31
BAB II MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM AKAD PERJANJIAN SYARI’AH OLEH PARA PIHAK DI KOTA BANDA ACEH
A. Perekonomian dan Perbankan Syariah Ekonomi syariah merupakan cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam yang
berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan
(Welfare State). Berkembangnya perekonomian Islam merupakan dampak krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil.37 Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah.38 Dengan demikian, sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir 37 38
Wikipedia, Ekonomi_Syariah, http://id.wikipedia.org/wiki/. Diakses Maret 2012 Ibid.
31
Universitas Sumatera Utara
32
semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh ditransaksikan.
Ekonomi
dalam
Islam
harus
mampu
memberikan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Perekonomi syariah atau sistem ekonomi menurut hukum Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Qur’an, Hadis Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas. Ekonomi dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al ’iqtisad, yang secara bahasa berarti: kesederhanaan, dan kehematan. Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perseorangan (pribadi), kelompok (keluarga, suku bangsa, organisasai) dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber yang terbatas.39 Kata iqtisad (ekonomi) dalam Al-Qur’an hanya disebutkan tiga kali, yaitu dalam bentuk isim fa’il: muqtasid dan muqtasidah. Kata muqtasidah terdapat dalam QS. Al-Ma’idah (5) : 66, Allah SWT berfirman: ”Dan sekiranya mereka sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka
39
Elias Anton dan Edward E. Elias, Dalam Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2005, hlm. 23
Universitas Sumatera Utara
33
dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. Sedangkan kata muqtasid terdapat dalam QS. Luqman (31) : 32 dan QS. Fatir (35) : 32. Dalam QS. Fatir (35) : 32, Allah SWT, berfirman yang arinya : Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. Kata muqtasid dalam ayat tersebut ini mengandung makna sifat yang terdapat diantara sifat terpuji dan sifat tercela. Sedangkan menurut Ibnu Katsir, muqtasid adalah golongan yang berada di antara al-dalim inafsihi dan al-sabiq al-akhirat. Dan golongan ini, lanjut Ibnu Katsir, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, nantinya akan masuk surga dengan rahmat Allah SWT.40 Ali Fikri, mendefinisikan ekonomi Islam adalah kumpulan dari dasardasar umum ekonomi yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah serta dari tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah (lingkungan) dan setiap zaman. Pada definisi tersebut terdapat dua hal pokok yang menjadi landasan hukum sistem ekonomi Islam yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, yang mana hukumhukumyang diambil dari kedua landasan pokok 40
Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, Cetakan Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 28-29
Universitas Sumatera Utara
34
tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapan pun dan di mana saja), akan tetapi pada praktiknya untuk hal-hal dan situasi serta kondisi tertentu bisa saja berlaku luwes atau murunah dan ada pula yang bisa mengalami perubahan.41 Umer Chapra yang dikutip Amdiar Amin secara mendalam juga menjelaskan bahwa : Ekonomi Islam sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejateraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumbersumber daya langka sesuai dengan al-’iqtisad al-syariah atau tujuan ditetapkannya syariah, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat. Ekonomi dalam pandangannya harus mengaitkan antara persoalan ekonomi dengan persoalan sosial kemanusiaan yang menjadi tujuan syariat Islam. Jadi tidak semata-mata pemenuhan kebutuhan material sebagaimana yang dikemukakan para ekonom kapitalis.42 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para pemikir ekonomi Islam melihat persoalan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi, dan distribusi berupa pengelolaan sumber daya yang ada untuk kepentingan yang bernilai ekonomis. Akan tetapi, lebih dari itu mereka melihat persolan ekonomi sangat terkait dengan persoalan moral, ketidakadilan, ketauhidan dan sebagainya.
41 Ali Fikri, Dalam Mustafa Kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 112 42 M. Umer Chapra, The Future of Economic: An Islamic Perspective, diterjemahkan oleh Amdiar Amin dkk, “Landscape Baru Perekonomian Masa Depan”, SEBI, Jakarta, 2001, hlm. 131.
Universitas Sumatera Utara
35
Sehingga para pakar menempatkan individu (manusia) sebagai objek kajian ekonomi dengan konsep mengkaji nilai-nilai Islam sebagai dasar pijakannya. Hal inilah yang membedakannya dengan konsep ekonomi barat yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya. Nilai-nilai Islam tidak hanya berkaitan dengan proses ekonomi tapi juga berkaitan dengan tujuan dari kegiatan ekonomi. Islam menempatkan bahwa tujuan ekonomi tidak hanya kesejahteraan duniawi saja, tetapi juga untuk kepentingan yang lebih utama yaitu kesejahteraan ukhrawi. Dalam menjelaskan apa saja yang menjadi sistem ekonomi Islam tentuanya tidak terlepas dari adanya prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam penerapannya prinsip ekonomi Islam juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan para pemikir ekonomi Islam. Khurshid Ahmad, mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada : Prinsip tauhid, rub’biyyah, khilafah, dan tazkiyah.43 Mahmud Muhammad Babali, menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam Islam, yaitu: al-ukhuwwah (persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), al-nasihah (memberi nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan al-taqwa (bersikap takwa).44 Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam Choudhury, dalam bukunya, Constribution to Islamic Ekonomic Theory menjelaskan bahwa ekonomi Islam didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: (1) the principle of tawheed and
43 44
Kurshid Ahmad, Dalam Muslimin H. Kara, Op. Cit. hlm. 37 Ibid. , hlm 38.
Universitas Sumatera Utara
36
brotherhood (prinsip tauhid dan persaudaraan), (2) the principle of work and productivity (prinsip kerja dan produktifitas), dan (3) the principle of distributional equity (prinsip pemerataan dalam distribusi).45 Berdasarkan pembagian di atas, pada dasarnya bahwa prinsip-prinsip dalam ekonomi Islam, sebagai berikut:46 a.
Prinsip Tauhid Tauhid dalam ajaran Islam merupakan suatu yang sangat fundamental dan
bahkan misi utama para Rasul Allah kepada umat manusia adalah dalam rangka penyampaian (tabliq) ajaran tauhid, yaitu menghimbau manusia untuk mengakui kedaulatan tuhan serta berserah diri kepada-Nya, sekaligus sebagai tujuan utama kenabian. b.
Prinsip Keseimbangan Kegiatan ekonomi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip keseimbangan.
Keseimbangan yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan kebutuhan individu dan kebutuhan kemasyarakatan (umum). c.
Prinsip Khilafah Manusia adalah khalifah (wakil) tuhan di muka bumi yang harus menjalankan
aturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan pemberi ”mandat” kekhalifahan, Allah SWT. 45 46
Ibid. Ibid., hlm. 38-43
Universitas Sumatera Utara
37
d.
Prinsip Keadilan. Keadilan adalah salah satu prinsip yang penting dalam mekanisme
perekonomian Islam. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada ayatayat Al-Qur’an atau Sunnah Rasul, tetapi
juga berdasarkan pada pertimbangan
hukum alam, dimana alam diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam ekonomi dapat diterapkan dalam penentuan harga, kualitas produk, perlakuan terhadap para pekerja, dan dampak yang timbul dari berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan. Pesatnya perkembangan ekonomi Islam yang diikuti dengan perkembangan lembaga perbankan Islam ini terlihat dari banyaknya Bank Islam memiliki keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang
paling utama adalah
yang melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai alternative pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya
lebih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Islam
menghadapi permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya. Islam sebagai ajaran yang universal dan integral, telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik di bidang sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan maupun bidang ekonomi dan keuangan. Seiring dengan berkembangnya nilai-nilai Islam di tengah masyarakat setelah runtuhnya ajaran komunisme yang
Universitas Sumatera Utara
38
berpusat di Sovyet tahun 1990-an, sehingga Samuel Paul Hantington menyatakan bahwa setelah komunis runtuh ancaman bagi negara-negara barat adalah peradaban Islam.47 Tujuan utama Syari’at diturunkan adalah untuk kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kemafsadatan (kerusakan), Syari’at menetapkan lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu : agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan, sehingga Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamiin sebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya; “Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat begi seru sekalian alam”.48 Berdasarkan uraian di atas, maka untuk memahami dan mendeskripsikan permasalahan dalam penelitian ini, maka akan didasarkan pada teori aksi (action theory) yang dicetuskan oleh Max Weber. Teori aksi sebagaimana kedua teori lainnya (teori interaksionisme simbolik (simbolik interaksionism) dan fenomenologi (phenomenology)).49 Ketiga teori ini mendasarkan pada suatu ide dasar, yaitu : 1. Manusia adalah merupakan aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosial; 2. Realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan fakta sosial. Artinya tindakan manusia tersebut tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam konsep fakta sosial; 3. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial.50 47
Yusuf Al-Qardawi, Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, Era Intermedia, Solo, 2001 hlm 330-335. 48 Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm 35. 49 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penerjemah: Alimandan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1992, hlm. 49. 50 Ibid, hlm 50
Universitas Sumatera Utara
39
Sebagai, Max Weber pencetus teori aksi yang dikutip Robert W Hefner, Geger Tengger mengatakan bahwa Konsep tindakan individual yang bermakna pada pusat teorinya tentang masyarakat. Konsep tersebut menekankan bahwa realitas sosial tidaklah berwujud secara obyektif. Kehidupan sosial, secara rumit dibentuk oleh kultur dan makna, karena para pelaku menggunakan pengetahuan mereka, untuk menyesuaikan diri dan mengubah dunia, di mana mereka menjadi bagiannya.51 Walaupun manusia tidak mempunyai kebebasan total, karena adanya pembatasan dari berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi dan norma, serta situasi penting lainnya, tetapi aktor mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Kemampuan inilah yang oleh Talcott Parsons disebut sebagai voluntarism (kesukarelaan), yaitu kemampuan individu melakukan tindakan, dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya.52 Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi di artikan sebagai laba. Secara definitif profit sharing di artikan distrubusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.53 Pada mekanisme lembaga keuangan syariah pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk produk penghimpunan dan penyertaan modal, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian atau bentuk bisnis korporasi (kerjasama). Keuntungan
51 Robert W Hefner, Geger Tengger Perubahan Sosial Dan Perkelahian Politik, LKIS bekerjasama dengan The Asia Foundation, Yogyakarta, 1999, hlm. xiv. 52 George Ritzer, Op.Cit. hlm. 57 53 Muhammad, Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 22
Universitas Sumatera Utara
40
yang dibagi hasilkan harus di bagi secara proporsional antara shahibul maal dengan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya. Dalam sistem ekonomi Islam, tingkat bunga yang dibayarkan bank kepada nasabah (deposan) diganti dengan persentase atau porsi bagi hasil, dan tingkat bunga yang diterima oleh bank (dari debitur) akan diganti dengan persentase bagi hasil. Dua bentuk rasio keuntungan di jadikan instrumen untuk memobilisasi tabungan dan disalurkan pada aktivitas aktivitas bisnis produktif. Walaupun para ahli ekonomi muslim menekankan bahwa ada kekuatan built–in dalam sistem ekonomi Islam dalam menjamin stabilitas. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa dalam mekanisme bagi hasil tidak akan ada faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Nejatullah Siddiqi melakukan analisis terhadap perilaku bagi hasil terhadap kondisi stabilitas ekonomi, bahwa: ”the introduction of ratios of profit sharing to replace rate of interest will not destabilize the economy and that the change in the entrepreneural profit will not get communicated back all along the line”.54 Pernyataan ini menetapkan bahwa sistem ekonomi berdasarkan bagi hasil akan menjamin alokasi sumber ekonomi yang lebih baik dan terjadinya distribusi pendapatan yang lebih sesuai. Analisis terhadap persoalan peran bagi hasil terhadap ppencapaian stabilitas ekonomi harus dengan menggunakan pendekatan analisis keseimbangan
(equilibrium).
