PENYELESAIAN SENGKETA AKAD PEMBIAYAAN DALAM PRAKTIK PERBANKAN SYARI’AH DI KABUPATEN PAMEKASAN1 Erie Hariyanto (Dosen STAIN Pamekasan/email:
[email protected]) Abstrak: Perbankan syariah tumbuh dan dikembangkan sebagai sebuah alternatif bagi praktik perbankan konvesional. dimana dalam perjalanannya membutuhkan aplikasi akad guna menanggulangi bila terjadi sengketa dan sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan guna memperoleh keadilan dan kepastian hukum dalam menjalankan usahanya sehingga transaksi di Perbankan syari’ah menjadi pilihan masyarakat. Pendekatan dalam penelitian ini diarahkan pada pendekatan sosiologis yaitu langsung mengamati bagaimana pelaksanaan dan penyelesaian sengketa akad pembiayaan dalam praktik perbankan syari’ah. Pelaksanaan akad pembiayaan dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan tidak jauh berbeda dengan tahapan yang dilakukan oleh bank konvensional dalam memberikan kreditnya. Proses pemberian pembiayaan diawali dengan tahapan: pertama analisis kelayakan penyaluran dana. Kedua tahap perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) serta dilaksanakannya pengikatan agunan untuk pembiayaan yang diberikan itu. Tahap ini disebut tahap dokumentasi pembiayaan. Ketiga tahap setelah perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) ditandatangani oleh kedua belah pihak disebut tahap penggunaan pembiayaan. Ke-empat tahap setelah pembiayaan menjadi bermasalah dan Kelima tahap setelah pembiayaan menjadi macet. Tahap ini disebut tahap penyelesaian pembiayaan. Upaya-upaya yang digunakan dalam menyelesaikan akad pembiayaan bermasalah dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan diarahkan menggunakan jalur non-litigasi baik
1Tulisan ini disarikan dari hasil penelitian kolektif dengan anggota peneliti; Eka Susylowati, dan Mohammad Bashri Asy’ari.
Erie Haryanto
melalui, Musyawarah-Mufakat, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APR) ataupun BASYARNAS ataupun peletakan sita jaminan. Kata Kunci: Akad Penyelesaian sengketa
Pembiayaan,
Perbankan
Syariah,
Abstract: Syariah (Islamic law) banking grows and has been developed
as an alternative way of conventional banking practice. This study focuses on sociological approach. It is about to have a direct observation on how is the implementation and completion of the legal dispute of financing agreement in syariah banking practice. The implementation of financing agreement in syariah banking does not take different procedures from the conventional one. The process is initialized by: firstly, the analysis on feasibility of finance distribution; secondly, financing documentation; thirdly, financing utility; fourthly, financing dispute analysis; and finally, the phase of financing completion.
Key words: Financing agreement, syariah banking, legal dispute completion.
284
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
Pendahuluan Perbankan merupakan elemen penting dalam pembangunan suatu negara. Hal ini tercermin dalam pengertian perbankan secara yuridis, yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.2 Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) tersebut sangat menentukan bagi sukses tidaknya pembangunan ekonomi masyarakat. Kebijakan perbankan di Indonesia sejak tahun 1992 berdasarkan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian diperkuat dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Dual banking system maksudnya adalah terselenggarannya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah secara berdampingan) yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.3 Kepastian hukum semakin dirasakan bagi pemerhati dan masyarakat pengguna jasa perbankan syariah setelah diundangkan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Perbankan syariah merupakan salah satu solusi perekonomian bangsa mengingat perekonomian merupakan tulang-punggung penggerak stabilitas nasional. Perbaikan segala permasalahan bangsa yang dihadapi saat ini harus dari kegiatan perekonomian nasional yang menuju perekonomian berbasis syariah Perbankan syariah tumbuh dan dikembangkan sebagai sebuah alternatif bagi praktik perbankan konvesional. Kritik terhadap konsep bank konvensional oleh konsep perbankan syariah, bukanlah menolak bank dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan dalam karakteristiknya yang lain, misalnya masih terdapat unsur riba, judi (maysir), ketidakpastian (gharar), bathil. Dengan dilarangnya riba, maysir, gharar, dan bathil dalam perbankan, maka sebagai gantinya dapat menerapkan akad-akad tradisional Islam pada praktik perbankan dimaksud. Adapun akad-akad tradisional Islam atau yang lazimnya dikenal dengan akad berdasarkan prinsip syariah menurut Muhammad Syafii 2Lihat
pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 3790) 3Abdul Ghofur, 2007, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm 33
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
285
Erie Haryanto
Antonio terdiri dari prinsip titipan atau simpanan (depository), bagi hasil (profit sharing), sewa-menyewa (operating lease and financial lease), dan jasa (fee-based service) yaitu al-wakalah, al-kafalah, al-hiwalah, ar-rahn, al-qardh.4 Masing-masing akad tersebut sesuai karakteristiknya dapat diterapkan dalam operasional perbankan syariah dalam produk penghimpunan dana (funding), penyaluran dana (financing), dan jasa (service). Aplikasi akad dan aspek legalnya, sangat diperlukan dalam mendukung kelancaraan transaksi muamalah yang melibatkan lembaga perbankan dan keuangan Syariah. Sesuai dengan kebutuhan dalam praktik saat ini, sudah ada beberapa aplikasi yang dimaksud di atas, namun keberadaanya belum ada keseragaman atau standarisasi dalam pembuatan akadnya. Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah, Namun keberadaanya belum dikenal oleh khalayak ramai, termasuk para praktisi perbankan, para akademisi, notaris, hakim maupun advokad. Dalam praktik perbankan syariah sudah mulai muncul beberapa permasalahan yang timbul antara nasabah dan bank dalam pelaksanaan akad, dimana kewajiban yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah, tidak dipenuhi sesuai akad yang disepakati antara nasabah dan bank. Dalam hal ini nasabah melakukan keterlambatan pembayaran. Keterlambatan pembayaran di dalam hukum perjanjian dikategorikan sebagai salah satu unsur wanprestasi. Jika terus berlanjut sampai tiga bulan berturut-turut maka kualifikasi nasabah debitur tersebut mulai masuk kategori bermasalah.5 Jika jumlah kredit yang bermasalah dalam suatu bank syariah jumlahnya banyak, tentunya akan mempengaruhi likuiditas usaha dan load financent ratio (LFR) yang dijalankan. Agar hal tersebut tidak mengganggu kinerja yang nantinya akan mempengaruhi likuiditas banknya maka upaya penanganan pembiayaan bermasalah harus ditangani serius dengan mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan akad pada praktik perbankan syariah kemudian melakukan klasifikasi kasus yang dihadapi manajemen Bank Syariah dalam melakukan konstruksi hukumnya. Selain itu perlu diketahui pula tahapan dan mekanisme penyelesaian pada setiap lembaga yang akan 4Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan ke-10, (Jakarta: Gema Insasani Press dan Tazkia Cendikia, 2007), hlm 83. 5Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta, UII Press 2005), hlm. 18.
