar-benar dia lakukan untuk menarik umat Kristen pribumi bukan hanya lewat ajarannya saja tetapi berbagai macam seperti upacara-upacara, cahaya lilin, musik ritual gereja (Wicki dalam Bramantyo, 2004:47). Dapat kita pahami bahwa salah satu usaha Xavier dalam menyebarkan ajaran Kristen—selain ajaran—adalah melalui musik khususnya musik ritual gereja. Salah satu trik jitu yang dilakukan oleh Xavier adalah memadukan kecintaan musik pribumi dengan ritual Katolik. Dengan cara seperti ini akan membuat orang Maluku semakin familiar dengan
musik
diatonis.
Andaya (dalam
Bramantyo,
2004:47)
menggambarkan sebuah contoh dengan menyatakan bahwa “daerah terbuka di Ternate dan di rumah-rumah, para wanita dan anak-anak sepanjang waktu menyanyi Creed (Syahadat), Bapa Kami (Pater Noster), Salam Maria (Ave Maria), Pengakuan (Confiteor), dan doa-doa lain, Firman-firman, dan karya-karya kerahiman” 75.
2.11.
Musik Diatonis di Minangkabau (Peran Sekolah Belanda) Penyebaran musik diatonis di Minangkabau tidak melalui misi Kristen
seperti halnya di Maluku dan Flores. Belanda berusaha agar hanya mencampuri lalu lintas perdagangan dan tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan setempat
74
Bramantyo, Ibid. hal. 47. Untuk lebih lengkapnya silakan buka Bramantyo, Ibid. hal. 47.
75
cv
dan kehidupan sehari-hari orang Asia (Denys Lombart, 2005:95) 76. Selanjutnya Lombard menuliskan, selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka, orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa mereka. Graves menuliskan, bahwa setelah menaklukkan Sumatera Barat pada tahun 1837, Belanda membutuhkan penduduk setempat, yang memiliki keterampilan teknis dasar – membaca, menulis, dan pengetahuan berhitung secukupnya – untuk mengisi struktur birokrasi pemerintah kolonial yang semakin luas 77. Kesempatan-kesempatan tersebut diisi oleh golongan menengah. Golongan inilah yang yang memberikan tanggapan kreatif terhadap kehadiran kekuatan kolonial dan peluang-peluang baru yang ditawarkannya untuk memperoleh kekayaan, prestise, kekuasaan, dan kedudukan. Graves (2007:xii) mengatakan, bahwa golongan menegah ini sangat menyadari bahwa jalan terbaik untuk maju adalah terdapat dalam upaya adaptasi mereka dengan pemerintah kolonial 78 dan untuk itu mereka harus belajar keterampilan dan teknik-teknik baru yang menjadi prasyarat masuk lapangan kerja baru. Dengan pernyataan Graves di atas dapat kita pahami bahwa ada segolongan orang Minangkabau yang telah memiliki pemikiran bahwa jalan terbaik untuk maju adalah dengan cara beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan “Barat” dalam hal ini kekuasaan kolonial Belanda. Ini berarti bahwa mempelajari bahasa Belanda, membaca, menulis, berhitung, berperilaku beradab, berkesehatan 76
Denys Lombard, 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid 1 Batas-batas Pembaratan. Hal.
95. 77
Elisabeth E. Graves, 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX /XX. Hal. x. 78 Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. xii.
cvi
yang baik, dan – poin berikut ini menjadi bagian penting bagi tulisan penulis – mempelajari aspek-aspek lain dari gaya hidup dan budaya Eropa. Poin terakhir yang berupa gaya hidup dan budaya Eropa tentulah di dalamnya juga termuat hal kesenian yang di dalamnya terdapat musik Barat atau musik diatonis. Selain untuk kepentingan Belanda dalam urusan perdagangan dan administrasi, pendirian Nagari School merupakan akses bagi orang muda Minangkabau untuk mengenal kebudayaan dan musik Barat (diatonis) secara khusus, karena di Sekolah Nagari musik Barat diperkenalkan, salah satunya, melalui nyanyian atau pelajaran musik. Sekolah Normal School/”Sekolah Radja” Bukittinggi (dalam bahasa Belanda disebut Kweekschool) didirikan lewat dekrit pemerintah pada tanggal 1 April 1856. Kweekschool menyajikan lebih banyak pelajaran dari pada Sekolah Nagari yang hanya mengajarkan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Kurikulum di Sekolah Radja diarahkan pada semua mata pelajaran – bahasa Belanda, bahasa Melayu, menulis indah, berhitung, geometri, sejarah dan geografi Hindia Belanda, sejarah Belanda, ilmu alam, survei, menggambar, keahlian membuat draf, teknik-teknik pertanian, pedagogi (ilmu mendidik), menyanyi, dan pendidikan jasmani (Graves, 2007:222) 79. Sebuah pemikiran yang masih bersifat sangat umum muncul dari kalangan menengah Minangkabau dalam rangka mencapai kemajuan. Seperti telah dituliskan di atas, golongan ini sangat yakin bahwa kemajuan pada masa itu hanya bisa dicapai dengan jalan beradaptasi dengan pemerintah kolonial. Beradaptasi di
79
Elisabeth E. Graves, Ibid. hal. 222.