Mekanisme
analisis
keseimbangan
menyajikan
bagaimana mekanisme penentuan supply dan deman atas tabungan.55
54 55
Ibid, hlm 27 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
41
Dasar hukum pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia terbagi dalam dua bagian yaitu dasar hukum normatif dan dasar hukum formal. Keduanya secara simultan memberikan kekuatan hukum berlakunya perbankan syariah di Indonesia. Dasar hukum normatif berasal dari hukum Islam yabg bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Ketentuan ini akan dikeluarkan dalam bentuk Fatwa Dewan Syariah Nasional. Kekuatan mengikat fatwa itu bersifat normatif, artinya fatwa itu hanya mengikat, pertama bagi yang mengeluarkan atau yang mengfatwakannya, dan kedua mengikat bagi yang menerimanya atau yang menundukan diri atas fatwa itu56. Karena sifat dan kekuatannya seperti itu, maka berlakunya belum secara mutlak bagi seluruh umat Islam. Berbeda halnya jika ketentuan itu langsung dari Al Qur’an dan Sunnah, secara otomatis langsung mengikat bagi umat islam di Indonesia. Hukum Islam yang terbangun dari dari sumber yang pokok dan terbentuk dari proses ijtihad merupakan norma atau kaidah hukum yang hanya memiliki kekuatan mengikat jika diakui, diterima, dan di laksanakan oleh umat Islam sesuai dengan tingkat kesadaran dan keimanannya. Sedangkan dasar hukum formal merupakan ketentuan yang telah melalui proses positivisasi atau formalisasi oleh Negara melalui lembaga Legislatif dan Bank Indonesia sebagai lembaga yang memiliki otoriter terhadap Perbankan Indonesia. Dasar hukum peraturan perundang undangan nasional 1. Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
56
H.M. Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 134
Universitas Sumatera Utara
42
2. Undang-Undang Dasar 1945 3. Undang undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 4. Undang-Undang Nomor 21Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal 14 oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dan untuk BPRS yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah serta berbagai peraturan pelaksanaan dan petunjuk teknis lainnya. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa
ummat Islam Indonesia, dan
belahan dunia lainnya, menginginkan perekonomian yang berbasis pada nilai-nilai dan Prinsip Syari’ah untuk dapat diterapkan dalam segala aspek kehidupan dan dalam transaksi antar ummat yang didasarkan pada aturan-aturan Syari’ah. Keinginan ini didasari oleh kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat (208) yang artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, masukklah kamu kedalam Islam secara kaffah (utuh/menyeluruh).57 Ayat ini dengan tegas mengingatkan kepada ummat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah bukan secara parsial, Islam tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata, dan dimarginalkan dari dunia politik, ekonomi, perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, transaksi ekspor-impor dan lain-lain, apabila hal ini terjadi, maka ummat Islam telah menjauhkan Islam dari kehidupannya.
57
Surah Al-Baqarah Ayat 85 dan 208, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Karya Toha Putra, Semarang, 1995.
Universitas Sumatera Utara
43
Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.
Lembaga tersebut
dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua faktor perekonomian. Hukum positif yang mengatur lembaga perbankan, terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan lembaga perbankan tersebut. Hal tersebut telah dapat dirasakan dalam kehidupan kegiatan perbankan di Indonesia, peraturan-peraturan yang ditujukan untuk lembaga perbankan begitu gencar dikeluarkan oleh pemerintah. Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga keuangan semakin menyatu dengan ekonomi regional, nasional dan ekonomi internasional yang perkembagannya bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Perbankan dalam melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari masyarakat sebagai pemilik dana, menyalurkan dana kepada masyarakat sebagai pengguna dana dan memberikan jasa. Bank berasal dari kata Italia " banca" yang artinya "banku" Banku inilah yang dipergunakan oleh bankir Italia untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para nasabah, istilah banku secara resmi dan popular menjadi Bank.58 Rumusan Bank secara yuridis seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia 58
H.Malayu SP. Hasibuan. Dasar-dasar Perbankkan. Bumi Aksara, 2001, hlm.1
Universitas Sumatera Utara
44
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa "Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak". Pengertian sebagaimana diatur Undang-Undang tersebut di atas menegaskan adanya beberapa hal : a. Bank adalah suatu badan usaha, bukan perorangan b. Kegiatan bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyakat. c. Tujuan bank adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, jadi bukan semata-mata mencari keuntungan Sedangkan menurut "Kamus Perbankan", Bank adalah Badan Usaha di bidang keuangan yang menarik uang dan menyalurkannya ke dalam masyarakat terutama dengan memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.59 Namun demikian untuk lebih mempertegas tentang hal-hal yang menyangkut pengertian bank dikutip pula beberapa
pendapat para ahli untuk memberikan
gambaran tentang apa yang dimaksud perbankan tersebut : 1.
Pierson (ahli ekonomi dari Belanda) Memberikan suatu definisi "Bank is a company wiet accept credit, but didn’t
give credit’ yang artinya bank adalah badan usaha yang menerima kredit, tetapi
59
S.Kertopati Dkk, Kamus Perbankkan, Lembaga Pendidikan Perbankkan Indonesia, Jakarta, 1980, hlm.54
Universitas Sumatera Utara
45
tidak memberi kredit”60 Teori Pierson ini menyatakan bahwa bank dalam operasionalnya hanya bersifat pasif saja,yaitu hanya menerima titipan uang saja. 2.
G.M. Verrijn Stuart Pengertian bank menurut G.M. Verrijn Stuart yang dikutip Pratama Rahardja
adalah “badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alatalat pembayarannya sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain. atau dengan jalan mengeluarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral."61 Dengan demikian bank adalah badan yang menerima kredit (berupa giro,deposito dan tabungan), memberikan kredit (baik berjangka pendek, menengah maupun panjang) serta memberikan jasa-jasa bank lainnya berupa kiriman uang transfer, wesel, letter of credit, bank garansi, dan sebagainya. Keuntungan dari bank semacam ini adalah dari hasil selisih bunga dan provisi/ komisi atas jasa yang diberikan pihak bank. Jadi bank dalam hal ini telah melakukan operasi pasif dan aktif, yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat yang kelebihan (Surplus Spending Unit / SSU) dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana ( Defisiit Spending Unit / DSU ) 3.
Somary Somary adalah seorang bankir yang memberikan definisi yang juga Pratama Rahardja "Bank sebagai sebuah badan yang aktif memberikan kredit kepada
60 61
H.Malayu SP Hasibuan, Op Cit. hlm.2 Pratama Rahardja, Uang dan Perbankkan, Rineka Cipta.Jakarta, 1990, hlm. 64
Universitas Sumatera Utara
46
nasabah, baik dalam bentuk kredit berjangka pendek, berjangka menengah dan panjang“.62 Dana yang diperlukan dalam pemberian kredit tersebut berasal dari modal yang disisihkan dari anggaran belanja negara untuk bank pemerintah dan modal saham untuk bank swasta. Keuntungan bank semacam ini diperoleh dari selisih bunga dari kredit yang diberikan dengan bunga kredit yang diterima (kredit likuiditas pinjaman bank, obligasi dan sertifikat bank). Dari uraian definisi tersebut di atas nampak bahwa bank merupakan suatu badan atau lembaga pemberi atau penyalur kredit kepada pihak yang membutuhkan dengan dana yang berasal dari bank itu sendiri maupun dana masyarakat dengan perantara bank, sehingga dengan demikian betapa pentingnya peran bank sebagai lembaga intermediasi sekaligus berperan
dalam mendorong pertumbuhan
perekonomian suatu bangsa, hal ini dikarenakan bank adalah : a. Pengumpul dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. b. Tempat menabung yang efektif dan produktif bagi masyarakat c. Pelaksana dan memperlancar lalu lintas pembayaran dengan aman praktis dan ekonomis d. Menjamin penyelesaian perdagangan dengan menerbitkan L/C. e. Penjamin penyelesaian proyek dengan menerbitkan bank garansi
62
Ibid., hlm 67
Universitas Sumatera Utara
47
Memasuki ekonomi global muncul suatu kajian issue yang membutuhkan perhatian, seperti yang dinyatakan secara gamblang oleh Naisbitt dalam Global Paradox yaitu " trend-trend dunia secara luar biasa menuju ke arah kebebasan politik dan pemerintahan sendiri pada satu pihak dan pembentukan aliansi ekonomi pada pihak lain".63 Dari kajian ini nampak bahwa salah satu titik sentral dari issue yang muncul adalah kepentingan ekonomi dan dimana kepentingan ekonomi secara luas pada hakekatnya dapat menentukan berbagai kepentingan yang lain, termasuk didalamnya adalah kesiapan dunia perbankan menyongsong globalisasi ekonomi tersebut Pesatnya perkembangan ekonomi Islam yang diikuti dengan perkembangan lembaga perbankan Islam ini terlihat dari banyaknya Bank Islam memiliki keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang
paling utama adalah
yang melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim. Namun demikian, sebagai lembaga yang keberadaannya lebih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Islam menghadapi permasalahan-permasalahan, baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya. Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.
