BAB II MUNCULNYA WTO SEBAGAI REZIM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Perluasan Kapitalisme Globalisasi merupakan kontinum dari ideology dan mode kapitalisme liberal. Di mana embrionya bersumber pada gagasan Adam Smith dalam karya monumentalnya The Wealth of Nations. Globalisasi kiranya menjadi kata yang popular untuk menjelaskan sebuah fenomena internasionalisasi sistem kapitalisme yang dewasa ini telah menjadi sitem dunia, di mana ia begitu luar biasa besarnya sampai ia menentukan dan memberi pengaruh pada semua sektor di dunia ini. Oleh karena itu padanan kata yang kiranya tepat untuk menyebut globalisasi adalah kapitalisme global. Yaitu kapitalisme yang telah menglobal melewati batas-batas nasional dan regional, yang mencakup segala hal khususnya dalam sistem ekonomi global. Imperalisme juga disebut sebagai padanan globalisasi, yakni sistem kapitalisme yang berkembang dalam tahapan-tahapan secara kualitatif melewati proses sejarah sehingga pada akhirnya melingkupi wilayah-wilayah antar perbatasan nasional dan berwatak international/ global. Lewat tulisan-tulisan John Hobson, Rosa Luxemburg, Rudolf Hilferding dan Vladimir Lenin, dikenalkanlah teori imperalisme pada awal abad ke-20. Di mana Imperealisme dikatakan endemic dari sebuah sistem dunia kapitalis, karena masyarakat kapitalis secara regular selalu menghadapi dilemma antar over-production (produksi berlebih)
19
modal dari kelas kapitalis, dengan under-consumption (konsumsi berkurang) dari barang-barang oleh kelas-kelas rendahan (yang tidak mampu membeli barang itu)1. Dengan kata lain Imperalisme menjadi awal perwujudan dari globalisasi. Globalisasi adalah imperealisme baru. Globalisasi dewasa ini telah menjadi realitas keseharian yang dialami oleh ummat manusia, negara, perusahaan, komunitas maupun individu di berbagai belahan dunia. Di mana Efisiensi (profit maxization) menjadi ruhnya, sedangkan revolusi industry sebagai motornya, tehnologi dan institutional finance internasional (IMF, WTO, World Bank) sebagai medianya. Sedangkan pelakunya adalah kaum borjuis, yakni Trans National Corporations. Tujuannya tidak lain adalah melanggengkan dominasi lewat mode hegemoni2. Sebagai sebuah system kapitalisme mendasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Sedangakan dalam ranah ekonomi kapitalisme menekankan pada peran capital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam proses produksi barang lainya. dalam perjalanannya kapitalise telah memberikan dampak buruk pada perekonomian dan kesenjangan social yang semakin menganga, terjadinya gap (jurang pemisah) antara si kaya dan si miskin. Ekpansi produksi, ekspansi pasar, dan ekspansi investasi menjadi modus dari kapitalisme global yang didesain lewat skema perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi. Free market yang menjadi prinsip kapitalisme mendorong 1 2
Bonnie Setiawan, Rantai Kapitalisme Global, ResistBook, Yogyakarta, 2012. Iwan Setiawan, Dampak Globalisasi Terhadap Pertanian Indonesia, Makalah Seminar, 2004.
20
pihak swasta, untuk dapat berperan lebih dan mendorong minimnya peranan pemerintah. Perkembangan kapitalisme global tidak dapat dipisahkan dengan prinsipprinsip ekonomi klasik, yang sampai detik ini terus dipertahankan kedalam domain-domain yang tidak
bisa terbayangkan akan mengalami proses
transformasi ideology pasar. Sejak berakhirnya perang dingin, kapitalisme sebagi sebuah system telah menampakkan eksistensinya. Keruntuhan sovyet sebagai pusat kekuatan sosialis komunis kala itu menandai kemunculan kekuatan kapitalisme global secara simbolik. Sejak saat itu beragam instrument mulai diciptakan oleh kapitalisme, guna mencari eksistensinya lewat ekspansi dan penimbunan keuntungan (profit). Mencermati perkembangan kapitalisme yang seolah tidak pernah surut, bahkan seolah menjadi jalan hidup system perekonomian global, mendorong lahirnya sebuah pertanyaan, dimanakah lahirnya sebuah arena transformasi bagi kapitalis yang mungkin terjadi dewasa ini? Lalu institusi apakah yang menjadi kaki tangan yang mengiringi kemajuan kapitaisme global?. Jawabannya adalah organisasi kawasan maupun organisasi perdagangan dunia, semacam ASEAN, APEC, WTO, IMF, World Bank yang menjadi arena domain dan sekaligus model baru bagi perkembangan kapitalisme global melalui prespetif ideology pasar kontemporer.