cvii
sisni dalam arti menyesuaikan diri di mana orang Minang dari golongan menegah ini merasa nyaman diperlakukan secara profesional atas keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya. Penulis berkesimpulan bahwa adaptasi yang dilakukan oleh orang Minangkabau lebih kepada tuntutan atas kesetaraan hak-hak hidup, sosial, dan ekonomi. Jika persoalan adaptasi ini kita tarik ke ranah budaya, sesuai dengan konsep adaptasi, bahwahal yang menghambat atau mengendala suatu teknologi yang sederhana ternyata sering ditanggulangi atau malah diubah menjadi peluang oleh budaya yang memilki sistem lebih maju dalam hal ini kebudayaan Barat (Eropa). Salah
satu
putra
Minangkabau
yang
menyelesaikan
studi
di
Kweekschooladalah Mohammad Sjafei. Ia adalah seorang tokoh pendidikan nasional Indonesia yang juga mencintai seni musik. Melalui asuhannya berkembang pula bakat musik dua anak didiknya di INS Kayu Tanam. Mereka adalah dua bersaudara Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adam.
2.12. Peran Beberapa Tokoh dalam Memperkenalkan Musik Diatonis Di Minangkabau (Sumatera Barat) Pada bagian ini penulis memaparkan beberapa orang putra Minangkabau yang meraih pendidikan musik Barat di Eropa. Kelak mereka berjasa dalam mendirikan institusi kesenian di Minangkabau. Pendidikan dasar musik mereka adalah musik Barat. Mereka mengajarkan dan mengembangkan ilmu musiknya tidak hanya di jurusan musik Barat tetap juga di jurusan karawitan Minangkabau.
cviii
Mohammad Sjafei pernah bercita-cita untuk mendirikan sekolah musik di Sumatera Tengah. Cita-cita Mohammad Sjafei untuk mendirikan sekolah musik di Minangkabau akhirnya terwujud melalui generasi setelah dia, yaitu dua bersaudara Boestanoel dan Irsyad Adam. Mohammad Sjafei 80 adalah salah seorang figur yang pernah mengenyam pendidikan Belanda. Ayahnya Mara Sutan, seorang pendidik, yang banyak berjasa kepada pendidikan di Indonesia. Mohammad Sjafei menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool) di Bukittinggi dalam tahun 1914. Ia juga seorang pemain violin yang baik. Setelah itu ia menjadi guru pada “Sekolah Kartini” di Batavia (sekarang Jakarta) selama enam tahun. Atas biaya sendiri, Mohammad Sjafei melanjutkan pelajaran ke Eropa. Ia mendalami mata-mata pelajaran ekspresi: menggambar, pekerjaan tangan, dan seni suara. Ia mengunjungi beberapa negara lainnya di Eropa untuk memperdalam pengetahuannya tentang seluk beluk pendidikan. Ketika pergerakan kebangsaan memuncak, Mohammad Sjafei memutuskan kembali ke Tanah Air. Sjafei berpendapat bahwa kemajuan pendidikan adalah hal utama untuk memperolah kemerdekaan. Mohammad Sjafei mendirikan Ruang Pendidikan model baru di Kayu Tanam pada tahun 1926 sebagai reaksi terhadap pendidikan yang diberikan pada sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sekolah itu ia beri nama Indische Nederland School (INS). M Sjafei meninggal di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1969. 80
Tulisan ini penulis kutip dari sebuah buku karangan dra. Emma Zain dan Dt. Sati, (tt) berjudul Ilmu Mendidik.