Lembaga tersebut
63
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi” Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
48
dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua faktor perekonomian. Hukum positif yang mengatur lembaga perbankan, terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan lembaga perbankan tersebut. Hal tersebut telah dapat dirasakan dalam kehidupan kegiatan perbankan di Indonesia, peraturan-peraturan yang ditujukan untuk lembaga perbankan begitu gencar dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai bentuk terapi untuk memulihkan kembali ekonomi nasional adalah dengan dikeluarkan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan, yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 1998 dan dicatat dalam Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 1998. Perubahan-perubahan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dominan berkaitan dengan dua aspek, yaitu : aspek semakin kuatnya kewenangan Bank Indonesia dan aspek akomodasinya sistem perbankan Islam dalam sistem perbankan nasional.64 Jadi saat ini tidak hanya mengenal dual banking system, tetapi juga lebih mempertegas bahwa keberadaan bank dengan prinsip syariah sejajar dengan bank konvesional dengan sistem bunga.
64
Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia, Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 197.
Universitas Sumatera Utara
49
Bank syariah secara harfiah dapat diartikan sebagai bank Islam atau bank sesuai syariah atau bank yang operasional sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk lebih jelas tentang pengertian bank syariah dijelaskan oleh Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, yaitu “Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yaitu mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Alquran dan Hadis”.65 Bank syariah menurut Heri Sudarsono adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.66 Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah menurut Pasal 1 angka 13 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara
lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah waiqtina).
65
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, Manajemen Perbankan; Teori dan Aplikasi, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm. 593. 66 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia – FE UII, Yogyakarta, 2003, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
50
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pengertian bank syariah itu tidak jauh berbeda dengan pengertian bank pada umumnya sesuai dengan peraturan kebijakan perbankan yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, namun di antara keduanya memiliki perbedaan yang terletak pada prinsip operasional yang digunakan. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, sedangkan bank konvensional berdasarkan prinsip bunga. Dengan kata lain bank syariah dalam hubungannya dengan nasabah adalah sebagai mitra investor dan pedagang atau pengusaha, sedangkan pada bank konvensional sebagai kreditur dan debitur. Ide dasar sistem perbankan Islam sebenarnya dapat dikemukakan dengan sederhana. Operasi institusi keuangan Islam terutama berdasarkan pada prinsip PLS (porfit-and-loss-sharing-Bagi-untung-dan-rugi).
Prinsip
bagi
hasil
ini
dalam
keuangan Islam sangat dianjurkan dan merupakan solusi yang pantas dan relevan untuk mengatasi masalah alokasi dana yang terbatas, baik yang berupa dana pinjaman atau tabungan dengan maksud supaya pengelolaan dan pembiayaan bisnis secara efektif dapat tercapai. Bank Islam (syariah pen.) tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank Islam (syariah pen.) dan para deposan di satu pihak, dan antara bank para
Universitas Sumatera Utara
51
nasabah investasi - sebagai pengelola sumber daya para deposan dalam berbagai usaha produktif - di pihak lain.67 Bank syariah dengan sistem bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) memiliki konsep yang sangat tepat di tengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Konsep kebersamaan dalam menghadapi risiko dan memperoleh keuntungan, serta adanya keadilan dalam berusaha menjadi suatu potensi yang sangat strategis bagi perkembangan bank syariah di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar atau mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam (Muslim), tantangan ini sekaligus menjadi prospek yang cukup cerah untuk pengembangan bank syariah di masyarakat. Di samping itu, bank syariah dengan sistem bagi basil (profit and loss sharing) lebih mengutamakan stabilitas di atas rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan sistem bunga mempunyai kelemahan utama yaitu memiliki sifat inflatoir dan cenderung diskriminatif.68 Diskriminatif yang dimaksudkan disini adalah adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat (rakyat kecil atau ekonomi lemah), dimana pemilik modal yang mempunyai dana besar cenderung akan memperoleh keuntungan yang berlipat dengan bunga tabungan yang ada dan tidak mau tahu atas kerugian yang dialami oleh nasabah yang penting uang tabungan dengan bunganya dapat kembali, sementara masyarakat biasa yang menjadi nasabah (peminjam uang) di bank tetap harus 67
Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, Prospek, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 9-10 68 M. Sood at.al. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah Dalam Struktur PT. Bank Berkaitan Dengan UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Produk Fatwa Dewan Syariah Nasional, Laporan Penelitian, Kerja Sama Antara Bank Indonesia Dengan Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2005, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
52
membayar pokok pinjaman ditambah bunga, walaupun usaha mereka mengalami kerugian akibat dari keadaan yang memaksa (overmacht).69 Bank syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang berkelebihan dana dengan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Bank syariah atau bank Islam, berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi (intermediary institution), yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut dalam bentuk pembiayaan.70 Perbankan syariah juga merespon permintaan nasabah dalam rangka memajukan perusahaan investasi atau bisnis pengusaha, selama aktivitas perusahaan tersebut tidak dilarang oleh Islam. Pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan mitra bisnisnya antara lain dengan menggunakan prinsip mudharabah, musyarakah/syirkah dan murabahah yang bertujuan untuk kemajuan, membantu dan mengembangkan pelayanan produk-produknya berdasarkan prinsipprinsip Islam. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan pembiayaan dengan mitra bisnisnya menggunakan prinsip bagi hasil (profit sharing).71 Menurut Muhammad ada beberapa ciri utama bank syariah diantaranya: a. Beban biaya. Besarnya beban biaya tidak kaku dan dapat dilakukan tawarmenawar dalam batasan-batasan yang wajar. Beban biaya hanya dikenakan
69
Ibid. Dawam M. Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, (LSAF), Jakarta, 1999, hlm. 410. 71 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 18 70
Universitas Sumatera Utara
53
sampai batas waktu yang telah disepakati bersama. Dalam suatu kontrak baru untuk menyelesaikannya. b. Tidak menggunakan persentase. Pembebanan kewajiban membayar dalam semua kontrak bank syariah selalu dihindarkan penggunaan persentase, karena akan mempunyai potensi untuk melipatgandakan. c. Menciptakan rasa kebersamaan. Bank syariah menciptakan suasana kebersamaan antara pemilik modal dengan pengguna dana. Keduanya berusaha untuk menghadapi resiko secara adil, dan rasa kebersamaan ini mampu membuat seorang pengguna dana merasa tenang sehingga dapat mengerjakan proyeknya dengan baik. d. Tidak ada keuntungan yang pasti. Pada dasarnya yang dilarang dalam kegiatan muamalah adalah mencantumkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan pada waktu pengikatan kontrak pembiayaan. Sedangkan yang diperkenankan dalam sistem muamalah adalah kontrak yang dilakukan yang hakekatnya merupakan sistem yang didasarkan pada penyertaan dengan sistem bagi hasil. e. Jual beli uang yang sama dilarang. Pada dasarnya kegiatan transaksi yang dilarang dalam operasionalisasi bank syariah adalah seolah-olah melakukan jual beli atau sewa-menyewa uang dari bentuk mata uang yang sama dengan memperoleh keuntungan darinya. f. Jaminan kebendaan terhadap utang. Pada bank konvensional bahwa jaminan kebendaan terhadap utang dari peminjam merupakan hal yang sangat menentukan dalam persetujuan pemberian pinjaman. Sebaliknya, dalam bank syariah pemberian pembiayaan dalam bentuk talangan dana untuk pembelian barang/aktiva/barang modal tersebut, maka pada dasarnya tidak mengutamakan jaminan kebendaan dari pengguna dana. Sebab barang yang ditalangi pembeliannya oleh bank masih menjadi milik bank sepenuhnya selama utang peminjam belum lunas.72 Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produkproduk yang diberikan bank syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu ada pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram. Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama 72
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Empat, Jakarta 2002, hlm. 99.
Salemba
Universitas Sumatera Utara
54
dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.73 Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional pada sistem yang dianut. Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional karena sistem keuangan dan perbankan syariah adalah subsistem dari suatu sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Prinsip utama yang dianut oleh bank syariah antara lain larangan bunga dalam berbagai transaksi, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah, dan menumbuhkembangkan zakat. Dalam menjalankan eksistensinya bank syariah memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional dalam hal komisaris dan direksi, namun unsur utama yang membedakannya adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.74 Dewan Pengawas Syariah berada pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan
73
M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Tazkia Cendekia, Jakarta, 2001, hlm 29. 74 Gemala Dewi dkk Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. hlm.103.