286
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
menyelesaikan sengketa perbankan Syariah dan standarisasi akad serta beberapa dokumen yang diperlukan dalam setiap tahapan penyelesaian sengketa. Kabupaten Pamekasan sendiri yang memiliki program GERBANG SALAM, saat ini ada puluhan lembaga keuangan syari’ah baik bank dan nonbank yang membuka cabangnya, di mana dalam perjalannya membutuhkan aplikasi akad guna menanggulangi bila terjadi sengketa dan sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan guna memperoleh keadilan dan kepastian hukum dalam menjalankan usahanya sehingga transaksi di Perbankan syari’ah menjadi pilihan masyarakat, berdasarkan paparan diatas penulis merasa perlu melakukan penelitian dengan judul “Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah (Studi di Kabupaten Pamekasan)” Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Pertama Bagaimana pelaksanaan akad pembiayaan dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan ? Kedua Upaya hukum yang digunakan dalam menyelesaikan akad pembiayaan bermasalah dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan? Akad dalam Praktik Perbankan Syariah di Indonesia Istilah yang berkaitan dengan perjanjian dalam al-quran setidaknya dikenal dua macam6, yaitu kata akad (al-`aqdu) dan kata `ahd (al-`ahdu). al-Quran memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian7, sedangkan kata yang kedua dalam al-Quran berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.8 Dengan demikian istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis, sedangkan kata al `ahdu sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst.9 Pengertian akad juga dijumpai dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah pada ketentuan pasal 1 angka (4) dikemukan bahwa, “akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank dengan Nasabah atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masingmasing pihak sesuai dengan prinsip syariah”. Perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kembali dalam bentuk pembiayaan senantiasa mendasarkan pada perjanjian (kontrak), sehingga hukum perjanjian Islam yang rukun dan syaratnya telah diatur dalam al-Quran, Hadist, 6Mariam
hlm. 247
Darus Zaman (et.al.) Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta,PT Citra Aditya, tt)
7Lihat
al-Quran surat Al Maidah ayat 1 al-Quran surat An Nahl ayat 91 dan Al Isra’ ayat 34 9Abdul Ghofur Anshori, op. Cit., hlm 49. 8Lihat
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
287
Erie Haryanto
Ijma’, dan qiyas menjadi relevan dan penting dalam operasional perbankan syariah. Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu akad harus dipenuhi rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun akad adalah unsur mutlak yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad terdiri atas: pertama shighat, yaitu pernyataan ijab dan qobul; kedua `aqidah yaitu pelaku akad; ketiga ma’qud alaih yaitu objek akad. Jika salah satu rukun tidak ada, secara syariah akad dipandang tidak pernah ada.10 Akad antara nasabah dan pihak perbankan syariah akan berjalan baik dan lancar jika para pihak mentaati apa yang telah mereka sepakati dalam akad yang mereka buat. Namun jika salah satu pihak lalai atau melakukan kesalahan dalam pemenuhan akad/perjanjian dimungkinkan timbul sengketa dalam bidang perbankan syariah. secara garis besar penyebab terjadinnya sengketa yang timbul dalam pelaksanaan akad adalah: (1) Adanya wanprestasi (default); (2) Keadaan Memaksa (force majeur/ overmact); dan (3) Perbuatan melawan hukum. Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan akad, dalam praktik perbankan syariah maka para pihak akan mencari penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapi. Secara garis besar upaya penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan akad dikelompokkan dalam penyelamatan yaitu tahapan pemenuhan atas prestasi dan upaya penyelesaian cenderung terfokus pada tindakan untuk mengupayakan pembayaran kembali pembiayaan dengan mengeksekusi agunan. Jika jumlah kredit yang bermasalah dalam suatu bank syariah jumlahnya signifikan, tentunya akan mempengaruhi likuiditas usaha dan load financent ratio (LFR) yang dijalankan. Agar hal tersebut tidak mengganggu kinerja yang nantinya akan mempengaruhi likuiditas banknya maka upaya penanganan pembiayaan bermasalah harus ditangani serius dengan mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan akad pada praktik perbankan syariah kemudian melakukan klasifikasi kasus yang dihadapi manajemen Bank Syariah dalam melakukan konstruksi hukumnya. Selain itu perlu diketahui pula tahapan dan mekanisme penyelesaian pada setiap lembaga yang akan menyelesaikan sengketa perbankan Syariah dan standarisasi akad serta beberapa dokumen yang diperlukan dalam setiap tahapan penyelesaian sengketa. Diberlakukan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah memberikan payung hukum bagi penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia. 10Dewi Nurul Musjtari, penyelesaian sengketa dalam praktik perbankan syariah, (Yogjakarta:Parama Publishing, 2012), hlm. 44.
288
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
Yang lebih khusus lagi dengan diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah semakin memberikan kepastian hukum dalam hal kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah: Bank Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Reasuransi, Reksa dana Syari’ah, Obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, Sekuritas Syari’ah, Pegadaian syari’ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan syari’ah dan Lembaga keuangan Mikrosyari’ah.11 Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan ada bentuk alternatif lain disamping bank konvensional yang sudah dikenal masyarakat yaitu bank yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sama sekali belum menggunakan secara tegas istilah bank syariah atau bank Islam. Penyebutannya masih menggunakan istilah ” prinsip bagi hasil”. Belum ada ketentuan yang lebih rinci mengenai bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.12 Seperti halnya bank konvensional, bank syariah berfungsi juga sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution), yaitu berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.13 Pembiayaan adalah merupakan sebagian besar asset dari bank syariah sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga kualitasnya, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan prinsip kehatihatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui 11Mardani,
Hukum Acara Peradilan Agama, hlm 58 tanggal 16 Juli 2008 telah diundangkan Undang-Undang Nomer 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah selanjutnya disebut dengan Undang Undang Perbankan Syariah 13Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN, Yogyakarta, 2005, hlm. 17. 12Sejak
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
289
Erie Haryanto
penerapan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten.14 Penerapan prinsip kehati-hatian dijabarkan dalam bentuk ramburambu kesehatan bank. Sebagaimana diamanatkan pada pada Pasal 4 Undang-Undang Perbankan Syariah keberadaan bank syariah disamping sebagai lembaga intermediasi seperti halnya bank konvensional yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat juga berfungsi sosial. Secara garis besar kegiatan operasional Bank Syariah dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:15 1. Kegiatan penghimpunan dana (funding) Kegiatan penghimpunan dana dapat ditempuh oleh perbankan melalui mekanisme tabungan, giro, serta deposito. Khusus untuk perbankan syariah, tabungan dan giro dibedakan menjadi dua macam yaitu tabungan dan giro berdasarkan pada akad wadiah dan tabungan dan giro yang didasarkan pada akad mudharabah. Sedangkan khusus deposito hanya memakai akad mudharabah. 2. Kegiatan penyaluran dana (lending) Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat (lending) dapat ditempuh bank dalam bentuk mudharabah, murabahah, musyarakah, ijarah ataupun qardh. Bank sebagai penyedia dana akan mendapatkan imbalan dalam bentuk margin keuntungan untuk murabahah, bagi hasil untuk mudharabah dan musyarakah, sewa untuk ijarah serta biaya administrasi untuk qardh. 3. Jasa Bank Kegiatan usaha bank di bidang jasa, dapat berupa penyediaan bank garansi (kafalah), letter of credit (L/C), hiwalah, wakalah dan jual beli valuta asing. Perwujudan prinsip kehati-hatian diatur dalam rambu-rambu kesehatan sebagaimana pada Pasal 23 Undang-Undang Perbankan Syariah. Pada Pasal 23 (1) Undang-Undang Perbankan syariah mengatur bahwa “Bank syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah Penerima Fasilitas”. Untuk mendapatkan keyakinan maka bank syariah wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, 14Yahman
dan Trisadini Prasastinah Usanti, Bunga Rampai Hukum Aktual Dalam Perspektif Hukum Bisnis Kontraktual Berimplikasi Pidana dan Perdata, Mitra Mandiri, Surabaya,2011,hlm.136 15Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indoensia, Gadjah Mada University Press, Yogjakarta, 2007, hlm. 65
290
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