21
B. Jalan Menuju Liberalisme Perdagangan Liberalisme perdagangan adalah salah satu dari tiga paket besar liberalisme ekonomi
yang
bertujuan
menciptakan pasar
bebas
dunia.
Liberalisme
Perdagangan berakar dari filsafat Liberal, di mana gagasan dasar filsafat ini adalah kebebasan berdasarkan hukum. cara pandangan liberalisme memiliki perbedaan dengan merkantilisme. Sudut pandang liberal memusatkan perhatian pada sisi sifat manusia yang penuh damai dan kemauan bekerjasama, kompetitif secara konstruktif, dan dibimbing oleh nalar, bukan emosi3. Liberalisme sendiri mempunyai akar pada era pencerahan barat, namun dewasa ini sudah melingkupi berbagai pandangan politik yang cukup beragam. Secara umum, liberalisme kontemporer ialah berjuang membela hak-hak individual.
Pandangan ini bertujuan membentuk suatu masyarakat yang
karakternya meliliki kebebasan berfikir bagi individu dan pembatasan kekuasaan, khususnya terhadap pemerintah dan agama. Dalam konteks ekonomi, liberalisme perdagangan menunjukkan berkurangnya campur tangan pemerintah dan diserahkannya system perekonomian pada mekanisme pasar. Liberalisme yang kemudian bermetamoforsa kedalam bentuk barunya yakni neoliberalisme sudah menjadi prinsip yang tertanan kuat dalam tatakelola sistem perekonomian kita. Kokohnya prinsip liberalisme ini tentunya tidaklah bisa dilihat sebagai sebuah proses yang alami semata. Prinsip liberalisme dapat tertanam kokoh dalam tata kelola sistem perekonomian global melalui campur tangan
3
Mansor Fakih, Liberalisme, UGM, Yogyakarta,
22
kekuatan kepentinga-kepentingan para aktor yang kiranya turut melestarikan sistem ini, dengan tujuan meraup keuntungan maksimal. Artinya liberalisme sebagai konsep tidak bisa dipisahkan dengan peranan para aktor pendukungnya. Lahirnya Bretton Woods di New Hampshire pada 1944, merupakan salah satu bukti bagaimana peranan para actor dalam mengkonsolidasikan liberalisme sebagai sebuah sistem. Amerika dan Inggris selaku inisiator rancanagan perekonomian dunia pasca perang dunia kedua. Momentum inilah yang kemudian menandai titik awal ditanamkannya prinsip liberalisme sebagai landasan dari tata kelola perekonomian global. Bretton Woods yang merupakan suatu reaksi atas proteksionalisme negara pada tahun 1930-an4, menandai era baru liberalisme. Di mana dalam konferensi tersebut melahirkan sebuah kesepakatan untuk menjadikan kerjasama ekonomi internasional sebagai kunci bagi terciptanya perdamaian dunia yang berlandaskan pada suatau pasar dunia, di mana barang-barang dan modal dapat bergerak bebas 5. Di sinilah tercermin komitment yang kuat terhadap peranan entitas pasar yang menjadi inti dari liberalisme. Dialektika anatara entitas negara dan pasar kiranya belum dimenangkan secara utuh oleh pasar, pada fase bretton woods. Kesadaran akan kegagalan entitas pasar (market failures) dalam tata kelola perekonian dunia inilah yang kemudian melahirkan suatu kesepakatan untuk kemudian menciptakan tiga institusi
4
Richard Peet dalam Dodi Mantra, Hegemoni & Diskursus Neoliberalisme, Jakarta, MantraPress, 2011. 5 ibid
23
regulatoris yaitu, the International Monetery Fund (IMF), the International Bank fot Reconstruction and Development
(IBRD)
dan International
Trade