Universitas Sumatera Utara
55
Pengawas Syariah dan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional. Dewan Syariah Nasional merupakan badan otonom Majelis Ulama Indonesia yang secara eks-officio diketuai oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia.75 Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produkproduk yang diberikan Bank Syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu ada pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram. B. Pengertian Sengketa dan Sengketa Perbankan Syariah Sengketa adalah kata lain dari konflik. Ada ahli yang menyamakan pengertian antara sengketa dengan konflik adapula yang membedakannya. Bagi yang menyamakannya sengketa atau konflik diartikan dengan suatu interaksi yang bersifat antagonistis (berlawanan, berseberangan, bertentangan), atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki/merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Bagi yang membedakannya, maka yang dimaksud dengan konflik adalah kedaan dimana para pihak menyadari/mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas, sedangkan
75
Heri Sudarsono, Op.Cit., hlm.34.
Universitas Sumatera Utara
56
sengketa adalah dimana konplik tersebut dinyatakan dimuka umum atau melibatkan pihak ketiga.76 Setiap kontrak (perjanjian) yang dalam ekonomi syari'ah dikenal dengan istilah akad yang dibuat para pihak harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau i'tikad baik, namun dalam kenyataannya hal tersebut seringkali dilanggar, sehingga pada akhirnya memunculkan sengketa di antara para pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut. Pada dasarnya setiap sengketa yang muncul termasuk sengketa ekonomi terdapat tiga aspek, yakni: 1. Aspek yuridis, yakni adanya perbedaan antara das sein dan das sollen, atau perbedaan antara kenyataan yang terjadi dengan norma yang seharusnya dijalankan. Sehingga sessuatu yang terjadi itu sebenarnya merupakan hal yang secara normatif seharusnya tidak boleh terjadi atau tidak boleh dilakukan. 2. Aspek sosiologis, yakni adanya fakta yang membuat suatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lawan yang membuat/ melakukan fakta/kejadian itu, dan tidak mau secara suka rela mengganti kerugian atau menyelesaikan dengan damai dan masing-masing pihak tidak mau mengalah atau mengalah salah satunya. 3. Aspek psikologis, yakni bahwa pada hakikatnya sengketa itu terjadi antara sesama manusia dalam kapasitas apapun. Rasa emosional manusia inilah yang memunculkan adanya sengketa.77 Oleh karena setiap sengketa mempunyai 3 (tiga aspek, maka setiap sengketa memiliki 3 (tiga) sifat yang melekat padanya, yang melambangkan unsur-unsur tersebut, yaitu:
76
Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam penanggulangan Konflik Sosial, Artikel dalam Syari'ah (jurnal Hukum dan Pemikiran, Nomor 1 tahun 2, Januari-Juni 2002) Banjarmasin, 2002, hlm. 8-9. 77 A. Mukti Arto, Op.Cit., hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
57
1. Sifat formal, yakni sifat sengketa yang melekat pada nilai atau norma hukum yang mengaturnya, mungkin karena nilai norma hukumnya kurang jelas, terdapat beberapa aturan yang berbeda beda atau saling berlawanan, adanya keragu raguan atau ketidakpastian hukum, atau belum adanya aturan dan lain sebagainya. 2. Sifat substansial, yakni sifat sengketa yang melekat pada objek sengketa atau benda yang disengketakan, mungkin bendanya berbeda atau berlainan dan sebagainya. 3. Sifat emosional, yakni sifat sengketa yang melekat pada manusianya, mungkin karena perasaan (yang meliputi etika dan estitika), pemikirannya (anggapan, penilaian, pandangan, penguraian, analisis, cara berpikir dan keyakinannya)keinginan atau kepentingan yang berbeda atau berlawanan.78 Dengan demikian, maka potensi konflik atau sengketa kepentingan antara lembaga keuangan dan pihak pengguna dana dapat pula disebabkan
adanya
perbedaan pesepsi atau interpretasi mengenai kewajiban dan hak yang harus mereka penuhi. Timbulnya perbedaan tersebut antara lain karena hal-hal berikut: 1. Lembaga keuangan ingin mencapai tujuan memproleh keuntungan tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan pengguna dana dan jangka waktu penggunaan dana. Sedangkan pihak pengguna dana ingin mencapai tujuan memperoleh keuntungan tanpa pengawasan atau kontrol dari pihak lembaga keuangan penyedia dana. 2. Aturan hukum yang berlaku atau perjanjian yang menjadi dasar hubungan hukum kedua pihak tidak jelas, kurang lengkap, belum ada aturan pelaksana, atau tidak ada pengaturan sama sekali. Dengan demikian kedua belah pihak berfikir dan bertindak menurut kehendak dan cara mereka sendiri, tidak ada kesamaan persepsi. 3. Terjadi keadaan darurat (force majeur) yang tidak dapat diatasi oleh siapa saja, termasuk kedua belah pihak. Lembaga keuangan mengklaim pengguna dana yang bertanggung jawab, sedangkan pengguna dana menolak tanggung jawab karena dia merasa tidak bersalah.79 Kemudian kalau dilihat dari kegiatan ekonomi syari'ah yang diawali adanya perjanjian atau akad, maka potensi terjadinya konflik atau sengketapun juga tidak 78
Ibid. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya, bandung, 2000., hlm. 6. 79
Universitas Sumatera Utara
58
terlepas dari hal tersebut. Meskipun saat pembuatan transaksi bisnis/akad pada kegiatan-kegiatan ekonomi syari'ah telah diupayakan secara terencana dengan baik berdasarkan sistem analisa dan kehati-hatian yang seksama, bukan merupakan jaminan mutlak untuk tidak terjadi konflik dan sengketa di kemudian hari, Bagaimanapun jelinya penyusunan rumusan perjanjian, konflik dan sengketa tidak mungkin dapat dihindarkan sepenuhnya. Terjadinya sengketa dalam aktvitas bisnis pada dasarnya merupakan resiko logis dari adanya suatu hubungan bisnis itu sendiri, sehingga perlu adanya antisipasi para pihak terhadap kemungkinan terjadinya di kemudian hari. Kemungkinan munculnya sengketa adalah disebabkan oleh wanprestasi (menyalahi perjanjian), perbuatan melawan hukum dan resiko usaha (tanggung rugi).80 Sengketa di bidang ekonomi syari'ah yang dapat berupa : a. Sengketa di bidang ekonomi syari'ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari'ah dengan nasabahnya. b. Sengketa di bidang ekonomi syari'ah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari'ah. c. Sengketa di bidang ekonomi syari'ah antara orang orang yang beragama Islam, yang di dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip prinsip syari'ah.81 Sebagai contoh misalnya pada kegiatan bank syari'ah, maka dengan melihat fungsi bank syari'ah sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana di masyarakat, 80
Yusna Zaida : Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Sengketa Ekonomi Syari'ah ALBANJARI Vol. 5, No. 9, Januari – Juni 2007, hlm 26 81 Abdul manan, Op.Cit., hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
59
maka berpotensi untuk munculnya konflik/sengketa antara bank dengan nasabah dalam bank syari'ah terkait dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yakni sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam praktik perbankan, sengketa yang muncul dan sering terjadi adalah pada hubungan hukum antara bank dengan nasabah penerima dana khususnya dalam kegiatan pembiayaan. Potensi konflik itu sendiri dalam realita sosial di antaranyan terjadi karena konflik data yang disebabkan lack of information, karena konflik kepentingan (interest conflict) dan konflik hubungan (relationship conflict).82
Hal
ini dibuktikan dengan melihat kasus kasus yang diselesaikan pada Badan arbitrase syari'ah nasional (Basyarnas), adalah mengenai akad atau kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai pengelola dana, dan nasabah sebagai pengguna dana, atau antara bank sebagai investor dan sekaligus juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah sebagai pengguna dana di pihak lain.83 Demikian juga dengan adanya sengketa yang muncul dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah (kredit macet) yang disebabkan oleh kesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Adapun penyebab kesulitan keuangan perusahaan nasabah dapat dibagi kepada:
82 Syaifuddin, Wewenang Peradilan Agama Terhadap Sengketa Perbankan Syari'ah, makalah di sampaikan pada stadium general semester genap pada Fakultas Syari'ah IAIN Antasari Banjarmasin, 2004, hlm. 3. 83 Rifyal Ka'bah, Praktek Ekonomi Syari'ah di Indonesia, (Makalah disampaikan pada Pelatihan Ekonomin Syari'ah ) Banjarmasin, 2006, hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
60
a. Faktor internal, yakni faktor yang ada di dalam perusahaan sendiri, dan faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor-faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihanpada aktipa tetap, permodalan yang tidak cukup dan lain-lain. b. Faktor ekternal., yakni faktor yang berada di luar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan kondisi peekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lainlain.84 Guna menentukan langkah yang perlu diambil dalam menghadapi kredit macet terlebih dahulu perlu diteliti sebab-sebab terjadinya kemacetan. Bila kemacetan tersebut karena faktor eksternal seperti bencana alam, bank
tidak perlu lagi
melakukan analisis lebih lanjut. Hal yang perlu dilakukan bank adalah membantu nasabah untuk segera mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi. Akan tetapi bila penyebab kredit macet tersebut adalah faktor internal misalnya karena sebab manejerial, maka bank perlu mengoreksi lagi sistem pengawasan. Kalau ternyata hal tersebut sudah maksimal dilakukan, maka perlu diteliti lagi sebab-sebab lain secara lebih mendalam. Kalau ternyata hal tersebut disengaja oleh pihak manajemen perusahaan (nasabah), ini berarti pengusaha telah melakukan hal-hal yang tidak jujur. Misalnya dengan sengaja pengusaha menggunakan dana untuk keperluan kegiatan usaha lain di luar objek pembiayaan yang disepakati. Bila kemacetan tersebut akibat kelalaian, pelanggaran atau kecurangan nasabah, maka bank dapat meminta agar nasabah menyelesaikan segera. Termasuk 84
Ibid
Universitas Sumatera Utara
61
menyerahkan barang yang diagunkan kepada bank. Namun bila cara cara di luar pengadilan tidak dapat dicapai, maka bank dapat menempuh saluran penyelesaian dengan jalur hukum melalui lembaga peradilan (Peradilan Agama). Demikian juga pada kegiatan bisnis pasar modal, potensi terjadinya konflik atau sengketa dapat terjadi antara: a. Emiten dan penjamin pelaksana emisi atas pelaksanaan perjanjian penjaminan emisi; b. Penjamin pelaksana emisi dan agen penjualan atau; c. Emiten dan badan administrasi efek; d. Perusahaan sekuritas sebagai pialang dengan nasabahnya 85 (investor/customer). Kegiatan pasar modal konvensional, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada kegiatan pasar modal berbasis syari'ah seperti pada obligasi syari'ah. Dalam hal ini Peradilan Agama juga merupakan salah satu pilihan pranata penyelesaian sengketa tersebut. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa sengketa ekonomi syari'ah ialah sengketa dalam bidang hukum ekonomi syari'ah. Ekonomi syari'ah diartikan hukum ekonomi Indonesia yang bersumber dari syari'ah. Hukum ekonomi Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan putusan putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi. Potensi
munculnya
sengketa
pada
bidang
ekonomi
syari'ah
dan
penyelesaiannya di peradilan agama terkait dengan kontrak (perjanjian) yang dalam
85
Hikmahamto Juwana, Urgensi Pengaturan Arbitrase Dalam UU Pasar Modal, (Artikel dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, 2001), hlm. 64.