Djaka
cix
Tujuan INS adalah: 1) memberikan pendidikan kepada rakyat yang ingin merdeka, 2) memberikan pendidikan yang sesuai dengan keperluan masyarakat, dan 3) memberikan pendidikan kepada pemuda supaya percaya kepada diri sendiri dan berani bertanggung jawab. Azas-azas pendidikan yang digunakan oleh Moh. Sjafei adalah: berpikir logis dan rasional, keaktifan, pendidikan kemasyarakatan, bakat anak-anak harus mendapat perindahan, dan memberantas intelektualisme. Mohammad Sjafei telah berusaha mengubah manusia dan masyarakat. Ia mementingkan bekerja sebagai alat pendidikan yang baik. Sebagian orang mengatakan: INS lebih condong kepada kesenian yang tidak diperuntukkan bagi sekalian anak. Boestanoel Arifin Adam dan Irsyad Adamadalah dua bersaudara kandung. Keduanya adalah putra dari bapak Adam BB. Mereka dilahirkan di Padangpanjang dan dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nialainilai Islam. Sebagai orang Minangkabau yang Islami Ayah mereka cukup toleran dalam memberikan kesempatan mempelajari musik Barat. Irsyad Adam tak seberuntung uwan-nya (abangnya) karena sejak lahir ia sudah tidak bisa melihat seperti layaknya orang normal alias tuna netra. Tetapi Irsyad dikaruniai indera pendengaran yang tajam. Waktu kecil, menurut penuturan ibu adangRohani Adam (kakak perempuan Irsyad), Irsyad sangat senang mendengarkan bunyi-bunyian. Bahkan, pada suatu hari Irsyad kecil sengaja membanting sebuah piring kaleng berulang kali. Ia mendengarkan bunyi piring dengan seksama seolah-olah ada sesuatu yang ingin diketahuinya dari bunyi itu.
cx
Irsyad memang suka menyanyi, bermain harmonika, dan mendengarkan abangnya, Bustanoel, memainkan violin. Penulis sengaja datang ke Padangpanjang untuk berjumpa dan mewawancarai bapak Irsyad Adam. Beliau banyak mengetahui seluk-beluk kehidupan musik di sumatera Barat sejak pra kemerdekaan sampai sekarang. Daya ingatnya masih cukup tajam. Beliau masih bisa mengenali suara penulis walaupaun sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. Pak Irsyad baru saja sembuh dari sakit ketika penulis menjumpainya. Dia terlihat segar untuk ukuran orang setua dia, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya agak sedikit kurang jelas karena dulu beliau pernah menderita stroke ringan yang membuat bibirnya sedikit bergeser ke kiri. Tetapi penulis masih dapat menangkap kata-kata yang ia ucapkan dalam bahasa Minang. Tulisan berikut didapatkan dari wawancara dengan bapak Irsyad Adam di rumahnya, Padangpanjang pada tanggal 01 Juni 2014 sekitar pukul 09.00-10.30. Penulis ditemani oleh seorang rekan sesama kuliah dulu yang sekaligus mengoperasikan alat perekam audiovisual. Irsyad Adam memulai penuturannya dengan cerita tentang belajar musik. Irsyad, awalnya, belajar musik khususnya violin kepada abangnya, Boestanul Arifin. Selain belajar kepada abangnya, Irsyad juga belajar kepada guru dari abangnya itu, yaitu bapak M Yunus Keucik, seorang Aceh yang beristeri dengan orang Payakumbuh dan tinggal di Padangpanjang. Irsyad mengatakan bahwa bapak M Yunus Keucik dulunya adalah murid dari bapak Khatib Sulaiman, seorang tokoh Sumatera Barat. Bapak Khatib Sulaiman adalah murid dari bapak
cxi
M Nur. Menurut Irsyad dia pertama kali belajar memainkan klasik dari Lis Wakidi, kakak dari Dirwan Wakidi. Pada tahun 1942 Irsyad Adam menempuh pendidikan di INS Kayu Tanam sebagai murid non formal. Setiap pagi selapas salat subuh ia barsama Boestanul berangkat ke Kayu Tanam dengan kereta api. Tetapi sejak adanya kecelakaan kereta api di Silaiang mereka takut naik kereta api dan beralih menggunakan padati 81 . Kebetulan kejadian itu sudah di akhir-akhir masa studinya di INS. Berangkat subuh dan sore harinya kembali ke Padangpanjang. Irsyad belajar di INS selama tiga setengah tahun. Sekitar tahun 1947 beberapa orang mendirikan sebuah orkestra di Padangpanjang. Pada waktu itu Ibu Kota Negara Republik Indonesia berada di Bukittinggi tetapi kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan dipusatkan di Padangpanjang. Irsyad adalah anggota orkes termuda waktu itu. Ia sering di daulat sebagai solis di orkestra tersebut. Pada waktu itu menteri Pendidikan untuk wilayah Sumatera di jabat oleh Mohammad Sjafei, tokoh pendiri INS Kayu Tanam. Selama menjadi murid di INS, Irsyad sering mengadakan pertunjukan musik bersama murid-murid lainnya. Pada waktu itu INS sering di datangi tamu dari luar negeri khususnya anggota Komisi Tiga Negara. Komisi Tiga Negara terdiri dari Indonesia, Mesir dan India. Mesir dan India adalah dua negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Irsyad menuturkan bahwa musik yang disuguhkan kepada tamu-tamu asing yang berkunjung ke INS 81
kerbau.