Organization (ITO)6. Ketiga institusi inilah yang kemudian berperan sebagai regulatoris untuk mengelola perekonomian dunia. Meskipun dalam bretton woods belum nampak betul prinsip liberalisme tertanam secara kuat, dengan masih dipertahankannya peranan negara dan prinsip regulasi, namun untuk pertama kalinya sistem liberalisme ditanamkan secara formal dalam dalam sebuah wadah. Keyakinan bahwa perdagangan yang bebas menghantarkan pada kesejahteraan, perdamaian dan mencegah perang kiranya masih dipegang erat sesuai dengan semangat pemikiran ekonom kalsik, Adam Smith. Lahirnya institusi perdagangan dunia dalam bretton woods menandai dimulainya kebijakan liberalisme perdagangan di level negara. Walaupun dalam proses perjalanannya institusi tersebut mengalami berbagai macam perombakan dan format baru- ITO, GATT dan terakhir WTO-, di mana sebelumnya pemerintahan lebih banyak menerapkan kebijakan perdagangan proteksionis lewat penerapan tariff yang tinggi sesuai startegi industry substitusi import, termasuk pemberian monopoli kepada bebrpa pelaku usaha. Dengan masuknya liberalisme, maka secaran perlahan mulai terjadi penyesuaian kebijakan, lewat pengurangan tariff, diberlakukannya deregulasi atas aturan-aturan perdagangan dan lain
6
ibid
24
sebagianya. Adapun untuk melacak deregulasi tersebut dapat dilihat sebagai berikut7: 1. Paket Kebijakan 16 Januari 1982: (a) Mengatur ekspor/ impor dan lalu lintas devisa untuk memperkuat daya saing ekspor Indonesia: (b) Mengeluarkan kebijakan Imbal Bali (Counter purchase). 2. Paket Kebijakan 6 Mei 1986: (a) Meningkatkan daya saing eksport Indonesia dan mengurangi hambatan yang menyebabkan kurangnya minat investor; (b) Kebijakan meliputi kemudahan tataniaga ekspor non-migas, fasilitas pengembalian bea masuk, fasilitas pembebasan bea masuk, dan pemberlakuan kawasan berikat. 3. Paket Kebijakan 25 Oktober 1986: Menurunkan biaya produksi dengan menurunkan bea masuk sejumlah komoditi, perlindungan produksi dalam negeri melelui sitem tarif, pemberian fasilitas swap yang baru, dan kebijakan penanaman modal. 4. Paket Kebijakan 15 Januari 1987: Meningkatkan kelancaran penyediaan barang keperluan produksi dan perlindungan industry dalam negeri secara lebih efisien dengan mengubah kebijakan non-tarif menjadi tariff untuk sejumlah komoditas tertentu. 5. Paket Kebijakan 24 Desember 1987: Dibukanya mobilisasi dana pada pasar uangan, untuk memperlancar perijinan di bidang produksi, jasa dan investasi pada umumnya, serta untuk memperlancar arus ekspor dan impor. 7
Siti Astiyah, dalam Bonie Setiawan, WTO dan perdagangan abad 21, Yogyakarta, ResisBook, 2013.
25
6. Paket Kebijakan 28 Mei 1990: Petetapan Pergantian proteksi melalui tat niaga impor menjadi proteksi mealui tarif bea masuk yang ditujukan untuk meningkatkan dan memperkuat daya saing produk industry nasional. 7. Paket Kebijakan 6 Jui 1992: Pemerintah melonggarkan tata niaga impor dan inti kebijakan sehingga setiap produsen bisa melakukan impor langsung
tanpa
memerlukan
lagi
rekomendasi
dari
Departemen
Perindustrian. 8. Paket Kebijakan 10 Juni 1993 dan Paket Kebijakan dan Debirokratisasi 23 Oktober 1993: Mencakup deregulasi di bidang otomotif, bidang ekspor/ impor, bidang penanaman modal dan perijinan usaha, dan bidang farmasi. 9. Paket Kebijakan Mei 1995 (sesuai pemberlakuan aturan WTO): Berisikan jadual penurunan tariff yang berlaku berdeda-beda dari tahun ke tahun tergantung tingkat tarif yang da sebelum 1995. Sebagai hasil paket ini maka tarif rata-rata Indonesia telah diturunkan dari 20% di tahun 1994 menjadi kurang dari 8% di tahun 2000.