agunan16, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas (character, capacity, capital, collateral, condition). Pada Pasal 36 Undang-Undang Perbankan Syariah diatur bahwa “Dalam memberikan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya”, sehingga bank syariah dalam memberikan pembiayaan wajib mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan dari nasabah penerima fasilitas. Adapun tujuan dari diberlakukannya prinsip kehatihatian tidak lain agar bank-bank selalu dalam keadaan sehat, sehingga selalu dalam keadaan likuid, solvent dan menguntungkan (profitable). Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian itu diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbakan selalu tinggi sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.17 Sebagian besar dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan adalah dana nasabah penyimpan/nasabah investor.18 sehingga dana nasabah penyimpan/nasabah investor wajib mendapat perlindungan hukum. Bilamana terjadi kegagalan dalam pembiayaan maka sumber pelunasan pembiayaan adalah dari usaha nasabah yang menghasilkan pendapatan (revenue) yang disebut first way out dan second way out berupa agunan (collateral). Second way out berupa jaminan tertentu atas suatu benda, apabila terjadi pembiayaan bermasalah, bank berhak menjual benda agunan yang dibebani dengan hak jaminan dan mengambil hasil penjualan atas benda tersebut sebagai sumber pelunasan pembiayaan. Jaminan merupakan hal penting untuk diperhitungkan bagi Bank karena jaminan merupakan sumber pelunasan bilamana nasabah mengalami kegagalan pembiayaan Syariah. Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan maka bank 16Pada Pasal 1.26 Undang-Undang Perbankan Syariah agunan diberikan pengertian sebagai jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas 17Sutan Remy Sjadeini, Kapita Selecta Hukum Perbankan ,Jilid I, tanpa tahun, hlm.53 18Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank syariah dan/atau UUS dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara Bank syariah atau UUS dan nasabah yang bersangkutan. Nasabah investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank syariah dan/atau UUS dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara Bank syariah atau UUS dan nasabah bersangkutan
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
291
Erie Haryanto
syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan tidak mustahil terjadi pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan. Bank syariah harus mampu menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah sehingga dapat melakukan upaya untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan tersebut. Kualitas pembiayaan ditetapkan menjadi 5 (lima) golongan yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet, yang dikategorikan pembiayaan bermasalah adalah kualitas pembiayaan yang mulai masuk golongan dalam perhatian khusus sampai golongan macet. Bank syariah wajib untuk menggolongkan kualitas aktiva produktif. 19 sesuai dengan kriterianya dan dinilai secara bulanan, sehingga jika bank syariah tidak melakukannya maka akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud Pasal 56 Undang-Undang Perbankan Syariah. Bilamana terjadi pembiayaan bermasalah maka Bank syariah akan melakukan upaya untuk menangani pembiayaan bermasalah tersebut dengan melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian pembiayaan bermasalah, agar dana yang telah disalurkan oleh bank syariah dapat diterima kembali. Akan tetapi mengingat dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam memberikan pembiayaan berasal dari dana masyarakat yang ditempatkan pada bank syariah maka bank syariah dalam memberikan pembiayaan wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan/atau UUS dan kepentingan nasabahnya yang telah mempercayakan dananya. Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Bank syariah dalam memberikan pembiayaan berharap bahwa pembiayaan tersebut berjalan dengan lancar, nasabah mematuhi apa yang telah disepakati dalam perjanjian dan membayar lunas bilamana jatuh tempo. Akan tetapi bisa terjadi dalam jangka waktu pembiayaan nasabah mengalami kesulitan dalam pembayaran yang berakibat kerugian bagi bank syariah.20 19Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 Tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah bahwa yang dimaksud dengan Aktiva Produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk pembiayaan, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif, Sertifikat Wadiah Bank Indonesia serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 20Trisadini Prasastinah Usanti,” Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian Pada Kegiatan Usaha Perbankan Syariah”, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2010, hlm. 244
292
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi harus dipenuhi oleh debitur sehingga jika debitur tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian maka dikatakan debitur telah melakukan wanprestasi. Ada empat keadaan dikatakan wanprestasi yaitu: (a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali; (b) Debitur memenuhi prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; (c) Debitur terlambat memenuhi prestasi dan (d) Debitur melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. 21 Keberlangsungan usaha suatu Bank yang didominasi oleh aktivitas Pembiayaan, dipengaruhi oleh kualitas Pembiayaan yang merupakan sumber utama bank dalam menghasilkan pendapatan dan sumber dana untuk ekspansi usaha yang berkesinambungan. Pengelolaan Bank yang optimal dalam aktivitas Pembiayaan dapat meminimalisasi potensi kerugian yang akan terjadi. Pengelolaan tersebut antara lain dilakukan melalui Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar namun dinilai masih memiliki prospek usaha dan mempunyai kemampuan untuk membayar setelah restrukturisasi. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada Bank, harus tetap memenuhi prinsip syariah disamping mengacu kepada prinsip kehati-hatian yang bersifat universal yang berlaku pada industri perbankan. Selain itu, aspek kebutuhan dan kesesuaian dengan perkembangan industri perbankan syariah menjadi pertimbangan dalam penyempurnaan ketentuan mengenai Restrukturisasi Pembiayaan di Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.22 Setiap terjadi pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan berupaya untuk menyelamatkan pembiayaan, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 Tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya Berdasarkan SEBI No.13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011 yang dimaksud dengan Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah 21Setiawan,
Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1979, hlm.18 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 Tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah 22Penjelasan
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
293
Erie Haryanto
atau jangka waktunya, tidak termasuk perpanjangan atas pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo serta bukan disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain meliputi: (1) perubahan jadwal pembayaran; (2) perubahan jumlah angsuran; (3) perubahan jangka waktu; (4) perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; (5) perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; dan/atau: (6) pemberian potongan. c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain meliputi: (1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; (2) konversi akad Pembiayaan; (3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau; (4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning. 23 Berdasarkan SEBI No.13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011 Tentang Perubahan atas SEBI Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah bahwa Bank Uumum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) akan menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’ dengan memperhitungkan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’. Dalam hal terdapat perbedaan antara jumlah kewajiban nasabah dengan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’, maka diakui sebagai berikut: (a)apabila nilai wajar lebih kecil daripada jumlah kewajiban nasabah, maka sisa kewajiban nasabah tersebut tetap menjadi hak BUS atau UUS, yang penyelesaiannya disepakati antara BUS atau UUS dan nasabah; (b) apabila nilai wajar lebih besar daripada jumlah kewajiban nasabah, maka selisih nilai tersebut diakui sebagai uang muka ijarah muntahiya bittamlik atau menambah porsi modal nasabah untuk musyarakah atau mengurangi modal mudharabah dari BUS atau UUS. Bank hanya dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: nasabah mengalami penurunan 23Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimanadimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
294
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
kemampuan pembayaran; dan nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Restrukturisasi untuk Pembiayaan konsumtif hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan b. terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan buktibukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik. Disamping 2 (dua) kriteria di atas maka bank syariah akan melakukan penyelamatan pembiayaan bermasalah dengan upaya restrukturisasi apabila nasabah masih mempunyai itikad baik dalam arti masih mau diajak kerjasama dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah, akan tetapi jika nasabah sudah tidak beritikad baik dalam arti tidak dapat diajak kerjasama dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah maka bank syariah akan melakukan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah. Adapun landasan syariah yang dapat mendukung upaya restrukturisasi pembiayaan yaitu: Dalam surat Al Baqarah (2): 276: ”Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa”. Dalam surat Al Baqarah (2): 280: ” dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. Dalam surat Al Baqarah (2): 286: ” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (atas kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. Dari kutipan ayat Al Quran diatas selalu digarisbawahi pentingnya sedekah dan tuntunan akan perlunya toleransi terhadap nasabah bila menghadapi nasabah sedang mengalami kesulitan ( dalam arti sebenarbenarnya) membayar kembali kewajibannya. Hadits Nabi riwayat Muslim : ”orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya.