Kendaraan tradisional berbentuk gerobak yang ditarik oleh seekor lembu atau bisa juga
cxii
bukanlah musik tradisional Minangkabau tetapi musik Barat. Mengapa menyambut tamu asing dengan musik barat? Irsyad menjawab, waktu itu dunia internasional masih menganggap Indonesia sebagai sebuah negeri primitif dan Belanda menyatakan di PBB bahwa Indonesia belum pantas untuk merdeka. Maka, dengan pendidikan dan musik Barat kita menyatakan bahwa kita layak sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Pendidikan dan kesenian merupakan peluru yang lebih ampuh dari pada peluru senapan, ujar pak Irsyad. Dengan melihat secara langsung aktifitas pelajar Indonesia di INS Kayu Tanam, pahamlah para tamu-tamu asing tersebut. Pernyataan Belanda di PBB berbeda dengan kenyataan yang mereka lihat. Ternyata anak-anak Indonesia sudah maju bahkan bisa memainkan musik Barat. Mereka mamainkan musik klasik dan beberapa karya WR Soepratman. Walaupun orkestra belum terlalu rapi secarat teknis, tetapi mereka sudah memulai memainkan musik diatonis sebagai sebuah wujud usaha dalam memperjuangkan persamaan hak sebagai masyarakat dunia yang beradab. Di Bukittinggi, pada tahun 1947 terdapat orkes simfoni negara. Anggotanya terdiri dari tentara pengungsi dari Medan dan Siantar yang kemudian bergabung dengan musisi di Bukittinggi. Konduktornya waktu itu bernama Khalid. Orkestra inilah yang sering digunakan untuk menyambut dan menghibur tamu-tamu negara di Bukittinggi. Orkes di Padangpanjang tetap ada, tetapi lebih kepada orkestra gesek. Pada tahun 1947 Presiden Soekarno berkedudukan di Yogyakarta dan wakil presiden Mohammad Hatta di Bukittinggi. Ketika itu Bukittinggi sudah
cxiii
memiliki pelabuhan kapal terbang sebagai peninggalan Jepang tepatnya di Gadut. Melalui pelabuhan kapal terbang Gadut inilah seorang menteri (menteri baja) utusan dari Jawaharlal Nehru (perdana menteri India kala itu) masuk ke Bukittinggi. Hatta mengajak utusan itu menyaksikan orkestra di Padangpanjang tepatnya di gedung Ruang Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Gedung Mohammad Sjafei). Irsyad Adam, waktu itu adalah pemain yang paling muda dalam kelompok orkestra tersebut. Irsyad juga menyebutkan nama Dirwan Wakidi sebagai salah seorang pemain dalam orkestra tersebut. Pada momen inilah ‘Pak Nait’ (demikian bunyi sebuah nama yang terucap dari mulut pak Irsyad), utusan Jawaharlal Nehru itu menyaksikan permainan violin Irsyad. Utusan itu merasa tertarik dengan permainan violin Irsyad muda yang berbakat. ‘Pak Nait’ mengungkapkan kenginannya kepada pak Hatta untuk menyekolahkan Irsyad ke luar negeri. Pak Hatta seketika itu juga merestui tawaran dari utusan Nehru tersebut. Bagaimana dengan orang tuanya? Tanpa persetujuan dari ayah Irsyad pak Hatta waktu itu langsung mengatakan, “Orang tuanya setuju, saya mau mengurusi, bertanggung jawab”, kata pak Hatta. Pak Irsyad menceritakan ini sembari tertawa mengenang masa lalunya. Selanjutnya pak Hatta memberikan syarat kepada ‘Pak Nait’, bahwa anak ini tentunya tidak bisa berangkat sendirian karena keterbatasannya. Akhirnya diputuskan untuk menyekolahkan kedua bersaudara Irsyad dan Boestanul Arifin. Pada 1947 itu juga terjadi Agresi Militer I Belanda. Perhubungan komunikasi terputus. Irsyad dan Boestanoel tertunda berangkat ke luar negeri. Atas saran dari pemerintah pusat keberangkatan ditunda hingga situasi negara