Universitas Sumatera Utara
62
ekonomi syari'ah dikenal dengan istilah akad. Dengan demikian maka potensi konflik atau sengketa kepentingan antara lembaga keuangan dan pihak pengguna dana dapat pula disebabkan adanya perbedaan persepsi atau interpretasi mengenai kewajiban dan hak yang harus mereka penuhi. Terjadinya sengketa dalam aktvitas bisnis pada dasarnya merupakan resiko logis dari adanya suatu hubungan bisnis itu sendiri, sehingga perlu adanya antisipasi para pihak terhadap kemungkinan terjadinya di kemudian hari. Dalam hal ini Peradilan Agama juga merupakan salah pilihan pranata penyelesaian sengketa tersebut. Pemilihan lembaga peradilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis (ekonomi) syari'ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materiel yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan agama yang merupakan representasi lembaga peradilan Islam, dan juga selaras dengan aparat hukumnya yang beragama Islam serta menguasai hukum Islam. C. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah dalam Hukum Islam Dalam hukum perikatan Islam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan mengadopsi berdasarkan tradisi Islam klasik, maupun berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dalam hukum Islam tersebut dapat dilihat pada uraian berikut. 1.
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Berdasarkan Tradisi Islam Klasik
Universitas Sumatera Utara
63
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah apabila ditelaah berdasarkan tradisi Islam klasik terdiri dari : a.
Al Sulh (Perdamaian) Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah
“sulh”
berarti
suatu
jenis
akad
atau
perjanjian
untuk
mengakhiri
perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai.86 Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada bebarapa hal sebagai berikut :
86
AW Munawir, Yogyakarta,1984, hlm.843
Kamus
Al
Munawir,
Pondok
Pesantren
Al
Munawir,
Universitas Sumatera Utara
64
a. Hal yang menyangkut subyek Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memiliki seperti pertama : wali atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya, kedua : pengampu atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya, ketiga : nazir (pengawas) wakaf atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya. b. Hal yang menyangkut obyek Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni pertama : berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat, kedua : dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap obyek yang sama. c. Persoalan yang boleh didamaikan (disulh-kan) Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan. d. Pelaksana perdamaian Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar sidang Pengadilan atau melalui sidang Pengadilan. Diluar sidang Pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah yang kemudian disebut dengan arbitrase, atau dalam syari‟at Islam disebut dengan hakam. Pelaksanaan perjanjian damai melalui sidang Pengadilan dilangsungkan pada saat perkara sedang diproses dalam sidang Pengadilan. Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selama diproses bahkan sudah diputus oleh Pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan agar para pihak yang bersengketa supaya berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah mereka sepakati.87
87
Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, Diskusi Panel Dalam Rangka Dies Natalis Universitas YARSI ke 40 pada hari Rabu, tanggal 7 Februari 2007 di Kampus YARSI Jakarta, hlm 5-6.
Universitas Sumatera Utara
65
Perjanjian perdamaian (sulh) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktek di beberapa negara Islam, terutama dalam hal perbankkan syariah disebut dengan “tafawud” dan “taufiq” (perundingan dan penyesuaian). Kedua hal yang terakhir ini biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan antara intern Bank, khususnya Bank dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah.88 b.
Tahkim (Arbitrase) Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah
“tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.89 Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”. Menurut Abu al Ainain Fatah Muhammad pengertian tahkim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua (2) orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa.90 Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian
88
Asyur Abdul Jawad Abdul Hamid, An Nidham Lil Bunuk al Islami, Al Ma’had al Alamy lil Fikr al Islamy, Cairo,Mesir,1996, hlm.230, dalam Abdul Manan, Ibid, hlm 6 89 Liwis Ma’luf, Al Munjid al Lughoh wa al-A’lam, Daar al Masyriq, Bairut,tt,hal.146, Ibid., hlm 6 90 Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al Fiqh al Islami, Darr Al Fikr, Kairo, Mesir,1976, hal.84, dalam Abdul Manan, Ibid., hlm 7
Universitas Sumatera Utara
66
“tahkim” yang mengutip pendapat kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah : Memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum. Sedangkan pengertian “tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafiiyah yaitu memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.91 Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat itu meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir, setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Lembaga perwasitan ini terus berlanjut dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra Islam. Tradisi arbitrase ini lebih berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka. Ada juga yang berkembang di Madinah, tetapi lebih banyak dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pertanian, sebab daerah Madinah dikenal dengan daerah agraris. Nabi Muhammad SAW. sendiri sering mejadi mediator dalam berbagai sengketa yang terjadi baik di Mekkah maupun di Madinah. Ketika daerah sudah berkembang lebih luas, mediator ditunjuk dari kalangan shahabat dan dalam menjalan tugasnya tetap berpedoman pada al Qur’an, al Hadis dan ijtihad menurut 91
Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,Dalam Arbitrase Islam di Indonesia,BAMUI & BMI, Jakarta,1994,hal.48-49
Universitas Sumatera Utara
67
kemampuannya. Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut “huququl Ibad” (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi atas diri seseorang yang telah merusak harta orang lain, hak seorang pemegang gadai dalam pemeliharaannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa menyewa dan hutang piutang. Oleh karena tujuan dari Arbitrase itu hanya menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang dapat diselesaikan dengan jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya menerima untuk didamaikan yaitu sengketa yang menyangkut dengan harta benda dan yang sama sifatnya dengan itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Menurut Wahbah Az Zuhaili, para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanbaliah berpendapat bahwa : Tahkim berlaku dalam masalah harta benda, qisas, hudud, nikah, li’an baik yang menyangkut hak Allah dan hak manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad al Qadhi Abu Ya’la (salah seorang mazhab ini) bahwa tahkim dapat dilakukan dalam segala hal, kecuali dalam bidang nikah, li’an, qazdaf, dan qisas. Sebaliknya ahli hukum dikalangan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tahkim itu dibenarkan dalam segala hal kecuali dalam bidang hudud dan qisas, Sedangkan dalam bidang ijtihad hanya dibenarkan dalam bidang muamalah, nikah dan talak saja. Ahli hukum Islam dikalangan mazhab Malikiyah mengatakan bahwa tahkim dibenarkan dalam syari’at Islam hanya dalam bidang harta benda saja tetapi tidak dibenarkan dalam bidang hudud, qisas dan li’an, karena masalah ini merupakan urusan Peradilan.92
92
Wahbah Az Zuhaili,Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Juz IV (2005) Dar El Fikr, Damaskus Syria, hlm.752, Abdul Manan, Ibid., hlm.7
Universitas Sumatera Utara
68
Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang sering dipakai oleh kalangan ahli hukum Islam. Untuk menyelesaikan perkara yang timbul dalam kehidupan masyarakat, termasuk juga dalam bidang ekonomi syari’ah. Pendapat ini adalah sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Farhum bahwa wilayah tahkim itu hanya yang berhubungan dengan harta benda saja, tidak termasuk dalam bidang hudud dan qisas.93 Di Indonesia sebagaimana tersebut dalam Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang ADR dijelaskan bahwa sengketasengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketasengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ruang lingkup ekonomi yang mencakup perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual dan sejenisnya termasuk yang bisa dilaksanakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanannya. Para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah sepakat bahwa segala apa yang menjadi keputusan hakam (arbitrase) langsung mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa, tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian ahli hukum di kalangan mazhab Syafi’i. Alasan mereka ini didasarkan kepada hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa apabila mereka sudah sepakat mengangkat hakam untuk menyelesaikan persengketaan yang diperselisihkannya, kemudian
93
Muhammad Ibnu Farhum,Tabsirah al Hukkam fi Ushul al Qhadhiyah wa Manahij al Ahkam, Darr al Maktabah al Ilmiah,Jilid I,Bairut,Libanon,1031,tt. hlm.19
Universitas Sumatera Utara
69
putusan hakam itu tidak mereka patuhi, maka bagi orang yang tidak mematuhinya akan mendapat siksa dari Allah SWT. Di samping itu, barang siapa yang diperbolehkan oleh syari’at untuk memutus suatu perkara, maka putusannya adalah sah, oleh karena itu putusannya mengikat, sama halnya dengan hakim di Pengadilan yang telah diberi wewenang oleh penguasa untuk mengadili suatu perkara. c.
Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman) 1) Al Hisbah, yaitu lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Menurut Al Mawardi Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju kepada tiga hal yakni : Pertama : dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, Kedua : dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadaluarsa dan Ketiga : dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang mampu membayarnya.94 Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan al Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian kebaikan dan melarang orang dari kemunkaran. Menyuruh kepada kebaikan terbagi kepada tiga bagian, yakni pertama : menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah misalnya menyuruh orang untuk melaksanakan sholat jum’at 94
Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon,1960,hal.134
Universitas Sumatera Utara
70
jika ditempat tersebut sudah cukup orang untuk melaksanakannya dan menghukum mereka jika terjadi ketidak beresan pada penyelenggaraan sholat jum’at tersebut, kedua : terkait dengan hak-hak manusia, misalnya penanganan hak yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Munasib berhak menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya, ketiga : terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia, misalnya menyuruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim dengan orang laik-laki yang sekufu, atau mewajibkan wanita-wanita yang dicerai untuk menjalankan iddahnya. Para Muhtasib berhak menjatuhkan ta’zir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau menjalankan iddahnya. 2) Al Madzalim, yaitu badan yang dibentuk untuk membela orang-orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar negara atau. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.95 d.
Al Qadha (Peradilan) Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Adapun kewenangan yang
95
Al Mawardi, Op.cit, hlm.244
Universitas Sumatera Utara
71
dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan, termasuk didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut pidana).96 Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di Pengadilan disebut dengan qadhi (hakim). Dalam catatan sejarah Islam, seorang yang pernah menjadi qadhi (hakim) yang cukup lama adalah al Qadhi Syureih. Beliau memangku jabatan hakim selama dua periode sejarah, yakni pada masa penghujung pemerintah Khulafaurrasyidin (masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib) dan masa awal dari pemerintahan Bani Umayyah. Di samping tugas-tugas menyelesaikan perkara, para hakim pada pemerintahan Bani Umayyah juga diberi tugas tambahan yang bukan berupa penyelesaian perkara, misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baitul mall dan mengangkat pengawas anak yatim. Melihat ketiga wilayah al Qadha (kekuasaan kehakiman) sebagaimana tersebut di atas, bila dipadankan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia, nampaknya dua dari tiga kekuasaan kehakiman terdapat kesamaan dengan Peradilan yang ada di Indonesia. Dari segi substansi dan kewenangannya, wilayah al mudzalim bisa dipadankan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, wilayah al al Qadha bisa dipadankan dengan lembaga Peradilan Umum dan 96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
72
Peradilan Agama. Sedangkan wilayatul al Hisbah secara substansi tugasnya mirip dengan polisi atau Kamtibmas, Satpol PP. 2.
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Berdasarkan Tradisi Hukum Positif Indonesia Apabila ditelaah berdasarkan tradisi hukum positif Indonesia penyelesaian
sengketa perbankan syariah terdiri dari : a.
Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) Konsep sulh (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab
fiqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan conditio sine quo non dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Segenap manusia menginginkan seluruh aspek kehidupannya nyaman, tidak ada yang mengganggu, tidak ingin dimusuhi, ingin damai dan tenteram dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian institusi perdamaian adalah bagian dari kehidupan manusia. Pemikiran kebutuhan akan lembaga sulh (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Untuk kontek Indonesia, perdamaian telah didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan adanya pengaturan secara positif mengenai perdamaian, maka segala hal yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
73
dengan perdamaian baik yang masih dalam bentuk upaya, proses tehnis pelaksanaan hingga pelaksanaan putusan dengan sendirinya telah sepenuhnya didukung oleh negara. UU No. 30 Tahun 1999 dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riel dan lebih spesifik dalam upaya negara mengaplisikan dan mensosialisasikan institusi perdamaian dalam sengketa bisnis. Dalam undang-undang ini pula dikemukakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar Pengadilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian para ahli. Suyud Margono mengatakan bahwa dipilihnya Alternative Dispute Resolution (ADR) oleh masyarakat atas pertimbangan : Pertama : kurang percaya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan sistem arbitrase dibanding dengan Pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan Arbitrase, Kedua : kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase khususnya BANI mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke Pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.97 Dengan kata lain, tidak sedikit kasus-kasus sengketa yang diterima oleh Pengadilan merupakan kasus-kasus yang sudah diputus oleh arbitrase BANI. Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan cara ADR merupakan alternatif yang menguntungkan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
97
Suyud Margono,ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia,Jakarta,2000,hlm. 82 14
Universitas Sumatera Utara
74
Alternatif Penyelesaian Perkara mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yakni melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Undang-Undang ini tidak seluruhnya memberikan pengertian atau batasanbatasan secara rinci dan jelas. Disini akan dijelaskan tentang pengertian singkat tentang bentuk-bentuk ADR sebagai berikut : a. Konsultasi adalah “aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasehat hukumnya” atau juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata ADR dalam prakteknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya menyelesaikan suatu masalah. b. Negosiasi adalah proses yang dilakukan oleh dua pihak dengan permintaan (kepentingan) yang saling berbeda dengan membuat suatu persetujuan secara kompromis dan memberikan kelonggaran. c. Konsiliasi adalah penciptaan penyesuaian pendapat dan penyelesaian suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses legitasi. d. Pendapat atau Penilaian Ahli sebagaimana ditentukan dalam Pasal 52 UU No. 30 Tahun 1999 bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.98 b.
Arbitrase (Tahkim) Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan, yaitu langsung ke lembaga Pengadilan atau melalui lembaga di luar pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak
98
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
75
ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law). Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah UU No. 30 Tahun 1999. Adapun ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase mengikuti ketentuan syarat sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam UU No. 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga mengarahkan para pihak menyelesaikan sengketa yang ada melalui di luar persidangan. Hal ini dianggap karena penyelesaian di luar persidangan dapat diambil keputusan yang tidak merugikan ke dua belah pihak dan juga prosesnya tidak terlalu lama. c.
Proses Litigasi Pengadilan Sengketa yang tidak dapat diselesaikan baik melalui sulh (perdamaian) maupun secara tahkim (arbitrase) akan diselesaikan melalui lembaga Pengadilan. Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Pasal 10 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan
Universitas Sumatera Utara
76
bahwa : "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi". Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari.ah. Dalam penjelasan Undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari.ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari.ah yang meliputi bank syari.ah, asuransi syari.ah, reasuransi syari.ah, reksadana syari.ah, obligasi syari.ah dan surat-surat berharga berjangka menengah syari.ah, sekuritas syari.ah, pembiayaan syari.ah, pergadaian syari.ah, dan dana pensiun, lembaga keuangan syari.ah, dan lembaga keuangan mikro syari.ah yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syari.ah melalui mekanisme litigasi Pengadilan terdapat beberapa kendala, antara lain belum tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun Kompilasi sebagai pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak para aparat hukum yang belum mengerti tentang ekonomi
Universitas Sumatera Utara
77
syari.ah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syari.ah. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syari’ah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana. Hal ini akan dicapai keselarasan antara hukum materiel yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dengan lembaga peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, dan juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam. Sementara itu hal-hal yang berkaitan dengan kendala-kendala yang dihadapi oleh Pengadilan Agama dapat dikemukakan argumentasi bahwa pelimpahan wewenang mengadili perkara ekonomi syari.ah ke Pengadilan Agama pada dasarnya tidak akan berbenturan dengan asas personalitas ke Islaman yang melekat pada Pengadilan Agama. Hal ini sudah dijustifikasi melalui kerelaan para pihak untuk tunduk pada aturan syari.at Islam dengan menuangkannya dalam klausula kontrak yang disepakatinya. Selain kekuatiran munculnya kesan eksklusif dengan melimpahkan wewenang mengadili perkara ekonomi syariah ke Pengadilan Agama sebenarnya berlebihan, karena dengan diakuinya lembaga ekonomi syari.ah dalan undang-undang tersebut berarti Negara sudah mengakui eksistensinya untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari.ah kepada siapa saja, termasuk juga kepada yang bukan beragama Islam. Kemudian setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, para pelaku bisnis syariah telah mendapat kepastian hukum untuk
Universitas Sumatera Utara
78
menjalankan bisnis yang murni syariah termasuk dalam hal ini perbankan syariah dalam hal penyelesaian sengketa Pasal 55 ayat : (1)Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama. (2)Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi Akad. (3)Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.99 Dalam penjelasan UU No. 21 Tahun 2008 juga dijelaskan bahwa “Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak”.100 Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a.
Musyawarah;
b.
Mediasi perbankan;
c.
Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d.
Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
99
Pasal 55 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah Penjelasan Umum Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah
100
Universitas Sumatera Utara
79
Adanya ketentuan tersebut tentunya menimbulkan dualisme lembaga dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah khususnya penyelesaian melalui lembaga litigasi, di mana pada Pasal 55 ayat (1) disebukan menjaid kewenangan pengadilan agama namun di dalam penjelasan Pasal 55 ayat dua terbuka kemungkinan dilakukan melalui pengadilan negeri selain penyelesaian diluar pengadilan lainnya. D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dalam Akad Perjanjian Syari’ah Oleh Para Pihak Di Kota Banda Aceh Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa perekonomian syari'ah yang berkembang dewasa ini mencakup bidang ekonomi yang tidak hanya membahas tentang aspek perilaku manusia yang berhubungan cara mendapatkan uang dan membelanjakannya, tetapi juga membahas segala aspek ekonomi yang membawa kepada kesejahteraan ummat.