C. Munculnya WTO Sebagai Rezim Perdagangan Global Sebelum membahas tentang kelahiran WTO kiranya penting untuk juga mencermati kronologi pembentukannya. Perang Dunia Kedua yang telah berlangsung kiranya membawa dampak dalam banyak hal, tak terkecuali dampak finansial ekonomi oleh Negara-negara. Termasuk Amerika dan Eropa. Kondisi ini memunculkan dorongan akan pentingnya kekuatan ekonomi sebagai upaya
26
membangun stabilitas ekonomi dalam sekala lebih luas. Adalah Amerika yang dalam kongres internasional melontarkan usulan didirikannya organisasi yang mempromosikan
perdagangan
bebas
lintas
Negara.
Melalui
rancangan
pembentukan ITO (International Trade Organization) pada persiapan di tahun 1943, Amerika berambisi untuk menciptakan suatu organisasi yang dapat membebaskan perdagangan berlandaskan pada kepentingan spesifik perusahaanperusahaan ekspor besar. Hal ini digerakkan oleh semangat yang berorientasi pada pasar dan upaya menciptakan perekonomian internasional yang terderegulasi. Namun, secara posisi Amerika sebagai kekuatan ekonomi besar belum dapat memperjuangakan dan menanamkan
kepentingan perusahaaan besar secara
spesifik dan taa kelola perekonomian internasional. Namun faktanya, ITO secara internasional yang dirancang sebagai suatu badan dalam Persyarikatan BangsaBangsa, yang memngatur perdagangan internasional. Kegagalan
Amerika
dalam
mengawal
dan
memperjuangakan
kepentingannya lebih dikarenakan pengambilan kebijakan ITO yang didasarkan pada prinsip demokratis. Hal inilah yang menjadikan Amerika sebagai Negara ekonomi besar tidak bisa menjalankan maneuver politik daganganya, menjadi pendominasi tunggal. Sehingga pilihan rasional dari Amerika adalah memilih unuk tidak meneruskan ITO karena kebuntuhan mekanisme yang ada, yang dikhawatirkan
membahayakan
kepentingan
dagang
Amerika.
Proposal
pembentukan ITO yang dirancangoleh Amerika Serikat pada Konferensi Havana, Cuba 1947-1948, diamandemen didalam PBB yang kemudian memicu penolakan dari Kongres Amerika Serikat. Kongres Amerika Serikat menganggap rancangan
27
pembentukan ITO tersebut bertentangan dengan prinsip Amerika Serikat di mana di dalamnya tidak merefleksikan prinsip perusahaan kompetitif, swasta bebas. Kegagalan Amerika dalam mengawal ITO tidak sampe disitu. Upaya yang terus dilakukan dalam mewujudkan wadah perdagangan yang sesuai dengan kepetingan Amerika terus diperjuangakn. General Agreement
on Tariffs and
Trade (GATT) yang disepakati pada tahun 1947 dan ditandatangani pada Konferensi Havana, 15 November 1947, akhirnya menjadi landasaan pengelolaan perdagangan internasioanal yang diterima oleh Amerika Serikat. Sifat GATT yang longgar menjadi landasan penerimaan Amerika Serikat terhadap ksepakatn ini. Gaganya pembentukan ITO, menjadikan GATT sebagai sebuah wadah alternatife untuk memperjuangan kepentingan dagang Amerika Serikat dan menjadi era baru tatakelola ekonomi pada tataran global pasca Perang Dunia II. Upaya liberalisasi perdagangan dijalankan dengan wujud minimnya campur tangan pemerintah dalam hal hambatan tariff, yang dijalankan melalui mekanisme kesepakatan yang bersifat longgar dalam setiap perundingan GATT.