cxiv
dinyatakan tenang. Setelah itu meletus lagi agresi Militer II Belanda pada tahun 1948. ‘Pak Nait’ kerap ke Indonesia mengantarkan bantuan dan obat-obatan dari India untuk Indonesia. pada tahun 1950 ‘Pat Nait’ datang ke Jakarta mengantarkan bantuan pesawat terbang untuk Indonesia, yaitu pesawat Dakota. Pada saat itu ia teringat kepada dua orang anak muda yang pernah dijanjikannya untuk bersekolah di luar negeri. Ia bertanya kepada wartawan tentang kedua anak itu, apakah keduanya masih hidup? Sebab, situasi beberapa tahun terakhir sangat buruk. Ia ingin menepati janjinya, ujar pak Irsyad. Akhirnya Irsyad mengetahui berita ini dari surat kabar Haluan bahwa seseorang yang dulu pernah menjanjikan untuk menyekolahkannya tidak melupakan janji itu. Bustanoel mengirim telegram ke pak Hatta menanyakan kepastian keberangkatan mereka. Pak Hatta langsung menanyakan ke India. Ternyata, Indonesia pun tak ingin lepas tangan yaitu dengan cara memberi izin dan biaya belajar untuk dua tahun kepada Irsyad dan Boestanoel. ‘Pak Nait’ menyanggupi, yang penting dia ingin memenuhi janjinya kepada dua pemuda ini. Dengan demikian berangkatlah Irsyad dan Boestanoel ke India. Selama dua bulan di India, lalu keduanya berangkat ke Belgia. Di Jakarta pada tahun 1951, sebelum berangkat ke India, keduanya berkenalan dengan seorang Melayu Riau yang juga seorang profesor di bidang biola (violin), namanya Tengku Syarif Abu Bakar. Ia satu-satunya tamatan Eropa waktu itu. Ketika penulis menanyakan, siapa saja keturunan dari Tengku Syarif Abu Bakar itu? Pak Irsyad mengatakan, bahwa Tengku Syarif Abu Bakar itu adalah salah satu keturunan Sultan Siak.
cxv
Tengku Syarif Abu Bakar banyak memberikan masukan kepada Irsyad dan Boestanoel tentang sekolah-sekolah musik di Eropa. Tengku menyarankan kepada mereka berdua untuk memilih sekolah musik di Belgia. Menurut Tengku, di Belgia-lah waktu itu sekolah musik, untuk violin, yang paling bagus. Ada sedikit cerita menggelikan dari perjalanan Irsyad dan Boestanoel menuju Eropa. Karena kendala bahasa, keduanya mempersiapkan serba sedikit bahasa Inggris dan Jerman. Waktu sebelum berangkat itu, mereka belum tahu akan bersekolah di negara mana. Waktu itulah muncul usulan dari seseorang di pemerintahan untuk memilih Mesir sebagai negara tujuan belajar. Pada waktu itu, keduanya mengiakan saja usulan itu. Akhirnya cerita ini sampai juga ke pak Hatta. Keduanya berjumpa denga pak Hatta. Beliau menyakan, dalam bahasa Minang, “Lah bara lamonyo waang di Jakarta?” (sudah berapa lama kalian tinggal di Jakarta?). Boestanoel menjawab, bahwa mereka sudah sekitar tiga bulan berada di Jakarta. Mengapa lama sekali kalian di Jakarta? Boestanoel menjawab, karena berurusan dengan pemerintahan. “Kan ndakpitih urang gaeknyo nan dipagunoan, doh”, kata Hatta membela mereka, karena sudah lama sekali keberangkatan mereka tertunda gara-gara birokrasi pemerintahan. Hatta bertanya dalam bahasa Minang, “Kama waang ka dikirimnyo?”. “KaMesir, pak,” jawab Boestanoel. “Ka Mesir?,” Hatta kaget bercampur marah. “Dari pado ka Mesir, rancak jo den sae waang baraja. Kini ang den aja bisuak pulang lai ”. Ha..ha..ha..,Pak Irsyad tertawa terbahak-bahak mengenang cerita itu. Penulispun jadi ikut tertawa mendengar kisah lucu mereka dengan seorang tokoh proklamasi RI. Ternyata pak Hatta seorang humoris juga.