Oleh karena itu, konsep kesejahteraan yang
dikembangkan melalui ekonomi syari'ah juga harus sejalan dengan prinsip universal Islam yang tetap dipandang sahih dan aktual semanjang masa. Islam mengatur kegiatan kegiatan memperoleh uang dan mengeluarkannya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di
dunia
perbankan
juga
berkembang
pesat
sehubungan
dengan
pemberdayaan perbankan nasional secara optimal diperlukan pemberdayaan seluruh potensi perbankan Indonesia termasuk perbankan yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam perkembangannya perbankan syari’ah dan perkembangan lembaga keuangan syari’ah lainnya memerlukan pengaturan kegiatan operasional yang komprehensif, jelas dan mengandung kepastian hukum.
Universitas Sumatera Utara
80
Dalam pelaksanaan kontrak atau akad pada perbankan syariah ataupun lembaga keuangan syariah lainnya, seperti pada perbankan umum maupun lembaga keuangan konvensional lainnya sering terjadi perselisihan pendapat baik dalam penafsiran maupun dalam implementasi isi perjanjian. Adanya kesalahan penafsiran maupun dalam pelaksanaan perjanjian ini tentunya berakibat terjadinya sengketa memerlukan adanya upaya penyelesaian. Persengketaan tersebut harus segera diantisipasi dengan cermat untuk menemukan solusi bagi pihak bank syariah maupun lembaga keuangan sebagai kreditur maupun nasabah sebagai debitur. Guna mengantisipasi persengketaan ekonomi syari’ah yang terjadi pada bank syariah dan lembaga keuangan syariah, baik masyarakat, Lembaga Keuangan Syariah baik Bank maupun non Bank, serta para pengguna jasanya dapat menempuh berbagai upaya penyelesaian. Namun demikian, mengingat hubungan hukum yang dibuat didasarkan pada prinsip syariah tentunya diperlukan adanya metode dan cara penyelesaian yang juga mengikuti prinsip syariah. Menyadari hal tersebut para pihak dalam perikatan atau perjanjian dengan prinsip syariah tidak dapat mengandalkan instansi peradilan umum apabila benar-benar mau menegakkan prinsip syari’ah. Hal ini disebabkan karena dasar-dasar hukum penyelesaian perkara berbeda. Sebelum diberlakukannya Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah tersebut diselesaikan oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kini namanya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
81
Berdasarkan hasil penelaahan dan penelitian yang dilakukan dalam praktik selama ini para pelaku ekonomi di bidang perbankan syariah, bank dalam menjalankan
kegiatannya
berdasarkan
syariah
dengan
serta
merta
akan
melangsungkan hubungan dengan kemitraan dengan sistem syariah pula. Oleh karena itu, bilamana hubungan tersebut terjadi atau berakhir dengan sebuah kecederaan perilaku salah satu pihak dalam istilah lain perselisihan, maka kedua belah pihak dapat memusyawarahkannya terlebih dahulu sebagaimana yang disebutkan di atas, dan jika hal tersebut juga tidak tercapai kesepakatan, maka kedua belah pihak dapat menunjuk seorang atau lembaga yang diyakini mampu untuk adil dalam menyelesaikan perkara mereka.101 Hal ini juga dibenarkan oleh Aidi Sofyan staf bagian pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat Muttaqin di Banda Aceh bahwa dalam suatu hubungan hukum yang didasarkan pada prinsip syariah seperti melalui pembiayaan dengan berbagai macam bentuk yang disalurkan bank syariah, baik pihak bank maupun nasabah dalam penandatanganan akad selalu dilakukan dengan lebih dahulu di musyawarahkan. Akan tetapi, perselisihan yang diakibatkan kesalahan dalam pemahaman terhadap akad dan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan akad yang berpeluang tetap saja terjadi dan
tentunya
memerlukan
adanya
cara
penyelesaian
yang
saling
menguntungkan bagi para pihak yang terlibat di dalamnya.102
101
Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syariyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal 26 Maret 2012 102 Aidi Sofyan, Staf Bagian Pembiayaan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Muttaqin, Wawancara tanggal 6 April 2012
Universitas Sumatera Utara
82
Berbagai perselisihan yang terjadi disebabkan karena pelaku bisnis khususnya pelaku bisnis di bidang perbankan dengan prinsip syariah juga manusia biasa yang tidak terlepas dengan masalah, maka masalah yang bisa berawal dari diri para pihak sendiri sendiri atau dapat juga berawal dari pihak rekan atau mitra bisnis, untuk itu kedua belah pihak membutuhkan solusi agar ketenangan hidup yang didambakan oleh setiap manusia dalam bermasyarakat dapat terwujud.103 Guna mengatasi perselisihan ini disebabkan karena para pihak dalam bidang bisnis perbankan dengan prinsip syariah, pihak lembaga keuangan syariah seperti halnya bank syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya dapat tindakan yang dapat dilakukan oleh para pihak dengan cara : 1) Membuat suatu perjanjian tersendiri yang khusus menyatakan keinginan para pihak tersebut untuk menyerahkan masalahnya diadili secara arbitrase, perjanjian khusus ini ada dibuat setelah perjanjian pokok disebut sebagai akta kompromis 2) Mencantumkan dalam perjanjian pokoknya suatu bagian atau klausula yang berisi tentang keinginan para pihak untuk menyerahkan masalah yang timbul dan perjanjian tersebut diselesaikan secara arbitrase atau melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).104
103
Hj. Hurriyah AB, Hakim Mahkamah Syariyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal 26 Maret 2012 104 Alfina dan Muchsin Putra Hespy, Notaris praktek di Banda Aceh, Wawancara tanggal 10 dan 11 April 2011
Universitas Sumatera Utara
83
Basyarnas yang merupakan lembaga permanen yang didirikan oleh MUI Indonesia yang berfungi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah yang timbul dalam perdagangan, industri, keuangan, untuk itu lembaga ini harus menampilkan kemampuan dalam menyelesaikan persengketaan secara baik dan memuaskan. Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/2005 yang juga terkait dengan penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah, dalam ketentuan Bab II Pasal 20 tentang penyelesaian sengketa bank dengan nasabah, menentukan bahwa ”Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan di antara bank dan nasabah maka penyelesaian dilakukan dengan musyawarah, dalam musyawarah dimaksud tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah”.105 Keterangan di atas menunjukkan bahwa adanya peluang peluang dan jalan terhadap penyelesaian sengketa syariah selain di pengadilan yaitu di Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Penyelesaian melalui Basyarnas ini baru dapat dilakukan dengan syarat bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk menyelesaikan masalah mereka di Basyarnas tersebut, tetapi jika salah satu pihak tidak setuju maka persoalan atau sengketa tersebut tidak dapat dengan jalan Arbitrse yang dimaksud. Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase boleh dilakukan oleh para pihak yang berselisih, karena selain penyelesaiannya relatif dilakukan oleh para
105
Mohd. Ali, Kepala Unit Bank BRI Syariah di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 11 April 2011
Universitas Sumatera Utara
84
pihak yang berselisih, karena selain penyelesaiannya relatif cepat, kerahasiaan para pihak yang bersengkata tetap terjaga mengingat sidang arbitrase adalah tertutup untuk umum. Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang selama ini dilakukan oleh pihak bank adalah karena manfaat yang lebih besar dibandingkan harus melalui lembaga peradilan karena yang menjadi hakim adalah pilihan para pihak dan sudah merupakan orang yang ahli dalam masalahnya, prosesnya cepat apabila dibandingkan dengan lembaga peradilan, karena umumnya merupakan keputusan yang sudah final dan mengikat dan menurut Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase menyebutkan : penyelesaian sengketa harus sudah diselesaikan dalam waktu 180 hari sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk dan putusan arbitrase ini dapat dilaksanakan (eksekusi) di luar negeri.106 Akan tetapi, dalam perjanjian atau akad yang dibuat oleh para pihak para pihak tidak menyebutkan Basyarnas sebagai tempat penyelesaian sengketa bila terjadi perselisihan, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa lembaga yang berwenang dalam menyelesaian sengketa di bidang perekonomian syariah adalah Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 49 poin (i) menyebutkan bahwa ”Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris,
106
Mohd. Ali, Kepala Unit Bank BRI Syariah di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 11 April 2011
Universitas Sumatera Utara
85
wasiat,
hibah,
zakat,
infaq,
shadaqah
dan
ekonomi
syariah”.
Di Provinsi Aceh termasuk di Kota Banda Aceh kewenangan ini adalah merupakan kewenangan Mahkamah Syariyah, Mahkamah Syariyah adalah yang merupakan nama lain dari Pengadilan Agama di Provinsi Aceh yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Mahkamah Syari’ah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syari’ah Provinsi. Berdasarkan ketentuan tersebut, telah dengan tegas menyebutkan bahwa perkara ekonomi syariah menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah untuk menyelesaikannya, dalam hal ini ekonomi syariah merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi dari Bank Syariah Oleh karena itu, mengingat luasnya ruang lingkup perekonomi an syariah dapat dilihat dalam dua disiplin ilmu yaitu Ilmu Ekonomi dan Ilmu Hukum Ekonomi Islam. Dengan demikian alasan disiplin ilmu ini merupakan salah satu alasan bahwa sengketa ekonomi syariah dalam Pasal 49 poin (i) menjadi wewenang lembaga Peradilan Agama. Kemudian karena berhubungan dengan ilmu hukum ekonomi maka para hakim di lingkungan Peradian Agama harus lebih memperdalam pengetahuannya tentang hukum ekonomi syariah lebih lanjut.107 Menurut analisis penulis selain ketentuan tersebut, alasan lain yang memberikan kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menangani sengketa di Bank Syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya adalah dilihat dari para pihak atau
107
Hj. Hurriyah AB, 26 Maret 2012
Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Wawancara Tanggal
Universitas Sumatera Utara
86
orang-orang yang berada di lingkungan peradilan umum, bukan ahlinya di bidang syariah. Kemudian para hakimnya pun tidak berlatar belakang pendidikan syariah. Oleh sebab itu, sudah tepat bila terjadi gugatan syariah diserahkan ke Mahkamah Syar’iyah yang pada umumnya para hakimnya mempunyai latar belakang pendidikan syariah. Namun demikian, dapat saja terjadi dalam pelaksanaan penyaluran pembiayaan perbankan ditemui adanya penggunaan sertifikat tanah milik pihak ketiga sebagai agunan pembiayaan. Dalam pelaksanaan pembiayaan tertunggak sehingga mengharuskan bank syariah melakukan eksekusi agunan sebagai upaya pelunasan pembiayaan. Hal ini tentunya merugikan pemilik sertifikat sehingga mengajukan gugatan kepada pihak debitur bank ke Pengadilan Negeri dan mengikutsertakan bank sebagai tergugat.