Bagi
Amerika pola ini merupakan bentuk stategi bilateral menjadi multilateral yang cakupannya lebih luas, yang didasarakan pada prinsip non-diskriminasi dan pengurangan ambaan pergadangan. Tujuan awal pembentukan GATT pada 1947 adalah untuk mendorong perdagangan bebas dengan menghilangkan berbagai hambatan dalam perdagangan
28
baik dalam bentuk tariff maupun non-tariff8 Kesepakatan ini didorong oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat dan sekutunya secara khusus negara-negara Eropa Barat, untuk bangkit pasca perang dengan mempermudah alur perdagangan antar bangsa. Negara-negara ini telah jatuh dalam krisis ekonomi sebelum memasuki Perang Dunia II di awal 1930-an dan membutuhkan pasokan bahan baku dan sumber daya untuk bisa kembali membangun roda perekonomian mereka. World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia berdiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995. Organisasi ini yang merupakan satu-satunya badan internasional yang mengatur perdagangan antar negara adalah merupakan kelanjutan dari rezim GATT. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang No 7/1994. Perundingan GATT secara umum hanya mengatur perdagangan barang. Namun pada 1980an, perundingan telah berkembang tidak hanya mengenai perjanjian perdagangan barang (GATT) tetapi juga diluar itu termasuk Perjanjian tentang Perlindungan hak Kekayaan Intelektual (Trade Related Intellectual Property Rights/TRIPs). Berkembangnya kesepakatan pada akhirnya mendorong pembentukan WTO yang terbentuk pada 1995.
8
The Text of General Agreements on Tariffs and Trade. Geneva. 1986. http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_e.pdf2
29
Saat ini, perjanjian WTO telah mencakup juga perdagangan jasa (General Agreement on Trade and Services/GATS) dan investasi (Trade Related Investment Measures/TRIMs). Perjanjian WTO telah mewajibkan seluruh anggotanya memberlakukan pasar bebas, dengan membuka kran impor berbagai produk dan komoditas, termasuk membuka kesempatan bagi investasi dan perusahaan asing masuk ke suatu negara; tidak boleh melakukan tindakan proteksi (perlindungan), pelarangan memberikan subsidi; dan, menseragamkan aturan nasional dengan seluruh perjanjian WTO. Dengan begitu, WTO memiliki sistem penyelesaian sengketa yang kuat dan seluruh aturannya mengikat secara hukum. Pada konteks itulah kita dapat memahami mengapa WTO sejak awal efektif digunakan oleh perusahaan transnational (TNCs) dan negara-negara maju untuk melindungi dan melebarkan sayap bisnisnya. Baru pada November 2001, dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO yang berlangsung di Doha, Qatar, perundingan WTO diwarnai dengan perlawanan Negara berkembang dan terbelakang (LDCs). Mereka menolak agenda pembangunan Negara-negara maju. Putaran perundingan di Doha untuk menyepakati Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda-DDA) yang terdiri dari Perjanjian Pertanian, Perjanjian Jasa, Perjanjian TRIPS, Perjanjian Akses Pasar untuk produk non-pertanian (NAMA), Perjanjian Trade Facilitation (Fasilitasi perdagangan), dan Perjanjian-perjanjian yang mengatur tentang paket perberlakuan berbeda untuk Negara-negara berkembang dan terbelakang (LDCs). Hal inilah yang diantaranya: Trade Faciitation, LDCs, dan agriculture—yang belakangan disebut sebagai Paket Bali (Bali Package) dan
30