cxvi
Hatta menanyakan kapan mereka akan berangkat. Mereka menjawab tanggal 26. “Surat-surat kalian sudah lengkap?” “Belum, pak”, jawab mereka. “Baa kok pandai-pandai sajo kalian?”, bentak pak Hatta. “Kami sudah tidak tahan lagi di sini (Jakarta, penulis), pak”, jawab Boestanoel. Akhirnya, dengan bantuan pak Hatta, surat-surat untuk keberangkatan mereka ke luar negeri (India) keluar hari itu juga. Hatta membekali mereka dengan surat untuk pak Soedarsono duta besar RI untuk India pada waktu itu (1951). Di India mereka berjumpa dengán ‘Pak Nait’. Mereka berada di India selama dua bulan. Setelah itu Boestanoel dan Irsyad berangkat ke Belgia. Sebelum masuk sekolah musik, Irsyad terlebih dahulu masuk sekolah khusus tuna netra untuk mempelajari huruf Braile di Belgia. Di sekoalah itu ada pelajaran praktek musiknya dengan persentase 75% dan vak umum 25%. Irsyad dibimbing oleh seorang guru violin bernama Normans. Dua tahun belajar di sekolah khusus ini, Irsyad mendaftar ke konservatori di Brussel, Konservatori Kerajaan Belgia. Ia mengikuti tes dan dinyatakan lulus. Sekitar dua tahun belajar di konservatori, ia mengikuti concour (semacam lomba dalam ujian) dan berhasil meraih peringkat terbaik kedua.
Pada kesempatan concour yang kedua kali Irsyad berhasil
mendapat peringkat pertama. Concour ini diikuti oleh semua siswa tanpa ada pembedaan yang berhubungan dengan keterbatasan fisik. Salah satu nomor yang pernah dimainkan Irsyad dalam concour adalah Simphonie Espagnole karya Edouard Lalo seorang komposer Perancis. Sedangkan, Boestanoel masuk ke akademi musik kemudian masuk konservatori di ‘Xenn’ sekitar 60 km dari
cxvii
Brussel. Setelah kira-kira lima tahun di Belgia Irsyad dan Boestanoel pulang ke Indonesia pada tahun 1956. Tahun 1951 berdiri Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di Yogyakarta. Ketika mereka pulang ke Indonesia, waktu itu SMIND dipimpin oleh Amir Pasaribu. Mereka ditempatkan di Yogyakarta tetapi belum langsung mendapat tugas. Sebenarnya, kata pak Irsyad, Mohammad Sjafei pun berencana mendirikan sekolah musik di Sumatera Tengah. Kata pak Irsyad lagi, belum terpikirkan waktu itu untuk mendirikan sekolah yang berhubungan dengan karawitan Minangkabau, tetapi yang penting adalah sekolah musik. Tetapi pada waktu itu meletus pemberontakan PRRI sehingga rencana sekolah musik itu gagal dilaksanakan. Piano-piano dari pemerintah pusat yang sedianya diperuntukkan untuk sekolah musik tersebut akhirnya dibagi-bagikan
ke SPG (sekolah
Pendidikan Guru). Sekolah Musik di Yogyakarta belum sepenuhnya bisa menerima pak Irsyad sebagai guru karena kondisi ketunanetraannya. Akhirnya pak Irsyad ditempatkan di sekolah tuna netra Departemen Sosial Yogyakarta dengan status masih pegawai honor. Waktu itu beliau diberi tugas mengajar notasi Braile. Sedangkan pak Boestanoel di tempatkan di Jakarta. Seorang wartawan mewawancarai pak Irsyad untuk sebuah surat kabar. Berita itu sampai ke Nicolai Varvolomeyef, salah satu pelopor berdirinya SMIND Yogyakarta. Irsyad diminta untuk menghadiri wawancara di SMIND. Atas rekomendasi Nicolai Varvolomeyef Irsyad diberi kesempatan mengajar di SMIND Yogyakarta. Kepala sekolah SMIND waktu itu adalah bapak Dailamy
cxviii
Hasan. Di SMIND Irsyad mengajar selama dua tahun. Setelah itu SK-nya keluar untuk penempatan tugas di Jakarta. Irsyad mengajar di Yayasan Pendidikan Musik Jakarta selama tiga tahun. Kala itu ketua yayasan YPM adalah Ny. Slamet Soedibyo dan kepala sekolahnya adalah Wie Chong Lie, tamatan sekolah musik di Paris. Salah seorang guru biola di YPM sebagai rekan sesama mengajar waktu itu adalah Adi Darma (Lie Eng Liong), tamatan sekolah musik Belanda. Ketika ditanyakan siapa muridnya yang terbaik ketika beliau mengajar di Yoryakarta, pak Irsyad menyebutkan nama Sudomo dan Ati Bagyo. Keduanya sudah meninggal dunia. Tahun
1967
Bustanoel
dan
Irsyad
kembali
ke
Padangpanjang.