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
295
Erie Haryanto
Penanganan Pembiayaan Bermasalah dalam Praktik Perbankan Syariah Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).24 Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi Di Indonesia, penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi di atur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.25 Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 24Karnaen
Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:Prenada Media), 2005, hal. 288. 4 A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung:Citra Aditya Bakti), 2002, hlm. 43. 25NJ. Coulson, a History of Islamic Law, (Edinburg: University Press), 1991, hal. 10). 6 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), (Jakarta:Raja Grafindo Persada), 2004, hlm. 167.
296
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
1992. Setelah mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah. Penyelesaian Melalui Eksekusi Jaminan Penyelesaian melalui jaminan dilakukan oleh bank syariah bilamana berdasarkan evaluasi ulang pembiayaan, prospek usaha nasabah tidak ada, dan atau nasabah tidak kooperatif untuk menyelesaikan pembiayaan atau upaya penyelamatan dengan upaya restrukturisasi tidak membawa hasil melancarkan kembali pembiayaan tersebut. Maka upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah dengan cara eksekusi jaminan akan dilakukan oleh bank syariah. Eksekusi jaminan disesuaikan dengan lembaga jaminan yang membebani benda jaminan tersebut, rahn (gadai syariah), jaminan hipotik, jaminan hak tanggungan, dan jaminan fidusia. pada jaminan hipotik eksekusi agunan diatur pada Pasal 1178 BW, Pada jaminan hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang No.4 Tahun 1996, bilamana debitor cidera janji ada 3 alternatif yang dapat dilakukan oleh bank yaitu: a. Berdasarkan hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau b. Berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana pada Pasal 14 (2) obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tatacara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu dari para kreditor-kreditor lainnya c. Atas kesepakatan penjualan obyek jaminan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan cara demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi. Pada jaminan fidusia berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 apabila debitor wanprestasi maka obyek jaminan dapat dieksekusi dengan cara: a. pelaksanaan titel eksekutorial b. penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
297
Erie Haryanto
c. penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan Pada Undang-undang Perbankan Syariah pasal 40, bank syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.26 Dalam hal harga pembelian agunan melebihi jumlah kewajiban nasabah kepada bank syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang terkait langsung dengan proses pembelian agunan. Landasan syariah yang berkaitan dengan jaminan dalam surat Al Baqarah (2) 283: ”Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu bermuamalah / jual beli tidak secara tunai), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh siberpiutang...” Dari Aisyah bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan (HR.Bukhari, Muslim dan Nasa’i) Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda ” Siapapun yang bangkrut (muflis), lalu kreditornya mendapatkan barangnya sendiri pada si muflis, maka kreditor itu lebih berhak untuk menarik kembali barangnya daripada orang lain. (HR.Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah) Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat. Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas 26Tujuan pembelian oleh bank adalah untuk membantu mempercapat penyelesaian kewajiban nasabah. Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang pembiayaannya dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu.
298
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab. Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah. Amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi: a) bank syari’ah, b) lembaga keuangan mikro syari’ah, c) asuransi syari’ah, d) reasuransi syari’ah, e) reksa dana syari’ah, f) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, g) sekuritas syari’ah, h) pembiayaan syari’ah, i) pegadaian syari’ah, j) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan k) bisnis syari’ah.27 Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.” Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan. Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi,
27Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net tgl. 31-10-2007
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
299
Erie Haryanto
sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus. 28 Oleh karena itu dalam draft-draft perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul Penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Penyelesaian lewat litigasi akan ditempuh oleh bank bilamana nasabah tidak beritikad baik yaitu tidak menunjukkan kemauan untuk memenuhi kewajibannya sedangkan nasabah sebenarnya masih mempunyai harta kekayaan lain yang tidak dikuasai oleh bank atau sengaja disembunyikan atau mempunyai sumber-sumber lain untuk menyelesaikan kredit macetnya.29 Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomer 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama maka bilamana terjadi sengketa dalam bidang muamalah maka diselesaikan lewat pengadilan agama. Tujuan dari keberadaan Peradilan Agama adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam dibidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi syariah. Perubahan penting yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah perluasan kekuasaan atau kewenangan pengadilan agama yang meliputi juga sengketa di bidang ekonomi syariah, hal ini terdapat pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai sebuah tradisi dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung kepada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.30 Sebagaimana pengertian ini, Arief Furchan menyatakan bahwa metode kualitatif adalah
28Ibid,
hlm.9 Remy Sjahdeini , Op.cit.,h.103 30Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990) 29Sutan
hlm., 3.
300
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari orang (subjek) itu sendiri. 31 Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini diarahkan pada pendekatan sosiologis yaitu langsung mengamati bagaimana pelaksanaan dan penyelesaian sengketa akad pembiayaan dalam praktik perbankan syari’ah Untuk memperoleh data dari sumber data primer, peneliti menggunakan metode wawancara dan observasi. Sumber data wawancara dilakukan dengan: 1. Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Pamekasan; 2. Pimpinan Lembaga bank syari’ah di kabupaten Pamekasan; 3. Masyarakat utamanya pengguna produk Lembaga bank dan non-bank syari’ah di kabupaten Pamekasan; 4. Akademisi di perguruan tinggi dan pengamat perbankan syari’ah di Kabupaten Pamekasan. Temuan Penelitian dan Pembahasan Pada bagian ini peneliti akan menguraikan hasil pengumpulan data yang diperoleh peneliti saat melakukan penelitian. Pada paparan data ini peneliti menguraikan data yang diperoleh melalui prosedur pegumpulan data yang digunakan, yaitu teknik wawancara, studi dokumentasi dan observasi. Paparan dan temuan penelitian tersebut meliputi: pertama Bagaimana pelaksanaan akad pembiayaan dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan? kedua Upaya hukum yang digunakan dalam menyelesaikan akad pembiayaan bermasalah dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan? Dari hasil pengamatan dan observasi di beberapa kantor perbankan syariah utamanya bank BRI Syariah ditemukan fakta perkembangannya jumlah produk nasabah ditandai juga dengan semakin menjamurnya kantor cabang Bank Syariah ataupun Unit Usaha Syariah yang tahun 2013 ada dua cabang bank syariah yaitu BRI Syariah, BNI Syariah dan Bank jatim Syariah. Wawancara dengan Bapak Jimmy Account Officer Bank BRI Syariah terkait dengan pelaksanaan akad pembiayaan dalam praktik perbankan syariah: Proses pemberian pembiayaan pada bank syariah maka tahapan yang dilakukan oleh bank syariah tidak jauh berbeda dengan tahapan yang dilakukan oleh bank konvensional dalam memberikan kreditnya. Proses pemberian pembiayaan diawali dengan tahapan : pertama tahap sebelum pemberian pembiayaan diputuskan oleh bank syariah, yaitu tahap bank syariah mempertimbangkan permohonan pembiayaan 31Arief
Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1992)
hlm., 21.