hendak disepakati dalam konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali, 3-6 Desember 2013. WTO terdiri dari 150 negara anggota dan sekitar 30 negara anggota lainnya sedang dalam proses negosiasi keanggotaan. Sekretariat WTO, berbasis di Jenewa, Swiss dan tidak memiliki kantor perwakilan di luar Jenewa. Keputusan diambil oleh seluruh anggota, yang umumnya dilakukan secara konsensus. Voting mayoritas juga dimungkinkan namun sampai saat ini belum pernah digunakan dalam WTO. Perjanjian-perjanjian dalam WTO telah diratifikasi oleh seluruh anggota WTO. Pengambilan keputusan tertinggi dalam WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference) yang bertemu setiap dua tahun sekali. Tingkat dibawahnya adalah Dewan Umum (General Council) yang bertemu beberapa kali setahun. Dibawah Dewan Umum terdapat Dewan negosiasi untuk Perdagangan Barang, Perdagangan Jasa dan Hak Kekayaan Intelektual (TRIPS). Terdapat juga sejumlah komite khusus, kelompok kerja dan gugus tugas yang berurusan dengan perjanjian individual serta sektor-sektor khusus seperti lingkungan, pembangunan, keanggotaan dan perjanjian perdagangan regional. Putaran-putaran perundingan Pada
tahun-tahun
awal,
Putaran
Perdagangan
GATT
mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
31
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur ―harmonisasi‖ – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai ―safeguards‖ (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada. Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan
32
langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia. Perjanjian-perjanjian dalam WTO Adapun perjanjian (agreement) dalam WTO mencakup tiga hal dasar; barang (goods), jasa (services), dan kepemilikan intelektual (intellectual property). Adapun uraian dari setiap perjanjian tersebut sebagai berikut; Untuk barang-barang (goods) (diatur dalam GATT) 1. Pertanian (Agriculture) 2. Aturan Ksehatan produk-produk pertanian – Sanitary and Phytosanitary (SPS) 3. Tekstil dan Pakaian (Textiles and Clothing) 4. Standard produk-produk - Tehnical Barriers to Trade (TBT) 5. Tindaan-tindakan investasi terkait perdagangan –Trade Related Investment Measures (TRIMS) 6. Tindakan-tindakan Anti-dumping 7. Metode-metode penilian bea (Customs valuation methods) 8. Inspeksi pra-pengapalan (Preshipment inspection) 9. Aturan asal-usul baran (Rules of origin) 10. Lisensi import (Import licencing) 11. Subsidi-subsidi da tindakan-tindakan mengatasinya (Subsidies and counter-measures) 12. Perlindungan (safeguards)
33
Untuk jasa –jasa (services) 1. Gerakan perpindahan manusia (Movement of natural persons) 2. Transport udara (Air transport) 3. Jasa-jasa keuangan (Financial services) 4. Perkapalan (Shipping) 5. Telekomunikasi (Telecommunications) Bidang-bidang yang dicakup dalam perjanjian TRIPS (Trade Related Intellectuals Property Rights) 1. Hak-Cipta (Copyriht and related rights) 2. Merek (Trademarks, including service marks) 3. Indikasi geografis (Geographical indications) 4. Disain industrial (Industrial designs) 5. Paten (Patents) 6. Disain layout (Layout-designs (topographies) 7. Sirkuit terpadu (Integrated circuits) 8. Informasi yang tidak tebuka (Undisclosed information) 9. Rahasia dagang (Trade secrets)
D. Instrument WTO Di Sektor Pertanian Liberalisme Perdagangan Komoditi Pangan dalam kerangka WTO tertuang dalam perjanjian Agreement On Agriculture (AoA). AoA sendiri dihasilkan dari serangkaian proses perundingan dalam Putaran Uruguay dalam General
34
Angreement on Tariffs and Trade (GATT). Kemudian Pakta ini diberlakukan bersamaa dengan berdirinya WTO pada 1 Januari 1995. Dengan menempatakan perjanjian pertanian masuk dalam WTO, maka secara otomatis WTO mempunyai peran utama sebagai penggendali dan penentu sector pertanian Negara-negara anggota. Hal ini bisa terjadi mengingat WTO merupakan sebuah perjanjian negosiasi multilateral yang mempunyai sifat legally binding (mengikat secara hukum)9. Dalam AoA setidaknya ada tiga pilar utama yang diwajibkan kepada Negara-negara anggota sebagai konsekwensi logis dari keanggotaan WTO. Pertama adalah pengurangan dukungan domestik (Domestic Support). Dukungan domestik adalah berbagai bentuk dukungan atau subsidi terhadapa petani produsen. Dalam AoA dirancang agar dukungan domestic ini dikurangi bahkan bila perlu dihilangkan.