Sebelumnya, tahun 1965, di Padangpanjang telah berdiri KOKAR A dan KOKAR B. KOKAR A beralih menjadi SMKI (sekarang SMK) dan KOKAR B menjadi ASKI (sekarang ISI Padangpanjang). Di samping musik karawitan Minangkabau, pada kedua KOKAR ini dipelajari juga teori musik Barat. Di KOKAR B dipelajari juga Ilmu Bentuk dan Analisa Musik. ASKI berdiri pada tahun 1967 dengan satu jurusan yaitu Jurusan Minangkabau. Ketua ASKI waktu itu adalah pak Boestanoel Arifin Adam. Dalam rapat pimpinan ASKI di Jakarta, dicanangkan akan dibuka jurusan Karawitan dan Pedalangan. Pak Boestanoel menyampaikan dalam rapat tersebut bahwa Jurusan Karawitan saja belum jelas perkembangannya konon lagi jurusan Pedalangan. Kemudian pak Boestanoel mengusulkan agar dibuka Jurusan Musik, yang sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an di idam-idamkan oleh orang Minangkabau. Maka pada tahun 1979 ASKI sudah terdiri dari jurusan Karawitan, Tari, dan
cxix
Musik. Ketua ASKI waktu itu dijabat oleh Pak Boestanoel Arifin Adam (menjabat 1979-1981). Singkatnya, sejak 1967-1981 kepemimpinan ASKI dipegang oleh pak Boestanoel Arifin Adam. Angkatan pertama Jurusan Musik pada waktu itu antara lain, yang teringat oleh pak Irsyad, adalah Gitrif Yunus dan Admawati. Keduanya menjadi dosen ISI Padangpanjang sampai saat ini. Pada tahun 1982 pernah terjadi bahwa jurusan musik akan diintegrasikan ke Jurusan Tari atau Karawitan. Ketua ASKI waktu itu adalah bapak Drs. Anas Amir. Saat itu timbul gejolak hingga unjuk rasa ke DPRD Padangpanjang. Ketua ASKI diganti dengan bapak Drs. Mardjani Martamin. Akhirnya rencana integrasi itu gagal dengan diadakannya sebuah studi kelayakan di masa kepemimpinan Drs. Mardjani Martamin. Dalam studi kelayakan tersebut terdapat 22 makalah, 20 di antaranya menyetujui agar Jurusan Musik tetap dipertahankan. Suasana perkuliahan kembali kondusif. Tahun 1983 masuklah ke ASKI nama-nama antara lain Yon Henri, Sastra Munafri, dkk. yang sekarang juga menjadi dosen di ISI Padangpanjang. Pak Irsyad dipercayai mengajar mata kuliah violin, solfegio, ansambel, dan lain-lain. Generasi penerus dari Boestanoel dan Irsyad Adam adalah Yaseril Adha, seorang dosen di jurusan Musik ISI Padangpanjang. Yaseril mengajar mata kuliah instrumen mayor violin. Saat ini sedang menempuh kuliah S3 di Universitas Indonesia. Penulis menyimpulkan bahwa musik Barat menyebar ke Indonesia melalui dua jenis musik yaitu musik rohani (nyanyian Gregorian) dan musik sekuler.
cxx
Menurut hemat penulis pembagian dari dua jenis musik tersebut sangat penting keberadaanya mengingat tidak semua daerah di Indonesia dapat di-Kristen-kan melalui Misi Jesuit tetapi di daerah-daerah non Kristen tersebutdapat tumbuh musik Barat, khususnya di daerah Minangkabau Sumatera Barat. Musik diatonis (Barat) masuk ke Minangkabau melalui jalur pendidikan formal yang diprakarsai oleh Belanda.
2.13.