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
301
Erie Haryanto
calon nasabah penerima fasilitas. Tahap ini disebut tahap analisis kelayakan penyaluran dana. Kedua tahap setelah permohonan pembiayaan diputuskan pemberiannya oleh bank syariah dan kemudian penuangan keputusan tersebut kedalam perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) serta dilaksanakannya pengikatan agunan untuk pembiayaan yang diberikan itu. Tahap ini disebut tahap dokumentasi pembiayaan. Ketiga tahap setelah perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) ditandatangani oleh kedua belah pihak dan dokumentasi pengikatan agunan telah selesai dibuat serta selama pembiayaan itu digunakan oleh nasabah penerima fasilitas sampai jangka waktu pembiayaan berakhir. Tahap ini disebut tahap penggunaan pembiayaan. Kempat tahap setelah pembiayaan menjadi bermasalah tetapi usaha nasabah penerima fasilitas masih memiliki prospek sehingga pembiayaan yang bermasalah itu dapat diselamatkan untuk menjadi lancar kembali. Tahap ini disebut tahap penyelamatan pembiayaan. Kelima tahap setelah pembiayaan menjadi macet. Tahap ini disebut tahap penyelesaian pembiayaan.32 Faktor-faktor yang menyebabkan sengketa akad syariah (kredit macet) dijelaskan oleh praktisi Bayan Nurbiato, SH,M.Si bagian hukum bank muamalah surabaya menyatakan: Ada beberapa faktor penyebab pembiayaan bermasalah dari intern (berasal dari pihak bank: kurang baiknya pemahaman atas bisnis nasabah, kurang dilakukan evaluasi keuangan nasabah, kesalahan setting fasilitas pembiayaan (berpeluang melakukan sidestreaming), perhitungan modal kerja tidak didasarkan kepada bisnis usaha nasabah, proyeksi penjualan terlalu optimis, proyeksi penjualan tidak memperhitungkan kebiasaan bisnis dan kurang memperhitungkan aspek kompetitor, aspek jaminan tidak diperhitungkan aspek marketable, lemahnya supervisi dan monitoring, terjadinya erosi mental: kondisi ini dipengaruhi timbali balik antara nasabah dengan pejabat bank sehingga mengakibatkan proses pemberian pembiayaan tidak didasarkan pada praktek perbankan yang sehat. Ada beberapa faktor penyebab pembiayaan bermasalah dari faktor ekstern: karakter nasabah tidak amanah (tidak jujur dalam memberikan informasi dan laporan tentang kegiatannya), melakukan sidestreaming penggunaan dana, kemampuan pengelolaan nasabah tidak memadai sehingga kalah 32Wawancara
302
dengan Acount Officer BRI Syariah Bapak Jimmy tanggal 25 Juli 2013
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
dalam persaingan usaha, usaha yang dijalankan relatif baru, bidang usaha nasabah telah jenuh, tidak mampu menanggulangi masalah/ kurang menguasai bisnis, meninggalnya key person, perselisihan sesama direksi, terjadi bencana alam, adanya kebijakan pemerintah: peraturan suatu produk atau sektor ekonomi atau industri dapat berdampak positif maupun negatif bagi perusahaan yang berkaitan dengan industri tersebut.33 Kualitas pembiayaan ditetapkan menjadi 5 (lima) golongan yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet, yang dikategorikan pembiayaan bermasalah adalah kualitas pembiayaan yang mulai masuk golongan dalam perhatian khusus sampai golongan Macet. Bank syariah wajib untuk menggolongkan kualitas aktiva produktif.34 Wawancara dengan Dr. H Firmansyah, S.H.M.Hum merupakan salah satu notaris yang menangani perjanjian kredit antara masyarakat dan Bank Syariah di kabupaten pamekasan menyatakan: tidak ada peraturan materii maupun formil khusus tentang bank syariah. Pelaksanaan proses sengketa perbankan syariah ditengarai terdapat benturan dengan undang-undang lainnya 18 undang-undang, antara lain: Undang-Undang (UU) Arbitrase, UU Pasar Modal, UU Kepailitan, UU Perasuransian, UU Perdagangan, UU Pegadaian, UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, UU Perseroan Terbatas, UU Dokumen Perusahaan, UU Jabatan Notaris, UU Persaingan Usaha (Anti Monopoli), UU Perlindungan Konsumen, UU Koperasi, UU Lembaga Penjaminan Simpanan dan menyangkut Otoritas Jasa Keuangan.35 Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dr. Firmasyah, M.Hum Notaris dan PPAT Kabupaten Pamekasan menyatakan bahwa untuk akta-akta perjanjian yang dibuat para pihak dengan bank syariah di Pamekasan dalam penyelesaian perselisihan atau perbedaan pendapat menunjuk atau penetapkan BASYARNAS atau Pengadilan Negeri untuk memberikan putusannya, menurut tatacara dan prosedur ber-arbritase, walaupun masalah ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut dari Pengadilan Agama tapi nyatanya dilapangan cara
2013
33Wawancara
dengan bagian hukum bank Muamalah cabang surabaya tanggal 21 Juni
34Wawancara
dengan Acount Officer BRI Syariah Bapak Jimmy tanggal 25 Juli 2013 Notaris Dr. Firmansyah, M.H, tanggal 15 Agustus 2013
35Wawancara
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
303
Erie Haryanto
penyelesainnya masih menggunakan seperti yang dipakai oleh perbankan konvesional biasanya.36 Pemilihan pengadilan negeri dalam akta perjanjian (bukan pengadilan agama) karena pengadilan negeri lebih siap jika dibandingkan dengan pengadilan agama, selama ini belum pernah ada sengketa yang sampai ke pengadilan antara bank dan nasabah, karena seringkali lebih diselesaikan dengan kekeluargaan. jika diselesaikan dipengadilan agama belum tentu hakim PA memahami tentang seluk beluk kredit dan perjanjian. pemilihan pengadilan merupakan hak sepenuhnya dari nasabah dan bank.37 Wawancara dengan Bapak Drs. Ali Ridho, M.H Hakim Pengadilan Agama bahwa hukum materiil tentang ekonomi syariah termasuk tentang akad perjanjian syariah terdapat dalam kompilasi Ekonomi Syariah yang berlaku sejak tahun 2009, hukum formilnya ada sebagian dalam kompilasi tersebut dan juga menggunakan hukum acara yang berlaku pada umumnya. masalah penangangan sengketa akad kredit bank syariah dan nasabah di pengadilan agama antara lain: pertama sumber daya hakim, namun hakim ekonomi syariah setiap tahunnya akan dibekali pengetahuan tentang hal tersebut selama seminggu. Dan hakim yang ditunjuk setiap tahunnya akan bergantian setiap tahunnnya, hanya saja ketua PA akan selalu menjadi anggota majelis hakim. Dua perangkat perundangundangan yang belum memadai. Tiga belum ada satupun putusan dari pengadilan agama yang berkait dengan ekonomi syariah. empat belum ada satu hakimpun di PA pemekasan yag mempunyai backgroud ekonomi syariah.38 Notaris berhak untuk memilih PA atau PN ketika terdapat sengeta sengketa akad kredit karena terdapat kebebasan dalam memilih hukum: karena alasan pertama belum adanya perkara sengketa kredit antara bank syariah dan nasabah di PA terdapat dua kemungkinan diselesaikan di Pengadilan negeri dan diselesiakan dengan musyawarah karena bank syariah pada umumya lebih familier dibandingkan dengan bank konvensional, disamping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam akad oleh para pihak. 36Wawancara
Notaris Dr. Firmansyah, M.H, tanggal 15 Agustus 2013 Notaris Dr. Firmansyah, M.H, tanggal 15 Agustus 2013 38Wawancara Drs. Ali Ridho, M.H Hakim Pengadilan Agama, tanggal 17 Agustus 2013 37Wawancara
304
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