Kalaupun dukungan domestic itu ada, pengaruhnya
diperkecil sehingga tidak sampai mengakibatkan distorsi perdagangan atau produksi untuk masing-masing produk pertanian. Adapun tujuannya tidak lain adalah mendisiplinkan dan menurangi dukungan kepada petani. Dalam AoA, dukungan domestic lazim disebut ―Subsidi‖. Dalam skema WTO ini terbagi dalam tiga kategori yang disebut ―kotak-kotak‖ (boxes). Tiga kotak itu terdiri dari Kotak Hijau (Green Box), Kotak Kuning (Amber Box), dan Kotak Biru (Blue Box)10. Jenis Green Box, adalah jenis dukungan yang tidak terpengaruh, atau kecil pengaruhnya, terhadap distorsi perdagangan sehingga
9
Bonnie Setiawan, WTO dan Perdagangan Abad 21, Yogyakarta, Resist Book, 2013. Ferry J. Juliantono, Pertanian Inonesia Di Bawah Rezim WTO, Jakarta, Banana, 2007.
10
35
dukungan jenis ini tidak perlu dikurangi. Yang termasuk kedalam green box dan dikecualikan untuk dikurangi adalah pelayanan umum, stok penyangga pangan, bantuan pangan dalam negeri untuk masyarakat yang memerlukan, pembayaran klangsung terhadap produsen, asuransi pendapatan,
dan program jarring
pengaman social, bantuan darurat, program penyesuian structural, program bantuan lingkungan hidup dan bantuan daerah. Yang termasuk dalam kategori Amber Box dalah, semua dukungan yang digolongkan dapat mendistorsi perdagangan sehingga harus dikurangi sesuai dengan komitmen. Bentuk subsidi harga input dan output termasuk dalam kriteria amber box. Subsidi yang masuk dalam kategori amber box, harus dinilai setiap tahun dan harus dijumlahkan menjadi Total Aggregate Measure of Support (AMS). AMS adalah bantuan tahunan yang dapat dinilai dalam bentuk uang, diberikan pada produsen penghasil produk ertentu, atau produsen pertanian umumnya. Blue Box, yang termasuk dalam klasifikasi ini dalah bantuan langsung sebagai program untuk membatasi produksi suatu komunitas. Bantuan langsung ke produsen dianaggap tidak mempengarui produksi atau disebut juga decouple payment. Kedua, dalam AoA adalah Perluasan Akses Pasar. Akses pasar adalah suatu hal yang mendasar dalam perdagangan internasional. Ketiga, Subsidi Ekspor. Adalah bantuan pemerintah suatau Negara yang diberikan kepada eksportir atau produsen yang melaksanakan ekspor tertentu.
36
Dalam ketentuan AoA 1995, Negara-negara maju diharuskan mengurangi subsidi ekspor paling tidak sebesar 35 persen (berdasarkan nilai) atau paling tidak 21 persen (berdasarkan jumlah) selama lima tahun 2000. Target numerik pengurangan subsidi dan proteksi AOA
Tarif - Pengurangan rata-rata seluruh produk pertanian - Pengurangan minimum perproduk Dukungan domestic - Pengurangan untuk sectoral (AMS) Subsidi ekspor - Nilai yang disubsidi (pembiyaan) - Kuantitas yang disubsidi
Negara Maju 6 Tahun (1995-2000)
Negara Berkembang 10 Tahun (1995-2004)
-36%
-24%
-15%
-10%
-20%
-13%
-36%
-24%
-21%
-14%
Selain ketiga ketentuan di atas, kiranya masih banyak lagi ketentuan di dalam AoA yang cukup rumit dan bersifat tricky (memperdayakan), sehingga sebagai implikasinya negara maju lebih banyak diuntungkan, sementara Negara Dunia Ketiga terperdayai dan menjadi pihak yang dirugkan. perjanjian lain adalah11; TRIPs (HAKI terkait perdagangan), di mana dalam perjanjian ini setiap negara diharuskan untuk memberikan paten atas produk dan proses atas temuantemuan di bidang bioteknologi, termasuk dalam sola pangan dan pertanian. 11
opcit
37
SPS (Sanitasi dan Fitosanitasi), perjanjian memngenai aturan karantina barang-barang import pertanian untuk perlindungan terhadap kesehatan manusia, tanaman, tumbuhan dan hewan, yang harus sesuai dengan standar-standar kesehatan yang dapat dibenarkan secara ilmiah. TBT (Tehnical Barriers to Trade), perjanjian mengenai standarisasi, baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun yang bersifat voluntary, yang mencakup karateristik produk; metode proses dan produk; terminology dan symbol; serta persyaratan kemasan (packaging) dan label (labelling) suatu produk.
38