Komposisi dan Aransemen Komposisi dan aransemen sama-sama merupakan karya musik. Bedannya,
komposisi berangkat dari sebuah struktur (belum ada) yang diadakan sedangkan aransemen berangkat dari sebuah struktur yang sudah ada. 2.13.1. Komposisi Kata komposisi merupakan kata kerja bahasa Jerman komponieren (Latin: componere, Italia: comporre, Inggris: to compose) pertama kali digunakan oleh pujangga Jerman, Johann Wolfgang Goethe (1749-1832) untuk menandai caracara menggubah (componier-en) pada abad-abad sebelumnya (abad XV-XVII); di mana suara atau lagu utama akan diikuti oleh susunan suara-suara atau lagu lainnya yang dikordinasikan, ditata, atau dirangkai di bawah (berdasarkan) lagu utama yang disebut cantus
82
. Suka Hardjana (2003) menegaskan, bahwa
komponieren adalah pekerjaan mengatur, menyusun, menata, merangkai berbagai
82
Cantus firmus = lagu, melodi utama; cantus figuralus = lagu, musik figurasi.
cxxi
suara atau nada-nada yang mengacu kepada lagu utama atau melodi utama 83 yang disebut cantus 84. Komposisi dalam pengertian tulisan atau teks musik pada dasarnya adalah catatan, dokumen tertulis seorang komponis dalam berkarya 85. Dokumen tersebut dapat berupa simbol-simbol , tanda-tanda, dan isyarat-isyarat musik yang disebut partitur atau score. Selain untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, catatan juga digunakan sebagai penampung semua kehendak, mengingat, keinginan, gejolak hati, pikiran, perasaan, angan-angan, dan fantasi. Para komponis di Barat menuliskan semua konsep, ide, angan-angan, dan gagasan musik ke dalam dokumen tertulis. Mereka menandai dunia kerja musik dengan kata “menulis komposisi” (writing composition) bukan “membuat komposisi” atau “mencipta komposisi”. Dua kata kerja terakhir
(membuat,
mencipta) tidak menyiratkan adanya sebuah proses dan cara kerjanya karena masih bisa dipertanyakan “membuat dan mencipta komposisi dengan cara bagaimana komposisi itu dibuat?” jika digunakan kata “menulis komposisi” maka makna yang dapat kita tangkap adalah mengerjakan komposisi musik dengan cara menulis. Tindakannya adalah “mengerjakan”, prosesnya adalah “menulis”, dan produknya adalah “tulisan” musik. Kata cipta pada penciptaan (mencipta, dicipta) lebih memberi tekanan pada hasil kualitatif nilai akhir karya musik. Kata menulis (menyusun komposisi) musik menunjuk pada proses kerja dari apa yang hendak dicapai.
83
Suka Hardjana, 2003. Corat Coret Musik Kontemporer. Hal. 79. Ibid. Hal. 79. 85 Ibid. Hal. 78. 84
cxxii
Kata “komposisi” mengafiliasikan bentuk. Bentuk menunjuk pada pengertian struktur. Dalam bentuk dan struktur inilah rekayasa seni yang bersifat material (bunyi, suara, nada, ritme, harmoni, dst.) dan non material (dinamik, sifat, watak, warna, rasa, dsb.) diakomodasikan. Membahas kata (term) komposisi sangat penting jika dikaitkan dengan hak kekayaan intelektual. Kata komposisi mengandung suatu pengertian di bawah kontrol kriteria dan dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Menurut Suka Hardjana (2003), banyak pemain musik dan seniman di luar negeri yang terpaksa berurusan dengan hukum karena pelanggaran kriteria dalam pengertian makna kata maupun nama. Komposer tidak menjadi pengarang lagu (song writer) atau penggubah lagu (arranger).
2.13.2. Aransemen Aransemen(arrangement) merupakan gubahan dari sebuah musik yang sudah ada. Mengaransemen adalah sebuah tindakan menghasilkan sebuah struktur musik baru dari sebuah musik yang sudah ada sebelumnya. Pono Banoe memberikan pengertian aransemen sebagai gubahan lagu untuk orkes atau kelompok paduan musik, baik vokal maupun instrumental 86 . Orang yang melakukan tindakan menggubah musik disebut arranger atau penggubah. Dalam The New Grove Dictionary of Music And Musician, istilah arrangement diartikan sebagai The reworking of a musical composition, usually for a different medium from that of the original. Jadi, aranging dapat dipahami
86
Pono Banoe, 2003. Kamus Musik.
cxxiii
sebagai tindakan menata kembali melodi atau lagu yang sudah ada sehingga terkesan sebagai sesuatu yang baru.