Sedangkan dalam penjelasan pasal demi pasal dijelaskan yang dimaksud dengan ”penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: musyawarah, mediasi perbankan, melalui badan Arbitrase Syariah nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain; dan /atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.39 Pemberlakuan Undang-Undang Perbankan Syariah khususnya Pasal 55 dan penjelasannya telah mereduksi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa di bank syariah, karena dimungkinkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak. Prinsip kaffah yang terkandung pada penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Perbankan Syariah. seharusnya betul-betul diterapkan tidak saja dalam produk-produk yang ditawarkan oleh bank syariah akan tetapi juga dalam penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Untuk itu diperlukan persiapan untuk menyongsong berlakunya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Solusi juga disampaikan oleh Bapak Moh. Zahid, M.Ag Berkaitan dengan optimalisai fungsi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa perbankan syariah yaitu: Ada 2 (dua) hal yang penting berkenaan dengan kewenangan Pengadilan Agama yang baru Pertama jadi tdk berhenti pada formalitas Undang-undang, dalam pelaksanaan harus ada jeda, tidak bisa serta merta dilaksanakan, ada dualisme hukum sudah lama bukan hanya dalam kewenangan syariah tapi juga masalah waris, harus menunggu kesiapan Pengadilan Agama; yang kedua Arbritase hanya mediasi tdk bisa diputuskan, harus ada yang dikalah dan yang dimenangkan, adanya fatwa DSN yang menyatakan untuk sengketa ekonomi syariah hendaknya diselesaikan dengan arbritase, sebelum ada Undangundang tentang Peradilan Agama dan Undang-undang tentang perbankan syariah, sehingga karena ketentuan undang-undang belum dilaksanakan, harua ada sinkronisiasi, asal kebijakan Undang-undang tentang penanganan sengketa syariah tidak berubah-ubah pada akhirnya nanti akan ke muara penyelesaian sengketa melalui Undangundang yang ada yaitu melalui peradilan agama sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang No. 3 Tahun 2006.40 39Wawancara 40Wawancara
Drs. Ali Ridho, M.H Hakim Pengadilan Agama, tanggal 17 Agustus 2013 dengan Bapak Moh. Zahid, M.Ag, Tanggal 16 Agustus 2013
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
305
Erie Haryanto
Respon masyarakat tentang kewenangan Pengadilan Agama Pamekasan dalam menyelesaikan sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah, dari sekian banyak responden yang kami wawancarai hampir semuanya mengetahui keberadaan perbankan syariah beberapa diantaranya bahkan sudah lama menjadi nasabah bank syariah rata-rata mulai dua sampai lima tahun yang lalu dan motifasi mereka bermacam-macam mengapa memilih perbankan syariah yang paling banyak karena mereka ingin melakukan kegiatan perbankan dengan menggunakan prinsip-prinsip syariat islam, akan mendapatkan ampunan dan pahala dari Allah namu ada juga karena bagi hasil dari tabungan lebih besar dari bunga rata-rata bank umum konvensional. Namun sehubungan dengan kewenangan Pengadilan Agama Pamekasan dalam menyelesaikan sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah beberapa responden terutama dari masyarakat umum tidak mengetahui sama sekali tentang kewenangan baru tersebut dan untuk yang sudah mengetahui skeptis terhadap ditegakkannya aturan tentang kewenangan baru tersebut karena ada beberapa problematika baik yang bersifat formil maupun materiil. Respon terkait dengan kewenangan baru dari Pengadilan Agama dari kalangan perbankan syariah, cukup menyambut antusias, namun dalam tataran prakteknya belum ada sengketa diselesaikan melalui Pengadilan Agama, pada umumnya dalam perjanjian dengan nasabah, pihak perbankan syariah yang menggunakan aturan lama yaitu penyelesaian perselisihan atau perbedaan pendapat menunjuk atau penetapkan BASYARNAS atau Pengadilan Negeri untuk memberikan putusannya.41 Analisis Perbankan syariah tumbuh dan dikembangkan sebagai sebuah alternatif bagi praktik perbankan konvensional. Kritik terhadap konsep bank konvensional oleh konsep perbankan syariah, bukanlah menolak bank dalam fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan, melainkan dalam karakteristiknya yang lain, misalnya masih terdapat unsur riba, judi (maysir), ketidakpastian (gharar), bathil. Aplikasi akad dan aspek legalnya, sangat diperlukan dalam mendukung kelancaraan transaksi muamalah yang melibatkan lembaga perbankan dan keuangan Syariah. Sesuai dengan kebutuhan dalam praktik saat ini, sudah ada beberapa aplikasi yang dimaksud di atas, namun 41Wawancara dilakukan dengan pengawai BSM Pamekan, Pegadaian syariah Pamekasan, Bagian Legal Bank Muamalat Suarabaya dan Ketua Korwil Sidogiri Kabupaten Pamekasan yang secara garis besar apabila ada sengketa diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat ataupun kalau tidak bisa melalui BASYARNAS dan Pengadilan Negeri
306
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
keberadaanya belum terdapat keseragaman atau standarisasi dalam pembuatan akadnya. Proses pemberian pembiayaan pada bank syariah maka tahapan yang dilakukan oleh bank syariah tidak jauh berbeda dengan tahapan yang dilakukan oleh bank konvensional dalam memberikan kreditnya. Proses pemberian pembiayaan diawali dengan tahapan: pertama tahap sebelum pemberian pembiayaan diputuskan oleh bank syariah, yaitu tahap bank syariah mempertimbangkan permohonan pembiayaan calon nasabah penerima fasilitas Tahap ini disebut tahap analisis kelayakan penyaluran dana. Kedua tahap setelah permohonan pembiayaan diputuskan pemberiannya oleh bank syariah dan kemudian penuangan keputusan tersebut kedalam perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) serta dilaksanakannya pengikatan agunan untuk pembiayaan yang diberikan itu. Tahap ini disebut tahap dokumentasi pembiayaan. Ketiga tahap setelah perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) ditandatangani oleh keduabelah pihak dan dokumentasi pengikatan agunan telah selesai dibuat serta selama pembiayaan itu digunakan oleh nasabah penerima fasilitas sampai jangka waktu pembiayaan berakhir. Tahap ini disebut tahap penggunaan pembiayaan. Kempat tahap setelah pembiayaan menjadi bermasalah tetapi usaha nasabah penerima fasilitas masih memiliki prospek sehingga pembiayaan yang bermasalah itu dapat diselamatkan untuk menjadi lancar kembali. Tahap ini disebut tahap penyelamatan pembiayaan. Kelima tahap setelah pembiayaan menjadi macet. Tahap ini disebut tahap penyelesaian pembiayaan. Hubungan hukum antara Nasabah dan lembaga Keuangan Syariah (Bank dan Asuransi Syariah) akan berjalan dengan baik dan lancar jika para pihak mentaati apa yang telah mereka sepakati dalam akad yang mereka buat. Namun jika salah salah satu pihak lalai atau melakukan kesalahan dalam pemenuhan kewajibannya maka pelaksanaan akad akan mengalami hambatan atau permasalahan bahkan dimungkinkan mengalami kemacetan. Secara garis besar penyebab terjadinya permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan akad pertama Adanya Wanprestasi (default); suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melaksanakan prestasinya karena kesalahannya dan si debitur telah ditegur (disomatie). Kedua Keadaan Memaksa (force majeur/overmacht); suatu keadaan ketika debiturtidak dapat memenuhi atau melaksanakan prestasinya karena suatu keadaan diluar kemampuan manusia. Ketiga Perbuatan melawan hukum; suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pelaksanaan akad yang tidak sesuai dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya Berdasarkan SEBI
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
307
Erie Haryanto
No.13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011 yang dimaksud dengan Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya, tidak termasuk perpanjangan atas pembiayaan mudharabah atau musyarakah yang memenuhi kualitas lancar dan telah jatuh tempo serta bukan disebabkan nasabah mengalami penurunan kemampuan membayar Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain meliputi: (1) perubahan jadwal pembayaran; (2) perubahan jumlah angsuran; (3) perubahan jangka waktu; (4) perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; (5) perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabahah atau musyarakah; dan/atau: (6) pemberian potongan. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain meliputi: (1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; (2) konversi akad Pembiayaan; (3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau; (4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning Hapus buku adalah tindakan administratif bank untuk menghapus buku pembiayaan yang memiliki kualitas macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus hak tagih bank kepada nasabah. Hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan, dalam arti kewajiban nasabah dihapuskan tidak tertagih kembali. Hapus tagih merupakan salah satu cara dari hapusnya perikatan sebagaimana diatur pada Pasal 1318 BW Hapus buku dan hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap pembiayaan yang memiliki kualitas macet. Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian pembiayaan (partial write off) sedangkan hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh pembiayaan. Hapus tagih terhadap sebagian pembiayaan hanya dapat dilakukan dalam rangka restrukturisasi pembiayaan atau dalam rangka penyelesaian pembiayaan. Hapus buku dan/atau hapus hanya dapat dilakukan setelah bank syariah melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali aktiva produktif yang diberikan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya
308
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution. Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pengadilan Agama dengan adanya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 harus siap menerima kewenangan baru untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Respon dari masyarakat pada umunya ragu dengan kesiapan Pengadilan Agama mampu mengemban amanat dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, terkait dengan budaya hukum masyarakat khususnya pelaku dalam ekonomi syariah dan politik hukum dari Mahkamah Agung yang terpenting penyiapan peraturan perundang-undangan pendukung. Menurut UU Nomor 3 tahun 2006 jo Pasal 55 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Badan arbritase (Badan Arbritase Syariah Nasional) yang menjalankan hukum materiil berdasarkan syariah. Sebelum berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006, penyelesaian sengketa perbankan Syariah selain diselesaikan melalui musyawarah mufakat yang ditangani secara internal bank juga diselesaikan melalui Basyarnas. Hal ini sesuai dengan penerapan asas pacta sunt servada “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”. Hal ini berarti perjanjian atau akad yang dibuat oleh para pihak menjadi acuan di dalam menyelesaikan permasalahan di antara mereka. Akad yang ada selama ini dibuat oleh bank syariah dengan mencantumkan pasal penyelesaian perselisihannya hanya mencantumkan pilihan musyawarah mufakat melalui Basyarnas. Lembaga Basyarnas yang ada di Indonesia baru ada empat lembaga yang terdapat di Jakarta, DIY, Surabaya dan Riau. Hal itu menjadi persoalan manakala di daerah lain khususnya Madura belum terdapat Basyarnas namun perkembangan perbankan syariah mulai muncul menjadi kendala dalam proses penyelesaian. Hal yang lain muncul adalah kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi lembaga Basyarnas, karena dalam perkembangannya lembaga ini belum dapat mengoptimalkan fungsinya terbentur dengan minimnya ketersediaan sumberdaya manusia yang memahami arbritase selain masalah perfomance sarana prasarana yang belum dapat dikatakan layak. Basyarnas yang lahir tahun 1993 (sebelumnya BMUI) sampai tahun 2012
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
309
Erie Haryanto
baru menerima 12 (dua belas) permohonan penyelesaian sengketa, Pengadilan Agama yang memiliki kewenangan absolute dalam sengketa ekonomi syariah setiap tahun-nya rata-rata hanya 5 (lima) perkara tentang sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang diselesaikan. Sehingga menjadi pertanyakan besar penulis. Pihak-pihak memilih penyelesainnya sengketa kemana? Karena di dua lembaga yang diamanatkan undang-undang minim sekali dibandingkan volume transaksi akad pembiayaan di perbankan syariah Problematika Kewenangan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa di Bidang Ekonomi Syari’ah adalah materi hukum berupa peraturan perundang-undang, di mana sekarang selain undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama ada UU No. 19 Tahun 2008 tentang surat berharga syariah negara dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah dengan penjabaran dalam berbagai peraturan sudah cukup menjadi dasar pelaksanaan kewenangan tersebut, namun yang terjadi justru undang-undang tersebut berbenturan dengan undang-undang yang ada sebelumnya, Undang-Undang (UU) Arbitrase, UU Pasar Modal, UU Kepailitan, UU Perasuransian, UU Perdagangan, UU Pegadaian, UU Bank Indonesia, UU Perbankan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, UU Perseroan Terbatas, UU Dokumen Perusahaan, UU Jabatan Notaris, UU Persaingan Usaha (Anti Monopoli), UU Perlindungan Konsumen, UU Koperasi, UU Lembaga Penjaminan Simpanan dan menyangkut Otoritas Jasa Keuangan. Terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah issue pokok benturannya antara lain dengan: pertama Undang-Undang Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996). Undang-Undang ini mengakomodasi jaminan berupa tanah/bangunan yang dalam pelaksanaan eksekusi bila debitur wanprestasi dapat dilakukan lelang Hak Tanggungan secara di bawah tangan atau melalui Pengadilan Negeri. Dapatkah nantinya Pengadilan Agama juga mengakomodasi lelang Hak Tanggungan mengingat Pengadilan Negeri juga dapat melakukan hal yang sama sehingga dapat menimbulkan duplikasi. Kedua Undang-Undang Jaminan Fidusia mensyaratkan adanya pembuatan Akta Jaminan Fidusia dan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia sehingga menimbulkan hak preferensi bagi kreditur. Pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia juga hampir sama (mirip) dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, Apakah nantinya Pengadilan Agama juga dapat mengakomodasinya hal tersebut. Ketiga UndangUndang Kepailitan. Syarat kepailitan adalah debitur mempunyai 2 atau lebih kreditur, mempunyai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pengajuan kepailitan dilakukan ke Pengadilan Niaga. Lantas, apakah Pengadilan
310
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
Agama dapat berfungsi sebagai semacam Pengadilan Niaga Syariah untuk menerima suatu pengajuan kepailitan itu yang menjadi problematika Politik hukum Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan penyelesaian sengketa antar lembaga peradilan seharusnya mengambil langkah-langkah konkrit terkait aturan pelaksanaan dari ketentuan Undang-Undang, bahkan dalam perjalannya ada Surat Edaran Mahkamah yang keberadaan saling tumpang tindih dan mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat diselesaikan oleh tiga lembaga yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri dan BASYARNAS jelas melemahkan eksistensi ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No.21 Tahun 2008 sehingga harus ada kejelasan tentang mekanisme penyelesaian sengketa syariah, yaitu harus mengembalikan pada Pengadilan Agama sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah Faktor ketiga Budaya hukum, sampai tahun ke-empat tahun disahkannya UU. No. 3 Tahun 2006 belum ada kemauan dari pihak-pihak terkait dalam optimalisasi pelaksanaan tugas dan kewenangan peradilan agama pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah hal ini ditandai akta-akta perjanjian dalam kausula apabila ada sengketa masih diselesaikan melalui BASYARNAS dan atau Pengadilan Negeri, sehingga politic will dari kalangan masyarakat ekonomi syariah belum percaya terhadap kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah Hal-hal tersebut diatas merupakan persyaratan yang harus dipenuhi, agar pelaksanaan tugas dan kewenangan yang diberikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang merupakan kewenangan yang strategis dapat dilaksanakan dengan optimal oleh Pengadilan Agama. Mengingat segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga peradilan, oleh sebagian kalangan Peradilan Agama dipandang oleh sebagian kalangan sebagai lembaga pilihan terbaik. Penambahan kewenangan Peradilan Agama di bidang ekonomi syariah sebagaimana amanat UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu bentuk kepercayaan terbesar terhadap lembaga peradilan yang secara politis sejak zaman kolonial Belanda selalu didiskreditkan dan didiskriminasikan. Momentum ini hendaknya dipandang sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena ini adalah pertaruhan bagi citra Peradilan Agama itu sendiri.