Padahal gugatan tersebut dapat saja diajukan ke
Mahkamah
Syariah atau Pengadilan Agama sebagaimana diatur UU Bank Syariah. Kondisi seperti ini dapat juga terjadi pada perjanjian atau akad yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah lainnya.108 Kondisi ini terjadi karena dalam akad pembiayaan yang dibuat antara bank dan nasabah juga dicantumkan adanya ketentuan yang mengatur bahwa : Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau menafsirkan bagian-bagian dari isi atau terjadi perselisihan dalam melaksanakan Perjanjian ini, maka NASABAH dan BANK akan berusaha untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat.
108
Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh, Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012
Universitas Sumatera Utara
87
Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak, Maka dengan ini NASABAH dan BANK sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta memberi kuasa kepada Pengadilan Negeri Banda Aceh dan/atau Pengadilan Negeri di daerah setempat untuk memberikan putusannya, menurut tata cara dan prosedur berarbitrase yang ditetapkan oleh dan berlaku di Badan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh dan/atau Pengadilan Negeri di daerah setempat bersifat final dan mengikat.109 Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa pada akad pembiayaan perbankan syariah walaupun telah ada ketentuan penyelesaian perselisihan dibidang perbankan syariah melalui pengadilan agama/mahkamah syariah, namun di dalamnya juga dimuat ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri. Kondisi ini tentunya dengan sendirinya berpeluang meresahkan masyarakat terutama
bagi dunia bisnis perbankan, sebab bagi pelaku bisnis
penyelesaian yang menimbulkan permusuhan akan dapat mengganggu kinerja pebisnis dalam menggerakkan roda perekonomian mereka. Untuk itu, diperlukan suatu institusi baru yang lebih efesien dan efektif dalam menyelesaikan sengketa dan melahirkan kesepakatan yang bersifat win-win solution menjadi kerahasiaan para pihak dan menyelesaikan masalah secara komperehensif di dalam kebersamaan dengan tetap menjaga hubungan baik. Sebenarnya konflik akan terjadi bila dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan yang kemudian berkembang menjadi sebuah sengketa baik pihak yang merasa dirugikan karena merasa tidak puas atas keprihatinannya baik 109
Akad Pembiayaan Al Musyarakah pada pada Bank Syariah Mandiri Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
88
secara langsung terhadap pihak yang dianggap atau penyebab kerugiannya tersebut. Sepintas sebenarnya penyelesaian melalui peradilan masih dianggap sebahagian orang dapat memberikan keputusan yang adil, namun bagi sebahagian lainnya menganggap peradilan belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaian, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menumbuh kembangkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa. Akan tetapi, pada prinsipnya penegakan hukum hanya dapat dilakukan salah satunya dengan kekuasaan kehakiman (judical power) yang dilembagakan secara konstitusional yang lazim disebut dengan badan yudikatif, dengan demikian wewenang memeriksa, mengadili sengketa hanya badan peradilan yang berwenang sesuai dengan kekuasaan kehakiman yang juga merupakan derivate dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hal tersebut telah ditegaskan dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan peradilan, baik di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunujukkan bahwa walaupun masih tetap terjadi tarik menarik wewenang terhadap penyelesaian sengketa ekonomi syariah ini, dengan bukti masih banyak Bank syariah yang belum memilih penyelesaian sengketa melalui Peradilan Agama sebagai tempat penyelesaian sengketa yang dituangkan dalam akad atau kontrak pembiayaan dimaksud.
Kondisi ini juga didukung oleh adanya
Universitas Sumatera Utara
89
ketentuan Pasal 55 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah yang menentukan bahwa : (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada yat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 juga dijelaskan bahwa “Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya berupa musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Adanya ketentuan tersebut, juga memperjelas adanya beberapa alasan yang menyebabkan peradilan umum dalam hal ini pengadilan negeri masih dianggap sebagai institusi penyelesaian sengketa syariah, yaitu sebagai berikut : 1) Bahwa realisasi dari kontrak bisnis di lembaga keuangan syariah termasuk pembiayaan pada bank syariah sebahagianya masih mengacu pada KUH Perdata tentang perikatan sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tidak terlepas dari pada KUH Perdata yang ada. 2) Wewenang Pengadilan Umum juga menangani di bidang bisnis, maka pada Pengadilan umum tersebut dapat disediakan kamar yang memeriksa kasus bisnis syariah seperti Pengadilan Niaga yang berada di bawah pengadilan Umum
Universitas Sumatera Utara
90
3) Menghindari gesekan-gesekan politis yang masih a priori terhadap Islam sehingga memperlambat lajunya pelaksanaan sistem ekonomi syariah. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum seperti halnya pengadilan negeri juga terdapat kelemahan, antara lain : 1) Para hakim di Peradilan Umum belum tentu menguasai permasalahan syariah, lagi pula dalam memeriksa dan mengadili sengketa di Peradilan Umum, hakim tidak merujuk kepada ketentutan hukum syariah 2) Meskipun telah ada hukum materil yang mengatur perbankan syariah para hakim di Pengadilan Umum, akan sulit untuk menerapkan hukum yang berlandaskan syariah Islam.110 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah yang terjadi di wilayah Provinsi Aceh termasuk di Kota Banda Aceh, sebagaimana dikemukakan oleh pelaku bisnis perbankan bahwa bagi para pihak yang terlibat dalam hubungan hukum yang dilakukan melalui akad dengan prinsip syariah oleh lembaga keuangan syariah maupun bank syariah dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam akad yang dibuat sebelumnya. Dalam hal ini, jika harus mendapat persoalan atau sengketa antara nasabah dengan pihak bank maupun pihak ketiga lainnya tentang hal yang tercantum dalam akad, para pihak lebih mengedepankan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, karena dengan musyawarah lebih mencerminkan prinsip ke Islaman dan melahirkan hasil yang
110
M. Amin Said, Advokad dan Penasehat Hukum di Kota Banda Aceh, Wawancara tanggal 25 juni 2012
Universitas Sumatera Utara
91
memuaskan bagi para pihak yang bersengketa. Jika tidak tercapai kata sepakat antara nasabah dan bank atau lembaga keuangan, maka persoalan tentang yang disengketakan mereka dapat menunjuk Badan Arbitrase Syariah Nasional yang ada di daerah, dan jika tidak dapat terselesaikan hal ini baru diselesaikan melalui lembaga litigasi baik melalui Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan prinsip yang dianut oleh operasional bank syariah maupun pengadilan negeri sebagaimana termuat dalam akad.111 Dengan demikian, pilihan penyelesaian sengketa dalam sengketa perbankan syariah termasuk pada bank-bank yang menjalankan prinsip syariah di Kota Banda Aceh,
masih berpatokan kepada aturan yang lama dan belum mengacu pada
ketentuan UU No.3 Tahun 2006 Jo UU No. 50 tentang Peradilan Agama yang menentukan kewenangan Peradilan Agama atau ketentuan tentang Mahkamah Syariyah di Provinsi Aceh untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah, dan tidak terbatas penyelesaian sengketa di bank syariah. Namun demikian, menurut hasil penelitian yang dilakukan sampai dengan periode tahun 2012 di Kota Banda Aceh belum ada sengketa pembiayaan yang disalurkan bank syariah yang berlanjut hingga ditempuh penyelesaian melalui jalur pengadilan negeri maupun melalui jalur Basyarnas. Hal ini disebabkan karena pihak bank mengutamakan penyelesaian secara musyawarah dengan pihak nasabah jika terjadi perselisihan termasuk perselisihan akibat akad pembiayaan. Dengan demikian
111
Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh, Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012
Universitas Sumatera Utara
92
dapat dikatakan bahwa penyelesaian perselisihan perbankan syariah antara nasabah dengan bank syariah, lebih mengutamakan penyelesaian dengan cara musyawarah walaupun dalam klausul akad cantumkan pengadilan negeri yang dipilih sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Upaya penyelesaian dengan cara musyawarah ini dirasakan lebih efektif dan mengurangi beban biaya bagi pihak Bank. 112 Penyelesaian perselisihan dengan jalan musyawarah ini merupakan prinsip penyelesaian dalam hukum Islam, lagi pula penyelesaian sengketa dengan jalan perdamaian atau musyawarah merupakan suatu penyelesaian yang sesuai dengan kultur masyarakat yang beradat dan bersendikan syara’. Namun untuk menangani perselisihan dengan menempuh jalan musyawarah, diperlukan sumberdaya manusia yang berilmu, professional, jujur, adil dan bijaksana, sehingga nilai-nilai terkandung dalam syariah Islam dilaksanakan secara utuh (kaffah).
112
Iskandar Muda dan Amrizal, Staf Bagian Pembiayaan Bank Syariah Mandiri dan Bank BRI Syariah di Banda Aceh, Wawancara tanggal 2 dan 3 April 2012
Universitas Sumatera Utara