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
311
Erie Haryanto
Penutup Pada bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan dari bab-bab sebelumnya, yang merupakan jawaban atas rumusan masalah penelitian ini. Kemudian akan disampaikan rekomendasi dari pihak-pihak yang terkait. 1. Pelaksanaan akad pembiayaan dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan tidak jauh berbeda dengan tahapan yang dilakukan oleh bank konvensional dalam memberikan kreditnya. Proses pemberian pembiayaan diawali dengan tahapan : pertama analisis kelayakan penyaluran dana. Kedua tahap perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) serta dilaksanakannya pengikatan agunan untuk pembiayaan yang diberikan itu. Tahap ini disebut tahap dokumentasi pembiayaan. Ketiga tahap setelah perjanjian pembiayaan (akad pembiayaan) ditandatangani oleh kedua belah pihak disebut tahap penggunaan pembiayaan. Kempat tahap setelah pembiayaan menjadi bermasalah dan Kelima tahap setelah pembiayaan menjadi macet. Tahap ini disebut tahap penyelesaian pembiayaan 2. Upaya-upaya yang digunakan dalam menyelesaikan akad pembiayaan bermasalah dalam praktik perbankan syariah di Pamekasan diarahkan menggunakan jalur non-litigasi baik melalui, Musyawarah-Mufakat, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APR) ataupun BASYARNAS ataupun peletakan sitajaminan. Pertama Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya, kedua Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank dan ketiga Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan yang antara lain meliputi: penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; konversi akad Pembiayaan; konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning. Jalur litigasi (pengadilan) belum dilaksanakan karena bisa diselesaikan melalui negoisasi maupun mediasi. Dalam melaksanakan kompetensi absolute Pengadilan Agama optimalisasi pelaksanaan kewenangan menyelesaikan sengketa syariah menyangkut penigkatan kapasitas dalam tiga aspek yaitu materi hukum kedua Aspek sumber daya manusia penyiapan tenaga-tenaga hakim yang profesional dalam menangani sengketa ekonomi syariah ketiga aspek sarana dan prasarana dari Pengadilan Agama sendiri harus dipenuhi untuk menangani perkara-perkara dalam bidang ekonomi syariah
312
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
Penyelesaian Sengketa Akad Pembiayaan dalam Praktik Perbankan Syari’ah di Kabupaten Pamekasan
Berdasarkan kesimpulan diatas ada beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan yaitu 1. Perlu keseragaman dalam Aplikasi akad dan aspek legalnya, sehingga diharapkan mendukung kelancaraan transaksi muamalah yang melibatkan lembaga perbankan dan keuangan Syariah. Sesuai dengan kebutuhan dalam praktik saat ini, sudah ada beberapa aplikasi yang dimaksud di atas, namun keberadaanya belum terdapat keseragaman atau standarisasi dalam pembuatan akadnya. 2. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah diarahkan menggunakan jalur nonlitigasi baik melalui, Musyawarah-Mufakat, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APR) ataupun BASYARNAS namun yang menguatkan putusan BASYARNAS tetap Pengadilan Agama, sehingga perlu dipacu pembentukan BASYARNAS di propensi/ kabupaten/ kota di seluruh Indonesia 3. Perlu adanya program legislasi nasional yang khususnya dalam bidang ekonomi syariah dengan mengharmonikan peraturan undang-undang perbankan dengan sistem perbankan syariah sehingga Undang-Undang Perbankan syariah bisa berjalan dengan utuh tanpa adanya konflik kepentingan dengan undang-undang yang ada sebelumnya 4. Perlu dilakukan upaya-upaya dalam rangka optimalisasi pelaksanaan kewenangan menyelesaikan sengketa syariah menyangkut penigkatan kapasitas dalam tiga aspek yaitu pertama materi hukum yaitu peraturan pendukung dan aturan pelaksanaan dari UU. No. 3 Tahun 2006 harus segera diwujudkan termasuk penegasan hanya pengadilan agama yang bisa mengeksekusi putusan BASYARNAS, kedua Aspek sumber daya manusia penyiapan tenaga-tenaga hakim yang profesional dalam menangani sengketa ekonomi syariah dengan jalan menjaring lulusan sarjana ekonomi syariah atau memang orang-orang yang ahli dalam bidang ekonomi syariah untuk menjadi hakim dan ketiga aspek sarana dan prasarana dari Pengadilan Agama sendiri harus dipenuhi untuk menangani perkara-perkara dalam bidang ekonomi syariah
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013
313
Erie Haryanto
Daftar Pustaka Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU Nomor 3 tahun 2006., Yogyakarta: UII Press 2007 Afdol, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2006 Anwar, Syamsul, Permasalah Pokok Bank Syari’ah: Studi Tentang Bai’ Muajjal, dalam Jurnal Penelitian Agama Nomor 23 Th. Viii, Sept. – Des. 1999 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2013 Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya. Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian sengketa dalam praktik perbankan syariah (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012) Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika 2012 Furchan, Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional, 1992. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000 Hadi, Sutrisno, Metodelogi Research, vol. I. Yogyakarta: Andi Offset, t.t. Hadinegoro, Luqman, Teknik seni bepidato mutakhir. Yogyakarta: Absolut, t.t. Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta:Prenada Media, 2005 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta :Sinar Grafika 2007 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insasani Press dan Tazkia Cendikia, 2008 Mohammad Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo, 1995 Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990. Purwataatmadja, Karnaen; Antonio, Syafi’i, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2002 Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1989
314
Nuansa, Vol. 10 No. 2 Juli – Desember 2013